Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920 PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN APLIKASINYA Jakondar Bakara ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET Susanto, Suwarsono KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA Toni Samiaji KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) Soegiyono DITERBITKAN OLEH: LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920
PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN
APLIKASINYA Jakondar Bakara
ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH
GUNUNGAPI SLAMET Susanto, Suwarsono
KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK
ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear
GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA Toni Samiaji
KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP
ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) Soegiyono
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920
ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI ........... Varuliantor Dear
GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA ..................................................... Toni Samiaji
KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP
ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) .................................. Soegiyono
38 – 47
48 – 59
60 – 67
68 – 75
76 – 82
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA
DIRGANTARA
Keputusan Kepala LAPAN
Nomor: KEP/096/II/2011
Tanggal: 8 Februari 2011
Penanggung Jawab:
Sekretaris Utama LAPAN
Pemimpin Umum:
Karo Kerjasama dan
Hubungan Masyarakat
Sekretaris:
Ka. Bag. Hubungan Masyarakat
Ka. Subbag Publikasi
Penyunting Penyelia:
Heru Supriyatno
Penyunting Pelaksana:
Abdul Rahman
Gatot Winarso
Jiyo
Waluyo Eko Cahyono
Euis Susilawati
Geni Rosita
VOL.12 NO.2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920
DARI MEJA PENYUNTING
Sidang pembaca yang terhormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 12, No. 2, Juni 2011 dapat
hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.
Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu,
“Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global dan Aplikasinya” ditulis
oleh Jakondar Bakara. Satelit navigasi global memancarkan sinyal navigasi
penentuan posisi kepada pengguna yang dikendalikan dari stasiun
pengendali di Bumi. Penentuan posisi dapat dilakukan berdasarkan 4
(empat) dimensi, yaitu berdasarkan garis bujur, garis lintang, ketinggian
dan waktu; “Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah
Gunungapi Slamet” ditulis oleh Susanto, Suwarsono. Sistem operasi alarm
bencana alam melalui analisis gunungapi memberikan informasi tentang
geomorphologis, daerah bahaya dan kondisi penutup lahan, hal ini
digunakan data Landsat ETM+ tanggal 19 September 2001 pada wilayah
gunungapi Slamet; “Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link
Establishment (ALE) Berbasis Manajemen Frekuensi” ditulis oleh
Varuliantor Dear. Penggunaan sistem Automatic Link Establishment (ALE)
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi perubahan frekuensi kerja
komunikasi radio High Frequency (HF) akibat dinamika lapisan ionosfer.
Namun, proses penentuan frekuensi kerja dalam sistem ALE masih perlu
ditingkatkan akibat banyaknya frekuensi yang diuji setiap waktunya; “Gas
CO2 di Wilayah Indonesia” ditulis oleh Toni Samiaji. Perubahan konsentrasi
gas CO2 di atmosfer yang merupakan bagian dari siklus karbon adalah
penting untuk diteliti. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi
protokol Kyoto, dipandang perlu untuk menginformasikan keadaan gas
CO2. Emisi maupun konsentrasi gas CO2 di Indonesia cenderung naik,
tetapi Indonesia masih mempunyai penyerap gas CO2 yaitu hutan dan
lautan.
Artikel terakhir ditulis oleh Soegiyono dengan judul “Kajian
Kedaulatan Negara di Ruang Udara Terhadap Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI)”. Pasal 1 Konvensi Chicago Tahun 1944, menegaskan
bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas
ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Secara yuridis formal wilayah
kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur secara khusus namun secara parsial telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.
Satelit navigasi global memancarkan sinyal navigasi penentuan posisi kepada
pengguna yang dikendalikan dari stasiun pengendali di Bumi. Penentuan posisi dapat
dilakukan berdasarkan 4 (empat) dimensi, yaitu berdasarkan garis bujur, garis
lintang, ketinggian dan waktu. Saat ini negara-negara mengembangkan sistem satelit
navigasi global Global Navigation Satellite Systems (GNSS). GNSS yang telah
dikembangkan antara lain: (i) Global Positioning System (GPS) milik Amerika Serikat, di
mana secara efektif telah menyediakan layanan global, dan (ii) Global Navigation
Satellite System (GLONASS) milik Rusia (Uni Soviet), juga telah efektif menyediakan
layanan global. Sedangkan GNSS yang sedang dikembangkan adalah (i) Sistem Galileo
milik Eropa yang dikembangkan Uni Eropa bekerjasama dengan European Space
Agency (ESA), (ii) Sistem navigasi regional Beidou, dikembangkan Cina, (iii) Sistem
navigasi India Regional Navigational Satellite System (IRNSS) dikembangkan oleh India,
dan (iv) Quasi-Zenith System Satellite (QZSS) akan dikembangkan oleh Jepang. Negara-
negara terus melengkapi dan meningkatkan kemampuan GNSS sehingga dapat di
gunakan oleh negara-negara di seluruh dunia. GNSS telah dimanfaatkan untuk tujuan
militer, transportasi/angkutan, baik darat, laut, maupun udara, dan digunakan untuk
penentuan geografis, pemantauan gunung berapi dan penelitian.
1 PENDAHULUAN
Sistem satelit navigasi global
GNSS terdiri dari segmen antariksa,
segmen pengendali dan segmen
pengguna. Segmen antariksa (satelit)
memancarkan sinyal navigasi kepada
segmen pemakai, yang dikendalikan
stasiun pengendali di Bumi. Satelit
navigasi terdiri dari konstelasi satelit
dengan cakupan global. Fungsi satelit-
satelit tersebut mengirim sinyal ke
receiver yang dipasang di pesawat
terbang, kapal laut, kendaraan bermotor
dan manusia, untuk dapat menentukan
posisi-posisi mereka.
Satelit navigasi mempunyai ke-
mampuan untuk memberikan informasi
tentang posisi lokasi geografis dan
sinkronisasi waktu dalam penggunaan
sinyal real time dari satelit navigasi yang
mengorbit. Posisi yang ditentukan terdiri
dari 4 (empat) dimensi yaitu garis bujur,
garis lintang, ketinggian, dan waktu
(Justin Borton, 2010). Satelit navigasi
juga digunakan dalam berbagai sektor
yaitu penelitian/survey, precision farming/
ketelitian dalam pertanian, mendukung
pencarian dan penyelamatan, ilmu
kebumian, manajemen transportasi,
pergantian waktu yang tepat, manajemen/
pelacakan/anti pencurian. Sistem GNSS
terus berkembang dan kemudian juga
digunakan dalam berbagai sektor, seperti
pengangkutan, keamanan, pengawasan,
dan industri.
Berbagai sistem GNSS yang telah
dikembangkan antara lain: (i) GPS milik
Amerika Serikat, di mana secara efektif
telah menyediakan layanan global, (ii)
Sistem GLONASS milik Rusia (Uni
Soviet), juga telah efektif menyediakan
layanan global. Sedangkan sistem GNSS
yang sedang dikembangkan adalah
(i) Sistem Galileo milik Eropa yang
dikembangkan Union Europe (UE)
bekerjasama dengan ESA. Sistem navigasi
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
39
regional Beidou dikembangkan negara
Cina, (iii) Sistem navigasi IRNSS
dikembangkan oleh India, dan (iv) QZSS
akan dikembangkan oleh Jepang.
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan
perkembangan satelit navigasi global
dan aplikasinya.
2 SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL
2.1 Global Positioning System (GPS)
Pada tahun 1973, Angkatan Laut
Amerika Serikat bekerjasama dengan
Angkatan Udaranya mengembangkan
sistem satelit navigasi pertama yang
disebut dengan Defence Navigation Satellite
System (DNSS) (Paul Kimppi, 2007). Satelit
Transit merupakan sistem satelit navigasi
yang pertama untuk DNSS. Pada awalnya
satelit ini digunakan untuk penentuan
lokasi dalam rangka mendukung operasi
kapal-kapal selam, mendukung misil
balistik Amerika Serikat, tetapi kemudian
juga digunakan oleh kapal-kapal untuk
keperluan ilmiah.
