METODE CALISTUNG ANAK USIA DINI DENGAN BERMAIN BERSAMA Sujud Marwoto Pamong Belajar SKB Pekalongan Abstrak Calistung tetap harus diajarkan pada anak usia di bawah lima tahun. Namun pengajaran calistung sendiri harus dibuat menyenangkan sesuai dengan perkembangan usia anak. Anak-anak usia empat hingga lima tahun, harus diajarkan Calistung. Pada usia lima tahun, mereka harus memiliki kompetensi meniru bunyi huruf, pada usia enam tahun mereka harus mengenal huruf. Namun mengajarkan anak-anak Calistung itu harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan agar mereka tidak merasa tertekan dan bosan. Cara mengajarkannya dengan metode bermain yang menyenangkan sehingga mereka mau melakukan secara suka rela. "Misalnya anak-anak diberikan alternatif pilihan dalam belajar huruf. Kalau anak-anak kinestetik diajarkan meniru huruf dengan gerakan anggota tubuh. Anak-anak juga bisa bermain kata, misalnya diminta menyebutkan nama buah-buahan dengan awalan 'pa'. Intinya, ajaklah anak-anak belajar dengan cara yang membuat mereka gembira dan seolah sedang bermain. Hal- hal yang membuat senang anak di antaranya mendengarkan musik, aktivitas bermain, juga aktivitas melakukan gerakan. Saat belajar menulis huruf, anak-anak diberikan pilihan menggunakan alat misalnya crayon, pensil warna, atau spidol. Jangan hanya memberikan satu macam alat tulis saja, mereka akan bosan, intinya harus terdapat banyak ragam main. Sebenarnya, problemnya bukan apa yang diajarkan, namun bagaimana cara mengajarkannya. Kalau anak-anak usia dini tidak diajarkan Calistung malah melanggar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
METODE CALISTUNG ANAK USIA DINI
DENGAN BERMAIN BERSAMA
Sujud Marwoto
Pamong Belajar SKB Pekalongan
Abstrak
Calistung tetap harus diajarkan pada anak usia di bawah lima tahun. Namun pengajaran calistung sendiri harus dibuat menyenangkan sesuai dengan perkembangan usia anak. Anak-anak usia empat hingga lima tahun, harus diajarkan Calistung. Pada usia lima tahun, mereka harus memiliki kompetensi meniru bunyi huruf, pada usia enam tahun mereka harus mengenal huruf. Namun mengajarkan anak-anak Calistung itu harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan agar mereka tidak merasa tertekan dan bosan.
Cara mengajarkannya dengan metode bermain yang menyenangkan sehingga mereka mau melakukan secara suka rela. "Misalnya anak-anak diberikan alternatif pilihan dalam belajar huruf. Kalau anak-anak kinestetik diajarkan meniru huruf dengan gerakan anggota tubuh. Anak-anak juga bisa bermain kata, misalnya diminta menyebutkan nama buah-buahan dengan awalan 'pa'.Intinya, ajaklah anak-anak belajar dengan cara yang membuat mereka gembira dan seolah sedang bermain. Hal-hal yang membuat senang anak di antaranya mendengarkan musik, aktivitas bermain, juga aktivitas melakukan gerakan.
Saat belajar menulis huruf, anak-anak diberikan pilihan menggunakan alat misalnya crayon, pensil warna, atau spidol. Jangan hanya memberikan satu macam alat tulis saja, mereka akan bosan, intinya harus terdapat banyak ragam main.
Sebenarnya, problemnya bukan apa yang diajarkan, namun bagaimana cara mengajarkannya. Kalau anak-anak usia dini tidak diajarkan Calistung malah melanggar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini.
Pada akhirnya semua balita pasti bisa membaca dan menulis, hanya waktunya yang mungkin berbeda-beda. Karena perkembangan tiap anak berbeda. Ada yang bisa membaca pada usia 4 tahun atau baru ketika usia 5 tahun. Jadi jangan khawatir bila balita lain sudah menguasai keterampilan tertentu sementara balita Anda belum. Lihat kisaran usianya saja. Jangan memaksa belajar membaca terlalu dini!
