Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Penanganan Bidang Kehutanan di Indonesia Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan Jakarta, Juni 2012
ProsidingPertemuan dalam rangka
Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim
Penanganan
Bidang Kehutanan di Indonesia
Penanganan
Bidang Kehutanan di Indonesia
Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan
Jakarta, Juni 2012
CENTRE FOR STANDARDIZATION AND ENVIRONMENT(Standardization, Environment, and Climate Change)
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN(Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim)
Gedung Manggala WanabaktiJalan Gatot Subroto Blok VII Lt 8 Jakarta 10270 Telp/Fax: 021-5733433E-mail: [email protected]; [email protected]: www.staneclime.org
ProsidingPertemuan dalam rangka
Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim
PenangananPerubahanIklimBidang Kehutanan di Indonesia
Review Status
Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan
Jakarta, Juni 2012
ii
PROSIDING
PERTEMUAN DALAM RANGKA AWARENESS RAISING PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM
“Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia”
Penyusun:
Tim Bidang Perubahan Iklim Pusat Standardisasi dan Lingkungan1. Novia Widyaningtyas, S.Hut, M.Sc2. Ir. Andi Andriadi, MM3. Radian Bagiyono, S.Hut., M.For4. Haryo Pambudi, S.Hut, M.Sc5. Dinik Indrihastuti, S.Hut6. Windyo Laksono, S.Hut7. Erna Rosita, S.Hut
Editor:
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak Prosiding ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:
Pusat Standardisasi dan Lingkungan (2012). Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Rais-ing Penanganan Perubahan Iklim. Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehuta-nan di Indonesia.
Design Sampul dan Lay-out:
Bintoro, S.Kom
ISBN:
Diterbitkan oleh:Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kementerian KehutananJl. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabakti Blok VII Lt. 8Jakarta, 10270, Indonesia.Telp/Fax: +62-21-5733433Email: [email protected] [email protected]
iiiProsiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Kata Pengantar
Tahun 2012 merupakan tahun yang krusial terhadap proses negosiasi penanganan perubahan iklim, bukan hanya karena pada tahun 2012 akan berakhirnya kesepakatan Kyoto Protocol akan tetapi juga pada tahun tersebut akan berakhir masa tugas beberapa perangkat UNFCCC seperti AWG-LCA maupun AWG-KP, dimana isu-isu kehutanan biasanya dinegosiasikan di dalam kedua perangkat tersebut. Pada sidang UNFCCC di Bonn bulan Mei 2012 juga mulai dibahas program kerja Ad-hoc Working Group on Durban Platform (ADP) yang nantinya akan mewadahi proses negosiasi isu-isu kehutanan dan REDD+. Hal tersebut tentu saja harus diantisipasi dan dipersiapkan oleh Indonesia terkait dengan subtansi dan strategi negosiasi serta melihat keterkaitan dengan agenda Rio+20 maupun proses-proses lainnya, yang akan dibawa dalam pertemuan COP 18 di Doha pada akhir tahun 2012.
Dalam rangka mempersiapkan substansi dan merumuskan strategi negosiasi tersebut, tahun 2012 juga merupakan momentum yang baik bagi Indonesia untuk mereview progres yang telah dicapai Indonesia dalam mempersiapkan implementasi REDD+. Beberapa aspek yang perlu direview adalah terkait dengan kesiapan perangkat untuk implementasi REDD+, terutama : (1) penyusunan Strategi Nasional (Stranas), (2) penentuan REL/RL, (3) pembangunan National Forest Monitoring System (NFMS) sebagai perangkat monitoring REDD+, dan (4) penyusunan Sistem Informasi Implementasi Safeguards (SIS) REDD+.
Pertemuan multi pihak (stakeholder) ini merupakan salah satu sarana untuk meng-update status dari proses negosiasi di tingkat internasional serta kesiapan Indonesia terkait dengan implementasi REDD+. Dari hasil pertemuan ini diharapkan para pihak meningkat pemahamannya sehingga dapat merumuskan dengan tepat substansi apa yang akan diperjuangkan melalui proses negosiasi internasional dan strategi apa yang perlu dipersiapkan Indonesia dalam negosiasi tersebut.
iv Kata Pengantar
Atas terselenggaranya pertemuan serta tersusunnya prosiding ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan kontribusinya.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Jakarta, Juni 2012
Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan,
Dr.Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc.NIP. 19580108 198603 2 002
vProsiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................... iii
Daftar Isi ......................................................................... v
Daftar Singkatan ............................................................ vii
1. Pendahuluan ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................11.2 Tujuan ........................................................................................21.3 Hasil yang Diharapkan ...............................................................31.4 Peserta ........................................................................................31.5 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan ........................................31.6 Format/Pengorganisasian Pertemuan ........................................3
2. Penyelenggaraan Pertemuan ......................................... 5
2.1 Agenda .......................................................................................52.2 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian
Kehutanan ..................................................................................62.3 Catatan Penyelenggaraan ........................................................11
2.3.1 Sesi I ...............................................................................112.3.2 Sesi II .............................................................................292.3.3 Penutupan ......................................................................43
2.4 Kesimpulan ...............................................................................43
Lampiran ....................................................................... 45
viiProsiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Daftar Singkatan
A/R-CDM : Afforestation/Reforestation – Clean Development Mechanism
ADP : Ad-hoc Working Group on the Durban PlatformAGB : Above Ground BiomassAOSIS : Alliance of Small Island StatesAPHI : Asosiasi Pengusaha Hutan IndonesiaAWG DPEA : Ad-hoc Working Group on the Durban Platform for
Enhanced ActionsAWG-KP : Ad-hoc Working Group on the Kyoto ProtocolAWG-LCA : Ad-hoc Working Group on the Long Term Cooperative
ActionsBACI : Before – After Control – InterventionBakosurtanal : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan NasionalBAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBAU : Business as UsualBUR : Biennial Update ReportCGE : Consultative Group of ExpertsCIFOR : Center for International Forestry ResearchCMP : Conference of the Parties Serving as the Meeting of the
PartiesCOP : Conference of the PartiesDA : Demonstration ActivitiesDNPI : Dewan Nasional Perubahan IklimFAO : Food and Agricultural OrganizationFCPF : Forest Carbon Partnership FacilityFE : Faktor EmisiForclime : Forest and Climate ChangeFPIC : Free, Prior, and Informed ConsentGRK : Gas Rumah KacaHOB : Heart of BorneoHPH : Hak Pengusahaan HutanIAFCP : Indonesia Australia Forest Carbon PartnershipICA : International Consultation and AnalysisINCAS : Indonesia National Carbon Accounting System
viii Daftar Singkatan
IPCC : Intergovernmental Panel on Climate ChangeJTT : Jatah Tebang TahunanK/L : Kementerian/LembagaKLH : Kementerian Lingkungan HidupKPH : Kesatuan Pengelolaan HutanLSM : Lembaga Swadaya MasyarakatLULUCF : Land Use, Land Use Change, and ForestryMRV : Monitoring, Reporting, and VerificationNAMAs : Nationally Appropriate Mitigation ActionsNC : National CommunicationNFI : National Forest InventoryNFMS : National Forest Monitoring SystemNGO : Non Governmental OrganizationNSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan KriteriaPRISAI : Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguards IndonesiaPSP : Permanent Sample PlotQELROs : Quantified Emission Limitation and Reduction ObjectivesRAD-GRK : Rencana Aksi Daerah – Gas Rumah KacaRAN-GRK : Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah KacaREDD+ : Reducing Emission from Deforestation and Forest
DegradationREL/RL : Reference Emission Level/ Reference LevelSBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological AdviceSIGN : Sistem Informasi GRK NasionalSKPD : Satuan Kerja Perangkat DaerahSNI : Standar Nasional IndonesiaSTRADA : Strategi DaerahTSP : Temporary Sample PlotUNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate ChangeUN-REDD+ : United Nations – Reducing Emission from Deforestation
and Forest DegradationUPT : Unit Pelaksana Teknis
1Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Isu perubahan iklim merupakan masalah global, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim. UNFCCC merupakan forum internasional untuk membahas berbagai permasalahan di seputar isu tersebut. Dalam pertemuan internasional selama dekade terakhir, kehutanan menjadi sektor yang termasuk agenda penting. Hal ini karena dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sumber emisi GRK yang dapat meningkatkan pemanasan global maupun sebagai penyerap GRK di atmosfer sehingga berkontribusi dalam upaya menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dimaksud.
Dengan peran tersebut, hutan dapat berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu aktivitas mitigasi di sektor kehutanan yang saat ini merupakan agenda utama baik pada proses negosiasi UNFCCC maupun di dalam negeri yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks) atau dikenal dengan REDD+. Karena nilai penting hutan ini pula, REDD+ masuk dalam Bali Action Plan pada COP-13 tahun 2007. Lebih lanjut, pada tahun 2009 pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan 26 – 41 % emisi GRK dari tingkat BAU pada tahun 2020, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK, yang mempertegas peran yang diharapkan dari sektor kehutanan yang besar dalam upaya penanganan perubahan iklim di Indonesia, khususnya dalam penurunan emisi GRK (di mana sektor kehutanan memperoleh alokasi target penurunan emisi sebesar 0,672 Gton CO2e (26%) sampai 1.039 Gton CO2e (41%) dari BAU tahun 2020.
1
2 Pendahuluan
Pada bulan Mei 2012 telah diselenggarakan sidang UNFCCC di Bonn, dimana isu kehutanan masuk dalam agenda SBSTA dan AWG-LCA, dimana REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Pasca perundingan di Bonn ini menjadi momentum yang tepat untuk me-review status penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan di Indonesia. Di satu sisi, perlu diikuti perkembangan negosiasi di tingkat internasional, untuk mengetahui implikasinya serta memperoleh “arah” penanganan perubahan iklim khususnya yang terkait dengan REDD+ dan peran sektor kehutanan. Di sisi lain, perlu ditinjau bagaimana perkembangan penyiapan aspek teknis REDD+ di Indonesia hingga saat ini, bagaimana status perkembangan kegiatan REDD+ di tingkat sub nasional serta pembelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ di lapangan selama ini.
Sehubungan dengan itu, Kementerian kehutanan cq. Pusat Standardisasi dan Lingkungan menyelenggarakan pertemuan dalam rangka awareness raising Penanganan Perubahan Iklim dengan tema “Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia”. Pertemuan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kepada para stakeholder terkait penanganan perubahan iklim di Indonesia, mengenai perkembangan negosiasi internasional yang terjadi saat ini, sekaligus me-review dan mendiskusikan status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan, guna memperoleh masukan untuk perbaikan/ pemyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia.
1.2 Tujuan1. Menginformasikan dan mengkomunikasikan kepada stakeholders
perkembangan negosiasi UNFCCC, dan implikasinya terhadap penanganan perubahan iklim sektor kehutanan termasuk REDD+ di Indonesia;
2. Me-review dan mendiskusikan status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan di Indonesia;
3. Memperoleh masukan untuk perbaikan/penyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia
3Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
1.3 Hasil yang Diharapkan1. Terkomunikasikannya perkembangan negosiasi UNFCCC,
dan implikasinya terhadap penanganan perubahan iklim sektor kehutanan termasuk REDD+ di Indonesia;
2. Ter-update-nya status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan di Indonesia;
3. Diperolehnya masukan untuk perbaikan/penyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia.
1.4 Peserta
Pertemuan diikuti 102 orang yang merupakan perwakilan dari Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, NGOs dan organisasi terkait, akademisi, lembaga penelitian, swasta, dan mitra internasional serta pelaku REDD+ di lapangan.
1.5 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan
Workshop diselenggarakan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, selama 1 (satu) hari, pada hari Kamis tanggal 14 Juni 2012.
1.6 Format/Pengorganisasian Pertemuan
Pertemuan diselenggarakan dengan format acara sebagai berikut :
1. Pertemuan dibuka dengan sambutan dan arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Tenaga Ahli Menteri Bidang Strategi dan Politik Kehutanan),
2. Sesi ke-1 (pagi) merupakan sesi presentasi dan diskusi (panel) yang menampilkan 3 (tiga) paparan dengan topik terkait perkembangan negosiasi internasional dan aspek teknis nasional, yaitu :a. REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn (Dr. Ir.
Nur Masripatin, M.For.Sc - Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kemenhut)
4 Pendahuluan
b. Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR /Biennial Update Report (Ir. Dida Migfar Ridha, MS - Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca – Kementerian Lingkungan Hidup)
c. Progress Pengembangan National Forestry Monitoring System (NFMS) untuk Monitoring dan Reporting REDD+ Indonesia (Ir. Iman Santosa, M.Sc - Kepala Sub Direktorat PSDH – Ditjen Planologi, Kemenhut)
Selanjutnya sesi ini dilanjutkan presentasi dan diskusi dengan paparan “Lessons learned from the first Generation of REDD+ Activities” oleh Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso (CIFOR)
3. Sesi ke-2 (siang) menampilkan 3 (tiga) paparan dengan topik terkait status perkembangan kegiatan REDD+ di tingkat sub nasional serta pembelajaran apa yang bisa kita tarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ (pilot / DA) di lapangan, yaitu :a. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan (Bp. Solichin
Manuri - Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime)b. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan (Ir. Nahardi,
M.M - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah), c. Road to Doha and Beyond : apa yang harus disiapkan Indonesia?
oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, selaku ‘Focal Point’ UNFCCC).
4. Pertemuan ditutup oleh Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan.
5Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Penyelenggaraan Pertemuan
2.1 Agenda
Waktu Kegiatan Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator
08.00 – 09.00 Registrasi dan morning coffee Panitia
PEMBUKAAN
09.00 – 09.10 Pembukaan MC
09.10 – 09.35 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
SESI I Moderator :Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc (Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kemenhut)
09.40 – 10.00 REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kemenhut)
10.00 – 10.20 Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR /Biennial Update Report
Ir. Dida Migfar Ridha, MS(Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca – Kementerian Lingkungan Hidup)
10.20 – 10.40 Progress Pengembangan National Forestry Monitoring System (NFMS) untuk Monitoring dan Reporting REDD+ Indonesia
Ir. Iman Santosa, M.Sc(Kepala Sub Direktorat PSDH – Ditjen Planologi, Kemenhut)
10.40 – 11.20 Diskusi
11.20 – 11.40 Overview Kegiatan Lapangan REDD+ Indonesia
Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso – CIFOR
11.40 – 12.00 Diskusi
12.00 – 13.00 Ishoma
SESI II Moderator :Dr. Ir. Tonny R. Suhartono, M.Sc(Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional Wil. II, Kemenhut)
2
6 Penyelenggaraan Pertemuan
Waktu Kegiatan Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator
13.00 – 13.20 Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - GIZ
Bp. Solichin Manuri (Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime)
13.20 – 13.40 Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - UNREDD Sulawesi Tengah
Ir. Nahardi, M.M (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah)
13.40 – 14.10 Diskusi
14.10 – 14.40 Presentasi kunci : “Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia?”
Prof. Ir. Rachmat Witoelar(Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim)
14.40 – 15.15 Diskusi
15.15 – 15.30 Coffee Break
15.30 – 15.45 Penutupan Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan
2.2 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, yang disampaikan oleh Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Tenaga Ahli Menteri Bidang Strategi dan Politik Kehutanan)
Assalamu’alaikum warrahmatullahiwabarakatuh,
Yang saya hormati :
• Bapak Prof. Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim dan selaku utusan khusus Presiden RI bidang Perubahan Iklim.
• Saudara-Saudara Perwakilan Kementerian Koordinator, serta Kementerian dan Lembaga terkait dalam penanganan perubahan iklim,
• Saudara-Saudara pejabat dan staf Kementerian Kehutanan,
• Para mitra dan peserta pertemuan yang berbahagia,
Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga pada hari ini kita dapat
7Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
berkumpul disini dalam rangka mengikuti Pertemuan dakam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim dengan tema “Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia”
Hadirin yang saya hormati,
Isu perubahan iklim merupakan masalah global yang dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim. Pada dekade terakhir ini, isu kehutanan menjadi agenda penting dalam forum UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Hal ini sangat beralasan mengingat hutan dalam konteks perubahan iklim berperan sebagai sumber emisi sekaligus penyerap dan penyimpan GRK. Dengan demikian hutan dapat berkontribusi sebagai sumber daya alam yang mampu penjadi penyeimbang konsentrasi GRK di atmosfer bumi.
Hadirin yang saya hormati,
Indonesia memiliki komitmen yang serius untuk menurunkan emisi GRK di tingkat nasional, dengan sendirinya isu kehutanan, secara langsung maupun tidak langsung, menjadi isu penting dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, terlebih karena ± 70 % dari luas negara adalah kawasan hutan yang tentunya akan sangat mempengaruhi kebijakan sektor lain terutama sektor berbasis lahan. Sejak COP-13 UNFCCC di Bali, tahun 2007, isu tentang kehutanan dalam perubahan iklim secara tegas dimasukan dalam format kerangka REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks).
Sejalan dengan amanah Bali Action Plan, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 – 41 % dari tingkat Business as Usual (BAU) pada tahun 2020. Komitmen ini telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dalam Peraturan Presiden ini, target yang diberikan kepada sektor kehutanan dalam penurunan emisi GRK adalah mencapai + 87 % dari kontribusi nasional. Untuk mencapai sasaran tersebut, tentunya sangat penting bagi sektor kehutanan untuk
8 Penyelenggaraan Pertemuan
menentukan strategi perencanaan dan pelaksanaan penurunan emisi GRK, termasuk penentuan posisi antara REDD+ dengan RAN GRK - NAMAs.
Hadirin yang saya hormati,
Pada tanggal 14 s/d 25 Mei 2012 yang lalu, di Bonn, Jerman telah dilaksanakan perundingan beberapa Badan Bawahan UNFCCC dan isu kehutanan termasuk REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Hasil perundingan di Bonn ini sangatlah penting bagi Indonesia dalam rangka menentukan sikap dan langkah tindak lanjut Indonesia dibawah Durban Platform for Enhance Action (DPEA) yang akan dibahas pada perundingan UNFCCC berikutnya di Doha, Qatar pada akhir November 2012.
Hadirin yang terhormat,
Perkembangan negosiasi di tingkat internasional dalam perubahan iklim dan khususnya REDD+ bagi sektor kehutanan sangat penting untuk terus diikuti. Tujuannya antara lain agar arah dan implikasi penerapan REDD+ di tingkat nasional dapat terus menerus disesuaikan dengan perubahan kondisi internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan dan kedaulatan negara dan sebaliknya agar pengalaman di tingkat lokal/nasional dapat dieksternalisasikan ke dalam negoisasi global.
Lebih lanjut, REDD+ juga merupakan komitmen strategi mitigasi perubahan iklim yang sarat dengan aspek-aspek teknis perencanaan dan implementasi pencapaian penyerapan emisi CO2 dan peningkatan stok karbon di berbagai level implementasi, mulai dari tingkat tapak/unit manajemen, kabupaten, provinsi dan tingkat nasional.
Oleh karena itu, sangatkah perlu bagi Indonesa, khususnya Kementerian Kehutanan untuk terus menerus memonitor dan me-review bagaimana perkembangan penyiapan aspek teknis REDD+ Indonesia untuk sektor kehutanaan hingga saat ini, dan bagaimana status perkembangan kegiatan inisiatif REDD+ tahap readiness dan transition, serta pembelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ yang selama ini sudah dilaksanakan di lapangan.
9Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Hadirin yang terhormat,
Berdasarkan hal-hal yang saya uraikan dimuka, maka dalam pelaksanaan pertemuan ini saya ingin menyampaikan hal-hal penting sebagai berikut:
1. Marilah kita bersama-sama menyimak apa yang akan disampaikan oleh Bapak Profesor Rachmat Witoelar mengenai apa yang akan kita hadapi pada perundingan UNFCCC di Doha pada akhir November 2012 dan strategi apa yang harus kita siapkan pada perundingan tersebut.
2. Pada pertemuan ini kita harus mampu mengumpulkan dan menggali lebih dalam masukan dan saran para stakeholder dalam rangka mengevaluasi penanganan isu perubahan iklim di bidang kehutanan khususnya dalam menindaklanjuti persiapan pembangunan perangkat implementasi REDD+ yang terdiri dari : a. Penyusunan Strategi Nasional (Stranas) atau Rencana Aksi
REDD+ b. Penetapan dan penghitungan Reference Emission Level (REL) dan
atau Reference Level di tingkat nasional dan sub nasional.c. Implementasi mandat REDD+ dalam menyusun National Forest
Monitoring System (NFMS). Berdasarkan nomenklatur dan aspek teknisnya, tentunya penyusunan dan implementasi NFMS ini seharusnya berada dibawah koordinasi Kementerian Kehutanan.
d. Perkembangan penyusunan dan penetapan Sistem Informasi tentang pelaksanaan Safeguard (SIS REDD+) sebagaimana yang diamanatkan pada COP-16 di Cancun, Mexico.
3. Kita juga harus mampu menarik pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan (atau proyek) REDD+ di tingkat lapangan ataupun ditingkat sub nasional dan nasional untuk kepentingan penyusunan dan penetapan pedoman Monitoring, Reporting, and Verifying (MRV) dalam menghitung serapan, emisi karbon dan penambahan stok karbon dari pelaksanaan kegiatan REDD+ di tingkat tapak dan sub nasional yang harus konsisten dengan pendekatan yang dipakai di tingkat nasional.
10 Penyelenggaraan Pertemuan
Hadirin yang saya hormati,
Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan dan pesankan pada pembukaan Pertemuan Komunikasi Stakeholder tentang Penanganan Perubahan Iklim dengan tema “Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia” ini. Apa yang nanti dirumuskan dalam pertemuan ini harus betul-betul dapat menjadi masukan yang berharga dalam menentukan langkah dan strategi tindak lanjut bagi Kementerian Kehutanan dalam memenuhi target sektor kehutanan dalam penurunan emisi GRK baik melalui mekanisme RAN-GRK, NAMAs maupun mekanisme REDD+, dengan tetap mendasarkan pada kebijakan pembangunan nasional pro growth (pertumbuhan ekonomi), pro poor/pro job (peningkatan aspek kesejahteraan sosial) dan pro green (kelestarian lingkungan).
Saya, atas nama Kementerian Kehutanan, menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Rachmat Witoelar atas kesediaan beliau untuk menjadi narasumber utama pada pertemuan ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrohmannirrohim, pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim dengan topik Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia” dengan ini saya nyatakan resmi dibuka.
Wabillahitaufiqwalhidayah
Wassalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh.
Jakarta, 14 Juni 2012
Sekretaris Jenderal,
Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA.
11Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
2.3 Catatan Penyelenggaraan
Pengantar dari Moderator (Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc – Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan)
Fenomena perubahan iklim telah menimbulkan dampak yang membahayakan bagi kehidupan di bumi. Perubahan iklim terjadi karena kegiatan manusia di masa lalu, namun hal itu dapat diatasi melalui respon kebijakan yang dilakukan secara segera. Namun demikian, dalam prakteknya di lapangan pemerintah sering menempatkan kebijakan perubahan iklim dan pembangunan secara terpisah. Oleh karena itu sering terjadi masalah bahwa kegiatan penanganan perubahan iklim tidak sejalan dengan pembangunan sehingga terkadang menimbulkan sebuah paradoks. Maka sebaiknya agenda pembangunan yang ada dapat diintegrasikan ke dalam aksi-aksi penanganan perubahan iklim.
