PEMAKAIAN OBAT ANTIJAMUR DALAM PERAWATAN KANDIDIASIS RONGGA MULUT Drg. Sri Rezeki, Sp. PM ABSTRAK Kandidiasis rongga mulut merupakan infeksi jamur yang umum ditemukan pada praktik dokter gigi. Untuk memperoleh keberhasilan perawatan kandidiasis rongga mulut, dokter gigi harus mengetahui strategi perawatan dengan obat anti jamur. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan mengenai beberapa obat antijamur yang dapat dipakai, mekanisme aksi, aturan pakai serta interaksi obat. Obat anti jamur tersedia dalam beberapa golongan dan sediaan. Dokter gigi harus dapat memilih anti jamur yang akan diberikan berdasarkan riwayat medis pasien, manifestasi klinis, lokasi dan keparahan infeksi jamur. Dosis obat serta aturan pakai yang benar sangat berperan penting dalam mencapai keberhasilan perawatan. Selain itu, kebersihan rongga mulut maupun gigi tiruan, alat-alat yang digunakan dalam prosedur pembersihan gigi mulut dan gigi tiruan untuk mencegah reinokulasi infeksi jamur juga penting diperhatikan. Interaksi obat dapat menurunkan efektivitas beberapa obat anti jamur, bahkan dapat terjadi kegawatdaruratan meskipun dengan perawatan anti jamur secara topikal. Pemberian anti jamur secara profilaksis juga perlu dipertimbangkan pada beberapa keadaan yang memiliki faktor risiko infeksi jamur yang tinggi. Selain itu obat anti jamur juga dapat menyebabkan post-antifungal effect (PAFE) yang merupakan efek antifungal yang tertinggal setelah pemakaian anti jamur. Obat anti jamur dengan PAFE yang panjang dapat diberikan dengan interval pemberian yang lebih panjang. Pertimbangan antara keuntungan dan risiko perawatan sangat penting sebelum obat anti jamur diberikan. Kata kunci : kandidiasis rongga mulut, anti jamur, anti jamur profilaksis, post- antifungal effect (PAFE) 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMAKAIAN OBAT ANTIJAMUR DALAM PERAWATAN KANDIDIASIS
RONGGA MULUT
Drg. Sri Rezeki, Sp. PM
ABSTRAKKandidiasis rongga mulut merupakan infeksi jamur yang umum ditemukan pada praktik dokter gigi. Untuk memperoleh keberhasilan perawatan kandidiasis rongga mulut, dokter gigi harus mengetahui strategi perawatan dengan obat anti jamur. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan mengenai beberapa obat antijamur yang dapat dipakai, mekanisme aksi, aturan pakai serta interaksi obat. Obat anti jamur tersedia dalam beberapa golongan dan sediaan. Dokter gigi harus dapat memilih anti jamur yang akan diberikan berdasarkan riwayat medis pasien, manifestasi klinis, lokasi dan keparahan infeksi jamur. Dosis obat serta aturan pakai yang benar sangat berperan penting dalam mencapai keberhasilan perawatan. Selain itu, kebersihan rongga mulut maupun gigi tiruan, alat-alat yang digunakan dalam prosedur pembersihan gigi mulut dan gigi tiruan untuk mencegah reinokulasi infeksi jamur juga penting diperhatikan. Interaksi obat dapat menurunkan efektivitas beberapa obat anti jamur, bahkan dapat terjadi kegawatdaruratan meskipun dengan perawatan anti jamur secara topikal. Pemberian anti jamur secara profilaksis juga perlu dipertimbangkan pada beberapa keadaan yang memiliki faktor risiko infeksi jamur yang tinggi. Selain itu obat anti jamur juga dapat menyebabkan post-antifungal effect (PAFE) yang merupakan efek antifungal yang tertinggal setelah pemakaian anti jamur. Obat anti jamur dengan PAFE yang panjang dapat diberikan dengan interval pemberian yang lebih panjang. Pertimbangan antara keuntungan dan risiko perawatan sangat penting sebelum obat anti jamur diberikan.Kata kunci : kandidiasis rongga mulut, anti jamur, anti jamur profilaksis, post- antifungal effect (PAFE)
1
THE USE OF ANTIFUNGAL DRUGS IN THE TREATMENT OF ORAL CANDIDIASIS
Drg. Sri Rezeki, Sp. PM
ABSTRACT
Oral candidiasis is a common opportunistic fungal infection encountered in dental practice. To obtain successful oral candidiasis treatment, dentist must be familiar with antifungal treatment strategies. So, it is necessary to review about antifungals that can be used, mechanism of action, drug regimen and interaction. Antifungal agents are available in several categories and forms. Dentist must determine which antifungal agent can be given. Therapeutic should be based on the patient’s medical history, clinical manifestations, location, and severity of fungal infection. Appropriate dose and drug regimen have important role to achieve successfully treatment. In addition, oral and dentures hygiene, the device was used in the procedure are important in order to prevent reinoculation of fungal infection. Drug interactions can decrease efficacy of antifungals, moreover emergency can occur even with topical antifungal therapy. Conditions with high risk factors of fungal infection must be considered the administration of antifungal prophylaxis. Antifungal drugs can induce post-antifungal effect (PAFE). This effect is the suppression of fungal growth that persists after limited exposure to an antifungal agent. Antifungals that induced long PAFE can be administered with longer dosing intervals. Consideration between benefit versus risk is very essential before administration of antifungals.Keywords : oral candidiasis, antifungal, prophylactic antifungal, post-antifungal effect (PAFE)
