Mewujudkan Pluralisme Birokrasi di Indonesia ISSU reformasi birokrasi dan demokratisasi di Indonesia menjadi tema sentral diskursus bidang politik pasca Gerakan Reformasi 1998. Hal ini karena terdapat hubungan yang erat antara birokrasi dan demokrasi. Menurut Etzioni-Halevi (1985:54), reformasi birokrasi dapat berjalan bersama seiring dengan proses demokratisasi, dan demokratisasi dapat mempromosikan pembangunan birokrasi. Dengan kata lain semakin demokratis sistem pemerintahan, semakin besar peluang untuk mereformasi birokrasi. Sebaliknya, semakin netral dan profesional birokrasi, semakin besar kemungkinan terciptanya demokrasi politik. Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit birokrasi di era Orde Barunya Soeharto, yang mengalami politisasi cukup lama. Di era itu birokrasi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan staus quo. Sementara Partai politik (parpol)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Mewujudkan Pluralisme Birokrasi di Indonesia
ISSU reformasi birokrasi dan demokratisasi di Indonesia menjadi tema sentral diskursus
bidang politik pasca Gerakan Reformasi 1998. Hal ini karena terdapat hubungan yang
erat antara birokrasi dan demokrasi. Menurut Etzioni-Halevi (1985:54), reformasi
birokrasi dapat berjalan bersama seiring dengan proses demokratisasi, dan demokratisasi
dapat mempromosikan pembangunan birokrasi. Dengan kata lain semakin demokratis
sistem pemerintahan, semakin besar peluang untuk mereformasi birokrasi. Sebaliknya,
semakin netral dan profesional birokrasi, semakin besar kemungkinan terciptanya
demokrasi politik.
Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit
birokrasi di era Orde Barunya Soeharto, yang mengalami politisasi cukup lama. Di era itu
birokrasi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan staus quo. Sementara Partai
politik (parpol) nyaris tak berfungsi sebagaimana layaknya parpol di negara demokrasi.
Proses kebijakan publik hanya melibatkan elit birokrat dan militer, sementara parlemen
dan partai politik serta kekuatan masyarakat tidak memiliki akses dalam proses tersebut
(Zuhro, 1997:46-48).
Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan
pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi
pemerintahan. Proses transisi ini tentunya menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa
Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga
menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya (Mishra, 2002:1).
Tulisan ini akan membahas hubungan antara Gerakan Reformasi dan tuntutan reformasi
birokrasi dengan memfokuskan pada gerakan netralitas birokrasi dan dampaknya
terhadap demokratisasi pada umumnya dan penciptaan pluralisme birokrasi pada
khususnya. Bahwa relatif berhasilnya mewujudkan netralitas birokrasi khususnya dalam
memperkuat hak politik pegawai negeri sipil dan kesetaraan partai politik merupakan hal
penting untuk membangun iklim demokrasi.
Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi
(bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi
aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk
mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya
tanggungjawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial.
Kebangkitan Reformasi: Tekanan dari Bawah
Sejak awal tahun 1990-an partai politik relatif mendapatkan kebebasan dalam pemilihan
umum, demikian juga organisasi masyarakat menjadi lebih cair dan kompetitif
(MacIntyre, 1994:14). Meskipun pada periode itu terdapat tuntutan yang besar untuk
reformasi politik, demokratisasi tidak hadir sampai akhir tahun 1990-an. Indonesia
mengalamai perubahan politik secara gradual dalam periode 1989-1992 yang ditandai
dengan posisi kunci di eksekutif ditentukan melalui pemilihan.
Kecenderungan ini dilanjutkan dengan diterapkannya sistem multi-partai dan pemilu
yang relatif demokratis tahun 1999 dan pemilihan presiden langsung tahun 2004. Arti
penting dari fenomena-fenomena ini adalah bahwa Indonesia bergeser dari sistem
demokrasi perwakilan (melalui partai politik) ke demokrasi partispatorif untuk
menggantikan struktur otoritarian. Menariknya, kecenderungan ini secara reltif bahkan
berlangsung beberapa tahun sebelum Soeharto jatuh. Sebagai hasilnya, kekuasaan partai
politik dan parlemen relatif bisa mengimbangi kekuasaan eksekutif atau presiden.
Lebih dari itu, peran kekuatan sosial (societal forces) menjadi lebih penting sejak
Gerakan Reformasi, sehingga korupsi di birokrasi menjadi lebih tampak dan makin
terkuak. Korupsi menyebar mulai dari birokrasi pusat sampai level yang paling bawah.
