-
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Reformasi Birokrasi di Era Otonomi Daerah
Oleh: Alfiandri
Abstract
Government bureaucracy has a service function, which is
currently under the spotlight of all parties, including local
societies. As we know, local governments are the real players for
the success of regional autonomy. With the issuance of the Act No.
32 of 2004, regional autonomy as declared by the (central)
government has encouraged changes in all areas, more particularly
in regional administration. The progress of a nation is partly
indicated by the ability of the bureaucratic apparatus in carrying
out its duties and functions as a public servant in a professional
and accountable manner. If the public is well served, it means the
bureaucracy has succeeded in delivering good public service. In
reality, obstacles and shortcomings are still found in those
services, which often cause disappointment. This discontentment of
bureaucracy may include such factors as convoluted, sluggish,
costly and ambiguous. Therefore, the regional autonomy requires a
bureaucratic reform. Culture and structural reforms in the
bureaucracy is a fundamental strategy to provide certainty and
restore public confidence in the government credibility.
Keywords: bureaucracy, decentralization, public service.
Abstrak
Birokrasi pemerintah mempunyai fungsi pelayanan, yang saat ini
menjadi pusat perhatian semua kalangan, tidak terkecuali di daerah.
Sebagaimana diketahui bersama, pemerintah daerah merupakan ujung
tombak bagi berhasilnya otonomi daerah. Dengan dikeluarkannya UU.
No 32 Tahun 2004, otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah,
membawa konsekuensi adanya perubahan di segala bidang, khususnya
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena kemajuan suatu
bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik
kepada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila publik
dapat terlayani dengan baik oleh aparatur birokrasi, maka dengan
sendirinya aparatur birokrasi mampu menempatkan posisi dan
kedudukannya yaitu sebagai civil servant atau public service. Namun
kenyataan masih banyak ditemui adanya hambatan dan kekurangan dalam
memberikan pelayanan, sehingga menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan
masyarakat berkaitan dengan pelayanan birokrasi antara lain,
berbelit-belit, lamban, mahal dan tidak transparan. Oleh karena
itu, otonomi daerah yang dijalankan pemerintah, mau tidak mau
membawa konsekuensi perlunya pembaharuan dalam memberikan
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim
Raja Ali Haji
Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
180
pelayanan masyarakat dalam wujud reformasi birokrasi. Reformasi
kultur dan struktur dalam tubuh birokrasi merupakan strategi
mendasar untuk memberikan keyakinan dan mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah.
Kata kunci: birokrasi, otonomi daerah, pelayanan publik.
A. Pendahuluan
Birokrasi yang sederhana memudahkan masyarakat menagih
hak-haknya. Artinya, di era otonomi daerah1 yang ditandai dengan
pemilihan langsung kepala daerah secara langsung, masyarakat tidak
perlu kehilangan banyak waktu hanya sekadar mengurus kartu tanda
penduduk atau dokumen kenegaraan lain. Hal tersebut mengingat
tujuan kebijakan desentralisasi yaitu guna menciptakan suatu sistem
pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan dimana pemerintah pusat
dapat meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan masyarakat, dan
mengawasi pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang
juga merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan
memanfaatkan keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga
diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung
jawab dalam mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang ada di daerah.2
Pelayanan kepada masyarakat merupakan hal utama bagi birokrasi
di Indonesia. Tanpa adanya sikap yang baik dalam bentuk kinerja
mempermudah urusan masyarakat maka semangat desentralisasi dan
otonomi daerah akan pudar. Pasalnya, pendelegasian wewenang yang
dahulu dimiliki secara mutlak oleh pemerintah pusat kini telah
menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah di daerah. Namun demikian,
setelah genderang otonomi daerah ditabuh sejak awal reformasi 1998
hingga kini potret pelayanan kepada masyarakat belum memuaskan.
Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk bahkan dijelaskan
nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas kualitas
layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas
birokrasi masih sangat rendah. Bahkan,
1 Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah,
otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Paradigma yang sesuai dengan
penyelenggaraan otonomi daerah adalah demokratisasi. Lihat:
Soenyono, Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.,
dalam Andi A. Mallarangeng, dkk. Otonomi Daerah: Perspektif
Teoritis dan Praktis. (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001), p.
116.
2 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah Kota Surakarta,
Tesis, pada Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas
Diponegoro Semarang 20019, p. 2.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
181
menurut The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat
indeks competitiveness birokrasi Indonesia berada pada urutan
terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan
100 negara lain di dunia.
Hal itu terbukti dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa
dari segi orientasi pelayanan birokrasi, masih cenderung tidak
sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas
melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden dalam
penelitian itu menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan lain di
luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis
mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus
mengerjakan tugas-tugasnya3
Menilik kondisi demikian, terlihat bahwa semangat desentralisasi
belum menyatu dalam diri aparatur negara di daerah. Masih banyak
aparatur yang berjiwa sentralisasi, sehingga tugas-tugas
menyejahterakan rakyat di daerah belum mampu diemban dengan baik.
Ironisnya, aparatur di daerah pun seringkali belum memahami
kewenangan yang luas di era desentralisasi ini. Aparatur pemerintah
daerah sudah selayaknya mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen
pemerintahan seperti perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pengarahan (actuating), dan pengawasan (controlling)
secara mandiri dan bebas dari campur tangan pemerintah pusat.
Dengan desentralisasi juga daerah dapat menentukan bentuk
organisasi, mengembangkan budaya birokrasi, dan menentukan standar
kriteria pencapaian tujuan yang dipandang sesuai dengan kebutuhan
dan aspirasi lokal.4
Namun, kini birokrasi tidak lagi mampu memenuhi tuntutan
masyarakat tersebut. Birokrasi lama yang didesain untuk bekerja
lambat, berhati-hati, dan metodologis sudah tidak dapat diterima
oleh konsumen yang memerlukan pelayanan cepat, efisien, tepat
waktu, dan simpel (sederhana). Apalagi sekarang telah memasuki era
globalisasi yang menuntut segala sesuatunya berjalan serba cepat
dan tepat.
