BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pacar Kuku (Lawsonia inermis Linn)
2.1.1 Klasifikasi Pacar Kuku Pacar kuku disebut Lawsonia inermis
Linn, yang termasuk dalam famili Lythracea. Adapun klasifikasi
tanaman pacar kuku adalah sebagai berikut (Zuhud et al, 2013) :
Sinonim : Lawsonia alba Lamk Divisi: Spermatophyta Subdivisi:
AngiospermaeKelas: Dicotyledonae Bangsa : Myrtales Suku :
Lythraceae Marga : Lawsonia Jenis : Lawsonia Inermis Linn 2.1.2
Morfologi Pacar Kuku Pohon Lawsonia inermis L dapat mencapai
ketinggian 8 sampai 10 kaki dan biasa digunakan untuk pagar, ada
yang berduri maupun tidak berduri, memiliki bunga kecil-kecil
dengan warna berbeda-beda dan berbau manis. Daun Lawsonia inermis L
memiliki substansi zat warna yang bervariasi mulai dari merah,
burgundy, kuning tua, coklat kemerahan sampai coklat, selain itu
juga mengandung hennotannic acid yaitu suatu bahan penyamak
(Grieve, 2006; Jones, 2006).
Gambar 1. Tanaman pacar kuku (Lawsonia inermis Linn)
(Pratiwi,2014).Daun tunggal, duduk berhadapan, bertangkai pendek,
elip, bentuk memanjang atau bulat telur terbalik, dengan ujung dan
pangkal lancip, 1,5-5 x 1-3 cm. Dalam musim hujan tanaman ini
tumbuh lebih cepat. Daunnya lama-kelamaan menguning dan rontok pada
musim kering dan dingin. Bunga berbau tidak enak. Malai di ujung
dan di ketiak. Kelopak terbagi dalam; tabung berbentuk kerucut
terbalik, tinggi 1,5 cm, taju bulat telur, menjatuh runcing. Daun
mahkota duduk, bentuk ginjal, berlipat sekali, lebih panjang
daripada kelopak, kuning muda, kemudian kerap kali kemerahan. Bakal
buah beruang 2-4. Kepala putik kecil. Biji berbentuk piramid
terbalik. Pacar kuku berasal dari Asia Barat Daya dan ditanam
sebagai tanaman hias (Zuhud et al, 2013). 2.1.3 Manfaat Pacar
KukuDaun pacar kuku (Lawsonia inermis Linnaeus) atau dikenal
sebagai daun inai atau henna, oleh masyarakat pedesaan tertentu di
Indonesia sering digunakan sebagai obat penyembuh luka di kulit
badan. Penggunaan daun ini biasanya dengan cara dilumatkan langsung
ditempelkan di daerah luka dan dibalut dengan kain atau kasa.
Dugaan sementara jika daun Lawsonia inermis L dapat menyembuhkan
luka di kulit badan, maka daun Lawsonia inermis L juga dapat
digunakan untuk penyembuhan luka di dalam rongga mulut. Disamping
itu kemungkinan di dalam daun Lawsonia inermis L terkandung
senyawa-senyawa yang mempuyai sifat antibakteri yang membantu
proses penyembuhan (Zubardiah, 2006). Selain digunakan sebagai
pewarna alami, secara farmakologi daun pacar kuku digunakan untuk
pengobatan hiperglikemik (Syamsudin et al., 2008), memiliki
aktivitas antimikroba, efek penyembuhan luka, sitotoksik,
antioksidan, dan antivirus (Das & Mondal, 2012). Secara
tradisional bagian daun, bunga, dan biji berkhasiat sebagai
antipiretik, penyembuhan luka bakar, sembelit, obat diare, dan
disentri (Jain et al., 2010).Lawsonia inermis merupakan tumbuhan
yag memiliki kegunaan untuk pengobatan berbagai penyakit. Hal ini
dikarenakan Lawsonia inermis memiliki aktivitas antibakteri,
antioksidan, antiinflamasi, antipiretik, antikarsinogenik, efek
analgesik, antifungal, efek sedatif, anti hemorrahagic dan sifat
hipotensif (Singh et al, 2015). Di New Delhi India, pada
Laboratorium Biologi Kanker dan Biologi Molekuler Terapan
Universitas Jawaharlal Nehru, ekstrak etanol 80% daun Lawsonia
inermis L diperiksa efek antioksidan dan potensi
antikarsinogeniknya pada hepar tikus albino Swiss berumur 7 minggu.