Hari ini akan dibahas update dari Sidang UNFCCC di Bonn tahun 2012. Pasca sidang Bonn ini merupakan momentum tepat bagi kita untuk me-review status penanganan perubahan iklim di Indonesia. Ibu Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For,Sc. yang selalu mengikuti negosiasi perubahan iklim, akan memberikan paparan tentang perkembangan negosiasi perubahan iklim di tingkat internasional. Hal ini penting karena bermanfaat untuk mengetahui implikasinya serta arah penanganan perubahan iklim khususnya yang terkait dengan REDD+ dan peran sektor kehutanan. Selain itu diperlukan sebuah paparan tentang aspek teknis REDD+, maka Bapak Ir. Dida Migfar Ridha, M.S. dari Kementerian Lingkungan Hidup akan memberikan penjelasan mengenai progress penyiapan MRV NAMAs dan BUR. Kemudian akan disampaikan progress pengembangan National Forest Monitoring System (NFMS) untuk monitoring dan reporting REDD+ Indonesia oleh Bapak Ir. Iman Santosa, M.Sc dari Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan.
12 Penyelenggaraan Pertemuan
2.3.1 Sesi I
2.3.1.1 Presentasi I
1. REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn
Oleh : Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kemenhut).
Presentasi dimulai dengan bagaimana arrangement sidang pasca Durban, posisi kehutanan dalam agenda sidang di Bonn, seberapa jauh Indonesia mencapai progress di Bonn untuk REDD+ dan perubahan yang terjadi di LULUCF, setting serta fokus negosiasi, link ke Rio+20. Pada dokumen draft the Future We Want untuk Rio+20 tercantum bahwa akan terdapat beberapa isu yang memiliki interkoneksi antara yang diperjuangkan di Rio+20 dan proses-proses lainnya.
Persidangan ADP dimulai sejak sidang di Bonn 14 Mei 2012. Target ADP adalah menghasilkan protokol atau dokumen legally binding lainnya di tahun 2015. Isu-isu yang sebelumnya biasa dinegosiasikan di bawah AWG-LCA banyak yang sudah dialihkan ke SBI lalu yang biasa berada di bawah AWG-KP banyak dialihkan ke SBSTA termasuk isu LULUCF. Isu kehutanan dalam hal ini REDD+ dan LULUCF dinegosiasikan di bawah SBSTA, sedangkan negosiasi REDD+ masih berada di bawah AWG-LCA sampai dengan COP di Doha.
Dari sisi pelaksanaan mandat COP Durban dan Cancun, progress untuk aspek teknis cukup signifikan. SBSTA-36 di Bonn sudah menyelesaikan beberapa isu kritikal menyangkut NFMS dan MRV, dan mencapai kesepakatan terkait elemen-elemen apa yang akan dibawa ke negosiasi di Doha untuk diadopsi sebagai keputusan COP-18. Selain itu SBSTA juga mendiskusikan tentang bagaimana menangani drivers of deforestation and forest degradation di nasional dan internasional serta guidance lebih lanjut mengenai forest REL. Dengan kondisi demikian, kemungkinan isu-isu tersebut akan dapat terselesaikan pada negosiasi di Doha.
13Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Aspek teknis yang akan diselesaikan di Doha tersebut dalam hal implementasinya tidak terlepas dari dukungan finansial, alih teknologi, serta capacity building yang perlu diberikan oleh negara maju. Persoalannya sekarang adalah negosiasi finansial dilakukan di bawah AWG-LCA yang akan selesai di Doha. Sementara itu selama proses negosiasi di Bonn tahun 2012 masih belum jelas apakah akan langsung di bawah SBI agar aspek finansial dapat langsung dinegosiasikan secara detail. Fast Start Finance, di mana REDD+ juga berada di dalamnya, akan selesai pada tahun 2012. Kemungkinan besar hal itu akan menjadi bagian dari negosiasi di bawah ADP. Jika hal tersebut terjadi dan penetapan secara hukum akan dilakukan pada tahun 2020 maka kemungkinan besar akan terjadi gaps of financing. Oleh karena itu negosiasi di Doha akan sangat krusial.
Untuk isu REDD+ terdapat beberapa koordinasi intensif yang perlu dilakukan di tingkat nasional, dalam hal ini para negosiator Indonesia terkait NAMAs, BUR, dan CGE (Consultative Group of Experts) untuk National Communication. Kemudian semua agenda yang menyangkut pendanaan akan dikoordinasikan lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman di Durban komunikasi intensif dengan Co-Chairs REDD+ di SBSTA dan para fasilitator terbukti efektif untuk mempersempit perbedaan dalam negosiasi.
Untuk implementasi di tingkat nasional, meskipun proses negosiasi berjalan lamban, terutama dalam kondisi perekonomian negara maju yang saat ini sedang mengalami krisis, namun komitmen kerjasama bilateral dan multilateral tetap berjalan dan bertambah dari waktu ke waktu. Di samping itu perlu adanya konsistensi antara REDD+ dan RAN/RAD-GRK, NAMAs terkait dengan MRV, serta berbagai kebijakan berbasis lahan lainnya. Adapun perangkat yang harus disiapkan untuk implementasi REDD+ antara lain:
• Stranas atau RAN REDD+ yang disiapkan oleh Satgas REDD+,
• National Forest REL dan NFMS, yang merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan
• Sistem Informasi Safeguards REDD+, yang pembangunannya dikoordinasi oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan.
14 Penyelenggaraan Pertemuan
Pasca tahun 2012 isu LULUCF yang pada mulanya berada di bawah AWG-KP sudah dialihkan ke SBSTA. Isu ini banyak dinegosiasikan atas kepentingan negara maju dan sekarang tujuan Indonesia dan negara berkembang lainnya adalah menjaga agar tidak ada indikasi negatif ke negara berkembang dan agar negara maju comply dengan komitmennya. Pasca COP di Durban, terdapat ruang-ruang untuk menambahkan aktivitas dari LULUCF ke dalam mekanisme CDM. Hal ini menimbulkan pertanyaan karena akan menimbulkan peluang kegiatan lain, yaitu CDM untuk kehutanan di luar A/R-CDM, sedangkan di lain pihak sudah terdapat REDD+.
Dalam konteks Indonesia, komitmen 26-41% yang terumuskan dalam dokumen RAN-GRK saat ini tidak sama dengan NAMAs. Oleh karena itu Indonesia perlu mendefinisikan REDD+, NAMAs, dan RAN-GRK agar jelas saat dilakukan kegiatan nyata di lapangan sehingga akan memudahkan proses reporting dan BUR. Adapun agenda dari DPEA adalah sebagai berikut:
• Tahun 2012 : AWG-DPEA mulai bekerja• Tahun 2015 : pada COP 21 Protocol atau instrumen lain
yang “legally binding” diadopsi oleh COP• Tahun 2016-2019 : antara COP 22-25 proses ratifikasi oleh
parties• Tahun 2020 : pada COP 26 Protokol mulai berlaku (enter
into force)
Catatan penutup:
• DPEA membawa konsekuensi terhadap percaturan negosiasi UNFCCC termasuk isu kehutanan (REDD+ di dalamnya),
• Hampir semua negara melihat pentingnya pelibatan sektor swasta, namun negosiasi belum menunjukkan kemajuan signifikan menuju ke arah itu,
• Penentuan posisi Indonesia dalam berbagai forum internasional yang membahas isu yang sama/serupa menjadi tantangan tersendiri, termasuk penanganan cross-cutting issues dalam forum yang sama (dalam hal ini UNFCCC).
15Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
• Tantangan di tingkat nasional yang akan sangat signifikan adalah dalam mendefinisikan green economy ke dalam mainstream perencanaan pembangunan nasional dan elaborasi ke dalam aksi konkret yang dapat diukur kinerjanya, baik ke dalam sektor maupun berdasar kewilayahan (misalnya kabupaten-provinsi-nasional),
• Dengan berakhirnya AWG-LCA tahun 2012 dan mulai beroperasinya ADP, diperlukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perubahan setting negosiasi isu kehutanan dalam UNFCCC (dalam hal ini REDD+ dan LULUCF).
2. Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR/ Biennial Update Report Oleh : Ir. Dida Migfar Ridha, MS - Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup
Definisi MRV sebagai suatu sistem adalah sistem untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi pencapaian penurunan emisi GRK secara berkala, sahih, akurat, menyeluruh, konsisten, dan transparan. Tujuan MRV sendiri adalah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan nasional penurunan emisi GRK. Adapun prinsip dasar dari MRV adalah: Transparency, Accuracy, Consistency, Comparability, dan Completeness.
Bali Action Plan menggarisbawahi kebutuhan NAMAs oleh negara berkembang yang didukung dengan pendanaan, teknologi, dan capacity building dalam tatanan yang dapat dimonitor, diverifikasi, dan dilaporkan (MRV-able). Adapun elemen dari MRV adalah:
• Aksi Mitigasi/NAMAs
• Dukungan (teknologi, pendanaan, capacity building)
• Inventarisasi GRK (tidak disebutkan secara eksplisit pada Bali Action Plan, namun secara umum dianggap sebagai komponen yang diperlukan bagi MRV)
Terkait dengan international submission, negara berkembang harus menyerahkan BUR (Biennial Update Report) setiap dua tahun sekali terhitung dari konferensi UNFCCC berikutnya. Adapun elemen-elemen yang harus dimasukkan dalam BUR adalah:
16 Penyelenggaraan Pertemuan
a. update mengenai inventarisasi GRK nasional termasuk laporan inventarisasi nasional,
b. informasi mengenai aksi mitigasi termasuk informasi tentang MRV domestik
c. kebutuhan dan dukungan yang telah diterima
Jika BUR sudah diserahkan oleh negara berkembang maka negara berkembang yang bersangkutan akan diberikan fasilitas ICA (International Consultation and Analysis). Data BUR harus disampaikan pada tahun 2014, (data paling aktual yang tersedia adalah data tahun 2010, namun diharapkan dapat diperoleh data tahun 2012) kemudian tahun 2016 akan diserahkan BUR kedua berdasarkan 3rd National Communication.
Dalam melakukan MRV terdapat beberapa isu terkait pelaksanaan kesiapan MRV, yaitu:d. Pemahaman mengenai MRV, BUR, dan NC. Pemahaman mengenai
istilah-istilah tersebut masih berbeda-beda.e. Sumber daya manusia.f. Institutional arrangement di masing-masing sektor.g. Aktivitas dan dokumentasi inventarisasi, aksi/rencana mitigasi, dan
pendanaan terkait emisi GRK. Hal ini dikarenakan setelah dilakukan aksi mitigasi, pendanaan tidak terjadi on top, namun tetap instrumental seperti yang sudah dilakukan.
h. Timeline dan perencanaan. Hal ini dikarenakan dinamika negosiasi yang tinggi serta waktu yang berjalan cepat seiring dengan banyaknya agenda kegiatan negara, seperti Pemilihan Umum di tahun 2014. Oleh karena itu lembaga terkait perlu fokus dalam menyiapkan BUR dan lain-lain.
i. Kesiapan dalam mengukur dan melaporkan emisi GRK kegiatan/sektor (Inventarisasi) dan monitoring aksi mitigasi (RAN dan keterkaitan RAN dengan RAD). Diperlukan sebuah kepastian bahwa aksi-aski yang dilakukan dalam RAN-GRK dapat diukur. Aksi yang tidak terukur tidak dapat dimasukkan ke dalam aksi mitigasi.
Oleh karena itu tiap K/L telah memiliki tugas/kewenangan dalam melaksanakan berbagai komponen kegiatan MRV RAN/RAD-GRK, yaitu monitoring, pelaporan, dan verifikasi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumak Kaca dan Peraturan Presiden
17Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Mengingat prioritas kegiatan saat ini adalah penyampaian BUR pertama pada tahun 2014, maka tantangan dan rencana tindaklanjutnya adalah tercapainya kesepakatan dan/atau pemahaman bersama mengenai:
• Sistem MRV dan rencana kerja penyusunan pedoman MRV
• Kaitan antara sistem MRV, kerangka kerja NAMAs, dan inventori GRK nasional; dan dalam hal ini koordinasi harus berjalan secara intensif antara SIGN Centre dengan Sekretariat RAN-GRK
• Peran dan strategi operasional BAPPENAS, KLH, K/L terkait, provinsi/kabupaten/kota untuk membuat sistem berjalan dengan baik
Selain itu diperlukan sosialisasi dan rencana kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan MRV NAMAs terkait regulasi baru, peningkatan kapasitas personalia, instrumen dan metodologi, pelatihan, proyek percontohan MRV, sosialisasi nasional MRV, pelaksanaan MRV, dan lain-lain.
Adapun rencana pengembangan Perangkat BUR terkait inventarisasi GRK adalah penyusunan dokumen dan database komprehensif faktor emisi (FE) untuk sawah pada berbagai jenis tanah, iklim, dan teknik budidaya; landfill pada berbagai daerah; serta limbah cair produksi dan jenis industri pertanian. Hal tersebut menjadi perhatian karena pada penyusunan 2nd National Communication faktor emisi tersebut masih belum tersedia, namun sekarang sedang dikembangkan oleh beberapa kementerian terutama Kementerian Pertanian. Dengan tersedianya data faktor emisi tersebut maka dapat dilakukan pengukuran secara locally specific tanpa harus menggunakan default dari IPCC. Dalam hal ini diperlukan juga sebuah acuan untuk mengorganisasi proses validasi data aktivitas dan aspek uncertainty.
Selain itu juga perlu dilakukan pengembangan mekanisme kelembagaan penyusunan inventarisasi GRK di daerah percontohan
18 Penyelenggaraan Pertemuan
(mulai dari proses pengumpulan data yang terintegrasi dengan Sistem Informasi GRK Nasional (SIGN), termasuk kegiatan pelatihan bagi personil daerah) dan di tingkat sektor (mulai dari proses pengumpulan data, Quality Assurance/Quality Control, sampai integrasinya dengan SIGN dan hubungannya dengan RAN-GRK, termasuk kegiatan peningkatan kapasitas di setiap sektor). Kementerian Lingkungan Hidup akan berkoordinasi terus dengan berbagai lembaga sehingga setidaknya pada tahun 2014 Indonesia sudah memiliki data inventarisasi GRK kurun waktu tahun 2000-2012 (sampai saat ini data yang tersedia hanya kurun waktu 2000-2005) untuk bahan BUR yang taraf konsistensinya dapat digunakan sebagai bahan modelling atau pengambilan kebijakan lainnya.
3. Pengembangan National Forest Monitoring and Reporting System (NFMS) untuk Monitoring REDD+ Indonesia)
Oleh : Ir. Iman Santosa, M.Sc – Kepala Sub Direktorat PSDH, Direktorat Jenderal Planologi, Kemenhut)
Sampai saat ini belum terbentuk kesepahaman yang utuh terkait NFMS, namun berdasarkan hasil monitoring Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan luas hutan di Indonesia sampai tahun 2009 adalah ± 99 juta ha. Angka tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemantauan satelit melalui penafsiran citra Landsat dan hasil cross check di lapangan serta data dari citra satelit lain dengan resolusi yang lebih tinggi. Di lain pihak tingkat deforestasi Indonesia cukup tinggi terutama pada periode awal reformasi sekitar tahun 2000, namun dewasa ini sudah ada kecenderungan bahwa laju deforestasi tersebut mengalami penurunan. Di sisi lain telah diketahui bahwa hutan menjadi sangat penting dalam konteks pengurangan emisi karbon, oleh karena itu sistem monitoring hutan yang kuat saat ini sangat diperlukan.
Berdasarkan pantauan terhadap luas lahan hutan di Indonesia tahun 2009, pulau Sumatera memiliki luas hutan yang sudah rendah namun tingkat deforestasinya cukup tinggi. Kemudian pada pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku meskipun luas hutannya masih tinggi namun tingkat deforestasinya juga cukup tinggi. Untuk pulau Jawa sendiri walaupun tutupan hutannya
19Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
rendah namun tingkat deforestasinya juga cukup rendah. Lain halnya dengan kondisi di pulau Papua di mana luas hutannya masih tinggi dan tingkat deforestasinya terbilang rendah.
Kegiatan monitoring hutan untuk menduga emisi karbon yang terjadi dilakukan dengan mengalikan variabel “Data Aktivitas” dengan “Faktor Emisi”. Data aktivitas diperoleh dari perubahan penutupan lahan berdasarkan penafsiran citra satelit, sedangkan faktor emisi diperoleh dari data pada sample plots di tiap-tiap provinsi dalam kerangka Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory). Citra satelit yang digunakan dalam penentuan data aktivitas berasal dari penafsiran citra Landsat yang kemudian dilakukan pemetaan penutupan lahan secara periodik mulai tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, dan mulai tahun 2011 akan dilakukan setiap tahun agar mendapatkan data dengan periodisasi yang lebih rapat. Pada dasarnya proses tersebut dilakukan dengan melakukan penafsiran terhadap beberapa citra satelit, yaitu citra satelit Landsat 7 (Enhanced Thematic Method) ETM+, namun sejak tahun 2003 terdapat kerusakan pada citra sehingga pada hasil pencitraan terdapat stripping yang sangat mengganggu proses penafsiran. Meskipun penafsiran telah dikombinasikan dengan Citra Landsat 5 namun tetap tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, digunakan citra satelit pendukung yaitu MODIS, SPOT 4, SPOT 5, dan PALSAR.
Untuk penutupan lahan, Kementerian Kehutanan sendiri telah memiliki 23 kelas penutupan lahan yang akan dapat di reklasifikasi dengan kelas penutupan lahan menurut IPCC. Terdapat 7 dari 23 klasifikasi milik Kementerian Kehutanan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kelas Forestland menurut klasifikasi IPCC, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman. Selain itu terdapat pula klasifikasi lain yang disusun oleh Bakosurtanal, oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan Bakosurtanal terkait hal tersebut.
20 Penyelenggaraan Pertemuan
Kegiatan monitoring hutan dilakukan untuk mengetahui laju deforestasi dan deradasi hutan. Deforestasi merupakan perubahan permanen areal berhutan menjadi tidak berhutan akibat kegiatan manusia, sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu akibat kegiatan manusia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pada periode awal reformasi yaitu sekitar tahun 2000 laju deforestasi Indonesia berada pada level yang tinggi, namun kemudian terjadi penurunan drastis sampai tahun 2011. Untuk laju deforestasi sendiri juga terjadi penurunan dari periode 2006-2009 hingga 2009-2011.
Penentuan faktor emisi sendiri seperti yang juga telah disinggung sebelumnya dilakukan dengan membuat Permanent Sample Plot (PSP) dan Temporary Sample Plot (TSP). Pembuatan TSP bertujuan untuk menduga potensi sumber daya hutan baik volume, kondisi tegakan, distribusi dan keanekaragaman jenis, sedangkan PSP bertujuan untuk memantau perubahan sumber daya hutan dan riap pertumbuhan. Plot-plot tersebut terletak di seluruh kawasan hutan baik berupa Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Hutan Lindung dengan prioritas pada ketinggian di bawah 1.000 m dpl pada hutan lahan kering dataran rendah, rawa, dan mangrove. Penyebaran plot-plot tersebut dilakukan secara sistematik dalam kisi 20 x 20 km dan dapat dirapatkan menjadi 10 x 10 km atau 5 x 5 km. Pada tahun 2006-2010 terdapat hampir 3000 plot klaster dan berdasarkan Renstra Kehutanan maka pada tahun 2010-2014 akan dilakukan penambahan plot klaster sebanyak 599 plot klaster/tahun.
Untuk mendukung kegiatan NFMS, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Australia dalam kerangka Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) guna mengembangkan Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS). Adapun tujuan dari kerjasama tersebut adalah untuk menyediakan data dan laporan sektor lahan pada sistem MRV Indonesia. INCAS sendiri terdiri dari 5 komponen pokok, yaitu: 1) land cover change, 2) landuse and management, 3) soil, including peat, 4) biomass and growth, dan 5) climate data.
21Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
2.3.1.2 Diskusi I
1. Bagaimana status kemajuan penanganan isu perubahan iklim, serta dampak dari segi politik terhadap perdagangan kayu dan konservasi keanekaragaman hayati? (Bp. Ombo Sastrapradja – UNB)
Jawaban :
Sampai saat ini belum ada data mengenai seberapa jauh dampak penanganan perubahan iklim terhadap perdagangan kayu dan konservasi keanekaragaman hayati. Yang dilakukan sekarang adalah melihat movement baik nasional maupun internasional. Sebagai contoh adalah seperti pada sidang UNFCCC di Bonn tahun 2012, di mana delegasi Indonesia bersama REDD+ countries lain membahas penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan kaitannya dengan perdagangan internasional, tetapi dapat dicapai kesepakatan di UNFCCC. Akan tetapi berdasarkan movement yang terjadi, sudah terbangun beberapa standar internasional misal carbon footprint perusahaan, organisasi, dan individu. Untuk isu konservasi keanekaragaman hayati, dapat dilacak dampak dari komitmen penurunan emisi di level nasional melalui data Ditjen Planologi terkait penurunan laju deforestasi. Di lain pihak, aksi yang terkait dengan REDD+ belum banyak secara nyata di lapangan, namun yang ada secara nyata masih berfokus di level policy.
2. Berdasarkan negosiasi internasional private sector dianggap memiliki peran penting dalam penanganan perubahan iklim di sektor kehutanan karena peningkatan stok karbon menjadi prioritas pertama, namun belum terdapat kemajuan terkait perannya dalam negosiasi. Peran apa yang diminta dari swasta dalam proses negosiasi? Apakah swasta harus berperan sebagai observer atau stakeholder dalam pengambilan keputusan? (Bp. Purwadi Suprihanto – APHI)
Jawaban :
Terkait swasta maka yang menarik adalah terkait perdagangan karbon. Beberapa negara yang tingkat ekonominya kurang kompetitif menentang hal ini, terutama dari Afrika dan beberapa negara Amerika Latin serta negara yang tidak mempunyai hutan namun dapat membawa isu kehutanan, misalnya Arab Saudi.
22 Penyelenggaraan Pertemuan
Hal itu menunjukkan bahwa semuanya merupakan proses politis. Keterlibatan sektor swasta dapat secara langsung dan tidak langsung, yang langsung seperti menjadi anggota delegasi. Di forum negosiasi apapun, yang dinegosiasikan adalah sejarah dan masa depan, maka keterlibatan swasta secara tidak langsung misalnya ingin dikembangkan mekanisme market, maka swasta dapat menentukan apakah mau atau tidak, dan bagaimana mekanismenya. Banyak konsep yang dibangun oleh swasta, oleh karena itu sebaiknya swasta juga membantu karena di situlah peran swasta. Apa yang terjadi di negosiasi biasanya lebih diwarnai isu politis, namun swasta bisa mengembangkannya.
3. Terkait potensi hutan alam dengan diameter 50 cm up yang ± sekitar 48 m3/ha, jika dilihat sekarang kawasan hutan yang dikelola oleh HPH adalah seluas 22 juta ha, maka secara sederhana terdapat potensi 48 m3/ha x 22 juta ha. Di lain pihak jatah tebang tahun 2012 hanya sekitar 9 jt m3. Terdapat potensi kayu yang luar biasa karena jatah tebang tersebut juga tidak terealisasi secara maksimum. Apakah penyebaran sample plots tersebut efektif? Hal ini sangat penting untuk menentukan JTT ke depan (Bp. Purwadi Suprihanto – APHI)
Jawaban :
Data potensi yang diperoleh memang berasal dari sample plot, belum dicoba dengan area yang open access. Untuk itu akan coba ditingkatkan, terutama sample plot yang dekat dengan open access area.