Sebagaimana tercatat, korupsi yang terjadi di pemerintahan pada tahun 1980-an dan
1990-an secara umum cukup meningkat, khususnya diantara lingkaran keluarga Soeharto
dan para kroninya (Liddle, 1999:105).
Bahkan korupsi di Indonesia lebih memprihatinkan dibanding dengan negara lainnya
yang mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau korupsi menjadi isu sentral bagi Gerakan Reformasi. Masalah
korupsi ini adalah hal yang paling berat yang dihadapi Indonesia di era transisi. Tidak
seperti halnya Thailand dan Korea yang cukup berhasil mengatasi krisis dengan
mengedepankan management baru yang berorientasi pada reformasi pemerintahan dan
pelaksanaan demokrasi, pemerintah Orde Baru tidak mampu menyesuikan dengan
perkembangan ekonomi baru dan situasi politik selama periode 1997-1998.2 Sebagai
hasilnya, legitimasi pemerintahan Soeharto menurun drastis dan ia kehilangan
kepercayaan dari rakyat.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi pada periode itu memicu
munculnya Gerakan Reformasi 1998. Selain itu, otoriatarinisme dan maraknya korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) di bawah kepemimpinan Soeharto, juga merupakan faktor
pemicu yang tak kalah penting bagi gerakan ini. Mahasiswa, akedemisi, aktivis partai dan
beberapa politisi ikut bergerak, menuntut perubahan menyeluruh di bidang sosial,
ekonomi dan hukum dan diterapkannya sistem demokrasi. Lebih dari itu, Gerakan
Reformasi juga menuntut agar KKN diberantas karena merugikan negara dan
menghambat proses demokratisasi.
Kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenan tidak serta merta membuat demokrasi di
Indonesia berjalan mulus. Perubahan yang cukup signifikan yang tampak adalah adanya
transparansi di era transisi yang melibatkan partisipasi politik masyarakat secara
signifikan. Perubahan ini menghadirkan suatu hal yang berbeda bagi segmen utama
masyarakat, meski ini tidak perlu didefinisikan sebagai demokrasi liberal.
Dapatlah disimpulkan bahwa sejak tahun 1998 kecenderungan bangkitnya partisipasi
masyarakat (societal participation) tidak hanya menjadi lebih eksplisit, tapi juga makin
meningkat. Artinya bahwa perubahan politik yang muncul pada tahun itu terutama
disebabkan oleh tekanan yang kuat yang berasal dari rakyat untuk sebuah reformasi total.
Gerakan netralitas birokrasi
Gerakan netralitas birokrasi yang dimotori oleh sejumlah dokter di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (UI) atau disebut juga "Forum Salemba", merupakan gerakan yang
berkaitan langsung dengan Gerakan Reformasi 1998. Munculnya kesadaran yang tinggi
tentang perlunya mengubah tingkah laku, sikap dan orientasi dan budaya pegawai negeri
sipil sebagai aparat birokrasi publik, merupakan faktor penting pendorong munculnya
gerakan netralitas. Dampak dari gerakan ini relatif signifikan karena ikut mendorong
terwujudnya pemilu yang jujur, bebas dan adil, khususnya dalam pemilu 1999.
Kesadaran penting lainnya juga muncul melihat birokrasi Indonesia yang masih berjuang
meningkatkan transparansi, efektivitas, efisiensi, profesionalisme dan akuntabiltas
birokrasi. Termasuk juga upaya menciptakan good governance pemerintahan yang
berdasarkan hukum, kebijakan yang transparan, dan pemerintahan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Good governance juga menciptakan hubungan yang memadai antara negara-masyarakat
(state-society), yang menghargai keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan
politik. Fisibilitas proses ini disebut transparansi, sedangkan akuntabilitas merujuk pada
kondisi dimana hasil keputusan politik sedapat mungkin bisa dipertanggungjawabkan
(Indonesia Human Development Report, 2001:24-25). Akuntabilitas dapat diperbaiki bila
ada keterbukaan yang cukup besar.
Gagasan netralitas didasarkan atas kemungkinan memisahkan politik dari karir
administrasi (public service) dalam pemerintahan dan depolitisasi public service.
Menurut Asmerom dan Reis (1996:22-23), netralitas birokrasi memerlukan beberapa
karakteristik penting:
"Politics and policy are separated from administration; public servants are appointed and
promoted on the basis of merit rather than on the basis of party affiliation or
contributions; public servants do not engage in partisan political activities; public
servants do not express publicly their personal views on government policies or
administration; public servants provide forthright and objective advice to their political
masters in private and confidence. In return, political executives protect the anonymity of
public servants by publicly accepting responsibility for departmental decisions".