Oleh karena itulah usaha untuk mereformasi birokrasi Indonesia
harus dilakukan. Gerakan reformasi ini menghendaki birokrasi
memiliki netralitas politik, transparan, responsibel, akuntabel,
bersih dan berwibawa. Untuk mencapai tujuan mencapai atau
menciptakan birokrasi yang lebih baik, kinerja birokrasi dan
penyelenggaraan pemerintahan (daerah) yang lama harus segera dapat
ditinggalkan dan diganti dengan paradigma birokrasi yang baru. Hal
tersebut perlu agar pelaksanaan
3 Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan
Administrasi, (Semarang:
Puskodak Undip, 2004 ), p. 131.4 Myma Nurbarani, Reformasi
Birokrasi Pemerintah, p. 5.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
182
desentralisasi (otonomi daerah) tidak menjadi sia-sia akibat
terjadinya inefisiensi di dalam tubuh birokrasi pemerintah.5
Ketika inefisiensi masih menggurita di era otonomi daerah, maka
apa yang selama sudah dicapai ini masih perlu terus diperbaiki.
Salah satunya adalah dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di daerah akan mendorong
aparatur negara bertanggung jawab atas tugas dan amanatnya. Dengan
demikian pemerintah daerah diharapkan dapat menghasilkan perubahan
yang berkesinambungan dalam proses tata pemerintahan dan
pengambilan keputusan di daerah. Setelah sebelas tahun otonomi
daerah berlangsung, sudah cukup banyak reformasi dan perubahan yang
terjadi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini yang hendak dikaji
adalah bagaimana reformasi birokrasi berperan dalam membangun
otonomi daerah.
B. Konsep dan Ciri Birokrasi
Pengertian birokrasi, berasal dari istilah Yunani, yaitu dari
kata Bureau dan Kratia . Bureuau berarti meja atau kantor, sedang
Kratia berarti pemerintahan. Jadi menurut asal katanya, birokrasi
berarti pemerintahan melalui kantor. Jika ditinjau dari sudut
administrasi dan manajemen, birokrasi berarti suatu badan
administrasi atau badan manajemen. Dinamakan badan administratif
atau badan manajemen karena setiap kegiatan atau setiap
penyelenggaraan kerja dalam bidang apapun diperlukan suatu badan
atau organ sebagai tempat di mana penyelenggaraan kegiatan itu
diadakan. Jadi birokrasi atau badan administrasi adalah suatu badan
yang menyelenggarakan suatu kegiatan atau pekerjaan untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan baik dalam bidang pemerintahan atau
swasta.6
Birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hirarki, yang
ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional untuk mengoordinasikan
pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas
administrasi agar mencapai tujuan dengan lebih efektif dan efisien.
Birokrasi ditandai dengan hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung
jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Birokrasi diperlukan
kehadirannya dalam suatu negara modern sebagai penghubung antara
pemerintah dengan rakyat, untuk memberikan layanan terbaik kepada
publik. Namun dalam kenyataannya,
5 Ibid., p. 6. 6 Sedarmayanti, Reformasi Administarsi Publik,
Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan
Masa Depan Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang
baik, (Bandung: Refika Aditama, 2009), p. 3.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
183
tidak ada organisasi yang menyerupai tipe birokrasi yang ideal.
Namun setidaknya terdaat beberapa ciri ideal dari birokrasi, yaitu
:7 1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi
oleh
jabatannya manakala ia menjalankan tugas atau kepentingan
individual dalam jabatannya.
2. Jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarkhi dari atas ke
bawah dan ke samping.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarkhi itu
secara spesifik berbeda satu sama lain.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus
dijalankan. 5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi
profesionalitasnya. 6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak
untuk menerima pensiun
sesuai dengan tingkatan hierarkhi jabatan yang disandangnya. 7.
Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang
obyektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan
jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan
keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan
suatu system yang dijalankan secara disiplin.
Sebagaimana dijelaskan di muka, birokrasi selama ini masih
dipandang negatif oleh masyarakat, padahal birokrasi mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam memberikan pelayanan. Penilaian
yang negatif tersebut disebabkan beberapa factor, antara lain: 8 1.
Banyak pejabat atau pegawai yang terlalu berpegang teguh pada
peraturan yang berlaku, tidak dapat menyesuaikan diri dengan
situasi yang sedang berlangsung.
2. Tidak adanya human relations yang harmonis dalam instansi,
sehingga antara pejabat yang satu dengan yang lain tidak saling
kenal meskipun dalam satu lingkungan
3. Ada sementara pegawai yang dengan sengaja memperlambat urusan
dengan maksud tertentu
4. Para pejabat banyak yang ingin menunjukkan kekuasaannya. 5.
Ada pejabat atau pegawai yang menentang kebijaksanaan pimpinan. 6.
Kebijaksanaan yang ditetapkan pimpinan tidak dimengerti oleh
bawahannya sehingga kebijaksaan tersebut tidak dapat
dilaksanakan. 7. Banyak pejabat atau pegawai yang tidak mau
menerima perubahan
dalam sistem, metode dan prosedur kerja.
7 Miftah Thoha, Dimensi Prima Administrasi Negara, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2001), p.
17. 8 Ibid., p. 18.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
184
Weber pernah membuat delapan proposisi tentang birokrasi, salah
satunya adalah administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen
tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai
pusat organisasi modern. Berdasarkan proposisi ini dapat diketahui
bahwa budaya tulis menjadi ciri utama birokrasi. Sesuai prisip
impersonal dari birokrasi, budaya tulis merupakan perwujudan
tanggung jawab dalam rangka pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan
dokumentasi secara tertulis, juga akan memperjelas tanggung jawab
setiap eselon organisasi dalam menjalankan fungsinya.9
Melalui revitalisasi ini, birokrasi publik diharapkan lebih baik
dalam memberikan pelayanan publik serta menjadi lebih profesional
dalam menjalankan tugasnya serta kewenangannya. Guna mencapai suatu
pelayanan publik yang baik memang banyak hal-hal yang perlu
diperbaiki dan salah satunya melakukan pembaharuan birokrasi.
Birokrasi harus bisa mengurangi bebannya dalam pengambilan
keputusan dengan membaginya kepada lebih banyak orang yang mana
memungkinkannya lebih banyak keputusan dibuat ke bawah atau kepada
pinggiran ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat yang akhirnya
menjadi tidak berfungsi baik dalam memberikan pelayanan publik.
Konsep desentralisasi kemudian yang akan menciptakan birokrasi yang
lebih fleksibel, efektif, inovatif, serta menumbuhkan motivasi
kerja daripada yang tersentralisasi. Dan untuk menjalankan fungsi
pelayanan publik yang baik maka dibutuhkan mesin birokrasi yang
rasional, yaitu yang terwujud dalam bentuk reformasi birokrasi.
Tujuan dilaksanakannya desentralisasi melalui pemberian otonomi
kepada daerah adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
daerah. Di sisi lain, melalui pelaksanaan otonomi pemerintah daerah
diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan potensi di daerahnya
masing-masing sehingga mereka akan mampu melakukan pembangunan
daerah. Kesejahteraan rakyat sebagaimana hendak diwujudkan melalui
pelaksanaan otonomi ini hanya mungkin dapat dicapai jika daerah
mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sebagai model utama
untuk melakukan pembangunan.10
Hardjosoekarto mengusulkan tiga strategi pembenahan yaitu
privatisasi, pelayanan prima, dan membangun visi maupun orientasi
baru. Atmosudirdjo mengusulkan perlunya semangat kewirausahaan dan
peningkatan kinerja pelayanan aparatur daerah. Sementara itu
Kristiadi
9 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah, p. 40-41. 10
Ibid., p. 44.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
185
mengusulkan perlunya penerapan manajemen modern di daerah.11
Usulan lain yang lebih lengkap menuntut manajemen pelayanan publik
untuk lebih profesional, memiliki jiwa entrepreneur, dan mampu
bertindak sebagai fasilitator. Manajemen pelayanan publik
diharapkan dapat menjadi lebih bersifat administratif. Konsep atau
formula tersebut dikenal sebagai New Public Management (NPM), yaitu
manajemen pelayanan yang berwatak entrepreneurship
(wirausaha).12
Doktrin New Public Management (NPM) dan Reinventing Government
ini didasarkan pengalaman reformasi pemerintahan di Amerika, Eropa
dan New Zealand, yang dipasarkan melalui kebijakan Bank Dunia ke
negara-negara berkembang. NPM dari satu sisi dianggap sebagai upaya
pembebasan manajemen pemerintahan dari konservatisme administrasi
klasik dengan jalan memasukkan cara bekerja sektor swasta ke dalam
sektor pemerintahan. Dengan demikian sejalan dengan pandangan.
Osborne dan Gaebler NPM mengubah perspektif kerja pemerintah
menjadi sejajar dengan sektor swasta Konsep reinventing government
yang diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler ini sebenarnya adalah
sebuah kritikan yang dialamatkan kepada konsep hirarki birokrasi
milik Weber. Menurut mereka, pandangan Weber mengenai birokrasi
dinilai sudah tidak lagi efisien dan efektif dalam rangka
memberikan pelayanan publik apalagi jika dikaitkan dengan
perkembangan jaman.13
Terdapat merumuskan sepuluh prinsip birokasi yang memiliki jiwa
entrepreneur, yaitu: Pemerintahan katalis, mengarahkan ketimbang
mengayuh; Pemerintahan milik masyarakat, memberi wewenang ketimbang
melayani; Pemerintahan yang kompetitif, menyuntikkan persaingan ke
dalam pemberian pelayanan; Pemerintahan yang digerakkan oleh misi,
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan; Pemerintahan
yang berorientasi hasil, membiayai hasil dibandingkan dengan
masukan; Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan
pelanggan bukan birokrasi; Pemerintahan wirausaha, menghasilkan
dibandingkan dengan membelanjakan; Pemerintahan antisipatif,
mencegah daripada mengobati; Pemerintahan desentralisasi;
Pemerintahan berorientasi pasar, mendongkrak perubahan melalui
pasar.14
New Public Management (NPM) ini adalah model manajemen pelayanan
publik yang memiliki ciri yang lebih mengarah pada inside the
organisation, yaitu: pertama, memfokuskan aktivitasnya hanya
pada
11 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah, p. 45. 12
Ibid. 13 David Osborne dan Ted Geabler, Mewirusahakan Birokrasi,
(Jakarta: Pustaka,
Binaman Persindo, 1996), p. 29-341 14 Myma Nurbarani, Reformasi
Birokrasi Pemerintah, p. 46.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
186
kegiatan manajemen, tidak pada aktivitas kebijakan. Kedua, NPM
mencoba melihat manajemen pelayanan publik pada segi kinerja
(performance) dan efisiensi, dan tidak dari segi politis. Ketiga,
pemecahan manajemen pelayanan publik menjadi badan-badan kecil dan
sederhana yang berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna
jasa (user-pay bases). Keempat, menggunakan landasan pasar sebagai
daya dorong bagi terciptanya kompetensi. Kelima, pemangkasan
ekonomi biaya tinggi sehingga ongkos untuk memperoleh pelayanan
menjadi lebih murah.
NPM menurut Rhodes juga ditandai dengan gaya manajemen yang
berorientasi pada output, cara tersingkat, penggunaan insentif
moneter dan kebebasan pengelolaan. Cara pengelolaan ini dinilai
sesuai dengan semangat desentralisasi. NPM juga diasumsikan bahwa
semangat yang ada di dalam tubuh birokrasi publik ketika berhadapan
dengan pengguna jasanya bukanlah how to steer tetapi how to serve,
dan birokrasi publik haruslah berpikir secara strategis (think
strategically) dan bertindak secara demokratis (act democratically)
dalam mewujudkan pelayanan yang baik terhadap warga negara.15
Ide New Public Management (NPM) dan model reformasi
administratif lainnya sejalan dengan perkembangannya telah menyebar
ke seluruh penjuru dunia. NPM muncul sebagai bentuk yang mendorong
pemerintah melakukan apa yang dinamakan reformasi di tubuh
birokrasi. Hal ini didasarkan pada pengalaman pemerintah Amerika
Serikat yang kala itu dikritik karena tidak dapat memenuhi
kebutuhan dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Kemudian
dalam perkembangannya, model NPM ini melekat dalam agenda
negara-negara yang sedang berkembang untuk mendorong
pemerintahannya membentuk suatu tata pemerintahan yang baik atau
disebut sebagai good governance.16
Untuk dapat menjawab berbagai tantangan yang muncul sebagai
konsekuensi pelaksanaan desentralisasi (otonomi daerah) membutuhkan
birokrasi yang memiliki jiwa entrepreneur tersebut. Hal ini karena
desentralisasi baik dalam konteks administratif maupun dalam
konteks politik tidak akan pernah bisa dilaksanakan secara efektif
jika aparatur pemerintahan daerah gagal mengembangkan kapasitasnya
secara memadai
15 Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi Kumorotomo, Birokrasi Publik
dalam
Sistem Politik Semi-Parlementer, (Yogyakarta: Gava Media, 2005),
p. 77. 16 Namun NPM dinilai tidak selalu tepat untuk diterapkan
pada semua
negaranegara sedang berkembang. Hal ini dikarenakan bahwa dalam
suatu rejim negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang
sedang mengalami masa transisi seharusnya mendahulukan pembangunan
kapasitas administrasi negaranya sebelum akhirnya melakukan apa
yang disebut dengan reformasi dan membongkar sistem yang formal
tersebut. Lihat: B. Guy Peters, The Future of Governing: Second
Edition, Revised, (USA: University Press of Kansas, 2001), p.
77.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
187
untuk mengelola proses pembangunan. Dalam konteks ini
reinventing government dinilai signifikan dan tepat.
Reinventing government dimaknai sebagai penciptaan kembali
birokrasi dengan mendasarkan pada sistem wirausaha, yaitu
menciptakan organisasi-organisasi dan sistem publik yang terbiasa
memperbarui dan berkelanjutan, memperbaiki kualitasnya tanpa harus
memperoleh dorongan dari luar. Dengan demikian, reinventing berarti
menciptakan sektor publik yang memiliki dorongan dari dalam untuk
memperbaiki apa yang disebut dengan sistem yang memperbarui kembali
secara sendiri. Dengan kata lain, reinventing menjadikan pemerintah
siap menghadapi tantangan yang mungkin tidak dapat diantisipasi. Di
samping itu, reinventing tidak hanya memperbaiki keefektifan
pemerintah sekarang ini, tetapi juga dapat membangun
organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki keefektifannya di masa
mendatang pada waktu lingkungan organisasi mengalami
perubahan.17
Pada proses reformasi birokrasi, ada pendekatan yang dapat
digunakan ketika suatu pelayanan disampaikan kepada publik
(masyarakat). Model pendekatan tersebut disebut pendekatan
principal-agent. Dimana principal yang dimaksudkan disini adalah
masyarakat sipil sebagai penerima layanan dan agent yang dimaksud
adalah para officials atau para birokrat/pegawai. Para official ini
adalah agent dari para pembuat kebijakan (policy maker). Namun pada
kenyataannya, yang terjadi adalah pemerintah yang seharusnya
menjadi agent justru menjadi principal dari pelaksanaan reformasi
ini. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya reformasi birokrasi
dilakukan di banyak negara yang sedang berkembang.18
Oleh karena itu, untuk dapat melakukan apa yang disebut
reformasi di dalam pelayanan kepada publik ini harus dapat
memperhatikan kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalamnya,
baik itu kepentingan masyarakat sebagai penerima layanan juga
birokrasi sebagai pemberi layanan. Harus ada keseimbangan dari
institusi dan faktor-faktor sektoral lainnya.19
Reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya
dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan
struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam
penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur
negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya
rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas,
dan produktivitas melalui
17 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah, p. 50. 18
Richard Batley, Development and Change 35(1): 31-56. (Oxford: UK
Blackwell
Publishing, 2004), p. 31. 19 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi
Pemerintah, p. 51.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
188
pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur
dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber
daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang
ketat.
Dalam pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara
vertikal linear, dalam arti arah kebijakan dan perintah dari atas
ke bawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas,
demikian pula loyalitasnya; karenanya koordinasi lintas lembaga
yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Birokrasi di
Indonesia juga masih dipengaruhi sikap budaya feodalistis,
tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi
kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol
secara efektif, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN.
Dalam kondisi seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk
menghadirkan clean government dan good governance.20
Beberapa pengamat, seperti Karl D. Jackson menilai bahwa
birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity dimana
terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran
masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.21 Sementara Richard
Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic capitalism. Sedangkan Hans Dieter Evers melihat bahwa
proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala
Parkinson dan Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana
terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural
dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel
adalah pola birokrasi sebagai proses perluasan kekuasaaan
pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan
sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui
paksaaan.22
20 Mustopadidjaja AR, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat
Pemberantasan
KKN, Makalah Disampaikan Pada Acara Seminar dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, 15
Juli 2003., p. 9.
21 Seperti ditahui, rezim Orde Baru merupakan rezim yang sangat
menonjolkan kekuasaan negara yang sentralistik. Negara tampil
sebagai satu-satunya kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh
kelompok masyarakat manapun juga. Negara menikmati otonominya
berhadapan dengan masyarakat yang pada gilirannya sering memaksakan
kepentingannya. Jaringan negara terutama lembaga-lembaga eksekutif,
telah ber-kembang menjadi alat-alat efektif dalam mengelola dan
menangani mobilisasi untuk mendukung kebijakan yang dikeluarkan
oleh negara. Lebih dari itu negara juga berhasil mengontrol
masyarakat dengan berbagai kebijakan dan perundang-undangan serta
proses pembentukan tatanan politik, yang secara keseluruhan amat
berdampak negatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Lihat: Hikam,
Demokratisasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1997), p.
134-135.
