1 Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia Siauw Tiong Djin Pendahuluan Keberadaan dan perkembangan Ureca – Universitas Res Publica -- tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia - dalam kancah politik Indonesia. Perkembangan Baperki sangat tergantung pula atas dasar dan sikap perjuangan serta sepak terjang ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan dan para teman seperjuangannya. Sejak Siauw Giok Tjhan terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik pada tahun 1932 di Surabaya, dunia pendidikan untuk komunitas Tionghoa sudah menjadi perhatiannya. Ini ternyata berupa salah satu komitmen perjuangan jangka panjangnya. Oleh karena itu untuk mengerti mengapa Ureca berkembang sebagai sebuah universitas yang unik, lain dari yang lain untuk ukuran Indonesia, bahkan internasional, kita perlu meneropong sejarah perjuangan Siauw. Siauw masuk ke dalam gerakan politik pada usia muda di zaman penjajahan Belanda karena terpanggil untuk mencari jalan keluar untuk komunitas-nya, komunitas Tionghoa di Surabaya. Pada ketika itu jarang sekali pemuda Tionghoa, terutama dari kelas menengah atas seperti Siauw, yang memiliki kesadaran untuk ber-politik, apalagi terjun dalam kegiatan mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko besar karena penjajah Belanda bersikap ganas terhadap para pejuang kemerdekaan. Para guru politiknya, di antaranya Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Liem Koen Hian dan Tan Ling Djie menanamkan kesadaran bahwa dalam menghadapi masalah, yang harus dilaksanakan adalah pencarian dan realisasi jalan keluar dari masalah yang dihadapi, bukan hanya sekedar menentang apa yang tidak berkenan dan merugikan golongan yang dibela. Sikap perjuangan membangun inilah yang menjadi langgam kerja Siauw sebagai seorang politikus dan pemimpin organisasi massa. Sejak zaman penjajahan ia menyadari bahwa penyelesaian masalah Tionghoa merupakan bagian pembangunan bangsa – nasion – Indonesia. Kemerdekaan mutlak dan pembangunan masyarakat adil dan makmur
28
Embed
Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan
dalam Pembangunan Nasion Indonesia
Siauw Tiong Djin
Pendahuluan
Keberadaan dan perkembangan Ureca – Universitas Res Publica -- tidak
bisa dipisahkan dari kehadiran Baperki – Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia - dalam kancah politik Indonesia.
Perkembangan Baperki sangat tergantung pula atas dasar dan sikap
perjuangan serta sepak terjang ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan dan para
teman seperjuangannya.
Sejak Siauw Giok Tjhan terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik
pada tahun 1932 di Surabaya, dunia pendidikan untuk komunitas Tionghoa
sudah menjadi perhatiannya. Ini ternyata berupa salah satu komitmen
perjuangan jangka panjangnya.
Oleh karena itu untuk mengerti mengapa Ureca berkembang sebagai
sebuah universitas yang unik, lain dari yang lain untuk ukuran Indonesia,
bahkan internasional, kita perlu meneropong sejarah perjuangan Siauw.
Siauw masuk ke dalam gerakan politik pada usia muda di zaman penjajahan
Belanda karena terpanggil untuk mencari jalan keluar untuk komunitas-nya,
komunitas Tionghoa di Surabaya. Pada ketika itu jarang sekali pemuda
Tionghoa, terutama dari kelas menengah atas seperti Siauw, yang memiliki
kesadaran untuk ber-politik, apalagi terjun dalam kegiatan mendukung
kemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko besar
karena penjajah Belanda bersikap ganas terhadap para pejuang
kemerdekaan.
Para guru politiknya, di antaranya Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Liem Koen
Hian dan Tan Ling Djie menanamkan kesadaran bahwa dalam menghadapi
masalah, yang harus dilaksanakan adalah pencarian dan realisasi jalan
keluar dari masalah yang dihadapi, bukan hanya sekedar menentang apa
yang tidak berkenan dan merugikan golongan yang dibela. Sikap
perjuangan membangun inilah yang menjadi langgam kerja Siauw sebagai
seorang politikus dan pemimpin organisasi massa.
Sejak zaman penjajahan ia menyadari bahwa penyelesaian masalah
Tionghoa merupakan bagian pembangunan bangsa – nasion – Indonesia.
Kemerdekaan mutlak dan pembangunan masyarakat adil dan makmur
2
merupakan penyelesaian yang menjamin keamanan dan ketentraman
hidup komunitas Tionghoa di Indonesia.
Sejak awal kemerdekaan Siauw dipilih mewakili komunitas Tionghoa di
badan-badan legislatif, turut membuahkan berbagai undang-undang yang
dianggapnya conducive untuk Indonesia secara keseluruhan dan Tionghoa
khususnya. Landasan perjuangannya adalah Manifesto Politik 1945 yang
berjanji mengajak semua warga negara Indonesia keturunan asing untuk
menjadi patriot Indonesia sejati, membangun nasion Indonesia.
Baperki lahir sebagai respons positif terhadap berkembangnya rasisme dan
keinginan sebagian tokoh politik untuk meng-asing-kan sebanyak mungkin
orang Tionghoa di Indonesia. Baperki mencanangkan berbagai jalan keluar
politik dan sosial untuk mengikis habis rasisme yang menurutnya adalah
warisan kolonialisme.
Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mengasuh dan
membina ratusan sekolah dan universitas Baperki yang kemudian
dinamakan Universitas Res Publica (Ureca), pun lahir sebagai respons positif
terhadap diskriminasi rasial dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah dan
universitas Baperki menampung puluhan ribu siswa Tionghoa yang tidak bisa
ditampung untuk mengejar ilmu sebagai bekal hidupnya.
Kegiatan Politik Siauw Giok Tjhan hingga terbentuknya Baperki
Pada tahun 1932, Siauw menjadi yatim piatu pada waktu berusia 18 tahun.
