BAGIAN ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN February 2016 Referat THT BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO Oleh : Dwi Putri Mentari C111 09 133 Sari Azisya Fausi C111 09 275 Pembimbing dr. Amelia DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAGIAN ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN February 2016
Referat THT
BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO
Oleh :
Dwi Putri Mentari C111 09 133
Sari Azisya Fausi C111 09 275
Pembimbing
dr. Amelia
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU THT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV
disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis
semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior. Bila kepala
dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah dalam kanalis
semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi supinasi, terjadi perubahan
posisi sejauh 90°. Setelah beberapa saat, gravitasi menarik kanalit hingga posisi terendah. Hal
ini menyebabkan endolimfa dalam kanalis semisirkularis menjauhi ampula sehingga terjadi
defleksi kupula. Defleksi kupula ini menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala
dikembalikan ke awal, maka terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah
yang berlawanan (Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).
Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi kepala dengan
timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat teori ini dengan
menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis poster. Saat melakukan
operasi kanalis tersebut (Li, 2000, Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).
Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras, otokonia
yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini kemudian
memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit didalam kanalis
semisirkularis ini akan memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo pada BPPV. Hal inilah
11
yang mendasari BPPV pasca trauma kepala (Parnes Lorne, 2003, Purnamasari, 2013,
Riyanto, 2004).
Gambar 3. Patofisiologi. Cupulolithiasis pada kanalis semisirkularis lateral & canalithiasis pada kanalis semisirkularis posterior. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis ataupun
kupulolitiasis dan secara teori dapat mengenai ketiga kanalis semisirkularis, walaupun terkenanya
kanal superior (anterior) sangat jarang. Bentuk yang paling sering adalah bentuk kanal posterior,
diikuti bentuk lateral. Sedangkan bentuk kanal anterior dan bentuk polikanalikular adalah bentuk
yang paling tidak umum (Purnamasari, 2013).
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang paling sering terjadi adalah tipe kanal
posterior. Ini tercatat pada 85 sampai 90% dari kasus dari BPPV, karena itu, jika tidak
diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu pada BPPV bentuk kanal posterior. Penyebab
paling sering terjadinya BPPV kanal posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan
debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan
12
karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat
kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Parnes Lorne, 2003).
Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis semisirkularis
posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi menjadi "massa kritis" di
bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior. Kanalit tersebut bergerak ke bagian
yang paling rendah pada saat orientasi dari kanalis semisirkularis berubah karena posisi dan
gravitasi. Tarikan yang dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada
kanalis semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi
pada kupula. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia asli dari
partikel tersebut menjelaskan periode laten yang terlihat selama manuver Dix-Hallpike
(Purnamasari, 2013).
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Lateral
BPPV tipe kanal lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak kedua. BPPV tipe kanal
lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini
dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat
pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanal posterior
akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanal lateral memiliki barier kupula yang
terletak di ujung atas. Karena itu, debris bebas yang terapung di kanal lateral akan
cenderung untuk mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala
(Parnes Lorne, 2003).
Dalam kanalitiasis pada kanal lateral, partikel paling sering terdapat di lengan panjang dari
kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan pergerakan kepala menuju ke
sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat aliran endolimfe ampulopetal, yang
13
bersifat stimulasi pada kanal lateral. Nistagmus geotropik (fase cepat menuju tanah) akan
terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi yang terkena, partikel akan menciptakan arus
hambatan ampulofugal. Meskipun nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan, itu
akan tetap menjadi nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah
berlawanan. Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon
hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon terkuat (respon
stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik nistagmus. Kupulolitiasis memiliki
peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanal lateral dibandingkan tipe kanal posterior.
Karena partikel melekat pada kupula, vertigo sering kali berat dan menetap saat kepala
berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien dimiringkan ke arah sisi yang terkena,
kupula akan mengalami defleksi ampulofugal (inhibitory) yang menyebabkan nistagmus
apogeotrofik. Ketika kepala dimiringkan ke arah yang berlawanan akan menimbulkan
defleksi ampulopetal (stimulatory), menghasilkan nistagmus apogeotrofik yang lebih kuat.
Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan menimbulkan respon 10 yang
terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada 27% dari pasien yang memiliki BPPV tipe
kanal lateral (Edward, 2013, Purnamasari, 2013).
Gambar 4. Skema fisiologi kanalis semisirkularis posterior telinga kiri. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).
14
II.7. Gambaran Klinis
BPPV terjadi secara tiba-tiba. Kebanyakan pasien menyadari saat bangun tidur, ketika
berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien merasakan pusing berputar yang lama
kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat jeda waktu antara perubahan posisi kepala dengan
timbulnya perasaan pusing berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat
kuat pada awalnya dan menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya
menjadi lebih ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan (Li, 2000,
Riyanto, 2004).
Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibuler dan vertigo non vestibuler. Sumber : (IDI, 2013).
Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian hari.
Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat mengalami mual dan muntah.
Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala dikembalikan ke posisi semula, namun arah
nistagmus yang timbul adalah sebaliknya (Li, 2000, Riyanto, 2004).
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan
memprovoksi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari
kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike atau
perasat Sidelying (Purnamasari, 2013).
Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut : 1)
terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan; 2) nistagmus yang khas; 3) adanya masa
laten; 4) lamanya serangan terbatas; 5) arah nistagmus berubah bila posisi kepala
15
dikembalikan ke posisi awal; 6) adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus
diulang (Li, 2000, Riyanto, 2004).
Tabel 3. Perbedaan vertigo sentral dan vertigo perifer. Sumber : (IDI, 2013).
II.8. Diagnosis
1. Anamnesis
Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang, berputar, tujuh keliling,
rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi
timbulnya vertigo. Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan. Profil
waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronikm
progresif atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang
karakteristik. Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya
menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-
obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui
ototoksik/vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik (Akbar, 2013).
2. Pemeriksaan fisik dan Manuver diagnostik
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan cara
memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari
kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike
atau Sidelying. Perasat Dix-hallpike lebih sering digunakan karena pada perasat tersebut
16
posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment. Pada pasien BPPV
parasat Dix-Hallpike akan mencetuskan vertigo (perasaan pusing berputar) dan
nistagmus (Hain, 2003, Ji-Soo Kim, 2014).
Gambar 5. Perasat Dix-Hallpike. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).
1) Pemeriksaan perasat Dix-Hallpike
Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Perasat Dix-
Hallpike secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu perasat Dix-Hallpike kanan
pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan perasat Dix- Hallpike
kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan perasat Dix-Hallpike kanan, pasien
duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan kepala menoleh 450 ke kanan. Dengan
cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap miring 450 ke kanan sampai kepala
pasien menggantung 20-300 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai
respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama ±1 menit
atau sampai respon menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat langsung
dilanjutkan dengan canalith repositioning treatment (CRT). Bila tidak ditemukan
respon yang abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT, pasien
17
secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan perasat
Dix-Hallpike kiri dengan kepala pasien dihadapkan 450 ke kiri, tunggu maksimal 40
detik sampai respon abnormal hilang. Bila ditemukan adanya respon abnormal, dapat
dilanjutkan dengan CRT, bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila tidak
dilanjutkan dengan tindakan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali
(Ji-Soo Kim, 2014).
Gambar 6. Perasat Sidelying. Sumber : (Purnamasari, 2013).
2) Perasat Sidelying
Terdiri dari dua gerakan yaitu perasat sidelying kanan yang menempatkan
kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri/kanalis posterior kanan pada bidang
tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah, dan
perasat sidelying kiri yang menempatkan kepala pada posisi dimana kanalis anterior
kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal
posterior pada posisi paling bawah (Ji-Soo Kim, 2014, Riyanto, 2004).
Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja,
kepala ditegakkan ke sisi kanan, tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.
Pasien kembali ke posisi duduk untuk untuk dilakukan perasat sidelying kiri, pasien
18
secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 450 ke kanan. Tunggu 40
detik sampai timbul respon abnormal (Ji-Soo Kim, 2014, Riyanto, 2004).
3) Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin
dan panas. Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu air panas adalah 440C. Volume
air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik.
Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa
dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri
atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk