BIOGRAFI Ir. SOEKARNO Ir. Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dilahirkan di Blitar, 6 Juni 1901dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali. Ketika masih kecil, karena sering sakit- sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BIOGRAFI Ir. SOEKARNO
Ir. Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 –
1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
bersama dengan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno dilahirkan di Blitar, 6 Juni 1901dengan nama Kusno Sosrodihardjo.
Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman
Rai berasal dari Buleleng, Bali. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut
kebiasaan orang Jawa oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno.
Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said
Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger
School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno
banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin
Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda
Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB)
di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan
Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin
organisasi National Indische Partij.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.
Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929,
dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan
kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan
diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun
semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. Pada tahun
1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno,
Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh
Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga
tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga
Kaisar Jepang sendiri.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang
(resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan
Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta
mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. hingga terjadilah
Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta
dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta
Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta
Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan
Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan
tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya
wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden
dikukuhkan oleh KNIP.Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di
dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum
merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden
Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika
di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika.
Ketimpangan dan konflik akibat “bom waktu” yang ditinggalkan negara-negara barat yang
dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran
akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia
internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip
Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U
Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang
membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang
memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami
konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah,
yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk
dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan
Indonesia.
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah
mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar,
Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan
ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat
penyelenggaraan Haul Bung Karno.
Kaitkata: soekarno, biografi, proklamator, Guru Bangsa, Presiden, Bung Karno
Biografi Ir. Soekarno
Posted by: Dian Nurdiana on: Februari 8, 2009
In: Guru Bangsa | soekarno
Tinggalkan Sebuah Komentar
Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada
umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966.
Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 .
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon,
antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan
menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan
Jenderal Soehartountuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut
mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto,
mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernamaRaden Soekemi
Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman
Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14
tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak
Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana
sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan
para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno
kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School(sekarang ITB)
di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi
dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin
organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
Oetari
Inggit Garnasih
Fatmawati
Hartini
Ratna Sari Dewi Soekarno (nama asli: Naoko Nemoto)
Haryati
Putra-putri Soekarno
Guruh Soekarnoputra
Megawati Soekarnoputri , Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
Guntur Soekarnoputra
Rachmawati Soekarnoputri
Sukmawati Soekarnoputri
Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini
menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas
Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan
memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali
pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan
diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun
semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang
GuruPersatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun1942.
Masa penjajahan Jepang
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk “mengamankan”
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3Adengan tokohnya Shimizu dan Mr.
Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus
memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno,Mohammad Hatta dan lain-lain dalam
setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia.
Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat
(Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H
Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-
tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Soekarno diantara Pemimpin Dunia
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk
merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke
Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung
oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada
tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan
pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap
keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal
Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia
sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepangmembuat Soekarno
dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),
Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam
Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk
oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah
Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara
lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno
dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia
terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan
Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan
menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah
Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya
tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum
muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin
kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno
dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden
dikukuhkan olehKNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat
menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat
Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison,
Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan
pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis
di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang
membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden
dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala
pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi
kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive.
Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala
Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat
pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik
Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden
Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat
Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah adaPemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada
kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-
Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat
menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Soekarno dan Joseph Broz Tito
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belandamenyebutkan sebagai Penyerahan
Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik
Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya.
Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan,
maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan
Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan
Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden
Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah
dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet
yang terkenal sebagai “kabinet semumur jagung” membuat Presiden Soekarno kurang
mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai “penyakit kepartaian”. Tak
jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga
berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di
kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F Kennedy
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada
tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang
menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan
konflik akibat “bom waktu” yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih
mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan
munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia
internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip
Broz Tito (Yugoslavia),Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U
Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang
membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang
memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami
konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah,
yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk
dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan
Indonesia.
Soekarno dan Jawaharlal Nehru
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden
Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di
antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika
Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia “bercerai” dengan Wakil Presiden Moh.
Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia.
Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok
Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa
jabatannya tidak dapat “memenuhi” cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit hingga meninggal
Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar
Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro. Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-
80 Fidel Castro dan peringatan “kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba“.
Penamaan
lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering
sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi
Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti
olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan
penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya
karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini
terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah
wartawan bertanya-tanya, “Siapa nama kecil Soekarno?” karena mereka tidak mengerti
kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau
tidak memilikinama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan
namaAchmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti
wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno,
dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri
dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara
Arab.
Kaitkata: Bung Karno, Guru
Bangsa, indonesia, kemerdekaan, Nasional,Pemimpin, Presiden, proklamator, sejarah, soekar
no
Menjelang Wafatnya Soekarno
Posted by: Dian Nurdiana on: Februari 8, 2009
In: Guru Bangsa | soekarno
Tinggalkan Sebuah Komentar
Berkas yang Hilang
JAKARTA – Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah
Rachmawati Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku
bertuliskan tangan itu berisi medical record (catatan medis) mantan Presiden Soekarno
selama sakit di Wisma Yaso, Jakarta.
Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Ini juga
menjadi bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Tapi
yang lebih membuat dahi ini berkernyit keras, nama pasien disamarkan. Misalnya, ada yang
tertera namanya Taufan (salah seorang putra Soekarno).
Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada masa lalu
membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika sekarang
banyak orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah tersebut.
Namun kini, ketika semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP) sehubungan dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari
2008, rasa ingin tahu tentang masa lalu pun kembali mengusik. Itu semata-mata karena
Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan kepala negara.
Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin menyerahkan
catatan medis ayahnya kepada pemerintah.
.
”Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan ingin melihat dari segi kebenaran,
bukan hanya cerita fiktif,” tutur Rachmawati kepada SH di kediamannya, Sabtu (19/1) sore.
Maklum, seorang mantan menteri Orde Baru pernah berkomentar bahwa perlakuan terhadap
Soekarno ketika sakit tidak sekejam itu. ”Saya tak mau gegabah. Ini bukan make up story,
karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan Dokter Indonesia/IDI-red), mengatakan
perawatan terhadap Bung Karno seperti perawatan terhadap keluarga sangat miskin,” kata
Rachmawati.
Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu sedan, hal itu
sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah artikel yang
pernah dimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. ”Seorang
perempuan muncul di Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an,” demikian kalimat pertama artikel
tersebut.
Perempuan itu ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 bundel buku berisi
catatan para perawat jaga Soekarno. Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu
Wu Jie Ping, dokter yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan
bahwa Soekarno ”hanya” mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh
darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama sekali tidak mengalami
koma seperti isu yang beredar.
Ini menepis spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada
peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat
komandonya.
Diperiksa Dokter Hewan
Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang tahu banyak
soal stroke. Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan kejadian yang
dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa perempuan itu
semakin menguatkan kegelisahan Kartono.
Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Maka
bundel buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun.
Hingga kemudian, krisis moneter meledak. Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto,
yang telah berkuasa selama 32 tahun, dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah.
Kartono pun teringat onggokan buku itu. Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang
mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso.
Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa Indonesia mendapat cerita yang
lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dinah, Dasih, J.
Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal,
sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki file atau berkas dari
para perawat ini.
Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. Pihak
RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan
kepada Rachmawati, ia hanya geleng-geleng kepala. ”Tidak, tidak,” jawabnya lirih.
Yang membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani oleh
dokter Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi.
Bahkan setelah dipindah ke RSPAD karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya untuk
melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan dengan alasan RSPAD tidak mempunyai
peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang diberikan hanya vitamin (B12, B
kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah
perifer.
Perihal tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam catatan medis, juga menyisakan
tanya pada diri Rachmawati. Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya,
masakan selalu terasa asin. ”Saya kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan
membiarkan orang berlalu,” lanjut Rachmawati.
Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta seputar
masa sakit Soekarno yang tersia-sia. ”Tidak seperti sekarang ini, perawatan terhadap
Soeharto. Sangat berbeda. Padahal seharusnya semua mantan presiden berhak dirawat secara
all out dan diongkosi oleh negara,” katanya.
Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam terhadap
Soekarno berasal dari sebuah instruksi. ”Yang memberi instruksi ya orang yang sekarang
sedang dirawat itu,” katanya.
Namun pria ini enggan dituliskan namanya. ”Wah, kalau ditulis di koran saya pasti
digangguin…,” tuturnya dengan nada serius. ( to be continue )
Kaitkata: Bung Karno, Guru
Bangsa, indonesia, Nasional, Negara, Pemimpin,Presiden, proklamator, sejarah, soekarno, Tr
agedi, Wafat
Presiden RI Pertama
Posted by: Dian Nurdiana on: Februari 8, 2009
In: Guru Bangsa | soekarno | Video Soekarno
Tinggalkan Sebuah Komentar
Menurut saya : Dian Nurdiana
Semua orang tahu bahwa presiden RI pertama adalah Ir. Soekarno dan Wakilnya adalah Moh.
Hatta.
Soekarno adalah sosok orang yang sangat berwibawa dan bijak. Beliau sangat kental jiwa
seorang pemimpinnya. Jadi sangat pantas beliau menjadi presiden Ri. Beliau sangat
dihormati dan disegani oleh semua orang baik oleh warga Indonesia ataupun oleh Bangsa
Negara lain.
Suara yang lantang dan sangat mengglegar itu menuntun nya dalam setiap pidato. Sampia –
sampai masyarakat yang mendengarkannya pidato terharu, terkesima, dan hormat kepada
belaiu. Dan wajar saja bila beliau memiliki labih dari satu seorang istri. Perempuan atau
wanita mana pada zamannya yang tidak suka pada SOEKARNO yang memiliki sosok
mendekati sempurna bagi seorang pemimpin Bangsa dan Negara.
Beliau adalah orang sangat idealisme dan teguh dalam pendiriannya. Semua yang menurut
beliau benar harus dilakukan dan dilaksanakan. Itu tidak bisa ditentang oleh siapapun.
Secara garis besar, begitulah sosok Ir. Soekarno yang saya ketahui.
Ada pula video – video mengenai IR. SOEKARNO yang bisa kamu download. Klik Link
berikut :
Ir. Soekarno
Soekarno_1
Soekarno_2
Soekarno_3
Soekarno_4
Soekarno, The Founding Father
Ketika Soekarno tertawa
SOEKARNO : My Spirit, My Horizon And My Leader
Mr. Soekarno Our Greatest President
Take Off From Soekarno Hatta Airport
Jakarta Soekarno-Hatta International Airport: Arrivals old
Soekarno About Ideology
PRPKLAMASI
Bung Karno – Parental House & Makam in Blitar
Soekarno Pidato Di Depan Rakyat Jakarta
Apakah pidato Abdullah boleh tandingi Soekarno?
Proklamasi Soekarno
President Soekarno on the Beatles
Soekarno Blitar
Kaitkata: Arsip Ri, bangsa, Bing Karno, Guru
Bangsa, indonesia, Nasional,Negara, Pemimpin, Presiden, proklamasi, proklamator, sejarah, s
oekarno,Video
Bung Karno Putra Sang Fajar
Posted by: Dian Nurdiana on: Februari 8, 2009
In: Guru Bangsa | soekarno
Tinggalkan Sebuah Komentar
“Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta
tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya
adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti, Tuan.
Bapak adalah keturunan Sultan Kediri…
Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang
memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi
kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.” Ir. Soekarno
menuturkan kepada penulis otobiografinya, Cindy Adam.
Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu
Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun kemudian, menguak fajar
kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah
asing.
Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat,
indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji
Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya
membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang
kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921).
Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-
School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25
Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah
dengan Inggit Ganarsih (1923).
Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional
Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung
Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia
dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949.
Di dalam pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapi-api
menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda.
Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda
menangkapnya kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama
empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak;
Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh
Soekarnoputri.
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa
naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya
sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Dari buku setebal kira-
kira 630 halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxism, bagian paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno.
Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan
yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang
sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi
Indonesia.Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima,
dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para
pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang.
Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad
Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan
Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.
Kaitkata: Bing Karno, Guru Bangsa, proklamator, sejarah, soekarno
105 Tahun Bung Karno
Posted by: Dian Nurdiana on: Februari 8, 2009
In: soekarno
Tinggalkan Sebuah Komentar
Bertepatan dengan 105 tahun kelahirannya hari ini dan 35 tahun kematiannya sebentar lagi,
apa kira-kira reaksi Ir Soekarno, salah satu Proklamator Republik Indonesia jika ia diberikan
kesempatan untuk “bangkit kembali dari kuburnya” dan melihat situasi bangsa dan negara?
Tidak salah lagi, air mata Soekarno akan mengucur tiada hentinya. Banyak sekali yang akan
ditangisinya, tetapi yang utama adalah hancurnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
pada saat ini.
Soekarno mewariskan bangsanya dengan berbagai ajaran yang digalinya sejak ia berjuang
pada usia muda. Namun, jika kita teliti secara saksama, ajaran pokok yang selalu didengung-
dengungkan hingga menjelang wafatnya adalah persatuan bangsa.
Tatkala memberikan sambutannya pada sidang kabinet 15 Januari 1966 di Istana Merdeka,
Presiden Soekarno bercerita, “Aku ini dari kecil mula…yang menjadi gandrung saya bahkan
yang saya derita untuknya, yang saya dimasukkan dalam penjara untuknya, yang saya
dibuang di dalam pembuangan untuknya, bahkan pernah yang saya hampir-hampir saja didrel
mati di Brastagi…untuk bangsa, Tanah Air, kemerdekaan dan negara…. Bangsa harus
menjadi bangsa yang kuat dan besar. Oleh karena itulah belakangan ini selalu saya menangis,
bahkan donder-donder, marah-marah. He, bangsa Indonesia, jangan gontok-gontokan!”
Persatuan Indonesia. Itulah cita-cita paling mendasar yang diperjuangkan oleh Soekarno.
Ketika Pancasila masih dalam tahap draf, persatuan Indonesia dijadikan sila pertama. Tanpa
persatuan, kata Soekarno, suatu bangsa mustahil bisa maju membangun dirinya. Ia kerap
menyitir ucapan Arnold Toynbee bahwa “A great civilization never goes down unless it
destroy itself from within”. Atau ucapan Abraham Lincoln yang tersohor itu, “A nation
divided against itself, cannot stand”. Mana ada bangsa yang bisa bertahan jika terpecah belah
di dalamnya?
Disintegrasi total
Ketika kita mengenang 105 tahun (Soekarno lahir 6 Juni 1901) kelahiran Soekarno, Indonesia
sesungguhnya sedang berjalan menuju kehancuran atau disintegrasi total. Faktor pokoknya
karena bangsa ini hidup dalam situasi anomali atau valueless state. Di satu sisi kita sudah
meninggalkan Pancasila sebagai pandangan hidup, walau teoritis masih mengakuinya sebagai
ideologi, di sisi lain nilai penggantinya belum diformalkan. Memang kita sedang
bereksperimen dengan liberalisme (plus kapitalisme sebagai anak kandungnya), tetapi banyak
elemen masyarakat yang menolak ideologi tersebut.
Soekarno pasti tahu bahwa para penggantinya telah mengobrak-abrik semua jerih payah yang
diperjuangkannya lebih dari setengah abad. Ketika ia “memberikan” Supersemar kepada
Jenderal Soeharto, diktum pertamanya antara lain berbunyi “melaksanakan dengan pasti
segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”. Namun, Soeharto dengan bantuan para pemikir dari
“Mafia Berkeley”, segera meninggalkan ajaran Trisakti Soekarno dengan merangkul
liberalisme dalam pembangunan ekonomi. Akibatnya, semakin lama membangun dirinya,
bangsa kita semakin bergantung pada utang luar negeri, suatu realita yang nyata-nyata
mencederai “sakti” kedua dari Trisakti.
