KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa
atas berkat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Terimakasih saya ucapkan kepada dokter pembimbing, dr.
Sumarnita Tarigan Sp.S, yang telah bersedia menjadi pembimbing
makalah ini. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Penyakit
Saraf, Rumah Sakit Umum Haji Medan. Besar harapan, melalui makalah
ini, akan menambah pengetahuan dan pemahaman tentang salah satu
penyakit saraf Bells Palsy.Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mohon maaf. Penulis
juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah selanjutnya. Terima kasih.
Medan, April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL..............................................................................................
iKATA
PENGANTAR...........................................................................................
iiDAFTAR
ISI..........................................................................................................
iiiBAB 1
PENDAHULUAN......................................................................................
11.1. Latar
Belakang...................................................................................................
11.2.
Tujuan................................................................................................................
2BAB II TINJAUAN
PUSTAKA............................................................................
32.1 Definisi Bells
Palsy...........................................................................................
22.2. Epidemiologi Bells
Palsy.................................................................................
22.3. Etiologi Bells
Palsy..........................................................................................
32.4. Gejala Klinik Bells Palsy
...............................................................................
42.5 Patosisiologi 2.6 Grading .. 2.7. Diagnosa Bells
Palsy.......................................... 42.8. Differential
Diagnosa Bells Palsy.................... 52.9. TatalaksanaBells
Palsy......................................................................................52.10.
Prognosa Bells
Palsy......................................................................................
5BAB III KESIMPULAN DAN
SARAN................................................................
63.1.
Kesimpulan.........................................................................................................
63.2.
Saran...................................................................................................................
7DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................................
8
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer, terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50 tahun.
Peluang untuk terjadinya bells palsy pada laki-laki sama dengan
para wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca
persalinan kemungkinan timbulnya bells palsy lebih tinggi dari pada
wanita tidak hami.1,2Para ahli menyebutkan bahwa pada bells palsy
terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang
temporal, disekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir
selalu terjadi unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini
berulang atau kambuh.1Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada
penyakit-penyakit tertentu, misalnya diabetes melitus, hipertensi
berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian
tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab jelas maka
disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bells palsy.
Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks,
diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga
dapat merugikan tugas profesi penderita. Sehingga diperlukan terapi
secara cepat dan tepat untuk mencapai pemulihan terbaik fungsi
saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukana aktivitas kerja
sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menegtahui lebih
daalm menegnai definisi, struktur anatomi, patofisiologi, gejala
klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis bells palsy.
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. DefinisiBells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer (N.VII), terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer
akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif,
Gambar 1.1 gambaran kelumpuhan nervus fasialis
Sir charles bell (1774-1842) dikutip dari Singih dan cawthorne
adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan
saraf fasialis dan seklaigus meneliti tentang distribusi dan fungsi
saraf fasialis. Oleh karena itu nama bell diambil untuk diagnosis
setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya.Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000
serabut saraf yang terdiri dari 7.000 seabut saraf motorik untuk
otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf
intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik
untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatis untuk
kelenjar parotis, submandibularis, sublingual dan lakrimal. Saraf
fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu:a. Segmen supranuklearb.
Segmen batang otakc. Segmen meatald. Segmen labirie. Segmen
timpanif. Segmen mastoidg. Segmen ekstra temporal
Struktur Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut saraf, yatiu :a.
Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali
m.levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus
bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.b. Serabut visero
motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring,
palatum, rongga hidung, sinus paranasal dengan galndula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.c. Serabut somato
sensorik , rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nerus
trigeminus.d. Serabut visero sensorik yang menghantar impuls dari
alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
Gambar 2.1. skema nervus fasialis dan foramen
stylomastoideus
2.2. Epidemiologi
60-75% kasus paralisis fasialis unilateral yang akut adalah
bells palsy.4 Di Amerika, insidensi tahunan adalah 23 kasus per
100,000 orang.4 63% pasien yang didiagnosa bells palsy paralisis
terjadi pada bagian kanan muka. Insidensi bells palsy paling banyak
terjadi di Japan dan insidensi paling sedikit di Sweden. 5 Secara
umum, insidensi bells palsy ini terjadi pada 15-30 kasus per
100,000 populasi.5 Bells palsy menyerang perempuan dan pria dengan
insidensi yang sama.5 Resiko terkena bells palsy pada wanita hamil
adalah 3,3 kali lebih tinggi dibanding pada perempuan yang tidak
hamil. Bells palsy pada perempuan hamil sering terjadi pada
trimester ketiga.6Di indonesia insiden bells palsy secara pasti
sulit ditentukan , data yang dikumpulkan dari empat rumah sakit di
indonsia didapatkan frekuensi bells palsy sebesar 19,55% dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita dibanding pria. Tidak ada perbedaan
antara iklim panas maupun dingin. Tetapi, pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan.