Pendahuluan
Sudah lama pro dan kontra timbul mengenai mengajarkan calistung pada
anak prasekolah. Ada ahli yang mengatakan bahwa anak usia prasekolah tidak
boleh belajar dan diajarkan calistung karena usia ini adalah usia bermain
dan anak secara mental belum siap calistung hingga usia 6 tahun.
Orangtua diingatkan bahwa dalam keadaan apapun tidak seharusnya
mengajarkan membaca sebelum menginjak usia ini. Anak-anak akan tertekan jika
diajari membaca karena belum siap menerima pengajaran yang diberikan.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal,
Kemdikbud, Lydia Freyani Hawadi, seperti dikutip Kompas (12/1/12) pernah
mengingatkan bahwa jenjang PAUD seharusnya tidak membebani anak dengan
kemampuan calistung. Siswa baru boleh diajar calistung di SD.
Metode pendekatan di PAUD, kata Lydia, tidak didasarkan pada aspek kognitif,
tetapi pada aspek motorik. Karena perkembangan anak usia 0-5 tahun masih
terfokus pada aspek motorik, seharusnya metode pembelajarannya lebih
menekankan pengembangan soft skill dengan cara bermain.
Bola liar calistung ini membuat Mendikbud, Dr. Muhammad Nuh,
membuat pernyataan publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan
Kebudayaan (RNPK) di Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa
mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan
masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung (Situs resmi PAUD
Kemdikbud RI).
Alasan kontra tersebut selaras dengan penelitian seorang ahli psikolog
perkembangan anak dari Swiss, Jean Piaget, Ia menyatakan bahwa pendidikan
membaca, menulis dan berhitung jangan sampai diperkenalkan kepada anak-anak
dibawah usia 7 tahun. Alasannya, karena pada masa itu anak-anak belum dapat
berpikir operasional konkret sehingga ditakutkan pelajaran tersebut akan
membebani mereka yang belum mampu untuk berpikir secara terstruktur.
Sementara itu kegiatan calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang
memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak sesuai bila diajarkan pada
anak usia dibawah 7 tahun. Apalagi pada anak-anak usia bayi dan balita. Piaget
mengkhawatirkan otak anak-anak tersebut menjadi terbebani dan tujuan awal
mencerdaskan anak menjadi dilema karena justru anak-anak menjadi tidak
bahagia dan tidak bisa menikmati kehidupan mereka.
Pendapat yang kontra dengan pemikiran para ahli di atas adalah anggota
Badan Akreditasi Nasional Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), Netty Herawati, mengatakan Calistung tetap harus diajarkan pada anak
usia di bawah lima tahun. Namun pengajaran calistung sendiri harus dibuat
menyenangkan sesuai dengan perkembangan usia anak.
Netty tidak setuju kalau ada pihak yang melarang Calistung untuk
diajarkan pada anak-anak usia dini. Pada dasarnya anak-anak itu sudah siap
belajar Calistung buktinya mereka bisa mengenal kata. Anak-anak usia empat
hingga lima tahun, harus diajarkan Calistung. Pada usia lima tahun, mereka harus
memiliki kompetensi meniru bunyi huruf, pada usia enam tahun mereka harus
mengenal huruf. Namun, mengajarkan anak-anak Calistung itu harus dilakukan
dengan cara yang menyenangkan agar mereka tidak merasa tertekan dan bosan.
(Replubika.com Jakarta, Senin, 16/12/13).
Sementara itu, Kepala Departemen Program Plan Indonesia, Nono
Sumarsono, mengatakan berdasarkan studi mengungkapkan bahwa anak-anak
yang mengikuti pendidikan di PAUD lebih siap dalam menghadapi pendidikan di
sekolah dasar. "Anak-anak dididik calistung dengan cara bermain secara
kelompok maupun individu. Pendekatan PAUD seperti ini mampu merangsang
seluruh potensi kecerdasan anak agar dapat berkembang secara optimal karena
anak merasa aman dan menikmati kegiatan yang menyenangkan."