Setelah Soeharto jatuh, Habibie naik panggung. Di mata Soeharto, Habibie pun seorang
pengkhianat. Semua orang tahu kalau Habibie anak didik Soeharto. Namun, Soeharto
kabarnya menangis karena menilai Habibie menghancurkan apa yang sudah dibangunnya
selama 30 tahun lebih. Dosa paling besar Habibie di mata Soeharto ialah menjalankan konsep
otonomi daerah yang kebablasan. Menurut teori negara, dalam suatu unitary state (negara
kesatuan), kekuasaan atau kewenangan kepada daerah sepenuhnya diatur oleh pemerintah
pusat.
Ketika daerah tingkat II diberikan otonomi seperti diatur dalam UU Otonomi Daerah yang
dibuat pada rezim Habibie, kendali pusat terhadap daerah pun lemah. Akibatnya, daerah
kemudian menjadi “raja-raja” yang setiap saat dapat menyepelekan perintah pusat.
Nasionalisme kini berganti menjadi regionalisme. Peraturan daerah (perda) kadang lebih
berkuasa daripada undang-undang sekalipun. Kini tidak kurang 20 daerah, baik tingkat I
maupun II, yang sudah mengeluarkan perda yang bernapaskan asas lain dari Pancasila. Toh,
pusat mendiamkan saja.
Pada era Habibie itu juga, persatuan Indonesia mulai digerogoti. Sejumlah elemen radikal
yang sebelumnya diburu oleh Soeharto diberikan kebebasan untuk kembali ke Indonesia.
Satu per satu organisasi kemasyarakatan berasaskan ajaran radikal berdiri. Teror bom mulai
bermunculan di mana-mana.
Quasi negara federal
Liberalisme seolah mencapai puncaknya pada era Gus Dur. Nama Irian Jaya diganti menjadi
Papua. Gus Dur pun sempat menyatakan persetujuannya atas referendum di Aceh. Istilah
“rakyat Aceh”, “rakyat Riau”, “rakyat Kalimantan Timur”, dan “rakyat Madura” dipakai
bebas tanpa menyadari implikasinya terhadap pelaksanaan sila ke-2 Pancasila.
Ironisnya, Megawati Soekanoputri pun sebenarnya telah mengkhianati bapaknya sendiri.
Dosa paling besar Ibu Mega, dari perspektif Pancasila dan ajaran Bung Karno, adalah
sikapnya yang mendukung amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hasil empat kali
amandemen UUD 1945 adalah puncak kemenangan dari unsur-unsur kekuatan, baik lokal
maupun global, yang memang ingin memecah belah bangsa Indonesia.
Di bawah naungan “UUD 2002″, Indonesia sesungguhnya bukan lagi negara kesatuan, tetapi
quasi negara federal. Di bawah pemerintahan Megawati juga, proses privatisasi digenjot
habis-habisan. Hasilnya sudah sama-sama kita ketahui, sebagian besar perusahaan unggulan
kita, baik swasta mupun BUMN, kini sudah dikuasai asing. Lagi-lagi suatu pengingkaran
telanjang terhadap “sakti” kedua dari ajaran Trisakti Bung Karno.
Proses disintegrasi seolah mencapai momentum emas pada era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Tindak anarkis dan menginjak-injak hukum yang kerap dilakukan oleh sejumlah
elemen masyarakat dibiarkan saja. Penegakan hukum kian lemah. Tancapan pengaruh asing
di bidang ekonomi, antara lain dimanifestasikan dalam kasus Blok Cepu dan pencemaran
lingkungan oleh Newmont, semakin kokoh. Kedaulatan kita sebagai bangsa juga merosot.
Kita sungguh tidak mengerti mengapa bantuan kemanusiaan Amerika untuk korban gempa
Yogya harus dikawal oleh puluhan serdadu marinir berseragam yang bersenjata lengkap
layaknya mau bertempur.
Ya, Soekarno pada usianya yang 105 tahun sedang menangis dari liang kuburnya karena
melihat ajaran-ajarannya diinjak-injak oleh para penerusnya!