Ketika ia masih duduk di tingkat terakhir pendidikan Belanda elite – HBS – di
Surabaya, di sekolah mana, beberapa tokoh nasionalis Indonesia juga
bersekolah, antara lain Bung Karno dan Ruslan Abdulgani.
Sebenarnya setelah menjadi yatim piatu, Siauw tidak lagi mampu
menyelesaikan pendidikan HBS yang uang sekolahnya tinggi. Karena prestasi
akademik-nya, kepala sekolah dan beberapa guru HBS bersepakat memberi
Siauw beasiswa selama kurang lebih enam bulan, sehingga ia bisa
menyelesaikan HBS.
Setelah lulus HBS, mengingat pengalamannya sebagai seorang yang hampir
terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tidak memiliki biaya, ia
terdorong untuk membantu sebanyak mungkin teman-teman Tionghoa
sebaya di daerah Kapasan -- di mana ia lahir dan tumbuh besar – yang tidak
berkesempatan untuk sekolah. Dengan gotong royong, ia berhasil
mendirikan “sekolah” – tingkat sekolah menengah -- cuma-cuma untuk
mereka yang tidak bisa memperoleh pendidikan. Siauw sendiri turut
mengajar dan berfungsi sebagai “kepala sekolah”. Terbentur oleh berbagai
masalah praktis, Siauw kemudian mengubah program pendidikan
sekolahnya, menuju ke arah ketrampilan. Usaha selama setahun ini tidak
berjalan baik, karena sepenuhnya tergantung atas tenaga guru yang
3
sukarela. Kesibukan dan kebutuhan untuk mengongkosi penghidupan para
guru sukarela terpaksa menghentikan “sekolah” tersebut. Ternyata komitmen
dalam bidang pendidikan ini tetap melekat di benak Siauw dan menjadi
bagian perjuangan politiknya.
Sebagai yatim piatu, ruang lingkup persahabatan Siauw pun berubah. Ia
lebih banyak berkumpul dengan mereka yang tidak mampu. Dan ia lalu
terdorong untuk masuk study clubs yang dipimpin oleh Dr Sutomo. Dan di
sinilah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa, yang
menanamkan ke-Indonesia-an dalam benak Siauw, dasar perjuangan politik
yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya 50 tahun kemudian.
Liem Koen Hian mengajaknya bekerja sebagai wartawan. Permulaan di
harian Sin Tit Po yang ia pimpin. Kemudian ia mengenalkan Siauw dengan
Kwee Hing Tjiat yang dimodali Oei Tjong Houw, putra Oei Tiong Ham –
seorang Raja Gula terkenal di Hindia Belanda -- untuk memulai sebuah
harian di Semarang. Harian Matahari, yang dipimpin oleh Kwee mulai terbit
di awal 1934. Siauw pindah dari Sin Tit Po Surabaya ke Matahari di Semarang
pada tahun 1934.
Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.
Program politiknya menghebohkan komunitas Tionghoa. Ia mengajak
komunitas Tionghoa untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya,
menolak arus harian Sin Po yang mengajak komunitas Tionghoa untuk tetap
menganggap Tiongkok sebagai negara leluhur. Sekaligus menolak aliran
Chung Hua Hui yang mengajak komunitas Tionghoa untuk membela
kehadiran penjajah Belanda di Indonesia. Siauw, yang sudah berkenalan
dengan Liem dan menjadi salah seorang pendukungnya, di usia 18 tahun,
menjadi salah satu pendiri PTI termuda.
Kwee Hing Tjiat adalah salah satu pendukung Liem. Ia-pun bersependapat
bahwa komunitas Tionghoa, terutama peranakannya, lahir, besar dan
meninggal di Indonesia. Tiongkok bukan tempat yang cocok untuk Tionghoa
Indonesia. Penjajahan Belanda bukan jalan keluar jangka panjang yang
menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Indonesia. Satu-
satunya jalur selamat untuk Tionghoa Indonesia adalah mendukung gerakan
kemerdekaan Indonesia. Indonesia yang merdeka adalah tempat abadi
untuk komunitas Tionghoa.
Sikap dan kebijakan PTI ternyata ditentang oleh sebagian besar komunitas
Tionghoa yang memiliki kesadaran politik. Ini wajar. Pada waktu itu tidak
terbayang bahwa Indonesia bisa mencapai kemerdekaan. Kekuatan
penjajah Belanda dianggap absolut. Tiongkok dianggap negara besar yang
cukup kuat, apalagi kebijakan kewarganegaraannya adalah: setiap orang
yang lahir sebagai Tionghoa tetap warga negara Tiongkok.
4
Melalui terompet media PTI, Sin Tit Po dan Matahari, ide menerima Indonesia
sebagai tanah air dan mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia disebar
luaskan ke komunitas Tionghoa peranakan. Ketika Liem Koen Hian pindah ke
Jakarta pada tahun 1935, pimpinan harian Sin Tit Po pindah ke tangan Tan
Ling Djie, yang baru kembali dari negeri Belanda. Tan bersama Tjoa Sik Ien,
mendirikan SPTI – Serikat Persatuan Tionghoa Indonesia di Belanda, yang
mencerminkan sikap PTI. Tjoa, yang kemudian menjadi pemilik percetakan
Sin Tit Po pun kembali ke Surabaya dari negeri Belanda sekitar tahun 1935.
Ke-empat tokoh Tionghoa ini, Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie
dan Tjoa Sik Ien menjadi guru-guru politik Siauw Giok Tjhan.
Kwee tidak berumur panjang. Pada tahun 1939 ia meninggal dunia. Siauw
menggantikannya sebagai Pemimpin Redaksi harian Matahari. Posisi inilah
yang memungkinkan Siauw kerap berhubungan dengan para tokoh
nasionalis baik yang sedang diasingkan di luar pulau Jawa atau yang
berada di pulau Jawa, antara lain Sukarno, Hatta, Moh. Yamin, Tjipto
Mangunkusumo, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Achmad Subardjo dll. Tulisan-tulisan
mereka dimuat dalam harian Matahari.
