1 Tafsir QS al-Mâidah/5: 54 “Berani Di Jalan Dakwah” Teks Ayat al-Quran اَ ي اَ هُ َ أَ ينِ ذ ا واُ نَ آم نَ م ذ دَ تْ رَ يْ مُ نكِ م نَ عِ هِ ينِ دَ فْ وَ سَ فِ تْ أَ يُ ذ ا مْ وَ قِ بْ مُ هُ ِ ُ ُ هَ ونُ ِ ُ َ و ة ذِ ذَ أَ َ َ يِ نِ مْ ؤُ مْ ال ة ذِ عَ أَ َ َ ينِ رِ فَ ْ اَ ونُ دِ اهَ ُ ِ فِ يلِ بَ سِ ذ اَ لَ وَ ونُ افَ َ َ ةَ مْ وَ ل مِ ئَ لۚ َ ذَ كِ لُ لْ ضَ فِ ذ اِ يهِ تْ ؤُ ي نَ مُ اءَ شَ يۚ ُ ذ اَ و عِ اسَ و يمِ لَ ع“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Mâidah/5: 54) Tafsîr al-Mufradât ة ذِ ذَ أ: Sikap lemah-lembut, penuh kasih sayang yang ditunjukkan dengan perhatian dan solidaritas yang bermuara pada kokohnya ukhuwwah antar-mukmin. ة ذِ عَ أ: Sikap keras, lugas dan tegas dan tanpa kompromi, yang harus dipilih karena sikap orang-orang kafir yang – dengan sengaja – menciptakan permusuhan dan telah terbukti memberikan dampak negatif bagi keutuhan persaudaraan orang-orang yang beriman. َ ةَ مْ وَ ل مِ ئَ ل: Celaan setiap orang yang – dengan sengaja – mencela orang- orang yang beriman, ketika orang-orang yang beriman tengah berjihad di jalan Allah. Penjelasan Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah dalam QS al- Balad/90: 4, ْ دَ قَ اَ نْ قَ لَ خَ انَ نسِ ْ اِ ف دَ َ ك
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Tafsir QS al-Mâidah/5: 54
“Berani Di Jalan Dakwah”
Teks Ayat al-Quran
يها ياين أ ت فسوف دينه عن منكم يرتدذ من آمنوا الذ
يأ بقوم اللذ
بهم بونه ي ذلذة وية المؤمني ع أ عزذ
ف ياهدون الكفرين ع أ
سبيل فضل لك ذ لئم لومة يافون ول اللذ يشاء من يؤتيه اللذ
عليم واسع واللذ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Mâidah/5: 54)
Tafsîr al-Mufradât
ذلذة Sikap lemah-lembut, penuh kasih sayang yang ditunjukkan : أ
dengan perhatian dan solidaritas yang bermuara pada
kokohnya ukhuwwah antar-mukmin.
ة عزذ Sikap keras, lugas dan tegas dan tanpa kompromi, yang : أ
harus dipilih karena sikap orang-orang kafir yang – dengan sengaja – menciptakan permusuhan dan telah terbukti
memberikan dampak negatif bagi keutuhan persaudaraan orang-orang yang beriman.
لئم لومة : Celaan setiap orang yang – dengan sengaja – mencela orang-orang yang beriman, ketika orang-orang yang beriman
tengah berjihad di jalan Allah.
Penjelasan
Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan, sebagaimana
yang tersirat dalam firman Allah dalam QS al- Balad/90: 4,
نسان خلقنا لقد كبد ف ال
2
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun
yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa untuk
menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.
Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh
dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi
konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah
menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.
Saat ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat
pengecut. Sebuah hadits Nabi s.a.w. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam
karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni
kaum kafir, musyrikin dan munafikin.
Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk memertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut
dikucilkan dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian
menjerumuskan pelakunya pada sikap yang ‘plin-plan’ tanpa prinsip. Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memunyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap
dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun
3
jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (HR
at-Tirmidzi dari Hudzaifah, Sunan at-Tirmidzi, IV/364, hadits no. 2007)
Allah SWT selalu menggelorakan semangat kepada orang-orang yang beriman agar ‘mereka’ jangan sampai menjadi penakut atau pengecut. Karena rasa takut akan membawa kepada kegagalan dan kekalahan.
Keberanian harus selalu menjadi seruan yang terus berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada
Allah SWT mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi, risiko dalam memerjuangkan
dakwah ini.
Asy-Syajâ’ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan
sebuah kemenangan dan sebagai ‘izzah (kemuliaan diri) keimanan dan ‘iffah (
Kesucian diri) keislaman. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi da’i dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena
‘izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun.