2
I. PENDAHULUAN
Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistik yang umum terjadi pada rongga
mulut.1 Penyakit ini dapat terjadi dengan adanya faktor predisposisi sehingga menyebabkan
perubahan Candida komensal menjadi parasitik.2 Infeksi Candida pada rongga mulut
memiliki berbagai gambaran klinis tergantung pada keadaan akut ataupun kronis1 serta
dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.3
Kandidiasis paling sering disebabkan oleh Candida albicans.4,5 Selain itu dapat pula
disebabkan oleh Candida parapsilosis, Candida tropicalis, Candida glabrata, Candida
krusei, Candida pseudotropicalis dan Candida guilliermondi.4 Dewasa ini ditemukan
bahwa kandidiasis rongga mulut pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berhubungan
dengan Candida dubliniensis 4,6,7 dan Candida inconspicua.7
Banyak faktor predisposisi timbulya kandidiasis rongga mulut. Adapun faktor
predisposisi tersebut termasuk kondisi fisiologis seperti kehamilan, bayi dan manula,8
kondisi sistemik dengan defisiensi zat besi,9 penyakit darah,8 AIDS,10 diabetes melitus,9
hipotiroid,9 hipoadrenal,9 infeksi bakteri,8 tumor ganas,8,10 penggunaan anti mikroba
berspektrum luas jangka panjang,8,10 imunosupresan,8,9 terapi radiasi kepala dan leher,8,9,11
serta kondisi lokal seperti iritasi mukosa oleh protesa gigi-geligi8,10 ataupun perubahan
saliva secara kualitatif maupun kuantitatif,8,11,12 diit tinggi karbohidrat, kebersihan rongga
mulut yang buruk.12
Berdasarkan data dari klinik penyakit mulut RSUPN-CM pada tahun 2006 ditemukan
9,34 % kasus pasien yang menderita kandidiasis rongga mulut. Namun demikan,
pemakaian obat anti jamur masih belum sesuai dengan aturan pakai. Oleh karena itu penulis
merasa perlu membahas mengenai beberapa obat-obat yang digunakan dalam perawatan
kandidiasis rongga mulut, profilaksis kandidiasis rongga mulut dan Post Antifungal Effect
(PAFE). Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi teman sejawat
dalam praktik merawat pasien dengan kandidiasis rongga mulut.
3
II. PERAWATAN KANDIDIASIS RONGGA MULUT
Perawatan kandidiasis rongga mulut dipengaruhi oleh status medis pasien
sebelumnya dan saat ini.12 Sebelum perawatan dimulai, pendekatan riwayat medis dan gigi-
geligi termasuk seluruh obat-obatan yang dikonsumsi harus diketahui untuk menilai faktor
predisposisi kandidiasis rongga mulut12 sehingga eliminasi faktor predisposisi kandidiasis
rongga mulut dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi pasien.4 Selain itu, dengan
menggali riwayat pasien dapat diketahui kemungkinan interaksi antara obat–obat yang
dikonsumsi dengan obat anti jamur12 serta kontraindikasi pemberian obat anti jamur tertentu
terkait penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap pemilihan obat. Pasien dengan
penyakit hati kontraindikasi diberikan obat anti jamur golongan azol seperti mikonazol,
flukonazol, ketokonazol dan itrakonazol.13 Alternatif lain obat anti jamur yang dapat
diberikan pada pasien tersebut adalah nistatin.13 Pasien dengan gangguan ginjal walaupun
masih ringan diperlukan penurunan dosis flukonazol karena termasuk dalam golongan obat
yang kurang aman diberikan pada pasien dengan gagal ginjal,13 sedangkan ketokonazol
termasuk dalam kelompok hampir aman sehingga pengurangan dosis hanya bila pasien
tergolong gagal ginjal berat.13,14
Kandidiasis rongga mulut merupakan suatu masalah, baik pada individu
imunokompeten maupun imunokompromis.15 Pada pasien imunokompeten, umumnya
kandidiasis rongga mulut ringan dan terlokalisasi. Kegagalan memulai perawatan dini
dengan obat anti jamur pada pasien imunokompromis dapat menyebabkan penyebaran
penyakit sehingga memerlukan perawatan secara sistemik yang lebih kuat.12
Kandidiasis rongga mulut yang ringan dan terlokalisasi biasanya dirawat dengan obat
anti jamur topikal.12 Keberhasilan perawatan dengan obat anti jamur topikal tergantung
pada waktu kontak adekuat antara obat dan mukosa rongga mulut yaitu 2 menit.16 Durasi
perawatan bervariasi antara 7 sampai 14 hari dengan melanjutkan perawatan minimal 2
sampai 3 hari setelah tanda dan simtom klinis berakhir.16 Keuntungan obat anti jamur
topikal adalah efek samping yang sedikit bila digunakan dalam dosis terapi karena
kurangnya absorbsi melalui traktus gastrointestinal.16
Obat anti jamur sistemik umumnya digunakan pada pasien dengan kandidiasis rongga
mulut yang berat, terlokalisasi ataupun menyebar, infeksi jamur pada pasien imunosupresi
4
ataupun tidak merespon perawatan dengan obat anti jamur topikal serta pasien mulut kering
dengan kesulitan mengisap.12 Obat anti jamur topikal pada umumnya tidak efektif
digunakan pada ODHA atau dengan imunosupresi.4 Chronic mucocutaneus candidosis
ataupun median rhomboid glossitis biasanya tidak efektif dirawat dengan anti jamur topikal
kecuali bila digunakan dalam waktu yang sangat lama. Penambakan obat anti jamur
golongan azol secara sistemik biasanya diperlukan untuk penyembuhan infeksi tersebut.4
Keuntungan pemberian obat anti jamur sistemik adalah obat dipakai 1 kali sehari dan
mencapai beberapa bagian tubuh, namun memiliki efek samping yang lebih banyak.16
Pemilihan obat harus mempertimbangkan indikasi, kontraindikasi, serta interaksi obat yang
dapat terjadi.