Selain itu, diperiksa juga pada organ-organ di luar hepar seperti
lambung, ginjal dan paru-paru. Diperoleh hasil hambatan yang
signifikan terhadap sistem model tumor yang diteliti, dan
pengurangan pada insidensi tumor (Dasgupta et al, 2003). 2.1.4
Kandungan Senyawa Kimia Daun Pacar Kuku Penelitian yang telah
banyak dilakukan membuktikan bahwa ekstrak daun pacar kuku memiliki
aktivitas antibakteri yang signifikan terhadap bakteri Gramnegatif
maupun Gram positif. Penelitian yang dilakukan Sarojini et al.
(2012) membuktikan bahwa ekstrak aseton daun pacar kuku memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli (Gram negatif) dan
Bacillus subtilis (Gram positif) pada konsentrasi 300 mg/mL dengan
50 L/disk, didapatkan diameter zona hambat 1922 mm. Peneliti lain,
Pratiwi (2014) menunjukkan bahwa ekstrak daun pacar kuku dengan
pelarut etanol dapat menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis dan
Shigella shonei pada konsentrasi 4000g/disk. Aktivitas antibakteri
dipengaruhi oleh adanya komponen bioaktif yang terkandung dalam
senyawa tersebut, sehingga setiap senyawa mempunyai perbedaan
aktivitas. Kandungan bioaktif pada tumbuhan dikenal dengan
kandungan fitokimia. Pada daun pacar kuku mengandung beberapa
senyawa fitokimia yang bermanfaat sebagai antibakteri. Penelitian
Pratiwi (2014) menunjukkan bahwa daun pacar kuku memiliki kandungan
flavonoid, fenol, triterpenoid. Ekstrak etanol 30% dari daun
Lawsonia inermis L yang berasal dari Bekasi telah diperiksa
kandungan fitokimianya pada uji pendahuluan di Laboratorium Kimia
Analitik Jurusan Kimia FMIPA IPB Bogor. Hasil yang diperoleh
adalah: crude tanin (40,34%), crude alkaloid (32,64%), K2O (3,65%),
crude saponin (3,55%), Nitrogen total (0,90%), dan P2O5 (0,73%)
(Zubardiah, 2006).
2.1.4.1 Lawsone (2-hydroxi-1,4 naphtoquinone)
Gambar 2. Struktur Lawsone (2-hydroxi-1,4 naphtoquinone)
(Harborne, 1996).
Menurut analisis fitokimia, daun pacar kuku mengandung Lawsone
(2-hydroxi-1,4 naphtoquinone). Senyawa ini merupakan derivat dari
naphtoquinon yang memiliki struktur gugus fenolik dan termasuk
dalam golongan protein yang memiliki kemampuan memberi warna
(Harborne, 1996). Dalam banyak kasus, aktivitas biologis
naphtoquinon berkaitan dengan kemampuan kuinon untuk menerima satu
atau dua elektron untuk membentuk intermediet reaktif anion
radikal, yang bertanggung jawab menimbulkan stres oksidatif dalam
sel (Valderrama et al., 2008). Tapi ada beberapa mekanisme lain
disebabkan quinonoid senyawa seperti interkalasi DNA, alkilasi,
induksi pembentukan rantai DNA atau penghambatan protein khusus
atau enzim seperti topoisomerase (Salmon et al., 2001). Mekanisme
antibakteri naphtoquinon diduga kemampuannya dalam menghambat
transpor elektron pada metabolisme bakteri dengan kemampuan
menerima satu atau dua elektron untuk membentuk reaktif anion
radikal yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Pada kondisi
stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel.
Membran sel ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi
enzim, sehingga terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh
radikal bebas dapat mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara
total (Evans, 2000).Aktivitas antimikroba Lawsone kemungkinan
dikarenakan banyaknya hidroksil bebas yang mempunyai kemampuan
untuk mengikat karbohidrat dan protein di dinding sel bakteri.
Hidroksil-hidroksil bebas tersebut menempel pada lokasi enzim dan
membuatnya tidak aktif (Al-Rubiay K. et al., 2008).
2.1.4.2 Flavonoid
Gambar 3. Struktur flavonoid (Duthie, 2010).