Lebih lanjut Asmerom dan Reis (1996:27) juga berpendapat bahwa birokrasi yang tidak
terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan. Dua pakar ini juga
mengatakan bahwa netralitas dari public service adalah komplementer terhadap merit
system, dimana sistem rekrutmen dan promosi dalam berbagai posisi di public service
ditentukan oleh merit, yaitu yang mendasarkan pada mekanisme legal rasional dan
bukannya mendasarkan pada afiliasi politik atau patronase.
Merit system ini memberikan keuntungan berupa terciptanya sistem yang langgeng,
berkesinambungan, stabil dan imparsialitas dalam public service dan membangun
profesionalisme. Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan bahwa idealnya birokrasi
tidak berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada adminsitrasi dan rasionalitas
(Asmerom dan Reis, 1996). Hal ini tentunya relevan dengan birokrasi Indonesia di era
transisi yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan institusinya.
Adapun gerakan netralitas birokrasi menuntut tiga hal penting, yaitu:
1. mengakhiri politisasi birokrasi yang sangat marak di era Orde Baru;
2. pegawai negeri sipil netral di dalam pemilu; dan
3. Korpri tidak boleh mendukung salah satu partai politik.
Tiga tuntutan ini mengindikasikan dengan jelas bahwa gerakan netralitas secara tegas
menuntut birokrat agar netral dalam politik, yaitu tidak aktif dan terlibat mendukung
partai tertentu sementara mereka masih menjadi PNS.
Gerakan ini mendapat dukungan dari Menteri Penerangan, Yunus Yosphia dan
sekretarisnya I.G.K Manila dengan menghapus Korpri di departemennya. Menurut
mereka tidak ada gunanya mempertahankan Korpri karena dianggap tidak relevan dengan
aspirasi dan kepentingan PNS. Demikian juga dengan Departemen Kehutanan yang
mengumumkan netralitasnya dan tidak akan berafiliasi dengan partai tertentu. PPP dan
PDI dan kelompok muda Golkar juga ikut mendukung gagasan netralitas birokrasi
(Republika, 5 Januari 1999).
Bahkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ikut menyemangati dan
mendukung ide tersebut yang disampaikan melalui tulisan kritisnya di media massa.
Menariknya kritik yang disampaikan para peneliti ini mendapatkan dukungan dari Kepala
BAKN, Prof Sofian Effendi, yang menegaskan bahwa peneliti mempunyai hak untuk
berbicara atas nama aspirasi rakyat.
Meskipun gerakan netralitas ini mendapat kecaman dari Ketua Korpri pusat, Feisal
Tamin, yang mengatakan bila Korpri dibubarkan maka tidak akan ada lagi PNS, tekad
untuk mewujudkan birokrasi yang netral tidaklah surut. Untuk merespon kecaman Feisal
Tamin itu, Yunus Yosphia mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara Korpri dan
rekrutmen PNS. Bubarnya Korpri di Departemen Penerangan merupakan perwujudan
dari aspirasi anggota Korpri itu sendiri (Kompas, 15 Juni 1999).
Polemik ini justru mendorong gerakan netralitas birokrasi makin meluas dan relatif
berpengaruh sampai ke tingkat pemerintah daerah. Dengan meluasnya gerakan netralitas
ke daerah-daerah, makin besar pula peluang meluasnya pluralisme birokrasi di daerah.
Kiranya jelas bahwa gerakan reformasi dan netralitas tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Bila Gerakan Reformasi dianggap sebagai perjuangan untuk memperbaiki sistem
politik, sosial, ekonomi dan hukum, maka gerakan netralitas lebih memfokuskan pada
perbaikan birokrasi.
Lebih dari itu, Gerakan Reformasi terutama ditujukan untuk memberantas KKN,
sedangkan gerakan netralitas merupakan respons terhadap meluaskan tuntutan untuk
mewujudkan good governance, yang cenderung meningkat tajam setelah Soeharto
tumbang. Gerakan netralitas juga lebih memfokuskan pada upaya untuk merekonfigurasi
birokrasi dalam rangka memperbaiki kualitasnya dan mewujudkan pemilu yang bebas
dan jujur, dan untuk membantu mengurangi KKN. Dampak positif lainnya: publik
menjadi sadar arti pentingnya mendemokratisasikan (democratising) dan
mendebirokratisasikan (debureaucratising) Indonesia untuk kepentingan pemulihan
ekonomi Indonesia.