22 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat
Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 132. Lihat juga:
Wahyu Ardianawati, dan Dyah Retna Puspita,
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
189
Mengacu pendapat dari para pengamat tersebut, birokrasi di
Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru
sebaliknya menjadi inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan
formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula
dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur
organisasi. Birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga
semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang
politik, ekonomi dan sosial 23
Untuk menjelaskan fenomena birokrasi yang detrimental terhadap
proses pembangunan, hasil studi Alavi di beberapa negara Asia
Selatan sangat relevan untuk digunakan. Menurut hasil studi
tersebut, manuver birokrasi yang bebas dari kendali masyarakatnya
merupakan penyebab munculnya birokrasi yang bekerja untuk dirinya
(otonom), bukan untuk melayani masyarakat. Ada dua penjelasan
mengenai hal tersebut. Pertama, Birokrasi di negara-negara
berkembang menjadi overdeveloped setelah masa penjajahan berakhir
sehingga tidak lagi memiliki atasan yang bisa menundukkannya.
Kedua, Ketiadaan kelas sosial penyeimbang yang terorganisir untuk
menundukkan kekuatan birokrasi. Akibatnya birokrasi menjadi bebas
dari kontrol masyarakat. 24
Hal ini wajar jika birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat
maupun di tingkat daerah, kerap mendapat sorotan dan kritik yang
tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang
diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang
berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi
adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung
memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Oleh sebab itu, secara teoritis birokrasi di Indonesia sudah
berubah yang tidak lagi seperti itu, tetapi harus menuju pada
birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada
aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme. Oleh karena itu,
reformasi birokrasi merupakan sebuah keniscayaan.
C. Reformasi Birokrasi: Upaya Perbaikan Otonomi Daerah
Menurut Miftah Thoha reformasi adalah suatu proses yang tidak
bisa diabaikan. Reformasi secara naluri harus dilakukan karena
tatanan pemerintahan yang baik pada suatu masa, dapat menjadi tidak
sesuai lagi karena perkembangan jaman. Reformasi birokrasi yang
mendasar
Demoralisasi Birokrasi: Fenomena Korupsi dan Red Tape di Sektor
Publik, makalah dalam Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan
Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet
Riyadi, Surakarta, 10 Pebruari 2012., p. 5-6.
23 Wahyu Ardianawati, dan Dyah Retna Puspita, Demoralisasi
Birokrasi, p. 6. 24 Mohtar Masoed, Politik, Birokrasi dan
Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), p. 6.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
190
semestinya memberikan perspektif rancangan besar yang akan
dilakukan. Perbaikan di satu bidang harus menunjukkan kaitannya
dengan bidang yang lain. Apalagi dengan menganut sistem
pemerintahan yang demokratis, maka setiap kebijakan publik harus
mengakomodasi setiap kebutuhan rakyat. Miftah menegaskan, pemimpin
daerah seharusnya mengenal warganya secara baik, sehingga pelayanan
publik tidak lagi berorientasi pada kepentingan penguasa, tetapi
lebih kepada kepentingan publik. Antrian panjang dalam memperoleh
bantuan, padahal sudah ditimpa bencana, masih dipersulit dengan
birokrasi yang panjang, adalah contoh bahwa pelayanan publik belum
berorietasi pada kepentingan publik. Kelemahan lain birokrasi di
Indonesia antara lain karena banyak kegiatan yang tidak perlu
dilakukan, tetapi tetap dipaksakan untuk dijalankan oleh
pemerintah.25
Kembali menurut Miftah Thoha, faktor-faktor yang bisa mendorong
timbulnya reformasi birokrasi pemerintah adalah: Adanya kebutuhan
melakukan perubahan dan pembaharuan; Memahami perubahan yang
terjadi di lingkungan strategis nasional; Memahami perubahan yang
terjadi di lingkungan strategis global; Memahami perubahan yang
terjadi dalam paradigma manajeman pemerintahan.26
Salah satu filosofi dari otonomi daerah sebenarnya adalah
semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karenanya
untuk dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat
selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Ketika persoalan-persoalan dalam
masyarakat sudah dapat diinventarisir dan dilakukan analisis maka
strategi-strategi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut akan semakin jelas dan konkret dampaknya bagi masyarakat.
Pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan
pelanggan (whatever enhances customer satisfaction). Selain itu,
membangun kesan yang dapat memberikan citra positif di mata
pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang
terkendali/terjangkau bagi pelanggan akan membuat pelanggan
terdorong/termotivasi untuk bekerja sama dan berperan aktif dalam
pelaksanaan pelayanan yang prima.
Ukuran paling nyata keberhasilan otonomi daerah dalam kerangka
kemajuan berkebebasan dan berkemajuan adalah inovasi. Meski
diselenggarakan secara serentak, otonomi daerah tidak beroperasi
dalam kondisi awal, beban penyelenggaraan dan kemampuan memproduksi
hasil yang sama bagi pemerintahan daerahnya. Beberapa daerah,
misalnya,
25 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah, p. 39-40. 26
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada, 2007), p. 106-107.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
191
dianugerahi kombinasi alamiah menguntungkan. Namun, beberapa
daerah selain berada dalam tingkat kesiapan yang rendah, mereka
harus dihadapkan pada tingkat ketersediaan modalitas yang juga
minim sementara tantangan dan permasalahan yang dihadapi demikian
rumit.
Inovasi adalah syarat yang diperlukan pemerintah yang
berorientasi kepada hasil dan kinerja (goal oriented). Menilai
kemajuan otonomi dalam ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh
kebebasan yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program,
kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam
mensiasati setiap bentuk keterbatasan atau mengoptimalkan setiap
bentuk keunggulan daerah yang dimiliki. Dalam konteks ini, inovasi
menemukan arti penting. Inovasi bukan saja nama lain dari kearifan
dan kejeniusan lokal yang terlembaga. Dalam setiap inovasi,
terpendam senantiasa kreativitas. Jika terobosan mencerminkan
kemajuan, kreativitas mencerminkan kebebasan. Inovasi tidak sekedar
inisiatif, inovasi adalah sebuah terobosan. Jika inisiatif
menggambarkan suatu prakarsa awal yang jeli, terobosan
menggambarkan paduan kreativitas dan kecerdasan untuk keluar dari
kebuntuan. Entah itu kebuntuan karena keterbatasan sarana atau
kebuntuan karena kecenderungan mengupayakan segala sesuatu secara
biasa-biasa saja. Pada gilirannya, betapa pun bagus sebuah inovasi,
ia tidak akan berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi
produktif serta memberi efek sinambung.
