Referat BATUK KRONIK BERULANG PADA ANAK Oleh: 1. M. AZMAN PASHA (10700182) 2. PANJI SUARCANA GAMA (10700080) Dosen Pembimbing: Dr. Endah Tjiptaningsih Sp.A SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD DR. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Referat
BATUK KRONIK BERULANG PADA ANAK
Oleh:
1. M. AZMAN PASHA (10700182)
2. PANJI SUARCANA GAMA (10700080)
Dosen Pembimbing:
Dr. Endah Tjiptaningsih Sp.A
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD DR. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Batuk merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh (dalam sistem
respirasi) yang alami yang berupa suatu reflex primitif saluran nafas untuk
mengeluarkan sekret berlebih atau kotoran dan benda asing yg masuk ke jalan
nafas. Batuk tidak selalu berarti suatu hal yang patologis, bisa juga merupakan
suatu hal yang fisiologis. Pada orang dewasa dikatakan bahwa volume dahak
yang dikeluarkan dalam tiap batuk sekitar 30ml. Sebuah studi yang mengukur
batuk secara obyektif menemukan bahwa anak sehat dengan rerata umur 10
tahun biasanya mengalami 10x batuk (rentang hingga 34) dalam 24 jam,
sebagian besar batuk terjadi pada siang hari1. Angka ini meningkat selama
infeksi respiratorik, yang bisa terjadi hingga 8x lipat per tahun pada anak sehat.
Walaupun sebagian besar anak batuk tidak mengalami kelainan paru yang
serius, batuk dapat sangat mengganggu dan sulit untuk diatasi. Sampai batas
tertentu batuk kronik pada anak adalah normal dan mempunyai prognosis yang
baik. Jika batuk kronik yang terjadi sangat sering atau berat, maka sangat
mungkin terdapat penyakit yang mendasarinya2.
Pada dasarnya batuk sendiri merupakan suatu reflex tubuh yang harus
dipelihara, karena fungsinya yang sangat penting bagi tubuh. Respon batuk
dapat terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk di saluran nafas
maupun di luar saluran nafas. Rangsangan yang terjadi bisa akibat rangsangan
mekanik maupun kimiawi. Reseptor batuk di saluran nafas merupakan ujung
akhir dari n. vagus (N.X) yang berada pada sel – sel rambut getar dari faring
sampai bronkiolus, hidung. Yang berada di luar saluran nafas antara lain sinus –
sinus paranasal, saluran telinga dan memban timpani, pleura, lambung, perikard
dan diafragma.
Jenis rangsangan yang dapat menimbulkan timbulnya respon batuk
antara lain:
1. Udara dingin
2. Benda asing (contoh: debu, serbuk sari, partikel polutan, dll)
3. Radang atau adanya edema saluran nafas
4. Adanya tekanan pada saluran nafas (contoh: tumor, kanker, dll)
5. Jumlah Lendir yang banyak pada saluran nafas
6. Kontraksi berlebih pada saluran nafas (contoh: asma)
Definisi batuk kronik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah
batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang
mengambil batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu.1 Unit Kerja Koordinasi
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat
batasan batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama
dengan 2 minggu. sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang
dari 2 minggu. Selain batuk akut dan kronik beberapa literatur menyebutkan
pembagian lain yaitu batuk sub akut tetapi UKK Respirologi tidak menggunakan
istilah batuk sub akut. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang
(BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu
dan/atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut.7
Terkadang sulit untuk menentukan masalah yang memicu terjadinya
batuk kronik pada pasien, tetapi yang tersering adalah batuk kronik dikarenakan
post nasal drip, asma dan refluks asam yang merupakan gejala khas dari
gastroesophageal reflux disease (GERD). Batuk kronik biasanya menghilang
sesudah faktor pemicu dapat dihilangkan.4
Etiologi
Dalam menentukan diagnosis etiologi batuk kronik perlu
dipertimbangkan faktor usia. (Tabel 1)
Tabel 1. Etiologi Batuk Kronik Berdasarkan Usia7
Bayi Anak (usia muda) Anak (usia lebih tua)
Kongenital Aspirasi Asma
- Trakeomalasia Pasca infeksi virus Rokok (aktif)
- Vascular ring Asma Postnasal drip
Infeksi: Tuberkulosis Pasca infeksi virus
- Pertusis, virus, Pertusis Infeksi
- Klamidia OMSK* Tuberkulosis
Asma GER* OMSK*
Pneumonia aspirasi Bronkiektasis Bronkiektasis
GER* Psikogenik
Rokok pasif Tumor
*OMSK: otitis media supurativa kronik;
GER: gastro-esophageal reflux
Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai
etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik merupakan
pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator sebagai obat
utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan tertentu
diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik, fisioterapi, dan
lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi dalam 2 kelompok
besar yaitu farmakologik dan non farmakologik. 8
Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama dan obat
suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik, bronkodilator, dan
antiinflamasi, sedangkan yang termasuk suportif adalah mukolitik dan
antitusif.10 Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi bakteri maka
pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang diberikan
tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang diduga bakteri
maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan pada rinosinusitis
sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan asam klavulanat serta
pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid dan lain-lain. Selain
pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu diperhatikan lamanya pemberian
antibiotik misalnya faringitis bakteri cukup dengan 7 hari sedangkan pada
rinosinusitis diberikan selama 3 minggu.11 Penyebab batuk kronik yang sering
adalah asma sehingga pengobatan utama pada saat serangan asma adalah
bronkodilator.14 Pada asma terjadi keadaan bronkokonstriksi akibat pajanan
alergen pada saluran respiratorik sehingga terjadi obstruksi dengan akibat
hipoksemia dan hiperkarbia yang harus ditatalaksana sesegera mungkin untuk
mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.15 Bronkodilator yang digunakan
sebaiknya dalam bentuk inhalasi karena mempunyai awitan yang cepat,
langsung menuju sasaran, dosis kecil, dan efek samping kecil. Pada serangan
asma, bronkodilator yang digunakan adalah yang termasuk dalam golongan
short acting sedangkan pada tatalaksana jangka panjang digunakan long acting