Peran Kekuatan Sosial dalam Gerakan Netralitas.
Meskipun gerakan netralitas birokrasi awalnya dimotori oleh "Salemba Forum" dan elit
politik tertentu, gerakan ini mendapat dukungan luas dari kekuatan sosial dalam
masyarakat. Peran mereka ini sangat krusial dalam mem-pressure pemerintah untuk
menerapkan peraturan yang tegas tentang PNS.
Mereka menanyakan keberadaan birokrasi yang dalam banyak hal makin merosot
kualitasnya setelah tumbangnya Soeharto. Perdebatan luas mengenai issu netralitas
birokrasi pun digelar sejak periode 1998-1999. Tidak sedikit tulisan kritis berkaitan
dengan issu itu dimuat dalam media massa seiring dengan perdebatan yang memanas di
parlemen yang membahas issu yang sama.
Tulisan-tulisan di media massa tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap opini publik
pada umumnya dan anggota dewan pada khususnya. Jelas pula bahwa pengaruh dari
kekuatan sosial ini menghasilkan partisipasi sosial yang lebih signifikan meskipun masih
terkesan belum maksimal.
Informasi tentang kebijakan publik disebarluaskan oleh media massa mulai dari pusat
sampai daerah. Dalam kaitan ini radio dan pers penting dalam menyebarkan informasi
mengenai isu nasional dan lokal. Demikian juga organisasi non-pemerintah (Ornop)
berperan penting dalam meningkatkan kesadaran politik rakyat melalui program
advokasinya baik di tingkat pusat maupun daerah.
Advokasi yang dilakukan Ornop di daerah tentang kebijakan pemerintah daerah (Pemda)
telah mendorong rakyat untuk ikut berpartisipasi, dan ini mempunyai makna penting
karena reformasi birokrasi tidak bisa semata-mata hanya menggantungkan dari inisiatif
pemerintah (from within).
Dengan kata lain, kekuatan sosial tersebut mempromosikan partisipasi dan pluralisme,
yang dalam banyak hal melemahkan aparat pemerintah sebagai agen kontrol sosial. Peran
aparat birokrasi ini akan terus dipertanyakan, karena terciptanya good governance dan
pemberdayaan civil society menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia di era transisi.
Implementasi PP 5/1999 dan PP 12/1999
Disahkannya PP 5/1999 dan PP12/1999 tentang PNS yang menjadi Anggota Partai
Politik ini merupakan upaya konkret kekuatan sosial dalam masyarakat, partai politik dan
Pemerintah. Masalah boleh tidaknya PNS ikut kampanye atas nama partai sangat
menonjol sejak pertengahan 1998 sampai sebelum pemilu Juni 1999.
Dalam hal ini, Golkar berupaya keras agar kader Golkar yang menjadi menteri dan
menduduki pos-pos kunci di pemerintahan waktu itu dibolehkan berkampanye. Bukan
rahasia lagi kalau Golkar di era Orde Baru sangat menggantungkan perolehan suaranya
dari birokrasi, meskipun hal ini jelas-jelas melanggar hak asasi PNS, dan membuat
mereka terpaksa memilih Golkar dalam pemilu. Keinginan Golkar tersebut mendapat
tantangan, baik dari kekuatan sosial maupun partai politik (PDI dan PPP) selama periode
1998-1999.
Disahkannya PP 5/1999 dan PP 12/1999 mengakhiri kontroversi tentang keterlibatan
PNS dalam politik. PP ini membolehkan PNS untuk menggunakan hak politiknya
(memilih) dalam pemilu, tapi tidak membolehkan PNS menjadi anggota atau pengurus
partai. Dengan kata lain, PNS dilarang berpolitik praktis sementara mereka masih
menjadi PNS. Ketentuan ini dinilai memberikan pengaruh positif terhadap birokrasi
karena relatif berhasil membatasi keterlibatan PNS dalam politik.
Hal ini bisa dilihat dari keterkaitan PNS dengan Partai Golkar di sebagian besar wilayah
Indonesia yang tampak mulai merenggang.4 Lebih dari itu, dengan diterapkan 3 UU
Politik Baru: UU No.2/1999 tentang Partai Politik, UU No.3/1990 tentang Pemilihan
Umum, dan UU No.4/1999 tentang Kedukakan MPR, DPR dan DPRD, membuat rakyat
makin sadar tentang hak politiknya. Menariknya, dengan diterapkannya sistem multi
partai dan UU politik baru tersebut, hal ini telah menyadarkan PNS bahwa birokrasi tidak
harus identik dengan Golkar.