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang
terbesar yang ditemukan di alam dan dapat ditemukan pada hampir
setiap tanaman. Flavonoid merupakan kelompok senyawa anti oksidan
yang dapat larut dalam air, serta mampu menangkap radikal bebas
yang dikeluarkan sebagai produk kerusakan sel maupun jaringan
(Brianto, 2004; Firdaus, 2011).Aktivitas flavonoid dilakukan dengan
merusak dinding sel yang terdiri atas lipid dan asam amino akan
beraksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid, membentuk
komleks dengan protein ekstraseluler terlarut dari dinding sel
sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapt masuk ke
dalam inti sel. Flavonoid memiliki efek antibakteri karena
kemampuannya bereaksi dengan DNA bakteri (Smullen, 2007). Setiap
compound flavonoid memounyai kemamouan untuk merusak ikatan
jembatan hidrogen dari untaian rantai ganda DNA. Selanjutnya dengan
inti sel bakteri juga, senyawa flavonoid akan kontak dengann DNA
pada inti sel dan memlalui perbedaan kepolaran antara lipid
penyusun DNA dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid akan dapat
terjadi reaksi sehingga akan merusak struktur lipid dari DNA
sehingga inti sel bakteri juga akan lisis serta bakteri akan
mengalami proses lisis dan mati (Gunawan, 2009). Flavonoid bersifat
koagulan protein sebagaimana sifat fenol (Farida et al, 2010).
Flavonoid mampu membentuk senyawa kompleks denagan protein melalui
ikatan hidrogen shingga struktur tersier protein terganggu, dan
protein tidak dapat berfungsi lagi maka terjadi denaturasi protein
dan asam nukleat. Denaturasi tersebut menyebabkan koagulasi protein
dan mengganggu metabolisme dan fungsi fisiologis bakteri.
Etabolisme yang terganggu akan mengakibatkan rusaknya sel secara
oermanen karena tidak tercukupinya kebutuhan energi (Agustin,
2007). 2.1.4.3 Triterpenoid
Gambar 4. Struktur senyawa triterpenoid (Gunawan, 2008).
Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri oleh senyawa terpenoid,
diduga senyawa terpenoid akan bereaksi denga porin (protein trans
membran) pada membran luar dinding sel bakteri membentuk ikatan
polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya
porin yang merupakan pintu keluar masuknya substansi, akan
mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan
mengakibatkan sel bakteri kekurangan nutrisi sehingga pertumbuhan
bakteri terhambat atau mati (Gunawan, 2008). Sitoplasma semua sel
hidup dibatasi oleh suatu selaput yang dibatasi membrans sel yang
mempunyai permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas
fosfolipid dan protein. Membran sel berfungsi untuk mempertahan kan
integritas seluler, yang secara selektif mengatur keluar masuknnya
zat antar sel dengan lingkungan luar. Proses pengangkutan zat-zat
yang diperlukan baik ke dalam maupun keluar sel dimungkinkan karna
di dalam membran sel terdapat protein pembawa (carrier), di dalam
membran sitoplasma juga terdapat enzim protein untuk mensintesis
peptidoglikan komponen membran sel (Agustina, 2007). 2.1.4.4
Tanin
Gambar 5. Struktur senyawa tanin (Sudjadi, 2010).Tanin merupakan
nama deskriptif umum untuk suatu kelompok substansi fenolik polimer
yang mampu mmenyamak kulit atau memprisipitasi gelatin dari cairan,
suatu sifat yang dikenal dengan astringent. Tanin terbentuk dari
senyawa fenol yang berikatan atau bergabung dengan senyawa fenol
yang lain sehingga membentuk polifenol dan pada akhirnya membentuk
senyawa tanin (Pansera, 2004). Tanin merupakan himpunan
polihidroksi fenol yang dapat dibedakan dari fenol lain karena
kemampuannya mengendapkan protein (Savitry, 2008). Tanin merupakan
zat kimia yang terdapat dalam tanaman yang memiliki kemampuan
menghambat sintesis dinding sel bakteri dan sintesis protein kuman
gram positif dan gram negatif. Protein pada bakteri merupaka salah
satu komponen penyusun dinding sel dan membran plasma, apabila
protein pada dinding sel rusak atau terdenaturasi, maka dinding sel
bakteri akan mudah dimasuki oleh bahan kimia yang menyebabkan
metabolisme bakteri terganggu. Senyawa tanin dapat menghambat
pertumbuhan dan membunuh bakteri dengan cara bereaksi dengan
membran sel, inaktivasi enzim-enzim esensial, serta destruksi atau
inaktivasi fungsi dan materi genetik (Ummah, 2010). Tanin mampu
membentuk ikatan kompleks dengan protein sehingga mengaktivasi
adhesin bakteri, enzim, sehingga aktivitas fisiologis sel bakteri
terganggu, pertumbuhannya terhambat bahkan pada dosis tertentu
dapat menyebabkan kematian pada bakteri. Sementara efek astringen
yang dimiliki tanin dapat memperkuat efek antibakteri dengan
menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau
substrat mikroba yang dapat menambah daya toksisitas tanin tersebut
(Farida et al., 2010). 2.2 Perawatan Saluran Akar Perawatan
endodontik adalah bagian dari perawatan pulpa gigi yang bertujuan
menjaga kesehatan pulpa baik keseluruhan maupun sebagian serta
menjaga kesehatan jaringan periradikuler (Stock et al., 2004).