Program satelit Transit berakhir
pada tanggal 31 Desember 1996, dan
kemudian fungsinya diambil alih oleh
GPS/Navstar. GPS/Navstar yang telah
diluncurkan tahun 1978 merupakan
suatu konstelasi yang terdiri dari 24
satelit pada 6 bidang orbit digunakan
untuk menentukan setiap lokasi obyek
dan penentuan waktu di Bumi secara
akurat. GPS/Navstar ini dioperasikan
dan dikendalikan Komando Antariksa
Angkatan Udara Amerika Serikat. Di
samping melayani keperluan militer
Amerika Serikat juga telah melayani
pengguna sipil secara global. Sistem
GPS/Navstar mampu memberikan infor-
masi posisi lokasi dengan tingkat kete-
litian 1-5 meter melalui receiver kode
A/C, dan dapat memberikan tingkat
ketelitian 10-30 cm melalui receiver carrier
(Introduction to the Global Positioning
System for GIS and TRAVERSE, 1996).
Konstelasi satelit GPS/Navstar
beroperasi pada orbit-orbit lingkaran
dengan ketinggian 10.900 nautical miles
(nm) atau sama dengan 20.200 km
dengan umur satelit rata-rata 7,3 tahun-
7,8 tahun. Navstar/GPS juga membawa
peralatan sistem deteksi nuklir. Selain
dimanfaatkan Amerika Serikat dan Eropa
Barat, DGPS juga telah dimanfaatkan
Jepang, China, Polandia, Afrika Selatan
dan sejumlah negara di kawasan lain
untuk keperluan penerbangan sipil,
yaitu dengan memasang peralatan dapat
penerima sinyal dan menentukan posisi
lokasi yang sangat teliti dan tepat
(Kemppi, Paul, 2007).
GPS Navstar yang telah beroperasi
secara penuh pada tahun 1994, dimana
segmen kendali GPS/Navstar terdiri atas
suatu jaringan yang dijejak dari stasiun
pengendali Master Control Station (MCS)
di Colorado Springs, Colorado. Stasiun
Pengendali ini digunakan untuk menen-
tukan dan memprediksi satelit, penem-
patan, memonitor waktu dan sistem
integritas. Informasi yang dikirim ke
MCS, kemudian menghasilkan pem-
baharuan pesan untuk masing-masing
satelit GPS secara teratur. Satelit tersebut
kemudian mensinkronkan waktu dan
melakukan penyesuaian model orbital
internal.
Konstelasi GPS pada tanggal 28
Mei 2007 terdiri dari 30 satelit yang
meliputi 15 satelit Blok IIA, 12 satelit
Blok IIR dan 3 satelit Blok IIR-M.
Pelayanan penentuan posisi yang tersedia
terdiri dari pelayanan standard melalui
frekuensi L1 A/C (frekuensi L1 dengan
kode A/C) dan pelayanan penentuan
posisi untuk kepentingan Militer Amerika
Serikat melalui frekuensi gabungan L1
P(Y) (frekuesnsi L1 dengan Kode P(Y))
dan L2 P(Y) (frekuensi L2 dengan kode
P(Y). Program GPS dimasa mendatang
(2015) pelayanan ditingkatkan untuk
penentuan posisi standard melalui
frekuensi L1 A/C ditingkatkan pada
pelayanan penentuan posisi standard
melalui frekuensi L1 C/A (frekuensi L1
kode A/C), L2C (frekuensi L2 kode C),
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
40
dan frekuensi L5. Kemudian untuk
pelayanan kepentingan Militer Amerika
Serikat untuk pelayanan penentuan
posisi yang tepat melalui gabungan
frekuensi L1 P(Y) (frekuensi L1 dengan
kode P(Y), frekuensi L2 P(Y) (frekuensi
L2 dengan kode P(Y), frekuensi L1M
(frekuensi L1 dengan kode M), dan
frekuensi L2M frekuensi L2 kode M
(Tabel 2-2). Masing-Masing satelit mem-
punyai suatu kode yang berbeda kode
C/A, yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber sinyal. Kode P
adalah suatu kode menyiarkan pada
10.23 Mhz. Lebih lanjut pada tahun
2008 Satelit GPS diluncurkan lagi setelah
dimodernisasi dengan meningkatkan
kemampuan dan meningkatkan per-
tambahan umur menjadi 12 tahun
(Kemppi, Paul, 2007).
2.2 Global Navigation Satellite System (GLONASS)
GLONASS adalah sistem satelit
navigasi global milik Uni Soviet (Rusia)
yang pengembangannya telah dimulai
pada tahun 1976 (GLONASS, 2011).
GLONASS mulai operasional pada tahun
1991, walaupun pengembangan konstelasi
secara penuh terselesaikan tahun 1996.
Satelit GLONASS terdiri dari konstelasi
24 satelit, dari jumlah konstelasi satelit
tersebut, untuk sementara 7 satelit
masih di matikan, dan 17 satelit telah
beroperasi (Paul Kimppi, 2007).
Satelit berada dalam 3 bidang
orbit di mana kedudukan satelit dengan
satelit lainnya terpisah dengan jarak
120°. Satelit beroperasi pada ketinggian
19.100 km di atas permukaan Bumi,
dengan inklinasi 64.8° dan siklus per-
putaran satelit mengelilingi Bumi 11
jam 15 menit.
Satelit GLONASS memberikan
pelayanan kepentingan Militer melalui
frekuensi L-Band, frekuensi L1 dengan
kode P, dan frekuensi L2 dengan kode P.
Pelayanan pesan penentuan posisi
melalui frekuensi L1 dengan Code C/A.
Satelit GLONASS memancarkan sinyal
dengan Code- C/A menggunakan carier
frekunensi. Frekuensi L1 antara 1,597-
1,617 MHZ dan frekuensi L2 antara
1,240-1,260 MHZ. GLONASS masa
mendatang (2015) ditingkatkan pada
pelayanan dalam ketelitian penentuan
posisi melalui frekuenasi L1, L2, dan
frekuensi yang ke-3 (3rd Signal).
Kemudian untuk kepentingan militer
untuk pelayanan dalam ketelitian tinggi,
Melalui frekuensi L1, dan L2. Stasiun
Pengendali GLONASS seluruhnya di-
tempatkan di Uni Soviet (Rusia). Pusat
pengendalian di darat berlokasi di Moscow
dan Stasiun Telemetry dan tracking yang
disebut Receiving Monitor Stations (RMS)
berlokasi di St. Petersburg, Ternopol, dan
Eniseisk. Satelit GLONASS dapat menyiar-
kan data melalui stasiun pengendali di
darat, namun demikian Sistem Satelit
GLONASS belum mampu berdiri sendiri
untuk satelit penetuan posisi, masih
menggunakan sistem rangkap GPS+
GLONASS terutama untuk para peng-
guna/pemakai dalam Real Time Kinematic
GPS (RTK-GPS), penerima yang dapat
menggunakan satelit GLONASS untuk
meningkatkan penentuan posisi ber-
integrasi dengan satelit GPS, dan telah
terbukti sangat menguntungkan di
dalam suatu lingkungan yang mem-
punyai suatu jarak yang sulit dicover
satelit. Dalam peningkatan pengembangan
sistem GLONASS dapat ditingkatkan ke
dalam sistem komersil yang mampu
bersaing di dalam pasar umum peng-
guna sistem GNSS (Paul Kimppi, 2007).
