Top Banner
AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 92 Jatuh Bangun Budidaya Rumput Laut di Pelosok Sulawesi Tenggara Zona Tabungan Ikan No-take zones Nyong Ambon Pung Gaya Mengantar Bapa Raja di Tenun Ikat Sumba
32

BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

Mar 16, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

AGUSTUS - SEPTEMBER 2013

MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA

www. bakt i .or . id

EDISI 92

Jatuh Bangun Budidaya Rumput Laut di Pelosok Sulawesi Tenggara

Zona TabunganIkanNo-take zones

Nyong Ambon Pung Gaya

MengantarBapa Raja di TenunIkat Sumba

Page 2: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

1 JUNI - JULI 2013News Edisi 90

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia. Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia. BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.or.id dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet. BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia. BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakti.or.id and can be sent electronically to subscribers with internet access.

Daftar Isi

3

BaKTINEWS DITERBITKAN OLEH YAYASAN BaKTI DENGAN DUKUNGAN PEMERINTAH AUSTRALIA DAN PEMERINTAH KANADA / BaKTINEWS IS

PUBLISHED BY THE BaKTI FOUNDATION WITH SUPPORT OF THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF CANADA

PANDANGAN YANG DIKEMUKAKAN TAK SEPENUHNYA MENCERMINKAN PANDANGAN YAYASAN BaKTI MAUPUN PEMERINTAH AUSTRALIA DAN PEMERINTAH KANADA. / THE VIEWS EXPRESSED DO NOT NECESSARILY

REFLECT THE VIEWS OF YAYASAN BaKTI, THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF CANADA.

Editor MILA SHWAIKOVICTORIA NGANTUNG

Forum KTI ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTI SHERLY HEUMASSESmart Practices

Info Book & SUMARNI ARIANTODesign Visual

& Layout ICHSAN DJUNAID

Jl. H.A. Mappanyukki No. 32Makassar 90125Sulawesi Selatan - Indonesia T. +62 411 832228, 833383 F. +62 411 852146E. [email protected]

Redaksi

PERTANYAAN DAN TANGGAPAN

www.bakti.or.id

SMS BaKTINews 0813 4063 4999 0815 4323 1888

0878 4062 0999E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BERKONTRIBUSI UNTUK BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000 - 1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris, ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

MENJADI PELANGGAN BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

6

8

10

Informasi Buku

13

15

21

23

27

29

30

25

Kegiatan diBaKTI

Canadian InternationalDevelopment Agency

Agence canadienne dedeveloppement international~

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

19Jatuh Bangun Budidaya Rumput Laut di Pelosok Sulawesi TenggaraThe Rise and Fall of Seaweed Cultivation in Remote Areas of Southeast Sulawesi

Zona TabunganIkanNo-take zones

Nyong Ambon Pung Gaya

Bangun Budaya Berbagi Pengetahuan di KTI

Mengelola Sumber Daya Alam dengan Zero Konflik

Menganalisa Pengeluaran dan Pendapatan untuk Publik

Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi

Makanan Sekolah Lezat Bergizi Berbahan Pangan Lokal Nutritious and Delicious School Meals made from Local Ingredients

Mengantar Bapa Raja di Tenun Ikat Sumba

Benarkah Perempuan Gagap Teknologi?

JiKTI Terkini

Gender Dan Keuangan Publik

17

PELUANGOPPORTUNITY

BLOG KOMPETISI

Kami mengundang Anda, para peneliti anggota JIKTI

untuk mengirimkan tulisan Anda

mengenai isu lokal pembangunan KTI

di Stock of Knowledge (jikti.bakti.or.id)

2 pemenang Members’ Choice Articles mendapatkan tiket pulang-pergi dan akomodasi untuk mengikuti Diskusi Regional Forum KTIdi Jakarta pada tanggal 11 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh BaKTI, selain mendapatkan piagam penghargaan Members’ Choice Article

2 Penghargaan Artikel Terbaik dipilih oleh tim juri (Best Article)

2 Penghargaan Artikel dengan jumlah komentar terbanyak (Members’ Choice)

PARA PEMENANG MASING-MASING MENDAPATKAN:

2 pemenang Best Articles mendapatkan tiket pulang-pergi dan akomodasi untuk mengikuti Diskusi Regional Forum KTI di Jakarta pada pada tanggal 11 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh BaKTI, selain mendapatkan piagam penghargaan Best Article JiKTI Blogging Competition.

Jikti.bakti.or.id

Peserta kompetisi ini adalah para peneliti anggota JIKTI dan menjadi member dalam Stock of Knowledge JIKTI (jikti.bakti.or.id)

Panjang artikel yang dimasukkan adalah maksimum 1.000 kata

Artikel dimasukkan ke Forum Diskusi Stock of Knowledge (http://jikti.bakti.or.id/forum)

Anda harus memilih Provinsi tempat Anda berdomisili

Artikel yang dimasukkan adalah yang ditulis sendiri oleh peserta kompetisi

Topik artikel adalah terkait isu 'Mengatasi Kemiskinan dan Ketertinggalan' pada salah satu atau gabungan dari bidang Pertanian, Pendidikan, Energi dan Lingkungan Hidup, Kesehatan, dan Teknologi Informasi

APA SYARATNYA?

Untuk lebih lengkap, dapat menghubungi:Sekretariat JiKTI, Jl. H. A. Mappanyukki No. 32, No telp (0411) 833-383, atau e-mail ke [email protected]

STOCK OF KNOWLEDGE

Deadline1 Desember 2013

Page 3: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

1 JUNI - JULI 2013News Edisi 90

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia. Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia. BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.or.id dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet. BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia. BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakti.or.id and can be sent electronically to subscribers with internet access.

Daftar Isi

3

BaKTINEWS DITERBITKAN OLEH YAYASAN BaKTI DENGAN DUKUNGAN PEMERINTAH AUSTRALIA DAN PEMERINTAH KANADA / BaKTINEWS IS

PUBLISHED BY THE BaKTI FOUNDATION WITH SUPPORT OF THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF CANADA

PANDANGAN YANG DIKEMUKAKAN TAK SEPENUHNYA MENCERMINKAN PANDANGAN YAYASAN BaKTI MAUPUN PEMERINTAH AUSTRALIA DAN PEMERINTAH KANADA. / THE VIEWS EXPRESSED DO NOT NECESSARILY

REFLECT THE VIEWS OF YAYASAN BaKTI, THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF CANADA.

Editor MILA SHWAIKOVICTORIA NGANTUNG

Forum KTI ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTI SHERLY HEUMASSESmart Practices

Info Book & SUMARNI ARIANTODesign Visual

& Layout ICHSAN DJUNAID

Jl. H.A. Mappanyukki No. 32Makassar 90125Sulawesi Selatan - Indonesia T. +62 411 832228, 833383 F. +62 411 852146E. [email protected]

Redaksi

PERTANYAAN DAN TANGGAPAN

www.bakti.or.id

SMS BaKTINews 0813 4063 4999 0815 4323 1888

0878 4062 0999E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BERKONTRIBUSI UNTUK BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000 - 1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris, ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

MENJADI PELANGGAN BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

6

8

10

Informasi Buku

13

15

21

23

27

29

30

25

Kegiatan diBaKTI

Canadian InternationalDevelopment Agency

Agence canadienne dedeveloppement international~

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

19Jatuh Bangun Budidaya Rumput Laut di Pelosok Sulawesi TenggaraThe Rise and Fall of Seaweed Cultivation in Remote Areas of Southeast Sulawesi

Zona TabunganIkanNo-take zones

Nyong Ambon Pung Gaya

Bangun Budaya Berbagi Pengetahuan di KTI

Mengelola Sumber Daya Alam dengan Zero Konflik

Menganalisa Pengeluaran dan Pendapatan untuk Publik

Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi

Makanan Sekolah Lezat Bergizi Berbahan Pangan Lokal Nutritious and Delicious School Meals made from Local Ingredients

Mengantar Bapa Raja di Tenun Ikat Sumba

Benarkah Perempuan Gagap Teknologi?