Pada kenyataannya, pendapat Jean Piaget menimbulkan kebingungan
tersendiri bagi para orang tua yang tetap ingin mengembangkan potensi
intelektual anaknya tanpa harus menunggu usia 7 tahun. Dapat dibayangkan
betapa anak-anak kita kesulitan untuk mengikuti pelajaran ketika mereka masuk
SD. Padahal di SD mereka sudah langung menerima pelajaran dengan buku paket
yang banyak, dan anak-anak diharapkan sudah mampu mandiri belajar sendiri.
Bagaimana mungkin mereka melakukan itu, kalau basic untuk membaca, menulis
dan berhitungnya saja belum ada? Kurikulum di SD pun tidak terdapat pelajaran
khusus untuk membaca, menulis dan berhitung. Guru di SD tinggal terima beres
akan kemampuan anak didiknya dalam membaca, menulis dan berhitung. Guru
SD bahkan mungkin sudah hampir lupa bagaimana mengajari anak membaca,
menulis dan berhitung.
Fenomena tentang perlunya belajar membaca, menulis dan berhitung
sejak anak usia dini akhirnya banyak memunculkan berbagai metode dan teori.
Pendapat Jean Piaget tersebut banyak disangkal oleh beberapa peneliti lainnya.
Diantara yang kontra dengan Jean Piaget adalah Howard Gardner (dengan
kecerdasan majemuknya), Dr. Glenn Doman (dengan Flash Cardsnya), Dr.
Marian Diamon (berapaun umur dari lahir hingga meninggal dunia dimungkinkan
meningkatkan kemampuan calistung), Elisabeth G. Hainstock (calistung bukan
sesuatu yang rumit untuk diajarkan pada anak). (Ladislaus Naisaban 2004: 161).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada karya tulis ilmiah
ini adalah:
1. Bagaimanakah mengajarkan calistung secara efektif pada anak usia dini?
2. Bagaimanakah langkah-lanhkah metode belajar sambil bermain dalam
pembelajaran calistung pada anak usia dini?
Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
sebagai berikut :
1. Mendreskripsi pengajaran calistung yang efektif pada anak usia dini
2. Mendeskripsi langkah-langkah metode belajar sambil bermain dalam
pembelajaran calistung pada anak usia dini.
Kontroversi Teori Perkembangan Anak
Berikut adalah kontroversi teori tentang perkembangan yang mengulas
kegiatan membaca, menulis, dan berhitung semenjak anak usia balita hingga usia
5 tahun dapat kita lihat dalam penjelasan di bawah ini:
Jean Piaget
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama
ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan
pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung secara tidak langsung dilarang untuk
diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak
belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah
fase, di manaanak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu,
kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan
cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK
yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung
diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak,
akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan
menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada
“larangan belajar calistung”. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era
informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran
bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia berapapun,
untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar, disesuaikan
dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga terasa
menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.
Pada kegiatannya, pendapat Jean Peaget menimbulkan kebingungan
tersendiri bagi para orang tua yang tetap ingin anak-anaknya sedini mungkin bisa
mengembangkan potensi intelektualnya tanpa harus menunggu usia 7 tahun.
Dapat dibayangkan betapa anak-anak kita akan dianggap “tidak pintar” ketika
mereka duduk di bangku SD sama sekali belum bisa membaca, menulis, dan
berhitung. Apalagi kurikulum sekolah dasar sekarang tidak lagi menyertakan
pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah dasar sekarang sudah
beranjak ke pelajaran bahasa Indonesia dan matematika, yang tentu saja sudah
lain konteksnya. Guru SD bahkan mungkin sudah hampir lupa bagaimana
mengajari anak membaca, menulis, dan berhitung.
