BERBAGAI FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI OLEH: BIANTI NURAINI 1118011023 FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
BERBAGAI FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIANHIPERTENSI
OLEH:
BIANTI NURAINI
1118011023
FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
ABSTRAK
Latar Belakang: Hipertensi merupakan penyakit peningkatan tekanandarah di atas nilai normal. Menurut American Society of Hypertension (ASH),hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuleryang progresif akibat dari kondisi lain yang kompleks dan salingberhubungan. Komplikasi yang dapat terjadi akibat hipertensi adalahpenyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjalkronik, dan retinopati. Penyebab terjadinya hipertensi sampai saatini belum dapat dipastikan, namun dampak dari hipertensimengakibatkan morbiditas yang memerlukan penanganan serius, danmortalitas yang cukup tinggi sehingga hipertensi disebut sebagai“the silent killer”. Pembahasan: Beberapa faktor yang diketahui menyebabkan terjadinyahipertensi terdiri dari faktor penyebab yang dapat dimodifikasi(diet, obesitas, merokok, dan penyakit DM) dan faktor penyebab yangtidak dapat dimodifikasi (usia, ras, jenis kelamin dan genetic).Hipertensi tidak hanya menyerang di usia tua saja, tetapi remajajuga dapat mengalaminya, hal ini karena pada masa transisi remajaingin menunjukan jati dirinya sehingga rentan terhadap masalah sertaberperilaku risiko tinggi, seperti merokok, obesitas, dan lain-lain.Perilaku-perilku berisiko tersebut merupakan salah satu faktorpenyebab terjadinya hipertensi.Simpulan: Diharapkan dengan mengetahui faktor-faktor penyebabhipertensi, dapat meningkatkan pencegahan hipertensi sedini mungkindan mencegah terjadinya komplikasi yang terjadi akibat hipertensi.
Kata Kunci : Hipertensi, berbagai faktor terjadinya hipertensi
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap
dinding pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah
terhadap dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari
jantung ke jaringan. Besaran tekanan darah bervariasi
tergantung pada elastisitas pembuluh darah, volume darah dan
denyut jantung. Tekanan darah paling tinggi terjadi ketika
ventrikel berkontraksi yang dinyatakan sebagai tekanan
sistolik, dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi yang
dinyatakan sebagai tekanan diastolik. Pada keadaan hipertensi,
tekanan darah meningkat yang ditimbulkan karena darah
dipompakan melalui pembuluh darah dengan kekuatan berlebih.
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah
suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang
progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan
saling berhubungan, WHO menyatakan hipertensi merupakan
peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160
mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg,
(JNC VII) berpendapat hipertensi adalah peningkatan tekanan
darah diatas 140/90 mmHg, sedangkan menurut Brunner dan
Suddarth hipertensi juga diartikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan darahnya diatas140/90 mmHg (Brunner
dan Suddarth, 2002). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik
yang persisten diatas 140 mmHg sebagai akibat dari kondisi
lain yang kompleks dan saling berhubungan.
Mekanisme hipertensi pada usia lanjut belum diketahui
secara pasti, namun proses penuaan berdampak
terhadap perubahan sistem kardiovaskuler dimana terjadi
perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding
aorta dan pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas
pembuluh darah
menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan
kelenturan daya regang aorta dan pembuluh darah besar
dan mengakibatkan pcningkatan tekanan sistolik. Penurunan
elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi vaskuler perifer sebagai hasil akhir tekanan darah
meningkat karena tekanan darah merupakan hasil kali curah
jantung (HR x volume sekuncup) x tahanan perifer.
Hipertensi yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai
komplikasi, bila mengenai jantung kemungkinan dapat terjadi
infark miokard, jantung koroner, gagal jantung kongestif, bila
mengenai otak terjadi stroke, enselopati hipertensif, dan bila
mengenai ginjal terjadi gagal ginjal kronis, sedangkan bila
mengenai mata akan terjadi retinopati hipertensif. Dari
berbagai komplikasi yang mungkin timbul merupakan penyakit
yang sangat serius dan berdampak terhadap psikologis penderita
karena kualitas hidupnya rendah terutama pada kasus stroke,
gagal ginjal, dan gagal jantung.