Di zaman pendudukan Jepang, kegiatan mereka sebagai wartawan terhenti.
Karena sikap anti Jepang, mereka menjadi buronan Jepang. Liem tetap
bermukim di Jakarta. Tan bersembunyi di Sukabumi. Siauw menetap di
Malang, menjadi pemilik toko kelontong kecil sambil menyusun kekuatan
politik dan berhubungan dengan laskar-laskar pemuda nasionalis di Jawa
Timur.
Menjelang kemerdekaan di awal 1945, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie , Tjoa Sik
Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu di Surabaya untuk merumuskan
kepentingan Tionghoa dalam negara kemerdekaan yang akan dibentuk.
Liem Koen Hian adalah anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia
yang dibentuk oleh Jepang dan diketuai oleh Sukarno. Formulasi ke empat
tokoh Tionghoa ini tercermin dalam pidato Liem di Badan tersebut.
Di samping itu, dibicarakan juga program politik yang harus ditempuh
komunitas Tionghoa di alam kemerdekaan. Mereka sepenuhnya bersepakat
bahwa komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari nasion
Indonesia yang akan mengisi kemerdekaan. Harus pula diperjuangkan
keberadaan Tionghoa sebagai warga negara yang memiliki hak dan
kewajiban sama dengan semua suku yang bergabung dalam nasion
Indonesia.
Oleh karena itu diputuskan untuk tidak membentuk PTI lagi. Kegiatan politik
harus dilaksanakan melalui partai-partai politik nasional. Inilah yang
menyebabkan Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan pada tahun
1945 masuk dalam Partai Sosialis. Tan Ling Djie menjadi Sekretaris Jendral
yang sangat berpengaruh di partai yang diketuai oleh Amir Sjarifuddin.
5
Siauw, Tjoa dan Oei Gee Hwat (salah satu anggota pengurus PTI lainnya)
dan Go Gien Tjwan, kawan dekat Siauw dari Malang, menduduki posisi-posisi
yang berpengaruh dalam dewan pimpinan partai tersebut. Tan dan Siauw
mewakili Partai Sosialis dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP.
Kehadiran mereka dalam kancah nasional dan KNIP – Komite Nasional
Indonesia Pusat, lembaga legislatif di awal kemerdekaan, berhasil
memperjuangkan keluarnya UU Kewarganegaraan 1946, yang sesuai
dengan apa yang diperjuangkan PTI sejak ia berdiri, yaitu semua orang yang
lahir di Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa dll,
menjadi warga negara Indonesia, kecuali mereka menolak
kewarganegaraan Indonesia.
Partai Sosialis adalah partai yang paling berpengaruh di awal kemerdekaan
Indonesia. Persatuan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin di partai tersebut
mendominasi pemerintahan RI dari 1945 hingga 1948. Siauw menjadi
menteri negara di kabinet Amir Sjarifuddin dengan tugas khusus menangani
masalah minoritas, yang di awal kemerdekaan merupakan senjata politik
pihak Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Akan tetapi, sebagian besar komunitas Tionghoa, yang menjadi korban
ekses-ekses revolusi kemerdekaan yang mengandung rasisme – sebagai
warisan penjajahan kolonialisme yang senantiasa melaksanakan kebijakan
divide and rule – tetap menolak ajakan para tokoh Tionghoa di Partai Sosialis
untuk mendukung RI. Mereka menganggap lebih aman mendukung
kembalinya penjajahan Belanda atau tetap menjadi warga negara Tiongkok,
yang setelah Perang Dunia II berakhir menjadi salah satu Big Five di PBB.
Sebelum peristiwa Madiun pada tahun 1948, Partai Sosialis bergabung dalam
FDR - Front Demokrasi Rakyat dibawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Ketika
kelompok-kelompok yang tadinya bergabung dalam FDR berhaluan kiri
berkesempatan membentuk partai-partai politik pada tahun 1949, Siauw
mengambil keputusan untuk tidak berpartai. Dengan demikian
kehadirannya di badan legislatif – parlemen (DPR) sebagai wakil minoritas
yang tidak berpartai. Bertentangan dengan tuduhan para lawan politiknya,
Siauw tetap tidak berpartai hingga ia ditahan oleh rezim Suharto pada
tanggal 4 November 1965.
Sikap ini diambil karena ia merasakan kepentingan partai politik nasional
kerap berbeda dengan kepentingan minoritas Tionghoa yang ia
perjuangkan. Disiplin partai membatasi ruang lingkupnya sebagai wakil
minoritas Tionghoa di Parlemen.
Walaupun komunitas yang ia wakili dan perjuangkan kepentingannya kerap
menolak ajakannya, ia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa Indonesia
adalah tanah air komunitas Tionghoa dan penyelesaian masalah minoritas
adalah bagian dari pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan
6
makmur. Ia tetap berjuang di parlemen mengukuhkan berbagai UU dan
Peraturan Pemerintah (PP) yang menguntungkan Indonesia secara
keseluruhan dan dengan gigih menentang berbagai bentuk kebijakan rasis.
Sikap politik ini menyebabkannya diterima oleh sebagian besar politikus
nasional. Ia berhasil membentuk sebuah Fraksi di Parlemen yang cukup
berpengaruh, dinamakan Fraksi Nasional Progresif (Naspro) beranggotakan
partai-partai nasionalis kecil, seperti Murba, PIR, PRN, Acoma, SKI dan tokoh-
tokoh tidak berpartai seperti Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin.
Selama zaman Demokrasi Parlementer (1949-1959), Naspro dipimpin oleh
Siauw. Beberapa anggota fraksi ini menjadi menteri-menteri di berbagai
kabinet pemerintah di zaman itu.
Lahirnya dan Berkembangnya Baperki
Demokrasi Parlementer, setelah berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata membuahkan
pergantian kabinet secara berturut-turut. Hampir setiap tahun kabinet jatuh.
Kabinet - kabinet dibentuk atas dasar kekuatan partai politik yang mampu
memperoleh dukungan berbagai partai politik di parlemen. Kekuasaan
bersandar atas dana partai dan kekuatan ekonomi para donatur partai.