2.3 Galileo
Saat ini Uni Eropa (European
Union atau EU) bekerjasama dengan
badan antariksa Eropa atau ESA sedang
mengembangkan program GNSS Galileo.
Pembagian tugas adalah sebagai berikut;
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
41
UE adalah bertanggung jawab untuk
dimensi politik dan untuk pengaturan
sasaran program pengembangan, kemu-
dian ESA secara teknis mengembangkan
dan mensahkan sistem satelit. Pengem-
bangan program GNSS Gallieo ini
dilatarbelakangi karena para pengguna
navigasi satelit tidak mempunyai alternatif
pilihan selain menggunakan GPS atau
GLONASS. Untuk ini maka pada tahun
1990-an Eropa merasa perlu untuk
memiliki sendiri sistem satelit navigasi
global (ESA, 2010). Satelit pertama yaitu
Galileo In-Orbit Validation Element-A
(GIOVE-A diluncurkan pada tanggal 28
Desember 2005, dan satelit kedua
GIOVE-B diluncurkan bulan April 2008
(Veri Ilham, 2009).
Satelit awal ini digunakan untuk
mengumpulkan data untuk dipakai oleh
jaringan satelit Galileo nantinya dan
sekaligus mempersiapkan posisi orbit
satelit-satelit berikutnya. Setelah sistem
satelit navigasi Galileo beroperasi secara
penuh, sistem ini akan memiliki
beberapa pemonitor stasiun Bumi dan
30 satelit (27 satelit aktif dan 3 satelit
sebagai backup), akan mengorbit dan
memberikan arah yang lebih tepat lagi
pada pengguna peralatan navigasi.
Galileo akan memberikan data
yang lebih cepat dan akurat hanya
dalam radius 1 meter, dibandingkan
dengan GPS yang hanya mampu mem-
berikan keakuratan dalam radius 3 meter.
Seperti halnya GPS dan GLONASS, Galileo
akan memberikan service navigasi ke
masyarakat umum untuk digunakan
pada telpon mobile (HP, Ponsel) canggih,
peralatan-peralatan personal navigasi
dan peralatan navigasi lainnya yang
membutuhkan data dari satelit (Veri
Ilham, 2009). Program satelit Galileo yang
terdiri dari konstelasi 30 satelit navigasi
yang akan ditempatkan dalam 3 bidang
orbit di orbit MEO, sebagaimana dapat
dilihat dalam Gambar 2-1 (ESA, 2010).
Gambar 2-1: Konstelasi 30 satelit navigasi
Sistem satelit GALILEO akan
memberikan pelayanan seperti berikut;
(l) Layanan terbuka (Open Servise-OS)
yaitu layanan yang bebas untuk setiap
pengguna, melalui frekuensi E5A, E5B
dan frekuensi E2-L1-E1, (ii) Layanan
aplikasi Safety-Of-Life (SOL) yaitu untuk
aplikasi keselamatan transportasi. Layan-
an SOL tersedia untuk para pemakai
yang dilengkapi dengan dual-frequency
bersertifikat penerima pada frekuensi L1
dan E5, (iii) Layanan komersil pada
frekuensi C diarahkan pada aplikasi
yang lebih tinggi dibanding dengan
layanan terbuka OS. Layanan komersil
C menggunakan dua sinyal tambahan
pada frekuensi E5B dan E6 bersama-
sama dengan frekuensi O untuk mencapai
capaian lebih baik. Pengaturan layanan
untuk publik akan digunakan dengan
kelompok government-authorised seperti
polisi, dan penjaga pantai. Sistem satelit
GALILEO memiliki jaringan stasiun
sensor, dan akan termonitor di seluruh
dunia. Memiliki 2 (dua) stasiun pengendali
yang berlokasi di Eropa. Data tersedia
untuk para pemakai dimanapun melalui
satelit GALILEO atau terpusat melalui
sistem kendali GALILEO.
Perbandingan pelayanan dan
frekuensi yang tersedia pada sistem
GPS, GLONASS, GALILEO Tahun 2003,
dan Rencana Program Peningkatan
Tahun 2015, dapat dilihat pada Tabel 2-2.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
42
Tabel 2-2: PELAYANAN DAN FREKUENSI YANG TERSEDIA PADA SISTEM GPS, GLONASS, GALILEO TAHUN 2003, DAN RENCANA PROGRAM PENINGKATAN TAHUN 2015
GPS GLONASS GALILEO
Services 2003
2015 2003 2015 2003 2015
Basic Positioning (unencrypted)
SPS L1 C/A
SPS L1 C/A L2C L5
SP L1
SP L1 L2 3rd Signal
OS L1 E5a E5a
Integrity/safety (unencrypted)
Integrity message
SoL L1 E5b E5a
Commercial/ valueadded (encrypted)
CS E6
Security/military (unencrypted)
PPS L1 P(Y) L2 P(Y)
PPS L1 P(Y) L2 P(Y) L1 M L2 M
HP L1 L2
HP L1 L2 Unknown
PRS L1 E6
SPS-Standard Positioning Service, PPS-Precise Position Service, SP-Standard Precision, HP-High Precision, OS-Open Service, SoL-Safety of Life service, CS-Commercial Service, PRS – Public Regulated Service
Sumber: C.Seynat, A. Kealy, K. Zhang, 2004
2.4 Sistem Satelit Navigasi Beidou
Sistem satelit navigasi Beidou
adalah sistem satelit navigasi yang
sedang dikembangkan China untuk
menentukan lokasi bagi keperluan
militer. China mengembangkan satelit
Beidou ini untuk mengurangi keter-
gantungannya terhadap sistem satelit
navigasi GPS dan GLONASS. Sistem
Beidou generasi pertama terdiri dari dua
satelit yaitu satelit Beidou-1 A dan
satelit Beidou-1B yang diluncurkan
masing-masing pada Oktober 2000 dan
Desember 2000. Sedangkan sistem
Beidou generasi kedua yaitu Beidou -2A,
Beidou-2B, dan Beidou-2C diluncurkan
masing-masing pada tanggal 24 Mei
2003, 3 Pebruari 2007, dan 14 April
2007.
Walaupun kemampuan Beidou
ini masih kurang dibanding sistem GPS
milik Amerika Serikat dan sistem
GLONASS milik Rusia, namun telah
dapat mengurangi ketergantungan China
terhadap kedua sistem tersebut. Setelah
peluncurannya satelit Beidou-2C pada
bulan April 2007 ke GEO, sistem satelit
Beidou ini namanya diganti menjadi
sistem Compass atau China’s Compass
Navigation Satellite System (CNSS). Pada
tahun 2015 direncanakan, China akan
memiliki konstelasi satelit Compass
(Beidou) sebanyak 30 satelit yang
berada pada Medium Earth Orbit (MEO)
(Inside GNSS News, 2009). Empat satelit
Beidou sebelumnya berada di orbit
GEO. CNSS nantinya akan terdiri dari
lima satelit di GEO dan 30 (tiga puluh)
satelit di MEO.
Satelit Beidou yang telah dilun-
curkan sampai dengan tahun 2011
dapat dilihat pada Tabel 2-3.
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
43
Tabel 2-3: SATELIT BEIDOU (SAMPAI DENGAN 10 APRIL 2011)
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
49
7- 14’ 33” Lintang Selatan dan 109- 12’ 37”
Bujur Timur. Jumlah total penduduk
yang bermukim di sekeliling kaki
gunung ini dari 5 kabupaten sebesar
6.919.752 jiwa (BPS, 2001).