4. Berdasarkan penjelasan mengenai MRV, perlu diperhatikan siapa yang bertugas untuk melaksanakan pengukuran. Berdasarkan informasi, belum ada indikator penurunan emisi GRK. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% merupakan tanggung jawab moral. Kapan batas waktu untuk mencapai target tersebut? Kemudian pihak Planologi Kehutanan belum memiliki standar baku untuk mengukur penurunan emisi hutan. Apakah ada semacam metode untuk mengukur agar dapat diketahui oleh masyarakat luas sehingga kita juga dapat melakukan pengukuran? (Bp. Eka Saputra – Direktorat Hutan Alam, BUK)
23Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Jawaban :
Ada 2 hal yang tadi disampaikan, pertama pengukuran sudah dilakukan oleh K/L terkait. Di daerah setiap dinas melakukan pengukuran baik dengan proses topdown maupun bottom up, dan akan dilakukan koordinasi lebih lanjut. Kemudian akan dilihat kelengkapan data di daerah terkait laporan kualitas pengukuran GRK di daerah. Unit Industri yang ingin mendapatkan sertifikat “hijau” harus memiliki pernyataan terkait pengukuran GRK-nya. Yang kedua terkait versi penutupan lahan, versi Kementerian Kehutanan dan IPCC sebenarnya sama karena sudah terdapat cluster. Kementerian LH menggunakan klasifikasi yang sama dengan Kementerian Kehutanan.
5. Sebagaimana telah disampaikan bahwa NAMAs tidak sama dengan RAN-GRK, padahal dari segi penamaan konteksnya hampir sama. Seolah-olah Indonesia dipermainkan pihak lain karena harus melaksanakan RAN GRK dan NAMAs, sebaiknya RAN GRK dijadikan NAMAs. Yang kedua dikuti kriteria dan indikator dari NAMAs untuk implementasi RAN GRK sehingga tidak merepotkan pihak-pihak di daerah (Bp. Udiansyah – UNLAM)
Jawaban :
Negara lain tidak mempermainkan Indonesia. Dunia internasional hanya mengenal NAMAs dan DNPI telah mendaftarkan sektor dan kegiatan-kegiatan yang masuk dalam janji pengurangan emisi 26%. Sebenarnya 4 aktivitas itu sudah ada di RAN-GRK, namun kalau dilihat ternyata banyak aktivitas lain dan bebannya hanya di pemerintah. Padahal NAMAs sifatnya beban negara (pemerintah, swasta, civil societies), sedangkan RAN GRK baru mengatur beban/komitmen pemerintah. NAMAs tidak sama dengan RAN-GRK terkait aktivitas yang dimasukkan. Penilaian itu di-acknowledged di Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa salah satu amanah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2010 adalah menyusun NAMAs yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Jadi bukan dunia internasional yang meminta. Contoh lain adalah mengenai safeguards REDD+ di Satgas REDD+, di mana safeguards berdasarkan keputusan COP di Cancun ada 7, namun Satgas REDD+ menentukan 10 safeguards.
24 Penyelenggaraan Pertemuan
6. Siapakah yang bertanggung jawab untuk memonitor hutan dan apa saja yang perlu dilakukan dalam monitoring hutan? (Bp. Udiansyah – UNLAM)
Jawaban :
Semua harus bertanggung jawab dari pusat sampai kabupaten, Kemenhut melalui UPT di daerah melaksanakan training penafsiran citra satelit. Jika merujuk pada data Inventarisasi Hutan Nasional, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 jelas tercantum bahwa untuk inventarisasi hutan pemerintah pusat hanya wajib menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) serta melakukan inventarisasi pada hutan konservasi, sedangkan untuk hutan produksi dan lindung merupakan kewajiban pemerintah provinsi dan kabupaten. Jadi hal ini merupakan kewajiban pusat dan daerah.
7. Kalimantan Tengah telah ditunjuk sebagai provinsi percontohan REDD+ dan mempunyai Rencana Strategi Daerah serta disahkan melalui Peraturan Gubernur. Di tingkat pusat penanganan perubahan iklim ini memiliki perspektif yang berbeda-beda, sehingga di daerah menjadi sulit mengikuti. Seharusnya di tingkat pusat dilakukan sinkronisasi agar daerah juga bisa menindaklanjuti, mengingat bahwa hutan berada di daerah bukan Jakarta. (Bp. Alpius Patanan – Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng)
Jawaban :
Dalam teori chaos disebutkan bahwa di dalam kesemrawutan terdapat keteraturan, oleh karena itu dihimbau untuk bergerak di ruang-ruang itu. Dalam membangun Sistem Informasi Safeguards REDD+, telah dilakukan komunikasi dengan Satgas REDD+ yang membangun PRISAI untuk mensinkronkan kinerja. Di dalam dinamika hiruk pikuk yang sangat tinggi, falsafah yang dipakai Pustanling adalah mengisi gaps dan berusaha agar lebih baik dari waktu ke waktu dan nanti tentunya bagaimana komunikasi dengan daerah dapat ditingkatkan. Itulah hal terbaik yang dapat dilakukan sejauh ini.
25Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
8. Pemahaman deforestasi dan degradasi di lapangan berbeda-beda. Teman-teman LSM menganggap perbedaan pengertian ini secara hukum atau teknis? Harus diperoleh kesepahaman dulu agar lebih clear. Terkait dengan peta yang digunakan sebagai acuan, antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian lain tidak sinkron. Perlu penataan agar terdapat perspektif yang sama sehingga implementasi di lapangan dapat berjalan dengan baik. (Bp. Alpius Patanan – Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah)
Jawaban :
Pengertian deforestasi lebih kepada aspek teknis, deforestasi berarti hutan sebagai suatu ekosistem mengalami perubahan, sedangkan degradasi hutan berarti hutan mengalami perubahan kualitas. Mungkin dari sisi hukum maksudnya hutan bisa terdapat di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, dan demikian juga sebaliknya.
Terkait dengan perbedaan klasifikasi lahan antara Kementerian Kehutanan dan Bakosurtanal, ke depan akan terbit citra satelit dengan resolusi tinggi (4 x 4 m) yang akan digunakan oleh semua K/L. Ada juga program One Map dari Bakosurtanal sehingga kami optimis bahwa perbedaan-perbedaan data dan informasi antar K/L akan dapat dikurangi secara bertahap.
2.3.1.3 Presentasi II
1. Lessons Learned from the First Generation of REDD+ Activities
Oleh : Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso – CIFOR
Dalam presentasi ini dipaparkan laporan dari yang diamati oleh CIFOR di dunia terkait REDD+ dan fokusnya di Indonesia, sehingga merupakan overview yang sifatnya sangat umum dan banyak data yang masih tentative. Yang CIFOR lakukan adalah REDD+ Global Comparative Study dengan melihat secara global, nasional, dan subnasional. Ketiga level tersebut saling terkait dengan tiga komponen, yaitu 1) REDD+ Process and strategies, 2) REDD+ Demonstration Activities, 3) Monitoring and reference level seperti lingkaran yang saling terkait. Proses ini memakan waktu, tenaga dan melibatkan banyak stakeholder.
26 Penyelenggaraan Pertemuan
Berdasarkan klasifikasi dari FCPF World Bank, terdapat tiga kategori laju deforestasi, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Indonesia sendiri bersama Brazil tidak berada dalam ketiga kategori tersebut karena laju deforestasinya dikatakan terlampau tinggi untuk dikategorikan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang terlibat REDD+ mengalami laju deforestasi yang tinggi. Secara umum Indonesia memiliki banyak Potential REDD+ Projects Area. Total terdapat 33 REDD+ Project di Indonesia dan 20 di Brazil yang diteliti oleh CIFOR. Dari segi tujuan project terdapat 3 kategori, yaitu: avoided deforestation, avoided degradation, dan restoration. Di Indonesia ketiga tujuan REDD+ tersebut terdistribusi secara seimbang. Ini juga tegantung kapasitas partner dan dinamika dalam men-design dan men-develop project.
Dalam studi di tingkat nasional, CIFOR mencoba menganalisis seberapa jauh proses di tingkat nasional berlangsung semenjak REDD digulirkan oleh UNFCCC. Dalam studi ini CIFOR meneliti bagaimana cara suatu negara mengerucutkan isu REDD+ (convergence of discourse). Dalam hal ini aktor yang bermain antara lain pemerintah, akademisi, NGO, dan politisi. Secara garis besar negara yang memiliki konvergensi dan keterlibatan stakeholder paling bagus adalah Vietnam karena partai komunis berkuasa, sedangkan yang paling buruk adalah Kamerun karena pemerintah tidak banyak campur tangan dalam pembangunan REDD+, melainkan lebih banyak peran dari lembaga internasional dan akademisi. Indonesia sendiri tidak terlalu buruk dari segi ownership namun masih jauh dari mengerucut sempurna.
Dalam hal keterlibatan aktor guna membentuk sebuah pengerucutan isu REDD+, Indonesia memiliki peran yang kuat di sektor pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki peran mengambil keputusan dan memberi ijin bagi seluruh project yang dilakukan oleh berbagai organisasi, seperti NGO. NGO dalam melaksanakan project-nya perlu berkoordinasi dengan pihak lain, dalam hal ini yang paling lama berinteraksi adalah dengan pihak pemerintah dikarenakan adanya kuasa dari pemerintah. Di lain pihak interaksi antar NGO satu dan lainnya kurang intensif. Meskipun pemerintah memiliki andil besar dalam pembangunan
27Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
REDD+, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat grand design pemerintah Indonesia untuk melakukan planned deforestation. Akbat dari hal ini adalah terjadinya tumpang tindih kepentingan di mana lahan yang ingin dilakukan moratorium tenyata telah memiliki ijin konsesi yang sah secara hukum.
Untuk menganalisis kasus secara lokal, digunakan metode Before-After Control-Intervention (BACI method) supaya dapat dilihat dampaknya. Sampel diambil secara acak pada level desa sampai plot di daerah-daerah yang sudah dan belum ada project REDD+. Secara umum isu yang paling menonjol adalah tenurial yang merupakan jaminan bagi masyarakat untuk mengelola project REDD+ dan aktivitas sehari-hari mereka. Masyarakat bisa saja memandang REDD+ menjadi ancaman bagi mereka. Berdasarkan studi ini terdapat beberapa kasus di Aceh, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang dilakukan studi hingga level rumah tangga. Di Kalimantan Tengah kemampuan masyarakat untuk menolak intervensi kuat, hal ini mungkin dikarenakan pendapatan yang tinggi serta komunikasi dengan dunia luar sehingga masyarakat well-informed. Aceh dan Kalimantan Barat tergolong kurang dalam hal kemampuan untuk menolak campur tangan pihak luar.
Dari segi pengukuran, CIFOR mencoba melihat secara teoritis bagaimana seyogyanya kegiatan di daerah dikombinasikan/diintegrasikan melalui pendekatan yang tersarang/nested sehingga tercipta sebuah Nested MRV System. Pedekatan ini melibatkan peran dari semua level mulai dari nasional, provinsi, sampai ke site. Dari level nasional dana yang diperoleh didistribusikan sampai ke level site dengan menjamin benefit sharing dari sisi teknis, administrasi, dan finansial. Kemudian seiring dengan itu dari level site memberikan data MRV, dengan elemen karbon, sosial, dan biodiversitas, melalui mekanisme yang telah disepakati secara nasional kepada sumber dana. Sebagai gambaran umum, jika dibandingkan dengan seluruh negara Non Annex 1 capacity gap Indonesia dalam pembangunan dan MRV REDD+ berada pada level sedang. Adapun kategori yang digunakan dalam penilaian tersebut adalah:
• National engagement in REDD+ process• Existing monitoring capacity
28 Penyelenggaraan Pertemuan
• REDD+ Challenges• Remote sensing technical challenges
Jika dilihat dari skala yang lebih luas, terdapat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menyusun baseline atau REL/RL untuk pendanaan REDD+. Jika laju deforestasi sudah menurun, maka benefit yang akan diterima Indonesia juga menurun karena usaha yang dilakukan tidak terlalu besar. Oleh karena itu dalam menentukan REL diperlukan sebuah tahapan/stepwise approach yang melibatkan berbagai stakeholder. Dalam tahapan tersebut elemen kunci dalam menentukan REL/RL adalah data aktivitas dan faktor emisi. Jika data tersebut dapat konsisten, akurat, dan teliti maka hasil yang diperoleh akan semakin baik.
Kesimpulan yang dapat diambil antara lain:
• Berdasarkan konvergensi yang ada, meskipun terdiri dari berbagai aktor terdapat beberapa aktor yang dominan yang dapat bersifat positif atau negatif tergantung kepentingan dari aktor tersebut.
• Pada skala lokal masalah tenurial sangat penting
• Nested MRV System perlu dicoba untuk diterapkan, termasuk mekanisme benefit sharing.
2.3.1.4 Diskusi II
1. Untuk Bapak Daniel Murdiyarso, banyak hal terjadi di lapangan. Saya tertarik pada managemen di tingkat nasional. Kalau nanti REDD+ terlaksana, apakah yang menjadi tugas terbesar kita terkait proses perancangan menuju implementasi? Yang kedua apa hal yang paling efektif untuk melaksanakan tugas itu, atau rancangan ke depan agar mekanismenya lancar? Lalu kalau kita membawa nama Indonesia, apa yang perlu kita negosiasikan/ suarakan di level internasional? (Ibu Eny Faridah – Fakultas Kehutanan UGM)
Jawaban :
Bicara soal tantangan terbesar, proses yang dihadapi ini lama dan sulit karena termasuk masalah baru serta menimbulkan ketidakyamanan. Cara mengatasinya berbeda dengan yang dilakukan selama ini. Masalah yang paling mendesak kalau itu dikatakan sebagai barrier,
29Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
orang-orang dalam lembaga itu melihat distorsi, banyak interest yang berbenturan. Ini kenyataan yang harus diakomodasi oleh pengambil kebijakan. Dari segi teknis masalahnya cukup straight forward. Akan tetapi justru yang non teknis, seperti kelembagaan dan peraturan yang ada, beberapa pihak akan mempertahankannya agar ada zona nyaman tersebut ada untuk bergerak tanpa gangguan. Dengan adanya REDD+, zona tersebut diusik sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan tidak berujung dan akhirnya kembali ke square one.
2. Berdasarkan grafik perbandingan kemajuan REDD+ Indonesia dengan negara lain menunjukkan bahwa banyak tugas yang harus dilakukan. Apakah yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan agar koordinasi di tingkat nasional dan daerah jelas? (Bp. Muhammad Farid – DNPI)
Jawaban :
Koordinasi kadang tidak berjalan dengan lancar karena adanya peraturan yang tidak sinkron. Ketika implementasi, masing-masing terkungkung dengan aturannya yang tidak sinkron, sehingga harus ada effort tambahan. Hal lain yang menghambat kecepatan proses kebijakan ini adalah kapasitas. Kami yang sudah lama dengan isu ini sudah mengerti dinamikanya, namun orang yang masih baru tidak. Maka perlu dilakukan proses belajar terus menerus. Itulah hidup dan kenyataan. Kapasitas perlu dibangun agar semua level. Jangan sampai kita tidak dapat berbicara karena tidak tahu. Orang di Jakarta belum tentu paling tahu segalanya. Kita memiliki local wisdom yang tidak terakomodir, sehingga kapasitas harus ditingkatkan sampai daerah. Selain itu ada leadership dari tingkat lokal-nasional. Tidak hanya dibutuhkan kemampuan berbicara, namun otoritas. Substansi dan leadership harus dikombinasikan
2.3.2 Sesi II
2.3.2.1 Presentasi I
1. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - GIZ
Oleh : Bpk. Solichin Manuri - Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime
30 Penyelenggaraan Pertemuan
Proyek ini merupakan REDD+ Demonstration Activity (DA) oleh GIZ Forclime. Adapun tujuan dari DA ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat pedesaan melalui penerapan strategi-strategi perlindungan hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Dalam Forclime sendiri terdapat 2 komponen utama, yaitu Financial Cooperation (FC) Module dan Technical Cooperation (TC) Module. Pada TC module terdapat beberapa sub komponen kegiatan, yaitu Kebijakan Kehutanan, Perencanaan Strategis dan Pengelolaan Hutan Alam Lestari, serta Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Heart of Borneo (HoB).
Wilayah kerja Forclime sendiri terfokus di 3 kabupaten yaitu, Kabupaten Malinau dan Berau di Provinsi Kalimantan Timur, serta Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat. Di dalam setiap kabupaten proyek hanya difokuskan di satu KPH dan analisis baru dilakukan untuk penentuan RL, namun pemantauan additionality, permanence dan leakage belum terlalu tersentuh. Terdapat hambatan dalam pelaksanaan proyek ini yaitu hak dan kewajiban, crediting area, benefit sharing, dan project scale. Terdapat pula hambatan secara khusus pada proses interpretasi citra Landsat, yaitu keberadaan awan. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara di wilayah tropis tergolong negara berawan yang cukup tinggi. Akan tetapi, permasalahan tersebut dicoba untuk diatasi dengan menggunakan software khusus yang dapat menghilangkan komponen awan dari citra yang dihasilkan dengan metode gap filling. Untuk kelas tutupan lahan Forclime mengikuti Land Cover Classification milik FAO di mana klasifikasi tersebut lebih berdasarkan pada tipe ekosistem hutan, lain halnya dengan klasifikasi oleh Bakosurtanal yang lebih berdasar pada spesies pohon hutan. Hal ini dikarenakan akan sangat sulit dalam menentukan klasifikasi spesies di wilayah hutan Dipterocarpaceae mengingat keberagaman spesies yang sangat tinggi.
Dalam melakukan penghitungan biomassa, Forclime masih menggunakan literatur yang ada dengan mengkompilasi dan menggunakan rerata berdasarkan tipe penutupan lahan yang ada. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan di tiap kabupaten maka
31Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
dapat disusun sebuah persamaan yang dapat memprediksi cadangan karbon pada tahun 2030 jika BAU tetap dilakukan, yaitu sebesar 584.906.489 ton karbon di Malinau, 288.115.415 ton karbon di Kapuas Hulu, dan 183.076.657 ton karbon di Berau. Berdasarkan angka tersebut terlihat bahwa prediksi stok karbon di Kabupaten Kapuas Hulu merupakan yang terendah dari kabupaten lain. Hal ini dikarenakan banyak terjadi deforestasi berupa pembukaan lahan untuk perkebunan di wilayah tersebut.
Meskipun demikian, tingkat keakurasian data tersebut masih cukup rendah karena yang dilakukan adalah mengkalkulasi activity data dan emission factor yang diperoleh dari literatur, sehingga saat ini sedang dilakukan peningkatan akurasi pada activity data, emission factor dan removal factor. Untuk perbaikan kualitas citra sendiri saat ini Forclime telah memperoleh Citra Rapid Eye untuk satu KPH di setiap kabupaten dan citra ini bebas dari awan. Usaha peningkatan akurasi data juga dilakukan terhadap penghitungan biomassa dan karbon yang tidak hanya menghitung biomassa above ground namun juga nekromasa dengan metode stratified random sampling dengan merujuk pada IPCC Guidelines dan SNI Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon serta penggunaan persamaan alometrik lokal. Selain itu dilakukan juga kerjasama terhadap beberapa perusahaan HPH dalam menghitung biomassa dan karbon. Forclime juga mengembangkan software untuk memantau database dari pohon di tiap plot yang terdaftar berdasarkan proyek di Merang.
Kesimpulan dari paparan Forclime adalah sebagai berikut:
a. Hasil analisa perubahan tutupan lahan di 3 kabupaten prioritas Forclime telah dilakukan dan digunakan untuk pengembangan RL historis (setara dengan Tier 2)
b. Karena perbedaan antara literatur dan data di lapangan, sangat disarankan untuk peningkatan akurasi hingga Tier 3 di tingkat KPH atau kabupaten
c. Pemetaan tutupan lahan historis secara sistematis di 3 kabupaten prioritas hanya dapat dilakukan dengan data citra Landsat.
d. Citra satelit resolusi lebih baik diperlukan untuk monitoring tutupan lahan yang lebih akurat. Citra Rapid Eye akan digunakan untuk monitoring wilayah kerja Forclime.
32 Penyelenggaraan Pertemuan
Adapun saran dari Forclime adalah sebagai berikut:
a. Penghitungan historical emission yang ada saat ini hanya dari perubahan tutupan lahan dan AGB. Ke depan perlu mempertimbangkan comprehensiveness.
b. Klasifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada.
c. Metode klasifikasi citra juga harus memungkinkan untuk direplikasi.
d. Pengembangan sistem repository dan maintenance data potensi dan pertumbuhan hutan perlu dikembangkan di tingkat provinsi atau kabupaten/ kota.
e. Pengembangan kapasitas terkait dengan klasifikasi tutupan lahan perlu dilakukan di provinsi atau kabupaten/ kota.
f. Karena keterbatasan kapasitas di kabupaten, pre-processing citra satelit sebaiknya dilakukan di tingkat provinsi.
2. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - UNREDD Sulawesi Tengah
Oleh : Ir. Nahardi, M.M - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 2010 merupakan salah satu provinsi yang menjadi percontohan program UN-REDD+ Indonesia (Surat Sekjen Kemenhut No. S-786/II-KLN/2010 tanggal 26 Juli 2010). Sulawesi Tengah mempunyai komitmen yang kuat untuk ikut mendukung UN-REDD dan mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, sebesar 26% dari BAU pada tahun 2020.
Untuk menindaklanjuti komitmen tersebut maka sudah dibentuk Pokja REDD+ melalui SK Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah. Anggota Pokja tersebut terdiri dari berbagi stakeholder, antara lain dari SKPD, kelompok masyarakat adat, asosiasi pengusaha hutan, dan akademisi. Adapun tujuan dari pembentukan Pokja REDD+ tersebut antara lain:
a. Melakukan penyamaan persepsi para pihak untuk mewujudkan komitmen penurunan emisi dimaksud. Untuk mendukung hal tersebut pemerintah provinsi juga melakukan penyusunan
33Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
dokumen-dokumen daerah di mana REDD+ menjadi bagian dari RPJM daerah.
b. Peningkatan dan pengembangan kapasitas c. Membangun dan mengembangkan instrumen REDD (MRV,
STRADA, FPIC Kriteria dan indikator DA)
Pemerintah Sulawesi Tengah juga telah terlibat dalam kegiatan perubahan iklim internasional. Selain itu Sulawesi Tengah juga merupakan provinsi pilot pertama untuk pengukuran karbon (termasuk redesign National Forest Inventory-NFI dan pengujian hasil redesign). Hasil pengukuran karbon tersebut, apabila sudah layak, akan di scale up untuk provinsi-provinsi lainnya oleh Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan. Selain itu Provinsi Sulawesi Tengah juga terpilih sebagai provinsi pilot untuk testing metode penentuan REL/RL pada level provinsi. Hasil dari piloting REL/RL tersebut akan direkomendasikan ke pihak terkait guna masukan penyusunan kebijakan REL/RL di tingkat nasional. Hal tersebut sangat penting bagi Provinsi Sulawesi Tengah sendiri karena Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan 69,4% dari luas wilayah atau sekitar 4,3 juta ha wilayah Sulawesi Tengah merupakan kawasan hutan. Di samping itu juga dilihat bagaimana kecenderungan ke depan terkait program pembangunan yang berpotensi menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan dilihat dari rencana tata ruang yang sedang berproses.
Di sisi lain pemerintah Sulawesi Tengah juga sudah mengembangkan metode pelaksanaan kerangka pengaman sosial (social safeguard). Saat ini Pokja REDD+ Sulawesi Tengah telah mengembangkan draft Panduan FPIC sebagai acuan bagi pelaksanaan FPIC di tingkat tapak dan dalam proses uji coba yang ke dua kalinya.