JiKTI Terkini

Gender Dan Keuangan Publik

17

PELUANGOPPORTUNITY

BLOG KOMPETISI

Kami mengundang Anda, para peneliti anggota JIKTI

untuk mengirimkan tulisan Anda

mengenai isu lokal pembangunan KTI

di Stock of Knowledge (jikti.bakti.or.id)

2 pemenang Members’ Choice Articles mendapatkan tiket pulang-pergi dan akomodasi untuk mengikuti Diskusi Regional Forum KTIdi Jakarta pada tanggal 11 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh BaKTI, selain mendapatkan piagam penghargaan Members’ Choice Article

2 Penghargaan Artikel Terbaik dipilih oleh tim juri (Best Article)

2 Penghargaan Artikel dengan jumlah komentar terbanyak (Members’ Choice)

PARA PEMENANG MASING-MASING MENDAPATKAN:

2 pemenang Best Articles mendapatkan tiket pulang-pergi dan akomodasi untuk mengikuti Diskusi Regional Forum KTI di Jakarta pada pada tanggal 11 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh BaKTI, selain mendapatkan piagam penghargaan Best Article JiKTI Blogging Competition.

Jikti.bakti.or.id

Peserta kompetisi ini adalah para peneliti anggota JIKTI dan menjadi member dalam Stock of Knowledge JIKTI (jikti.bakti.or.id)

Panjang artikel yang dimasukkan adalah maksimum 1.000 kata

Artikel dimasukkan ke Forum Diskusi Stock of Knowledge (http://jikti.bakti.or.id/forum)

Anda harus memilih Provinsi tempat Anda berdomisili

Artikel yang dimasukkan adalah yang ditulis sendiri oleh peserta kompetisi

Topik artikel adalah terkait isu 'Mengatasi Kemiskinan dan Ketertinggalan' pada salah satu atau gabungan dari bidang Pertanian, Pendidikan, Energi dan Lingkungan Hidup, Kesehatan, dan Teknologi Informasi

APA SYARATNYA?

Untuk lebih lengkap, dapat menghubungi:Sekretariat JiKTI, Jl. H. A. Mappanyukki No. 32, No telp (0411) 833-383, atau e-mail ke [email protected]

STOCK OF KNOWLEDGE

Deadline1 Desember 2013

Page 4: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

News 4Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013

Moramolah Madamang memperoleh bibit sebanyak 500 kilogram dan membawanya ke Akuni. Saat ini diwilayahnya terdapat 200 KK dari Dari 500 KK merupakan petani rumput laut. Jika digabungkan dengan daerah lumbung rumput lainnya di Kecamatan Tinanggea, yaitu di Kelurahan Tinanggea, Desa Bumi Permai, dan Desa Torokeku, Jumlah produksi rumput laut dalam sebulan diperkirakan mencapai 300 – 400 ton sekali siklus. Dalam pemeliharaan rumput laut tidak selalu lancar, terdapat musim baik dan musim buruk untuk pemeliharaan. Yang terbaik adalah pada Juni-Agustus, sebab suhu air tidak terlalu panas dan arus cukup kencang. Menjelang September kurang baik memelihara rumput laut karena suhu air tinggi dan arus lambat. Ini menyebabkan tumbuhnya lumut yang menyelimuti rumput laut dan menjadikannya kurus. Kondisi cuaca ekstrim tersebut dimana suhu tinggi atau suhu rendah, salinitas tinggi atau rendah, dan kurangnya arus juga menyebabkan munculnya penyakit ice-ice, kerusakan thalus yang ditandai berubahnya thalus menjadi warna pucat. Menanggulangi penyakit ice-ice, petani hanya membiarkan bibitnya di laut hingga musim baik tiba, pada saat kualitas air laut sudah membaik, rumput laut yang kurus itu kembali segar dan tumbuh normal. Meski begitu, di lokasi penanaman rumput laut di sekitar muara sungai justru tidak mengalami hambatan. Sebab suhu air tidak setinggi di laut sebab dipengaruhi oleh aliran air tawar dari sungai. Ada tiga tempat pemeliharaan warga Akuni yaitu di Muara Labasi, Muara Ranuwulu, dan Muara Ruaraya. Harga rumput laut kering di Tinanggea cukup stabil, harga untuk pengumpul lokal sekitar 10 ribu rupiah. Pengumpul lokal di Tinanggea yaitu H. Bahasmi, H. Udin, H. Hasnah, Rahman. Mereka menjualnya ke Kendari atau ke Makassar dengan harga 15 ribu rupiah.

Desa Lemo Bajo Pada 8 Juli 2013, saya ke Lemo Bajo, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara. Di sana saya menemui Bapak Amar. Ia sudah tidak menanam lagi karena saat ini sulit memperoleh bibit. Selain itu rumput laut sering terpapar ice-ice, penyakit ini tidak hanya menyerang pada bulan tertentu, tapi hampir setiap siklus. Dalam satu siklus biasanya lebih banyak yang terserang dibanding yang masih utuh. Salah satu penyebab ice-ice ini menurut Amar adalah menurunnya kualitas air (nutrien) sebab limbah tanah yang diangkut oleh kapal kadang terjatuh dan arus air membawa tanah tersebut ke lokasi penanaman, sehingga air menjadi kabur. Karena itu banyak petani yang malas menanam RL, mereka memanen semuanya dan tidak lagi menyisihkan untuk bibit. Begitu pula di Desa Barassang Kecamatan Lasolo, tetangga desa Lemo Bajo, masalah utamanya yaitu penyakit ice-ice. Penyakit ini marak pada bulan November, ketika arus kurang lancar dan suhu air peningkat. Pada Desember biasanya rumput laut diserang oleh lumut yang berwarna biru. Menyerang ketika umur rumput laut sudah mulai dua minggu sejak penanaman. Lumut tersebut menyebabkan thallus rusak dan terputus-putus. Warga desa ini pernah beberapa kali melakukan demonstrasi ke Perusahaan tambak nikel lantaran perusahaan tersebut ingin membuka lahan baru. Petambak merasa jika tambang di wilayah mereka dibuka, maka kualitas air di sekitar tambang pun akan rusak dan warga tidak bisa lagi memelihara rumput laut.

Desa Bungku Tungku dan Tondongeu, Kendari Kami selanjutnya mengunjungi Desa Bungku Tungku, namun kami tak menemukan aktivitas budidaya rumput laut. Ternyata sejak awal 2012 orang berhenti menanam rumput laut. Ini disebabkan karena kualitas air di lokasi penananam menurun. Setelah dari Bungkutungku kami ke Tondongeu, di sana kami menemui Bapak Aris (41), Kepala RT yang dulu pernah menjadi pengumpul/ penampung rumput laut. Di sini juga tidak terlihat aktivitas budidaya rumput laut. Petani berhenti menanam sejak awal 2012. Menurut Aris, ada dua penyebabnya, pertama karena faktor harga yang rendah, yaitu lima ribu rupiah per kilogram, kedua karena maraknya lumut yang menyelimuti rumput laut. Harga lima ribu rupiah, tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga nelayan. Padahal pada tahun 2011harga masih bagus, yaitu delapan ribu rupiah. Musim budidaya yang baik itu pada Mei, Juni, dan Juli. Pada bulan tersebut arus bagus dan ada gelombang, selain itu cuaca tidak