Ini mendorong keinginan para tokoh politik untuk berdagang dengan dalih
mengumpulkan dana untuk partai-nya atau memberi berbagai fasilitas
kepada mereka yang memiliki kekuasaan politik. Akibatnya timbullah
keinginan mengambil alih posisi para pedagang Tionghoa yang sudah sejak
zaman penjajahan Belanda menguasai beberapa bidang perdagangan
terutama transportasi, penggilingan padi, distribusi, ekspor dan impor.
Keluarlah berbagai kebijakan rasis yang ditujukan memperkecil ruang
lingkup pedagang Tionghoa. Siauw berhasil memperoleh dukungan Fraksi
Nasional Progresif yang ia pimpin dan beberapa partai lainnya di parlemen
untuk melawan arus rasisme ini, dengan dalih para pedagang Tionghoa
adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sama
dengan mereka yang dinamakan “asli” atau “pribumi”.
Ironisnya, keberhasilan Siauw dan para pendukungnya ini melahirkan arus
baru, yaitu kebijakan meng-asing-kan semua Tionghoa, sehingga berbagai
izin perdagangan tidak berlaku lagi untuk para pedagang Tionghoa.
Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada
tahun 1953 dengan tujuan membatalkan UU Kewarganegaraan 1946 yang
bersandar atas stelsel pasif (semua yang lahir di Indonesia menjadi WNI
kecuali bila menolak) dan mengubahnya dengan stelsel aktif (semua
keturunan Tionghoa dianggap asing kecuali menyatakan ingin menjadi WNI
dengan syarat ia memiliki bukti bahwa ia dan ayahnya lahir di Indonesia).
7
Lagi-lagi, Siauw memperoleh dukungan Fraksi Naspro dan para anggota
parlemen lainnya sehingga berhasil memaksa pemerintah menarik kembali
RUU kewarganegaraan tersebut. UU kewarganegaraan 46 tetap berlaku.
Pada waktu yang bersamaan PDTI – Partai Demokrat Tionghoa Indonesia
yang dipimpin oleh Thio Thiam Tjong beranggapan partai-nya tidak efektif
membela kepentingan komunitas Tionghoa. Pimpinan PDTI, termasuk Oei
Tjoe Tat, ingin mendirikan sebuah organisasi massa Tionghoa yang bisa
memperoleh dukungan luas sehingga mampu melawan arus rasisme di
berbagai bidang, terutama melawan arus politik yang ingin meng-asing-kan
WNI keturunan Tionghoa. Terbentuklah panitia pembentukan Baperwatt –
Badan Permusyawaratan Warga Negara turunan Tionghoa pada awal
Maret tahun 1954.
Panitia menginginkan semua tokoh Tionghoa yang berpengaruh terutama
mereka yang duduk di Parlemen berpartisipasi di dalamnya. Mereka melihat
keunggulan dan keberhasilan Siauw di Parlemen. Oleh karenanya para
anggota panitia pembentukan Baperwatt mencalonkan Siauw sebagai
ketua umumnya.
Sampai saat itu Siauw selalu menolak ajakan masuk ke dalam berbagai
organisasi Tionghoa atau mendirikan organisasi Tionghoa baru. Ia tetap
memegang janji yang dibuat bersama dengan ketiga tokoh Tionghoa
lainnya, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien di Surabaya pada
tahun 1945 untuk tidak lagi mendirikan organisasi berdasarkan etnisitas
Tionghoa.
Akan tetapi Siauw merasakan perjuangannya di Parlemen tidak
memperoleh dukungan kongkrit komunitas Tionghoa yang ia wakili dan bela.
Ia tidak memiliki jalur untuk mempengaruhi sebagian besar komunitas
Tionghoa. Ia merasa menjadi pejuang yang terpisah dari massanya. Oleh
karenanya, ketika undangan panitia pembentukan Baperwatt tiba, ia
bersama Go Gien Tjwan yang juga diundang, menyatakan bersedia datang.
Tetapi mereka berdua memiliki agenda lain.
Pada rapat pembentukan Baperwatt tanggal 12 dan 13 Maret itulah, Siauw
berhasil meyakinkan para peserta untuk membatalkan rencana membentuk
Baperwatt tetapi mendirikan Baperki – Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia. Argumentasi Siauw diterima: Komunitas
Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. Penyelesaian masalah
Tionghoa adalah bagian dari upaya membangun nasion Indonesia.
Masalah Kewarganegaraan Indonesia hanya bisa diselesaikan melalui
perjuangan politik yang membutuhkan dukungan partai-partai politik
Indonesia. Rasisme hanya bisa dikikis habis bilamana warisan kolonialisme
dihancurkan dan sikap mayoritas Indonesia diubah melalui perjuangan dan
pendidikan politik. Untuk meraih keberhasilan yang diinginkan, Siauw
8
berargumentasi, Baperki harus berbentuk organisasi nasional, bukan
organisasi Tionghoa.
Rapat pembentukan tidak mengikutsertakan tokoh-tokoh nasional.
Akibatnya semua anggota pengurus Baperki yang diketuai oleh Siauw Giok
Tjhan tidak bisa tidak adalah tokoh-tokoh Tionghoa yang hadir dalam rapat
pembentukan. Siauw ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa Baperki
adalah organisasi Tionghoa. Keesokan harinya ketika cabang Jakarta Raya
dibentuk, Siauw mendorong kedua teman akrab-nya, tokoh-tokoh nasional,
Sudarjo Tjokrosisworo - ketua Persatuan Wartawan Indonesia - dan DS
Diapari – pimpinan SKI, anggota Fraksi Naspro - untuk menjadi ketua dan
wakil ketua. Pembentukan cabang-cabang Baperki di berbagai tempat
juga mengikutsertakan beberapa tokoh nasional dan etnis keturunan asing
lainnya. Akan tetapi animo besar pembentukan dan partisipasi dalam
kepengurusan Baperki hanya datang dari komunitas Tionghoa. Akhirnya
Baperki lahir dan berkembang sebagai organisasi massa Tionghoa. Dalam
hal ini Siauw gagal membentuk organisasi nasional. Walaupun nama
organisasi dan program politik-nya mencerminkan sifat nasional Indonesia,
sebagian terbesar pengurus dan anggotanya adalah Tionghoa. Dan Baperki
tercatat dalam sejarah sebagai organisasi massa Tionghoa.