Secara administrasi, kompleks
Gunungapi Slamet mancakup daerah-
daerah sebagai berikut:
a. Lereng sebelah utara: Kecamatan
Pulosari Kabupaten Pemalang dan
Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal.
b. Lereng sebelah barat: Kecamatan Cepu
dan Kecamatan Sirampok Kabupaten
Brebes.
c. Lereng sebelah timur: Kecamatan
Karangrejo dan Kecamatan Kutasari
Kabupaten Purbalingga
d. Lereng sebelah selatan: Kecamatan
Cilongok, Kecamatan Banteng, Keca-
matan Baturaden, dan Kecamatan
Sumbang Kabupaten Banyumas.
Data yang diperoleh digunakan
dalam analisis daerah bahaya dan
penutupan lahan diperoleh melalui
analisis citra Landsat ETM+ path/row
120/065 tanggal akuisisi 19 September
2001. Data citra satelit tersebut tersedia
di LAPAN.
2 METODOLOGI
Data yang digunakan dalam
analisis daerah bahaya adalah citra
Landsat ETM+ path/row 120/065 tanggal
akuisisi 19 September 2001. Metodologi
penelitian dilakukan melalui beberapa
pentahapan. Pentahapan pemantauan
aktivitas gunungapi yang dilakukan me-
liputi beberapa kegiatan yaitu sebagai
berikut:
Analisis dan deskripsi geomorfologis
gunungapi dan sekitarnya dengan
menggunakan data Landsat TM dan
Landsat-ETM+. Hasil analisis dan
deskripsi tersebut akan dihasilkan
peta bentuklahan (landforms map) dan
peta daerah bahaya gunungapi.
Analisis perubahan penutup lahan di
daerah gunungapi dan sekitarnya
dengan mengidentifikasi dan meng-
klasifikasi penutup lahan dari 2 data
dengan kurun waktu 5 tahun yaitu
dari tahun 1997-2002, untuk
mengetahui perubahan luasnya.
Analisis konsentrasi pemukiman
dikaitkan dengan tingkat kerentanan
daerah bencana
Analisis dan deskripsi geomor-
fologis dilakukan secara visual (visual
analysis) sedangkan analisis penutup
lahan dilakukan secara dijital (digital
analysis). Untuk mempertajam analisis
citra secara visual untuk bentuklahan
vulkanik dibantu dengan pembuatan
citra komposit warna RGB band 543
dan penajaman spasial highpass filter
sharpen 2 (Wikanti A., 2002). Sedangkan
analisis penutup lahan secara dijital
dilakukan dengan metode klasifikasi
isoclass unsupervised. Piranti lunak
yang digunakan yaitu ER Mapper versi
5.5 yang mempunyai fasilitas untuk
metode-metode tersebut (ER Mapper,
1997).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan dibagi
atas 2 bagian berdasarkan metodologi
yang digunakan, yaitu analisis-deskripsi
geomorfologis dan identifikasi-klasifikasi
penutup lahan berikut analisis
perubahannya serta kaitannya dengan
konsentrasi pemukiman.
3.1 Analisis dan Deskripsi Geomor-fologis
3.1.1 Analisis bentuklahan (Landforms)
Geomorfologi merupakan studi
yang mendeskripsi bentuklahan dan
proses yang mengakibatkan terbentuknya
bentuklahan tersebut dan menyelidiki
hubungan timbal balik dari bentuk-
bentuk dan proses ini dalam susunan
keruangan (Zuidam, 1985). Penamaan
klasifikasi bentuklahan didasarkan pada
acuan yang dikeluarkan oleh Fakultas
Geografi dan Bakosurtanal (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional)
tahun 2000. Hasil klasifikasi bentuk-
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
50
lahan di kompleks Gunung Slamet
secara visual dapat dilihat dalam
Gambar 3-1.
Pada gambar tersebut tercantum
dua buah peta bentuklahan yaitu
sebelah kiri berupa peta dengan simbol
warna dan angka, sedangkan peta
sebelah kanan berupa peta yang
disimbolkan dengan angka dan batas
garis yang ditampakkan pada citra
komposit 543. Penyimbolan warna
untuk bentuklahan asal vulkanik
digunakan warna merah bergradasi dari
tua ke muda dan bentuklahan asal
fluvial digunakan warna biru tua (UGM-
Bakosurtanal, 2000).
Hasil analisis dan deskripsi
geomorfologis dengan menggunakan
data penginderaan jauh (dan Landsat
ETM+ tanggal 19 September 2001,
kawasan gunungapi Slamet dibagi atas
sepuluh bentuklahan (Landforms), masing-
masing yaitu 9 bentuklahan asal vulkanik
yang disimbolkan dengan huruf depan
besar ‘V’ dan 1 bentuklahan asal
struktural disimbolkan dengan huruf
depan besar ‘S’. Kesepuluh bentuklahan
tersebut yaitu sebagai berikut:
Kawah aktif (V.02.a)
Kerucut gunungapi cinder (V.04.a)
Lereng gunungapi (V.05.a)
Lereng gunungapi atas (V.05.b)
Lereng gunungapi tengah (V.05.c)
Lereng gunungapi bawah (V.05.d)
Kaki gunungapi (V.06.a)
Dataran kaki gunungapi (V.06.b)
Medan lava (V.08.a)
Gawir sesar pegununganblok (S.03.d)
Kondisi geomorfologis daerah
pemantauan ditinjau secara umum dari
aspek genesis dan kronologinya,
Gunungapi Slamet merupakan gunungapi
berbentuk strato dengan kawah yang
masih menunjukkan gejala keaktifannya.
Di dalam kawah aktif tersebut telah
muncul kerucut gunungapi cinder
dengan ukuran yang relatif kecil.
Gambar 3-1: Hasil klasifikasi bentuklahan di kompleks Gunungapi Slamet
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
51
Bentuklahan kawah aktif (V.02.a)
mencerminkan morfologi kawah gunung-
api yang masih menunjukkan gejala-
gejala keaktifan. Berbentuk seperti
cekungan pada puncak gunungapi dengan
diameter sekitar 1 kilometer. Gejala-
gejala keaktifan tersebut dapat diamati
dari citra dengan mengamati warnanya.
Warna biru pada citra yang terdapat di
bagian puncak gunungapi mengindi-
kasikan warna material yang relatif
masih baru atau segar yang berasal dari
erupsi vulkan berupa lemparan material
piroklastik yaitu ash, tuff, lapili, dan
bomb. Material tersebut terendapkan
hingga mencapai lereng atas dan lereng
tengah. Umumnya semakin jauh jarak
dari pusat erupsi maka konsentrasi
endapan piroklastik semakin berkurang.
Jangkauan lemparan piroklastik yang
berukuran lebih halus akan menjang-
kau daerah yang lebih jauh dan luas,
dalam hal ini abu vulkan (ash) dan tuff
akan menjangkau daerah yang relatif
lebih jauh dan luas daripada material
lapili dan bomb. Selain itu aliran lava
yang dikeluarkan dari mulut kawah
telah membentuk bentuklahan Medan
lava (V.08.a), meskipun luasan areal
yang dijangkau aliran lava relatif sempit
yaitu sekitar 1 hingga 2 km. Dari citra
bentukan ini dapat diamati dari warna
merah menyala, memiliki bentuk dan
pola memanjang dari mulut kawah.
Arah aliran lava cenderung mengarah ke
baratlaut dan sebagian kecilnya ke arah
timur laut.
Di dalam tubuh kawah aktif telah
tumbuh kerucut gunungapi cinder
(V.04.a) dengan ukuran relatif kecil
yaitu dengan diameter kerucut sekitar
0,5 km. Pada puncak kerucut cinder
tersebut terbentuk pula kawah aktif
dengan diameter sekitar 100 meter dan
juga merupakan bagian dari pusat
aktivitas erupsi vulkan. Pada citra
menampakkan warna merah terang
yang mengindikasikan gejala keaktifan
yang masih terus berjalan.
