Top Banner
1 Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia Siauw Tiong Djin Pendahuluan Keberadaan dan perkembangan Ureca Universitas Res Publica -- tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Baperki Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia - dalam kancah politik Indonesia. Perkembangan Baperki sangat tergantung pula atas dasar dan sikap perjuangan serta sepak terjang ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan dan para teman seperjuangannya. Sejak Siauw Giok Tjhan terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik pada tahun 1932 di Surabaya, dunia pendidikan untuk komunitas Tionghoa sudah menjadi perhatiannya. Ini ternyata berupa salah satu komitmen perjuangan jangka panjangnya. Oleh karena itu untuk mengerti mengapa Ureca berkembang sebagai sebuah universitas yang unik, lain dari yang lain untuk ukuran Indonesia, bahkan internasional, kita perlu meneropong sejarah perjuangan Siauw. Siauw masuk ke dalam gerakan politik pada usia muda di zaman penjajahan Belanda karena terpanggil untuk mencari jalan keluar untuk komunitas-nya, komunitas Tionghoa di Surabaya. Pada ketika itu jarang sekali pemuda Tionghoa, terutama dari kelas menengah atas seperti Siauw, yang memiliki kesadaran untuk ber-politik, apalagi terjun dalam kegiatan mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko besar karena penjajah Belanda bersikap ganas terhadap para pejuang kemerdekaan. Para guru politiknya, di antaranya Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Liem Koen Hian dan Tan Ling Djie menanamkan kesadaran bahwa dalam menghadapi masalah, yang harus dilaksanakan adalah pencarian dan realisasi jalan keluar dari masalah yang dihadapi, bukan hanya sekedar menentang apa yang tidak berkenan dan merugikan golongan yang dibela. Sikap perjuangan membangun inilah yang menjadi langgam kerja Siauw sebagai seorang politikus dan pemimpin organisasi massa. Sejak zaman penjajahan ia menyadari bahwa penyelesaian masalah Tionghoa merupakan bagian pembangunan bangsa nasion Indonesia. Kemerdekaan mutlak dan pembangunan masyarakat adil dan makmur
28

Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

Apr 19, 2019

Download

Documents

phungduong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

1

Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan

dalam Pembangunan Nasion Indonesia

Siauw Tiong Djin

Pendahuluan

Keberadaan dan perkembangan Ureca – Universitas Res Publica -- tidak

bisa dipisahkan dari kehadiran Baperki – Badan Permusyawaratan

Kewarganegaraan Indonesia - dalam kancah politik Indonesia.

Perkembangan Baperki sangat tergantung pula atas dasar dan sikap

perjuangan serta sepak terjang ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan dan para

teman seperjuangannya.

Sejak Siauw Giok Tjhan terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik

pada tahun 1932 di Surabaya, dunia pendidikan untuk komunitas Tionghoa

sudah menjadi perhatiannya. Ini ternyata berupa salah satu komitmen

perjuangan jangka panjangnya.

Oleh karena itu untuk mengerti mengapa Ureca berkembang sebagai

sebuah universitas yang unik, lain dari yang lain untuk ukuran Indonesia,

bahkan internasional, kita perlu meneropong sejarah perjuangan Siauw.

Siauw masuk ke dalam gerakan politik pada usia muda di zaman penjajahan

Belanda karena terpanggil untuk mencari jalan keluar untuk komunitas-nya,

komunitas Tionghoa di Surabaya. Pada ketika itu jarang sekali pemuda

Tionghoa, terutama dari kelas menengah atas seperti Siauw, yang memiliki

kesadaran untuk ber-politik, apalagi terjun dalam kegiatan mendukung

kemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko besar

karena penjajah Belanda bersikap ganas terhadap para pejuang

kemerdekaan.

Para guru politiknya, di antaranya Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Liem Koen

Hian dan Tan Ling Djie menanamkan kesadaran bahwa dalam menghadapi

masalah, yang harus dilaksanakan adalah pencarian dan realisasi jalan

keluar dari masalah yang dihadapi, bukan hanya sekedar menentang apa

yang tidak berkenan dan merugikan golongan yang dibela. Sikap

perjuangan membangun inilah yang menjadi langgam kerja Siauw sebagai

seorang politikus dan pemimpin organisasi massa.

Sejak zaman penjajahan ia menyadari bahwa penyelesaian masalah

Tionghoa merupakan bagian pembangunan bangsa – nasion – Indonesia.

Kemerdekaan mutlak dan pembangunan masyarakat adil dan makmur

Page 2: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

2

merupakan penyelesaian yang menjamin keamanan dan ketentraman

hidup komunitas Tionghoa di Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan Siauw dipilih mewakili komunitas Tionghoa di

badan-badan legislatif, turut membuahkan berbagai undang-undang yang

dianggapnya conducive untuk Indonesia secara keseluruhan dan Tionghoa

khususnya. Landasan perjuangannya adalah Manifesto Politik 1945 yang

berjanji mengajak semua warga negara Indonesia keturunan asing untuk

menjadi patriot Indonesia sejati, membangun nasion Indonesia.

Baperki lahir sebagai respons positif terhadap berkembangnya rasisme dan

keinginan sebagian tokoh politik untuk meng-asing-kan sebanyak mungkin

orang Tionghoa di Indonesia. Baperki mencanangkan berbagai jalan keluar

politik dan sosial untuk mengikis habis rasisme yang menurutnya adalah

warisan kolonialisme.

Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mengasuh dan

membina ratusan sekolah dan universitas Baperki yang kemudian

dinamakan Universitas Res Publica (Ureca), pun lahir sebagai respons positif

terhadap diskriminasi rasial dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah dan

universitas Baperki menampung puluhan ribu siswa Tionghoa yang tidak bisa

ditampung untuk mengejar ilmu sebagai bekal hidupnya.

Kegiatan Politik Siauw Giok Tjhan hingga terbentuknya Baperki

Pada tahun 1932, Siauw menjadi yatim piatu pada waktu berusia 18 tahun.

Ketika ia masih duduk di tingkat terakhir pendidikan Belanda elite – HBS – di

Surabaya, di sekolah mana, beberapa tokoh nasionalis Indonesia juga

bersekolah, antara lain Bung Karno dan Ruslan Abdulgani.

Sebenarnya setelah menjadi yatim piatu, Siauw tidak lagi mampu

menyelesaikan pendidikan HBS yang uang sekolahnya tinggi. Karena prestasi

akademik-nya, kepala sekolah dan beberapa guru HBS bersepakat memberi

Siauw beasiswa selama kurang lebih enam bulan, sehingga ia bisa

menyelesaikan HBS.