Pasien diinstruksikan untuk menggunakan obat anti jamur sesuai aturan pakai,
misalnya tablet isap dilarutkan di mulut secara perlahan, tidak menelan atau mengunyah,
menjaga kebersihan rongga mulut dan gigi tiruan dengan baik,12 serta mengganti
perlengkapan kebersihan rongga mulut seperti sikat gigi yang terkontaminasi selama
periode infeksi untuk mencegah reinokulasi infeksi Candida.17
Pada kasus denture stomatitis, perawatan ditujukan pada jaringan rongga mulut dan
gigi tiruan secara bersamaan,12 serta anjuran untuk melepas gigi tiruan pada malam hari.4
Protesa gigi tiruan yang dimasukkan dalam 8 ons air, diberikan radiasi microwave 60 hz
selama 5 menit efektif untuk sterilisasi protesa.3 Respon perawatan yang kurang pada
pasien dengan denture stomatitis dapat pula disebabkan oleh kerjasama pasien yang buruk.4
II.1 OBAT ANTIJAMUR GOLONGAN POLIEN
II.1.1Amfoterisin B
Amfoterisin B diperoleh dari Streptomyces nodosus, suatu actinomycetes yang
ditemukan di tanah.18 Obat ini bekerja menghambat fungi melalui interaksi dengan
ergosterol sehingga menyebabkan kehilangan permeabilitas selektif membran, kehilangan
potasium dan komponen intrasel yang selanjutnya mengakibatkan gangguan fungsi barier,
leakage komponen sel, dan kematian.2,17,18 Amfoterisin B dapat bersifat fungistatis maupun
fungisid.2,9 Pada konsentrasi obat rendah, leakage terbatas pada molekul dan ion kecil
sehingga kerusakan dapat diperbaiki. Pada konsentrasi tinggi, molekul yang lebih besar
5
diangkut melalui membran menyebabkan kehilangan konstituen sel ireversibel dan
selanjutnya terjadi kerusakan sel.2
Amfoterisin B memiliki aktivitas anti jamur berspektrum luas.18 Efektif melawan
spesies Candida, Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans dan Coccidioides
immitis. Amfoterisin B dapat menekan adhesi Candida albicans pada sel epitel bukal dan
menghambat pembentukan germ tube.2 Obat ini juga dapat menekan adhesi Candida pada
gigi tiruan akrilik yang kemungkinan karena mekanisme aksinya pada dinding sel Candida
sehingga menghambat sisi perlekatan yeast pada gigi tiruan akrilik.2 Amfoterisin B juga
dapat menghambat enzim secretory aspartyl proteinases (Saps). Enzim yang dihasilkan
oleh Candida ini berperan dalam perlekatan dan penetrasi pada membran mukosa.2
Pada perawatan mikosis sistemik, digunakan larutan intravena.9 Bentuk topikal dapat
berupa lozenge 10 mg2, suspensi oral 100 mg/ml,2,3 krim, ointment, lotion.9 Bentuk lozenge
dilarutkan dalam mulut secara perlahan 3-4 kali sehari setelah makan, dengan perawatan
minimal selama 2 minggu.2 Sediaan ini dapat digunakan untuk mengeliminasi yeast pada
permukaan mukosa pasien dengan denture stomatitis.3 Amfoterisin B dalam sediaan
suspensi sebanyak 1 ml diteteskan di rongga mulut setelah makan, dikulum di daerah lesi,2,3
ditahan di mulut selama 3-4 menit kemudian ditelan,3 digunakan 4 kali sehari selama 2
minggu.2 Namun, saat ini bentuk suspensi tidak dikeluarkan oleh pabrik.12 Krim, ointment
dan lotion dapat digunakan untuk angular cheilitis.9 Amfoterisin B sebagai obat kumur
tidak tersedia, namun dengan mencairkan bentuk sediaan parenteral sebagai obat kumur
untuk merawat kandidiasis rongga mulut yang resisten telah berhasil digunakan.9
Interaksi obat dapat terjadi dengan digoksin yaitu meningkatkan risiko toksisitas
digoksin berupa hipokalemia.17 Pemakaian bersama dengan obat-obat yang bersifat
depresan terhadap sumsum tulang dapat meningkatkan risiko anemia.17 Obat ini dapat
meningkatkan nefrotoksisitas obat lainnya seperti aminoglikosid dan siklosporin.2
Pemakaian bersama dengan steroid dapat menyebabkan hipokalemia berat.17 Mekloretamin
dan obat anti kanker lainnya dapat meningkatkan nefrotoksisitas, bronkospasme dan
hipotensi dari obat amfoterisin B.2,14
Amfoterisin B dapat meningkatkan blood urea nitrogen (BUN), kadar serum alkalin
fosfat, serum kreatinin, SGOT dan SGPT.17 Kadar serum kalsium, magnesium dan
6
potasium dapat turun.17 Absorpsi melalui gastrointestinal dapat diabaikan.2 Bila diberikan
secara intravena untuk mikosis dapat menyebabkan tromboflebitis, anoreksia, mual,
muntah, sakit kepala, anemia, hipokalemia, nefrotoksisitas, hipotensi, aritmia dan lain-lain.2
Efek samping lain yang dapat terjadi adalah anafilaksis, demam dan kejang.2 Pemakaian
obat secara topikal dapat menyebabkan iritasi lokal, kulit kering dan ruam.17 Reaksi serius
yang jarang terjadi adalah toksisitas kardiovaskular. Selain itu dapat terjadi perubahan
penglihatan dan pendengaran, gagal hati, gangguan koagulasi, kegagalan organ multipel
serta sepsis.17 Pemakaian obat ini kontraindikasi pada pasien hipersensitif terhadap