Kaitkata: Bing Karno, Guru Bangsa, sejarah, soekarno
Gelora Politik Revolusioner
Posted by: Dian Nurdiana on: Februari 8, 2009
In: Revolusi
Tinggalkan Sebuah Komentar
Pembangunan di Era Bung Karno
Fase pertama pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1959) diwarnai semangat revolusioner,
serta dipenuhi kemelut politik dan keamanan. Belum genap setahun menganut sistem
presidensial sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, pemerintahan Bung Karno
tergelincir ke sistem semi parlementer. Pemerintahan parlementer pertama dan kedua
dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PM
Muhammad Hatta yang merangkap Wakil Presiden.
Kepemimpinan Bung Karno terus menerus berada di bawah tekanan militer Belanda yang
ingin mengembalikan penjajahannya, pemberontakan-pemberontakan bersenjata, dan
persaingan di antara partai-partai politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun.
Perekonomian terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik.
Ironisnya, meskipun menerima sistem parlementer, Bung Karno membiarkan pemerintahan
berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Semua anggota DPR (DPGR)
dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden dari partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan
Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945.
Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi baru
menggantikan UUD 1945, Bung Karno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955,
pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan Bung Karno. Pemilu tersebut
menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU dan PKI.
Usai Pemilu, Badan Konstituante yang disusun berdasarkan hasil Pemilu, mulai bersidang
untuk menyusun UUD baru. Namun sidang-sidang secara marathon selama lima tahun gagal
mencapai kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru.
Menyadari bahwa negara berada di ambang perpecahan, Bung Karno dengan dukungan
Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan
Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah
dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD Sementara, juga jatuh dan bangun oleh
mosi tidak percaya. Akibatnya, kondisi ekonomi morat-marit. Sementara itu, para pemimpin
Masjumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Kemudian, Bung Karno
membubarkan kedua partai tersebut.
Pada fase kedua kepemimpinannya, 1959-1967, Bung Karno menerapkan demokrasi
terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk mendukung program
pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras
menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional, Agama dan
Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan
PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari
semua kekuatan NASAKOM.
Namun di tengah tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini
berhasil membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. Saat itu yang menjadi Panglima
Komando Mandala (pembebasan Irja) adalah Mayjen Soeharto.
Tahun 1964-965, Bung Karno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya ke
dalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi Malaysia yang didukung Inggris.
Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar tentang sakitnya Bung Karno. Situasi semakin
runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh
jenderal Angkatan Darat tersebut menimbulkan situasi chaos di seluruh negeri. Kondisi
politik dan keamanan hampir tak terkendali.
Menyadari kondisi tersebut, Bung Karno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada
Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban.
Langkah penertiban pertama yang dilakukan Pak Harto, sejalan dengan tuntutan rakyat ketika
itu, membubarkan PKI. (Selengkapnya baca: Pak Harto Terkait G-30-S/PKI?)
Bung Karno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai pertanggungjawaban di dalam sidang
istimewa MPRS tahun 1967. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno ditolak. Kemudian Pak
Harto diangkat selaku Pejabat Presiden. Pak Harto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden
RI yang Kedua, Maret 1968.
Sementara pembangunan ekonomi, selama 22 tahun Indonesia merdeka, praktis
dikesampingkan. Kalaupun ada, pembangunan ekonomi dilaksanakan secara sporadis, tanpa
panduan APBN. Pembangunan dilakukan hanya dengan mengandalkan dana pampasan
perang Jepang.
Dari dana pampasan perang itu, Bung Karno membiayai pembangunan fisik, antara lain,
Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Gedung Sarinah, Stadion Senayan, Bendungan
Jatiluhur, Hotel Samudra Beach, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, Bali Beach dan Sanur
Beach di Bali.
Juga memulai membangun Gedung MPR/DPR, Tugu Monas dan Masjid Agung Istiqlal yang
kemudian dirampungkan dalam era pemerintahan Pak Harto. Emas murni di pucuk Monas
yang tadinya disebut 35 kilogram ternyata hanya 3 kilogram, kemudian disempurnakan pada