نتم تزنوا ول تهنوا ول علون وأ
مؤمني كنتم إن ال
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman”. (QS Āli ‘Imrân/3: 139)
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang
dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka
jauh mencintai kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memeroleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat.
Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti
kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak
lagi berani memerjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat
juangnya.
Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri orang-
4
orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar
umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada
kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada Allah SWT semata.
Asy-Syajâ’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang
yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nân (ketenangan)
dan at-tafâul (optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan
senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak
mudah untuk menjadi orang yang bersikap istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah s.a.w. pun menyatakan bahwa turunnya QS Hûd
menjadikan beliau ‘beruban’ karena di dalamnya ada ayat (QS Hûd/11: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,
مرت كما فاستقم تعملون بما إنذه تطغوا ول معك تاب ومن أ
بصي
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“
Rasulullah s.a.w. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi bertanya ‘hal
terpenting’ dalam Islam yang ketika sudah dijelaskan, menjadikannya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab,
“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani
‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah
menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada
(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
6
Di samping itu sikap syaja’ah para da’i menjadi sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus
sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini
merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat.
Tantangan alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.
Da’âimu asy-Syajâ’ah (Pilar Keberanian)
Karena sikap asy-syajâ’ah merupakan tuntutan dakwah maka para
da’i mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut
dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memerjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang da’i memiliki sifat asy-syaja’ah adalah hal-hal
berikut ini:
1. Al-Îmân bi al-Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)
Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah dalam diri da’i dakwah adalah memerkuat keyakinannya akan hal-hal yang
ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah SWT Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memerjuangkan agama
Allah SWT Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak
takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang
telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang da’i dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana
Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang
aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak
menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah SWT
Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT dan senantiasa bergantung
pada-Nya. Sehingga da’i memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur
menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses
7
tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.
Rasulullah s.a.w. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul ‘Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di Gua
Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, “Ya
Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Nabi s.a.w. menenangkannya dengan menyatakan,
“Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama
kita.” Sebagaimana yang hadits berikut,
"Aku berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam saat berada di gua:
"Seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah kedua kakinya pasti dia
melihat kita". Maka beliau berkata: "Tidakkah engkau beranggapan wahai Abu
Bakr, bahwa jika ada dua orang, maka Allah yang ketiganya?” (HR al-Bukhari
dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Shahîh al-Bukhâriy, V/4, hadits no. 3653)
Karenanya jiwa para da’i tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi
pada Allah SWT agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memerjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh
kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2. Al-Mujâhadah ‘Alâ al-Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap
insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah
khauf syar’i yakni takut kepada Allah SWT Sehingga setiap da’i dakwah
sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Allah, Rabbbul ‘Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan
dalam memerjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.
Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah
Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad s.a.w. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme,
dan keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan
8
akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya
sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Fir’aun beserta tentaranya.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa
pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i (instingtif) terhadap api dan
terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’I, yakni takut kepada Allah saja.
Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api
agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Selayaknya setiap da’i dakwah selalu menundukkan rasa takut
insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak
pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT
3. Taurîts al-Khairiyyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)
Penopang lainnya adalah dengan memertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang
ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia.
Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik
dan patriotik.
Abul ‘Ala al-Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat
rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula.
Oleh karena itu Allah SWT telah mengingatkan agar memerhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka,
ين ولخش يذة هم خلف من تركوا لو الذ عليهم خافوا ضعاف ا ذر فليتذقوا ا قول ولقولوا اللذ سديد
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS an Nisâ’/4: 9)
9
Adalah hal yang patut dipikirkan para da’i dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik
dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah.
4. Ash-Shabru ‘Alâ ath-Thâ’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)
Keberanian akan terus ada pada diri da’i bila mereka bersabar.
Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi
tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan.
Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. saat menasihati Khabbab bin al-Arts yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan
perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian
dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang
pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu.“ Sebagaimana hadits berikut,
“Kami pernah mengeluhkan penderitaan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam yang ketika itu beliau beralaskan kain panjangnya di naungan Ka'bah. Maka
kami mengadu; 'Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami? ' Maka beliau bersabda; "Sungguh sebelum kalian ada
10
orang yang diringkus kemudian digalikan lubang baginya dan ia ditimbun di sana, lantas didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya, sehingga kepalanya terbelah menjadi dua, dan ada yang disisir dengan sisir besi sehingga memisahkan tulang dan
dagingnya namun semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya, demi Allah, perkara ini akan sempurna sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan'a hingga Hadramaut, dan ia tidak khawatir selain kepada Allah dan srigala yang akan menerkam kambingnya, namun kalian ini orang yang suka tergesa-gesa."