Setelah lulus HBS, mengingat pengalamannya sebagai seorang yang hampir

terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tidak memiliki biaya, ia

terdorong untuk membantu sebanyak mungkin teman-teman Tionghoa

sebaya di daerah Kapasan -- di mana ia lahir dan tumbuh besar – yang tidak

berkesempatan untuk sekolah. Dengan gotong royong, ia berhasil

mendirikan “sekolah” – tingkat sekolah menengah -- cuma-cuma untuk

mereka yang tidak bisa memperoleh pendidikan. Siauw sendiri turut

mengajar dan berfungsi sebagai “kepala sekolah”. Terbentur oleh berbagai

masalah praktis, Siauw kemudian mengubah program pendidikan

sekolahnya, menuju ke arah ketrampilan. Usaha selama setahun ini tidak

berjalan baik, karena sepenuhnya tergantung atas tenaga guru yang

Page 3: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

3

sukarela. Kesibukan dan kebutuhan untuk mengongkosi penghidupan para

guru sukarela terpaksa menghentikan “sekolah” tersebut. Ternyata komitmen

dalam bidang pendidikan ini tetap melekat di benak Siauw dan menjadi

bagian perjuangan politiknya.

Sebagai yatim piatu, ruang lingkup persahabatan Siauw pun berubah. Ia

lebih banyak berkumpul dengan mereka yang tidak mampu. Dan ia lalu

terdorong untuk masuk study clubs yang dipimpin oleh Dr Sutomo. Dan di

sinilah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa, yang

menanamkan ke-Indonesia-an dalam benak Siauw, dasar perjuangan politik

yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya 50 tahun kemudian.

Liem Koen Hian mengajaknya bekerja sebagai wartawan. Permulaan di

harian Sin Tit Po yang ia pimpin. Kemudian ia mengenalkan Siauw dengan

Kwee Hing Tjiat yang dimodali Oei Tjong Houw, putra Oei Tiong Ham –

seorang Raja Gula terkenal di Hindia Belanda -- untuk memulai sebuah

harian di Semarang. Harian Matahari, yang dipimpin oleh Kwee mulai terbit

di awal 1934. Siauw pindah dari Sin Tit Po Surabaya ke Matahari di Semarang

pada tahun 1934.

Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.

Program politiknya menghebohkan komunitas Tionghoa. Ia mengajak

komunitas Tionghoa untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya,

menolak arus harian Sin Po yang mengajak komunitas Tionghoa untuk tetap

menganggap Tiongkok sebagai negara leluhur. Sekaligus menolak aliran

Chung Hua Hui yang mengajak komunitas Tionghoa untuk membela

kehadiran penjajah Belanda di Indonesia. Siauw, yang sudah berkenalan

dengan Liem dan menjadi salah seorang pendukungnya, di usia 18 tahun,

menjadi salah satu pendiri PTI termuda.

Kwee Hing Tjiat adalah salah satu pendukung Liem. Ia-pun bersependapat

bahwa komunitas Tionghoa, terutama peranakannya, lahir, besar dan

meninggal di Indonesia. Tiongkok bukan tempat yang cocok untuk Tionghoa

Indonesia. Penjajahan Belanda bukan jalan keluar jangka panjang yang

menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Indonesia. Satu-

satunya jalur selamat untuk Tionghoa Indonesia adalah mendukung gerakan

kemerdekaan Indonesia. Indonesia yang merdeka adalah tempat abadi

untuk komunitas Tionghoa.

Sikap dan kebijakan PTI ternyata ditentang oleh sebagian besar komunitas

Tionghoa yang memiliki kesadaran politik. Ini wajar. Pada waktu itu tidak

terbayang bahwa Indonesia bisa mencapai kemerdekaan. Kekuatan

penjajah Belanda dianggap absolut. Tiongkok dianggap negara besar yang

cukup kuat, apalagi kebijakan kewarganegaraannya adalah: setiap orang

yang lahir sebagai Tionghoa tetap warga negara Tiongkok.

Page 4: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

4

Melalui terompet media PTI, Sin Tit Po dan Matahari, ide menerima Indonesia

sebagai tanah air dan mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia disebar

luaskan ke komunitas Tionghoa peranakan. Ketika Liem Koen Hian pindah ke

Jakarta pada tahun 1935, pimpinan harian Sin Tit Po pindah ke tangan Tan

Ling Djie, yang baru kembali dari negeri Belanda. Tan bersama Tjoa Sik Ien,

mendirikan SPTI – Serikat Persatuan Tionghoa Indonesia di Belanda, yang

mencerminkan sikap PTI. Tjoa, yang kemudian menjadi pemilik percetakan

Sin Tit Po pun kembali ke Surabaya dari negeri Belanda sekitar tahun 1935.

Ke-empat tokoh Tionghoa ini, Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie

dan Tjoa Sik Ien menjadi guru-guru politik Siauw Giok Tjhan.

Kwee tidak berumur panjang. Pada tahun 1939 ia meninggal dunia. Siauw

menggantikannya sebagai Pemimpin Redaksi harian Matahari. Posisi inilah

yang memungkinkan Siauw kerap berhubungan dengan para tokoh

nasionalis baik yang sedang diasingkan di luar pulau Jawa atau yang

berada di pulau Jawa, antara lain Sukarno, Hatta, Moh. Yamin, Tjipto

Mangunkusumo, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Achmad Subardjo dll. Tulisan-tulisan

mereka dimuat dalam harian Matahari.

Di zaman pendudukan Jepang, kegiatan mereka sebagai wartawan terhenti.

Karena sikap anti Jepang, mereka menjadi buronan Jepang. Liem tetap

bermukim di Jakarta. Tan bersembunyi di Sukabumi. Siauw menetap di

Malang, menjadi pemilik toko kelontong kecil sambil menyusun kekuatan

politik dan berhubungan dengan laskar-laskar pemuda nasionalis di Jawa

Timur.

Menjelang kemerdekaan di awal 1945, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie , Tjoa Sik

Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu di Surabaya untuk merumuskan

kepentingan Tionghoa dalam negara kemerdekaan yang akan dibentuk.

Liem Koen Hian adalah anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia

yang dibentuk oleh Jepang dan diketuai oleh Sukarno. Formulasi ke empat

tokoh Tionghoa ini tercermin dalam pidato Liem di Badan tersebut.

Di samping itu, dibicarakan juga program politik yang harus ditempuh

komunitas Tionghoa di alam kemerdekaan. Mereka sepenuhnya bersepakat

bahwa komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari nasion

Indonesia yang akan mengisi kemerdekaan. Harus pula diperjuangkan

keberadaan Tionghoa sebagai warga negara yang memiliki hak dan

kewajiban sama dengan semua suku yang bergabung dalam nasion

Indonesia.