Secara nyata di lapangan, sebenarnya esensi dari kegiatan REDD+ sudah berlangsung. Penurunan emisi dilakukan dengan memperbaiki tata kelola hutan Indonesia, namun kenyataan di lapangan banyak kasus penggunaan lahan hutan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah dalam mencapai penurunan emisi tersebut. Beruntung bahwa UN-REDD membantu Provinsi Sulawesi Tengah dalam membangun REDD+.
34 Penyelenggaraan Pertemuan
Bicara tentang REDD+ tidak sama dengan perdagangan karbon. REDD+ harus dipandang sebagai kebutuhan daerah untuk memperbaiki pengeloaan sumber daya hutan untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Sebaiknya jangan sampai masyarakat terjebak cara pandang bahwa REDD+ sama dengan perdagangan karbon. Terkait dengan konsep FPIC, Pemerintah Sulteng memberi pemahaman kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan bahwa mereka berada dalam kawasan pengelolaan pemerintah, dan akan dikelola demi kebaikan masyarakat. Pemerintah Sulawesi Tengah menganggap bahwa REDD+ sebagai bagian dari SFM, bagaimana mengelola hutan dengan baik agar masyarakat sejahtera. Hal ini karena kantong-kantong kemiskinan di Sulawesi Tengah berada di pesisir pantai dan sekitar hutan, maka ada yang salah di sini dan perlu diperbaiki.
2.3.2.2 Diskusi I
1. Dari presentasi hasil kegiatan yang dilakukan oleh GIZ Forclime terlihat begitu yakin bahwa dengan melindungi hutan akan menyejahterakan masyarakat. Padahal seperti yang diketahui bahwa hasil hutan itu kayu. Lalu hasil hutan apa yang dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan ini? (Bp. Ombo Sastrapradja - Universitas Nusa Bangsa)
Jawaban :
Hasil hutan yang paling bernilai selama ini adalah kayu, akan tetapi akan menjadi tidak benar kalau yang dibicarakan hanya kayu. Yang ingin dicari di sini adalah solusi bagaimana tanpa menebang namun masyarakat tetap bisa mendapat manfaat/ untung. Akan tetapi jika kita langsung bicara perdagangan karbon masih dirasa terlalu dini. Deforestasi di Indonesia sudah parah, maka hutan harus dijaga karena inilah harta yang dimiliki. Sebenarnya dalam REDD+ ini kita kembali ke konsep SFM.
2. Bagaimana perkembangan spesies kayu hitam yang terkenal mewah, terutama terkait dengan isu REDD+ ini, apa sudah ditanam kembali? (Bp. Ombo Sastrapradja - Universitas Nusa Bangsa)
35Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
Jawaban :
Untuk spesies kayu mewah tersebut, harus terus dilakukan pengembangan karena tidak ingin spesies tersebut punah
3. Berdasarkan paparan yang disampaikan GIZ-Forclime, siapa yang akan memvalidasi data hasil perhitungan? (Bp. Muhammad Farid – DNPI)
Jawaban :
Penentuan pihak yang akan memvalidasi data hasil perhitungan perlu diskusi yang seharusnya dilakukan di tingkat nasional. Yang pasti harus memiliki kewenangan dan terkait MRV disepakati saja pihak yang wajib melakukannya.
4. Bagaimana langkah selanjutnya di Sulawesi Tengah terkait pengembangan REDD+? (Bp. Muhammad Farid – DNPI)
Jawaban :
Pembenahan yang dilakukan adalah pengurus hutan itu sendiri dengan membentuk KPH, di mana sampai tahun 2016 ditargetkan ada 3 KPH yang terbentuk. Pengurus hutan memang banyak, ada dari dinas dan instansi lain, namun yang dikembangkan adalah pengelola hutan itu sendiri. Hutan harus bebas dari kepentingan politik, sehingga bisa dikelola dengan baik di level nasional. Jadi orang yang mengelola hutan harus yang mengerti tentang hutan dan kehutanan.
5. Apakah cara perhitungan ini memiliki suatu interval yang mungkin hasilnya berbeda jika dilakukan oleh orang lain dengan metode lain? Karena jika tidak standar maka hasil akan berbeda. (Ibu Eny Faridah - Universitas Gadjah Mada)
Jawaban :
Negara berkembang memiliki masalah data yang tidak akurat, sehingga hasil konvensi internasional memperbolehkan menggunakan data yang ada. Nilai akurat yang belum ada adalah nilai pendugaan/estimasi, namun SNI Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon sudah ada sebagai standar. Yang terpenting harus
36 Penyelenggaraan Pertemuan
mengikuti standar yang ada. Di samping itu, perlu juga dihitung/disampaikan perkiraan tingkat uncertainty agar dapat dibandingkan dengan data-data lain.
2.3.2.3 Presentasi Kunci
1. Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia?
Oleh : Prof. Ir. Rachmat Witoelar – Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim
Indonesia berperan penting dalam penanganan perubahan Iklim, dalam arti jika Indonesia berkinerja tinggi maka usaha penanganan perubahan iklim akan berhasil, dan sebaliknya. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai kunci sukses penanganan perubahan iklim dunia. Perundingan di Doha tahun 2012 akan menutup periode Kyoto Protocol, sehingga tahun 2012 akan terjadi sesuatu yang krusial. Tahun 2011 telah berlangsung COP-17 di Durban yang juga sangat menentukan. Perundingan-perundingan seperti ini sulit dan memiliki aroma politik yang kuat. Itu dikarenakan kecenderungan masing-masing negara mempertahankan kepentingannya masing-masing. Berbeda dengan di KTT Bumi 1992 dimana pada mulanya naluri manusia untuk mempertahankan diri (survive) sangat tinggi, sehingga keputusan mudah tercapai dan di Rio dilahirkan UNFCCC. Conference of Parties (COP) merupakan kombinasi dari keahlian dan politik dalam negosiasi. Negara-negara di dunia sepakat bahwa hutan adalah penangkal yang kuat terhadap perubahan iklim.
Sebagaimana yang kita telah ketahui, pertemuan tahunan para pihak dalam penanganan perubahan iklim telah dilaksanakan pada akhir tahun 2011 yang lalu di Durban, Afrika Selatan yang dikenal sebagai COP-17/CMP-7. Dalam pertemuan yang berlangsung cukup alot ini, pada akhirnya dihasilkan beberapa keputusan. Pertemuan COP-17 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-LCA di akhir tahun 2012 (dalam COP-18) serta (ii) dimulainya masa kerja Ad-Hoc Working Group on the Durban Platform (ADP) di pertengahan tahun 2012. Sementara itu, CMP-7 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-KP di akhir tahun 2012 (dalam CMP-8) serta (ii)
37Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
berakhirnya Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto pada 31 Desember 2012 yang akan langsung dilanjutkan dengan pelaksanaan Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto pada 1 Januari 2013.
AWG-KP memulai proses negosiasinya dengan kesepakatan yang dihasilkan dalam CMP-1 di Montreal pada tahun 2006. Berdasarkan kesepakatan di Durban maka AWG ini akan menyelesaikan masa kerjanya dalam bentuk negosiasi di CMP-8 di Doha akhir tahun ini dan segera diimplementasikan dalam bentuk Periode Komitmen Kedua sejak 1 Januari 2013. Berdasarkan proses perundingan yang berlangsung hingga saat ini, belum disepakati berapa lama Periode Komitmen Kedua ini akan berjalan. Beberapa negara terutama negara berkembang dan AOSIS menyampaikan posisinya agar periode komitmen ini hanya berlangsung selama 5 tahun dan selesai pada akhir 2017. Negara-negara lain melihat sebaiknya periode komitmen ini berlangsung selama 8 tahun hingga akhir 2020 dan karenanya diharapkan tidak ada kekosongan legal dengan masa implementasi ADP.
AWG yang lain adalah AWG-LCA yang diawali masa kerjanya dengan Bali Action Plan sebagai hasil dari COP-13 di Bali, 2007. Kesepakatan di Durban memutuskan bahwa masa kerja AWG dalam bentuk negosiasi diselesaikan dalam COP-18 pada akhir tahun ini di Doha. Sesuai dengan nama dan mandatnya, hasil dari AWG ini akan diimplementasikan hingga akhir 2020.
Berdasarkan kesepakatan di Durban, ADP dibentuk sebagai wadah untuk melakukan perundingan penanganan perubahan iklim secara global di masa depan setelah berakhirnya implementasi dari keluaran kedua AWG lainnya. Keputusan 1 dalam COP-17 menyatakan bahwa ADP ditargetkan untuk menyelesaikan masa kerja dan mencapai kesepakatan di tahun 2015 sehingga hasilnya dapat diadopsi guna memastikan kekuatan hukum dan implementasi sejak tahun 2020. Belajar dari pengalaman selama ini, tampaknya masa negosiasi selama kurang dari 4 tahun tidak akan mampu mencapai target yang diharapkan, sehingga muncul pertanyaan apakah mungkin masa kerja dalam bentuk negosiasi dilanjutkan? Jika hal ini dimungkinkan, seberapa lama penambahan ini dimungkinkan
38 Penyelenggaraan Pertemuan
mengingat pentingnya proses ratifikasi oleh masing-masing pihak sehingga hasil dari ADP dapat berkekuatan hukum yang sah dan diberlakukan secara efektif.
Untuk menjawab pertanyaan apa yang harus disiapkan oleh Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu dimana posisi dan apa peran Indonesia di masing-masing proses yang berjalan ini. AWG-LCA berdasarkan sejarahnya memang dibentuk sebagai upaya penyeimbang implementasi Protokol Kyoto. Karenanya, pendekatan yang dipakai pun dengan membagi negara-negara di dunia dalam dua kelompok besar yaitu negara maju dan negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang termasuk dalam negara yang dapat berkontribusi dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) yang bersifat sukarela. Sektor kehutanan memegang peran penting dalam mitigasi termasuk NAMAs dalam bentuk REDD+. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga memiliki hak dalam bentuk akses dan support bagi kegiatan adaptasinya. Demikian pula Indonesia memiliki hak atas support dari negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas.
Sementara itu, di dalam AWG-KP terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Di dalam Protokol Kyoto negara yang diberikan kewajiban untuk menurunkan emisi adalah negara maju yang tergabung dalam Annex B, sehingga pada dasarnya tidak ada hal yang diharapkan terkait kewajiban negara berkembang. Namun demikian, di dalam Protokol Kyoto negara berkembang memiliki akses terhadap mekanisme Kyoto yang merupakan mekanisme fleksibilitas bagi negara maju untuk memenuhi komitmen penurunan emisinya yaitu dalam bentuk CDM (Clean Development Mechanism). Demikian pula halnya dengan akses terhadap Adaptation Fund.
Menjelang Doha, beberapa hal harus diperhatikan dan diantisipasi oleh Indonesia. Untuk AWG-LCA, satu hal yang perlu dicermati adalah seberapa jauh penurunan emisi sebagai kewajiban negara maju di luar Protokol Kyoto akan dilaksanakan hingga 2020 dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions (NAMAs). Demikian pula dengan komitmen negara maju untuk
39Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Yang tidak kalah pentingnya adalah apa sesungguhnya arti dan nilai serta implikasi hukum dari keluaran AWG-LCA selama masa implementasi hingga 2020.
Untuk AWG-KP yang menjadi isu penting hingga akhir tahun ini dan juga mungkin setelah Doha adalah mengenai lamanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto. Perdebatan apakah periode ini 5 tahun atau 8 tahun masih berlangsung sangat kuat. Seperti halnya dalam Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto, dalam Periode Kedua ini harus pula ditentukan berapa besar penurunan emisi GRK yang ditargetkan oleh negara maju dalam Annex B. Hingga saat ini, negara-negara Annex B telah menyampaikan pledge-nya namun hingga saat ini belum disampaikan dalam bentuk QELROs (Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives) sebagai target komitmennya.
Dalam pemenuhan komitmen tersebut, modalitas yang dapat digunakan akan memegang peranan penting, demikian pula dengan metodologinya. Pemanfaatan LULUCF dan CDM termasuk A/R CDM akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi GRK secara netto. ADP seperti telah disebutkan sebelum ini merupakan penanganan perubahan iklim secara global dalam jangka panjang yaitu paska 2020. ADP atau Ad-Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions dihasilkan dalam pertemuan COP17 dalam Dec.1/CP.17. ADP merupakan badan subsider baru di bawah UNFCCC yang akan membahas penanganan perubahan iklim dalam bentuk perundingan.
Perundingan tersebut merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan protokol, instrumen legal atau agreed outcome yang memiliki kekuatan hukum di bawah UNFCCC yang berlaku bagi seluruh pihak. Di dalam keputusan ini juga diangkat bahwa hasil tersebut nantinya akan pula mencakup elemen mitigasi, adaptasi dan means of implementation. Proses dalam ADP juga akan membuat rencana kerja yang tepat guna peningkatan level of ambitions termasuk dalam hal mitigasi.
40 Penyelenggaraan Pertemuan
Rencana kerja yang dibuat dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi opsi-opsi dari serangkaian aksi yang dapat menutup adanya kesenjangan ambisi dengan maksud untuk memastikan the highest mitigation efforts by all Parties. Beberapa terminologi baru yang muncul dalam keputusan ini perlu untuk diperhatikan dan dianalisis dengan seksama sehingga akan didapatkan pemahaman yang sama antar berbagai pihak.
Di tahun 2012 ini seperti yang telah disepakati di Durban, salah satu agenda perundingan yang baru dimulai adalah ADP. Proses perundingan di bawah ADP akan terus berjalan dan diharapkan berakhir di tahun 2015 dengan diadopsinya keluaran yang disepakati oleh Para Pihak. Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkan beberapa hal. Dalam proses ADP perlu disepakati mekanisme kerja yang akan dilakukan yaitu bentuk perundingan bagi rezim baru di bawah UNFCCC. Perubahan sebagai implikasi dari applicable to all akan mengakibatkan terjadinya perubahan pendekatan dan pengelompokan negara. Pekerjaan rumah utama bagi Indonesia adalah bagaimana pengelompokan negara yang ada di bawah ADP. Dimanakah posisi Indonesia dalam pengelompokan baru tersebut.
Elemen yang paling utama adalah untuk menjawab kesenjangan ambisi yaitu kesenjangan antara konsentrasi GRK di atmosfer yang aman bagi kehidupan yang berarti adanya penurunan emisi GRK secara signifikan melalui mitigasi. Dalam ADP seluruh negara akan diberikan peran dalam mitigasi. Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana Indonesia dapat berperan dalam mitigasi ini. Apakah peran Indonesia dalam bentuk kewajiban? Apakah peran Indonesia dalam kontribusi penurunan emisi seperti yang saat ini telah ditargetkan Indonesia secara sukarela hingga 2020? Apakah dalam bentuk kewajiban yang didukung oleh support dari negara maju? Atau dalam bentuk lainnya?
Dalam hal mitigasi di Indonesia juga perlu diperhatikan sektor mana saja yang dapat berperan? Seberapa jauh peran sektor energi, seberapa jauh peran sektor kehutanan dan lainnya? Oleh karena itu penting bagi Indonesia untuk melakukan analisis kondisi Indonesia sehingga dapat ditentukan peran yang paling tepat bagi Indonesia
41Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
dalam penanganan perubahan iklim global paska 2020. Analisis ini perlu dilakukan oleh berbagai sektor berdasarkan kondisi, kekuatan dan kapasitas masing-masing. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor kunci yang perlu melakukan analisis mendalam peran dan posisi Indonesia dalam melakukan penurunan emisi GRK. Peran hutan dalam REDD+ saat ini perlu dianalisis lebih jauh dan mendalam sehingga perannya di paska 2020 dapat diidentifikasi dan diprediksikan. Proses bersama stakeholder seperti yang dilaksanakan saat ini hendaknya dapat terus dibangun termasuk dalam melakukan analisis sehingga antisipasinya dapat dilakukan secara lebih partisipatif.
2.3.2.4 Diskusi
1. Dari target penurunan emisi karbon di Indonesia sebesar 26 %, 87% diantaranya adalah jatah sektor kehutanan. Dilihat dari sisi penganggaran kegiatan maka anggaran untuk kehutanan sangat kecil, dengan demikian komitmen pemerintah terhadap pentingnya kehutanan dinilai masih rendah. Di level internasional isu kehutanan memang dianggap penting, namun di dalam negeri sendiri isu tersebut malah kalah dengan isu-isu lain. Apa mungkin dunia menjadi tidak berkomitmen terhadap kehutanan karena negara juga tidak memiliki komitmen? (Bp. Madani Mukarom - Dishut Provinsi NTB)
Jawaban :
Terkait dengan anggaran semua sektor harus bekerja sama. Jangan sampai menjadi korban dari negosiasi, dan jangan sampai terjebak dalam kriteria yang tidak jelas. Sehingga harus diketahui apa yang menjadi masalah yang dihadapi, supaya bisa disampaikan ke forum negosiasi internasional.
2. Terkait dengan AWG-LCA dan AWG-DP, bagaimana kiatnya untuk REDD+? Kaitannya dengan kewajiban negara maju dan berkembang, negara maju wajib memberikan bantuan teknologi, pendanaan, peningkatan kapasitas. Banyak kerjasama yang datang ke Indonesia menwarkan kemungkinan pendanaan dan terkait dengan potensi hutan Indonesia, dengan banyaknya kerjasama ini
42 Penyelenggaraan Pertemuan
dikhawatirkan bahwa data dari dalam negeri dapat keluar dengan bebas. Ada data yang memang bisa diexpose namun ada yang tidak, karena akan ada konsekuensi politik. Tidak semua pihak memahami bahwa ada kerjasama yang sangat kritikal, namun sebaiknya tidak ditandatangani dan banyak negara maju yang tidak sadar akan hal ini. (Ibu Laksmi Banowati – UNREDD)
Jawaban :
Terkait dengan kerjasama, Norwegia sendiri itu sejujurnya ingin menolong, namun terikat dengan permasalahan legislasi disana.
3. Kehutanan berada dalam posisi yang sangat vital, tetapi isu ini masih pada pembahasan hukum, belum sampai pada pelaksanaan. Sehingga di daerah sering dianggap penghambat pembangunan. Undang-undang kehutanan dan perkebunan perlu di-review karena ijin terkait perkebunan ijinnya dikeluarkan oleh Bupati sementara dukungan bagi kehutanan belum sepadan dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh rimbawan. (Bp. Alpius Patanan - Dishut Provinsi Kalimantan Tengah)
Jawaban :
Masa depan REDD+ harus dipandang dengan rasa optimis. Yang harus dilakukan adalah bagaimana melihat REDD+ ke depan dan bagaimana ikut berperan di dalamnya. Sebenarnya REDD+ ini adalah isu kehutanan in a changing world. The future we want di Rio berhubungan erat dengan ini. Meskipun Rio tidak legally binding, namun sangat kuat sisi politiknya, dan forum di Rio+20 juga meng-address isu kehutanan.
4. Isu kehutanan dan perubahan iklim di jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup populer, pertanyaannya apakah setelah berakhir kepemimpinannya masih ada Satgas REDD+ dan DNPI? (Bp. Muhammad Rayan – GIZ Forclime)
Jawaban :
Secara pribadi akan memilih calon presiden yang “hijau” dan Indonesia tidak bisa lepas dari peranannya sebagai icon pejuang REDD+. Terkait dengan kepedulian pemerintah terhadap
43Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia
kehutanan, budget untuk KLH itu kurang dari 1/10 dari total APBN. Akan diupayakan kenaikan budgetnya supaya sampai ke pelosok, semua orang dapat mengerti isu lingkungan. Secara umum orang desa lebih cinta lingkungan daripada orang kota.
2.3.3 Penutupan
Workshop ditutup oleh Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan) dengan ucapan terimakasih kepada Bapak Rachmat Witoelar atas kesediaan untuk hadir, juga kepada para narasumber, moderator, dan para peserta baik dari pusat maupun dari daerah.
Wassalamulaikum wr. wb.
2.4 Kesimpulan
Sidang UNFCCC yang diselenggarakan di Bonn pada bulan Mei 2012 memasukkan isu kehutanan dalam agenda SBSTA dan AWG-LCA, dimana REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Hal ini menjadi momentum yang tepat untuk mereview status penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan di Indonesia. Beberapa catatan penting yang dihasilkan dalam pertemuan ini, baik dari hasil paparan narasumber maupun hasil diskusi yang terjadi selama pertemuan tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Keberlanjutan Kyoto Protocol akan ditentukan pada COP–18 di Doha yang akan dilaksanakan pada tahun 2012. Di Doha ini pula nantinya mas kerja AWG-LCA akan berakhir dan akan digantikan dengan ADP (Ad-hoc Working Group Durban Platform) dan REDD+ masuk ke dalam kerangka ADP, sehingga Indonesia perlu mempersiapkan strategi terkait dengan hal tersebut.
2. Indonesia perlu mempersiapkan 4 (empat) hal sebagai perangkat implementasi REDD+, yaitu :a. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional;b. Penentuan Reference Emission Level (REL)/ Reference Level (RL);c. Pembangunan National Forest Monitoring System (NFMS);d. Pembangunan Sistem Informasi Safeguards (SIS REDD+).
44 Penyelenggaraan Pertemuan
Satuan Tugas REDD+ bertanggung jawab menyiapkan butir a, sedangkan Kementerian Kehutanan bertanggung jawab menyiapkan butir b s/d d sehingga perlu dukungan dan komitmen yang kuat untuk mempersiapkannya.
3. Isu perhitungan pengurangan emisi antara REDD+, NAMAs dan RAN-GRK masih merupakan pekerjaan rumah dan merupakan tantangan besar implementasinya.
4. Beberapa catatan dan pembelajaran terhadap aktivitas-aktivitas terkait dengan implementasi REDD+ yang diperoleh adalah sebagai berikut :a. Indonesia sudah memiliki sistem monitoring hutan nasional yang
dibangun dalam kerangka National Forest Inventory (NFI) dengan menambahkan komponen perhitungan stok karbon hutan dan perubahannya;
b. Permasalahan terbesar dalam implementasi REDD+ adalah kelembagaan dan perangkat peraturan terkait dimana koordinasi, pengembangan kapasitas dan leadership menjadi isu yang harus di-address;
c. Beberapa metode yang dikembangkan dalam berbagai project REDD+ baik di tingkat tapak maupun provinsi/kabupaten dapat diadopsi dan dijadikan referensi untuk penghitungan dan penentuan REL/RL, pengembangan NFMS dan penyusunan MRV.
d. Perlu ada konsistensi terhadap perangkat-perangkat (REL/RL dan MRV) untuk implementasi REDD+ dengan perangkat yang dikembangkan untuk implementasi NAMAs
5. Pembelajaran dari pelaksanaan DA REDD+ di Sulawesi Tengah menegaskan bahwa REDD+ merupakan “alat” untuk memperbaiki pengelolaan hutan dan bukan semata-mata untuk kepentingan perdagangan karbon.