Perawatan endodontik meliputi tindakan preventif, diagnosis, dan
manajemen pulpa yang mengalami kerusakan (Cohen et al.,2006).
Perawatan saluran akar merupakan pilihan perawatan untuk penyakit
pulpa pada saluran akar dengan menghilangkan bakteri dan produk
metabolismenya dari sistem saluran akar (Stock et al., 2004).
Tujuan perawatan saluran akar yaitu membersihkan dan mendisinfeksi
sistem saluran akar sehingga mengurangi munculnya bakteri,
menghilangkan jaringan nekrotik, dan membantu proses penyembuhan
periapikal (Rhodes, 2006). Perawatan saluran akar terdapat 3
tahapan utama atau dikenal dengan Triad Endodontik. Triad
endodontik yang pertama adalah mendapatkan akses yang lurus kedalam
saluran akar. Triad endodontik yang kedua adalah preparasi saluran
akar untuk membuang atau mengurangi iritan yang berbahaya dalam
ruang pulpa dan menutup ruang tersebut, mengontrol
mikroorganismenya dan menangani inflamasi periapeksnya. Preparasi
yang tidak melebihi saluran akar akan memberikan prognosis yang
baik. Instrumentasi yang melewati apeks (over instrumentation)
dapat menyebabkan terdorongnya mikroorganisme, serpihan dentin dan
sementum ke periapeks dan menyebabkan inflamasi yang persisten.
Triad endodontik yang ketiga adalah pengisian saluran akar.
Kesalahan dalam pengisian terjadi akibat proses pembentukan saluran
akar yang kurang baik atau pengisian yang kurang tepat (Dumsha
& Guntmann, 2000).2.2.1 Irigasi Saluran Akar Perawatan saluran
akar terbagi menjadi 3 tahapan utama yaitu preparasi biomekanik
saluran akar (pembersihan dan pembentukan saluran akar), disinfeksi
dan obturasi saluran akar (Grossman et al., 2010). Pada tahap
preparasi diperlukan bahan irigasi saluran akar yang bertujuan
menghilangkan jaringan nekrotik, tumpukan serpihan dentin dan
membasahi saluran akar gigi sehingga mempermudah dalam pelaksanaan
preparasi serta pengurangan jumlah mikroorganisme di dalam saluran
akar kemudian sisa bakteri dimatikan dengan obat-obatan (Walton
& Torabinejad, 2008). Tindakan irigasi saluran akar merupakan
salah satu tahap perawatan endodonti yang penting sebab jika
diabaikan dapat menyebabkan kegagalan perawatan (Hafida et al.,
2012).Bermacam bahan desinfeksi telah banyak digunakan antara lain
phenolic compound, formaldehyde, dan halogen yang termasuk
desinfektan konvensional, serta hidrogen peroksidase (H2O2), NaOCl
(sodium hipoklorit), EDTA, chlorhexidine, dan Ca(OH)2.