Pelayanan masyarakat bisa dikatakan baik (profesional) bila
masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan dan dengan
prosedur yang tidak panjang, biaya murah, waktu cepat dan hampir
tidak ada keluhan yang diberikan kepadanya. Kondisi tersebut dapat
terwujud bilamana organisasi publik didukung oleh sumber daya
manusia yang mumpuni baik dari kualitas maupun kuantitas, disamping
juga adanya sumber daya peralatan dan sumber daya keuangan yang
memadai.27
Namun, menurut Sofian Effendi, reformasi politik,
desentralisasi
pemerintahan dan liberalisasi ekonomi nasional yang berlangsung
dengan
cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan tata
penyelenggaraan pemerintahan yang cukup mendasar. Akibatnya
sistem
pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk
mendukung sistem politik demokratis, otonomi daerah dan
sistem
ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia.
Salah satu
pranata tersebut adalah sistem birokrasi publik. Sistem ini
terdiri atas tiga
komponen pokok yaitu peraturan dasar tentang sistem birokrasi,
sistem
27 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah, p. 103.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
192
kepegawaian, akuntabilitas dan transparansi. Secara khusus
dalam
presentasi ini saya akan menyoroti sistem kepegawaian.28
Berbeda dari persepsi publik bahwa negara ini kelebihan PNS,
dengan 3.622.000 PNS sebenarnya Indonesia belum mencapai rasio
minimal yang dipersyaratkan agar mampu menyelenggarakan pelayanan
umum yang memadai bagi 217 juta penduduk yang tersebar di 440
kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut lebih dari 1,6 juta orang
adalah tenaga kependidikan dan 126.000 tenaga kesehatan. Dari
gambaran umum ini jelaslah bahwa bagi Indonesia isu pokok bukan
besarnya jumlah PNS, karena untuk memberikan pelayanan umum yg
minimal diperlukan lebih kurang 4,3 juta PNS. Kualitas SDM aparatur
negara juga relatif cukup baik karena dari total PNS, hanya 6
persen yang berpendidikan SD dan SLTP, 37 pesen berpendidikan SLTA,
55 persen berpendidikan S-0 dan S-1, dan sekitar 2,5 lebih memiliki
pendidikan pascasarjana.
Karena itu nampaknya reformasi birokrasi khususnya reformasi
kepegawaian harus dipusatkan pada tiga aspek yaitu penataan sistem
penggajian dan jaminan sosial PNS, pendistribusian mutu PNS yang
lebih merata antar daerah perkotaan dan pedesaan, serta mengatasi
ketimpangan dalam kompetensi perumusan kebijakan. Penataan gaji dan
jaminan sosial harus merupakan fokus utama dalam reformasi
birokrasi karena sistem penggajian PNS yang diterapkan terlalu
menyimpang dari acuan teori penggajian yang berlaku. Literatur
manajemen SDM yang banyak dianut oleh banyak negara, skala
penggajian yang baik dan yang mampu memacu prestasi kerja adalah
yang memiliki rasio 1: 20 antara gaji terendah dan gaji
tertinggi.
Pada masa-masa awal Pemerintahan Indonesia, sistem penggajian
PNS menggunakan skala seperti tersebut. Skala yang digunakan saat
ini, yang dikenal dengan Peraturan Gaji Pegawai Sipil (PGPS) telah
menyimpang dari teori penggajian. Skala penggajian yang kita
terapkan mungkin merupakan sistem penggajian yang paling kompleks
di dunia karena menggunakan skala gabungan dan rasio antara gaji
pokok tertinggi dan terendah terlalu tipis. Dalam PGPS dikenal gaji
pokok yang berkisar antara Rp. 700.000, gaji terendah, dan Rp
1,700,000, gaji tertinggi. Selain itu ada tunjangan fungsional yang
besarnya dan tunjangan struktural untuk para pejabat eselon IV
sampai eselon I.
Karena itulah sistem penggajian ini disebut sebagai sistem yang
menggunakan skala gabungan. Sistem penggajian dengan skala
gabungan
28 Effendi, Sofian, Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan
Tata
Pemerintahan yang Baik, Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional AIPI Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia, di Medan, 3-4 Mei 2006., p. 4-7.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
193
tersebut ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang
mampu mendukung kinerja PNS. Total penerimaan PNS jauh di bawah
gaji dan tunjangan yang diterimakan pada para pegawai BUMN dan
anggota legislatif. Bahkan berada di bawah gaji para anggota dan
pegawai berbagai komisi yang tumbuh bak jamur selama masa
pemerintahan SBY-MJK. Karena itu reformasi birokrasi harus
memberikan prioritas pertama pada sistem penggajian PNS.
Reformasi birokrasi juga harus diarahkan untuk menciptakan
sistem kepegawaian meritokratik. Landasan hukum untuk sistem
kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar
birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya
sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi
pemerintah bersih dari praktek spoilled dan pengelolaan aparatur
negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut
memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu
Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri
yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan
daerah.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi
sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai
program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah. Akan tetapi dalam
kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali
mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat. Birokrasi di
dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk
di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya
proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.
Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya
dalam hal pelayanan publik): 29
Oleh karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang
telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan
perilaku berkaitan denganbirokrasi dan pelakunya (birokrat), antara
lain seperti di bawah ini.30
29 Argama Rizki, Reformasi Birokrasi dalam Persepektif Hukum
Administrasi
Pembangunan, makalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2007., p. 12. 30 Kwik Kian Gie, Reformasi Birokrasi dalam
Mengefektifkan Kinerja Pegawai
Pemerintah, makalah disampaikan dalam Workshop Gerakan
Pemberantasan Korupsi, diselenggarakan oleh Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama di Jakarta, 5 Januari 2003., p. 5-6. Lihat juga:
Argama Rizki, Reformasi Birokrasi dalam, p. 13
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
194
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas
yang diarahkanpada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta
menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang
bercirikan organisasi modern, ramping, efektif, dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang
tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat
diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan
prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi
modern, yaitupelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap
mempertahankan kualitas, ifesiensi biaya dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi harus memosisikan diri sebagai fasilitator pelayan
publik alih-alihsebagai agen pembaharu (agent of change)
pembangunan.