Lampiran
46
47Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
A. Bahan Presentasi
1. REDD+ DAN LULUCF update dari sidang di BonnNur Masripatin - Kepala Pusat Standardisasi Dan Lingkungan (Standardisasi , Lingkungan, Perubahan Iklim)
3/27/2013
1
REDD+ DAN LULUCF update dari sidang di Bonn
Nur Masripatin
g
Nur MasripatinKepala Pusat Standardisasi Dan Lingkungan(Standardisasi , Lingkungan, Perubahan Iklim)
Workshop ‘Review Status Penanganan PI Bidang Kehutanan’ Jakarta, 14 Juni 2011
3/27/2013
2
OUTLINEPENGANTAR PENGANTAR
KEHUTANAN DALAM AGENDA PERSIDANGAN BONN REDD+ LULUCF THE WAY FORWARD PENUTUP
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
48
3/27/2013
3
PENGANTAR
PERSIDANGANAN UNFCCC PASCA DURBAN
SBs AWG-LCA
SBSTA SBI
LCA
AWG-KP
ADPPascaDurban
????KP
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
Pasca Durban
3/27/2013
4
KEHUTANAN DALAM AGENDA PERSIDANGAN BONN
Subsidiary Body on Scientific and Technological Advise (SBSTA) ke-36, aspek teknis/metodologis, safeguards aspek teknis/metodologis, safeguards
(REDD+ dan LULUCF)
Ad Hoc Working Group On Long-Term Ad Hoc Working Group On Long-Term Cooperative Action Under The Convention(AWG-LCA) ke- 15 aspek kebijakantermasuk pendanaan (REDD+)termasuk pendanaan (REDD+).
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
5
REDD+
3/27/2013
6
REDD+D i i i l k d t D b d Dari sisi pelaksanaan mandat Durban danCancun, progress REDD+ cukup signifikandalam menyelesaikan prioritas agenda (NFMS dan MRV) dan memulai proses lanjutandan MRV) dan memulai proses lanjutanmembahas isu terkait “drivers”, FREL/FRL, dan safeguards.
Hasil SBSTA 36 yang merupakan kompromi Hasil SBSTA-36 yang merupakan kompromiantar “Parties” disepakati sebagai dasarnegosiasi di Doha terhadap elemen yang diharapkan masuk dalam Keputusan COP 18diharapkan masuk dalam Keputusan COP-18.
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
49Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
3/27/2013
7
REDD+ (lanjutan) Isu kritikal aspek teknis diperkirakan dapat diselesaikan di Doha Isu kritikal aspek teknis diperkirakan dapat diselesaikan di Doha, Dapat/tidaknya aspek teknis tersebut dipenuhi oleh negara
berkembang akan sangat terkait dengan kepastian pendanaan, Diperlukan kehati-hatian yang tinggi dalam negosiasi di Doha,
terlebih karena : AWG-LCA 15 (dimana pendanaan REDD+ dibahas) hampir
tidak ada progres di Bonn, Mandat AWG-LCA akan berakhir pada COP-18 Belum ada kejelasan apakah dapat langsung masuk SBI untuk
memungkinkan dilakukannya negosiasi di level lebih teknismemungkinkan dilakukannya negosiasi di level lebih teknis, Fast start finance berakhir tahun 2012 Proses di bawah ADP (termasuk posisi REDD+ dalam konteks
ADP) masih dinegosiasikan mengandung resiko adanya gaps pendanaan pasca 2012.p p
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
8
ANTISIPASI NEGOSIASI DOHA (2012)1 Koordinasi intensif diperlukan antara REDD+ dengan : 1. Koordinasi intensif diperlukan antara REDD+ dengan : NAMAs (termasuk National Communication), Biennial Update Report on GHGs Inventory (BUR)Consultative Group of experts (CGE) untuk Natcom
I i l C l i d A l i (ICA MRV) International Consultation and Analysis (ICA, MRV), semua agenda yang terkait pendanaan termasuk new market
mechanism dan non-market mechanism.
2. Komunikasi dengan Co-Chairs REDD+ di SBSTA, FasilitatorREDD+ di AWG-LCA, dan negara-negara yang memiliki posisisama maupun yang berbeda perlu terus dilakukan untukantisipasi kemungkinan REDD+ dimanfaatkan sebagai alatpemenangan pada isu lain oleh negara tertentu.pemenangan pada isu lain oleh negara tertentu.
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
9
UNTUK IMPLEMENTASI DI TINGKAT NASIONAL
A Meskipun proses negosiasi berjalan lamban namunA. Meskipun proses negosiasi berjalan lamban, namunkomitmen kerjasama bilateral/multilateral tetapberjalan perlu ada antisipasi untuk renegosiasipengaturan kerjasama bilateral/multilateral kedepan( ki i d i l i DPEA) (memasuki periode implementasi DPEA).
B. Diperlukan adanya konsistensi antara REDD+ dengan : RAN/RAD-GRK, NAMAs (MRV REDD+ dan MRV NAMAs) NAMAs (MRV REDD+ dan MRV-NAMAs), kebijakan kehutanan dan sektor berbasis lahan
lainnya,C. Seberapa jauh penyiapan perangkat untukp j p y p p g
implementasi REDD+ dan RAN-GRK ?
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
10
PERANGKAT YANG HARUS DISIAPKAN UNTUK IMPLEMENTASI REDD+
(1). STRANAS/NAP
(2) Penetapan referensi emisihutan nasional (NFREL) dan/atau referensi hutannasional (NFRL) yang dapatmerupakan agregasi dariFREL dan/atau FRL Sub
(1) Strategi Nasionalatau Rencana AksiREDD+
PERANGKAT IMPLEMENTASI
REDD
(2)REL/RL(4)
SIS
FREL dan/atau FRL Sub-nasional
REDD+
(3)
SIS
(4) Sistem penyediaan informasitentang pelaksanaan‘safeguards’
(3)Pembangunan Sistemmonitoring hutan nasional(NFMS) yang handal dan
NFMSg ( ) y g
transparan untuk monitoring reporting REDD+ (dan biladiperlukan sub-nasional)
Guidance COP untuk MRV
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
50
3/27/2013
11
LULUCF
3/27/2013
12
NEGOSIASI PASCA DURBANP COP 17 (D b ) LULUCF b l di Pasca COP-17 (Durban) LULUCF yang sebelumnya dibawah AWG-KP sudah dialihkan ke SBSTA,
Semula hanya merupakan kepentingan negara maju Semula hanya merupakan kepentingan negara maju, pasca COP-17 dimungkinkan aktivitas LULUCF tambahan untuk CDM (A/R CDM plus)
Pandangan Indonesia ? Submisi ke Sekretariat UNFCCC (due 10 September 2012)
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
13
LULUCF DALAM KONTES INDONESIA
K it i i 26 41 % (RAN GRK) Komitmen penurunan emisis 26 – 41 % (RAN-GRK) dibanding BAU 2020,
Komitmen secara sukarela dalam NAMAs (dokumenyang disampaikan ke Sekretariat UNFCCC) penurunanyang disampaikan ke Sekretariat UNFCCC), penurunanemisi 26 % dibanding BAU,
LULUCF dalam REDD+
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
14
REDD+_NAMAs_RAN-GRK,
Reducing Emissions P li i t ti
Reducing Emissions from
Degradation
from Deforestation(Reduce forest conversion)
Policy intervention to address drivers of DD
Safeguards
•Forest conservation •Environmental
services
Enabling Activities
Reducing rate of
Sustainable Peat land (forest)Management
Conservation(avoiding
Emissions/C stocks Conservation)
g(SFM practice)
E h t
1.NFP & Convention2.Good governance &
sovereignty3. IP & local Community
4. Stakeholder Engagement
• FMU•Forest gazetment• Fire management •Forest protection
•Rehabilitation•Ecosystem restoration
Deforestation(Reduce forest conversion)
Reducing rateof Degradation
Enhancement of Carbon Stocks(Reforestation,
Ecosystem Restoration)
Sustainable Management
Engagement5. Biodiversity, natural forest,
ecosystem services6. Address risks of
reversals 7. Address
displacement
• R & D•Social forestry•Other planting
activities
Commercial Timber
(SFM practice)
Carbon sequestrationproject
(Reforestation, rehabilitation)
REDD +
Management of Forest
of emission
Activities which can be measured in terms of emission reduction/emission avoidance/carbon stock enhancement
RAN‐GRK
plantation
Enabling Activities
)
NAMAs
51Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
3/27/2013
15
THE WAY FORWARD
3/27/2013
16
KEHUTANAN DALAM[draft] THE FUTURE WE WANT–RIO+20
Hutan dan keaneka-ragaman hayati merupakan satudari 15 ‘priority areas’;Prority area “Perubahan Iklim” : mendukung hasil COP Prority area “Perubahan Iklim” : mendukung hasil COP-17 (~ termasuk REDD+, LULUCF, DPEA ???);
Usulan perubahan/tambahan untuk menekankan peranhutan dan keanekaragaman hayati diajukan olehhutan dan keanekaragaman hayati diajukan olehsejumlah negara misal : Jepang, EU, New Zealand, G77+China.
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
3/27/2013
17
DURBAN PLATFORM FOR ENHANCED ACTIONS dan THE FUTURE WE WANT
REDD+ Readiness ? REDD+ “full implementation ofPh l b d i ”
2020
LATAR BELAKANG (DPEA) : (1) PI adalah “irreversible threat” dan bersifat global, (2) Adanya gaps antara“pledges” dan yang diperlukan
Mandat : menyusun Protokol/instrument hukum lainnya/kesepakatan yang berkekuatan hukum di bawahKonvensi untuk semua negara pihak (Parties)
Phase result based actions”
AWG-DPEAMulai bekerja
Protocol diadopsioleh COP
Prosesratifikasi
oleh“Parties”
Protocol mulai
berlaku
2020 2012 2015 2016-2019 ‘
COP-21 COP-22 s/d COP-25 COP-26DPEA : ImplementasiProtocol/legal
The Future We Want :Establish set of goals in 2015 which are part of post 2015
COP-18
/ ginstrumen lain yang disepakati
UN development agenda
Notes : keduanya menuju “green economy”
3/27/2013
18
PENUTUP DPEA membawa konsekuensi terhadap percaturan negosiasi UNFCCC DPEA membawa konsekuensi terhadap percaturan negosiasi UNFCCC
termasuk isu kehutanan (REDD+ di dalamnya), Hampir semua negara melihat pentingnya pelibatan sektor swasta,
namun negosiasi belum menunjukkan kemajuan signifikan menuju kearah itu,
Penentuan posisi Indonesia dalam berbagai forum internasional yang Penentuan posisi Indonesia dalam berbagai forum internasional yang membahas isu yang sama/serupa menjadi tantangan tersendiri, termasuk penanganan “cross-cutting issues” dalam forum yang sama(dalam hal ini UNFCCC).
Tantangan di tingkat nasional yang akan sangat signifikan adalah dalammendefinisikan “green economy” ke dalam “main stream” perencanaang y ppembangunan nasional dan elaborasi ke dalam aksi konkrit yang dapatdiukur kinerjanya, baik ke dalam sektor maupun berdasar kewilayahan(mis. Kabupaten-propinsi-nasional),
Dengan berakhirnya AWG-LCA tahun 2012 dan mulai beroperasinya ADP, diperlukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perubahan setting
i i i k h t d l UNFCCC (d l h l i i REDD dnegosiasi isu kehutanan dalam UNFCCC (dalam hal ini REDD+ danLULUCF).
STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM
53Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
2. Pengembangan Perangkat MRV Aksi Mitigasi NasionalDida Migfar Ridha - Kepala Bidang Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca
Pengembangan Perangkat MRV Aksi gMitigasi Nasional
Dida Migfar RidhaKepala Bidang Inventarisasi Emisi Gas RumahKaca
KEMENTERIAN LINGKUNGANHIDUPKEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUPJakarta, 14 Juni 2012
54
Isi PaparanIsi Paparan1. MRV sebagai suatu Sistem1. MRV sebagai suatu Sistem2. Isu-isu Terkait Kesiapan Pelaksanaan
MRVMRV3. Mandat dan tanggungjawab terkait MRV
RAN/RAD GRKRAN/RAD GRK4. Analisis Kesenjangan MRV Aksi Mitigasi
N i lNasional5. Tantangan ke depan dan Tindak Lanjut
1. MRV sebagai suatu Sistem
• MRV: sistem untuk mengukur, melaporkan d ifik i i
g
dan memverifikasi pencapaian penurunan emisi GRK secara berkala, sahih, akurat,
l h k i t d tmenyeluruh, konsisten, dan transparan.• Tujuan: Untuk mendukung pelaksanaan j g p
kebijakan nasional penurunan emisi GRK. • Prinsip Dasar: Transparency AccuracyPrinsip Dasar: Transparency, Accuracy,
Consistency, Comparability, Completeness:Completeness:
55Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Elemen-elemen yang di MRV
• The Bali Action Plan underlines the need for nationally appropriate mitigation actions by developing countries supported
Elemen elemen yang di MRV
appropriate mitigation actions by developing countries, supported by finance, technology and capacity building, in a measurable, verifiable and reportable manner [paragraph 1 (b)(ii), Decision / ] h “ bl ifi bl d bl ”1/CP13]. The terms “measurable, verifiable and reportable” are
now commonly abbreviated as MRV.
El t t b MRV d• Elements to be MRVed: a. mitigation actions/NAMAs, b. Support (technology, financing, capacity building), and c. GHG inventories (not explicit in the Bali Action Plan, but it is
generally viewed as a necessary component for MRV ).
International Submission• Biennial Update Report (BUR)- Developing countries should submit BUR every two years in the next
international framework of UNFCCC.Th l t hi h h ld b i l d d i th BUR (i) d t f ti l- The elements which should be included in the BUR are: (i) updates of national GHG inventories including a national inventory report; (ii) information on mitigation actions including information on domestic MRV; and (iii) needs and support receivedsupport received
• International Consultations and Analysis (ICA) will be conducted to the BUR submissions.
• MRV:- The level of verification for supported mitigation actions (international) and
domestic mitigation actions are different- Internationally supported mitigation actions will be MRVed domestically and will
be subject to international MRV in accordance with guidelines to be developed under the Convention;
- Domestically supported mitigation actions will be MRVed domestically in accordance with general guidelines to be developed under the Convention
56
TIMELINE Pelaporan Internasional (BUR & NC)
ICA ICAICA = International Consultations & Analysis
ICA ICAPreparation Stages
BUR 1
BUR-2/ 3rd NC
• GHG inventories •mitigation actions • needs and support 1 3 NCneeds and support received
2014 2016BUR = Biennial Update ReportNC = National Communication
MRV (Domestic/International) NC = National Communication
2. Isu-isu Terkait Kesiapan Pelaksanaan MRV2. Isu isu Terkait Kesiapan Pelaksanaan MRV
• Pemahaman mengenai MRV, BUR, dan NC• SDM • Institutional arrangement masing-masing sektors u o a a a ge e as g as g se o• Aktifitas dan dokumentasi inventarisasi,
aksi/rencana mitigasi, dan pendanaan terkait emisig , pGRK
• Timeline dan Perencanaan• Kesiapan dalam mengukur dan melaporkan emisi
GRK kegiatan/sektor (Inventarisasi) dan monitoring aksi mitigasi (RAN dan keterkaitan RAN denganRAD)
57Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
3. Mandat dan tanggungjawab terkait MRV RAN/RAD GRK
TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGA
GRK
Perencanaan, Pelaksanaan pemantauan, dan pelaporan RAN/RAD‐GRK di tingkat pusat, bidang (sektor), dan daerah (Perpres 61, Pasal 3,4,5)
Level National : Bappenas atas nama Menko Ekuin
Bidang: K/L terkait Daerah: Gubernur Daerah: Gubernur
Regulasi sektoral/petunjuk operasional sektor (Perpres 61, Pasal 5/3)
K/L terkait 61, Pasal 5/3)
Penyusunan RAD‐GRK (Perpres 61, pasal 6/1) Gubernur
Kompilasi seluruh RAD‐GRK (Perpres 61, pasal 6/4) Gubernur mengirimkan ke p ( p , p / ) gBappenas dan Kemendagri
Fasilitasi penyusunan RAD‐GRK (Perpres 61, pasal 7) Bappenas, Kemendagri, dan KLH
Menyusun Pedoman RAD‐GRK 3 bulan setelah terbitnya Perpres 61/2011 (Perpres 61, pasal 8)
Bappenas
Mandat dan tanggungjawab terkait MRV RAN/RAD GRK
TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGAPeriodical review tentang RAN‐GRK merujuk pada Tiap (sectoral) K/L
GRK
Periodical review tentang RAN GRK merujuk pada kebutuhan nasional dan perkembangan internasional (Perpres 61, pasal 9/1‐2)
Tiap (sectoral) K/L dikoordinasikan oleh Bappenas
Pelaporan hasil review RAN‐ GRK. Hasil review akan BAPPENAS kepada MenkoEKUINmenjadi dasar penyesuaian RAN‐GRK (Perpres 61, pasal 9/3‐4)
Pelaporan kegiatan RAN‐GRK setidaknya sekali setahun jik di i ( 61 l 10/1)
Tiap K/L terkait kepada k KUI d batau jika diminta (Perpres 61, pasal 10/1) MenkoEKUIN dengan tembusan
kepada MenkoKESRA, Bappenas, and KLH
Laporan terintegrasi tentang pelaksanaan RAN GRK MenkoEKUIN kepada PresidenLaporan terintegrasi tentang pelaksanaan RAN‐GRK minimal sekali setahun atau jika diminta (Perpres 61, pasal 10/2)
MenkoEKUIN kepada Presiden
Verifikasi terhadap proses dan hasil inventarisasi GRK, KLHVerifikasi terhadap proses dan hasil inventarisasi GRK, termasuk hasil pencapaian penurunan emisi GRK dari kegiatan aksi mitigasi (Perpres 71, pasal 6/1‐2)
KLH
58
Mandat dan kewenangan terkait MRV untuk Inventori Nasional
TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGAMengembangkan/menetapkan faktor emisi (Perpres 71, pasal 3/4) KLH dan K/L
terkait
Nasional
terkait
Menyusun pedoman penyelenggaraan inventarisasi GRK(Perpres 71, pasal 7/1a)
KLH
Mengkoordinasikan penyelenggaraan inventarisasi GRK dankecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanankarbon di tingkat nasional (Perpres 71, pasal 7/1b)
KLH
Monitoring dan evaluasi proses dan hasil inventarisasi GRK(Perpres 71, pasal 7/1c)
KLH
Koordinasi, persiapan, dan penyampaian laporan National Communication kepada perwakilan pemerintah yang ditunjuk sebagai NFP oleh UNFCCC (Perpres 71, pasal 7/2‐3)
KLH
Pelaksanaan inventarisasi nasional GRK (Perpres 71, pasal 8/1a) K/L terkait(sesuai pasal 3)
TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGA
Mandat dan kewenangan terkait MRV untuk Inventarisasi Nasional
Menyusun tren faktor emisi, serapan GRK, dan stok karbon(Perpres 71, pasal 8/1b)
K/L terkait (sesuai pasal 3)
Mengembangkan metode inventarisasi faktor emisi dan K/L terkait (sesuai pasal 3)Mengembangkan metode inventarisasi, faktor emisi, danserapan karbon (Perpres 71, pasal 8/1c)
K/L terkait (sesuai pasal 3) berkoordinasi erat dengan seluruh stakeholder
Pelaksanaan inventarisasi GRK di tingkat provinsi dan Gubernur dengan dukunganPelaksanaan inventarisasi GRK di tingkat provinsi danmelaporkan ke KLH sekali setahun (Perpres 71, pasal 9/1a and 2 dan pasal 12/2)
Gubernur dengan dukungan SKPD bidang lingkungan
Mengkoordinasikan pelaksanaan inventarisasi GRK di kab/kota Gubernur dengan dukunganMengkoordinasikan pelaksanaan inventarisasi GRK di kab/kota(Perpres 71, pasal 9/1b and 2)
Gubernur dengan dukungan SKPD bidang lingkungan
Pelaksanaan inventarisasi GRK di tingkat kab/kota danpelaporan ke Gubernur sekali setahun
Bupati/Walikota dengan dukungan SKPD bidang p p
(Perpres 71, pasal 10 and 12)g g
lingkungan
Pelaporan inventori GRK (Perpres 71, pasal 13) K/L terkait ke KLHKLH ke MenkoKESRA
Laporan diterbitkan sesuai dengan kebutuhan nasional, internasional, dan kebutuhan penyusunan National Communication (Perpres 71, pasal14)
KLH
59Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
4. Analisis Kesenjangan MRV Aksi MitigasiNasional
PrinsipUtama
Konsep/ Pelaksanaan Sistem
PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung SistemUtama
MonitoringPelaksanaan SistemMONEV Saat ini
Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV
Arus Arus informasi • Perlu adanya arus informasi bottom‐up danArus informasi antar instansi
Arus informasidiatur oleh regulasiyang berbeda, sehingga tersebar di
• Perlu adanya arus informasi bottom up dantop‐down yang terstandarisasi dari tingkatpusat ke provinsi dan kab/kota (vertikal), danantar instansi (horizontal)
(horizontal) dan pusat ke daerah
ggbeberapa instansidengan maksudyang berbeda
( )• Arus informasi telah dicakup dalam keduaPerpres, namun rincian arus informasi perludeskripsi lebih lanjut
(vertikal) Kebutuhan informasi
Sering berupa ad‐hoc, tergantung
• Perlu adanya informasi yang terstandarisasi dan terlembaga. Ini telah dicakup dalam
di tiap tingkat
proyek yang ada Perpres 61 dan 71/2011 namun untuk rincian dan tipe informasi masih perlu dijelaskan ke dalam petunjuk operasional.