amfoterisin B ataupun sulfit.17 Faktor risiko untuk wanita hamil termasuk kategori B.14
II.1.2Nistatin
Nistatin merupakan obat anti jamur golongan polien yang dihasilkan oleh
Streptomyces noursei.9 Anti jamur ini mengikat sterol,9 mencegah biosintesis ergosterol
pada membran sel yang berperan penting untuk kestabilan, integritas membran serta fungsi
membran-bound enzyme termasuk chitin synthetase yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan pembelahan sel jamur.2 Hambatan terhadap biosintesis ergosterol dapat mengubah
permeabilitas membran sel yeast sehingga menyebabkan leakage komponen intrasel dan
kematian.2,12
Pemakaian nistatin sering menjadi terapi pilihan untuk kandidiasis rongga mulut
terlokalisasi12 dan superfisial yang disebabkan oleh Candida albicans.2,19 Nistatin
digunakan secara topikal,20 memiliki aktivitas fungisid dan fungistatik, mampu menekan
adhesi Candida albicans pada sel epitel bukal, menghambat pembentukan germ tube serta
membatasi aktivitas proteolitiknya.2
Absorpsi melalui gastrointestinal kurang baik, tidak terdeteksi pada darah setelah
dosis terapi9 dan memiliki efek samping minimal.20 Pada dosis besar dapat menyebabkan
mual,21 muntah, diare dan gangguan gastrointestinal.9 Efek samping topikal dapat berupa
iritasi kulit.17 Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif terhadap nistatin.14 Faktor risiko
kehamilan termasuk dalam kategori B/C pada pemakaian intraoral.14 Nistatin dapat
diberikan pada wanita menyusui.14
Sangat dianjurkan untuk melakukan perawatan kandidiasis rongga mulut dengan
nistatin minimal selama 10-14 hari dan dilanjutkan sekurang-kurangnya 48-72 jam setelah
7
perbaikan tanda klinis.12 Nistatin tersedia dalam bentuk tablet (100.000 atau 500.000 IU),
mengandung cola17 dan buah anggur.29 Buah anggur dapat mengubah absorpsi
itraconazole.17 Hindari pemakaian etanol karena dapat menimbulkan disulfiram-like
reaction.14
18
Itrakonazol dapat meningkatkan serum alkalin fosfat, bilirubin, SGOT, SGPT dan
menurunkan kadar potasium.17 Efek samping yang sering terjadi adalah mual dan ruam.14,17
Kadang-kadang dapat terjadi muntah, sakit kepala, diare, hipertensi, edema perifer, demam
dan kelelahan.14,17 Nyeri abdomen, pusing, anoreksia, pruritus dan hepatitis jarang terjadi.17
Telah dilaporkan terdapat kasus urtikaria, angioedema, anafilaksis, artimia, sindroma
Stevens-Johnson, gangguan menstruasi, neuropati dan neutropenia.14 Tidak
direkomendasikan pemberian itrakonazol pada wanita menyusui. Risiko pada wanita hamil
termasuk dalam kategori C.14 Kontraindikasi pada pasien hipersensitif terhadap itrakonazol
dan azol lainnya, pasien dengan gagal jantung kronis. Selain itu kontraindikasi bila
pemberian bersama dengan cisapride dan terfenadin karena dapat menyebabkan aritmia.
Asdocetaxel, pimozid, kuinidin, astemizol, dofetilid, lovastatin, simvastatin dan midazolam
juga kontraindikasi dipakai bersama dengan itrakonazol.14 Faktor risiko pada kehamilan
termasuk dalam kategori C. Pemberian pada wanita menyusui tidak direkomendasikan.14
II.4 IODOQUINOL
Iodoquinol memiliki aktivitas sebagai antijamur dan antibakteri.26 Sediaan dalam bentuk
krim iodoquinol 1 % dan hidrokortison 1 % diaplikasikan 3 sampai 4 kali sehari efektif
digunakan untuk perawatan angular cheilitis kronis dengan infeksi gabungan kandida dan
bakteri serta dapat mengurangi respon inflamasi dan gatal.3
II.5 KLORHEKSIDIN
Klorheksidin memiliki aktivitas berspektrum luas melawan mikroorganisme termasuk
Candida albicans.30 Biofilm Candida albicans dapat berkurang secara bermakna.30
Klorheksidin glukonat memiliki aksi ganda terhadap candida.2 Selain memiliki aktivitas
sebagai fungisid,31 klorheksidin secara signifikan mampu menekan adhesi Candida
terhadap substrat organik2 seperti pada sel epitel mukosa31 maupun substrat inorganik.2
Mekanisme aksi klorheksidin glukonat adalah sebagai antiseptik dan antimikroba,17 dengan
mengganggu permeabilitas membran yang pada akhirnya merusak membran sel.30
Klorheksidin glukonat 0.2 % telah menunjukkan keberhasilan sebagai obat kumur
untuk perawatan denture stomatitis yang disebabkan Candida serta pada kandidiasis
19
pseudomembran.2 Khlorheksidin glukonat dapat menekan adhesi Candida terhadap
permukaan akrilik gigi tiruan.2 Merendam gigi tiruan yang terinfeksi Candida albicans
dengan obat kumur klorheksidin pada malam hari selama 24 hari menunjukkan keefektifan
dalam eliminasi organisme dari permukaan resin akrilik.32 Namun demikian cara ini sering
disertai dengan pewarnaan kocoklatan pada gigi tiruan.3 Pada penelitian secara in vitro dan
in vivo, klorheksidin glukonat secara signifikan dapat menurunkan adhesi Candida terhadap
sel bukal.2