5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri
dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi
birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif,
fleksibel, dan responsif
D. Tujuan dan Langkah Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi secara umum bertujuan untuk mewujudkan
kepemerintahan yang baik, didukung oleh penyelenggara negara yang
profesional, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat sehingga terwujud pelayanan prima.
Selain tujuan yang ingin dicapai seperti di atas, reformasi
birokrasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu: 31
1. Terwujudnya birokrasi professional, netral dan sejahtera,
mampu menempatkan diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat guna
mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik.
2. Terwujudnya kelembagaan pemerintah yang profesional,
fleksibel, efektif, efisien di lingkungan pemerintah pusat dan
daerah.
3. Terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih
cepat, tidak berbelait dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam reformasi
birokrasi, yaitu :32 1. Retrospeksi
Retrospeksi adalah menilik ulang dan mengevaluasi semua
kebijakan masa lalu secara jujur dan obyektif, sehingga faktor
penyebab kegagalan
31Sri Sutjiatmi Reformasi Birokrasi.
www.//http://www.perpus.upstegal.ac.id/. 14-
06-12. 32
Ibid.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
195
dapat ditemukan kembali, kemudian menciptakan sistem baru yang
lebih baik. Dalam sejarah pemerintahan Indonesia,ternyata
pemerintah tidak mampu menjalankan fungsi pelayanan publik dalam
tataran yang sederhana sekalipun, misalnya hak masyarakat untuk
memperoleh informasi, pembayaran pajak dan sebagainya. Oleh karena
itu birokrasi harus dapat mengkaji kembali kinerja masa lalu dan
berani melakukan reformasi. Realitas menunjukkan bahwa untuk saat
sekarang, pemerintah bukanlah satu-satunya lembaga pelayan publik.
Sektor swata dan organisasi nirlaba sudah banyak mengambil alih
peran pemerintah, yang lambat laun peran pemerintah akan berkurang
dalam memfasilitasi pelayanan publik.
2. Reorientasi Reorientasi adalah upaya merubah paradigma, visi,
misi dan strategi
kebijakan masa lalu ke dalam suasana baru yang lebih aspiratif
di mata publik. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara
filosofis dan politik telah merubah paradigma baru penyelenggaraan
sistem pemerintahan dari model konvergensi ke devergensi. Meskipun
masih perlu penyempurnaan dalam pelaksanaan otonomi. Konvergensi
adalah sistem pemerintahan sentralistik atau dominasi
pemerintahahan pusat, sedangkan devergensi adalah desentralisasi
atau pemeberian otonomi kepada daerah. Dalam reformasi birokrasi
ini, bukan berarti dengan otonomi mengakibatkan intervensi
pemerintah tingkat atasnya diabaikan, karena bagaimanapun juga
pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintahan nasional.
Ada lima dimensi yang penting dalam mengadakan perubahan birokrasi
pemerintah daerah menuju pemerintahan daerah yang visioner,
mandiri, responsif dan produktif dalam semangat integrasi nasional,
yaitu dimensi kulturaal, dimensi struktural, dimensi etika
pemerintahan dan dimensi globalisasi.
3. Reposisi Reposisi adalah kembali kepada peran asli. Karena
birokrasi telah
menguasai semua lini kehidupan, maka reposisi merupakan kata
kunci untuk reformasi birokrasi. Reposisi merupakan kesadaran total
atas multi fungsi pemerintah yang hegemonik untuk secara bijak
menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dalam konteks pelayanan
publik.Untuk melakukan reposisi ini, harus ada kemampuan dan
kemauan untuk bagaimana merumuskan, menterjemahkan dan melaksanakan
visi kolektif antara pemerintah propinsi, kabupaten menjadi visi
individu semua warganegara ke dalam posisi atau peran
masing-masing.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
196
E. Profesionalitas Rekrutmen
Kualitas birokrasi dapat menyebabkan korupsi ketika sistem
perekrutan pegawai lebih didasarkan atas pertimbangan politik,
patron dan nepotisme daripada merit serta ketiadaan aturan yang
memadai mengenai promosi dan perekrutan pegawai. Besaran gaji di
sektor publik dapat menyebabkan korupsi ketika gaji pegawai negeri
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Sistem
hukuman dapat menyebabkan korupsi ketika tidak terjadi ketegasan
dalam menghukum orang yang melangar aturan. Pengawasan institusi
dapat menyebabkan korupsi ketika tidak terdapat sistem pengawasan
internal yang memadai, efektif, transparan dan jelas. Transparansi
aturan, hukum dan proses dapat menyebabkan korupsi ketika di sebuah
negara tidak memiliki pengaturan mengenai transparansi dalam
aturan, hukum dan proses penyelenggaraan pemerintahan. Teladan dari
pemimpin dapat menyebabkan korupsi ketika pemimpin pemerintahan
melakukan tindakan korupsi dan menjadi contoh bagi bawahannya.
Proses penyelenggaraan pelayanan birokrasi publik akan dapat
berlangsung dengan baik dan profesional jika didukung oleh birokrat
yang berasal dari lulusan-lulusan terbaik universitas. Penerapan
seleksi birokrat menurut pendekatan pasar seperti kompetensi dan
kinerja menjadi relevan untuk mendapatkan calon-calon birokrat yang
handal. Krisis pelayanan birokrasi publik, salah satunya disebabkan
karena rendahnya komitmen pemerintah untuk mendapatkan
lulusan-lulusan universitas terbaik untuk menjadi birokrat.
Akibatnya, lembaga administrasi publik diisi oleh lulusan-lulusan
kelas dua yang kapasitasnya juga terbatas.