• Kebutuhan informasi diperoleh dariseperangkat indikator. Indikator tersebutperlu disepakati bersama
60
Prinsip UtamaMonitoring
Konsep/PelaksanaanSistem
PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung
MONEV Saat inij g
Sistem MRV
Data apa yang harus
Berdasarkan regulasi Data yang diperlukan disebutkan dalam kedua Perpres namun tipe dan jenis data perlu diaturharus
dikumpulkanPerpres namun tipe dan jenis data perlu diatur lebih lanjut
Kapan data Per bulan/ 3 bulan/ 6 Tiap tahundikumpulkan bulan/ per tahun
Bagaimana data dikumpulkan
literature review, FGD, field survey, dll
Melalui Inventarisasi nasional yang mengacupada IPCC Guideline 2006, dan Pedomandikumpulkan
(methodology)field survey, dll tergantung kebutuhan regulasinya
pada IPCC Guideline 2006, dan PedomanPenyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah KacaNasional, dan pedoman lainnya (Permen)
Siapa yang mengumpulkan, melaporkan data
tergantung kebutuhan regulasinya
Tim MRV seluruh tingkat, perlu diatur lebihlanjut
melaporkan data dan untuk siapa data dikumpulkan
Strategi sistemMonitoring
Konsep/Pelaksanaan Sistem
PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan U l L bih L j kMonitoring Sistem
MONEV Saat iniUsulan Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV
Unit analisis (contoh: tergantung kebutuhan Berdasarkan pada kesepakatan bersama (distrik sekolah, rumahsakit umum, desa, wilayah)
g gregulasinya
p pdan NAMAs/inventarisasi yang disetujui sesuai kerangka logisnya (disebutkan sebagian di Perpres No 61 and 71/2011) perlu diatur lebih lanjut71/2011), perlu diatur lebih lanjut
Prosedur sampling (data aktivitas)
tidak ada disebutkan sebagian dalam Perpres, perlu diatur lebih lanjut
Instrumen pengumpulan data yang digunakan
tergantung kebutuhan regulasinya
perlu diatur lebih lanjut
Frekuensi pengumpulan Per bulan/ 3 bulan/ 6 Perpres memandatkan pelaporan setiapFrekuensi pengumpulan data
Per bulan/ 3 bulan/ 6 bulan/ per tahun
Perpres memandatkan pelaporan setiap tahun
Metode analisis dan tidak dicantumkan disebutkan sebagian dalam Perpres, interpretasi data yang diharapkan
g p ,perlu diatur lebih lanjut
61Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Prinsip UtamaMonitoring
Konsep/Pelaksanaan Sistem
PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untukMonitoring Sistem
MONEV Saat inidan Usulan Lebih Lanjut untuk
Mendukung Sistem MRV
Yang berwenang lk d
tergantung kebutuhan l
Tim MRV pada semua tingkatmengumpulkan data regulasinya
Sumber data tidak dicantumkan Data sekunder dari K/L terkait dan BPS serta pemerintah daerah; verifikator adalah pihak ketiga; perluverifikator adalah pihak ketiga; perlu diatur lebih lanjut
Yang berwenang melakukan analisa,
tergantung kebutuhan regulasinya
Tim MRV pada semua tingkat, perlu diatur lebih lanjut mengenai unit teknismelakukan analisa,
interpretasi, dan melaporkan data
regulasinya diatur lebih lanjut mengenai unit teknis mana yang terlibat
Informasi dilaporkan tergantung kebutuhan Disebutkan dalam Perpres, perlu diatur kepada siapa regulasinya lebih lanjut
Prosedur diseminasi tidak dicantumkan Disebutkan dalam Perpres, perlu diatur lebih lanjut
Tindaklanjut dari laporan
tidak dicantumkan Disebutkan dalam Perpres, perlu diaturlebih lanjut
Prinsip Utama Pelaporan
Konsep/Pelaksanaan Sistem MONEV Saat ini
PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk e apo a O Saat Usu a eb a ju u uMendukung Sistem MRV
Siapa yang akan menerima
Berbagai instansi, beragam tipe laporan; tergantung kebutuhan dari
Tim MRV di tingkat pusat akan menerima laporan dari provinsi, dan provinsi
informasi/ laporan
p ; g gregulasi tsb
p p , pmenerima dari kab/kota, perlu diatur lebih lanjut
Dalam format Tiap regulasi punya format yang • Tidak disebutkan dalam PERPRESDalam format apa
Tiap regulasi punya format yang berbeda; tergantung kebutuhan dari tiap regulasi tsb
• Tidak disebutkan dalam PERPRES • Perlu adanya format pelaporan MRV
yang terstandardisasi
Kapan Tiap bulan per 3 bulan per 6 bulan Per tahun Biannual (per 2 tahun)Kapan Tiap bulan, per 3 bulan, per 6 bulan, per tahun; tergantung kebutuhan dari regulasi tsb
Per tahun, Biannual (per 2 tahun)
Siapa yang akan Setiap instansi memiliki kewajiban Tim MRV semua tingkat, perlu diatur menyiapkan laporan
untuk menyiapkan laporan; tergantung kebutuhan dari regulasi tsb
lebih lanjut
Siapa yang akan tergantung kebutuhan dari regulasi tsb Tim MRV semua tingkat melaporkan kemenyebarluaskaninformasi dalamlaporan
tingkat di atasnya, perlu diatur lebihlanjut
62
Prinsip Utama Verifikasi
Konsep/Pelaksanaan Sistem
PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untukVerifikasi Sistem
MONEV Saat inidan Usulan Lebih Lanjut untuk
Mendukung Sistem MRVPelaksana verifikasi Auditor, hanya terkait dengan
audit keuangan tidak terkait• KLH mengkoordinasikan dan
mengorganisasikan pelaksanaan gdengan kinerja
g g pverifikasi
• Verifikasi dilakukan oleh pihak ketiga/ lembaga professional bersertifikasi/universitas perlu diaturbersertifikasi/universitas, perlu diatur lebih lanjut
• PERPRES mengatur perlu adanyaQA/QC proses inventory (oleh KLH)
Tanggungjawab dan tugas
Tanggung jawab hanya untuk mengaudit dan verifikasi laporan keuangan; tergantung kebutuhan dari regulasi yang ada
PERPRES mengatur perlu adanya verifikasi / monev kegiatan mitigasi RAN/RAD GRK, yang perlu diatur lebih lanjut
g y g
Format verifikasi Tiap regulasi mengharuskan laporan dalam format yang berbeda; tergantung kebutuhan d i l i d
Diatur oleh Permen lebih lanjut
dari regulasi yang ada
Lingkup Verifikasi tergantung kebutuhan dari regulasi yang ada
Disebutkan, verifikasi hasil pemantauandan pelaporan oleh sektor/provinsi/ kab/kota perlu penjelasan lagi
5. Tantangan dan Rencana Tindak Lanjut• Tercapainya kesepakatan dan/atau pemahaman bersama
mengenai:sistem MRV dan rencana kerja penyusunan pedoman MRV• sistem MRV dan rencana kerja penyusunan pedoman MRV
• kaitan antara sistem MRV, kerangka kerja NAMAs, dan inventori GRK nasional; dan dalam hal ini koordinasi harus berjalan secara intensif antara SIGN Centre denganSekretariat RANGRK
• peran dan strategi operasional BAPPENAS KLH K/L• peran dan strategi operasional BAPPENAS, KLH, K/L terkait, provinsi/kab/kota untuk membuat sistem berjalan dengan baik
S• Sosialisasi dan rencana kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan MRV NAMAs (regulasi baru, peningkatan kapasitas personalia, instrumen, dan metodologi, pelatihan, proyek percontohan MRV, sosialisasi nasional MRV, pelaksanaan MRV, dll).
63Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Rencana Pengembangan PerangkatBUR terkait Inventarisasi GRK• Penyusunan dokumen dan database komprehensifPenyusunan dokumen dan database komprehensif
faktor emisi• FE untuk sawah pada berbagai jenis tanah, iklimp g jdan teknik budidaya (SRI etc.)
• FE untuk landfill pada berbagai daerah• FE limbah cari produksi dan jenis industripertanian
• Penyusunan panduan untuk mengorganisir proses validasi data aktivitas dan kontrol kualitas, analisissumber emisi utama (key source category analysis)sumber emisi utama (key source category analysis) dan analisis uncertainty
Rencana Pengembangan Perangkat
• Pengembangan mekanisme kelembagaan penyusunan
BUR terkait Inventarisasi GRKg g g p y
inventarisasi GRK di daerah percontohan (mulai dari proses pengumpulan data yang terintegrasi dengan SIGN, termasuk kegiatan pelatihan bagi personil daerah)termasuk kegiatan pelatihan bagi personil daerah)
• Penguatan mekanisme kelembagaan penyusunan GRK pada tingkat sektor (mulai dari proses pengumpulan data,pada tingkat sektor (mulai dari proses pengumpulan data, QA/QC, sampai integrasinya dengan SIGN dan hubungannya dengan RAN GRK, termasuk kegiatan peningkatan kapasitas di setiap sektorpeningkatan kapasitas di setiap sektor
• Tersedianya dokumen Inventarisasi GRK Nasional (2000-2012) dengan menggunakan metodologi IPCC 20062012) dengan menggunakan metodologi IPCC 2006
64
65Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
3. Pengembangan National Forest Monitoring System untuk Monitoring REDD+ IndonesiaIman Santosa T. - Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Kehutanan
PengembanganPengembangan National Forest Monitoring System untuk Monitoring REDD+ Indonesia
IMAN SANTOSA T.Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan
hKementerian Kehutanan
Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan IndonesiaJakarta, 14 Juni 2012
66
• Luas Hutan Indonesia ± 98 6 juta ha*Luas Hutan Indonesia ± 98,6 juta ha• Deforestasi di Indonesia terjadi cukup tinggi di masa lalumasa lalu
• Hutan menjadi sangat penting dalam konteks i i k bpengurangan emisi karbon.
• Perlu adanya sistem monitoring hutan akurat dan terkini
Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi di Indonesia (2009)
HF/LDHF/LDHF/LDHF/LDHF/LDHF/LD
HF/HDHF/HDHF/HDHF/HDHF/HDHF/HDLF/HDLF/HDLF/HDLF/HDLF/HDLF/HD
HF/LDHF/LDHF/LDHF/LDHF/LDHF/LD
LF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LDLF/LD
67Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
DATA AKTIVITAS
FAKTOR EMISI
PendugaanEmisiKarbon
= X(Citra Satelit) (Invent. Hutan Nas.)
Karbon
X
CO2
i lequivalent
Modified from: UNREDD general and MRV framework COP, 2010
*) - Sesuai Good practices and Guidelines of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2006);
DATA AKTIVITAS
Matriks PerubahanhPenutupan Lahan
Citra Satelit Peta Penutupan LahanCitra Satelit Peta Penutupan Lahan1990, 2000, 2003, 2006, 2009
dan 2011
68
Citra Satelit
Landsat 7 ETM+, Landsat 5Citra Utama
MODIS, SPOT 4, SPOT 5, PALSARCitra Pendukung
PenutupanLahanLahan
No.No. KementerianKementerian KehutananKehutanan1 Hutan Lahan Kering Primer2 Hutan Lahan Kering Sekunder2 Hutan Lahan Kering Sekunder3 Hutan Rawa Primer4 Hutan Rawa Sekunder5 Hutan Mangrove Primer6 Hutan Mangrove Sekunder
No.No. IPCC ClassIPCC Class1 ForestlandForestland7 Hutan Tanaman
8 Pertanian Lahan Kering9 Pertanian Lahan Kering Sekunder
10 Transimigrasi11 Sawah
1 ForestlandForestland2 CroplandCropland
11 Sawah12 Perkebunan13 Rumput14 Semak Belukar15 Rawa
3 GrasslandGrassland4 WetlandWetland
16 Belukar Rawa17 Permukiman18 Tanah Terbuka19 Tambak20 B d /P l b h
5 SettlementSettlement6 Other LandOther Land20 Bandara/Pelabuhan
21 Pertambangan22 Tubuh air23 Awan
6 Other LandOther Land
69Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
DEFORESTASI : Perubahan permanen areal berhutan menjadi tidak berhutan akibat kegiatan manusia
DEGRADASI HUTAN P k i h d k k bDEGRADASI HUTAN : Penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu akibat kegiatan manusia.
DEFORESTASI vs. DEGRADASIDEFORESTASI vs. DEGRADASI
DEFORESTASI
DEGRADASI HUTAN DEGRADASI HUTAN
I (100-80%) II (80-60%) III (60-40%) IV (40-10%)
LAJU DEFORESTASI LAJU DEFORESTASI 3.51
2.833
3.5
4
1.87
1.371 5
2
2.5
1.08 1.170.83
0.450.780.76
0.61
0.320.5
0.68
0.30.41
0.22 0.130.5
1
1.5
0
Seluruh Indonesia Di dalam Kawasan Hutan Di luar Kawasan Hutan (APL)
1990‐1996 1996‐2000 2000‐2003 2003‐2006 2006‐2009 2009‐2011
Laju Deforestasi 1990‐1996 1996‐2000 2000‐2003 2003‐2006 2006‐2009 2009‐2011*Laju Deforestasi 1990‐1996 1996‐2000 2000‐2003 2003‐2006 2006‐2009 2009‐2011
Seluruh Indonesia 1,87 3,51 1,08 1,17 0,83 0,45
Di dalam Kawasan Hutan 1,37 2,83 0,78 0,76 0,61 0,32
Di luar Kawasan Hutan (APL) 0,5 0,68 0,3 0,41 0,22 0,13
* Masih menunggu publikasi resmi
70
Unit: ribu hektar/thn
PENUTUPAN LAHAN
KAWASAN HUTANA PL TOTAL
Konser Lindung Produksivasi Lindung Produksi
20062006‐‐20092009 32,3 (7%)
58,8 (13%)
342,5 (77%)
13,3 (3%)
446,9(100%)( ) ( ) ( ) ( ) ( )
20092009‐‐20112011 23,7 (15%)
15,5 (10%)
94,2(61%)
22,1 (14%)
155,5* (100%)
Sumber: • Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2009/2010 (217 scene) Penafsiran pada
tahun 2009tahun 2009.*) Angka sementara
FAKTOR EMISIFAKTOR EMISI
INVENTARISASI HUTAN NASIONAL
71Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
• Dilakukan dengan membuat Permanent Sample Plot (PSP) dan Temporary Sample Plot (TSP)p y p ( )
• Tujuan:TSP : Pendugaan potensi sumberdaya hutan (volume,
kondisi tegakan, distribusi dan keanekaragaman jenis)
PSP : (1) Pemantauan perubahan SDH
( 2) Riap pertumbuhan
• Terletak di seluruh kawasan hutan (HP, HPT, KSA/KPA HL) dgni i d k i i dib h 1000 d l d hprioritas pada ketinggian dibawah 1000 m dpl pada hutan
lahan kering dataran rendah, rawa, dan mangrove
• Tersebar secara sistematik dalam kisi 20 km x 20 km dapat• Tersebar secara sistematik dalam kisi 20 km x 20 km, dapatdirapatkan 10 km x 10 km atau 5 km x 5 km
PLOT KLASTER TSP/PSPPLOT KLASTER TSP/PSP
Satu klaster terdiri d i 8 TSP d 1 PSPdari 8 TSP dan 1 PSP.
Satu TSP terdiri dari 8 sub plot8 sub plot
Satu PSP terdiri dari 16 record unit16 record unit
72
Sebaran Plot Klaster TSP/PSP diPulau Sulawesi
Jumlah Plot TSP/PSPJumlah Plot TSP/PSP • 1990-1996 (2.735 plot klaster)• 1996-2000 (1.145 plot klaster)• 2000-2006 ( 485 plot klaster)2000 2006 ( 485 plot klaster)• 2006-2010 (2.997 plot klaster)•• 20102010--2014 (599 plot klaster/th)2014 (599 plot klaster/th)
73Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
POTENSI HUTAN DIAMETER 20 CM UP (m3/ha) TAHUN 1990 – 2010
Kawasan Hutan Potensi ( m3/ha )1990 ‐1995 1996 ‐2000 2001‐2005 2006‐2010
APL 54.30 57.13 80.98 112.27HL 117.17 130.78 141.96 95.90HP 91.64 85.44 79.60 76.11HPK 60.96 76.20 94.91 30.61HPT 127.32 134.30 130.55 107.35
KSA/KPA 98.23 125.32 140.02 98.23Rata‐rata 90.66 102.23 115.65 94.98
140 00
160.00
80.00
100.00
120.00
140.00
1990 ‐1995
1996 ‐2000
0.00
20.00
40.00
60.00 2001‐2005
2006‐2010
0.00APL HL HP HPK HPT KSPA
POTENSI HUTAN DIAMETER 50 cm up(m3/ha) TAHUN 1990 – 2010
Kawasan Hutan
Potensi (m3/ha)
1990 ‐1995 1996 ‐2000 2001‐2005 2006‐2010
APL 30.51 27.32 31.37 72.75
HL 76.53 79.49 83.49 48.37
HP 50.99 42.62 39.41 39.59
HPK 31.29 32.57 42.68 0.00
HPT 79 59 78 61 75 16 52 15HPT 79.59 78.61 75.16 52.15
KSA/KPA 59.14 72.62 83.24 54.87
Rata‐rata 53.73 56.31 63.64 48.03
90.00
50.00
60.00
70.00
80.00
1990 ‐1995
10.00
20.00
30.00
40.001996 ‐2000
2001‐2005
2006‐2010
0.00APL HL HP HPK HPT KSPA
74
DATA KARBON HUTANDATA KARBON HUTAN
STOCKS
S
* Hasil perhitungan awal/sementara
EMISISERAPAN
• INCAS : Indonesia National Carbon Accounting System• Kerjasama Indonesia – Australia (IAFCP)• Tujuan : Land
cover
Menyediakan data dan laporansektor lahan pada sistem
N A
change
Land use and Climate p
MRV Indonesia• Terdiri dari 5 komponen
INCASCarbon
AccountingModel
management
data
ppokok.
Model
Soil including
peat
Biomass and
Growth peatGrowth
75Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
76
4. Pembelajaran dari FORCLIME terkait dengan REL/RLGIZ - Forclime
6/13/2012
1
13.06.2012 Seite 1Page 1
Pembelajaran dari
FORCLIME terkait dengan
REL/RL
GIZ- Forclime
13.06.2012 Seite 2Page 2
Outline
Tujuan FORCLIME
REL/RL
Peningkatan keakurasian
DFMIS
Penutup
77Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
1
13.06.2012 Seite 1Page 1
Pembelajaran dari
FORCLIME terkait dengan
REL/RL
GIZ- Forclime
13.06.2012 Seite 2Page 2
Outline
Tujuan FORCLIME
REL/RL
Peningkatan keakurasian
DFMIS
Penutup
6/13/2012
2
13.06.2012 Seite 3Page 3
Tujuan Umumhingga 2020
Menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan tingkat
kehidupan masyarakat pedesaan melalui penerapan strategi-strategi perlindungan
hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan
13.06.2012 Seite 4Page 4
Wilayah Kerja
78
6/13/2012
2
13.06.2012 Seite 3Page 3
Tujuan Umumhingga 2020
Menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan tingkat
kehidupan masyarakat pedesaan melalui penerapan strategi-strategi perlindungan
hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan
13.06.2012 Seite 4Page 4
Wilayah Kerja
6/13/2012
3
13.06.2012 Seite 5Page 5
Ensuring differences with business as usual
Risk Monitoring related to emission within project area; discount
Based on historical emission, adjusted and forward-looking baseline
Monitoring and handling leakages for both activity and market leakages
Gain & loss or carbon stock difference method; activity data & emission factors
Right and responsibility; crediting area ; benefit sharing; project scale
Project Boundary
Historical Emission
Reference Level
Additionality
Permanence
Leakage
MRV Scheme for REDD+
13.06.2012 Seite 6Page 6
Image processing workflow
Preprocessing
Atmospheric correction
Geometric correction
Gap filling and image fusion
Mosaicking
Processing
Segmentation Image classification
Validation
Field sampling Accuracy assessment
Carbon and emission baseline assessment
Biomass calculation Change detection
Aerial image sampling
RSS GmbH
79Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
3
13.06.2012 Seite 5Page 5
Ensuring differences with business as usual
Risk Monitoring related to emission within project area; discount
Based on historical emission, adjusted and forward-looking baseline
Monitoring and handling leakages for both activity and market leakages
Gain & loss or carbon stock difference method; activity data & emission factors
Right and responsibility; crediting area ; benefit sharing; project scale
Project Boundary
Historical Emission
Reference Level
Additionality
Permanence
Leakage
MRV Scheme for REDD+
13.06.2012 Seite 6Page 6
Image processing workflow
Preprocessing
Atmospheric correction
Geometric correction
Gap filling and image fusion
Mosaicking
Processing
Segmentation Image classification
Validation
Field sampling Accuracy assessment
Carbon and emission baseline assessment
Biomass calculation Change detection
Aerial image sampling
RSS GmbH
6/13/2012
4
13.06.2012 Seite 7Page 7
Landsat image acquisitions 1991
12/1990 01/1991 04/1991 04/1991
05/1991 05/1991 06/1991 07/1991
07/1991 11/1991 12/1991 12/1991
80% 90%40%30%
50% 20%80%30%
30% 10%40%70%
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 8Page 8
Landsat image preprocessing:Cloud masking
• • •
RSS GmbH
80
6/13/2012
4
13.06.2012 Seite 7Page 7
Landsat image acquisitions 1991
12/1990 01/1991 04/1991 04/1991
05/1991 05/1991 06/1991 07/1991
07/1991 11/1991 12/1991 12/1991
80% 90%40%30%
50% 20%80%30%
30% 10%40%70%
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 8Page 8
Landsat image preprocessing:Cloud masking
• • •
RSS GmbH
6/13/2012
5
13.06.2012 Seite 9Page 9
Gap filling
Original master sceneMasked master sceneMasked fill scene 1Filled image with 1 fill sceneFilled image with 2 fill scenesFilled image with 3 fill scenes
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 10Page 10
Resulting datasets:Malinau
•
81Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
5
13.06.2012 Seite 9Page 9
Gap filling
Original master sceneMasked master sceneMasked fill scene 1Filled image with 1 fill sceneFilled image with 2 fill scenesFilled image with 3 fill scenes
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 10Page 10
Resulting datasets:Malinau
•
6/13/2012
6
13.06.2012 Seite 11Page 11
Hierarchical classification scheme based on FAO
LCCS
Image objects
Primarily vegetated Primarily non-vegetated
ForestNon-forest
Temporarily
flooded wetland
Water
Settlement
Bare areas
Shrubs,
regrowth, agriculture
Plantation
Lowland
Hill & sub montane
Lower montane
Upper montane
Peat swamp
Heath
Riparian
Fresh water swamp
Secondary
forest classes
13.06.2012 Seite 12Page 12
Biomass calculation:Carbon database & calculator
• • RSS GmbH
82
6/13/2012
6
13.06.2012 Seite 11Page 11
Hierarchical classification scheme based on FAO
LCCS
Image objects
Primarily vegetated Primarily non-vegetated
ForestNon-forest
Temporarily
flooded wetland
Water
Settlement
Bare areas
Shrubs,
regrowth, agriculture
Plantation
Lowland
Hill & sub montane
Lower montane
Upper montane
Peat swamp
Heath
Riparian
Fresh water swamp
Secondary
forest classes
13.06.2012 Seite 12Page 12
Biomass calculation:Carbon database & calculator
• • RSS GmbH
6/13/2012
7
13.06.2012 Seite 13Page 13
Land cover classMap code AGB [t/ha] Carbon [t/ha]
Lowland Dipterocarp Forest (0 -< 300m a.s.l.) 111 470.07 235.04Secondary Lowland Dipterocarp Forest 112 276.60 138.30
Hill and Sub-montane Dipterocarp Forest (300 -< 900m a.s.l.) 121 334.39 167.19Secondary Hill and Sub-montane Dipterocarp Forest 122 193.85 96.92Lower Montane Rainforest (900 -< 1500m a.s.l.) 131 425.59 212.79Secondary Lower Montane Rainforest* 132 268.34 134.17Upper Montane Rainforest (> 1500m a.s.l.) 141 304.35 152.18Secondary Upper Montane Rainforest* 142 191.92 95.96Peat Swamp Forest 151 215.32 107.66Secondary Peat Swamp Forest 152 151.66 75.83Heath Forest 161 223.95 111.98Secondary Heath Forest 162 177.88 88.94Riparian Forest 171 253.68 126.84Secondary Riparian Forest 172 76.19 38.10Freshwater Swamp Forest 181 208.47 104.24Secondary Freshwater Swamp Forest* 182 199.35 99.68Shrubs, Regrowth, Shifting Cultivation, Smallholder Agriculture, Grassland 21 47.44 23.72Plantation** 22 194.00/78.00 97.00/39.00Temporarily Flooded Wetland 23 14.96 7.48Settlement 24 0.00 0.00Bare Area 3 0.00 0.00Water 4 0.00 0.00Gap 99 0.00 0.00
Biomass calculation:Carbon database & calculator
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 14Page 14
Results:Historic LC change in Malinau
83Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
7
13.06.2012 Seite 13Page 13
Land cover classMap code AGB [t/ha] Carbon [t/ha]
Lowland Dipterocarp Forest (0 -< 300m a.s.l.) 111 470.07 235.04Secondary Lowland Dipterocarp Forest 112 276.60 138.30