Lereng Gunungapi Slamet dari
puncak ke arah bawah semakin landai
dan dapat dibedakan menjadi Lereng
gunungapi atas (V.05.b), Lereng
gunungapi tengah (V.05.c), dan Lereng
gunungapi bawah (V.05.d). Kemudian
kearah bawah berturut-turut dapat
dibedakan lagi menjadi Kaki gunungapi
(V.06.a) dan Dataran kaki gunungapi
(V.06.b). Karakteristik utama yang
membedakan bentuklahan tersebut
adalah kemiringan lereng dan posisi
lereng tersebut, di samping proses-
proses yang berlangsung yang juga
memiliki perbedaan. Pada lereng
gunungapi atas dan tengah dari citra
berwarna hijau terang atau hijau
dengan spot-spot berwarna putih.
Kemungkinan besar spot-spot berwarna
putih tersebut mengindikasikan pengaruh
temperatur magma dari pusat erupsi
yang berdampak pada penutup lahan.
Kemungkinan kedua adalah terkonsen-
trasi material piroklastik yang dapat
menjangkau dalam jumlah yang signifikan
di kedua bentuklahan tersebut.
Kemiringan lereng semakin bawah
akan semakin berkurang secara gradual
dari sangat terjal hingga datar-landai
dengan batas-batasnya merupakan takik
lereng (break of slope) yang membentuk
pola linier. Takik lereng yang membentuk
pola linier tersebut hanya dapat diamati
dengan interpretasi visual yang tajam
dan perlu kehati-hatian dalam membuat
delineasi. Kunci interpretasi lainnya
untuk mengetahui posisi takik lereng
tersebut adalah dengan mengamati
adanya jalur-jalur hijau (green belt) yang
merupakan letak pemunculan mata air.
Mata air-mata air pada daerah vulkan
umumnya terbentuk pada takik lereng
daerah dimana batas antara muka air
tanah (water table) menyentuh per-
mukaan tanah (ground surface). Pada
zona jalur hijau tersebut pada citra
menunjukkan penutup lahan dengan
vegetasi yang hijau subur berpola
melingkar mengelilingi lereng gunung.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
52
Tabel 3-1: KLASIFIKASI BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK REKOMENDASI DARI BAKOSURTANAL DAN FAKULTAS GEOGRAFI UGM YOGYAKARTA TAHUN 2000
No. SKALA 1 : 25.000 SKALA 1 : 50.000
KODE NAMA BENTUK LAHAN KODE NAMA BENTUK LAHAN
1
V.01 Gunungan strato
V.01.a Gunungapi strato aktif
V.01.b Gunungapi strato tidak aktif
2
V.02
Kawah/Danau Kawah
V.02.a Kawah aktif
V.02.b Danau kawah aktif
V.02.c Kawah tidak aktif
V.02.d Danau kawah tidak aktif
3
V.03
Kawah/Danau kaldera
V.03.a Kaldera aktif
V.03.b Danau kaldera aktif
V.03.c Kaldera tidak aktif
V.03.d Danau Kaldera tidak aktif
4
V.04
Kerucut pegunungan
V.04.a Kerucut gunungapi cinder
V.04.b Kerucut gunungapi piroklasik
V.04.c Kerucut gunungapi abu volkan
V.04.d Kerucut parester
5
V.05
Lereng Gunungapi
V.05.a Lereng gunungapi
V.05.b Lereng gunungapi atas
V.05.c Lereng gunungapi tengah
V.05.d Lereng gunungapi bawah
6
V.06
Kaki Gunungapi
V.06.a Kaki gunungapi
V.06.b Dataran kakigunungapi
V.06.c Kipas Plovio gunungapi
7
V.07
Dataran Gunungapi
V.07.a Dataran gunungapi
V.07.b Dataran flovio gunungapi
V.07.c Dataran antar gunungapi
8 V.08 Medan lava/lahar V.08.a V.08.b
Medan lava
Medan lahar
9
V.09
Gunungapi penrisai
V.09.a Puncak gunungapi perisai
V.09.b Lereng gunungapi perisai
V.09.c Kaki gunungapi perisai
V.09.d Plato lava basalt
V.09.e Aliran lava basalt
10 V.10 Gunungapi bocca V.10.a Gunungapi bocca
V.10.b Kaki gunungapi bocca
11 V.11 Sumbat lava V.11.a Sumbat lava
12 V.12 Leher gungapi V.12.a Leher gunungapi
Sumber : Bakosurtanal
Di kompleks Gunungapi Slamet
juga masih dijumpai sisa-sisa tubuh
vulkan yang tersisa lebih tua yang dapat
diamati dengan jelas pada lereng
sebelah barat. Pada lereng sebelah timur
keberadaan tubuh vulkan tua juga
masih dapat diamati hanya saja hampir
sebagian besar telah tertutupi oleh
material vulkan baru. Untuk penamaan
sisa-sisa tubuh vulkan pada lereng
sebelah barat digunakan nama Lereng
gunungapi (V.05.a).
Bentuklahan lainnya yang ter-
dapat di kompleks Gunungapi Slamet
yaitu bentuklahan struktural Gawir sesar
pegunungan blok (S.03.d). bentuklahan
ini terbentuk pada bidang sesar atau
escarpment dari dua buah sesar naik
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
53
dengan arah strike Baratlaut-Tenggara.
Kedua sesar naik tersebut pada peta
dapat diamati dengan jelas pada sisi kiri
atas. Penyebab terjadinya pengangkatan
tubuh vulkan tua tersebut kemung-
kinan besar akibat tenaga endogen
berupa desakan magma ke atas dan
mengenai tubuh vulkan lama. Pola-pola
patahan kecil juga dapat diamati pada
lereng timur Gunungapi Slamet hanya
saja intensitas peng-angkatannya relatif
lebih lemah.
3.1.2 Analisis tingkat kerentanan ben-cana gunungapi tiap-tiap bentuk-lahan (Landforms)
Bentuklahan memainkan peranan
penting dalam pemantauan kerentanan
bencana gunungapi. Apabila dikaitkan
antara unit bentuklahan yang memiliki
karakteristik tertentu terhadap tingkat
kerentanan terhadap letusan gunungapi
maka terdapat keterkaitan yang erat.
Kerentanan bencana untuk kasus
Gunungapi Slamet tiap-tiap bentuklahan
memiliki karakteristik yang khas, ter-
sebut ditunjukkan secara lebih rinci
pada Tabel 3-2.
Berdasarkan tabel tersebut dapat
diketahui bentuklahan yang memiliki
tingkat sangat rentan yaitu Kawah Aktif,
Kerucut gunungapi cinder, Medan Lava,
dan Lereng gunungapi atas. Bentuklahan
yang memiliki tingkat rentan yaitu Lereng
gunungapi tengah, Lereng gunungapi
bawah, Kaki gunungapi, dan Gawir sesar
pegunungan blok. Sedangkan bentuk-
lahan yang memiliki tingkat kurang
rentan yaitu Lereng gunungapi dan
Dataran kaki gunungapi. Namun demikian
tidak semua luasan di tiap-tiap bentuk-
lahan yang masuk kategori rentan dan
sangat rentan termasuk dalam daerah
bahaya letusan. Untuk itu dibuat peta
daerah bahaya letusan gunungapi yang
tentu saja pada sebagiannya akan
mencakup sebagian atau seluruh luasan
pada bentuklahan-bentuklahan yang
memiliki tingkat rentan maupun sangat
rentan.