Berbagai metode dan teori yang menyayangkan pendapat dari Jean Piaget
adalah sebagai berikut :
1. Howard Gardner
Howard Gardner adalah seorang psikolog dan ahli pendidikan. Dia lahir pada
tanggal 11Juli 1943 di Scranton, Pennsylvania. DaIam
perjalanan karirnya, pada tahun1995-sekarang dia
menjabat sebagai ketua tim Proyek Zero di Harvard
Graduate School of Education, yaitu kelompok
penelitian yang bertujuan untuk memperkuat
pendidikan seni. Melalui penelitian di proyek itulah dia
menemukan teori kecerdasan majemuk yang kemudian dipublikasikan
pertama kali dengan terbitnya buku Frames of Mind pada tahun 1983.
( Ladislaus Naisaban 2004; 158-160)
Kecerdasan majemuk terdiri atas:
a. Kecerdasan Linguistik (bahasa), kemampuan membaca, menulis dan
berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa seperti penulis, jurnalis,
penyair, orator dan pelawak. Contoh: Charles Dickens, Abraham
Lincoln, T. S Eliot, Sir Winston Churchill.
b. Kecerdasan Logis-Matematis, kemampuan berpikir (menalar) dan
menghitung, berpikir logis dan sistematis seperti ilmuwan, ekonom,
akuntan, detektif dan para profesi hukum. Contoh yang terkenal Albert
Enstein.
c. Kecerdasan Visual-Spasial, kemampuan berpikir menggunakan gambar,
memvisualisasikan hasil masa depan. Ini jenis ketrampilan yang
dikembangkan oleh arsitek, pemahat, pelaut, penjelajah dan fotografer.
Contoh: Picasso, Frank Lloyd Wright, Colombus.
d. Kecerdasan Musikal, kemampuan mengubah atau mencipta musik, dapat
bernyanyi dengan baik, atau memahami dan mengapresiasi musik, serta
menjaga ritme. Hal ini biasanya menempel pada para musisi, komposer
dan perekayasa rekaman. Contoh: Mozart, David Foster.
e. Kecerdasan Kinestetik-Tubuh, kemampuan menggunakan tubuh secara
terampil untuk memecahkan masalah, menciptakan produk atau
mengemukakan gagasan dan emosi seperti atlet, penari, aktor, ahli bedah,
atau dalam bidang kontruksi atau bangunan. Contoh: Charlie Chaplin,
Michael Jordan.
f. Kecerdasan Interpersonal (sosial), kemampuan bekerja secara efektif
dengan orang lain, berhubungan dengan orang lain dan memperlihatkan
empati dan pengertian, memperhatikan motivatsi dan tujuan mereka.
Pemilik kecerdasan ini biasanya adalah guru yang baik, fasilisator,
penyembuh, politisi, pemuka agama. Contoh: Gandhi, Ronald Reagan,
Mother Teresa, Oprah Winfrey.
g. Kecerdasan Intrapersonal, kemampuan menganalisa diri dan
merenungkan diri mampu merenung dalam kesunyian dan menilai
prestasi seseorang, meninjau perilaku seseorang dan perasaan-perasaan
terdalamnya, membuat rencana dan menyusun tujuan yang hendak
dicapai, mengenal benar diri sendiri. Kecerdasan ini dimiliki oleh filsuf,
sangat banyak. Di sini disediakan pula alat permainan edukatif yang bisa dipakai
balita jika bosan dengan buku-buku yang ada.
Permainan Keenam
Membaca Buku ke Mana Pun Kita Pergi
Kita akan mengajak anak-anak bertamasya? Jangan lupa membaca buku bacaan,
buku tulis, kertas gambar, dan peralatan tulis lainnya. Pendek kata, ke mana pun
perginya, kita biasakan untuk selalu membawa buku. Taruh buku itu di tas
masing-masing anak, di mobil, atau di tempat lain yang terjangkau. Jadikan buku
sebagai penghilang jenuh pada saat perjalanan jauh. Pertemuan reuni yang
membosankan bagi anak, acara keluarga, dan berbagai acara lain dengan waktu
yang cukup lama bisa cair oleh keberadaan buku anak. Biasakanlah untuk
menghibur anak-anak dengan buku. Buatlah mereka betah untuk mengamati serta
membaca buku di kala senggang. Hasilnya, kita tidak perlu repot membujuknya
untuk tidak rewel. Anak juga merasa senang serta tetap bersemangat ketika diajak
ke mana pun.