Hill and Sub-montane Dipterocarp Forest (300 -< 900m a.s.l.) 121 334.39 167.19Secondary Hill and Sub-montane Dipterocarp Forest 122 193.85 96.92Lower Montane Rainforest (900 -< 1500m a.s.l.) 131 425.59 212.79Secondary Lower Montane Rainforest* 132 268.34 134.17Upper Montane Rainforest (> 1500m a.s.l.) 141 304.35 152.18Secondary Upper Montane Rainforest* 142 191.92 95.96Peat Swamp Forest 151 215.32 107.66Secondary Peat Swamp Forest 152 151.66 75.83Heath Forest 161 223.95 111.98Secondary Heath Forest 162 177.88 88.94Riparian Forest 171 253.68 126.84Secondary Riparian Forest 172 76.19 38.10Freshwater Swamp Forest 181 208.47 104.24Secondary Freshwater Swamp Forest* 182 199.35 99.68Shrubs, Regrowth, Shifting Cultivation, Smallholder Agriculture, Grassland 21 47.44 23.72Plantation** 22 194.00/78.00 97.00/39.00Temporarily Flooded Wetland 23 14.96 7.48Settlement 24 0.00 0.00Bare Area 3 0.00 0.00Water 4 0.00 0.00Gap 99 0.00 0.00
Biomass calculation:Carbon database & calculator
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 14Page 14
Results:Historic LC change in Malinau
6/13/2012
8
13.06.2012 Seite 15Page 15
Results:Historic LC change in Kapuas Hulu
13.06.2012 Seite 16Page 16
Results:Carbon change 1990-2010 in Malinau
RSS GmbH
84
6/13/2012
8
13.06.2012 Seite 15Page 15
Results:Historic LC change in Kapuas Hulu
13.06.2012 Seite 16Page 16
Results:Carbon change 1990-2010 in Malinau
RSS GmbH
6/13/2012
9
13.06.2012 Seite 17Page 17
Results:Historic LC change in Berau
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 18Page 18
Results:Historic LC change in Berau
-300,000
-250,000
-200,000
-150,000
-100,000
-50,000
0
50,000
100,000
150,000
200,000
Area change per class
1990-2000 2000-2005 2005-2010 1990-2010
85Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
9
13.06.2012 Seite 17Page 17
Results:Historic LC change in Berau
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 18Page 18
Results:Historic LC change in Berau
-300,000
-250,000
-200,000
-150,000
-100,000
-50,000
0
50,000
100,000
150,000
200,000
Area change per class
1990-2000 2000-2005 2005-2010 1990-2010
6/13/2012
10
13.06.2012 Seite 19Page 19
Results:Carbon Stock Change in Berau
-35,000,000
-30,000,000
-25,000,000
-20,000,000
-15,000,000
-10,000,000
-5,000,000
0
5,000,000
10,000,000
15,000,000
t C
Carbon Stock Change per class (t C)
1990-2000 2000-2005 2005-2010
13.06.2012 Seite 20Page 20
Carbon emission baselineResults Malinau
RSS GmbH
86
6/13/2012
10
13.06.2012 Seite 19Page 19
Results:Carbon Stock Change in Berau
-35,000,000
-30,000,000
-25,000,000
-20,000,000
-15,000,000
-10,000,000
-5,000,000
0
5,000,000
10,000,000
15,000,000
t C
Carbon Stock Change per class (t C)
1990-2000 2000-2005 2005-2010
13.06.2012 Seite 20Page 20
Carbon emission baselineResults Malinau
RSS GmbH
6/13/2012
11
13.06.2012 Seite 21Page 21
Carbon emission baselineResults Kapuas Hulu
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 22Page 22
Carbon emission baselineResults Berau
RSS GmbH
87Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
11
13.06.2012 Seite 21Page 21
Carbon emission baselineResults Kapuas Hulu
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 22Page 22
Carbon emission baselineResults Berau
RSS GmbH
6/13/2012
12
13.06.2012 Seite 23Page 23
Carbon emission baseline:Comparison of three districts
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 24Page 24
Carbon emission drivers
RSS GmbH
88
6/13/2012
12
13.06.2012 Seite 23Page 23
Carbon emission baseline:Comparison of three districts
RSS GmbH
13.06.2012 Seite 24Page 24
Carbon emission drivers
RSS GmbH
6/13/2012
13
13.06.2012 Seite 25Page 25
Peningkatan keakurasian
- menggunakan citra dengan resolusi yang lebih baik
- Kelas tutupan lahan yang mencakup variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada
- Metode interpretasi yang replikabel
Activity Data
Removal
Factor
Emission
Factor
- Pengembangan persamaan alometrik lokal- Pengukuran karbon di lapangan- Pemanfaatan data-data historis
inventarisasi hutan (IHMB, NFI, dll)
- Pengembangan dan pengukuran petak ukur permanen
- Pengolahan data PUP yang ada (HPH, plot penelitian, dll)
13.06.2012 Seite 26Page 26
89Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
13
13.06.2012 Seite 25Page 25
Peningkatan keakurasian
- menggunakan citra dengan resolusi yang lebih baik
- Kelas tutupan lahan yang mencakup variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada
- Metode interpretasi yang replikabel
Activity Data
Removal
Factor
Emission
Factor
- Pengembangan persamaan alometrik lokal- Pengukuran karbon di lapangan- Pemanfaatan data-data historis
inventarisasi hutan (IHMB, NFI, dll)
- Pengembangan dan pengukuran petak ukur permanen
- Pengolahan data PUP yang ada (HPH, plot penelitian, dll)
13.06.2012 Seite 26Page 26
6/13/2012
14
13.06.2012 Seite 27Page 27
Methodology
Local allometric equation
Carbon inventory -> Plots measurement
Forest Growth Analysis
• Destructive method: trees are felled, fractioned and weighted• Allometric relationship between DBH and biomass or carbon
- Multi-purpose inventory- Record most (if not all) carbon pools- Stratified random sampling, with SE 5-10%
- Utilize existing PSP data sets- Compilation from many different sources incl timber concessions
Emission Factor
Removal Factor
13.06.2012 Seite 28Page 28
Carbon Inventory Design
Carbon pools :
- Above ground biomass (tree, under growth, liana, palm)
- Dead organic matters (dead wood, dead tree and litter)
- Peat soil
Species name, DBH and stem quality folowing IHMB
criterias)
Target population
Sampling method• Stratified random
sampling
In compliance with IPCC guidelines and SNI Carbon Accounting
90
6/13/2012
14
13.06.2012 Seite 27Page 27
Methodology
Local allometric equation
Carbon inventory -> Plots measurement
Forest Growth Analysis
• Destructive method: trees are felled, fractioned and weighted• Allometric relationship between DBH and biomass or carbon
- Multi-purpose inventory- Record most (if not all) carbon pools- Stratified random sampling, with SE 5-10%
- Utilize existing PSP data sets- Compilation from many different sources incl timber concessions
Emission Factor
Removal Factor
13.06.2012 Seite 28Page 28
Carbon Inventory Design
Carbon pools :
- Above ground biomass (tree, under growth, liana, palm)
- Dead organic matters (dead wood, dead tree and litter)
- Peat soil
Species name, DBH and stem quality folowing IHMB
criterias)
Target population
Sampling method• Stratified random
sampling
In compliance with IPCC guidelines and SNI Carbon Accounting
6/13/2012
15
13.06.2012 Seite 29Page 29
Current Status of Carbon
Inventory at Kapuas Hulu• Pelatihan bagi staf KPH dan Dinas kehutanan telah dilakukan• Beberapa plot sudah diukur• Sosialiasai di kecamatan lainnya
13.06.2012 Seite 30Page 30
Carbon Inventory DesignN Plots
CLASS Ha N Plot % Area % N Plot
Bare areas 3833 1 0.03 0.56
Non-Forest 67358 13 2.36 7.34
Wetland 141 1 0.00 0.56
Lowland Forest 154947 93 53.88 52.54
Secondary Lowland Forest 27612 12 5.65 6.78
Hill and submontane forest 94787 20 23.45 11.30
Secondary Hill and submontane forest 3853 1 0.55 0.56
Lower montane forest 279 1 0.09 0.56
Peat swamp forest 68512 26 10.91 14.69
Secondary Peat swamp forest 19109 4 2.14 2.26
Heath forest 12 1 0.00 0.56
Secondary Heath forest 0 1 0.00 0.56
Riparian forest 4794 2 0.90 1.13
Secondary Riparian forest 620 1 0.03 0.56
445857 177
91Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
15
13.06.2012 Seite 29Page 29
Current Status of Carbon
Inventory at Kapuas Hulu• Pelatihan bagi staf KPH dan Dinas kehutanan telah dilakukan• Beberapa plot sudah diukur• Sosialiasai di kecamatan lainnya
13.06.2012 Seite 30Page 30
Carbon Inventory DesignN Plots
CLASS Ha N Plot % Area % N Plot
Bare areas 3833 1 0.03 0.56
Non-Forest 67358 13 2.36 7.34
Wetland 141 1 0.00 0.56
Lowland Forest 154947 93 53.88 52.54
Secondary Lowland Forest 27612 12 5.65 6.78
Hill and submontane forest 94787 20 23.45 11.30
Secondary Hill and submontane forest 3853 1 0.55 0.56
Lower montane forest 279 1 0.09 0.56
Peat swamp forest 68512 26 10.91 14.69
Secondary Peat swamp forest 19109 4 2.14 2.26
Heath forest 12 1 0.00 0.56
Secondary Heath forest 0 1 0.00 0.56
Riparian forest 4794 2 0.90 1.13
Secondary Riparian forest 620 1 0.03 0.56
445857 177
6/13/2012
16
13.06.2012 Seite 31Page 31
Development of allometric equation
for biomass estimation
Kering / MatiRanting
Cabang
Daun
Bunga & Buah
Batang
• To develop local allometric equations for forests in Kalimantan
13.06.2012 Seite 32Page 32
Existing allometric equations for
tropical forests
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
0 20 40 60 80 100 120
Brown
Kettering
PSF
Pioneer
Samalca
Nat PSF
Pioneer
All PSF
92
6/13/2012
16
13.06.2012 Seite 31Page 31
Development of allometric equation
for biomass estimation
Kering / MatiRanting
Cabang
Daun
Bunga & Buah
Batang
• To develop local allometric equations for forests in Kalimantan
13.06.2012 Seite 32Page 32
Existing allometric equations for
tropical forests
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
0 20 40 60 80 100 120
Brown
Kettering
PSF
Pioneer
Samalca
Nat PSF
Pioneer
All PSF
6/13/2012
17
13.06.2012 Seite 33Page 33
Variations among equations
R² = 0.9641
0
100
200
300
400
500
600
700
0 10 20 30 40
Series1
Power (Series1)
R² = 0.9725
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
0 10 20 30 40 50
Series1
Power (Series1)
18.746.4103.5165.19
2999.28
4772.61
0.97
R² = 0.9885
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
0 20 40 60 80
Series1
Power (Series1)
BJ rendah
BJ Sedang
BJ Berat
13.06.2012 Seite 34Page 34
Biomass Stock Comparison using different equations at Merang Peat Swamp Forest
Ton/h
a
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Pri
stin
e F
ore
st
LoF
Den
se C
ano
py
LoF
Me
diu
m C
an
op
y
Se
co
nda
ry f
ore
st
Re
gro
wth
Re
ce
ntly lo
gg
ed
Bu
rnt
land
Sh
rub
lan
d
AGB - Local equations
AGB-Brown's equation
93Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
17
13.06.2012 Seite 33Page 33
Variations among equations
R² = 0.9641
0
100
200
300
400
500
600
700
0 10 20 30 40
Series1
Power (Series1)
R² = 0.9725
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
0 10 20 30 40 50
Series1
Power (Series1)
18.746.4103.5165.19
2999.28
4772.61
0.97
R² = 0.9885
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
0 20 40 60 80
Series1
Power (Series1)
BJ rendah
BJ Sedang
BJ Berat
13.06.2012 Seite 34Page 34
Biomass Stock Comparison using different equations at Merang Peat Swamp Forest
Ton/h
a
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Pri
stin
e F
ore
st
LoF
Den
se C
ano
py
LoF
Me
diu
m C
an
op
y
Se
co
nda
ry f
ore
st
Re
gro
wth
Re
ce
ntly lo
gg
ed
Bu
rnt
land
Sh
rub
lan
d
AGB - Local equations
AGB-Brown's equation
6/13/2012
18
13.06.2012 Seite 35Page 35
Result comparison between local and generic equation
Area: 24,000 haPeat Volume : 1.06 billion m3
Peat depth : 1.1 m – 8.5 m average: 4.4 m
Local biomass
equations
Brown’s
equation
%
AGB Stock in
2008
1,288,028 1,087,918 -18.4
AGB in 1978 4,518,344 3,624,101 -24.7
Annual C
emission
107,177 84,539 -26.8
Annual CO2
emission
394,816 309,978 -27.4
13.06.2012 Seite 36Page 36
Pengembangan Persamaan Biomassa
38 pohon contoh dari jenis non dipterocarp
telah ditebang, diukur dan ditimbang
Bekerja sama dengan
PT Inhutani I and PT Intracawood
Manufacturing di Kalimantan Timur
Tambahan pohon
contoh akan dikompilasi dari
kabupaten Kapuas Hulu
Destructive sampling plots
94
6/13/2012
18
13.06.2012 Seite 35Page 35
Result comparison between local and generic equation
Area: 24,000 haPeat Volume : 1.06 billion m3
Peat depth : 1.1 m – 8.5 m average: 4.4 m
Local biomass
equations
Brown’s
equation
%
AGB Stock in
2008
1,288,028 1,087,918 -18.4
AGB in 1978 4,518,344 3,624,101 -24.7
Annual C
emission
107,177 84,539 -26.8
Annual CO2
emission
394,816 309,978 -27.4
13.06.2012 Seite 36Page 36
Pengembangan Persamaan Biomassa
38 pohon contoh dari jenis non dipterocarp
telah ditebang, diukur dan ditimbang
Bekerja sama dengan
PT Inhutani I and PT Intracawood
Manufacturing di Kalimantan Timur
Tambahan pohon
contoh akan dikompilasi dari
kabupaten Kapuas Hulu
Destructive sampling plots
6/13/2012
19
13.06.2012 Seite 37Page 37
Kompilasi data inventarisasi
Inventarisasi hutan telah banyak dilakukan di tingkat kabupaten dan provinsi, namun tidak semuanya mudah
diakses
Data IHMB dan PSP dikumpulkan dari
berbagai sumber: Dishut, BPKH, HPH
13.06.2012 Seite 38Page 38
District Forest Management Information SystemDFMIS
Development of Forest Carbon Accounting Software
95Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
19
13.06.2012 Seite 37Page 37
Kompilasi data inventarisasi
Inventarisasi hutan telah banyak dilakukan di tingkat kabupaten dan provinsi, namun tidak semuanya mudah
diakses
Data IHMB dan PSP dikumpulkan dari
berbagai sumber: Dishut, BPKH, HPH
13.06.2012 Seite 38Page 38
District Forest Management Information SystemDFMIS
Development of Forest Carbon Accounting Software
6/13/2012
20
13.06.2012 Seite 39Page 39
Development of Forest Carbon Accounting Software
13.06.2012 Seite 40Page 40
Kesimpulan
Hasil analisa perubahan tutupan lahan di 3 kabupaten prioritas Forclime telah dilakukan dan digunakan untuk
pengembangan RL historis (setara dengan Tier 2)
Karena perbedaan antara literatur dan data di lapangan, sangat disarankan untuk peningkatan akurasi
hingga Tier 3 di tingkat KPH atau kabupaten
Pemetaan tutupan lahan historis secara sistematis di 3 kabupaten prioritas hanya dapat dilakukan dengan data
citra landsat.
Citra satelit resolusi lebih baik diperlukan untuk monitoring tutupan lahan yang lebih akurat. RapidEye
akan digunakan untuk monitoring wilayah kerja Forclime.
96
6/13/2012
20
13.06.2012 Seite 39Page 39
Development of Forest Carbon Accounting Software
13.06.2012 Seite 40Page 40
Kesimpulan
Hasil analisa perubahan tutupan lahan di 3 kabupaten prioritas Forclime telah dilakukan dan digunakan untuk
pengembangan RL historis (setara dengan Tier 2)
Karena perbedaan antara literatur dan data di lapangan, sangat disarankan untuk peningkatan akurasi
hingga Tier 3 di tingkat KPH atau kabupaten
Pemetaan tutupan lahan historis secara sistematis di 3 kabupaten prioritas hanya dapat dilakukan dengan data
citra landsat.
Citra satelit resolusi lebih baik diperlukan untuk monitoring tutupan lahan yang lebih akurat. RapidEye
akan digunakan untuk monitoring wilayah kerja Forclime.
6/13/2012
21
13.06.2012 Seite 41Page 41
Saran
• Penghitungan historical emission yang ada saat ini hanya dari perubahan tutupan lahan dan AGB. Perlu
mempertimbangkan comprehensiveness ke depan
• Klasifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada
• Metode klasifikasi citra juga harus memungkinkan untuk di
replikasi
• Pengembangan sistem repository dan maintenance data potensi dan pertumbuhan hutan perlu dikembangkan di
tingkat kabupaten atau provinsi
• Pengembangan kapasitas terkait dengan klasifikasi tutupan lahan perlu dilakukan di kabupaten atau provinsi
• Karena keterbatasan kapasitas di kabupaten, pre
processing citra satellite sebaiknya dilakukan di tingkat nasional
13.06.2012 Seite 42Page 42
Terima Kasih
Solichin [email protected] Carbon Forclime GIZ
Barbara [email protected] 1 Forclime Team Leader
97Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6/13/2012
21
13.06.2012 Seite 41Page 41
Saran
• Penghitungan historical emission yang ada saat ini hanya dari perubahan tutupan lahan dan AGB. Perlu
mempertimbangkan comprehensiveness ke depan
• Klasifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada
• Metode klasifikasi citra juga harus memungkinkan untuk di
replikasi
• Pengembangan sistem repository dan maintenance data potensi dan pertumbuhan hutan perlu dikembangkan di
tingkat kabupaten atau provinsi
• Pengembangan kapasitas terkait dengan klasifikasi tutupan lahan perlu dilakukan di kabupaten atau provinsi
• Karena keterbatasan kapasitas di kabupaten, pre
processing citra satellite sebaiknya dilakukan di tingkat nasional
13.06.2012 Seite 42Page 42
Terima Kasih
Solichin [email protected] Carbon Forclime GIZ
Barbara [email protected] 1 Forclime Team Leader
98
5. Road to Doha and Beyond: Apa yang harus disiapkan IndonesiaProf. (Hon.) Ir. Rachmat Witoelar - Utusan khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim - Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim
ROAD TO DOHA AND BEYOND:APA YANG HARUS DISIAPKANAPA YANG HARUS DISIAPKANAPA YANG HARUS DISIAPKAN APA YANG HARUS DISIAPKAN
INDONESIA?INDONESIA?
Prof. (Hon). Ir. Rachmat WitoelarUtusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim
J k t 14 J i 2012Jakarta, 14 Juni 2012
99Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Keputusan dalam COP17/CMP7 bDurban
• COP17:COP17:– Berakhirnya masa kerja AWG‐LCA di Doha– Dimulainya masa kerja ADP di pertengahan 2012y j p g
• CMP7:CMP7:– Berakhirnya masa kerja AWG‐KP di Doha– Berakhirnya Periode Komitment Pertama KP (31 y (Desember 2012) dan dimulainya implementasi Periode Komitmen Kedua KP (1 Januari 2013)
Masa ADP POST 2020ratifikasiADP POST‐2020
AWG‐LCA Non‐KP up to 2020
AWG‐KP KP CP‐2
2005 2007 2012 2015 2017 2020 2050??
Negosiasi kesepakatan Masa ratifikasi (negosiasi berlanjut?)g p
Implementasi hasil kesepakatan
Masa ratifikasi (negosiasi berlanjut?)
100
Indonesia dalam AWG‐LCAIndonesia dalam AWG LCA
• Sebagai negara berkembang NationallySebagai negara berkembang Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
• Peran kehutanan dalam mitigasi (termasuk• Peran kehutanan dalam mitigasi (termasuk NAMAs) dalam bentuk REDD+Ak d b i k i d i• Akses dan support bagi kegiatan adaptasi
• Berhak atas support dari negara maju pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas
Indonesia dalam AWG‐KPIndonesia dalam AWG KP
• Tidak ada hal yang diharapkan dari negaraTidak ada hal yang diharapkan dari negara berkembang
• Kewajiban hanya penurunan emisi oleh negara• Kewajiban hanya penurunan emisi oleh negara maju (Annex B)N b k b iliki k• Negara berkembang tetap memiliki akses terhadap mekanisme Kyoto CDM
• Negara berkembang berhak atas Adaptation Fund
101Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Yang harus diperhatikan ... (1)Yang harus diperhatikan ... (1)
• AWG‐LCA:AWG LCA:– Kewajiban negara maju dalam penurunan emisi nyata di luar KP Nationally Appropriatenyata di luar KP Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions (NAMACs)
– Komitmen negara maju dalam menyediakanKomitmen negara maju dalam menyediakan support pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas
– Arti implementasi hasil AWG‐LCA dalam upaya penanganan perubahan iklim hingga 2020
Yang harus diperhatikan ... (2)Yang harus diperhatikan ... (2)
• AWG‐KP:AWG KP:– Lamanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto 5 tahun vs 8 tahun
– Komitmen penurunan emisi secara nyata oleh Annex B quantified emission limitation and reduction objectives (QELROs)reduction objectives (QELROs)
–Modalitas yang dapat digunakan oleh Annex B dalam memenuhi komitmennyadalam memenuhi komitmennya
–Metodologi yang digunakan termasuk LULUCF dan CDM (termasuk A/R CDM)
102
ADP: Penanganan Perubahan Iklim Jangka Panjang Pasca 2020 (1)Jangka Panjang Pasca 2020 ... (1)
• Adhoc Working Group on the Durban Platform g p ffor Enhanced Actions (ADP) Dec.1/CP.17– Badan subsider baru dalam menangani perubahanBadan subsider baru dalam menangani perubahan iklim pasca 2020
–Merupakan: ‘ a process to develop a protocol, p p p p ,another legal instrument or an agreed outcome with legal force under the Convention applicable to all Parties’
–Meliputi: mitigasi, adaptasi dan means of i l iimplementation
ADP: Penanganan Perubahan Iklim Jangka Panjang Pasca 2020 (2)Jangka Panjang Pasca 2020 ... (2)
PENTING:PENTING:• peningkatan level of ambition termasuk dengan membuat rencana kerja untuk mitigasi
• ... to identify and to explore options for a range of actions that can close the ambition gap with a view to ensuring the highest possible mitigation efforts by all Parties
103Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Yang harus disiapkan bagi ADP ... (1)Yang harus disiapkan bagi ADP ... (1)
• Mekanisme kerja dalam ADP negosiasiMekanisme kerja dalam ADP negosiasi rezim di bawah UNFCCC
• Pendekatan dan pengelompokan negara• Pendekatan dan pengelompokan negara implikasi dari applicable to all
BAGAIMANA PEMBAGIAN KELOMPOK NEGARA DI BAWAH ADP DI KELOMPOK MANADI BAWAH ADP DI KELOMPOK MANA
INDONESIA BERADA?
Yang harus disiapkan bagi ADP ... (2)Yang harus disiapkan bagi ADP ... (2)
• Mitigasi sejauh mana Indonesia dapat bberperan:– Kewajiban???– Kontribusi penurunan emisi???Kontribusi penurunan emisi???– Kombinasi antara kewajiban dan support dari negara maju???S kt j d t b ?– Sektor mana saja yang dapat berperan?
PENTING: ANALISIS KONDISI INDONESIA GUNA MENENTUKAN PERAN DI PASCA 2020
104
TERIMA KASIH
105Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
6. Pembelajaran dari Kegiatan REDD+ di Propinsi Sulawesi TengahDinas Kehutanan Sulawesi Tengah
DINAS KEHUTANAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAHPROVINSI SULAWESI TENGAH
Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Juni 2012
106
• Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi yang menjadi percontohan program UN-REDD+ Indonesia (Surat Sekjen Kemenhut No. S-786/II-KLN/2010 tanggal26 Juli 2010).26 Juli 2010).