Pemakaian antijamur topikal bersama dengan klorheksidin harus dihindari karena
dapat menyebabkan obat menjadi tidak aktif.3 Pemakaian klorheksidin glukonat bersama
dengan nistatin dapat membentuk kompleks klorheksidin-nistatin sehingga dapat
menyebabkan keduanya menjadi tidak efektif melawan Candida.2
Toksisitas dan harga klorheksidin rendah serta pemakaiannya mudah.31 Efek samping
klorheksidin glukonat adalah perubahan warna gigi dan rasa.17 Perubahan rasa ini dapat
membaik setelah 1 minggu menghentikan pemakaian khlorheksidin.3 Reaksi anafilaktik
pernah dilaporkan, oleh karena itu kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif terhadap
klorheksidin glukonat.17
III. OBAT ANTIJAMUR PROFILAKSIS
Pasien dengan khemoterapi, radioterapi, terapi imunosupresif ataupun antibiotik
jangka panjang mempunyai risiko terbesar terkena infeksi jamur.2 Pasien yang terinfeksi
HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mm3 memiliki risiko berkembangnya kandidiasis
rongga mulut.33 Oleh karena itu, profilaksis antijamur umumnya ditujukan pada pasien
dengan imunodefisiensi.2
Pada perawatan infeksi jamur sangat penting memperhatikan penyebab yang
mendasari terjadinya infeksi tersebut sehingga mengurangi kebutuhan perawatan dengan
obat antijamur dalam jangka waktu panjang ataupun pengulangan perawatan (Scully dkk
1994).2 Pertimbangan keuntungan perawatan dibandingkan risiko sangat penting dalam
pemberian obat antijamur profilaksis.34 Bila angka kejadian kandidiasis rongga mulut tinggi
dan pertimbangan pentingnya mencegah perkembangan kandidiasis rongga mulut, maka
obat antijamur yang diabsorpsi seluruhnya atau sebagaian melalui gastrointestinal dapat
20
diberikan pada saat terapi kanker dimulai.34 Pertimbangan mengenai toksisitas,
perkembangan resistensi dan harga obat sangat penting untuk diperhatikan.34 Aturan pakai
obat dapat intermiten ataupun berkelanjutan tergantung pada beberapa faktor termasuk
keparahan penyakit yang menyertai, frekuensi rekurensi infeksi jamur, terapi antibiotik
bersamaan yang dapat meningkatkan pertumbuhan Candida serta lamanya terapi.2 Terapi
supresi berkelanjutan dapat menurunkan kecepatan ulang kambuh relatif dibandingkan
intermiten, berhubungan dengan peningkatan resistensi, namun frekuensi infeksi kandida
yang sukar disembuhkan secara klinis sama pada kedua kelompok tersebut.35
Publikasi oleh Cochrane Oral Health Group pada tahun 2005 mengenai panduan
perawatan pasien kanker yang menerima khemoterapi dan radioterapi berdasarkan
penelitian meta-analisis terhadap 4226 pasien sejak tahun 1966 sampai 2004 didapatkan
fakta yang kuat mengenai keefektifan obat antijamur yang diabsorpsi melalui
gastrointestinal dalam mencegah kandidiasis rongga mulut dibandingkan kelompok plasebo
ataupun tanpa perawatan.34 Obat antijamur yang diabsorpsi seluruhnya melalui
gastrointestinal adalah flukonazol, ketokonazol dan itrakonazol, sedangkan yang diabsorpsi
sebagian adalah mikonazol dan klotrimazol.34 Amfoterisin B secara oral terbukti lemah
dalam memberikan keuntungan. Fakta mengenai efikasi obat antijamur topikal seperti
nisatin ataupun klorheksidin masih terbatas.34
Flukonazol dengan dosis 50 sampai 100 mg perhari dan 150 16,36 sampai 200 mg
perminggu16 efektif dalam mencegah kambuh ulang maupun infeksi baru kandidiasis
rongga mulut dibandingkan plasebo16,36 dalam rentang waktu 3 sampai 17 bulan.16 Beberapa
penelitian membandingkan keefektifan pemberian flukonazol perhari ataupun perminggu
dalam mengurangi kandidiasis orofaring dengan plasebo atau tanpa perawatan
menunjukkan bahwa obat tersebut efektif sebagai profilaksis kandidiasis rongga mulut,
namun kambuh ulang masih dapat terjadi walaupun telah dirawat dengan flukonazol 50
sampai 100 mg perhari ataupun 150 sampai 200 mg perminggu, kambuh ulang lebih sering
dan cepat terjadi pada plasebo.34 Terdapat satu penelitian yang menemukan bahwa
flukonazole 200 mg perhari lebih efektif dibandingkan 400 mg perminggu dalam mencegah
kandidiasis orofaring simtomatik pada pasien terinfeksi HIV.35 Dua penelitian melaporkan
kasus kambuh ulang kandidiasis orofaring lebih sedikit dengan perawatan flukonazol 200
21
mg perhari atau 200 mg 3 kali seminggu dibandingkan perawatan diberikan hanya ketika
terjadi kambuh ulang.34 Pada pasien terinfeksi HIV dengan kandidiasis rongga mulut yang
menerima terapi flukonazol jangka panjang terjadi peningkatan resistensi Candida
albicans, Candida krusei dan glabrata2,36,37 dan sering terjadi pada pasien dengan supresi
imunitas berat, yaitu CD4 kurang dari 50 sel/mm3.16 Penggunaan flukonazol sebagai obat
antijamur profilaksis dapat meningkatkan jumlah Candida krusei sehingga resisten