Tabel 3-2: TINGKAT KERENTANAN BENCANA GUNUNGAPI SLAMET UNTUK TIAP-TIAP
BENTUKLAHAN
No. Bentuk Lahan
Tingkat kerentanan Material Erupsi
Sangat Rentan
Rentan Kurang Rentan
Aliran Lava/lahar
Material Piroklastis
Ash/Tuf Lapili Bom
1. Kawah aktif + - - + + + +
2. Kerucut
gunungapi cinder
+ - - + + + +
3. Medan lava + - - + + + +
4. Lereng gunungapi
atas
+ - - + + + +
5. Lereng gunungapi
tengah
- + - + + + -
6. Lereng gunungapi
bawah
- + - + - - -
7. Kaki gunungapi - + - + - - -
8. Dataran kaki
gunung
- - + - - - -
9. Lereng gunungapi - - + - - - -
10. Gawir sesar
peg.blok
- + - - + + +
Sumber : Analisis
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
54
Pembuatan peta daerah bahaya
letusan tersebut digunakan untuk
keperluan mitigasi bencana alam.
Daerah Bahaya Gunungapi Slamet
dikelompokkan ke dalam tiga daerah
bahaya, yaitu Daerah Terlarang, Daerah
Bahaya I, dan Daerah Bahaya II.
Penamaan tersebut mengacu pada
zonasi daerah bahaya letusan gunungapi
yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulka-
nologi. Pembagian ke dalam daerah-
daerah bahaya tersebut disajikan dalam
bentuk peta pada Gambar 3-2.
Daerah Terlarang meliputi daerah-
daerah yang akan terkena dampak
langsung dari erupsi vulkan baik aliran
lava, aliran lahar, jatuhan material
piroklastik, debris avalanche, maupun
awan panas. Daerah-daerah pada Daerah
Terlarang akan terkena atau mengalami
kontak langsung oleh material-material
erupsi tersebut. Pada peta disimbolkan
dengan warna merah. Daerah tersebut
terdapat pada Keseluruhan bentuklahan
Kawah aktif, Kerucut gunungapi cinder,
Medan lava, dan Lereng gunungapi atas.
Pada citra, daerah tersebut menunjukkan
warna merah menyala, biru, dan spot-
spot berwarna terang. Warna merah
menyala mengindikasikan aktivitas
vulkanisme pada kawah yang masih
berlangsung, warna biru menunjukkan
kandungan air yang terdapat pada
endapan-endapan lava dan piroklastik
yang masih baru, dan spot-spot cerah
menunjukkan endapan-endapan piro-
klastik yang masih baru dan bersifat
kering.
Daerah Bahaya I meliputi daerah-
daerah yang kemungkinan besar akan
mengalami dampak serupa pada Daerah
Terlarang, namun memiliki intensitas,
frekuensi dan resiko yang relatif lebih
rendah. Daerah Bahaya I tersebut
secara langsung akan terkena jatuhan
material piroklastik. Pada peta disimbol-
kan dengan warna kuning. Daerah Bahaya
I teragihkan keseluruhan bentuklahan
Lereng gunungapi tengah.
Gambar 3-2: Peta Daerah Bahaya Gunungapi Slamet
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
55
Delineasi Daerah Bahaya I
didasarkan atas pemahaman bahwa
daerah tersebut terletak di bawah daerah
Terlarang dan sampai sejauh mana
lemparan material piroklastik masih
mampu menjangkau daerah tersebut
dalam jumlah relatif besar. Menganalisis
kondisi keruangan kompleks Gunungapi
Slamet secara regional, maka daerah-
daerah yang ditetapkan sebagai Daerah
Bahaya I seperti yang ditunjukkan pada
peta.
Pada citra Daerah Bahaya II
meliputi daerah-daerah di luar daerah
Terlarang dan Daerah Bahaya I yang
kemungkinan juga akan terkena dampak
erupsi vulkan meskipun tidak sebesar
pada Daerah Terlarang dan Daerah
Bahaya I yang dalam hal ini akan
dilewati oleh aliran-aliran lava dan lahar
yang bergerak ke bawah. Pada peta
Daerah Bahaya II disimbolkan dengan
warna hijau muda. Daerah-daerah ter-
sebut meliputi keseluruhan lereng
gunungapi bawah, sebagian Kaki
gunungapi, dan sebagian Gawir sesar
pegunungan blok yang lokasinya ber-
dekatan dengan pusat erupsi. Delineasi
didasarkan pula pada lokasi yang
memiliki kemungkinan besar dilalui
aliran-aliran piroklastik, lahar, dan lava.
Aliran piroklastik, lahar, dan lava yang
bergerak menuruni gunung akan ter-
kontrol oleh topografi, yaitu akan melalui
lur-alur sungai. Namun demikian tidak
semua alur-alur sungai pada lereng
gunung akan dilewati oleh aliran lahar
dan lava tersebut. Di sini harus mem-
perhitungkan juga morfologi lain yang
dapat berfungsi sebagai penghambat
atau pembelok aliran lahar dan lava
seperti morfologi vulkan tua yang
terangkat ke atas. Gambar 3-3 menun-
jukkan pola aliran Gunungapi Slamet
yang dapat dibedakan alur-alur sungai
mana yang kemungkinan akan dilewati
oleh aliran piroklastik, lahar, dan lava
sangat besar (disimbolkan dengan
warna merah), menengah (disimbolkan
dengan warna kuning), dan rendah
(disimbolkan dengan warna biru muda).
3.2 Identifikasi dan Klasifikasi Penutup Lahan serta Analisis Konsentrasi Permukiman terhadap Kemung-kinan Terkena Dampak Letusan
Hasil identifikasi dan klasifikasi
penutup lahan Gunungapi Slamet dengan
menggunakan data Landsat-ETM+ tanggal
19 September 2001 yaitu berupa peta
penutup lahan. Jumlah, nama kelas,
dan luasan tiap-tiap kelas penutup
lahan dapat dilihat pada Tabel 3-3 dan
Peta Penutup Lahan dapat dilihat pada
Gambar 3-4. Tabel 3-4 menyajikan
padanan klasifikasi penutup lahan yang
dipakai dalam penelitian ini dengan
standar klasifikasi penutup lahan/
penggunaan lahan yang direkomendasi-
kan oleh Bakosurtanal dan Fakultas
Geografi UGM tahun 2000.
Jumlah kelas penutup lahan
yang terdapat di kompleks Gunungapi
Slamet ada 7 kelas seperti dalam Tabel
3-3 meliputi kelas hutan, perkebunan,
tegalan, sawah, permukiman, lahan
terbuka, dan endapan piroklastik. Dari
hasil analisis dapat diketahui bahwa
luasan penutup lahan dari yang paling
besar ke yang terkecil berturut-turut
yaitu kelas hutan (10.657 Ha), sawah
(3.332 Ha), tegalan (1.741 Ha), perkebunan
(1.545 Ha), permukiman (418 Ha),
endapan piroklastik (305 Ha), dan lahan
terbuka (65 Ha).
Daerah-daerah permukiman di
kompleks Gunungapi Slamet merupakan
permukiman pedesaan dengan berdasar
pada pola-pola distribusinya yang me-
nyebar. Dari hasil analisis melalui citra
dapat diidentifikasi bahwa letak per-
mukiman-permukiman yang ada yaitu
terdapat pada Kaki gunungapi dan
Dataran kaki gunungapi. Selain itu,
terdapat lokasi-lokasi permukiman yang
terletak pada zona Daerah Bahaya II.
Secara administrasi permukiman-per-
mukiman tersebut termasuk wilayah
Kecamatan Kutasari dan Kecamatan
Karangrejo Kabupaten Purbalingga,
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
56
Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang,
dan Kecamatan Cepu Kabupaten Brebes.
Sedangkan di wilayah kecamatan yang
lain tidak termasuk dalam zona daerah
bahaya baik Daerah Terlarang, Daerah
Bahaya I, maupun Daerah Bahaya II.