Permainan Ketujuh
Mendongeng dengan alat peraga, Bercakap-cakap, dan Bermain Peran
Sebenarnya permainan ini tidak jauh berbeda dengan permainan membaca
cerita maupun cerita sebelum tidur. Ada sedikit tambahan dalam permaianan ini.
Kita menggunakan alat peraga berupa boneka jari, boneka kain, atau boneka
Barbie. Ada juga alat peraga lain yang berupa gambar dan huruf yang ditulis
berwarna-warni di atas karton. Boleh juga digunakan alat-alat permainan
keterampilan kegiatan sehari-hari, seperti dokter-dokteran dan masak-masakan.
Yang pasti kita bisa menanamkan nilai-nilai normatif dan keagamaan, karena
membaca cerita dengan alat peraga ini baru bisa dilakukan ketiaka bayi mulai bisa
duduk atau sekitar usia 6 bulan ke atas.
Setelah anak menginjak usia 2 tahun ke atas, kita bisa melibatkan mereka
dalam cerita, baik dengan peran tertentu maupun terlibat untuk mengambil alat
peraga yang akan dipergunakan sesuai dengan cerita yang didongengkan. Kerja
sama menggunakan alat peraga dalam mengongen ini akan terkesan buat si kecil,
membuat mereka percaya diri, dan tentu saja melatih kemampuan berbahasa, kosa
kata, dan calistung mereka. Untuk memulai mendongeng, kita perlu
mempersiapkan cerita yang menarik bagi balita dan mempersiapkan alat peraga
sesuai topik cerita tersebut.
Bermain peran dan bercakap-cakap dengan ibu juga sangat disukai si kecil,
Hal ini akan meningkatkan kemampuan berbahasa dan pengetahuan serta
keterampilannnya di berbagai bidang. Kadang kala keikutsertaan ayah atau
anggota keluarga lain seperti kakak dalam permainan peran cukup menyenangkan
bagi si kecil. Apabila kalalu peran tersebut berkaitan dengan hobinya. Misalnya,
peran putri atau putra mahkota untuknya dan peran pemburu untuk ayah. Setelah
permaianan terasa melelahkan, kegiatan bisa diakhiri dengan mewarnai gambar
tokoh yang diperankan tadi.
Permainan Kedelapan
Bermain Puzzle Huruf dan Angka
Permainan ini juga mulai bisa dilakukan ketika bayi sudah dapat duduk sendiri.
Dengan bermain bersama kita, anak-anak merasa bergembira dan merasa
disayang. Di antara permainan yang menyenangkan dan penuh tantangan adalah
bermain puzzle. Semua puzzle bisa dipakai. Namun, untuk lebih menekankan
pada kebiasaan membaca, menulis, dan berhitung, kita pilihkan permaianan
puzzle huruf dan angka. Seperti pada umumnya permainan lainnya, kita perlu
mencari waktu yang tepat agar bayi dan balita tidak merasa bosan, memancing
rasa ingin tahu mereka dengan memainkan lebih dahulu puzzlenya. Dalam
permainan apa pun, selama ini saya menggunakan cara untuk “memancing” rasa
ingin tahu anak, dan bukan dengan cara mengajaknya. Karena terkadang anak
kurang tertarik dengan ajakan kita. Namun, begitu melihat kita bermain dan dia
menganggapnya menarik, dia akan datang sendiri dan bergabung. Dengan cara
memancing perhatian ini, anak juga mendapatkan pelajaran bagaimana harus
memilih dan bertanggung jawab terhadap pilihannya. Dia akan menjadi sosok
pemimpin dan pandai menentukan sikap sendiri tidak hanya bergantung kepada
keputusan orang lain.