Keberadaan Baperki menanggulangi masalah yang sebelumnya dihadapi
Siauw yaitu kegiatan dan aspirasi politik Siauw di parlemen sering kali tidak
berhubungan dengan Komunitas Tionghoa. Sebagian besar komunitas
Tionghoa tidak mengerti apa dan dampak yang diperjuangkan Siauw.
Baperki sebagai organisasi massa merupakan aparat dan alat yang ampuh
untuk mengubah ini.
Ketika Pemilu pertama pada tahun 1955 direncanakan, Siauw didukung
pimpinan Baperki memutuskan untuk ikut, mewakili komunitas Tionghoa. Kali
ini Siauw tidak lagi memaksakan posisi Baperki sebagai organisasi Nasional -
non Tionghoa. Tjoa Sik Ien yang tadinya masuk dan mendukung Baperki
menentang keputusan ini. Perdebatan antara Tjoa dan pimpinan Baperki
menyebabkan Tjoa pada tahun 1955 menyatakan tidak aktif di Baperki. Ia
baru aktif kembali pada tahun 1964, memimpin Yayasan Pendidikan dan
Kebudayaan Baperki Jawa Timur.
Baperki ikut pemilu berdasarkan pertimbangan praktis. Siauw beranggapan
bilamana perwakilan minoritas diserahkan sepenuhnya ke partai-partai
politik, aspirasi komunitas Tionghoa tidak akan sepenuhnya disuarakan di
Parlemen. Program partai-partai politik tidak selamanya sama dengan
kepentingan minoritas. Ikutnya Baperki dalam pemilu, menurutnya,
menghilangkan korupsi perwakilan semacam itu.
Ikutlah Baperki dalam pemilu pertama dan berhasil memperoleh satu kursi
untuk Parlemen (didisi oleh Siauw sendiri) dan dua kursi di Konstituante (Siauw
9
dan Oei Tjoe Tat). Akan tetapi setelah Siauw mengajukan interplasi di
parlemen, lagi-lagi didukung oleh Fraksi Naspro dan para anggota parlemen
lainnya, Baperki berhasil mendapat tambahan perwakilan, dua kursi di
parlemen dan sembilan kursi di Konstituante.
Kampanye Baperki di seluruh Indonesia digunakan Siauw dan para tokoh
Baperki lainnya untuk memperkenalkan Baperki dan mendidik komunitas
Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan menjadi
warga negara Indonesia. Kesempatan yang tidak dimilikinya sebelum
Baperki berdiri. Kampanye bisa dikatakan berhasil karena sebagian besar
penduduk Tionghoa yang berhak berpartisipasi dalam pemilu memilih
Baperki.
Keberadaan Baperki yang kemudian didukung oleh Berita Baperki dan
Harian Republik sebagai terompet-nya mempercepat proses peng-
Indonesia-an komunitas Tionghoa dengan konsep integrasi, yaitu
berpartisipasi dalam semua kegiatan pembangunan nasion Indonesia tanpa
menanggalkan ke Tionghoa-an baik itu berupa nama, kultur maupun ciri-ciri
biologis.
Dan perjuangan Siauw dan para rekannya di Parlemen dan Konstituante kini
lebih banyak diikuti dan didukung oleh massa Tionghoa. Pelaksanaan
kebijakan rasis di daerah-daerah lebih cepat diperdebatkan di Parlemen.
Dan peraturan-peraturan baru yang berdampak terhadap usaha dagang
maupun keberadaan komunitas Tionghoa di berbagai lokasi-pun lebih
mudah untuk disampaikan.
Dengan perwakilan di Parlemen dan dukungan Fraksi Nasional Progresif yang
tetap dipimpin Siauw, Baperki berkembang sebagai organisasi yang efektif,
memiliki kekuatan politik melawan arus rasisme dan memiliki program politik
yang didukung partai-partai berpengaruh, terutama PKI, terkadang PNI dan
NU.
Penyelesaian masalah Dwi Kewarganegaraan dengan RRT dan perdebatan
yang melahirkan UU Kewarganegaraan 1958 tidak sepenuhnya memenuhi
persyaratan yang diajukan oleh Baperki, akan tetapi tanpa kehadiran dan
perjuangan Baperki, dampaknya akan jauh lebih merugikan posisi komunitas
Tionghoa, dalam pengertian, sebagian besar Tionghoa di Indonesia akan
menjadi warga negara asing. Inilah warisan perjuangan Baperki dan Siauw
untuk generasi muda Tionghoa di masa kini – Kewarganegaraan Indonesia.
Yang menarik adalah sikap pragmatis Siauw dalam membela kepentingan
komunitas Tionghoa. Pidato-pidato dan tulisan-tulisannya senantiasa
menekankan skala nasional. Akan tetapi ia tidak segan membela
kepentingan Tionghoa dengan berbagai argumentasi yang terkadang
bertentangan dengan prinsip politiknya.
10
Siauw jelas seorang Marxist yang mendambakan sosialisme. Pada tahun 50-
an, pengertian sosialisme dan komunisme menentang dipertahankannya
modal-modal kapitalis. Dalam hal ini Siauw mencanangkan konsep
perkawinan kapitalis dan sosialis yang baru tahun 80-an mulai dilaksanakan
oleh RRT dan dampaknya terasa pada akhir abad ke 20. Ia bertentangan
dengan fraksi PKI. Argumentasinya, modal domestik yang berada di tangan
pedagang Tionghoa seharusnya dilindungi dan dibantu untuk berkembang.