Penulis berpendapat bahwa PP 5/1999 dan PP 12/1999 yang mencegah PNS menjadi
anggota atau fungsionaris partai merupakan langkah positif. Setidak-tidaknya untuk
waktu sementara ini, di mana politik Indonesia masih mengalami beberapa penyesuaian.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pada level atas, birokrat terlibat dalam
perumusan kebijakan. Dan pada level atas ini pula, pemerintah baru perlu memiliki hak
untuk memilih penasehat public service yang bisa dipercaya supaya menarik bagi
program partai. Sementara itu di bawah level yang paling atas, dimungkinkan bagi PNS
untuk profesional dan loyal pada pemerintah yang terpilih. Artinya, pada level atas,
birokrat memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga ahli dalam menopang program-
programnya, dan pada level di bawahnya, birokrat bekerja secara profesional dan loyal
kepada pemerintah yang sah.
Dengan peraturan baru itu berarti PNS tidak boleh memegang dua posisi (sebagai PNS
dan fungsionaris partai). Sebagai contoh, bila PNS ingin ikut kampanye, maka terlebih
dulu harus mendapatkan ijin dari atasannya. Jika permohonannya itu dikabulkan, maka
PNS harus mengundurkan diri dan selama tenggang waktu satu tahun PNS tadi akan
mendapat gaji sebagai kompensasi (bab 7 PP 12/1999).
Dalam hal tertentu, hal ini bisa diperpanjang sampai lima tahun, tapi tanpa gaji. Demikian
juga dengan personil angkatan bersenjata yang ingin bergabung dengan partai politik juga
diwajibkan mengundurkan diri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1999: 193-
194, bab 7 PP12/1999). Menurut Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN), Feisal
Tamin, pada periode 1999-2000 terdapat sekitar 636 PNS yang mengajukan diri untuk
bergabung dengan partai. Mereka ini harus memutuskan apakah tetap menjadi PNS atau
keluar. Lebih lanjut Tamin mengatakan bahwa mereka yang masih memegang dua posisi
ini akan dikeluarkan sesuai dengan peraturan pemerintah (Jakarta Post, 24 Mei 2002).
Makna penting netralitas birokrasi bagi demokratisasi Indonesia mengalami kegagalan
dalam mengelola pembangunan ekonomi dan perubahan sosial di era Orde Baru karena
penyelewengan peran birokrasi. Kegagalan yang sama juga terjadi dalam bidang
penciptaan good governance. Dengan dua kegagalan itu masyarakat Indonesia menuntut
agar pemerintah pasca 1998 secara sunggguh-sungguh mewujudkan perbaikan di kedua
bidang tersebut. Pentingnya good governance ini karena terkait langsung dengan
kebijakan ekonomi makro (Hadi Soesastro, 1999:7). Sementara itu, penguatan sistem
checks and balances dalam sistem politik Indonesia masih dalam taraf proses
pembelajaran. Dengan fenomena seperti ini, birokrasi di era transisi sekarang ini tidak
hanya ditantang mampu mengelola pembangunan ekonomi, tapi juga melakukan
restrukturisasi politik.
Upaya pemerintah di era transisi, khususnya di bawah pemerintahan B.J. Habibie (1998-
1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001), menunjukkan keinginan untuk
memperbaiki birokrasi. Tiga indikasi penting dari upaya Habibie ini adalah (1)
ditetapkannya PP 5/1999 dan PP 12/1999, (2) disahkannya tiga paket UU politik baru
(mengenai Pemilu, partai politik dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD), dan
(3) keengganan Habibie menggunakan birokrasi dalam pemilu 1999.
Beberapa kebijakan Habibie tersebut berpengaruh positif terhadap proses demokratisasi
di Indonesia, mengingat terobosan politik yang ia lakukan itu tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dua PP dan tiga UU tersebut tidak hanya memperjelas posisi birokrasi
dalam konteks sistem politik Indonesia, tapi juga memberikan ketegasan hukum yang
sifatnya mengikat bagi PNS yang hendak berpolitik (Zuhro, 2003).
Dampak positif kebijakan Habibie ini dapat dilihat dalam pemilu 1999 di provinsi-
Indonesia barat, yang hasilnya sebagian besar dimenangkan oleh partai non-Golkar.5
Sebagai contoh di Jawa Timur: PKB dan PDI-P, masing-masing mendapatkan kursi 32
dan 31, sementara Partai Golkar berada di posisi ketiga, dengan 12 kursi.