beta-2 agonist (sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid
inhalasi). Bronkodilator yang sering digunakan pada serangan asma adalah
salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan ipratropium bromida, sedangkan pada
tatalaksana jangka panjang adalah formoterol, salmeterol, dan bambuterol.9
Pada batuk kronik yang didasari inflamasi sebagai faktor etiologi seperti rinitis
alergika dan asma pemberian antiinflamasi merupakan pilihan utama. Pada
rinitis alergika antiinflamasi yang dianjurkan adalah kortikosteroid intranasal
selama 4-8 minggu. Pemberian kortikosteroid intranasal juga diberikan pada
rinosinusitis yang disertai dengan alergi selama 3 minggu.11 Penggunaan
antiinflamasi untuk asma terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu untuk
tatalaksana serangan asma dan tatalaksana di luar serangan asma. Untuk
mengatasi serangan asma, antiinflamasi (kortikosteroid) yang digunakan
umumnya sistemik yaitu pada serangan asma sedang dan serangan asma berat.
Pada serangan asma ringan umumnya tidak diberikan kortikosteroid kecuali
pernah mengalami serangan berat yang memerlukan perawatan sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid pada asma di luar serangan diberikan secara inhalasi
yaitu pada asma episodik sering dan asma persisiten. Pada keadaan tersebut
umumnya kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan long acting beta-2
agonist.7
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti
mukolitik dan antitusif.5,8 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme yaitu
meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,
menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas yang
dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis, antitusif
dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas mukolitik dapat
pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid dari sputum sehingga
sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif merupakan obat suportif lain yang
diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif terutama bagi anak-
anak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan
membuat sputum tidak dapat keluar karena menekan refleks batuk yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan
kerja silia.8 Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat
terjadi apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena
batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara umum
pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan.8 Pada asma pemberian
antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadan asmanya.7,9
Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan non
farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian lingkungan, dan
hidrasi yang cukup.8,10 Pada penyakit yang hanya timbul akibat adanya pajanan
alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen merupakan hal yang harus
dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap rokok, tungau debu rumah, atau
makanan tertentu yang menyebabkan alergi. Selain itu pengaturan lingkungan
seperti kebersihan lingkungan dan pengaturan suhu serta kelembaban
merupakan hal yang perlu diperhatikan. 7,9 Dengan suasana lingkungan yang
baik maka tatalaksana batuk kronik menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup
dapat berperan sebagai faktor yang memudahkan terjadinya pengeluaran sekret
lebih baik. Dengan hidrasi yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol
dan menurunkan viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan
gel sehingga proses pengeluaran sekret menjadi lebih mudah.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan
Pada bahasan referat ini penulis membatasi pembahasan pada Batuk Kronik
Berulang secara garis besar dan asma bronkial pada anak.
2.2 Pengertian
Pada diskusi Kelompok Pulmonologi Anak dalam Kongres Nasional
Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) V tahun 1981 di Medan telah disepakati
bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk
yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan / atau batuk yang berulang
sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut, dengan atau tanpa disertai gejala
respiratorik atau non-respiratorik lainnya5.
Penyebab batuk tersering pada anak yang dihadapi dalam praktek sehari
– hari adalah infeksi respiratorik akut (IRA) yang sebagian besar penyebabnya
adalah virus4. Sebagian IRA karena virus tertentu dapat menyebabkan batuk
yang berkepanjangan yang disebut post infectious cough. Bila seorang anak
mengalami keadaan ini berulang-ulang akan terlihat sebagai batuk kronik.
Terdapat kesulitan dalam membedakan kedua hal tersebut, maka dalam
bidang Ilmu Kesehatan Anak dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB) atau
chronic recurrent cough. Sebenarnya istilah itu terdiri dari dua pengertian
dengan kata penghubung dan/ atau, yaitu tepatnya batuk kronik dan atau batuk
berulang. Pengertiannya bila terpenuhi salah satu saja maka sudah bisa
dimasukkan sebagai Batuk Kronik Berulang.
2.3 Patofisiologi Batuk
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di
luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di
laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang
pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor di dapat di
laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga
ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan
diafragma.6
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang
mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga
rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus
trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus,
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma.4
Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di
medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh
serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain – lain
menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot – otot laring, trakea, bronkus,
diafragma, otot – otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor inilah tempat
mekanisme batuk terjadi.4
Gambar 1. Reseptor batuk.
Diunduh dari : http://www.asthma.partners.org/Images/CoughReceptors.gif
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :7
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring
dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,