Gambar 3-3: Pola Aliran Gunungapi Slamet
Tabel 3-3: KELAS PENUTUP LAHAN DAN LUASANNYA
No. Kelas penutup lahan Luas (Ha) %
1. Hutan 10.657 59
2. Perkebunan 1.545 9
3. Tegalan 1.741 10
4. Sawah 3.332 18
5. Permukiman 418 2
6. Lahan terbuka 65 0
7. Endapan piroklastik 305 2
Jumlah 18.063 100
Sumber :Hasil Analisis
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
57
Gambar 3-4: Peta Penutup Lahan Gunungapi Slamet
Tabel 3-4: PADANAN KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN INI DENGAN STANDAR KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN/ PENGGUNAAN LAHAN YANG DIREKOMENDASIKAN OLEH BAKOSURTANAL DAN FAKULTAS GEOGRAFI UGM TAHUN 2000
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Padanan kelas
1. Daerah
Perkotaan
dan
Terbangun
1.1. Permukiman
perkotaan
1.1.1. Pemukiman perkotaan Permukiman
1.2. Perdagangan, jasa,
industri
1.2.1.Perdagangan, jasa,
industri
1.3. Kelembagaan 1.3.1. Kelembagaan
1.4. Transportasi,
komunikasi, utilitas
1.4.1. Transportasi,
komunikasi, utilitas
1.5. Lahan terbangun
lainnya
1.5.1. Lahan terbangun
lainnya
1.6. Bukan lahan
terbangun
1.6.1. Bukan lahan
terbangun
2. Daerah
Perdesaan
2.1. Permukiman
pedesaan
2.1.1. Permukiman pedesaan
2.2. Lahan bervegatasi
diusahakan
2.2.1. Sawah irigasi Sawah
Tegalan
2.2.2. Sawah tadah hujan
2.2.3. Sawah pasang surut
2.2.4. Tegalan
2.2.5. Perkebunan
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
58
2.3. Lahan bervegatasi
tidak diusahakan
2.3.1. Hutan lahan kering Hutan
2.3.2. Hutan lahan basah
2.3.3. Belukar Tegalan
2.3.4. Semak
2.3.5. Rumput
2.4. Lahan tidak bervega-
tasi Diusahakan
(lahan kosong)
2.4.1. Lahar terbuka Lahan terbuka
2.4.2. Lahar dan Lava Lahar dan
Lava
Endapan
piroklastik
Singkapan
Batuan
2.4.3. Beting pantai Lahan terbuka
2.4.4. Gosong sungai
2.4.5. Gumuk pasir
2.5. Tubuh air 2.5.1. Danau Tubuh air
2.5.2. Waduk
2.5.3. Tambak
2.5.4. Rawa
2.5.5. Sungai
2.6. Kelurusan 2.6.1. Kelurusan
Sumber : Bakosurtanal
4 PENUTUP
Hasil analisis geomorfologis terhadap
kawasan Gunungapi Slamet dari data
Landsat-ETM+ tanggal 19 September
2001, daerah tersebut dikelompokkan
ke dalam sepuluh bentuklahan. Ke-10
bentuklahan tersebut yaitu : Kawah
Aktif (V.02.a), Kerucut gunungapi
cinder (V.04.a), Lereng gunungapi
(V.05.a), Lereng gunungapi atas
(V.05.b), Lereng gunungapi tengah
(V.05.c), Lereng gunungapi bawah
(V.05.d), Kaki gunungapi (V.06.a),
Dataran kaki gunungapi (V.06.b),
Medan lava (V.08.a), Gawir sesar
pegunungan blok (S.03.d).
Tingkat kerentanan tiap-tiap bentuk-
lahan terhadap bencana Gunungapi
Slamet dikelaskan ke dalam tiga
tingkat, yaitu sangat rentan, rentan,
dan kurang rentan. Masing-masing
yaitu tingkat sangat rentan meliputi
Kawah Aktif, Kerucut gunungapi
cinder, Medan Lava, dan Lereng
gunungapi atas. Tingkat rentan meliputi
Lereng gunungapi tengah, Lereng
gunungapi bawah, Kaki gunungapi dan
Gawir sesar pegunungan blok. Sedang-
kan bentuklahan yang memiliki
tingkat kurang rentan yaitu Lereng
gunungapi dan Dataran kaki pegu-
nungan.
Untuk keperluan mitigasi bencana
alam, berdasarkan interpretasi citra,
kompleks Gunungapi Slamet menun-
jukkan daerah-daerah yang termasuk
Daerah Terlarang, Bahaya I, dan
Bahaya II. Terdapat konsentrasi areal
permukiman yang termasuk Daerah
Bahaya III yaitu yang terdapat di kaki
gunungapi Slamet dan secara
administrasi permukiman-permukiman
tersebut termasuk wilayah Kecamatan
Kutasari dan Kecamatan Karangrejo
Kabupaten Purbalingga, Kecamatan
Pulosari Kabupaten Pemalang, dan
Kecamatan Cepu Kabupaten Brebes.
Sedangkan di wilayah kecamatan yang
lain tidak termasuk dalam zona
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)
79
kian termasuk pulau-pulau utama dan
suatu daerah dimana perbandingan
antara daerah perairan dan daerah
daratan, adalah antara satu berbanding
satu (1 : 1) dan sembilan berbanding satu
(9 : 1). (ii) panjang garis dasar/pangkal
demikian tidak boleh melebihi 100 mil
laut, kecuali bahwa hingga 3% dari
jumlah seluruh garis dasar/pangkal
yang mengelilingi setiap kepulauan
dapat melebihi kepanjangan tersebut,
hingga kepanjangan maksimum 125 mil
laut, dan (iii) penarikan garis dasar/
pangkal demikian tidak boleh menyim-
pang dari konfigurasi umum Negara
Kepulauan (FX. Adji Samekto, 2009).
Negara kepulauan berkewajiban
menetapkan garis-garis dasar/pangkal
kepulauan pada peta dengan skala yang
cukup untuk menetapkan posisinya,
peta atau daftar koordinat geografi
demikian harus diumumkan sebagai
mestinya dan satu salinan dari setiap
peta atau daftar demikian harus di-
depositkan pada Sekretaris Jenderal
PBB. Dengan diakuinya asas negara
kepulauan, maka perairan yang dahulu
merupakan bagian laut lepas kini menjadi
perairan kepulauan yang berarti menjadi
wilayah perairan RI. Di samping keten-
tuan di atas, syarat-syarat yang penting
bagi pengakuan internasional atas asas
negara kepulauan. Dalam perairan
kepulauan berlaku hak lintas damai
(right of innocentpassage) bagi kapal-
kapal negara lain. Namun demikian
negara kepulauan dapat menangguhkan
untuk sementara waktu hak lintas
damai tersebut pada bagian-bagian
tersebut dari perairan kepulauannya
apabila dianggap perlu untuk melindungi
kepentingan keamanannya (R. Agoes,
Etty 1991).
Negara kepulauan dapat mene-
tapkan alur laut kepulauan dan rute
penerbangan di atas alur laut tersebut.
Kapal asing dan pesawat udara asing
menikmati hak lintas alur laut ke-
pulauan melalui alur laut dan rute
penerbangan tersebut untuk transit dari
suatu bagian laut lepas ZEE ke bagian
lain dari laut lepas atau ZEE. Alur laut
kepulauan dan rute penerbangan
tersebut ditetapkan dengan menarik
garis poros. Kapal dan pesawat udara
asing yang melakukan lintas transit
melalui alur laut dan rute penerbangan
tersebut tidak boleh berlayar atau
terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri
dan sisi kanan garis poros tersebut.
Sekalipun kapal dan pesawat udara
asing menikmati hak lintas alur laut
kepulauan melalui alur laut dan rute
penerbangannya tersebut. Namun di
bidang lain seperti pelayaran dan pener-
bangan tidak mengurangi kedaulatan
negara kepulauan atas air serta ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah
di bawahnya dan sumber kekayaan di
dalamnya.