Southeast Sulawesi is a province rich in marine resources, especially in the marine aquaculture sector. The aquaculture potential is 396,915 hectares with current utilization of 23,247.54 acres for seaweed, grouper, sea cucumber, oyster and lobster cultivation. Seaweed and being cultivated on the coast of almost every district, including South Konawe (Konsel) which has a cultivation area of 3,210 hectares of land with production of 275,256.41 tons of seaweed each year. Konawe Utara has an extensive cultivation area of 514.5 hectares with actual production of 6,076.98 tons and Kendari has land area of 182.0 hectares, but its production is zero, despite a previous year’s production of about 3,288.83 tons (Southeast Sulawesi Official Province Data, 2012). But seaweed cultivation, in reality, is not easy; there are problems such as the rise of ice-ice disease and algae, seed availability, uncertain weather changes, mining waste, carrying capacity, and the issues of market and prices. There are areas that have increasing production and activity and there remain areas with decreasing activity. Sunday, July 7th, 2013, I visited Akuni Village, Tinanggea, Konsel. There I met Pak Madamang (43 years old), the village chief and a pioneer of seaweed farming in Akuni. Seaweed was initially introduced by an NGO in the village of Bumi Permai in 2005, then it spread to Moramo village. Madamang received as much as 500 kilograms of seed and brought it into Akuni. Today, 200 out of 500 households work as seaweed farmers. If the granaries of seaweed were all combined from Tinanggea subdistrict, Bumi Permai Village, and the Village of Torokeku, the amount of seaweed production in a month is estimated around 300-400 tons per cycle. The cultivation of seaweed does not always run smoothly, there is a season for cultivation. The best season is from June till August, because the water temperature is not too hot and the water flows quickly. Around September seaweed cultivation is is impacted by high water temperatures and the slow flows of water. That leads to algae growth, which wraps around the seaweed and makes them thinner. The extreme weather conditions of high temperature or low temperature, high salinity or low, also led to the emergence of the ice-ice disease, which damages the thalus, as indicated from the color of thalus being white/pale. To overcome the ice-ice disease, farmers just let the seeds grow in the ocean until a good season arrives; when the sea water quality improves, the thin seaweed will be refreshed and grow normally. Even so, when seaweed cultivation is undertaken around the mouth of the river there are also difficulties because the temperature is not as high as in the sea water as the water is affected by the fresh water flowing from the river. There are three places where the Akuni community can cultivate seaweed: Labasi Muara, Muara Ranuwulu, and Muara Ruaraya. The price of dried seaweed in Tinanggeais quite stable, the price for local collectors around Rp 9,000-10,000. Some of the Tinanggea local collectors are H. Bahasmi, H. Udin, H. Hasnah, and Rahman. They sell it to Makassar or Kendari at a price of Rp15.000 per kilo.

Lemo Bajo Village On July 8, 2013, I went to Lemo Bajo, Lasolo, Konawe Utara. In Lemo Bajo, I met Pak Amar. He had not been planting, ths year but last year he did. The reason is because it is difficult to get seeds. Seaweed is often exposed to ice-ice, but the disease does just attack in a given month, but in almost every cycle. In one cycle usually there are more affected seaweeds than intact ones. According to Amar, one of the causes of ice-ice is the declining water quality (nutrients) because of waste being dumped by passing ships. Flows of water bring the pollution to the planting areas, making the water dirty. Therefore, many farmers are planting irresponsibly; they harvest everything and no longer set aside seed stock. Similarly, in the village of Barassang, Lasolo, a neighboring village of Lemo Bajo, the main problem is also ice-ice disease. The disease often occurs in November, when the flow isn’t smooth and water temperatures rise. In December, seaweed is usually attacked by blue moss. It attacks two weeks after planting. The moss causes the thalus to become damaged and disjointed. The villagers have often demonstrated against a local nickel mining company because the company wanted to open new land mines. Farmers feel if mining areas are opened, the water quality around the mine will become polluted and people will no longer be able to cultivate seaweed.

3 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

ulawesi Tenggara merupakan provinsi yang kaya akan sumberdaya laut, utamanya sektor budidaya sumberdaya laut.

SPotensi budidaya sumberdaya laut yaitu 396.915 hektar dengan pemanfaatan 23.247 hektar untuk komoditas rumput laut, kerapu, teripang, kekerangan dan lobster. Salah satu komoditas yang menjadi unggulan yaitu rumput

laut dan dibudidayakan hampir di pesisir setiap kabupaten, diantaranya Konawe Selatan (Konsel) yang luas lahan budidaya 3.210 hektar dengan produksi rumput laut tak kurang dari 275 ton, Konawe Utara yang luas lahan budidaya sekitar 514 dengan realisasi produksi 6,076.98 ton dan Kendari yang memiliki luas lahan 182 hektar, namun produksi nol, padahal tahun sebelumnya produksi mencapai tak kurang dari 3 ton. Tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam budidaya sumberdaya laut, khususnya budidaya rumput laut. Terdapat masalah-masalah seperti maraknya penyakit ice-ice dan lumut, ketersediaan bibit, perubahan cuaca yang tidak menentu, limbah tambang, carrying capacity dan persoalan harga dan pasar. Ada daerah yang tetap menanjak produksi dan aktivitasnya dan ada daerah yang mengalami penurunan aktivitas.

Desa Akuni, Tinanggea/ Akuni Village, Tinanggea Minggu, 7 Juli 2013, saya mengunjungi Desa Akuni, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konsel. Di sana kami menemui Bapak Madamang (43), Kepala Desa dan aktor perintis budidaya rumput laut di Akuni. Rumput laut mulanya diperkenalkan oleh sebuah LSM di Desa Bumi Permai pada 2005. Kemudian aktivitas budidaya menjalar ke Desa Moramo. Dari desa

OLEH IDHAM MALIK

The Rise and Fall of Seaweed Cultivation in Remote Areas of Southeast Sulawesi

Jatuh Bangun BUDIDAYA RUMPUT LAUT

di Pelosok Sulawesi Tenggara

Page 5: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

News 4Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013

Moramolah Madamang memperoleh bibit sebanyak 500 kilogram dan membawanya ke Akuni. Saat ini diwilayahnya terdapat 200 KK dari Dari 500 KK merupakan petani rumput laut. Jika digabungkan dengan daerah lumbung rumput lainnya di Kecamatan Tinanggea, yaitu di Kelurahan Tinanggea, Desa Bumi Permai, dan Desa Torokeku, Jumlah produksi rumput laut dalam sebulan diperkirakan mencapai 300 – 400 ton sekali siklus. Dalam pemeliharaan rumput laut tidak selalu lancar, terdapat musim baik dan musim buruk untuk pemeliharaan. Yang terbaik adalah pada Juni-Agustus, sebab suhu air tidak terlalu panas dan arus cukup kencang. Menjelang September kurang baik memelihara rumput laut karena suhu air tinggi dan arus lambat. Ini menyebabkan tumbuhnya lumut yang menyelimuti rumput laut dan menjadikannya kurus. Kondisi cuaca ekstrim tersebut dimana suhu tinggi atau suhu rendah, salinitas tinggi atau rendah, dan kurangnya arus juga menyebabkan munculnya penyakit ice-ice, kerusakan thalus yang ditandai berubahnya thalus menjadi warna pucat. Menanggulangi penyakit ice-ice, petani hanya membiarkan bibitnya di laut hingga musim baik tiba, pada saat kualitas air laut sudah membaik, rumput laut yang kurus itu kembali segar dan tumbuh normal. Meski begitu, di lokasi penanaman rumput laut di sekitar muara sungai justru tidak mengalami hambatan. Sebab suhu air tidak setinggi di laut sebab dipengaruhi oleh aliran air tawar dari sungai. Ada tiga tempat pemeliharaan warga Akuni yaitu di Muara Labasi, Muara Ranuwulu, dan Muara Ruaraya. Harga rumput laut kering di Tinanggea cukup stabil, harga untuk pengumpul lokal sekitar 10 ribu rupiah. Pengumpul lokal di Tinanggea yaitu H. Bahasmi, H. Udin, H. Hasnah, Rahman. Mereka menjualnya ke Kendari atau ke Makassar dengan harga 15 ribu rupiah.