Oleh karena itu diputuskan untuk tidak membentuk PTI lagi. Kegiatan politik

harus dilaksanakan melalui partai-partai politik nasional. Inilah yang

menyebabkan Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan pada tahun

1945 masuk dalam Partai Sosialis. Tan Ling Djie menjadi Sekretaris Jendral

yang sangat berpengaruh di partai yang diketuai oleh Amir Sjarifuddin.

Page 5: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

5

Siauw, Tjoa dan Oei Gee Hwat (salah satu anggota pengurus PTI lainnya)

dan Go Gien Tjwan, kawan dekat Siauw dari Malang, menduduki posisi-posisi

yang berpengaruh dalam dewan pimpinan partai tersebut. Tan dan Siauw

mewakili Partai Sosialis dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP.

Kehadiran mereka dalam kancah nasional dan KNIP – Komite Nasional

Indonesia Pusat, lembaga legislatif di awal kemerdekaan, berhasil

memperjuangkan keluarnya UU Kewarganegaraan 1946, yang sesuai

dengan apa yang diperjuangkan PTI sejak ia berdiri, yaitu semua orang yang

lahir di Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa dll,

menjadi warga negara Indonesia, kecuali mereka menolak

kewarganegaraan Indonesia.

Partai Sosialis adalah partai yang paling berpengaruh di awal kemerdekaan

Indonesia. Persatuan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin di partai tersebut

mendominasi pemerintahan RI dari 1945 hingga 1948. Siauw menjadi

menteri negara di kabinet Amir Sjarifuddin dengan tugas khusus menangani

masalah minoritas, yang di awal kemerdekaan merupakan senjata politik

pihak Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.

Akan tetapi, sebagian besar komunitas Tionghoa, yang menjadi korban

ekses-ekses revolusi kemerdekaan yang mengandung rasisme – sebagai

warisan penjajahan kolonialisme yang senantiasa melaksanakan kebijakan

divide and rule – tetap menolak ajakan para tokoh Tionghoa di Partai Sosialis

untuk mendukung RI. Mereka menganggap lebih aman mendukung

kembalinya penjajahan Belanda atau tetap menjadi warga negara Tiongkok,

yang setelah Perang Dunia II berakhir menjadi salah satu Big Five di PBB.

Sebelum peristiwa Madiun pada tahun 1948, Partai Sosialis bergabung dalam

FDR - Front Demokrasi Rakyat dibawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Ketika

kelompok-kelompok yang tadinya bergabung dalam FDR berhaluan kiri

berkesempatan membentuk partai-partai politik pada tahun 1949, Siauw

mengambil keputusan untuk tidak berpartai. Dengan demikian

kehadirannya di badan legislatif – parlemen (DPR) sebagai wakil minoritas

yang tidak berpartai. Bertentangan dengan tuduhan para lawan politiknya,

Siauw tetap tidak berpartai hingga ia ditahan oleh rezim Suharto pada

tanggal 4 November 1965.

Sikap ini diambil karena ia merasakan kepentingan partai politik nasional

kerap berbeda dengan kepentingan minoritas Tionghoa yang ia

perjuangkan. Disiplin partai membatasi ruang lingkupnya sebagai wakil

minoritas Tionghoa di Parlemen.

Walaupun komunitas yang ia wakili dan perjuangkan kepentingannya kerap

menolak ajakannya, ia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa Indonesia

adalah tanah air komunitas Tionghoa dan penyelesaian masalah minoritas

adalah bagian dari pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan

Page 6: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

6

makmur. Ia tetap berjuang di parlemen mengukuhkan berbagai UU dan

Peraturan Pemerintah (PP) yang menguntungkan Indonesia secara

keseluruhan dan dengan gigih menentang berbagai bentuk kebijakan rasis.

Sikap politik ini menyebabkannya diterima oleh sebagian besar politikus

nasional. Ia berhasil membentuk sebuah Fraksi di Parlemen yang cukup

berpengaruh, dinamakan Fraksi Nasional Progresif (Naspro) beranggotakan

partai-partai nasionalis kecil, seperti Murba, PIR, PRN, Acoma, SKI dan tokoh-

tokoh tidak berpartai seperti Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin.

Selama zaman Demokrasi Parlementer (1949-1959), Naspro dipimpin oleh

Siauw. Beberapa anggota fraksi ini menjadi menteri-menteri di berbagai

kabinet pemerintah di zaman itu.

Lahirnya dan Berkembangnya Baperki

Demokrasi Parlementer, setelah berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata membuahkan

pergantian kabinet secara berturut-turut. Hampir setiap tahun kabinet jatuh.

Kabinet - kabinet dibentuk atas dasar kekuatan partai politik yang mampu

memperoleh dukungan berbagai partai politik di parlemen. Kekuasaan

bersandar atas dana partai dan kekuatan ekonomi para donatur partai.

Ini mendorong keinginan para tokoh politik untuk berdagang dengan dalih

mengumpulkan dana untuk partai-nya atau memberi berbagai fasilitas

kepada mereka yang memiliki kekuasaan politik. Akibatnya timbullah

keinginan mengambil alih posisi para pedagang Tionghoa yang sudah sejak

zaman penjajahan Belanda menguasai beberapa bidang perdagangan

terutama transportasi, penggilingan padi, distribusi, ekspor dan impor.

Keluarlah berbagai kebijakan rasis yang ditujukan memperkecil ruang

lingkup pedagang Tionghoa. Siauw berhasil memperoleh dukungan Fraksi

Nasional Progresif yang ia pimpin dan beberapa partai lainnya di parlemen

untuk melawan arus rasisme ini, dengan dalih para pedagang Tionghoa

adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sama

dengan mereka yang dinamakan “asli” atau “pribumi”.

Ironisnya, keberhasilan Siauw dan para pendukungnya ini melahirkan arus

baru, yaitu kebijakan meng-asing-kan semua Tionghoa, sehingga berbagai

izin perdagangan tidak berlaku lagi untuk para pedagang Tionghoa.

Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada

tahun 1953 dengan tujuan membatalkan UU Kewarganegaraan 1946 yang

bersandar atas stelsel pasif (semua yang lahir di Indonesia menjadi WNI

kecuali bila menolak) dan mengubahnya dengan stelsel aktif (semua

keturunan Tionghoa dianggap asing kecuali menyatakan ingin menjadi WNI

dengan syarat ia memiliki bukti bahwa ia dan ayahnya lahir di Indonesia).

Page 7: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

7

Lagi-lagi, Siauw memperoleh dukungan Fraksi Naspro dan para anggota

parlemen lainnya sehingga berhasil memaksa pemerintah menarik kembali

RUU kewarganegaraan tersebut. UU kewarganegaraan 46 tetap berlaku.