Chlorhexidine mempunyai daya antibakteri spektrum luas, toksisitass
rendah dan larut dalam air. Bahan tersebut bukan merupakan bahan
irigasi utama karena tidak mampu melarutkan sisa jaringan nekrotik
dan kurang efektif terhadap bakteri gram negatif (Subbiya et al.,
2013). Hidrogen peroksidase 3% merupakan salah satu bahan irigasi
yang paling sering digunakan karena mudah didapat, dapat mengangkat
kotoran dari hasil preparasi saluran akar. Oksigen yang terjadi
akan menghasilkan gelembung udara kemudian akan membantu
pengeluaran kotoran secara efektif. NaOCl merupakan bahan irigasi
utama yang belum dapat digantikan bahan lainnya. Selain mempunyai
daya antibakteri yang luas, juga mampu melarutkan jaringan lunak
atau organik yang tidak dipunyai bahan irigassi lainnya
(Mulyawati,2011). 2.3 Enterococcus faecalis Enterococcus faecalis
diklasifikan dalam Kingdom Bacteria, Filum Firmicules, Famili
Enterococcaceae, Genus Enterococcus, Spesies Enterococcus faecalis.
E. faecalis merupakan flora normal komensal yang habitatnya berada
di gastrointestinal dan rongga mulut, akan tetapi dapat menjadi
mikroorganisme patogen. Di rongga mulut E. faecalis adalah salah
satu jenis bakteri yang sering ditemukan pada infeksi rongga mulut,
infeksi saluran akar, abses periradikular dan sering terdeteksi
pada kasus perawatan endodontik yang gagal, termasuk pada pengisian
saluran akar dengan periodontitis apikalis yang persisten
(Athanassiadis et al., 2010). Enterococcus faecalis merupakan
bakteri yang tidak membentuk spora, tidak bergerak, metabolisme
fermentatif (karbohidrat menjadi asam laktat), fakultatif anaerob,
kokus gram positif dan tidak menghasilkan reaksi katalase dengan
hydrogen peroksida. Bakteri ini berbentuk ovoid dengan diameter
0,5-1 m dan terdiri dari rantai pendek, berpasangan atau bahkan
tunggal (Glick, 2012). Enterococcus faecalis juga merupakan suatu
mikroorganisme yang secara umum ditemukan pada infeksi endodontik
persisten. Prevalensi infeksi yang disebabkan oleh bakteri ini
telah mencapai angka 24-77%. Penemuan ini dapat dijelaskan melalui
variasi dari ketahanan dan virulensi dari bakteri Enterococcus
faecalis sendiri. Enterococcus faecalis dapat menyebabkan infeksi
endodontik primer dan infeksi periradikuler persisten. Pada infeksi
endodontik primer ditemukan bakteri ini sebanyak 4% sampai 40%.
Pada kegagalan perawatan endodontik didapatkan 9 kali lebih banyak
bakteri dibandingkan dengan kasus infeksi endodontik primer,
sedangkan pada infeksi periradikuler yang persisten sebesar 24%
sampai 77% (Stuart et al., 2006). Enterococcus faecalis terbukti
dapat bertahan hidup di dalam saluran akar sebagai organisme
tunggal dan resisten terhadap bahan-bahan antimikrobial yag umum
digunakan sehingga sulit dieliminasidari saluran akar secara
sempurna sehingga bisa timbul kegagalan perawatan saluran akar.
Bakteri ini resisten terhadap antibakteri seperti aminoglikosid,
aztreonam, sefalosforin, klindamisin, penisilin semi sintetik
(nafsalin dan oksasilin) serta trimetoprimsulfametaksasol.
Enterococcus faecalis mempunyai kemampuan penetrasi ke dalam
tubulus dentinalis sehingga memungkinkan bakteri tersebut terhindar
dari instrumentasi alat-alat preparasi dan bahan irigasi yang
digunakan selama preparasi biomekanikal (Mahmoudpur et al.,
2007)Virulensi bakteri ini disebabkan kemampuannya dalam
pembentukan kolonisasi pada host, dapat bersaing dengan bakteri
lain, resisten terhadap mekanisme pertahanan host, menghasilkan
perubahan patogen baik secara langsung melalui prosuksi toksin atau
secara tidak langsugn melalui rangsangan terhadap mediator
inflamasi. Faktor-faktor virulen yang berperan adalah komponen
aggregation subtanstance (AS), surface adhesins, sex pheromones,
loopotheichoic acid (LTA), extracelluler superoxide producrion
(ESP), gelatinase lytic enzyme, hyalurodinase, dan cytolisin toxin
(Athanassiadis et al., 2010). Gelatinase berkontribusi terhadap
resorpsi tulang dan degradasi dentin matriks organik. Hal ini
berperan penting terhadap timbulnya inflamasi periapikal.