Desa Lemo Bajo Pada 8 Juli 2013, saya ke Lemo Bajo, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara. Di sana saya menemui Bapak Amar. Ia sudah tidak menanam lagi karena saat ini sulit memperoleh bibit. Selain itu rumput laut sering terpapar ice-ice, penyakit ini tidak hanya menyerang pada bulan tertentu, tapi hampir setiap siklus. Dalam satu siklus biasanya lebih banyak yang terserang dibanding yang masih utuh. Salah satu penyebab ice-ice ini menurut Amar adalah menurunnya kualitas air (nutrien) sebab limbah tanah yang diangkut oleh kapal kadang terjatuh dan arus air membawa tanah tersebut ke lokasi penanaman, sehingga air menjadi kabur. Karena itu banyak petani yang malas menanam RL, mereka memanen semuanya dan tidak lagi menyisihkan untuk bibit. Begitu pula di Desa Barassang Kecamatan Lasolo, tetangga desa Lemo Bajo, masalah utamanya yaitu penyakit ice-ice. Penyakit ini marak pada bulan November, ketika arus kurang lancar dan suhu air peningkat. Pada Desember biasanya rumput laut diserang oleh lumut yang berwarna biru. Menyerang ketika umur rumput laut sudah mulai dua minggu sejak penanaman. Lumut tersebut menyebabkan thallus rusak dan terputus-putus. Warga desa ini pernah beberapa kali melakukan demonstrasi ke Perusahaan tambak nikel lantaran perusahaan tersebut ingin membuka lahan baru. Petambak merasa jika tambang di wilayah mereka dibuka, maka kualitas air di sekitar tambang pun akan rusak dan warga tidak bisa lagi memelihara rumput laut.

Desa Bungku Tungku dan Tondongeu, Kendari Kami selanjutnya mengunjungi Desa Bungku Tungku, namun kami tak menemukan aktivitas budidaya rumput laut. Ternyata sejak awal 2012 orang berhenti menanam rumput laut. Ini disebabkan karena kualitas air di lokasi penananam menurun. Setelah dari Bungkutungku kami ke Tondongeu, di sana kami menemui Bapak Aris (41), Kepala RT yang dulu pernah menjadi pengumpul/ penampung rumput laut. Di sini juga tidak terlihat aktivitas budidaya rumput laut. Petani berhenti menanam sejak awal 2012. Menurut Aris, ada dua penyebabnya, pertama karena faktor harga yang rendah, yaitu lima ribu rupiah per kilogram, kedua karena maraknya lumut yang menyelimuti rumput laut. Harga lima ribu rupiah, tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga nelayan. Padahal pada tahun 2011harga masih bagus, yaitu delapan ribu rupiah. Musim budidaya yang baik itu pada Mei, Juni, dan Juli. Pada bulan tersebut arus bagus dan ada gelombang, selain itu cuaca tidak

Southeast Sulawesi is a province rich in marine resources, especially in the marine aquaculture sector. The aquaculture potential is 396,915 hectares with current utilization of 23,247.54 acres for seaweed, grouper, sea cucumber, oyster and lobster cultivation. Seaweed and being cultivated on the coast of almost every district, including South Konawe (Konsel) which has a cultivation area of 3,210 hectares of land with production of 275,256.41 tons of seaweed each year. Konawe Utara has an extensive cultivation area of 514.5 hectares with actual production of 6,076.98 tons and Kendari has land area of 182.0 hectares, but its production is zero, despite a previous year’s production of about 3,288.83 tons (Southeast Sulawesi Official Province Data, 2012). But seaweed cultivation, in reality, is not easy; there are problems such as the rise of ice-ice disease and algae, seed availability, uncertain weather changes, mining waste, carrying capacity, and the issues of market and prices. There are areas that have increasing production and activity and there remain areas with decreasing activity. Sunday, July 7th, 2013, I visited Akuni Village, Tinanggea, Konsel. There I met Pak Madamang (43 years old), the village chief and a pioneer of seaweed farming in Akuni. Seaweed was initially introduced by an NGO in the village of Bumi Permai in 2005, then it spread to Moramo village. Madamang received as much as 500 kilograms of seed and brought it into Akuni. Today, 200 out of 500 households work as seaweed farmers. If the granaries of seaweed were all combined from Tinanggea subdistrict, Bumi Permai Village, and the Village of Torokeku, the amount of seaweed production in a month is estimated around 300-400 tons per cycle. The cultivation of seaweed does not always run smoothly, there is a season for cultivation. The best season is from June till August, because the water temperature is not too hot and the water flows quickly. Around September seaweed cultivation is is impacted by high water temperatures and the slow flows of water. That leads to algae growth, which wraps around the seaweed and makes them thinner. The extreme weather conditions of high temperature or low temperature, high salinity or low, also led to the emergence of the ice-ice disease, which damages the thalus, as indicated from the color of thalus being white/pale. To overcome the ice-ice disease, farmers just let the seeds grow in the ocean until a good season arrives; when the sea water quality improves, the thin seaweed will be refreshed and grow normally. Even so, when seaweed cultivation is undertaken around the mouth of the river there are also difficulties because the temperature is not as high as in the sea water as the water is affected by the fresh water flowing from the river. There are three places where the Akuni community can cultivate seaweed: Labasi Muara, Muara Ranuwulu, and Muara Ruaraya. The price of dried seaweed in Tinanggeais quite stable, the price for local collectors around Rp 9,000-10,000. Some of the Tinanggea local collectors are H. Bahasmi, H. Udin, H. Hasnah, and Rahman. They sell it to Makassar or Kendari at a price of Rp15.000 per kilo.

Lemo Bajo Village On July 8, 2013, I went to Lemo Bajo, Lasolo, Konawe Utara. In Lemo Bajo, I met Pak Amar. He had not been planting, ths year but last year he did. The reason is because it is difficult to get seeds. Seaweed is often exposed to ice-ice, but the disease does just attack in a given month, but in almost every cycle. In one cycle usually there are more affected seaweeds than intact ones. According to Amar, one of the causes of ice-ice is the declining water quality (nutrients) because of waste being dumped by passing ships. Flows of water bring the pollution to the planting areas, making the water dirty. Therefore, many farmers are planting irresponsibly; they harvest everything and no longer set aside seed stock. Similarly, in the village of Barassang, Lasolo, a neighboring village of Lemo Bajo, the main problem is also ice-ice disease. The disease often occurs in November, when the flow isn’t smooth and water temperatures rise. In December, seaweed is usually attacked by blue moss. It attacks two weeks after planting. The moss causes the thalus to become damaged and disjointed. The villagers have often demonstrated against a local nickel mining company because the company wanted to open new land mines. Farmers feel if mining areas are opened, the water quality around the mine will become polluted and people will no longer be able to cultivate seaweed.

3 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

ulawesi Tenggara merupakan provinsi yang kaya akan sumberdaya laut, utamanya sektor budidaya sumberdaya laut.

SPotensi budidaya sumberdaya laut yaitu 396.915 hektar dengan pemanfaatan 23.247 hektar untuk komoditas rumput laut, kerapu, teripang, kekerangan dan lobster. Salah satu komoditas yang menjadi unggulan yaitu rumput

laut dan dibudidayakan hampir di pesisir setiap kabupaten, diantaranya Konawe Selatan (Konsel) yang luas lahan budidaya 3.210 hektar dengan produksi rumput laut tak kurang dari 275 ton, Konawe Utara yang luas lahan budidaya sekitar 514 dengan realisasi produksi 6,076.98 ton dan Kendari yang memiliki luas lahan 182 hektar, namun produksi nol, padahal tahun sebelumnya produksi mencapai tak kurang dari 3 ton. Tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam budidaya sumberdaya laut, khususnya budidaya rumput laut. Terdapat masalah-masalah seperti maraknya penyakit ice-ice dan lumut, ketersediaan bibit, perubahan cuaca yang tidak menentu, limbah tambang, carrying capacity dan persoalan harga dan pasar. Ada daerah yang tetap menanjak produksi dan aktivitasnya dan ada daerah yang mengalami penurunan aktivitas.