(HR al-Bukhari dari Khabbab bin al-Arts, Shahîh al-Bukhâriy, IV/244, hadits
no. 3612)
Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit.
Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah SWT pun mengingatkan agar
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu beruntung”. (QS Āli ‘Imrân/3: 200)
5. Al-Ajru min Allâh (Berharap Balasan Dari Allah)
Seorang da’i juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memerjuangkan
dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti diberikan itu
dapat memompa semangat juang da’i untuk terus berada di jalan dakwah dan memerjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka balasan
Allah SWT itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri da’i dakwah.
Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata,
ين إنذ ربنا قالوا الذ ل استقاموا ثمذ اللذ لذ الملئكة عليهم تتزنذ أ
ولاؤكم تشته ما فيها ولكم الخرة وف ادلنيا الياة ف أ
11
نفسكم عون ما فيها ولكم أ ن نزل ﴾٠٣﴿ تدذ رذحيم غفور م﴿٠٣﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memeroleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan memeroleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu)
dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Fushshilat/41:
30-32)
Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT senantiasa terngiang-
ngiang dalam benak da’i, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah s.a.w. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan
keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula
diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan
masuk surga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT” Begitulah
akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah.
As-Syajâ’ah atau keberanian tentu saja berbeda dengan bersikap
‘nekat’, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-Syajâ’ah
adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah,
tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqân).
Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan,
namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan
ketakutan.
Perwujudan sikap asy-syajâ’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak
terlebih dalam memerjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya
a. Quwwah al-Ihtimâl (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
12
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah
atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi
dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.
Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran
dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. Begitulah kekuatan daya tahan da’i dakwah yang patriotik.
Khubaib bin ‘Adiy pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan
dieksekusi mati. “Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab,
“Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa
Muhammad sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.” Inilah daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan
tidak ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b. Ash-Sharâhah fî al-Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)
Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang
tidak bisa menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu
membunuhnya.
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat
dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w,
13
“Katakan yang benar meskipun itu pahit” (HR al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân,
VII/21, hadits no. 4592 dan HR Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibbân, II/76,
hadits no. 361, dari Abu Dzar)
Dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian
menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau
diam karena khawatir akan risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal
sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang
penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran
padanya.
Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi harga diri seorang da’i dalam memerjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai
sikap ini. Malah mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya.
c. Kitmân as Sirr (Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian
yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad
menghadapi musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang
harus disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan
berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan
pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat
melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah s.a.w. yang memiliki kemampuan ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi s.a.w.
untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh
keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang dipikulnya.
14
Huzaifah ibn al-Yaman r.a. seorang sahabat Nabi s.a.w. yang dikenal dengan sebutan Shâhib as-Sirr (Penyimpan Rahasia). Dia dapat
menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi
konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia
ungkapkan pada Rasulullah s.a.w. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akantetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
d. Al-‘Itirâf bi al-Khatha’ (Mengakui Kesalahan)
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau
mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah
berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan bertanggung jawab.
Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis
orang lain karena kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia
pun tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memerbaiki dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan selebar-
lebarnya.
Allah SWT memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang
menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami
dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi”. (Al ‘Araf: 23)
e. Al-Inshâf min ad-Dzât (Bersikap Objektif Pada Diri Sendiri)
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya,
menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap
dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak objektif. Orang yang berani akan bersikap objektif,
dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
Objektif dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat
pada keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa
15
berbuat apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih
banyak secara optimal dari potensi miliknya.
Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah orang yang paling baik dari
kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam
menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang kemampuan dirinya secara objektif.
f. Milk an-Nafs ‘inda al-Ghadhab (Menahan Nafsu pada Saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li
nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan
diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang
untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan.
Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari
amarah. Sampai-sampai Rasulullah s.a.w. mengajarkan untuk tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi
dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati
ketika disiram dengan air. Dan api bisa mati ketika disiram dengan air. Siramlah ‘api kemarahan’ dengan ‘air kesabaran’.
Khâtimah
Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap
yang melekat dalam diri Sang ‘Dâ’i’. Ia adalah identitas pengemban amanah
umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang diusungnya, dalam ruang dan
waktu yang tak terbatas. Ingatlah selalu senandung as-Sâbiqûn al-Awwalûn
min an-Du’ât (Para Dai Senior) yang – dengan mantapnya – telah
menggumam: “Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi s.a.w. yang memerintahkan, ‘berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu.’ Dan berseru, ‘menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari
esok dan harapan’.”
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
16
(Dikutip dan diselaraskan dari http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/)