• Sulteng mempunyai komitmen yang kuat untuk ikutmendukung UN REDD dan mendukung programmendukung UN-REDD dan mendukung programpemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca,yaitu:
M d k t t i i hMendukung target penurunan emisi gas rumahkaca nasional 26% tahun 2020
Pembentukan POKJA Multy stakeholder• SKPD;• LSM;• Kelompok Masyarakat adat;
Pembentukan POKJA REDD Propinsi Sulwesi
Tengah SK.Gubernur No
Multy stakeholder
p y ;• Asosiasl Pengusaha Hutan; dan• Akademisi
S Gube u o522/84/Dishutda –
G.ST/2011
• Penyamaan persepsi• Peningkatan dan Pengembangan
kapasitaskapasitas• Membangun dan mengembangkan
Instrumen REDD (MRV, STRADA, FPIC Kriteria dan indikator DA )
Membangun Kesiapan REDD+
)• dll
107Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Komitmen politik, pemerintah , serta masyarakat (masyarakat adat, Komitmen
p , p , y y ,tokoh agama, kaum perempuan)
Komitmen
P i k t k it b d iPenyiapan
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusiaSDM
Proses pelibatan multi‐stakeholder secara aktifPenyiapan SDM
Pertemuan Nasional
SDM
P ti i i Pertemuan NasionalPertemuan Regional AFCU, Pertemuan Internationa; COP 17 di Durban
Partisipasi pertemuan
Tahap kesiapan REDD+ di Sulawesi Tengah No KEGIATAM
didukung oleh partisipasi aktif dan antusiasme tinggi stakeholders
No KEGIATAM
1 Konsultasi regional, Stranas REDD+
2 Persiapan Pembentukan PokjaBappedaBappeda
BKPMDBKPMD
DistambenDistambenTokoh AgamaTokoh Agama
OrganisasiPerempuanOrganisasiPerempuan
3 Sosialisasi
4 Penentuan perwakilan
5 Pembentukan POKJA REDD Sulteng
Stakeholders REDD+ Sulteng
BLHDBLHDAPHIAPHI
6 Penyusunan Rencana Kerja dan Sinkronisasi
7 Penyusunan STRADA
8 P K it i d I dik t DADIstanDIstan
AkademiaAkademia
NGONGO
MasyarakatADAT/LokalMasyarakatADAT/Lokal
DishutProvDishutProv
8 Penyusunan Kriteria dan Indikator DA
9 Pelatihan Indraja, Pengukuran Karbon hutan dan REL
10 Penyusunan Panduan FPIC dan Uji CobaNGONGO
108
propinsi pilot pertama untuk pengukuran karbon• propinsi pilot pertama untuk pengukuran karbon (termasuk redesign National Forest Inventory-NFI dan testing hasil redesign).
Hasil pengukuran karbon, apabila sudah layak, akan di scale up untuk provinsi-provinsi lainnya oleh Ditjen Planologi.Planologi.
• propinsi pilot untuk testing metode penentuan REL/RL pada level provinsi.p p
Hasil dari piloting REL/RL akan direkomendasikan kepihak terkait guna masukan penyusunan kebijakanREL/RLREL/RL.
sebagai lokasi pilot pengembangan metode pelaksanaan• sebagai lokasi pilot pengembangan metode pelaksanaankerangka pengaman sosial (social safeguard).
Saat ini Pokja REDD+ Sulteng telah mengembangkan draft Panduan FPIC sebagai acuan bagi pelaksanaan FPIC ditingkat tapak dan dalam proses uji coba yang ke dua.
• Pilot pengembangan opsi distribusi manfaat REDD+ (dalamPilot pengembangan opsi distribusi manfaat REDD (dalamproses)
• Pilot pengembangan rencana aksi implementasi REDD+ (dalam proses)(dalam proses)
• Sinkronisasi rencana aksi REDD+ dan rencana aksipenurunan GRK (terkait Perpres 61/2011 dan 71/2011, dalamp ( pproses)
109Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
A P lib t ih k d l k i t REDD A. Pelibatan semua pihak dalam proses –proses kegiatan REDD: a. munculnya semangat bersama dari semua kalangan untuk ikut
mendukung kebijakan pembangunan terkait dengan penurunan emisi.b Terbentuknya sistem kontrol dalam pelaksanaan pembangunan misal: b. Terbentuknya sistem kontrol dalam pelaksanaan pembangunan, misal:
adanya Pokja REDD+ dan adanya Pokja Pantau REDD+; c. Transparansi dalam proses sebagai salah satu bentuk good governance,
misal: penentuan kriteria kabupaten yang menjadi prioritas untuk DA misal: penentuan kriteria kabupaten yang menjadi prioritas untuk DA REDD+ yang dilakukan secara transparan dan objective, terjaminakuntabilitasnya
d. Peningkatan kapasitas para staff pemda terkait itu perubahan iklim, g p p p pREDD+, baik di propinsi maupun di kabupaten.
e. Terbentuknya hubungan yang harmonis antara pemerintah, swasta, NGO, organisasi masyarakat, akademisi, organisasi profesi dalammensukseskan program penurunan emisi.
“ t ”1. Pelibatan semua pihak dalam proses –proses kegiatan REDD “ out come”
a. Munculnya semangat kebersamaan dan kesetaraam dari stakeholder untuk ikut mendukung kebijakan pembangunan terkait dengan penurunan emisi.
b. Terbentuknya sistem kontrol dalam pelaksanaan pembangunan, misal: adanya Pokja REDD+ dan adanya Pokja Pantau REDD+;
c. Transparansi dalam proses sebagai salah satu bentuk good governance, misal: penentuan kriteria kabupaten yang menjadi prioritas untuk DA REDD+ yang dilakukan secara transparan dan objective, terjamin akuntabilitasnya
d. Peningkatan kapasitas para staff pemda terkait itu perubahan iklim, REDD+, baik di propinsi maupun di kabupaten.
e. Terbentuknya hubungan yang harmonis antara pemerintah, swasta, NGO, organisasi masyarakat, akademisi, organisasi profesi dalam mensukseskan program penurunan emisi.
110
2 Pilot pengembangan metodologi NFI REL dan2. Pilot pengembangan metodologi NFI, REL, danpengumpulan baseline data:
a. Tersosialisasinya pengetahuan tentant REDD+ telah memunculkankeinginan dari berbagai kabupaten untuk dijadikan sebagai lokasipilot.
b. Penentuan skala prioritas kabupaten dalam kesiapan untuk lokasi DA REDD+ berdasarkan kriteria dan indikator telah menghilangkan klainREDD+ berdasarkan kriteria dan indikator telah menghilangkan klainketidak puasan yang dikhawatirkan muncul.
c. Diketahuinya tingkat kesiapan masing-masing Kabupaten untukberperan dalam program REDD+ di Sulteng sehingga memudahkanp p g g ggdalam perencanaan program-program REDD+ di kabupaten.
d. Gambaran nilai REL di propinsi (dengan data NFI nasional) sudahdiketahui dan dengan adanya pengukuran plot NFI akan dapatdi k i t k t h i REL iil i i d d t dik b kdipakai untuk mengetahui REL riil propinsi dan dapat dikembangkanmetode untuk mengkoreksi nilai REL tersebut.
3. Testing FPIC a Ada beberapa masyarakat yang sudah mengenal istilah REDD+ dan ada yanga. Ada beberapa masyarakat yang sudah mengenal istilah REDD+ dan ada yang
sama sekali belum mengetahui, terlepas benar tidaknya pemahaman istilah tersebut.
b. Peranan sosialisai konsep REDD+ yang benar sangat diperlukan karena ini terkait dengan kemampuan masyarakat untuk mendukung atau tidakterkait dengan kemampuan masyarakat untuk mendukung atau tidak mendukung program REDD+.
c. Media untuk sosialisasi sangat mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu masyarakat untuk mencerna isu perubahan iklim, REDD+ maupun suatu programsuatu program.
d. Terjalin komunikasi langsung antara masyarakat di lapangan dengan para pengambil keputusan/kebijakan.
e. Teridentifikasinya kebutuhan (needs) masyarakat terkait dengan pembangunan kehutanan problem-problem yang riil terjadi di lapangankehutanan, problem problem yang riil terjadi di lapangan.
f. Dalam sosialisasi program, diketahui perluanya segmentasi penerima informasi dan pendekatan yang diterapkan.
111Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
4.. Sosialisasi REDD+a. Pemahaman REDD+ oleh para pihak tidak dapat dilakukan secara
instan, tapi harus secara tahap demi tahap dan berkali-kali / terusmenerus.
b Pendekatan yang dipakai dalam sosialisasi REDD+ harusb. Pendekatan yang dipakai dalam sosialisasi REDD+ harusmemperhatikan segmen target audien-nya.
c. Penggunaan fasilitator yang berasal dari masyarakat setempatmembantu mempercepat proses pemahaman REDD+ olehmembantu mempercepat proses pemahaman REDD olehmasyarakat tersebut karena fasilitator sudah dikenal, berinteraksilangsung dan secara terus menerus dengan masyarakat.
d. Pelibatan journalist dan media telah membantu mempercepattersebarnya isu perubahan iklim dan REDD+ di masyarakat, khususnya peliputan oleh media elektronik (radion, TV).
e. Kepergian Gubernur ke Durban telah menggugah keingin tahuanpara Pemda terhadap isu perubahan iklim dan REDD+para Pemda terhadap isu perubahan iklim dan REDD+.
5. Sulteng sebagai Propinsi Pilot REDD+g ga. Telah dikenalnya Sulteng oleh pihak luar terkait dengan isu REDD.
Beberapa kunjungan ke Sulteng oleh pihak luar untuk mengetahui perkembangan REDD+ di Sulteng telah dilakukan oleh banyak pihak, baik dari propinsi lain, masyarakat adat internasional, para peneliti, dan lain-lain. Ini dapat meningkatkan pamor Sulteng di nasional maupun internasional.
b K it ih k di lt t k i REDD+ t b hb. Kapasitas para pihak di sulteng untuk isu REDD+ ataupun perubahan iklim menjadi meningkat.
c. Munculnya local champions terkait isu REDD+ baik yang dikenal di level propinsi nasional maupun internasionallevel propinsi, nasional maupun internasional.
d. Kesiapan para pihak di Sulteng terhadap isu REDD+ telah mendapatkan respon positif dari Satgas REDD+ yang menjadikan Sulteng sebagai salah satu mitra propinsi untuk program LoI RI-Sulteng sebagai salah satu mitra propinsi untuk program LoI RINorwegia.
112
P i t h P i i S l i T h t l h t k di i t k ktif• Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah telah memantapkan diri untuk secara aktif ambil bagian dalam REDD+ Readiness Indonesia.
• Berbagai kegiatan REDD+ Readiness di Sulteng dikembangkan untuk keperluan g g g g ppropinsi Sulawesi Tengah dan juga dapat dipakai untuk pembelajaran bagi propinsi lain, bahkan Negara lain, apabila diperlukan.
Salah satu kekhasan dari apa yang telah dilaksanakan di Sulteng adalah pelibatan• Salah satu kekhasan dari apa yang telah dilaksanakan di Sulteng adalah pelibatan secara aktif semua stakeholder REDD+ yang ada yang terdiri atas pemerintah propinsi, masyarakat adat, komunitas local, tokoh agama, organissi perempuan, universitas, LSM, swasta serta organisasi profesi. Tidak kalah penting adalah keikut sertaan media baik media cetak maupun elektronik.
• Tahap demi tahap, segala hal yang diperlukan untuk REDD+ Readiness secara pasti akan dilaksanakan oleh Sulawesi Tengah.
• Sulteng akan berupaya terus melanjutkan kegiatan yang belum terlaksana dalam• Sulteng akan berupaya terus melanjutkan kegiatan yang belum terlaksana dalam periode ini baik melalui dukungan dari UN-REDD Programme Indonesia maupun dari dukungan pihak lain seperti dari Satgas REDD+ yang baru-baru ini dimulai, termasuk dari upaya dalam propinsi sendiri
113Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
NadeaNadea BelonaBelonaNadeaNadea BelonaBelonadandan
Terima kasihTerima kasih
114
7. Keynote Speech “Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia?”
S.1 Assalamualaikum wr.w.b,
Terima kasih dan apresiasi atas inisiatif dari Kementerian Kehutanan untuk menyelenggarakan Pertemuan Stakeholder tentang Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia kali ini.
Juga terima kasih atas kesediaan dan fleksibilitas sehingga meskipun tidak sesuai dengan jadwal yang semula direncanakan namun saya tetap dapat memberikan catatan mengenai topik yang dimintakan kepada saya yaitu: “Road t Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia?”
S.2 Sebagaimana yang kita telah ketahui, pertemuan tahunan Para Pihak dalam penanganan perubahan iklim telah dilaksanakan pada akhir tahun 2011 yang lalu di Durban, Afrika Selatan yang dikenal sebagai COP17/CMP7.
Dalam pertemuan yang berlangsung cukup alot ini, pada akhirnya dihasilkan beberapa keputusan.
Pertemuan COP17 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-LCA di akhir tahun 2012 (dalam COP18) serta (ii) dimulainya masa kerja ADP di pertengahan tahun 2012.
Sementara itu, CMP7 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-KP di akhir tahun 2012 (dalam CMP8) serta (ii) berakhirnya Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto pada 31 Desember 2012 yang akan langsung dilanjutkan dengan pelaksanaan Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto pada 1 Januari 2013
S.3 Slide yang terlihat di layar memberikan gambaran mengenai kedua AWGs serta ADP dilihat dari timeframe-nya.
115Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
AWG-KP dimulai proses negosiasinya dengan kesepakatan yang dihasilkan dalam CMP1 di Montreal pada tahun 2006. Berdasarkan kesepakatan di Durban maka AWG ini akan menyelesaikan masa kerjanya dalam bentuk negosiasi di CMP8 di Dha akhir tahun ini dan segera diimplementasikan dalam bentuk Periode Komitmen Kedua sejak 1 Januari 2013. Berdasarkan proses perundingan yang berlangsung hingga saat ini, belum disepakati berapa lama Periode Komitmen Kedua ini akan berjalan. Beberapa negara terutama negara berkembang dan AOSIS menyampaikan posisinya agar periode komitmen ini hanya berlangsung selama 5 tahun dan selesai pada akhir 2017. Negara-negara lain melihat sebaiknya periode komitmen ini berlangsung selama 8 tahun hingga akhir 2020 dan karenanya diharapkan tidak ada kekosongan legal dengan masa implementasi ADP.
AWG yang lain adalah AWG-LCA yang diawali masa kerjanya dengan Bali Action Plan sebagai hasil dari COP13 di Bali, 2007. Kesepakatan di Durban memutuskan bahwa masa kerja AWG dalam bentuk negosiasi diselesaikan dalam COP18 pada akhir tahun ini di Doha. Sesuai dengan nama dan mandatnya, hasil dari AWG ini akan diimplementasikan hingga akhir 2020.
Berdasarkan kesepakatan di Durban, ADP dibentuk sebagai wadah untuk melakukan perundingan penanganan perubahan iklim secara global di masa depan setelah berakhirnya implementasi dari keluaran kedua AWG lainnya. Keputusan 1 dalam COP17 menyatakan bahwa ADP ditargetkan untuk menyelesaikan masa kerja dan mencapai kesepakatan di tahun 2015 sehingga hasilnya dapat diadopsi guna memastikan kekuatan hukum dan implementasi sejak tahun 2020. Belajar dari pengalaman selama ini, tampaknya masa negosiasi selama kurang dari 4 tahun tampaknya tidak akan mampu mencapai target yang diharapkan, karenanya pertanyaan pun timbul apakah mungkin masa kerja dalam bentuk negosiasi dilanjutkan? Jika hal ini dimungkinkan, seberapa lama penambahan ini dimungkinkan mengingat pentingnya proses ratifikasi oleh masing-masing Para Pihak sehingga hasil dari ADP dapat berkekuatan hukum yang sah dan diberlakukan secara efektif.
116
S.4 Untuk menjawab pertanyaan apa yang harus disiapkan oleh Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu dimana posisi dan apa peran Indonesia di masing-masing proses yang berjalan ini.
AWG-LCA berdasarkan sejarahnya memang dibentuk sebagai upaya penyeimbang implementasi Protokol Kyoto. Karenanya, pendekatan yang dipakai pun dengan membagi negara-negara di dunia dalam dua kelompok besar yaitu negara maju dan negara berkembang.
Indonesia sebagai negara berkembang termasuk dalam negara yang dapat berkontribusi dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) yang bersifat sukarela. Sektor kehutanan memegang peran penting dalam mitigasi termasuk NAMAs dalam bentuk REDD+.
Sebagai negara berkembang, Indonesia juga memiliki hak dalam bentuk akses dan support bagi kegiatan adaptasinya. Demikian pula Indonesia memiliki hak atas support dari negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas.
S.5 Sementara itu, di dalam AWG-KP terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Di dalam Protokol Kyoto negara yang diberikan kewajiban untuk menurunkan emisi adalah negara maju yang tergabung dalam Annex B, sehingga pada dasarnya tidak ada hal yang diharapkan dalam hal kewajiban dari negara berkembang.
Namun demikian, di dalam Protokol Kyoto negara berkembang memiliki akses terhadap mekanisme Kyoto yang merupakan mekanisme fleksibilitas bagi negara maju untuk memenuhi komitmen penurunan emisinya yaitu dalam bentuk CDM (clean development mechanisms). Demikian pula halnya dengan akses terhadap Adaptation Fund.
S.6 Menjelang Doha, beberapa hal harus diperhatikan dan diantisipasi oleh Indonesia.
117Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Untuk AWG-LCA, satu hal yang perlu dicermati adalah seberapa jauh penurunan emisi sebagai kewajiban negara maju di luar Protokol Kyoto akan dilaksanakan hingga 2020 dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions (NAMACs). Demikian pula dengan komitmen negaramaju utnuk memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas.
Yangt idak kalah pentingnya adalah apa sesungguhnya arti dan nilai serta implikasi hukum dari keluaran AWG-LCA selama masa implementasi hingga 2020.
S.7 Untuk AWG-KP yang menjadi isu penting hingga akhir tahun ini dan juga mungkin setelah Doha adalah mengenai lamanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto. Perdebatan apakah periode ini 5 tahun atau 8 tahun masih berlangsung sangat kuat.
Seperti halnya dalam Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto, dalam Periode Kedua ini harus pula ditentukan berapa besar penurunan emisi GRK yang ditargetkan oleh negara maju dalam Annex B. Hingga saat ini, negara-negara Annex B telah menyampaikan pledge-nya namun hingga saat ini belum disampaikan dalam bentuk QELROs atau quantified emission limitation and reduction objectives sebagai target komitmennya.
Dalam pemenuhan komitmen tersebut, modalitas yang dapat digunakan akan memegang peranan penting demikian pula dengan metodologinya. Pemanfaatan LULUCF dan CDM termasuk A/R CDM akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi GRK secara neto.
S.8 ADP seperti telah disebutkan sebelum ini merupakan penanganan perubahan iklim secara global dalam jangka panjang yaitu pasca 2020.
ADP atau Adhoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions dihasilkan dalam pertemuan COP17 dalam Dec.1/CP.17. ADP merupakan badan subsider baru di bawah UNFCCC yang akan membahas penanganan perubahan iklim dalam bentuk perundingan.
118
Perundingan yang dilakukan ini adalah suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan protokol, instrumen legal atau agreed outcome yang memiliki kekuatan hukum di bawah UNFCCC yang berlaku bagi seluruh Para Pihak. Di dalam keputusan ini juga diangkat bahwa hasil tersebut nantinya akan pula mencakup elemen mitigasi, adaptasi dan means of implementation.
S.9 Proses dalam ADP juga akan membuat rencana kerja yang tepat guna peningkatan level of ambitions termasuk dalam hal mitigasi.
Rencana kerja yang dibuat dimaksudkan untuk melakukan identifikasi dan eksplorasi opsi-opsi dari serangkaian aksi yang dapat menutup adanya kesenjangan ambisi dengan maksud untuk memastikan the highest mitigation efforts by all Parties.
Beberapa terminologi baru yang muncul dalam keputusan ini perlu untuk diperhatikan dan dianalisis dengan seksama sehingga akan didapatkan pemahaman yang sama antar berbagai Para Pihak.
S.10 Di tahun 2012 ini seperti yang telah disepakati di Durban, salah satu agenda perundingan yang baru dimulai adalah ADP. Proses perundingan di bawah ADP akan terus berjalan dan diharapkan berakhir di tahun 2015 dengan diadopsinya keluaran yang disepakati oleh Para Pihak.
Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkan beberapa hal.
Dalam proses ADP perlu disepakati mekanisme kerja yang akan dilakukan yaitu bentuk perundingan bagi rezim baru di bawah UNFCCC. Perubahan sebagai implikasi dari applicable to all akan mengakibatkan terjadinya perubahan pendekatan dan pengelompokan negara. Pekerjaan rumah utama bagi Indonesia adalah bagaimana pengelompokan negara yang ada di bawah ADP. Dimanakah posisi Indonesia dalam pengelompokan baru tersebut.
S.11 Elemen yang paling utama adalah untuk menjawab kesenjangan ambisi yaitu kesenjangan antara konsentrasi GRK di atmosfer yang aman bagi kehidupan yang berarti adanya penurunan emisi GRK secara signifikan melalui mitigasi.
119Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
Dalam ADP seluruh negara akan diberikan peran dalam mitigasi. Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana Indonesia dapat berperan dalam mitigasi ini. Apakah peran Indonesia dalam bentuk kewajiban? Apakah peran Indonesia dalam kontribusi penurunan emisi seperti yang saat ini telah ditargetkan Indonesia secara sukarela hingga 2020? Apakah dalam bentuk kewajiban yang didukung oleh support dari negara maju? Atau dalam bentuk lainnya?
Dalam hal mitigasi di Indonesia juga perlu diperhatikan sektor mana saja yang dapat berperan? Seberapa jauh peran sektor energi, seberapa jauh peran sektor kehutanan dan lainnya?
Oleh karena itu PENTING bagi Indonesia untuk melakukan analisis kondisi Indonesia sehingga dapat ditentukan peran yang paling tepat bagi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim global pasca 2020.
S.12 Analisis ini perlu dilakukan oleh berbagai sektor berdasarkan kondisi, kekuatan dan kapasitas masing-masing. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor kunci yang perlu melakukan analisis mendalam peran dan posisi Indonesia dalam melakukan penurunan emisi GRK.
Peran hutan dalam REDD+ saat ini perlu dianalisis lebih jauh dan mendalam sehingga perannya di pasca 2020 dapat diidentifikasi dan diprediksikan. Proses bersama dengan stakeholder seperti yang dilaksanakan saat ini hendaknya dapat terus dilaksanakan termasuk dalam melakukan analisis sehingga antisipasinya dapat dilakukan secara lebih partisipatif.
Wassalamualaikum wr.wb.
B. Dokumentasi
123Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
124
125Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
126
127Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan
ProsidingPertemuan dalam rangka
Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim
Penanganan
Bidang Kehutanan di Indonesia
Penanganan
Bidang Kehutanan di Indonesia
Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan
Jakarta, Juni 2012
CENTRE FOR STANDARDIZATION AND ENVIRONMENT(Standardization, Environment, and Climate Change)
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN(Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim)
Gedung Manggala WanabaktiJalan Gatot Subroto Blok VII Lt 8 Jakarta 10270 Telp/Fax: 021-5733433E-mail: [email protected]; [email protected]: www.staneclime.org