Kapitalis domestik sekaliber para pedagang Tionghoa ini, menurutnya
dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia. Ir Sakirman dari fraksi PKI
menginginkan kepemilikan usaha transportasi dialihkan dari tangan
pedagang Tionghoa ke tangan negara.
Siauw sangat mendukung nilai-nilai demokrasi. Dalam berbagai perdebatan
di Konstituante yang bertugas melahirkan UUD baru – menggantikan UUDS
1950, Siauw cenderung mempertahankan UUDS-50 dengan berbagai
perubahan. Ia tidak menginginkan bentuk UUD 45. Akan tetapi di masa
akhir Konstituante, ia mengajak fraksi Baperki di Konstituante untuk
mendukung anjuran Bung Karno untuk kembali ke UUD 45. Dasar keputusan
ini-pun pragmatis. Bilamana Baperki menentang UUD 45, Baperki masuk
dalam kelompok partai-partai politik yang justru memilki kebijakan rasis
terhadap Tionghoa. Dan ia melihat Bung Karno sebagai kekuatan yang bisa
diandalkan untuk penyelesaian masalah Tionghoa. Dalam konteks inilah ia
bertentangan dengan Yap Thiam Hien, salah satu wakil Baperki di
Konstituante. Yap beranggapan bahwa UUD 45 tidak mendukung nilai
demokrasi.
Pengembangan konsep Demokrasi Terpimpin–pun Siauw dukung dan
dijadikan salah satu dasar kebijakan Baperki. Lagi-lagi keputusan ini
berdasarkan keinginan memprioritaskan posisi komunitas Tionghoa. Dekat
dengan Sukarno dan partai-partai yang mendukungnya secara politis lebih
bijaksana ketimbang melawannya.
Siauw seperti banyak pimpinan partai politik lainnya menjadikan Sukarno
sandaran politik utama. Timbal balik dukungan ini adalah diturut-
sertakannya Siauw dalam kelompok “inner-circle” Sukarno. Selain
mempertahankan kedudukannya di DPR dan MPRS, ia juga diangkat
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dan berbagai
kebijakan dan program politik yang dicanangkan Siauw dan Baperki,
terutama yang berkaitan dengan perlindungan modal domestik masuk
dalam berbagai Garis Besar Haluan Negara – GBHN MPRS pada tahun 1964.
Demikian juga konsep integrasi yang bertentangan dengan paham asimilasi
yang diajukan LPKB – Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa - yang didukung
Angkatan Darat, didukung pula oleh Sukarno.
Polarisasi politik yang meruncing setelah tahun 1963 ternyata mendorong
Sukarno membawa Indonesia ke kiri. Ini menyebabkan Siauw membawa
11
Baperki ke kamp kiri pula. Pilihannya bukan sekedar berada di kamp kiri,
tetapi berada di satu perahu para pendukung Sukarno dan didukung oleh
Sukarno. Kiranya Siauw tidak memiliki pilihan lain. Mendukung Sukarno
adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Selain itu, sebagai
pengagum Sukarno, berbagai konsep politik Sukarno tidak jauh berbeda
dengan keyakinan dan prinsip politiknya. Demikianlah, Baperki secara
organisasi masuk dalam kelompok kiri, yang dipimpin oleh Sukarno.
Pilihan ini memiliki dampak politik yang besar sekaligus fatal. Ketika Indonesia
jatuh ke tangan Jendral Suharto yang didukung oleh kekuatan kanan dan
kemenangan ini didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1965,
Semua kekuatan kiri diganyang. Baperki dan semua institusi pendidikannya,
turut menjadi korban. Sukarno sendiri akhirnya lengser pada tahun 1967
sebagai keberhasilan kudeta bertahap yang secara trampil dilaksanakan
oleh Jendral Suharto.
Kehancuran Baperki disebabkan sikap dan pilihan politik yang dipilih para
pimpinannya, terutama Siauw Giok Tjhan.
Akan tetapi bangkit dan berkembangnya kebijakan anti Tionghoa di
Indonesia, tidak bisa dikaitkan dengan sikap dan pilihan politik Baperki dan
Siauw. Kebijakan anti Tionghoa ini lahir sebagai manifestasi keinginan rezim
Suharto mengikuti Amerika Serikat yang pada waktu itu getol
mengembangkan dan melaksanakan China Containment Policy – kebijakan
anti Tiongkok - di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara.
Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan
Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-
sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong
Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke
sekolah-sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya
sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa
Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup
dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah
berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua siswa Tionghoa tidak ada
pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa
kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan
kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang
ingin meneruskan pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka
ini ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda.
Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan
dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga
mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin
12
meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun
1948.
Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas
Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa.
Bukan karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh
pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri
terbatas dan mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh
di sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya.
Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-
sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada
awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama
dan anggota DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD
menuntut dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah
berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa
asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolah-sekolah berbahasa
Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang
belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah
sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-siswa WNI yang pada
waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa
masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah
yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya.
Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat
dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan
bahwa sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa
menampung semua warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus
diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa
menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-
sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia
mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka terpaksa
berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa
menampungnya.
Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana
untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini
diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak
melahirkan sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya
sementara tokoh politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan
melarang siswa-siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.
Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat
Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap
konsep ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng
kotak-kotakan masyarakat.
13
Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari
masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan
sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini
menentang program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini
menyepakati Baperki mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum
nasional, yang terbuka untuk semua WNI.
Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum
1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah
Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-
sekolah Baperki.
Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan
sekolah-sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut,
Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api
di Sumatra.
Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki
Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa
diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat
(SOB) diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah,
terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa
asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.
Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah
Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer
di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957,
kebijakan ini dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah
Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit.
Peraturan dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-
sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru
yang mengajar-pun harus WNI.
Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan
guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia
(tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi.
Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850
dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari
425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari
sekolah-sekolah Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI.
Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih
banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat
sekolah.
14
Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan
Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan ini ditugaskan
untuk membangun, mengasuh dan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah
Baperki.
Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang
menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho
Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola
sekolah-sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki
gedung-gedung sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat
sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki
adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan
menengah.
Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang
ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid
WNI ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar,
maka bagian Baperki lebih besar pula.
Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara
cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para
pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi
membantu komunitas Tionghoa WNI.
Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang
Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini
berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya.
Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolah-
sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan
Baperki. Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang
pendidikan akan memperlemah upayanya mengatasi masalah
kewarganegaraan dan arus rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak
akan mampu menjalankan sekolah-sekolah dengan baik karena masalah
dana.
Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki
dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah
kongkrit yang dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan
komunitas Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi
pendidikan akan terus mengalir.
Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak
pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan.
Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua
yang mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang
tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan
15
gedung dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa
yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang.
Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan
dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah
sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di
Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1
di Bali dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170.
Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan
tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru
yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di
sekolah-sekolah Baperki.
Lahirya Universitas Baperki
Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki
menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami
kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang
pada umumnya memberi pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa
Tionghoa tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima.
Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka
gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak
ada penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa
kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-
Tionghoa-annya. Situasi ini mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan
universitas Baperki.
Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan
tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki
mendapatkan dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian
Universitas Baperki yang disingkat UBA.
Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan
November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin,
elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra
diresmikan.
Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada
keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat.
Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan
bidang teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan
teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw
menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk mengembangkan
program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga
16
lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan
pengetahuannya dalam masyarakat.
Siauw gagal menarik banyak tokoh politik "asli" untuk aktif dalam Baperki.
Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa
untuk membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono
Hardjo Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai
Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum.
Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand
Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi
menteri di dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada
waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa
dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal
Ika, dasar perjuangan Baperki.
Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin
Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman
pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw
untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk
digunakan sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau,
tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya
diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah yang
disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol.
Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-
fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor
Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.
Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa
yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya.
Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya
Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma,
untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di
Indonesia.
Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas
Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Soekarno, yang
diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi
Res Publica". Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan
semangat dan jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti
untuk kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif
terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki menentang
diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa. Sejak saat itu universitas
ini lebih dikenal sebagai Ureca.
17
Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di
Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI
dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama
memperkuat tim pengajar Ureca.
Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan)
menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi,
ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para
universitas negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran
gigi Ureca juga diakui sebagai sarjana penuh.
Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya
adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965,
sebelum pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang
terdaftar melebihi 6000.
Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk
mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk
membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas
bantuan yang diberikan oleh para pedagang Tionghoa.
Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan
gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama
dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas
yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa
diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif
rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun
oleh para mahasiswanya.
Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak
melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun
status kewarganegaraan. Oleh karena itu yang diterima benar-benar
mewakili aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang
berhaluan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cukup
banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula pribumi, walaupun
merupakan minoritas.
Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah
Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-
sekolah Tionghoa.
Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka
berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa
menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di
samping itu, Siauw menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah
mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI.
18
Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok
memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar.
Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi,
cukup banyak mahasiswa "asli" yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan
Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa
diterima di Ureca.
Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa "asli", Baperki
mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa
pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di
Ureca.
Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota
besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan),
Semarang (Fakultas Kedokteran), Jogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum
peristiwa G30S, pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo,
Cirebon, Bandung juga sudah dimulai.
Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata,
karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan
bagaimana besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di
berbagai pelosok Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan
menghasilkan banyak akhli membangun Indonesia.
Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca
Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian
kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan
bahwa pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif
mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air
dan mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia.
Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk
memperbesar animo orang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik
dan sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk
memahami Panca-Cinta:
a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia
b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian
c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan
d. Cinta bekerja
e. Cinta orang tua
Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri.
Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan
Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan
19
pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi
inti pendidikan politik di Ureca.
Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa.
Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di
sekolah-sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya.
Penekanan untuk menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima
manipol sebagai pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki
unik. Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah prose peng-
Indonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia yang
bernuansa politik.
Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang
berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas
kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-
nya di universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan
dengan sejarah dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan
penuturan sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi
Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para siswa
dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat terbatas.
Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum
nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik
Indonesia dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan
mencintai kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian
bahwa Tiongkok bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air
mereka. Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini,
Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang
peranakan maupun yang totok.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan
organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca
berasal dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai
kesungguhan dalam keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar
belakangnya. Pendidikan sekolah-sekolah Tionghoa memperkenalkan
mereka tentang kisah-kisah militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun
dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok
peranakan.
Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan
Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan
pemuda. Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa
Ureca menjadi anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-
luaskan program-program Baperki dan mempromosikan kebudayaan
Indonesia.
20
Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai
tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong
terbentuknya Tim Kesenian Ureca. Acara-acara kesenian yang
diselenggarakan di kampus URECA senantiasa menonjolkan kebudayaan
Indonesia. Baperki sering menyatakan bahwa ke-Indonesiaan para pemuda
Baperki tercermin dari kemampuannya mementaskan kebudayaan
Indonesia dengan baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari
pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya
melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah.
Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di
setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar Anggota-anggota Ikatan
Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan
mengeluarkan majalah-majalah berkala.
Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu
Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah
kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para
mahasiswa teknik Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat
pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara Ureca dan BTI
(Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini dijadikan landasan usaha penelitian
Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani.
Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah
tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para
pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar
Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar
Baperki menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar
sekolah Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan
Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan di mana
Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki. Persetujuan belum
sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus.
Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan
untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki Senat Mahasiswa yang
mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas
tersebut. Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah
wadah yang dinamakan Dewan Mahasiswa.
Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki
disebar luaskan ke para mahasiswa.
Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif
yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di
kampus-kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
yang di pada tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping
21
Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI
(Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia
memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi
pendidikannya di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah
tahun 1963 ternyata sulit dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan
menanjak. Siauw mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah
gunakan.
Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI
yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi
pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama
dan kesetiakawanan masih terpupuk baik.
Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk
Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada
acara-acara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan
materi para mahasiswa Baperki sangat diharapkan.
Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim
Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan,
bahkan ada yang dibuang ke pulau Buru.
Berakhirnya Ureca
Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik.
Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965,
dalam sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi.
Dalam waktu singkat setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil
memobilisasi Angkatan Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan
yang sebelum 1 Oktober berada di posisi yang terpojok, melakukan
pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang
dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu
orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk
Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk
dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun.
Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya
melindungi rakyat dan menegakkan hukum.
Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para
ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S.
PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedung-
gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa
perlawanan apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam
22
kamp kiri menjadi sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi
sasaran.
Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas
didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus
Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran,
Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang.
Berbeda dengan gedung-gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-
gedung Ureca dijaga dan dikawal oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan
jiwa militansi yang besar.
Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-
jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan
demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau.
Mereka rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedung nya.
Mereka benar-benar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah
milik pribadi mereka.
Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan
gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh
lebih banyak dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa
mundur dan menyaksikan kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan
dibakar.
Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur
atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula
pembakaran beberapa gedung.
Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada
di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta
bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa
mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari
helicopter.
Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di
hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk
mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun
kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri
ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang mengkoordinasi pengrusakan dan
pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak memungkinkan berdiri
kembalinya Ureca.
Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya
Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober
1965. Sukarno berjanji akan memerintahkan pembukaan dan
pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go
Gien Tjwan dengan menteri pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan
23
kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan Go berkeinginan untuk
menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah, dengan harapan
perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan
Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti
dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB.
Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia
masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk
menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada
Ferry Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah
upaya Baperki memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa
Ureca dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi.
Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para
mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup
Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan
screening. Mereka yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan
masuk. Ini yang menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan
banyak pimpinan Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini
dengan sedih di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka
ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti.
Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan
Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang
sebagai universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang
tidak mampu walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit
jari, tidak bisa masuk.
Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh
Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa
menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion
Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat
melalui pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka
terhadap Indonesia tidak luntur.
Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan
sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan
ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil mengubah mind-set mereka untuk
mencintai kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah
airnya.
Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat
menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk
dalam PPI.
24
Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak
berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan
sebagian terwujud.
Kesimpulan
Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya
mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi
Terpimpin yang bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa
dikatakan kontroversial bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang.
Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno
memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan
kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi
dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung
oleh kekuatan kiri, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki.
Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak
mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokoh-
tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa.
Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki
berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam
sejarah Tionghoa di Indonesia. Ia-pun berhasil memobilisasi massa Tionghoa
untuk aktif berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi
patriot Indonesia tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an.
Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik,
kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan
berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para
dosen dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk
mengawinkan teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana
bantuan komunitas Tionghoa sedemikian rupa.
Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi.
Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti
Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki
justru terletak pada adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan
Candranaya tidak mengandung penekanan politik.
Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya yang mendirikan
Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang
Ureca di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak
mampu menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa
berkembang di kota-kota lain.
25
Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak
menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas
Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar.
Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan
cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana
ada dua kekuatan raksasa yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut
tergulir menjadi korban.
Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah
rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan
pembunuhan masal dan persekusi terhadap orang-orang yang dianggap kiri.
Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi
pemerintah Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada
tahun 1967 (baru dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa
selama 32 tahun ingin dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa
diubah dengan “Cina’, yang mengandung konotasi penghinaan.
Penggunaan huruf Tionghoa dilarang. Demikian juga perayaan tahun baru
Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk dihilangkan. Berbagai
peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas Tionghoa di banyak
bidang.
Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam
dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran
keganasan ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas
wajar kembali.
Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan
terhadap kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti
Tionghoa di awal berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi
komunitas yang tidak berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan
bahkan tidak berani berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan
aparat negara.
Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan
asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak
Tionghoa yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya,
bahkan yang masuk Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti
Tionghoa pada bulan Mei 1998.
Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak
Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau
mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan
tujuan membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun
sebelumnya tidak ada yang membela.
26
Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa,
seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan),
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia
Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi
Tionghoa Indonesia (PARTI) dll. Ada pula yang memulai majalah untuk
membahas masalah Tionghoa yang dikaitkan dengan pembangunan
bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusi-diskusi terbuka tentang
pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai forum.
Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi
pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan
pemudanya – PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata
melahirkan ketrampilan dan animo ber-organisasi di awal zaman reformasi ini.
Banyak pengambil inisiatif pendirian organisasi-organisasi dan mengisi
pengaturan organisasi berdasarkan pengalaman yang dibina sebelum
Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada tahu 1965, adalah alumni
Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para mantan anggota PPI.
Menjelang perayaan setahun peristiwa Mei pada tahun 1999, Hasta Mitra
menerbitkan buku yang berjudul “Siauw Giok Tjhan, perjuangan seorang
Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika”
karya Siauw Tiong Djin. Siauw Giok Tjhan adalah ketua Umum Baperki dan
ketua Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mendirikan dan
mengasuh Ureca. Buku ini diluncurkan pada tanggal 15 Mei 1999 di
Perpustakaan Nasional Jakarta.
Para alumni Ureca dan mantan angota PPI menyambut buku ini dengan
antusias. Tidak lama setelah buku tersebut diluncurkan, Ali Sutra selaku
pimpinan SIMPATIK yang turut aktif mempersiapkan acara peluncuran buku
mendatangi seorang mantan pengurus Dewan Mahasiswa Ureca, Liem
Heng Hong dan menantang: " Beranikah bapak mengadakan acara bedah
buku Siauw Giok Tjhan?". Liem Heng Hong spontan menjawab: "Tentu saja
beranai, kenapa takut?". Ia segera menghubungi beberapa alumni Ureca
lainnya, terutama Tan Ping Ien, mantan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa
Ureca, untuk membahas rencana ini. Sambutan mereka antusias.
Pada waktu yang hampir bersamaan beberapa alumni Ureca terutama
Benny Setiono mendorong teman-teman lain untuk juga mengadakan acara