Pada waktu yang bersamaan PDTI – Partai Demokrat Tionghoa Indonesia

yang dipimpin oleh Thio Thiam Tjong beranggapan partai-nya tidak efektif

membela kepentingan komunitas Tionghoa. Pimpinan PDTI, termasuk Oei

Tjoe Tat, ingin mendirikan sebuah organisasi massa Tionghoa yang bisa

memperoleh dukungan luas sehingga mampu melawan arus rasisme di

berbagai bidang, terutama melawan arus politik yang ingin meng-asing-kan

WNI keturunan Tionghoa. Terbentuklah panitia pembentukan Baperwatt –

Badan Permusyawaratan Warga Negara turunan Tionghoa pada awal

Maret tahun 1954.

Panitia menginginkan semua tokoh Tionghoa yang berpengaruh terutama

mereka yang duduk di Parlemen berpartisipasi di dalamnya. Mereka melihat

keunggulan dan keberhasilan Siauw di Parlemen. Oleh karenanya para

anggota panitia pembentukan Baperwatt mencalonkan Siauw sebagai

ketua umumnya.

Sampai saat itu Siauw selalu menolak ajakan masuk ke dalam berbagai

organisasi Tionghoa atau mendirikan organisasi Tionghoa baru. Ia tetap

memegang janji yang dibuat bersama dengan ketiga tokoh Tionghoa

lainnya, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien di Surabaya pada

tahun 1945 untuk tidak lagi mendirikan organisasi berdasarkan etnisitas

Tionghoa.

Akan tetapi Siauw merasakan perjuangannya di Parlemen tidak

memperoleh dukungan kongkrit komunitas Tionghoa yang ia wakili dan bela.

Ia tidak memiliki jalur untuk mempengaruhi sebagian besar komunitas

Tionghoa. Ia merasa menjadi pejuang yang terpisah dari massanya. Oleh

karenanya, ketika undangan panitia pembentukan Baperwatt tiba, ia

bersama Go Gien Tjwan yang juga diundang, menyatakan bersedia datang.

Tetapi mereka berdua memiliki agenda lain.

Pada rapat pembentukan Baperwatt tanggal 12 dan 13 Maret itulah, Siauw

berhasil meyakinkan para peserta untuk membatalkan rencana membentuk

Baperwatt tetapi mendirikan Baperki – Badan Permusyawaratan

Kewarganegaraan Indonesia. Argumentasi Siauw diterima: Komunitas

Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. Penyelesaian masalah

Tionghoa adalah bagian dari upaya membangun nasion Indonesia.

Masalah Kewarganegaraan Indonesia hanya bisa diselesaikan melalui

perjuangan politik yang membutuhkan dukungan partai-partai politik

Indonesia. Rasisme hanya bisa dikikis habis bilamana warisan kolonialisme

dihancurkan dan sikap mayoritas Indonesia diubah melalui perjuangan dan

pendidikan politik. Untuk meraih keberhasilan yang diinginkan, Siauw

Page 8: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

8

berargumentasi, Baperki harus berbentuk organisasi nasional, bukan

organisasi Tionghoa.

Rapat pembentukan tidak mengikutsertakan tokoh-tokoh nasional.

Akibatnya semua anggota pengurus Baperki yang diketuai oleh Siauw Giok

Tjhan tidak bisa tidak adalah tokoh-tokoh Tionghoa yang hadir dalam rapat

pembentukan. Siauw ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa Baperki

adalah organisasi Tionghoa. Keesokan harinya ketika cabang Jakarta Raya

dibentuk, Siauw mendorong kedua teman akrab-nya, tokoh-tokoh nasional,

Sudarjo Tjokrosisworo - ketua Persatuan Wartawan Indonesia - dan DS

Diapari – pimpinan SKI, anggota Fraksi Naspro - untuk menjadi ketua dan

wakil ketua. Pembentukan cabang-cabang Baperki di berbagai tempat

juga mengikutsertakan beberapa tokoh nasional dan etnis keturunan asing

lainnya. Akan tetapi animo besar pembentukan dan partisipasi dalam

kepengurusan Baperki hanya datang dari komunitas Tionghoa. Akhirnya

Baperki lahir dan berkembang sebagai organisasi massa Tionghoa. Dalam

hal ini Siauw gagal membentuk organisasi nasional. Walaupun nama

organisasi dan program politik-nya mencerminkan sifat nasional Indonesia,

sebagian terbesar pengurus dan anggotanya adalah Tionghoa. Dan Baperki

tercatat dalam sejarah sebagai organisasi massa Tionghoa.

Keberadaan Baperki menanggulangi masalah yang sebelumnya dihadapi

Siauw yaitu kegiatan dan aspirasi politik Siauw di parlemen sering kali tidak

berhubungan dengan Komunitas Tionghoa. Sebagian besar komunitas

Tionghoa tidak mengerti apa dan dampak yang diperjuangkan Siauw.

Baperki sebagai organisasi massa merupakan aparat dan alat yang ampuh

untuk mengubah ini.

Ketika Pemilu pertama pada tahun 1955 direncanakan, Siauw didukung

pimpinan Baperki memutuskan untuk ikut, mewakili komunitas Tionghoa. Kali

ini Siauw tidak lagi memaksakan posisi Baperki sebagai organisasi Nasional -

non Tionghoa. Tjoa Sik Ien yang tadinya masuk dan mendukung Baperki

menentang keputusan ini. Perdebatan antara Tjoa dan pimpinan Baperki

menyebabkan Tjoa pada tahun 1955 menyatakan tidak aktif di Baperki. Ia

baru aktif kembali pada tahun 1964, memimpin Yayasan Pendidikan dan

Kebudayaan Baperki Jawa Timur.

Baperki ikut pemilu berdasarkan pertimbangan praktis. Siauw beranggapan

bilamana perwakilan minoritas diserahkan sepenuhnya ke partai-partai

politik, aspirasi komunitas Tionghoa tidak akan sepenuhnya disuarakan di

Parlemen. Program partai-partai politik tidak selamanya sama dengan

kepentingan minoritas. Ikutnya Baperki dalam pemilu, menurutnya,

menghilangkan korupsi perwakilan semacam itu.

Ikutlah Baperki dalam pemilu pertama dan berhasil memperoleh satu kursi

untuk Parlemen (didisi oleh Siauw sendiri) dan dua kursi di Konstituante (Siauw

Page 9: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

9

dan Oei Tjoe Tat). Akan tetapi setelah Siauw mengajukan interplasi di

parlemen, lagi-lagi didukung oleh Fraksi Naspro dan para anggota parlemen

lainnya, Baperki berhasil mendapat tambahan perwakilan, dua kursi di

parlemen dan sembilan kursi di Konstituante.