terhadap perawatan dengan obat antijamur golongan azol.9 Itrakonazol 200 mg perhari telah
digunakan sebagai profilaksis infeksi jamur pada pasien AIDS dengan jumlah CD4 di
bawah 150/mm3, 38 namun resistensi juga dapat terjadi setelah pemakaian itrakonazol dalam
waktu lama.38 Nistatin pastille (200.000 sampai 400.000 U sehari) sebagai antijamur
profilaksis menunjukkan serangan kandidiasis orofaring yang tertunda,34 efektif dalam
mencegah infeksi kandida orofaring baru maupun kambuh ulang dengan dosis lebih besar
yang lebih efektif.16 Namun, nistatin kurang efektif bila dibandingkan dengan klotrimazol
25 mg 3 kali sehari.39 Klotrimazol dapat digunakan sebagai obat antijamur profilaksis pada
pasien yang menerima terapi steroid topikal.18 Pada dosis 10 mg dengan pemakaian 5 kali
sehari, klotrimazol kurang efektif sebagai obat antijamur profilaksis dibandingkan
flukonazol 200 mg perhari.34 Obat antijamur profilaksis perhari ataupun perminggu dengan
flukonazol, itrakonazol ataupun nistatin dapat mengurangi kejadian dan kambuh ulang
kandidiasis orofaring dibandingkan kelompok plasebo pada pasien terinfeksi HIV dan
AIDS.34
Pemberian profilaksis antijamur tidak hanya ditujukan pada permukaan mukosa
pejamu tetapi juga pada permukaan benda tidak hidup seperti protesa yang dapat
mengandung yeast dan memulai terjadi infeksi kambuhan.2 Asam benzoat diketahui
memiliki sifat sebagai fungistatik.29 Menurut Lacopino dan Wathen 1992, merendam gigi
tiruan dalam larutan yang mengandung asam benzoat dapat secara sempurna mengeradiksi
Candida albicans dari permukaan gigi tiruan.2 Begitu pula halnya dengan klorheksidin
glukonat 0.2 %. Obat tersebut dapat digunakan sebagai pembersih mekanis tambahan
dalam mencegah denture stomatitis karena infeksi Candida kambuhan.2
22
IV. POST ANTIFUNGAL EFFECT
Supresi pertumbuhan jamur yang menetap setelah pemaparan obat antijamur dalam
waktu terbatas disebut dengan post-antfungal effect (PAFE)40 yang merupakan parameter
farmakodinamik obat.41 PAFE lebih disebabkan karena sebelumnya terdapat pemaparan
jamur terhadap obat antijamur dalam waktu singkat daripada pemaparan berkelanjutan
selama jangka panjang.2 Efek setelah pemaparan obat sangat penting untuk dipahami
karena menyangkut efikasi obat42 dan membantu mengoptimalkan aturan pakai obat.41
Menurut Craig dan Gudmundsson 1996, PAFE memberikan pengaruh terhadap
aturan pakai obat. Sebagai contoh, obat antijamur dengan PAFE yang lebih panjang dapat
diberikan dengan interval pemberian obat yang lebih panjang dibandingkan penggunaan
sebelumnya dalam melawan organisme tertentu tanpa kehilangan efikasi dan kemungkinan
mengurangi efek samping.2,43 Oleh karena itu antijamur dengan PAFE yang panjang dapat
diberikan dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan dengan PAFE singkat.40,43
Dalam hal ini PAFE dapat dijadikan indikator, namun tulisan mengenai hal tersebut masih
terbatas dan protokol standar masih belum ditemukan.43
Pada penelitian yang dilakukan oleh Anil et al 2001 diperoleh bahwa antijamur
golongan polien memiliki PAFE yang panjang (Gambar 1).43 Shibl dkk., 1995 menyatakan
bahwa mekanisme antimikroba dapat menghasilkan post-antibiotic effect (PAE) ataupun
post-antifungal effect (PAFE) pada jamur belum dikemukakan dengan jelas.2 Namun
demikian Craig dan Gudmundsson 1996 mengemukakan terdapat 3 mekanisme umum yang
dapat terjadi yaitu: (a) menetapnya obat pada binding site mikroba, (b) terjadi suatu
perbaikan karena obat menginduksi kerusakan nonletal struktur sel dan (c) waktu yang
diperlukan untuk sintesis protein dan enzim baru sebelum memulai pertumbuhan sel.2
Golongan polien mengubah permeabilitas membran sitoplasma yeast melalui ikatan
dengan ergosterol dan sel membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk memperbaiki diri
sebelum budding aktif dan multiplikasi sehingga memberikan PAFE yang panjang
(Ellepola dan Samaranayake, 1999).2 Golongan azol dapat menyebabkan perubahan
membran sel jamur dengan menghambat tahap 14α-demethylation pada biosintesis
ergosterol.2 Berbeda dengan golongan polien, golongan azol tidak dapat memberikan PAFE
yang signifikan.43 Hal ini mencerminkan obat tersebut menyebabkan efek sementara dan
23
reversibel dengan cepat ataupun periode pemaparan yang terbatas tidak adekuat untuk
memperoleh efek obat yang diharapkan.43
Pengaruh PAFE pada atribut sel kandida sejauh ini belum diamati secara luas.2
Namun, beberapa penelitian membuktikan efek antijamur pada berbagai atribut Candida
albicans rongga mulut yang diambil selama periode PAFE. Pada satu penelitian
menunjukkan bahwa golongan polien (nistatin dan amfoterisin B) serta ketokonazol dapat