B. TUJUAN
1. Tujuan umum:
Tujuan umum dari karya tulis ilmiah (KTI) yang diangkat
oleh penulis adalah agar penulis memahami lebih mendalam
tentang penyakit hipertenai dan penatalaksanaannya.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari karya tulis ilmiah (KTI) ini adalah:
a. Mengetahui dan memahami definisi dari hipertensi
b. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi
c. Mengetahui dan memahami patofisiologi terjadinya
hipertensi
d. Mengetahui komplikasi dari hipertensi
e. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari
hipertensi
PEMBAHASAN
A. Definisi
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap
dinding pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah
terhadap dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari
jantung ke jaringan. Besaran tekanan darah bervariasi
tergantung pada elastisitas pembuluh darah, volume darah dan
denyut jantung. Tekanan darah paling tinggi terjadi ketika
ventrikel berkontraksi yang dinyatakan sebagai tekanan
sistolik, dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi yang
dinyatakan sebagai tekanan diastolik.
Hipertensi Menurut WHO adalah peningkatan tekanan sistolik
lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan
diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg. Hipertensi
dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 –
104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara
105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan
diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan
peningkatan tekanan diastolik karena dianggap lebih serius
dari peningkatan sistolik. Dan menurut American Society of
Hypertension (ASH) hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan
gejala kardiovaskuler yang progresif, sebagai akibat dari
kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
Berdasarkan JNC VII seorang dikatakan hipertensi apabila
tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg.
Seseorang yang berusia 50 tahun dengan tekanan darah sitolik >
140 mmHg lebih berisiko menderita penyakit kardiovaskular
daripada hipertensi diastolik. Risiko menderita penyakit
kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,
menambah 2 kali pada setiap penambahan 20/10 mmHg. Seseorang
yang mempunyai tekanan darah normal pada usia 55 tahun, 90%
nya berisiko menjadi hipertensi.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang
spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan
cardiac output atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi :
1. Genetik: Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan
menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita
hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita
hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga
dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80%
kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam
keluarga (Anggraini dkk, 2009).
2. Obesitas: indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5
kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat
badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar
20-30% memiliki berat badan lebih.
3. Stress karena Lingkungan: Stres dapat meningkatkan tekanah
darah sewaktu. Hormon adrenalin akan meningkat sewaktu kita
stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung memompa darah
lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat. Selain
itu, pada saat stres biasanya pilihan makanan kita kurang
baik. Kita akan cenderung melahap apa pun untuk merilekskan
diri, dan itu bisa berdampak secara tidak langsung pada
tekanan darah kita.
4. Kurang olahraga: Olahraga banyak dihubungkan dengan
pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik
dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot
jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi
tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan
darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk.
Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja
lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering
jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang
mendesak arteri (Rohaendi, 2008).
5. Mengkonsumsi garam berlebih: Badan kesehatan dunia yaitu
World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola
konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya
hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram
garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat.
Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar,
sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya
volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan
meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi. (Hans Petter, 2008).
6. Kebiasaan Merokok: Merokok menyebabkan peninggian tekanan
darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan
insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis
arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. Dalam
penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari
Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap
28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51%
subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5%
subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang
merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti
dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam
penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada
kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15
batang perhari (Rahyani, 2007).
C. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan Total
Peripheral Resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu
dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat
menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang
berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan
stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem
pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian
dimulai dari sistem reaksi cepat seperti refleks
kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor,
respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium,
dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh
hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem
poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan
oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan
berbagai organ
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi
menurut Elizabeth J. Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar
gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-
tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri
kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan
muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium,
penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah
tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen
akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke
atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau
gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan
adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang
D. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian
menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat
melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada
organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya
autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress
oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain
juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas
terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ
target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya
ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).
Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang
diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan,
tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-
arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau
penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang
mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat
terjadi terutama pada hipertensi maligna atau hipertensi
dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong
cairan masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan
saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di
sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian.
Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat
aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut, sehingga
miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup.
Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan
terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi
infark.
Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan
progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal
dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah
mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan
terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal.
Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein
keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai
akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal
tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik.
Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh
darah pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama
hipertensi tersebut berlangsung, maka makin berat pula
kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina
yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik
optik neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran
darah yang buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat
penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina.
Penderita hypertensive retinopathy pada awalnya tidak
menunjukkan gejala, yang pada akhirnya dapat menjadi kebutaan
pada stadium akhir.
Kerusakan yang lebih parah pada mata terjadi pada kondisi
hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara
tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga
terjadi secara mendadak, antara lain nyeri kepala, double
vision, dim vision, dan sudden vision loss.
E. Penatalaksanaan Hipertensi.
Penanganan hipertensi menurut JNC VII bertujuan untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovakuler dan ginjal. fokus utama dalam penatalaksanaan
hipertensi adalah pencapaian tekanan sistolik target <140/90
mmHg. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes atau panyakit
ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg.
Pencapaian tekanan darah target secara umum dapat dilakukan
dengan dua cara sebagai berikut:
1. Modifikasi Gaya Hidup: Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh
semua pasien hipertensi merupakan suatu cara pencegahan
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak
terabaikan dalam penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya
hidup memperlihatkan dapat menurunkan tekanan darah yang
meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight
atau obesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa
makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium,
olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya
hidup dapat menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat
obat antihipertensi, dan menurunkan resiko penyakit
kardiovaskuler. Contohnya, konsumsi1600 mg natrium memiliki
efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau
lebih modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang
lebih baik. Berikut adalah uraian modifikasi gaya hidup
dalam rangka penanganan hipertensi.
2. Terapi Farmakologi: Golongan obat antihipertensi yang banyak
digunakan adalah
a. diuretik tiazid (misalnya bendroflumetiazid),
b. beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,)
c. penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya
captopril, enalapril),
d. antagonis angiotensin II (misalnya candesartan,
losartan),
e. calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin)
dan
f. alpha‐blocker (misalnya doksasozin).
Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan
antihipertensi kerja sentral dan
yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk
keadaan krisis hipertensi.
a. Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah
yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat
reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,
meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol,
sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih
lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral,
terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek
diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah
pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat
ini cukup diberikan sekali sehari. Efek samping yang
dapat ditimbulkan akibat mengonsumsi diuretic antaralain
yaitu peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat
mengakibatkan hipokalemia, hipo‐natriemi, dan
hipomagnesiemi.
b. Beta-blocker :Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor.
Beta adrenoreseptor diklasifikasikan menjadi reseptor
beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada
jantung dan ginjal sedangkan reseptor beta‐2 banyak
ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, otak, dan
otot lurik. Sehingga ditemukan juga di jantung karena
jantung termasuk golongan otot lurik. Stimulasi reseptor
beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf
simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐
atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal
akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan
aktivitas system rennin‐angiotensin‐aldosteron. Efek
akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan
tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai
aldosteron dan retensi air.
Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua
efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan
darah.Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal
tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid.
Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus
diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang
diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu
paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali
dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan
mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada
pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena
rebound.
Efek samping Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat
mengakibatkan bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta‐
bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah
bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan‐kaki
terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade
reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer,
hipoglikemia, impotensi dan mimpi buruk (night mare)
terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid
seperti propanolol.
c. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat
secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari
prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada
darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal
dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat
yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis
sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin
II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem
angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada
keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga
bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk
bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.
Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek
antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada
parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat
diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek,
sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang
pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi.
d. Antagonis Angiotensin II Reseptor angiotensin II
ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2.
Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis
angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan
aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk
terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu
jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok
sistem renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor
AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II
mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II
(AIIRA) mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi
AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada
ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis
arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang
berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
Efek samping ACEi dan AIIRA Sebelum mulai memberikan
terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar
elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus
dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini
dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat
menyebabkan hiperkalemia karena menurun‐kan produksi
aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan
diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien
mendapat terapiACEI atau AIIRA.
Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang
merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang
mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk
karena tidak mendegaradasi bradikinin. . Dosis pertama
ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan
tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan
meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
e. Calcium channel blocker (CCB) dapat menurunkan influks
ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem
konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah.
Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung
dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas
adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat
tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan
amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin
(diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator
perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan
verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan
digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah
angina.
Penanganan menurunkan tekanan darah dapat memberikan
penurunan insidensi stroke dengan persentase sebesar 35-40%;
infark mioakrd, 20-25%; gagal jantung, lebih dari 50%.
Diperkirakan bahwa pada pasien dengan hipertensi stage 1
(TDS 140-159 mmHg dan TDD 90-99 mmHg) yang disertai dengan
faktor resiko penyakit kardiovaskuler, jika dapat menurunkan
tekanan darahnya sebesar 12 mmHg selama 10 tahun akan
mencegah 1 kematian dari setiap 11 pasien yang diobati. Pada
pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ,
hanya 9 pasien yang diketahui melakukan pengontrolan tekanan
darah dalam mencegah kematian.
Hipertensi merupakan diagnosis primer yang paling sering
ditemukan di Amerika (35 juta di semua tempat praktek
sebagai diagnosis primer). Kelajuan pengontrolan tekanan
darah saat ini (TDS <140 mmHg, dan TDD <90 mmHg), dulunya
meningkat, nilainya masih dibawah dari target pencapaian
masyarakat sehat 2010 yakni sebesar 50%, 30% masih tidak
didiagnosis sebagai penderita hipertensi oleh karena pasien
tidak menyadari menderita hipertensi. Pada pasien umunya,
pengontrolan tekanan darah sistolik (TDS) merupakan hal yang
lebih penting hubungannya dengan faktor resiko kardiovakuler
dibandingkan tekanan darah diastolik (TDD) kecuali pada
pasien lebih muda dari umur 50 tahun. Hal ini disebabkan
oleh karena kesulitan pengontrolan TDS umumnya terjadi pada
pasien yang berumur lebih tua. Percobaan klinik terbaru,
memperlihatkan pengontrolan tekanan darah efektif dapat
ditemukan pada hampir semua pasien hipertensi, namun
kebanyakan mereka menggunakan dua atau lebih obat kombinasi.
Namun ketika dokter gagal dengan modifikasi gaya hidup,
dengan dosis obat-obat antihipertensi yang adekuat, atau
dengan kombinasi obat yang sesuai, maka akan menghasilkan
pengontrolan tekanan darah yang tidak adekuat.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan :
1. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih besar
atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama
atau lebih besar 95 mmHg. Hipertensi dikategorikan ringan
apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg,
hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan
114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115
mmHg atau lebih
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi
a. Genetik
b. Obesitas
c. Stress
d. Kurang olahraga
e. Mengkonsumsi garam berlebih
f. Kebiasaan Merokok
3. Komplikasi yang dapat timbul apabila hipertensi tidak
ditangani antaralain yaitu:
a. Apabila mengenai bagian otak otak maka akan mengalami
stroke. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik
apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami
hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang.
b. Kardiovaskular: Infark miokard
c. Ginjal: penyakit ginjal kronik
d. Mata : Retinopati
DAFTAR PUSTAKA
National Institute for Health and Clinical Excellence.Hypertension. Management of hypertension in adults inprimary care. London:NICE;2006.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine McCarty. 1995.Hipertensi dalam Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. FKUI. Jakarta:Balai Pustaka
WHO dalam Soenarta Ann Arieska, Konsensus Pengobatan Hipertensi. Jakarta:
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Perhi), 2005; 5.