Kampanye Baperki di seluruh Indonesia digunakan Siauw dan para tokoh

Baperki lainnya untuk memperkenalkan Baperki dan mendidik komunitas

Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan menjadi

warga negara Indonesia. Kesempatan yang tidak dimilikinya sebelum

Baperki berdiri. Kampanye bisa dikatakan berhasil karena sebagian besar

penduduk Tionghoa yang berhak berpartisipasi dalam pemilu memilih

Baperki.

Keberadaan Baperki yang kemudian didukung oleh Berita Baperki dan

Harian Republik sebagai terompet-nya mempercepat proses peng-

Indonesia-an komunitas Tionghoa dengan konsep integrasi, yaitu

berpartisipasi dalam semua kegiatan pembangunan nasion Indonesia tanpa

menanggalkan ke Tionghoa-an baik itu berupa nama, kultur maupun ciri-ciri

biologis.

Dan perjuangan Siauw dan para rekannya di Parlemen dan Konstituante kini

lebih banyak diikuti dan didukung oleh massa Tionghoa. Pelaksanaan

kebijakan rasis di daerah-daerah lebih cepat diperdebatkan di Parlemen.

Dan peraturan-peraturan baru yang berdampak terhadap usaha dagang

maupun keberadaan komunitas Tionghoa di berbagai lokasi-pun lebih

mudah untuk disampaikan.

Dengan perwakilan di Parlemen dan dukungan Fraksi Nasional Progresif yang

tetap dipimpin Siauw, Baperki berkembang sebagai organisasi yang efektif,

memiliki kekuatan politik melawan arus rasisme dan memiliki program politik

yang didukung partai-partai berpengaruh, terutama PKI, terkadang PNI dan

NU.

Penyelesaian masalah Dwi Kewarganegaraan dengan RRT dan perdebatan

yang melahirkan UU Kewarganegaraan 1958 tidak sepenuhnya memenuhi

persyaratan yang diajukan oleh Baperki, akan tetapi tanpa kehadiran dan

perjuangan Baperki, dampaknya akan jauh lebih merugikan posisi komunitas

Tionghoa, dalam pengertian, sebagian besar Tionghoa di Indonesia akan

menjadi warga negara asing. Inilah warisan perjuangan Baperki dan Siauw

untuk generasi muda Tionghoa di masa kini – Kewarganegaraan Indonesia.

Yang menarik adalah sikap pragmatis Siauw dalam membela kepentingan

komunitas Tionghoa. Pidato-pidato dan tulisan-tulisannya senantiasa

menekankan skala nasional. Akan tetapi ia tidak segan membela

kepentingan Tionghoa dengan berbagai argumentasi yang terkadang

bertentangan dengan prinsip politiknya.

Page 10: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

10

Siauw jelas seorang Marxist yang mendambakan sosialisme. Pada tahun 50-

an, pengertian sosialisme dan komunisme menentang dipertahankannya

modal-modal kapitalis. Dalam hal ini Siauw mencanangkan konsep

perkawinan kapitalis dan sosialis yang baru tahun 80-an mulai dilaksanakan

oleh RRT dan dampaknya terasa pada akhir abad ke 20. Ia bertentangan

dengan fraksi PKI. Argumentasinya, modal domestik yang berada di tangan

pedagang Tionghoa seharusnya dilindungi dan dibantu untuk berkembang.

Kapitalis domestik sekaliber para pedagang Tionghoa ini, menurutnya

dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia. Ir Sakirman dari fraksi PKI

menginginkan kepemilikan usaha transportasi dialihkan dari tangan

pedagang Tionghoa ke tangan negara.

Siauw sangat mendukung nilai-nilai demokrasi. Dalam berbagai perdebatan

di Konstituante yang bertugas melahirkan UUD baru – menggantikan UUDS

1950, Siauw cenderung mempertahankan UUDS-50 dengan berbagai

perubahan. Ia tidak menginginkan bentuk UUD 45. Akan tetapi di masa

akhir Konstituante, ia mengajak fraksi Baperki di Konstituante untuk

mendukung anjuran Bung Karno untuk kembali ke UUD 45. Dasar keputusan

ini-pun pragmatis. Bilamana Baperki menentang UUD 45, Baperki masuk

dalam kelompok partai-partai politik yang justru memilki kebijakan rasis

terhadap Tionghoa. Dan ia melihat Bung Karno sebagai kekuatan yang bisa

diandalkan untuk penyelesaian masalah Tionghoa. Dalam konteks inilah ia

bertentangan dengan Yap Thiam Hien, salah satu wakil Baperki di

Konstituante. Yap beranggapan bahwa UUD 45 tidak mendukung nilai

demokrasi.

Pengembangan konsep Demokrasi Terpimpin–pun Siauw dukung dan

dijadikan salah satu dasar kebijakan Baperki. Lagi-lagi keputusan ini

berdasarkan keinginan memprioritaskan posisi komunitas Tionghoa. Dekat

dengan Sukarno dan partai-partai yang mendukungnya secara politis lebih

bijaksana ketimbang melawannya.

Siauw seperti banyak pimpinan partai politik lainnya menjadikan Sukarno

sandaran politik utama. Timbal balik dukungan ini adalah diturut-

sertakannya Siauw dalam kelompok “inner-circle” Sukarno. Selain

mempertahankan kedudukannya di DPR dan MPRS, ia juga diangkat

sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dan berbagai

kebijakan dan program politik yang dicanangkan Siauw dan Baperki,

terutama yang berkaitan dengan perlindungan modal domestik masuk

dalam berbagai Garis Besar Haluan Negara – GBHN MPRS pada tahun 1964.

Demikian juga konsep integrasi yang bertentangan dengan paham asimilasi

yang diajukan LPKB – Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa - yang didukung

Angkatan Darat, didukung pula oleh Sukarno.

Polarisasi politik yang meruncing setelah tahun 1963 ternyata mendorong

Sukarno membawa Indonesia ke kiri. Ini menyebabkan Siauw membawa

Page 11: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

11

Baperki ke kamp kiri pula. Pilihannya bukan sekedar berada di kamp kiri,

tetapi berada di satu perahu para pendukung Sukarno dan didukung oleh

Sukarno. Kiranya Siauw tidak memiliki pilihan lain. Mendukung Sukarno

adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Selain itu, sebagai

pengagum Sukarno, berbagai konsep politik Sukarno tidak jauh berbeda

dengan keyakinan dan prinsip politiknya. Demikianlah, Baperki secara

organisasi masuk dalam kelompok kiri, yang dipimpin oleh Sukarno.