Padahal dalam pemilu 1997 Golkar di wilayah ini mendominasi kursi di DPRD, dan
selama pemilu Orba, Golkar tak pernah terkalahkan. Sebaliknya di provinsi Indonesia
timur, sebagian besar masih dimenangkan Partai Golkar. Sebagai contoh, Golkar menang
telak di Provinsi Sulawesi Selatan dengan 44 Kursi (lihat tabel 1). Kemenagan Golkar di
Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari issu naiknya Habibie (yang merupakan putra
daerah) menjadi kandidat presiden. Selain itu, selama Orba wilayah ini juga merupakan
basis kuat Golkar di mana sebagian besar tokoh lokal atau public figures sangat dekat
dengan partai ini.
Hal tersebut berbeda dengan Jawa Timur, yang merupakan basis pendukung PKB dan
PDI-P, respons positif masyarakat Jawa Timur menunjukkan persetujuannya terhadap
gagasan netralitas birokrasi. Adanya perbedaan wilayah dan basis politik ini berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan netralitas PNS, terutama dalam mempengaruhi sikap
politik, orientasi politik dan respon mereka terhadap PP 5/1999 dan PP 12/1999. Untuk
sebagian besar wilayah Indonesia timur, hubungan PNS dengan Golkar relatif tidak
banyak berubah. Sedangkan untuk wilayah Indonesia barat PNS cenderung memiliki
kebebasan untuk memilih wakilnya. Mereka tidak segan-segan lagi memilih partai yang
disukai tanpa harus merasa takut dan mendapat teguran dari atasan. Sistem multi partai
memberikan keleluasaan dan peluang tersendiri bagi PNS di Jawa Timur untuk memilih
partai yang mereka nilai tepat, dan ini tidak harus ke Golkar.
Di bawah pemerintahan Wahid, beberapa terobosan politik berkaitan dengan birokrasi
juga dilakukan. Sebagai contoh konkret, di awal pemerintahannya Wahid membubarkan
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.6 Selanjutnya ia juga menerapkan
kebijakan "negative growth" untuk PNS (tidak ada lagi rekrutmen PNS baru dan
himbauan untuk pensiun dini bagi PNS yang merasa dirinya tidak bisa berkarier lagi).
Bersamaan dengan itu pula Wahid tidak membolehkan posisi tertentu di birokrasi seperti
dirjen, sekretaris direktur dan deputi dipegang oleh politisi.
Hal ini tak lain dimaksudkan untuk menghindari politisasi birokrasi. Dan tak kalah
penting dari itu, Wahid berupaya mengurangi kekuasaan (power) Sekretrariat Negara
(Sekneg) dengan membentuknya menjadi tiga bagian:
(1) Sekretaris Negara,
(2) Sekretaris Presiden, dan
(3) Sekretaris Kabinet.
Kebijakan ini tentunya sangat mengagetkan karena Sekneg selama pemerintahan Orba
dan Habibie dinilai sangat berkuasa dan solid. Tapi, dari perspektif perbaikan birokrasi,
upaya yang dilakukan Wahid ini merupakan suatu tindakan yang memberikan shock
therapy bagi proses perampingan birokrasi yang profesional dan pengurangan dominasi
kekuasaan di satu lembaga negara (Sekneg) (Zuhro, 2002).
Pembagian Sekneg menjadi tiga bagian itu setidak-tidaknya telah mengurangi
kekuasaannya, sehingga Sekneg yang tadinya tampak sangat "angker" dan tertutup itu
akhirnya menjadi relatif agak transparan. Demikian juga dengan implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah sejak Januari 2001, telah memberikan dampak besar
terhadap proses demokratisasi di tingkat lokal. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
upaya Wahid telah memberikan basis yang cukup kuat bagi proses liberalisasi dan
demokratisasi ke depan.
Di era kepemimpinann Megawati Soekarnoputri (2001-2004), birokrasi tidak mengalami
perubahan apapun. Bahkan Presiden Megawati sendiri sempat mengeluhkan betapa
buruknya birokrasi Indonesia, yang digambarkan sebagai "keranjang sampah". Meskipun
telah memahami bahwa birokrasi di negeri ini tidak profesional karena tidak efisien dan
tidak efektif, upaya konkret untuk memperbaikinya tidak tampak. Selama periode