Permainan Kesembilan
Menggambar dan Menulis
Menggambar adalah awal dari permainan menulis. Sebelum anak-anak diarahkan
untuk dapat menulis huruf, coba kita sediakan dulu kertas kosong tanpa garis,
buku mewarnai, dan berbagai alat tulis dan gambar. Dengan menyediakan
berbagai perlengkapan tadi, kita bisa memancingnya dengan mulai mewarnai
buku mewarna atau bisa juga dengan menggambar beberapa garis, bentuk lurus,
lingkaran, dan menggambar coretan-coretan mudah sehingga anak tertarik untuk
mencobanya.
Ketika anak mencoba dan dapat menggambar coretan yang kita contohkan,
rasa percaya dirinya akan muncul. Hasilnya, dia terpacu untuk terus berusaha
memperbagus hasil gambarnya, meniru beberapa gambar lain, dan pada akhirnya
meniru menggambar huruf sebagai awal latihan menulis.
Menggambar juga bisa dilakukan dengan jari, dengan manik-manik yang
ditempel, dan beberapa peralatan lainnya, seperti sikat gigi, sisir, buah, dan
sayuran untuk menggambar stempel. Semakin sering anak bermain dan
menggambar, selanjutnya anak akan lebih siap berlatih menulis, yang juga
dianggapnya sebagai permainan yang menyenangkan.
Permainan Kesepuluh
Mengenal Komputer dan alat Musik
Meskipun tidak wajib, tekonologi komputer hendaknya kita perkenalkan
kepada balita ketika mereka telah siap menghadapinya dan merasa tertarik ketika
mendapatinya di meja kerja ayah atau meja belajar sang kakak. Kita tetap perlu
mendampingi dan memilihkan permainan komputer yang bermanfaat, dengan
waktu yang tidak terlampau lama. Hanya sekedar memperkenalkan, tidak
membuatnya canggung dan bisa diisi dengan kegiatan penunjang bermain
calistung, seperti puzzle alfabet di komputer, tebak huruf, tebak jumlah, dan
beberapa education games lainnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah memperkenalkan peralatan musik pada
balita, atau mungkin sekedar mendendangkan lagu dan menari bersamanya. Balita
yang semenjak awal mengenal alat musik tampak lebih bisa mengontrol dirinya,
lebih matang, dan kinerja otaknya seimbang antara kanan dan kiri. Selain daya
imajinasi yang tinggi, mengenal musik juga dapat mencerdaskan pikiran dan
melatih daya konsentrasi sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
besar bagi mereka dalam menjalani kehidupannya kelak.
Penutup
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah
perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah
merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap
kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang
berbentuk sebuah permainan.
Pada usia lima tahun, mereka harus memiliki kompetensi meniru bunyi
huruf, pada usia enam tahun mereka harus mengenal huruf. Namun, mengajarkan
anak-anak Calistung itu harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan agar
mereka tidak merasa tertekan dan bosan.
Memang benar jika membaca diajarkan seperti halnya orang dewasa
belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan
gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak
menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk,
sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu
diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama
dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan
bergaul ataupun musikal.
Problemnya bukan apa yang diajarkan, namun bagaimana cara
mengajarkannya. Cara mengajarkannya dengan metode bermain yang
menyenangkan sehingga mereka mau melakukan secara suka rela.
Intinya mengajak anak-anak belajar dengan cara yang membuat mereka gembira
dan seolah sedang bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Naisaban, Ladislaus. 2004. Para Psikolag terkemuka Dunia: Riwajat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya. Jakarta : Grasindo.
Gardner, Howard. 1993. Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic Books.
Fatoni. 2009. http://fatonipgsd071644221.wordpress.com (diunduh tanggal 2 Mei 2014).
Murtie, Afin. 2013. Mengajari Anak Calistung dengan Bermain: Panduan Praktis untuk Orang Tua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suparno, Paul. 2008. Teori lntetigensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara Menerapkan Toeri Multiple lntellligences Howard Gardner, Yogyakarta: Kanisius