Desa Akuni, Tinanggea/ Akuni Village, Tinanggea Minggu, 7 Juli 2013, saya mengunjungi Desa Akuni, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konsel. Di sana kami menemui Bapak Madamang (43), Kepala Desa dan aktor perintis budidaya rumput laut di Akuni. Rumput laut mulanya diperkenalkan oleh sebuah LSM di Desa Bumi Permai pada 2005. Kemudian aktivitas budidaya menjalar ke Desa Moramo. Dari desa

OLEH IDHAM MALIK

The Rise and Fall of Seaweed Cultivation in Remote Areas of Southeast Sulawesi

Jatuh Bangun BUDIDAYA RUMPUT LAUT

di Pelosok Sulawesi Tenggara

Page 6: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

5 6

Penulis adalah Seafood Savers Officer, WWF-Indonesia Sunda – Banda Seascapee-mail : [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT

FOR MORE INFORMATION

News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

terlalu panas dan sedikit terdapat hujan. Pada bulan sembilan arus kurang baik ditambah cuaca panas membuat rumput laut menjadi kurus, selain itu juga dipengaruhi oleh banyak lumut yang menempel di rumput laut. Sehingga pada bulan September dan Oktober, petani rumput laut hanya fokus untuk pembibitan dan menunggu sampai kualitas air bagus.

Penanggulangan Ice-Ice Hampir setiap daerah penanaman rumput laut memiliki masalah yang sama, yaitu penyakit ice-ice. Penyakit ice-ice sebenarnya disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya ice-ice. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab munculnya ice-ice, yaitu kurangnya densitas cahaya, salinitas kurang dari 20

oppt, dan temperatur mencapai 33 hingga 35 C. Beberapa jenis bakteri telah diisolasi dari thalus yang terkena penyakit tersebut, namun bakteri tersebut diduga hanya merupakan penyebab kedua. bahwa pertumbuhan Hasil penelitian menunjukkanrumput laut dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berfotosintesis, dimana kondisi berada fotosintesis optimum

opada temperatur 30 C. Dawes (1989) dalam Ask dan Azanza (2002) menyatakan bahwa rumput laut K. Alvarezii dapat

omentolerir temperatur antara 22 hingga 25 C, tetapi optimum opada temperatur antara 25 hingga 28 C. Untuk salinitas, rumput

laut K. alvarezii mempunyai salinitas optimum yang berkisar 29 hingga 34 ppt. Berdasarkan standar budidaya tersebut penanaman rumput laut sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten setempat berinisiatif untuk melakukan penelitian studi kesesuaian peruntukan lahan budidaya, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu; Lokasi budidaya harus jauh dari pengaruh daratan; perairan bebas dari pengaruh sedimentasi yang dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis; terdapatnya pergerakan air (arus) yang cukup untuk mendistribusikan nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut (Eucheuma dan Gracillaria), serta terhindar dari akumulasi sedimen dan tumpuhan penempel; pada saat surut, perairan masih digenangi air hingga 30 dan 60 cm untuk menghindari kematian akibat terlalu terang; perairan memiliki pH antara 7,3 dan 8,2 dan ditumbuhi berbagai komunitas macro-algae. Dengan demikian, rumput laut yang merupakan sumber utama penghasil agar-agar, alginat dan karaginan yang dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, dan industri lainnya (industri kertas, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan), ini dapat memberikan peluang besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja, mengentaskan kemiskinan, serta peningkatan devisa negara.

Bungku Tungku and Tondongeu Village, Kendari Next, we visited the village of Bungku Tungku, but we could not find seaweed farming activities. It turns out that people stopped growing seaweed in early 2012 because the quality of water at the location decreased. From Bungku Tungku we went to Tondongeu; there we met Pak Aris (41), an Administrative Head who used to be collector of seaweed. There, it was also hard to find activity of seaweed farming. Farmers stop cultivating since the beginning of 2012. According to Aris, there were two reasons, first because of the low price of seaweed of only Ro 5,000 per kilogram, and second because the rise of seaweed moss/algae. The price of Rp 5,000 could not meet the needs of fishermen households. In 2011, the price of seaweed was still normal at Rp 8,000 per kilogram. The good season for farming is in May, June, and July. In those months, the flow is good, there are no waves, the weather is not too hot and there is little rain. In the ninth month, the weather is unfavorable because it is hot and the flow is not good enough which makes the seaweed thinner, but it is also affected by great quantities of the attached moss. So in the ninth and tenth months, seaweed farmers only focus on breeding and wait until the water quality turns good.

Overcoming Ice-Ice Disease Almost every place that plants oseaweed has the same problem, ice-ice disease. Ice-ice is actually caused by changing environment such as water flow, temperatures and brightness. The light in water is a cause of ice-ice, which thrives in less light density, salinity under 20 ppt, and when the temperature reaches 33-35 0C. Some bacteria has been isolated from thalus infected by the disease, but it is considered a secondary infection. (Parenrengi, Rachmansyah, Suryati/BRPBAP Maros). Based on the study, the growth of seaweed is influenced by its ability to photosynthesize, where the conditions for optimum

ophotosynthesis at temperatures of 300 C. Dawes (1989) and Azanza (2002) said that K. Alvarezii seaweed is able to tolerate a

otemperature of 22 – 25 C, but the optimum temperature standards oare between 25 – 28 C. For salinity (salt amount), according to Doty

(1987) in Risjani (1999), the K. alvarezii seaweed has an optimum salinity in the range of 29-34 ppt. While according to Kadi and Atmaja (1988,) the optimum salinity is between 30 - 37 ppt. Based on the standards, cultivation should be adjusted to the water conditions. It's good that the local district government took the initiative to conduct land suitability study research. This showed that things to note include: the location of cultivation should be far enough from the mainland’s influence; the water must be free from the effect of sedimentation for the photosynthesis process; the presence of water flow (streams) to distribute nutrients and oxygen needed for the growth of seaweed (Eucheuma and Gracillaria) is necessary; avoid the accumulation of sediment and footing of tacks; during low tide the water must remain at 30-60 cm to avoid die back from brighter light; and the water must have a pH between 7.3 to 8.2 to avoid overgrown macro-algae communities. Thus, seaweed, which is the main source of gelatin, alginate and carrageenan which is used in food industry, cosmetics, pharmaceuticals, and other industries (paper industry, textiles, photography, pasta and canned fish), could provide great opportunities for increasing the wealth levels of communities, increasing employment, reducing poverty, and increasing national income.

Di pulau-pulau Raja Ampat provinsi Papua Barat, sebuah inisiatif lokal untuk melestarikan

konservasi perikanan sedang menentukan standar global.