Dengan demikian hak lintas alur
laut kepulauan melalui rute penerbangan
yang diatur dalam konvensi ini hanyalah
mencakup hak lintas penerbangan me-
lewati udara di atas alur kepulauan
tanpa mempengaruhi kedaulatan negara
untuk mengatur penerbangan di atas
wilayah sesuai dengan Konvensi Chicago,
1944 tentang Penerbangan Sipil.
UU Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
UU Nomor 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia mengatur bahwa
kedaulatan RI mencakup selain wilayah
daratan dan perairan pedalaman juga
laut territorial dan perairan kepulauan
serta wilayah udara di atas wilayah
daratan, perairan pedalaman, laut
territorial dan perairan kepulauan
tersebut. Dengan demikian berarti bahwa
kapal dan pesawat udara asing dapat
menikmati hak lintas alur laut
kepulauan melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan Indonesia tersebut
untuk keperluan melintasi laut territorial
dan perairan kepulauan dari satu
bagian laut bebas atau ZEE ke bagian
lain dari laut bebas atau ZEE.
Dalam rangka pelaksanaan Hak
Lintas ALKI untuk melintasi laut terri-
torial dan Perairan Indonesia, Indonesia
dapat menetapkan alur-alur laut ter-
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82
80
tentu dari antara alur laut yang lazim
digunakan bagi pelayaran inter-nasional
untuk pelaksanaan lintas alur laut
kepulauan tersebut. Pelaksanaan Hak
Lintas ALKI tersebut dilakukan melalui
rute-rute yang biasanya digunakan untuk
pelayaran internasional dapat menim-
bulkan banyak resiko dari segi ke-
amanan, karena lintas ALKI tersebut
merupakan lintas yang mengandung
kebebasan-kebebasan tertentu. (Pasal
53 ayat (12) Konvensi Hukum Laut,
PBB, 1982).
Untuk mengurangi resiko dari
segi keamanan, pelaksanaan Hak Lintas
ALKI tersebut perlu ditetapkan Alur-Alur
Laut Kepulauan yang dapat digunakan
untuk pelaksanaan Hak Lintas ALKI
tersebut. Penetapan alur laut tersebut
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat internasional melalui orga-
nisasi internasional yang kompeten di
bidang pelayaran internasional yaitu
IntenationaI Maritime Organization (IMO)
yang mana pada tanggal 19 Mei 1998
telah dilaksanakan Sidang Komite
Keselamatan Maritim ke-69 dari Organi-
sasi Maritim yaitu Maritime Safely
Committee (MSC-69-IMO) yang menerima
usulan (submisi) Pemerintah Indonesia
mengenai penetapan sumbu 3 (tiga) alur
laut kepulauan beserta cabang-cabangnya
yang dapat digunakan untuk pelaksana-
an Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
melintasi Perairan Indonesia. Sebagai
tindak lanjut diterimanya usulan Peme-
rintah Indonesia oleh IMO, perlu mene-
tapkan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan
beserta cabang-cabangnya dengan rute-
rute sebagai berikut:
a) ALKI I:
i) ALKI I: Laut Cina Selatan – Laut
Natuna – Selat Karimata – Laut
Jawa dan Selat Sunda ke Selat
Hindia (atau sebaliknya).
ii) ALKI I-A : (a) Dari Selat Singapura –
Laut Natuna – Selat Karimata –
Laut Jawa dan Selat Sunda ke
Samudera Hindia (atau sebaliknya),
atau (b) Melintasi Laut Natuna
langsung ke Laut Cina Selatan
(atau sebaliknya).
b) ALKI II: Laut Sulawesi-Selat Makasar-
Laut Flores-Selat Lombok ke Samudera
Hindia (sebaliknya)
c) ALKI III : (i) ALKI III-A: Samudera
Pasifik-Laut Maluku - Laut Seram-
Laut Banda- Selat Ombai-Laut Sawu
(atau sebaliknya), (ii) ALKI III-B:
Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut
Seram-Laut Banda-Selat Leti ke Laut
Tomor (sebaliknya), (iii) ALKI III-C:
Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut
Seram-Laut Banda-Laut Arafuru
sebaliknya), (iv) ALKI III-D: Samudera
Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-
Selat Ombai-Laut Sawu (timur Pulau
Sawu) ke Samudera Hindia (sebalik-
nya), dan (a) ALKI III-E: Laut
Sulawesi - Laut Maluku-Laut Seram-
Laut Banda-Selat Ombai: (b) Laut Sawu
(sebelah barat/timur Pulau Sawu)
sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku
dan (c) Laut Seram-Laut Banda-Selat
Leti-Laut Timor ke Samudera Hindia,
atau Laut Seram-Laut Banda-Laut
Arafuru (sebaliknya).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan
Peraturan Pemerintah ini menetap-
kan 3 (tiga) ALKI dengan cabang-
cabangnya tersebut, tidaklah berarti
bahwa ketiga ALKI dengan cabang-
cabangnya tersebut hanya dapat diguna-
kan untuk pelaksanaan Hak Lintas ALKI
oleh kapal-kapal asing yang hendak
berlayar dari satu bagian laut bebas
atau ZEE melintasi Perairan Indonesia
ke bagian lain dari laut bebas atau ZEE.
Kapal asing yang hendak berlayar dari
satu bagian laut bebas atau ZEE
menuju salah satu pelabuhan di
Indonesia atau menuju bagian lain dari
laut bebas atau ZEE dapat melaksana-
kan pelayarannya berdasarkan Hak
Lintas Damai dalam Perairan Indonesia,
baik di ALKI maupun di luar ALKI.
Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)
Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah difahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.
Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis.Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.
a. Pengiriman naskah
Naskah dikirim rangkap 4 (empat), ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam disket, atau dikirim melalui e-mail ke Sektetariat Dewan Penyunting ([email protected]).
b. Sistematika penulisan
Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.
c. Gambar dan Tabel
Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.
d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik
Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.
e. Rujukan
Rujukan di dalam naskah ditulis dengan (nama, tahun) atau nama (tahun), misalnya (Hachert and Hastenrath, 1986). Lebih dari dua penulis ditulis “et al.”, misalnya Milani et al. (1987). Daftar rujukan hanya mencantumkan makalah/buku atau literatur lainnya yang benar-benar dirujuk di dalam naskah. Daftar rujukan disusun secara alfabetis tanpa nomor. Nama penulis ditulis tanpa gelar, disusun mulai dari nama akhir atau nama keluarga diikuti tanda koma dan nama kecil, antara nama-nama penulis digunakan tanda titik koma. Rujukan tanpa nama penulis, diupayakan tidak ditulis ‘anonim’, tetapi menggunakan nama lembaganya, termasuk rujukan dari internet. Selanjutnya tahun penerbitan diikuti tanda titik. Penulisan rujukan untuk tahun publikasi yang sama (yang berulang dirujuk) ditambahkan dengan huruf a, b, dan seterusnya di belakang tahunnya. Rujukan dari situs web dimungkinkan dengan menyebutkan tanggal pengambilannya. Secara lengkap contoh penulisan rujukan adalah sebagai berikut.
Escuider, P. 1984. Use of Solar and Geomagnetic Activity for Orbit Computation in Mountenbruck (Ed.). Solar Terrestrial Predictions: Proceeding of a workshop at Meudon, France, June 12
Hachert, E.C.and S. Hastenrath, 1986. Mechanisms of Java Rainfall Anomalies, Mon Wea. Rev., 114, 745-757
Milani, A; Nobili, A.M.; and P. Farinella, 1987. Non-gravitational Perturbations and Satellite Geodesy, Adam Higler Bristol Publishing, Ltd
UCAR, 1999. Orbital Decay Prediction, http://windows.ucar.edu, download September 2004