mengganggu pembentukan germ tube pada Candida albicans setelah pemaparan obat
dalam waktu singkat, sedangkan flukonazol gagal menimbulkan efek tersebut pada periode
PAFE (Ellepola dan Samaranayake., 1998).2 Pada penelitian lain ditemukan bahwa semua
obat tersebut secara signifikan dapat menghambat adhesi Candida terhadap permukaan
akrilik gigi tiruan selama periode PAFE (Ellepola dan Samaranayake.,1998).2
Hidrofobisitas merupakan faktor pendukung yang terlibat dalam adhesi yeast terhadap
permukaan pejamu dan hal ini dipertimbangkan sebagai atribut patogenik yang penting
bagi Candida.2 Ellepola dan Samaranayake memperlihatkan bahwa golongan polien dan
ketokonazol efektif meminimalkan hidrofobisitas relatif permukaan sel Candida albicans
rongga mulut selama periode PAFE, namun efek tersebut tidak terlihat setelah pemaparan
flukonazol dalam waktu terbatas.2
24
Gambar 1. Mean PAFE (±SD) dari 10 C. albicans dan 10 C. tropicalis yang diberikan lima obat antijamur dengan konsentrasi dua kali MIC. (NYS = Nystatin, AMB = Amphotericin B, FLU = fluconazole).43
V. KESIMPULAN
Apabila diagnosis kandidiasis rongga mulut sudah ditegakkan, maka tantangan
selanjutnya adalah pemilihan obat antijamur yang sesuai terutama pada pasien
imunokompromis. Sebagai seorang yang berperan penting dalam perawatan tersebut,
dokter gigi harus mengetahui dengan baik indikasi dan kontraindikasi pemberian obat,
mekanisme kerja obat, aturan pakai agar efek terapi dapat diperoleh dengan baik.
Obat antijamur golongan polien digunakan secara rutin untuk perawatan kandidiasis
rongga mulut primer. Pemilihan pertama obat antijamur golongan azol dengan pemakaian
yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi obat. Apabila tidak ada respon klinis dengan
pemakaian obat antijamur topikal, maka obat antijamur sistemik harus dipertimbangkan
sebagai pilihan perawatan.
Obat antijamur pada umumnya memiliki efek hepatotoksisitas maka hati-hati
pemilihan obat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Pemakaian dalam jangka waktu
yang lama harus tetap memantau fungsi hati. Begitupula halnya dengan efek
nefrotoksisitas obat antijamur.
Interaksi obat juga sangat penting diperhatikan mengingat terdapat insidensi
kegawatdaruratan akibat pemakaian obat secara bersamaan ataupun dapat menghilangkan
efek terapi obat antijamur sehingga dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan terapi
maupun mengurangi efek obat lainnya. Keberhasilan perawatan juga sangat didukung oleh
pendekatan edukasi kepada pasien mengenai cara pakai obat yang tepat, harga yang sesuai
dengan ekonomi pasien dan dukungan moril untuk meningkatkan kerjasama pasien.
DAFTAR PUSTAKA1 Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RC. Oral pathology clinical pathologic correlations,
4 edn. St. Louis Missouri: Saunders, 2003.2 Ellepola ANB, Samaranayake LP. Oral candidal infection and antimycotics. Crit
Rev Oral Biol Med 2000; 11 (2): 172-98.3 Zunt SL. Oral candidiasis: diagnosis and treatment. J Pract Hyg 2000: 31-6.
5 Haberland-Carrodeguas C, Allen CM, Beck FM et al. Prevalence of fluconazole-resistant strains of candida albicans in otherwise healthy outpatients. J Oral Pathol Med; 31: 99-105.
6 Pinjon E, Jackson CJ, Kelly SLS, D et al. Reduced azole susceptibility in genotype 3 candida dubliniensis isolates associated with increased CdCDR1 and CDCDR2 expression. Antimicrobial agents and chemotherapy 2005; 45 (4): 1312-8.
7 Davies R, Bedi R, Scully C. ABC of oral health: Oral health care for patients with special needs. BMJ 2000; 321: 495-8.
8 Taillander J, Esnault Y. A comparison of fluconazole oral suspension and amphotericin B oral suspension in older patients with oropharyngeal candidiasis. Age and Ageing 2000; 29: 117-23.
9 Muzyka BC, Glick M. A review of oral fungal infections and appropriate therapy. JADA 1995; 126: 63-72.
10 Cannon RD, Holmes AR, Mason AB et al. Oral candida: Clearance, colonization, or candidiasis? J Dent Res 1995; 74 (5): 1153-61.
11 Rautemaa R, Rusanen P, Richardson M et al. Optimal sampling site for mucosal candidosis in oral cancer patients is the labial sulcus. Journal of Medical Microbiology 2006; 55: 1447-51.
12 Sherman RG, Prusinski L, Ravenel MC et al. Oral candidosis. Quintessence Int 2002; 33: 521-32.
13 Scully C, Diz Dios P, Kumar N. Special care in dentistry. Philadelphia: Elsevier, 2007.
14 Wynn RL, Meiller TF, Crossley HL. Drug information handbook for dentistry, 8 edn. Ohio: Lexi-Comp, 2002.
15 Steele C, Leigh J, Swoboda R et al. Potrential role for a carbohydrate moiety in anti-candida activity of human oral epithelial cells. Infecti. Immun 2001; 69 (11): 7091-9.