In West Papua province’s Raja Ampat islands, a local fisheries conservation

initiative is setting a global standard

ZONA TABUNGAN IKANNo-take zones

OLEH BOBBY ANDERSON

ara ketua adat mengenang masa dimana laut sekitar Pulau Batbitim Pdi tenggara Raja Ampat masih seperti taman Eden, sebelum perahu-perahu dari luar mulai menjarah isinya. Raja Ampat menjadi rumah

bagi lebih banyak jenis terumbu karang dibandingkan tempat lain di dunia. Warna terumbu karangnya menyerupai kedai-kedai penjual manisan beraneka warna dan kilau. Keragaman terumbu karang dan ikan pelagis di daerah ini tak tertandingi: kawanan ikan berbaur dan terkadang tercerai berai panik saat kedatangan ikan pari atau cucut aron. Walaupun pada era 1980 dan 1990an, hiu tergolong jenis yang banyak ditemui di perairan tenggara Misool: nelayan lokal masih mengabaikannya dan memilih menangkap ikan yang lebih mudah dijual. Namun pada pertengahan tahun 2000, hal tersebut berubah. Permintaan sirip hiu dari Cina meningkat dramatis. Walau rasa dan nilai gizinya tidak seberapa, sirip hiu telah menjadi simbol status di perjamuan-perjamuan orang kaya baru di sana. Pukat-pukat dari berbagai penjuru kepulauan, juga dari Cina dan Taiwan, pun mulai menyerbu Raja Ampat, membawa jaring dengan 2.000 mata kail per baris. Serangan pukat ini juga melibatkan warga setempat. Pantai utara Pulau Batbitim Raja Ampat menjadi tempat berkemah para pemburu sirip hiu musiman. Mereka meninggalkan pantai dipenuhi tulang belulang hiu dan pari yang ditangkap untuk memenuhi rakusnya pasar dunia akan sirip hiu. Badan ikan hiu, yang nilai komersialnya rendah, dibiarkan terserak di pantai atau ditenggelamkan di laut, bahkan saat ikan yang diambil siripnya itu masih hidup. Kerusakan di wilayah Raja Ampat ini tak dapat diperkirakan karena belum ada data dasar. Satu hal yang pasti: tempat yang dulu melimpah jumlah hiunya, kini sudah tidak lagi. Hanya saja, dalam beberapa tahun kemudian, hiu-hiu disana mulai kembali. Sebuah kolaborasi luar biasa antara komunitas lokal dan kelompok penyelam asing membentuk zona tabungan ikan (no-take zone) untuk memulihkan apa yang telah hilang.

Mendorong Perubahan Zona tabungan ikan adalah gagasan Andy Miners, seorang pemandu selam asal Cornwall, juga konservasionis dan pakar biologi kelautan amatir. Setelah berhadapan dengan pembantaian di pantai utara Pulau Batbitim, Miners mendirikan sebuah resort dan pusat selam untuk mendukung zona tabungan ikan yang memungkinkan kembalinya populasi ikan di daerah selatan Raja Ampat. Setelah berhasil meyakinkan Marit Maritson, Thorben Nieman, dan Mark Pearce tentang idenya ini, keempatnya lalu mengumpulkan dukungan dari teman-teman dari berbagai komunitas penyelam. Pendekatan pusat selam terhadap kelestarian berkaitan dengan sumberdaya manusia, institusionalisasi praktik dan pengelolaan keuangan konservasi. Misool Eco Resort mendapatkan pemasukan dari para penyelam dan yayasannya, Baseftin, dan mengelola kegiatan konservasi di zona tabungan ikan serta para petugas patroli yang menjaganya. Hampir 70 persen di antara para petugas ini adalah staff lokal. Pada masa di antara mengidentifikasi pelatih muda untuk menjadi pemandu selam berpengalaman, pengelola resort mengisi gap yang ada dengan mendatangkan pemandu selam berpengalaman dari Manado. Institusionalisasi praktik konservasi adalah isu yang sulit dipahami. Di

Local adat (traditional law) chiefs recall a time when the sea around Batbitim Island in southeastern Raja Ampat was once an Eden, before boats from outside began to strip the stocks bare. Raja Ampat hosts more varieties of hard and soft coral than any other area on earth. The colours of the reefs resemble old corner shops selling confectioners penny candy of every colour and gloss. The diversity of reef and pelagic fishes on these reefs is unrivalled: shoals and schools intermingle and occasionally explode in panic at the arrival of a pack of hunting devil rays or a grey reef shark. Even through the 1980s and 1990s, sharks were common in the waters of southeast Misool: local fishers had no use for them, preferring more marketable catches. But by the mid-2000s, that had changed. Rising incomes in China had led to dramatic increases in the demand for shark fin, which-although absent of taste and nutritional value-are a status symbol at the banquets of the nouveau riche. Soon longliners from across the archipelago, as well as from China and Taiwan, descended upon Raja Ampat, trailing to 2000 hooks per line. The onslaught also involved locals. The northern beach of Raja Ampat’s Batbitim Island became host to a seasonal shark-finning camp, leaving the sand scattered with desiccated cartilage from the sharks and rays caught to feed a voracious worldwide market in fins. The bodies, which have little commercial value, were left on beaches or sunk in the open water, often when the sharks were still alive. The devastation that this demand has wreaked across Raja Ampat cannot be estimated, as no baseline data exists. But one thing is certain: where they had once been abundant, there were no more sharks. Only a few years later, however, the sharks have returned. A remarkable collaboration between the local community and a committed group of foreign divers has established a no-take zone to recover what had been lost.

Pushing for change The no-take zone was the brainchild of Andy Miners, a dive guide from Cornwall, committed conservationist and amateur marine biologist. Having been confronted by the carnage on Batbitim Island’s north beach, Miners went on a mission to establish a resort and dive centre to support a no-take zone that would allow for the re-stocking of depleted fish populations in southern Raja Ampat. Having convinced Marit Maritson, Thorben Nieman and Mark Pearce of his idea, the four raised capital from friends in the wider diving community. The centre’s approach to sustainability relates to human resources, the institutionalisation of conservation practices and finances. Misool Eco Resort earns income from divers and its foundation, Baseftin, and manages conservation activities in the no-take zone and the ranger patrols protect it. All are about 70 per cent locally staffed. In the time between identifying young trainees and turning them into experienced dive guides, the operation is filling the gap with experienced guides from Manado.

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

BAGIAN I

Page 7: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

5 6

Penulis adalah Seafood Savers Officer, WWF-Indonesia Sunda – Banda Seascapee-mail : [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT

FOR MORE INFORMATION

News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

terlalu panas dan sedikit terdapat hujan. Pada bulan sembilan arus kurang baik ditambah cuaca panas membuat rumput laut menjadi kurus, selain itu juga dipengaruhi oleh banyak lumut yang menempel di rumput laut. Sehingga pada bulan September dan Oktober, petani rumput laut hanya fokus untuk pembibitan dan menunggu sampai kualitas air bagus.

Penanggulangan Ice-Ice Hampir setiap daerah penanaman rumput laut memiliki masalah yang sama, yaitu penyakit ice-ice. Penyakit ice-ice sebenarnya disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya ice-ice. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab munculnya ice-ice, yaitu kurangnya densitas cahaya, salinitas kurang dari 20

oppt, dan temperatur mencapai 33 hingga 35 C. Beberapa jenis bakteri telah diisolasi dari thalus yang terkena penyakit tersebut, namun bakteri tersebut diduga hanya merupakan penyebab kedua. bahwa pertumbuhan Hasil penelitian menunjukkanrumput laut dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berfotosintesis, dimana kondisi berada fotosintesis optimum

opada temperatur 30 C. Dawes (1989) dalam Ask dan Azanza (2002) menyatakan bahwa rumput laut K. Alvarezii dapat

omentolerir temperatur antara 22 hingga 25 C, tetapi optimum opada temperatur antara 25 hingga 28 C. Untuk salinitas, rumput

laut K. alvarezii mempunyai salinitas optimum yang berkisar 29 hingga 34 ppt. Berdasarkan standar budidaya tersebut penanaman rumput laut sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten setempat berinisiatif untuk melakukan penelitian studi kesesuaian peruntukan lahan budidaya, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu; Lokasi budidaya harus jauh dari pengaruh daratan; perairan bebas dari pengaruh sedimentasi yang dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis; terdapatnya pergerakan air (arus) yang cukup untuk mendistribusikan nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut (Eucheuma dan Gracillaria), serta terhindar dari akumulasi sedimen dan tumpuhan penempel; pada saat surut, perairan masih digenangi air hingga 30 dan 60 cm untuk menghindari kematian akibat terlalu terang; perairan memiliki pH antara 7,3 dan 8,2 dan ditumbuhi berbagai komunitas macro-algae. Dengan demikian, rumput laut yang merupakan sumber utama penghasil agar-agar, alginat dan karaginan yang dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, dan industri lainnya (industri kertas, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan), ini dapat memberikan peluang besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja, mengentaskan kemiskinan, serta peningkatan devisa negara.