2.3. EtiologiAda 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells
palsy yaitu:2,4a. Teori iskemik vaskulerTerjadi gangguan regulasi
sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang
melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan
akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan
menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan
menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan
venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.b. Teori
infeksi virusBells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami
penyakit virus, sehingga menurut teori ini penyebab bells palsy
adalah virus. Juga dikatakan bahwa perjalanan klinis bells palsy
menyerupai viral neurophaty pada saraf perifer lainnya.c. Teori
herediterPenderita bells palsy kausanya herediter, autosomal
dominan. Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang
sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan
predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
d. Teori imunologiDikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat
reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau
sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita
bells palsy diberikan pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk
mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis Fallopii dan juga
sebagai immunosupresor.
2.4. Gejala klinis
Gejala kelumpuhan nervus fasialis tergantung lokasi kerusakan
:a. Kerusakan setinggi foramen stylomastoideus Gejala : kelumpuhan
otot-otot wajah pada sebelah lesi Sudut mulut sisi lesi jatuh dan
tidak dapat diangkat Makanan terkumpul diantara pipi dan gusi pada
sebelah lesi Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada
sisi lesiKelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan
dan sekresi ar liur masih baik.b. Lesi setinggi diantara korda
tympani dengan N.stapedeus (di dalam kanalis fasialis)Gejala :
seperti gejala (a) ditambah gangguan pengecapan 2/3 bagian lidah
depan dan gangguan salivasi.c. Lesi setinggi diantara N.stapedeus
dengan ganglion genikulatumGejala : seperti gejala (b) ditambah
gangguan pendengaran atau hiperakusisd. Lesi setinggi ganglion
genikulatumGejala : seperti gejala (c) ditambah gangguan sekresi
kelenjar hidung dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi)e. Lesi
di porus austikus internus Gejala : seperti gejala (d) ditamah
gangguan N.VIII.
2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa bells palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalau terjadi
unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadi proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan penigkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yangt
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mentalis. Dengan bentuk
canalis yang unik tersebut, adanya inflmasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari koduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di
lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC atau mengemudi
dengan kaca jendela terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab,
terjepit di dalam foramen stylomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebropontin, di os petrosum atau kavum tymoani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi
di pons yang terletak di daerah di sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis
atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus
fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli persptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 lidah bagian depan).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama bells palsy
adalah reaktifasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes
zooster) yang menyerang saraf kranial. Terutama virus herpes
zooster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zooster di ganglion genikulatum, nervus fasialis
bisa kut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasilais
LMN.Kelumpuhan pada bells palsy akan terjadi dib bagian atas dan
bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat
dkerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha
memejamkan mata terlihat bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakan. Karena logoftalmus, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala penyerta
seperti ageusea dan hiperakusis tidak ada karena nervus fasialis
yang terjepit di foramen stylomastoideus sudah tidak mengandung
lagi serabut saraf korda tympani dan serabut saraf iang
menginervasi muskulus stapedius.
2.6. GradingSistem grading pada pasien Bells palsy adalah skala
I hingga VI.11. Grade I adalah fungsi fasial yang normal.2. Grade
II adalah disfungsi yang ringan. Kelemahan yang ringan pada
inspeksi yang teliti. Tonus ototnya normal dan simetris,
pergerakkan dahi normal, dapat menutup mata secara sempurna, mulut
sedikit asimetris dengan usaha maksimal.2. Grade III Disfungsi
sedang dimana terjadi gangguan pergerakan dahi, ada kontrktur, mata
dapat menutup dengan usaha maksimal, pergerakan mulut sedikit
melemah, tonus otot normal.3. Grade IV Disfungsi sedang yang berat.
Kelemahan yang nyata terjadi pada grade ini dimana tidak ada
pergerakan dahi sama sekali, mata tidak menutup secara sempurna,
mulut asimetris.4. Grade V Disfungsi yang parah dimana terjadi
paresis unilateral, tidak ada pergerakan dahi , mata tidak dapat
menutup sama sekali, pergerakan mulut sedikit.5. Grade VI Paresis
total. Tidak ada pergerakan sama sekali.
2.7. DiagnosaAnamesa pada pasien bells palsy dilakukan dimana
pasien biasanya mengeluhkan onset bells palsy ini terjadi tiba-tiba
dan pasien ada riwayat terdedah situasi yang dingin.Pemeriksaan
fisik pada pasien bells palsy menunjukkan pasien tidak dapat
mengangkat alis, tidak menutup mata secara sempurna, serta senyuman
tidak simetris. Pada pemeriksaan otologik dilakukan , biasanya pada
pasien bells palsy tidak ada keluhan pendengaran namun jika ada,
berarti bells palsy disebabkan oleh otitis media. Pemeriksaan
ocular pada pasien bells palsy menunjukkan pasien logotalamus dan
gangguan pengeluaran tangisan. Pemeriksaan oral menunjukka pasien
bells palsy ada gangguan pengecapan dan saliva.9
2.8. Differensial DiagnosaDiagnosa banding bells palsy adalah :
a. Paralisis n.fasialis perifer yang bukan bells palsy.b. Infeksi
herpes zooster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt Syndrome).c.