Hyalurodinase membantu degradasi hyaluronan yang berada di dentin
untuk menghasilkan energi untuk organisme, sedangkan extracelluler
superoxide producrion dan cytolisinberperan aktif terhadap
kerusakan jaringan (Aswal&Beatrice, 2010). E. faecalis relatif
mudah dihancurkan dalam bentuk planktonik, tetapi menjadi lebih
tahan ketika berada dalam sistem saluran akar yang terinfeksi. Hal
ini mungkin disebabkan oleh aktivasi faktor virulensi, pembentukan
biofilm, atau invasi ke dalam tubulus dentin (Athanassiadis et al.,
2010).Enterococcus faecalis dapat berkolonisasi dalam saluran akar
dan bertahan tanpa bantuan dari bakteri lain. Bakteri ini
mengkontaminasi saluran akar dan membentuk koloni di permukaan
dentin dengan bantuan LTA, sedangkan AS dan surface adhesin lainnya
berperan pada perlekatan di kolagen. Cytolysin, AS-48 dan
bacteriosin menghambat pertumbuhan bakteri lain. Hal ini
menjelaskan rendahnya jumlah bakteri lain pada infeksi saluran akar
yang persisten sehingga Enterococcus .faecalis menjadi
mikroorganisme dominan pada saluran akar (Kayaoglu et al.,
2004).2.4 Uji Daya Antibakteri Uji daya antibakteri merupakan uji
sensitifitas suatu bahan atau obat terhadap bakteri. Berdasarkan
sifat daya kerjanya, ada antibakteri yang bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan
ada yang bersifat membunuh mikroba yang dikenal sebagai aktivitas
bakterisid. Konsentrasi minimal yang digunakan untuk menghambat
pertumbuhan dan membunuh mikroba masing-masing dikenal sebagai
Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal
(KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari
bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya
ditingkatkan (Tirta, 2010).Aktivitas antibakteri suatu bahan dapat
diukur secara invitro untuk menentukan kemampuan suatu antibakteri
serta kepekaan bakteri terhadap bahan yang diberikan. Ada dua cara
untuk menentukan aktivitas antibakteri secara in vitro (Parija CS,
2009):a. DilusiUji dilusi dilakukan untuk menentukan kosentrasi
hambat minimum (MIC) dari bahan antibakteri. MIC didefinisikan
sebagai konsentrasi terendah dari bahan antibakteri yang dapat
menghambat pertumbuhan organisme. Metode ini membutuhkan larutan
antibakteri yang telah di encerkan secara seri, yaitu dengan
mengencerkan bahan antibakteri dengan media cair sehingga di
dapatkan larutan dengan kadar berkelipatan setengah (16, 8, 4, 2,
1, 0.5, 0.25) Selanjutnya pada setiap tabung dimasukkan 0.1 ml atau
1 ml inokulum standart. Dan tabung dipakai sebagai kontrol positif
dan kontrol negatif tabung diisi media tanpa inokulum. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam dan diamati kekeruhan pada
masing-masing tabung. (Parija, 2009; Forbes, 2007). Beberapa metoda
yang digunakan untuk menentukan MIC (Parija, 2009):1. Metode Broth
dilution 2. Metode Agar dilution 3. Epsilometer test (E-test).b.
Metode disk difusiUji disk difusi merupakan metode yang paling
sering digunakan di laboratorium untuk menentukan kerentanan
bakteri yang di isolasi terhadap antibiotik. Pada metode ini,
seperti namanya disk ditetesi dengan konsentrasi antibiotik yang
sudah diketahui dan ditempatkan pada plate agar yang telah di
inokulasi dengan kultur bakteri yang akan diuji. Plate agar di
inkubasi pada suhu 37C selama 18-24 jam. Setelah dilakukanya metode
difusi, konsentrasi antibiotik akan memiliki nilai tinggi di sisi
disk yang ditetesi antibiotik dan akan semakin menurun jika
menjauhi disk. Kerentanan terhadap antibiotik ditentukan dengan
mengukur zona hambatan dari pertumbuhan bakteri pada daerah sekitar
disk. disk disusi terdiri dari 3 jenis, yaitu:1. metode difusi
Kirby-baeuer.2. Metode difusi Stokes.3.Primary dic diffusion
test