tercantum dalam Pasal 65 ayat 1. Pertama, PTN dengan penge- lolaan keuangan berbentuk sa- tuan kerja BLU (badan layanan umum). PTN dalam kelompok ini ada- lah perguruan tinggj dengan organisasi dan tata kelola ber- pola BLU, dimana aset sepe- nuhnya milik negara, dengan anggaran atau pendanaan me- lalui mekanisme APBN di Ke- menterian, sementara peneri- maan dana masyarakat dibu- kukan sebagai PNBP (Peneri- maan Negara Bukan Pajak) yang bisa langsung digunakan setelah melalui pelaporan dan pencatatan. Kedua, PTN 8elbadan Hukum (PTN BH). Perguruan tinggi yang diberikan otonomi penuh dan mandiri didalam organisasi dan tata kelola, dimana aset- nya bisa dipisahkan antara milik negara dan milik perguruan tinggi, dengan alokasi pembia- yaan APBN melalui mekanisme subsidi atas penyediaan pela- yanan publik. Dalam hal memberikan ke- percayaan penuh untuk me- ngelola keuangan itulah (baca: otonomi penuh), maka diperlu- kan penilaian dari kementerian. Dalam konteks inilah maka oto- nomi diberikan oleh pemerintah melalui' proses dan penilaian (Pasal 65ayat 1). Penilaian ini penting, antara lain berkait dengan kemampuan keuangan dan pengelolaan sumber daya, sehingga ke de- pan dapat mewujudkan tata kelola perguruan tinggi yang baik dan bersih (good govern- ment governance) yakni per- guruan tinggi yang mampu men- jalankan prinsip-prinsip ber- keadilan (fairness), tranparansi (transparency), dapat dikontrol (accountability), dan bertang- gungjawab (responsibility). Bagaimana dengan PTS (perguruan tinggi swasta)? Ke- beradaan PTS dalam UU ini te- tap mendapatkan perhatian le- wat pemberian pembiayaan ke- pad a PTS melalui anggaran pendapatan belanja negara (APBN) maupun anggaran pen- dapatan belanja daerah (AP- BD) sebagai bantuan tunjang- an protesi dosen, tunjangan ke- hormatan profesor, serta inves- tasi dan pengembangan (Pasal 89 ayat 1b).• adv Beda,UU Dikti dengan VU BHP SELAIN soal otonomi, ada publik yang mensejajarkan UU Dikti dengan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Padahal keduanya berbeda. Pastinya, Pemerintah dan DPR tidak ingin "jatuh"di lubang yang sama untuk menyiapkan dan membuat UU. Jika sebe- lumnya UU BHP telah dibatalkan karena dinilai mencederai hak konstitusi berkait dengan pe- ngelolaan perguruan tinggi, ma- ka dalam UU Dikti hat yang ber- kait dengan kemungkinan akan dibatalkannya UU ini di MK pun menjadi pertimbangan. Amar Putusan MK No: 11-14- 12-126-136/PUU-VII12009, ter- tanggal31 Maret 2010 yang me- nyatakan bahwa tidak boleh ter- jadi penyeragaman bentuk lem- baga pendidikan, pemerintah ti- dak boleh lepas tanggung ja- wab keuangan untuk pen ye- lenggaraan pendidikan, dan ti- dak terjadi liberalisasi dan ko- mersialisasi pendidikan, adalah hal yang menjadi salah satu da- sar pertimbangan penyusunan UU Dikti, sehingga rnernang ber- beda dan tidak bisa disejajarkan antara UU Dikti dengan UU BHP. Sementara soal pemberian hak otonomi yang dikhawatir- kan, akan membuat biaya pen- . didikan tinggi mahal, terjadinya komersialisasi pendidikan, se- hingga masyarakat miskin tidak dapat mengakses, juga berbe- da. Semangat yang menjiwai UU Dikti ada pada otonomi; per- luasan dan jaminan akses; pe- ngembangan tridharma secara utuh; kesetaraan; penguatan pendidikan vokasi; dan keutuh-' , an jenjang pendidikan. UU Dikti memberikan otonomi kepada perguruan tinggi negeri dengan sebutan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), sementara UU BHP meminta penyeragaman bentuk lembaga. Dalam UU Dikti sejak awal di- nyatakan, bahwa perguruan tinggi dikelola dengan prinsip nirlaba. Ini artinya, bahwa tidak boleh dan dilarang keras pe- ngelola perguruan tinggi meng- ambil keuntungan. Itu sebab- nya, dalam UU Dikti mengama- natkan pula bahwa bagi PTN, penentuan besaran biaya pen- didikan akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan men- teri dengan mempertimbangkan pada indeks kemahalan wila- yah (Pasal 88 ayat 5). Padatitikinilahmakadikatakan bahwa, UU Dikti adalah upaya Pemerintah untuk melindungi masyarakat, agar dapat meng- akses pendidikan tinggi dengan biaya te~angkau. Lalu bagimana soal otonomi? Ada dua hal. Pertama, otonomi akademik, kebebasan akade- mik, kebabasan mimbar akade- mik, dan kebebasan ilmiah. Un- tuk hal ini, sudah melekat dalam pengelolaan pendldikan' tinggi. Sehingga kekhawatiran terha- dap UU Dikti yang akan meng- kooptasi perguruan tinggi, ter- kikisnya daya kritis perguruan tinggi, independensinya terga- daikan, adalah sesuatu yang ti- dak akan te~adi, karena seja- tinya nilai kebebasan akademik telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di perguruan tinggi, sebagai seorang ilmu- wan dan cendikawan. Artinya, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik tetap luas, Bagaima- na dengan adanya pasal yang menyatakan program studi akan diatur melalui peraturan menteri (Pasal 33 ayat 3 dan ayat 8). Itu adalah upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankahsaat ini banyak per- guruan tinggi yang membuka progran studi tidak jelas, dan tidak terakreditasi. Jika ini dibi- arkan, bukankah justru masya- rakat yang dirugikan? Kedua, otonomi pengelolaan keuangan. Dalam UU ini, ada dua bentuk pengelolaan keu- angan bagi PTN, sebagaimana MENDlKBUD MohaQlmad Nuh sedJpg menyerahkan draft RUU Dikti yang telah dlsetujUi bersama Pemerintah dan DPR metljadi UU kepada pimpinan DPR p.da, Jumat, 13 Jull 2012. I{\iping Humas Unpad 2012