Miller Fisher Syndrome (varian guillain barre syndrome).
2.9. TatalaksanaPenatalaksanaan yang dilakukan pada penderita
Bells palsy adalah terapi farmakologi, terapi lokal, pembedahan.
Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy adalah
pemberian kortikosteroid dimana dapat mengurangi inflamasi sehingga
dapat memperbaiki mielinasasi syaraf fasialis. Selain itu,pemberian
antiviral juga diberikan pada pasien bells palsy asiklovir karena
dipercayai penyebab bells palsy adalah HSV. Terapi lokal adalah
seperti perawatan mata karena pasien bells palsy ada resiko mata
kering maka diberikan lubrikasi ocular topical. Selain itu, terapi
loka adalah dengan penggunaan pemberat eksternal pada kelompok mata
yang dapat memperbaiki logoptalamus. Botulinum toksin dapat
diinjeksi secara transkutaneous yang dapat merelaksasi otot
fasialis. Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien Bells palsy
adalahdekompresi nervus fasialis dan pembedahan ini diindikasi
apabila tidak respon terhadap terapi yang lain. 10
2.10. PrognosisPrognosis bells palsy digolong ke 3 kelompok ;
dimana kelompok 1 terjadinya kesembuhan komplit fungsi motorik
tanpa sekuele, kelompok 2 terjadi penyembuhan inkomplit fungsi
motorik tetapi tidak ada defek kosmetik, kelompok 3 terjadi sekuale
neurologis yang tetap dan gangguan kosmetik. Pasien biasanya
mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%. Namun prognosis
menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi paresis total,
penurunan pengecapan atau saliva.10
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Bells palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini
terjadi secara tiba-tiba pada satu sisi muka.32. Resiko terkena
bells palsy pada wanita hamil adala 3,3 kali lebih tinggi banding
pada perempuan yang tidak hamil. Bells palsy pada perempuan hamil
sering terjadi pada trimester ketiga.63. Dipercayai situasi seperti
angin yang dingin dapat menyebabkan bells palsy, namun tidak ada
pembuktian medis.7 Virus herpes simpleks (HSV) adalah penyebab
paling sering bells palsy. 84. Demielienisasi syaraf fasialis akan
menyebabkan gangguan konduksi impuls sehingga menyebabkan kelemahan
otot unilateral dengan gejala logoptalamus, mulut miring, nyeri
auricular posterior, hiperakusis, otalgia, gangguan pengecapan ,
paraesthesia pada mulut. 95. Sistem grading pada pasien Bells palsy
adalah skala I hingga VI.16. Anamesa pada pasien bells palsy
dilakukan dimana pasien biasanya mengeluhkan onset bells palsy ini
terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat terdedah situasi yang
dingin. 87. Diagnosa banding bells palsy adalah stroke sirkulasi
anterior, tumor jinak tengkorak, aneurisme cerebral, meningioma,
meningococcal meningitis. 108. Penatalaksanaan yang dilakukan pada
penderita Bells palsy adalah terapi farmakologi, terapi lokal,
pembedahan.9. Pasien biasanya mempunyai prognosis yang baik
kira-kira 80-90%. Namun prognosis menjadi jelek kalau usia melebihi
60 tahun, terjadi paresis total, penurunan pengecapan atau
saliva.10
3.2. Saran1. Diagnosa dan tatalaksana bells palsy harus
dilakukan secepat mungkin untuk menghindari defisit nervus fasialis
yang menetap.2. Dilakukan penelitian deskriptif mengenai bells
palsy untuk mengetahui prevalensi dan insidensi sindroma ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peitersen E. The natural history of Bells palsy. Am J Otol.
Oct 2002; 4(2):107-11.2. Hashisaki GT. Medical management of Bells
palsy. Compr Ther. Nov 2007;23(11):715-8.3. Sullivan FM, Swan IR,
Donnan PT Morrison JM, Smith BH, Mckinstry B, et al. Early
treatment with prednisolone oracyclovir in Bells palsy. N Engl J
Med. Oct 18 2007; 357(16):1598-607.4. McCormick DP. Herpes-simplex
virus as a cause of Bells palsy. Lancet. Apr 29 2001;
1(7757):937-9.5. Stowe J, Andrews N, Wise L. Bells palsy and
parenteral inactivated influenza vaccine. Hum Vaccin
2006;2(3);110-2.6. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading
system. Otolaryngol Head Neck S urg. Apr 2005;93(2):146 7.7. Murphy
TP. MRI of facial nerve during paralysis. Otolaryngol Head Neck
Surg. Jan 2011; 104(1):47-51.8. Dyck PJ. Peripheral Neuropathy.
3rd. Philadelphia: WB Saunders; 2003.9. Holland NJ, Weiner GM.
Recent developments in Bells palsy. BMJ. Sept
42008;329(7465):553-7.810. Pulec JL. Early decompression on facial
nerve in Bells Palsy. Ann Otol Rhinol Laryngolo. Nov-Dec 2008;
90(6):570-7.