Bungku Tungku and Tondongeu Village, Kendari Next, we visited the village of Bungku Tungku, but we could not find seaweed farming activities. It turns out that people stopped growing seaweed in early 2012 because the quality of water at the location decreased. From Bungku Tungku we went to Tondongeu; there we met Pak Aris (41), an Administrative Head who used to be collector of seaweed. There, it was also hard to find activity of seaweed farming. Farmers stop cultivating since the beginning of 2012. According to Aris, there were two reasons, first because of the low price of seaweed of only Ro 5,000 per kilogram, and second because the rise of seaweed moss/algae. The price of Rp 5,000 could not meet the needs of fishermen households. In 2011, the price of seaweed was still normal at Rp 8,000 per kilogram. The good season for farming is in May, June, and July. In those months, the flow is good, there are no waves, the weather is not too hot and there is little rain. In the ninth month, the weather is unfavorable because it is hot and the flow is not good enough which makes the seaweed thinner, but it is also affected by great quantities of the attached moss. So in the ninth and tenth months, seaweed farmers only focus on breeding and wait until the water quality turns good.

Overcoming Ice-Ice Disease Almost every place that plants oseaweed has the same problem, ice-ice disease. Ice-ice is actually caused by changing environment such as water flow, temperatures and brightness. The light in water is a cause of ice-ice, which thrives in less light density, salinity under 20 ppt, and when the temperature reaches 33-35 0C. Some bacteria has been isolated from thalus infected by the disease, but it is considered a secondary infection. (Parenrengi, Rachmansyah, Suryati/BRPBAP Maros). Based on the study, the growth of seaweed is influenced by its ability to photosynthesize, where the conditions for optimum

ophotosynthesis at temperatures of 300 C. Dawes (1989) and Azanza (2002) said that K. Alvarezii seaweed is able to tolerate a

otemperature of 22 – 25 C, but the optimum temperature standards oare between 25 – 28 C. For salinity (salt amount), according to Doty

(1987) in Risjani (1999), the K. alvarezii seaweed has an optimum salinity in the range of 29-34 ppt. While according to Kadi and Atmaja (1988,) the optimum salinity is between 30 - 37 ppt. Based on the standards, cultivation should be adjusted to the water conditions. It's good that the local district government took the initiative to conduct land suitability study research. This showed that things to note include: the location of cultivation should be far enough from the mainland’s influence; the water must be free from the effect of sedimentation for the photosynthesis process; the presence of water flow (streams) to distribute nutrients and oxygen needed for the growth of seaweed (Eucheuma and Gracillaria) is necessary; avoid the accumulation of sediment and footing of tacks; during low tide the water must remain at 30-60 cm to avoid die back from brighter light; and the water must have a pH between 7.3 to 8.2 to avoid overgrown macro-algae communities. Thus, seaweed, which is the main source of gelatin, alginate and carrageenan which is used in food industry, cosmetics, pharmaceuticals, and other industries (paper industry, textiles, photography, pasta and canned fish), could provide great opportunities for increasing the wealth levels of communities, increasing employment, reducing poverty, and increasing national income.

Di pulau-pulau Raja Ampat provinsi Papua Barat, sebuah inisiatif lokal untuk melestarikan

konservasi perikanan sedang menentukan standar global.

In West Papua province’s Raja Ampat islands, a local fisheries conservation

initiative is setting a global standard

ZONA TABUNGAN IKANNo-take zones

OLEH BOBBY ANDERSON

ara ketua adat mengenang masa dimana laut sekitar Pulau Batbitim Pdi tenggara Raja Ampat masih seperti taman Eden, sebelum perahu-perahu dari luar mulai menjarah isinya. Raja Ampat menjadi rumah

bagi lebih banyak jenis terumbu karang dibandingkan tempat lain di dunia. Warna terumbu karangnya menyerupai kedai-kedai penjual manisan beraneka warna dan kilau. Keragaman terumbu karang dan ikan pelagis di daerah ini tak tertandingi: kawanan ikan berbaur dan terkadang tercerai berai panik saat kedatangan ikan pari atau cucut aron. Walaupun pada era 1980 dan 1990an, hiu tergolong jenis yang banyak ditemui di perairan tenggara Misool: nelayan lokal masih mengabaikannya dan memilih menangkap ikan yang lebih mudah dijual. Namun pada pertengahan tahun 2000, hal tersebut berubah. Permintaan sirip hiu dari Cina meningkat dramatis. Walau rasa dan nilai gizinya tidak seberapa, sirip hiu telah menjadi simbol status di perjamuan-perjamuan orang kaya baru di sana. Pukat-pukat dari berbagai penjuru kepulauan, juga dari Cina dan Taiwan, pun mulai menyerbu Raja Ampat, membawa jaring dengan 2.000 mata kail per baris. Serangan pukat ini juga melibatkan warga setempat. Pantai utara Pulau Batbitim Raja Ampat menjadi tempat berkemah para pemburu sirip hiu musiman. Mereka meninggalkan pantai dipenuhi tulang belulang hiu dan pari yang ditangkap untuk memenuhi rakusnya pasar dunia akan sirip hiu. Badan ikan hiu, yang nilai komersialnya rendah, dibiarkan terserak di pantai atau ditenggelamkan di laut, bahkan saat ikan yang diambil siripnya itu masih hidup. Kerusakan di wilayah Raja Ampat ini tak dapat diperkirakan karena belum ada data dasar. Satu hal yang pasti: tempat yang dulu melimpah jumlah hiunya, kini sudah tidak lagi. Hanya saja, dalam beberapa tahun kemudian, hiu-hiu disana mulai kembali. Sebuah kolaborasi luar biasa antara komunitas lokal dan kelompok penyelam asing membentuk zona tabungan ikan (no-take zone) untuk memulihkan apa yang telah hilang.

Mendorong Perubahan Zona tabungan ikan adalah gagasan Andy Miners, seorang pemandu selam asal Cornwall, juga konservasionis dan pakar biologi kelautan amatir. Setelah berhadapan dengan pembantaian di pantai utara Pulau Batbitim, Miners mendirikan sebuah resort dan pusat selam untuk mendukung zona tabungan ikan yang memungkinkan kembalinya populasi ikan di daerah selatan Raja Ampat. Setelah berhasil meyakinkan Marit Maritson, Thorben Nieman, dan Mark Pearce tentang idenya ini, keempatnya lalu mengumpulkan dukungan dari teman-teman dari berbagai komunitas penyelam. Pendekatan pusat selam terhadap kelestarian berkaitan dengan sumberdaya manusia, institusionalisasi praktik dan pengelolaan keuangan konservasi. Misool Eco Resort mendapatkan pemasukan dari para penyelam dan yayasannya, Baseftin, dan mengelola kegiatan konservasi di zona tabungan ikan serta para petugas patroli yang menjaganya. Hampir 70 persen di antara para petugas ini adalah staff lokal. Pada masa di antara mengidentifikasi pelatih muda untuk menjadi pemandu selam berpengalaman, pengelola resort mengisi gap yang ada dengan mendatangkan pemandu selam berpengalaman dari Manado. Institusionalisasi praktik konservasi adalah isu yang sulit dipahami. Di