Pilihan ini memiliki dampak politik yang besar sekaligus fatal. Ketika Indonesia

jatuh ke tangan Jendral Suharto yang didukung oleh kekuatan kanan dan

kemenangan ini didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1965,

Semua kekuatan kiri diganyang. Baperki dan semua institusi pendidikannya,

turut menjadi korban. Sukarno sendiri akhirnya lengser pada tahun 1967

sebagai keberhasilan kudeta bertahap yang secara trampil dilaksanakan

oleh Jendral Suharto.

Kehancuran Baperki disebabkan sikap dan pilihan politik yang dipilih para

pimpinannya, terutama Siauw Giok Tjhan.

Akan tetapi bangkit dan berkembangnya kebijakan anti Tionghoa di

Indonesia, tidak bisa dikaitkan dengan sikap dan pilihan politik Baperki dan

Siauw. Kebijakan anti Tionghoa ini lahir sebagai manifestasi keinginan rezim

Suharto mengikuti Amerika Serikat yang pada waktu itu getol

mengembangkan dan melaksanakan China Containment Policy – kebijakan

anti Tiongkok - di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara.

Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan

Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-

sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong

Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke

sekolah-sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya

sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa

Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup

dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah

berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua siswa Tionghoa tidak ada

pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa.

Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa

kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan

kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang

ingin meneruskan pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka

ini ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda.

Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan

dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga

mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin

Page 12: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

12

meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun

1948.

Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas

Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa.

Bukan karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh

pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri

terbatas dan mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh

di sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya.

Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-

sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada

awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama

dan anggota DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD

menuntut dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah

berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa

asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolah-sekolah berbahasa

Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang

belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah

sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-siswa WNI yang pada

waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa

masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah

yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya.

Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat

dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan

bahwa sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa

menampung semua warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus

diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa

menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-

sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia

mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka terpaksa

berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa

menampungnya.

Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana

untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini

diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak

melahirkan sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya

sementara tokoh politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan

melarang siswa-siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.

Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat

Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap

konsep ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng

kotak-kotakan masyarakat.

Page 13: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

13

Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari

masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan

sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini

menentang program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini

menyepakati Baperki mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum

nasional, yang terbuka untuk semua WNI.

Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum

1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah

Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-

sekolah Baperki.

Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan

sekolah-sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut,

Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api

di Sumatra.

Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki

Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa

diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat

(SOB) diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah,

terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa

asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.

Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah

Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer

di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957,

kebijakan ini dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah

Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit.

Peraturan dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-

sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru

yang mengajar-pun harus WNI.

Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan

guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia

(tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi.

Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850

dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari

425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari

sekolah-sekolah Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI.

Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih

banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat

sekolah.

Page 14: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

14

Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan

Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan ini ditugaskan

untuk membangun, mengasuh dan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah

Baperki.

Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang

menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho

Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola

sekolah-sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki

gedung-gedung sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat

sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki

adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan

menengah.

Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang

ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid

WNI ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar,

maka bagian Baperki lebih besar pula.

Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara

cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para

pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi

membantu komunitas Tionghoa WNI.

Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang

Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini

berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya.

Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolah-

sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan

Baperki. Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang

pendidikan akan memperlemah upayanya mengatasi masalah

kewarganegaraan dan arus rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak

akan mampu menjalankan sekolah-sekolah dengan baik karena masalah

dana.

Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki

dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah

kongkrit yang dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan

komunitas Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi

pendidikan akan terus mengalir.

Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak

pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan.

Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua

yang mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang

tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan

Page 15: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

15

gedung dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa

yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang.

Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan

dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah

sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di

Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1

di Bali dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170.

Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan

tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru

yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di

sekolah-sekolah Baperki.

Lahirya Universitas Baperki

Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki

menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami

kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang

pada umumnya memberi pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa

Tionghoa tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima.

Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka

gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak

ada penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa

kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-

Tionghoa-annya. Situasi ini mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan

universitas Baperki.

Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan

tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki

mendapatkan dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian

Universitas Baperki yang disingkat UBA.

Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan

November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin,

elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra

diresmikan.

Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada

keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat.

Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan

bidang teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan

Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan

teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw

menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk mengembangkan

program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga

Page 16: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

16

lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan

pengetahuannya dalam masyarakat.

Siauw gagal menarik banyak tokoh politik "asli" untuk aktif dalam Baperki.

Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa

untuk membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono

Hardjo Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai

Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum.

Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand

Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi

menteri di dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada

waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa

dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal

Ika, dasar perjuangan Baperki.

Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin

Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman

pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw

untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk

digunakan sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau,

tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya

diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah yang

disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol.

Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-

fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor

Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.

Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa

yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya.

Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya

Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma,

untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di

Indonesia.

Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas

Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Soekarno, yang

diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi

Res Publica". Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan

semangat dan jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti

untuk kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif

terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki menentang

diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa. Sejak saat itu universitas

ini lebih dikenal sebagai Ureca.

Page 17: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

17

Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di

Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI

dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama

memperkuat tim pengajar Ureca.

Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan)

menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi,

ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para

universitas negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran

gigi Ureca juga diakui sebagai sarjana penuh.

Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya

adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965,

sebelum pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang

terdaftar melebihi 6000.

Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk

mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk

membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas

bantuan yang diberikan oleh para pedagang Tionghoa.

Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan

gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama

dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas

yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa

diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif

rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun

oleh para mahasiswanya.

Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan

Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak

melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun

status kewarganegaraan. Oleh karena itu yang diterima benar-benar

mewakili aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang

berhaluan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cukup

banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula pribumi, walaupun

merupakan minoritas.

Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah

Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-

sekolah Tionghoa.

Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka

berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa

menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di

samping itu, Siauw menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah

mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI.

Page 18: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

18

Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok

memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar.

Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi,

cukup banyak mahasiswa "asli" yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan

Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa

diterima di Ureca.

Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa "asli", Baperki

mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa

pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di

Ureca.

Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota

besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan),

Semarang (Fakultas Kedokteran), Jogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum

peristiwa G30S, pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo,

Cirebon, Bandung juga sudah dimulai.

Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata,

karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan

bagaimana besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di

berbagai pelosok Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan

menghasilkan banyak akhli membangun Indonesia.

Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca

Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian

kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan

bahwa pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif

mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air

dan mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia.

Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk

memperbesar animo orang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik

dan sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk

memahami Panca-Cinta:

a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia

b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian

c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan

d. Cinta bekerja

e. Cinta orang tua

Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri.

Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan

Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan

Page 19: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

19

pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi

inti pendidikan politik di Ureca.

Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa.

Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di

sekolah-sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya.

Penekanan untuk menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima

manipol sebagai pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki

unik. Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah prose peng-

Indonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia yang

bernuansa politik.

Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang

berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas

kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-

nya di universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan

dengan sejarah dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan

penuturan sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi

Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para siswa

dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat terbatas.

Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum

nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik

Indonesia dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan

mencintai kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian

bahwa Tiongkok bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air

mereka. Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini,

Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang

peranakan maupun yang totok.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan

organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca

berasal dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai

kesungguhan dalam keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar

belakangnya. Pendidikan sekolah-sekolah Tionghoa memperkenalkan

mereka tentang kisah-kisah militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun

dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok

peranakan.

Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan

Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan

pemuda. Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa

Ureca menjadi anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-

luaskan program-program Baperki dan mempromosikan kebudayaan

Indonesia.

Page 20: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

20

Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai

tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong

terbentuknya Tim Kesenian Ureca. Acara-acara kesenian yang

diselenggarakan di kampus URECA senantiasa menonjolkan kebudayaan

Indonesia. Baperki sering menyatakan bahwa ke-Indonesiaan para pemuda

Baperki tercermin dari kemampuannya mementaskan kebudayaan

Indonesia dengan baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari

pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya

melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah.

Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di

setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar Anggota-anggota Ikatan

Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan

mengeluarkan majalah-majalah berkala.

Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu

Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah

kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para

mahasiswa teknik Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat

pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara Ureca dan BTI

(Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini dijadikan landasan usaha penelitian

Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani.

Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah

tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para

pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar

Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar

Baperki menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar

sekolah Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan

Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan di mana

Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki. Persetujuan belum

sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus.

Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan

untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki Senat Mahasiswa yang

mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas

tersebut. Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah

wadah yang dinamakan Dewan Mahasiswa.

Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan

Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki

disebar luaskan ke para mahasiswa.

Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif

yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di

kampus-kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia

yang di pada tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping

Page 21: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

21

Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI

(Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).

Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia

memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi

pendidikannya di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah

tahun 1963 ternyata sulit dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan

menanjak. Siauw mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah

gunakan.

Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI

yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi

pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama

dan kesetiakawanan masih terpupuk baik.

Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk

Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada

acara-acara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan

materi para mahasiswa Baperki sangat diharapkan.

Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim

Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan,

bahkan ada yang dibuang ke pulau Buru.

Berakhirnya Ureca

Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik.

Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965,

dalam sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi.

Dalam waktu singkat setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil

memobilisasi Angkatan Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan

yang sebelum 1 Oktober berada di posisi yang terpojok, melakukan

pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang

dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu

orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk

Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk

dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun.

Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya

melindungi rakyat dan menegakkan hukum.

Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para

ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S.

PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedung-

gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa

perlawanan apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam

Page 22: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

22

kamp kiri menjadi sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi

sasaran.

Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas

didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus

Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran,

Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang.

Berbeda dengan gedung-gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-

gedung Ureca dijaga dan dikawal oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan

jiwa militansi yang besar.

Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-

jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan

demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau.

Mereka rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedung nya.

Mereka benar-benar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah

milik pribadi mereka.

Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan

gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh

lebih banyak dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa

mundur dan menyaksikan kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan

dibakar.

Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur

atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula

pembakaran beberapa gedung.

Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada

di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta

bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa

mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari

helicopter.

Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di

hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk

mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun

kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri

ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang mengkoordinasi pengrusakan dan

pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak memungkinkan berdiri

kembalinya Ureca.

Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya

Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober

1965. Sukarno berjanji akan memerintahkan pembukaan dan

pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go

Gien Tjwan dengan menteri pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan

Page 23: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

23

kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan Go berkeinginan untuk

menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah, dengan harapan

perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan

Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti

dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB.

Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia

masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk

menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada

Ferry Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah

upaya Baperki memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa

Ureca dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi.

Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para

mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup

Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan

screening. Mereka yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan

masuk. Ini yang menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan

banyak pimpinan Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini

dengan sedih di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.

Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka

ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti.

Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan

Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang

sebagai universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang

tidak mampu walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit

jari, tidak bisa masuk.

Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh

Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa

menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion

Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat

melalui pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka

terhadap Indonesia tidak luntur.

Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan

sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan

ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil mengubah mind-set mereka untuk

mencintai kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah

airnya.

Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat

menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk

dalam PPI.

Page 24: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

24

Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak

berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan

sebagian terwujud.

Kesimpulan

Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya

mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi

Terpimpin yang bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa

dikatakan kontroversial bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang.

Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno

memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan

kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi

dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung

oleh kekuatan kiri, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki.

Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak

mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokoh-

tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa.

Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki

berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam

sejarah Tionghoa di Indonesia. Ia-pun berhasil memobilisasi massa Tionghoa

untuk aktif berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi

patriot Indonesia tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an.

Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik,

kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan

berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para

dosen dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk

mengawinkan teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana

bantuan komunitas Tionghoa sedemikian rupa.

Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi.

Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti

Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki

justru terletak pada adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan

Candranaya tidak mengandung penekanan politik.

Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya yang mendirikan

Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang

Ureca di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak

mampu menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa

berkembang di kota-kota lain.

Page 25: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

25

Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak

menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas

Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar.

Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan

cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana

ada dua kekuatan raksasa yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut

tergulir menjadi korban.

Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah

rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan

pembunuhan masal dan persekusi terhadap orang-orang yang dianggap kiri.

Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi

pemerintah Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada

tahun 1967 (baru dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa

selama 32 tahun ingin dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa

diubah dengan “Cina’, yang mengandung konotasi penghinaan.

Penggunaan huruf Tionghoa dilarang. Demikian juga perayaan tahun baru

Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk dihilangkan. Berbagai

peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas Tionghoa di banyak

bidang.

Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam

dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran

keganasan ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas

wajar kembali.

Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan

terhadap kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti

Tionghoa di awal berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi

komunitas yang tidak berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan

bahkan tidak berani berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan

aparat negara.

Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan

asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak

Tionghoa yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya,

bahkan yang masuk Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti

Tionghoa pada bulan Mei 1998.

Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak

Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau

mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan

tujuan membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun

sebelumnya tidak ada yang membela.

Page 26: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

26

Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa,

seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan),

Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia

Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi

Tionghoa Indonesia (PARTI) dll. Ada pula yang memulai majalah untuk

membahas masalah Tionghoa yang dikaitkan dengan pembangunan

bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusi-diskusi terbuka tentang

pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai forum.

Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi

pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan

pemudanya – PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata

melahirkan ketrampilan dan animo ber-organisasi di awal zaman reformasi ini.

Banyak pengambil inisiatif pendirian organisasi-organisasi dan mengisi

pengaturan organisasi berdasarkan pengalaman yang dibina sebelum

Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada tahu 1965, adalah alumni

Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para mantan anggota PPI.

Menjelang perayaan setahun peristiwa Mei pada tahun 1999, Hasta Mitra

menerbitkan buku yang berjudul “Siauw Giok Tjhan, perjuangan seorang

Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika”

karya Siauw Tiong Djin. Siauw Giok Tjhan adalah ketua Umum Baperki dan

ketua Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mendirikan dan

mengasuh Ureca. Buku ini diluncurkan pada tanggal 15 Mei 1999 di

Perpustakaan Nasional Jakarta.

Para alumni Ureca dan mantan angota PPI menyambut buku ini dengan

antusias. Tidak lama setelah buku tersebut diluncurkan, Ali Sutra selaku

pimpinan SIMPATIK yang turut aktif mempersiapkan acara peluncuran buku

mendatangi seorang mantan pengurus Dewan Mahasiswa Ureca, Liem

Heng Hong dan menantang: " Beranikah bapak mengadakan acara bedah

buku Siauw Giok Tjhan?". Liem Heng Hong spontan menjawab: "Tentu saja

beranai, kenapa takut?". Ia segera menghubungi beberapa alumni Ureca

lainnya, terutama Tan Ping Ien, mantan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa

Ureca, untuk membahas rencana ini. Sambutan mereka antusias.

Pada waktu yang hampir bersamaan beberapa alumni Ureca terutama

Benny Setiono mendorong teman-teman lain untuk juga mengadakan acara

bedah buku. Gayung bersambut. Terbentuklah panitia penyelenggara

acara bedah buku. Ketua panitia adalah Tan Ping Ien. Liem Heng Hong

diangkat menjadi sekretaris. Beberapa anggota panitia penyelenggara

yang terbentuk adalah alumni Ureca. Pemuda-pemuda SIMPATIK turut aktif

di dalam panitia dan banyak membantu.

Acara bedah buku dilakukan pada tanggal 28 Agustus 1999 di hotel Omni

Batavia, di daerah Kota. Para pakar seperti Prof Dan Lev dari Amerika Serikat,

Page 27: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

27

Prof J.E Sahetapy, Prof Franz Magnis Suseno, Dr Daniel Sparinga, A.S Hikam

dan Dr Karlina Supelli berbicara di acara tersebut. Sebuah acara yang untuk

pertama kalinya dalam 32 tahun yang membahas kegiatan Siauw Giok Tjhan

dan Baperki secara terbuka. Desas desus berupa ancaman sementara

pihak untuk tidak mengikuti acara tersebut ternyata tidak digubris oleh para

peserta. Yang hadir lebih dari 500 orang dan banyak di antaranya adalah

alumni Ureca. Acara ini sukses dan hadirin terlihat tidak menghendaki acara

selesai walaupun berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 5:30 sore.

Bagaimana Indonesia 50 tahun setelah Ureca dibakar? Apakah organisasi

massa dengan program dan langgam kerja seperti Baperki bisa berdiri dan

berkembang lagi?

Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup dan

berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an bisa dikatakan tidak

ada lagi. Masalah kewarganegaraan bisa dikatakan selesai. Sebagian

besar komunitas Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang

membutuhkan kewarganegaraan Indonesia, bilamana membutuhkannya,

memenuhi persyaratan hukum yang berlaku dan modal cukup, bisa

memperolehnya.

Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam hal hukum bisa

dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan sebagai tindakan yang

melanggar hukum. Semua warga negara secara hukum memiliki hak dan

kewajiban yang sama. Ketentuan presiden harus seorang asli sudah

ditiadakan. Imlek dijadikan hari raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun

2014, terdapat calon wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet ada menteri

Mari Pangestu, seorang Tionghoa. Dan seorang Tionghoa menjadi wakil

gubernur Jakarta Raya, Ahok.

Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara drastik. Walaupun

masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan studi di perguruan tinggi,

baik non Tionghoa maupun Tionghoa, penampungan mahasiswa bisa

dikatakan tertanggulangi. Cukup tempat untuk mereka, Tionghoa maupun

non Tionghoa yang ingin dan mampu masuk ke universitas. Para universitas

malah berlomba memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan.

Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi

membangkitkan pula keinginan di kalangan komunitas Tionghoa di kota-

kota besar untuk menjadi bagian dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah

berbagai keganjilan di mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap

sebagai hal yang membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda

di zaman penjajahan belanda, dan berbahasa Inggris di zaman pasca

Demokrasi Terpimpin.

Para “the Haves” komunitas Tionghoa berlomba memamerkan kekayaannya

baik dalam berbagai kemewahan termasuk kemampuan pesta besar-

Page 28: Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan ...gelora45.com/news/STDjin_SGTpeembangunanNasion_URECA23Maret2014.pdfkemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko

28

besaran di tempat-tempat mahal, di tengah kemiskinan rakyat. Ini

berlangsung tanpa gangguan berarti.

Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme lenyap dari

permukaan bumi Indonesia dan perjuangan melawannya patut dihentikan?

Kiranya tidak.

Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan langkah pertama.

Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya dan berkembangnya

keharmonisan masyarakat yang menjamin keamanan dan ketentraman

hidup komunitas Tionghoa di Indonesia.

Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan ekonomi terjadi

di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin membesar dan pimpinan politik

yang berpengaruh menjadikan komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan

rasisme yang ganas dan brutal bisa terulang lagi.

Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan Baperki – paham

integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun ke dalam berbagai kegiatan

masyarakat dan turut mendidik masyarakat untuk menghilangkan benih-

benih rasisme dengan tindakan-tindakan membangun, tanpa

menanggalkan latar belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat

relevan.

Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme di negara-negara

maju. Bahkan di Australia dan Canada, sebagai negara di mana jumlah

penduduknya terdiri dari berbagai komunitas etnis non Anglo Saxon, paham

multikulturalisme diundangkan.

Organisasi semacam Baperki yang mampu dengan efektif menyuarakan

aspirasi dan membela kepentingan komunitas yang diwakilinya masih

diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari pengalaman Baperki, untuk

tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah kekuatan politik penguasa.

Organisasi-organisasi yang dimaksud hendaknya merakyat – bekerja untuk

wong cilik dan mendapat dukungan rakyat terbanyak. Ini merupakan jalan

selamat jangka panjang, walaupun hasil yang diperoleh memakan waktu.