16 Patton LL, Bonito AJ, Shugars DA. A systematic review of the effectiveness of antifungal drugs for prevention and treatment of oropharyngeal candidiasis in HIV-positive patients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2001; 92: 170-9.
17 Gage TW, Little JW. Mosby's 2007 dental drug consult. St.Louis, Missouri: Mosby, 2007.
18 Park NH, Kang MK. Antifungal and antiviral agents. In: Pharmacology and therapeutics for dentistry (Yagiela JA, Dowd FJ, Neidle EA, eds), 5 edn. New Delhi: Mosby, 2004: 660-6.
19 Arikan S, Ostrosky-Zeichner L, Lozano-Chiu M et al. In vitro activity of nystatin compared with those of liposomal Nystatin, Amphotericin B, and Fluconazole against clinical candida isolates. J Clin Microbiol 2002; 40 (4): 1406-12.
21 Fleischmann J. Topical and systemic antifungal and antiviral agents. In: Antibiotic and antimicrobial use in dental practice (Newman MG, Winkelhoff AJV, eds), 2 edn. Chicago: Quintessence books, 2001: 69-76.
22 Little JW, Falace DA, Miller CS et al. Dental management of the medically compromised patient, 7 edn. St. Louis: Mosby, 2008.
24 Epstein JB, Gorsky M, Caldwell J. Fluconazole mouthrinses for oral candidiasis in postirradiation, transplant, and other patients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2002; 93: 671-5.
25 Pemberton MN, Oliver RJ, Theaker ED. Miconazole oral gel and drug interactons. BDJ 2004; 196 (9): 529-31.
26 Neville BW, Damm DD, Allen CM et al. Oral & maxillofacial pathology, 2 edn. Pannsylvania: Saunders, 2002.
27 Willis AM, Coulter WA, Fulton CR et al. The influence of antifungal drugs on virulence properties of candida albicans in patients with diabetes mellitus. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2001; 91: 317-21.
28 Martin MV. The use of fluconazole and itraconazole in the treatment of candida albicans infections: a review. JAC 1999; 44: 429-37.
29 Bennett JE. Antimicrobial agents Antifungal agents. In: Goodman & Gilman's The pharmacological basis of therapeutics (Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds), 11 edn. New York: McGraw-Hill, 2006: 1225-41.
30 Suci PA, Tyler BJ. Action of chlorhexidine digluconate against yeast and filamentous forms in an early-stage candida albicans biofilm. Antimicrobial agents and chemotherapy 2002; 46 (11): 3522-31.
31 Barasch A, Safford MM, Marcus ID et al. Efficacy of chlorhexidine gluconate rinse for and prevention of oral candidiasis in HIV-infected children: a pilot study. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2004; 97: 204-7.
32 Yilmaz H, Bal BT. Effects of disinfectants on resilient denture-lining materials contaminated with staphylococcus aureus, streptococcus sobrinus, and candida albicans. Quintessence Int 2005; 36: 373-81.
33 Yang YL, Lo HJ, Hung CC et al. Effect of prolonged HAART on oral colonization with candida and candidiasis. BMC Infectious Disease 2006; 6: 1-4.
34 Ship JA, Vissink A, Challacombe SJ. Use of prophylactic antifungal in the immunocompromised host. Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2007; 103 (suppl 1): 6-11.
35 Pappas PG, Rex JH, Sobel JD et al. Guidelines for treatment of candidiasis. Clinical Infectious Diseases 2004; 38: 161-89.
36 Gallant JE, Moore RD, Chaisson RE. Prophylaxis for opportunistic infections in patients with HIV infection. BMJ 1994; 120: 932-44.
37 Playford EG, Webster AC, Sorrell TC et al. Antifungal agents for preventing fungal infections non-neutropenic critically ill and surgical patients : systematic review and meta-analysis of randomized clinical trials. JAC 2006; 57: 628-38.
38 Goldman M, Cloud GA, Smedema M et al. Does long-term itraconazole prophylaxis result in in vitro azole resistance in mucosal candida albicans isolates
27
from persons with advanced human immunodeficiency virus infections? Antimicrobial agents and chemotherapy 2000; 44 (6): 1585-7.
39 Lhortholary O, Dupont B. Antifungal prophylaxis during neutropenia and immunodeficiency. Clinical Microbiology Reviews 1997; 10 (3): 477-83.
40 Ernst EJ, Klepser ME, Pfaller MA. Post antifungal effects of echinocandin, azole, polyene antifungal agent against candida albicans and cryptococcus neoformans. Antimicrobial agents and chemotherapy 2000; 44 (4): 1108-11.
41 Chryssanthou E, Sjolin J. Post-antifungal effect of amphotericin B and variconazole against aspergillus fumigatus analysed by an automated method based on fungal CO2 production : dependence on exposure time and drug consentration. JAC 2000; 54: 940-3.
42 Vitale RG, Meis JFGM, Mouton JW et al. Evaluation of the post-antifungal effect (PAFE) of amphotericin and nystatin against 30 zygomyetes using two different media. JAC 2003; 52: 65-70.
43 Anil S, Ellepola ANB, Samaranayake LP. Post-antifungal effect of polyene, azole and DNA-analogue against oral candida albicans and candida tropicalis isolates in HIV disease. J Oral Pathol Med 2001; 30: 481-8.