Selama ini rekruitmen yang terjadi dalam lingkungan birokrasi
hanya umum saja dan pada umumnya standar yang ditentukan dari tahun
ke tahun tidak mengalami perubahan dan peningkatan tuntutan mutu.
Dengan demikian proses rekruitmen yang kurang ditopang oleh
kualifikasi yang standard menjadi bersifat disfungsional, sehingga
tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan yang semestinya. Kondisi
demikian ini menyebabkan permasalahan pada peningkatan pegawai di
lingkungan birokrasi yaitu the wrong man in the right place. Apa
yang menjadi tuntutan birokrasi akan kebutuhan pegawai sesungguhnya
adalah The right man in the right place supaya terjadi efisiensi
dan efektivitas.
Untuk memenuhi tuntutan tepat orang tepat tempat tersebut
diperlukan sebuah proses rekruitmen yang memperhatikan kebtuhan
birokrasi akan tenaga kerja yang sesuai. Dengan pertimbangan ini
maka rekrutmen harus memperhatikan job analysis dan job description
yang seharusnya telah ada dan dapat dijadikan pedoman penarikan
pegawai. Hanya sayangnya tidak semua birokrasi pemerintah memiliki
uraian dan
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
197
analisis pekerjaan terhadap semua jenis pekerjaan yang
dikembangkan dikantornya. Padahal bersumber pada uraian dan
analisis pekerjaan inilah aan diketahui peta kebutuhan keahlian dan
kecakapan calon pegawai yang akan direkrut. Dari uraian dan
analisis pekerjaan ini selanjutnya dapat disusun kompetensi pegawai
yang dibutuhkan.33
E. Kesimpulan
Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara
efektif dan efisien kepada masyarakat, salah satunya jika
strukturnya lebih terdesentralisasi dari pada tersentralisasi.
Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih mudah
mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan
pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi,
perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki kemampuan (capability), memiliki loyalitas kepentingan
(competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherency), proses rekrutmen calon pegawai pun sudah
selayaknya mempertimbangkan aspek kualitas. Sehingga penempatan
pegawai didasarkan atas kemampuan bukan atas dasar suka atau tidak
suka (like and dislike). Dengan demikian, birokrasi akan berjalan
dengan baik berdasarkan kualitas kerja dan kinerja aparaturnya.
Tanpa hal yang demikian, akan sulit mewujudkan birokrasi tanggap
kerja dan prorakat di era otonomi daerah. Kemampuan mencipta
kinerja aparatur yang berkualitas merupakan sebuah keniscayaan di
tengah semakin meningginya praktek korupsi di negeri ini. Oleh
karena itu, keberanian pemerintah pusat dan daerah guna mencipta
tatanan yang lebih baik menjadi agenda yang perlu segera
diwujudkan.
33 Wahyu Ardianawati, dan Dyah Retna Puspita, Demoralisasi
Birokrasi, p. 14-
15.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
198
Daftar Pustaka
Ardianawati, Wahyu, dan Dyah Retna Puspita, Demoralisasi
Birokrasi: Fenomena Korupsi dan Red Tape di Sektor Publik, makalah
dalam Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
(SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 10
Pebruari 2012.
Argama, Rizky, Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Hukum
Administrasi Pembangunan, Makalah, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2007.
Batley, Richard. 2004. Development and Change 35(1): 31-56.
Blackwell
Publishing, Oxford, UK. Effendi, Sofian, Reformasi Aparatur
Negara untuk Melaksanakan Tata
Pemerintahan yang Baik, Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional AIPI Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia, di Medan, 3-4 Mei 2006.
Gie, Kwik Kian, Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan
Kinerja
Pegawai Pemerintah, makalah disampaikan dalam Workshop Gerakan
Pemberantasan Korupsi, diselenggarakan oleh Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama di Jakarta, 5 Januari 2003
Hikam, Muhammad AS, Demokratisasi dan Civil Society, Jakarta:
LP3ES,
1997. Masoed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan,
Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Mustopadidjaja AR, Reformasi Birokrasi Sebagai
Syarat Pemberantasan
KKN, Makalah Disampaikan Pada Acara Seminar dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, 15
Juli 2003.
Miftah Thoha, Dimensi Prima Administrasi Negara, Jakarta:
Pustaka Jaya,
2001.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
199
Nurbarani, Myrna, 2009, Reformasi Birokrasi Pemerintah Kota
Surakarta, Tesis, pada Program Studi Magister Ilmu Politik
Universitas Diponegoro Semarang.
Osborne, David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi,
Jakarta:
Pustaka Binaman Pressindo. Peters, B. Guy, 2001, The Future of
Governing: Second Edition, Revised, USA:
University Press of Kansas. Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi
Kumorotomo, 2005, Birokrasi Publik
dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media.
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di
Tingkat Lokal,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Setiyono, Budi, 2004, Birokrasi
dalam Perspektif Politik dan Administrasi,
Semarang: Puskodak Undip. Suharmawijaya, Dadan S, 2006, Otonomi
Daerah dan Otonomi Award Dua
Propinsi: Kumpulan Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja
Pemerintah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,
Semarang: JPIP.
Supriyanto, DR. Budi, 2009, Manajemen Pemerintahan (Plus Dua
Belas
Langkah Strategis), Tangerang: CV Media Brilian. Suryono, Agus,
Budaya Birokrasi Pelayanan Publik,
http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/7Budaya%20Birokrasi%20Pelayanan%20Publik-Agus%20Suryono.pdf
Soenyono, Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan
Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
Andi A. Mallarangeng, dkk. Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan
Praktis. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001
Sedarmayanti, Reformasi Administarsi Publik, Reformasi
Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan Mewujudkan Pelayanan Prima
dan Kepemerintahan yang baik, Bandung: Refika Aditama, 2009
Thoha, Miftah, 2007, Birokrasi dan Politik di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
-
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
200
_______, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi,
Jakarta:
Kencana Prenada.
Wicaksono, Kristian Widya, 2006, Administrasi dan Birokrasi
Pemerintah, Yogyakarta: Graha Ilmu.