Local adat (traditional law) chiefs recall a time when the sea around Batbitim Island in southeastern Raja Ampat was once an Eden, before boats from outside began to strip the stocks bare. Raja Ampat hosts more varieties of hard and soft coral than any other area on earth. The colours of the reefs resemble old corner shops selling confectioners penny candy of every colour and gloss. The diversity of reef and pelagic fishes on these reefs is unrivalled: shoals and schools intermingle and occasionally explode in panic at the arrival of a pack of hunting devil rays or a grey reef shark. Even through the 1980s and 1990s, sharks were common in the waters of southeast Misool: local fishers had no use for them, preferring more marketable catches. But by the mid-2000s, that had changed. Rising incomes in China had led to dramatic increases in the demand for shark fin, which-although absent of taste and nutritional value-are a status symbol at the banquets of the nouveau riche. Soon longliners from across the archipelago, as well as from China and Taiwan, descended upon Raja Ampat, trailing to 2000 hooks per line. The onslaught also involved locals. The northern beach of Raja Ampat’s Batbitim Island became host to a seasonal shark-finning camp, leaving the sand scattered with desiccated cartilage from the sharks and rays caught to feed a voracious worldwide market in fins. The bodies, which have little commercial value, were left on beaches or sunk in the open water, often when the sharks were still alive. The devastation that this demand has wreaked across Raja Ampat cannot be estimated, as no baseline data exists. But one thing is certain: where they had once been abundant, there were no more sharks. Only a few years later, however, the sharks have returned. A remarkable collaboration between the local community and a committed group of foreign divers has established a no-take zone to recover what had been lost.

Pushing for change The no-take zone was the brainchild of Andy Miners, a dive guide from Cornwall, committed conservationist and amateur marine biologist. Having been confronted by the carnage on Batbitim Island’s north beach, Miners went on a mission to establish a resort and dive centre to support a no-take zone that would allow for the re-stocking of depleted fish populations in southern Raja Ampat. Having convinced Marit Maritson, Thorben Nieman and Mark Pearce of his idea, the four raised capital from friends in the wider diving community. The centre’s approach to sustainability relates to human resources, the institutionalisation of conservation practices and finances. Misool Eco Resort earns income from divers and its foundation, Baseftin, and manages conservation activities in the no-take zone and the ranger patrols protect it. All are about 70 per cent locally staffed. In the time between identifying young trainees and turning them into experienced dive guides, the operation is filling the gap with experienced guides from Manado.

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

BAGIAN I

Page 8: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

87 News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

seluruh Indonesia, konservasi dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan orang lain. Eksploitasi sumberdaya dianggap membayar dengan harga murah, namun konservasi tidak membayar sama sekali, dimana kebanyakan keuntungan konservasi jatuh ke tangan para operator wisata. Di Misool, sumberdaya manusia di pusat selam menyediakan modal bagi warga setempat untuk menjaga aktivitas ini dan meningkatkan hasil tangkapan di daerah pinggiran zona. Cara ini telah berhasil menunjukkan nilai tangible bagi orang lain dalam komunitas. Dukungan warga setempat adalah hal utama dalam mengerjakan sebuah konsep. Miners bernegosiasi dengan para pimpinan adat di Misool tenggara selama berbulan-bulan sebelum zona tabungan ikan ini disepakati. Para pimpinan adat sangat tertarik dengan ide ini. Mereka sendiri tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan hiu: mereka terintimidasi oleh para nelayan pukat namun tidak berdaya untuk menghentikannya. Para pimpinan adat kemudian meyakinkan komunitasnya akan keuntungan dari rencana ini. Dukungan dari warga setempat sangat penting bagi keberhasilan zona tabungan ikan, tidak hanya untuk alasan budaya, tetapi juga untuk memenuhi persyaratan hukum. Hukum Indonesia mengenal kepemilikan eksklusif zona laut oleh ’pemilik’ tradisional yang dalam hal ini adalah desa. Kesepakatan oleh pemimpin adat dari pulau berpenghuni terdekat dan konstituennya adalah kunci sukses ditetapkannya zona tabungan ikan dan batas-batasnya. Begitu para pemimpin adat dan komunitasnya mendukung inisiatif ini, Dinas Perikanan Kabupaten dan Provinsi pun menyetujui kesepakatan tersebut.

Menjaga Zona Pengadaan zona tabungan ikan mengarah pada penggusuran tempat berkemah nelayan pengambil sirip hiu dan pengaturan lalu-lintas perahu di area tersebut: perahu-perahu dibolehkan untuk melewati zona tabungan ikan, namun tidak diperbolehkan mengambil ikan di daerah tersebut. Para petugas patroli resort membolehkan perahu mereka digunakan dan hal tersebut direstui oleh petugas keamanan, yang juga seringkali membantu mereka. Saat kelompok nelayan ditangkap, perahunya akan disita dan hasil tangkapannya dibuang ke laut. Perahu-perahunya akan ditahan sampai dendanya dibayar. Para petugas patroli juga telah mengejar berbagai pukat; kasus penangkapan yang paling dramatis sampai sekarang adalah dua perahu dari Sulawesi, atapnya ditutup oleh sirip hiu kering. Perahunya langsung ditangkap sesaat setelah jaringnya diturunkan, dan saat petugas patroli naik ke perahu, jaringnya diangkat naik dan hiu yang terjerat dilepaskan. Kasus penangkapan yang lebih umum misalnya saat perahu lokal dari Sorong: selama puluhan bulan, perahu ini tidak boleh memasuki kawasan dan karena petugas selalu waspada, jumlah penangkapan ikan di dalam kawasan telah menurun hingga setengahnya dalam kurun waktu dua bulan. Kasus penangkapan yang paling sulit adalah perahu-perahu dari beberapa desa yang menangkap ikan secara tradisional di dalam zona tanpa diketahui atau diputuskan terlebih dahulu oleh para pimpinan adat. Tantangan juga muncul dari pemuda desa yang ingin membangun kekuasaan sendiri di daerah tersebut. Tapi hukum diberlakukan untuk semuanya. Pada awalnya, petugas patroli mengambil pendekatan halus bagi pelanggaran yang dilakukan warga setempat. Peringatan diberikan dan disertai dengan sosialisasi rutin tentang alasan-alasan pentingnya zona tabungan ikan-yakni keamanan pangan bagi generasi penerus. Denda tidak diberikan, tetapi hasil tangkapan harus disita. Rangakaian pertemuan juga diadakan di desa-desa pelaku, dimana para pemuka desa akan membahas dampak positif dari zona ini. Dengan cara ini, dalam lima tahun terakhir, terjadi penurunan pelanggaran sampai 90 persen. Para petugas patroli sekarang mendapatkan gaji dari keuntungan yang diperoleh resort dan dari donasi: tiga perahu yang didedikasikan dan sebuah tim petugas pengamanan lokal, kebanyakan di antaranya mantan nelayan pemburu hiu, beroperasi di tiga basis pengamanan. Mereka mengkordinasikan patroli dengan resort dan dengan desa-desa sekitar yang melaporkan adanya perahu di dalam zona. Pada tahun 2010, zona ini diperluas ke ara timur dan memasukkan Pulau Daram, luas zona pun bertambah menjadi dua kali lipat, dan sekarang menjadi lebih besar dari wilayah darat dan laut Singapura. (Bersambung)

The institutionalisation of conservation practice is a more complicated issue. Across Indonesia, conservation is something others profit from. Exploitation of resources pays a pittance, but conservation hardly pays at all, with much of the profits from conservation concentrated in the hands of local tour operators. In Misool, the centre’s human resources provides locals with a stake in maintaining these activities and the increased catch on the fringes of the zone has amply demonstrated a tangible value for others in the community. Local buy-in was vital to make the concept work. Miners negotiated with southeastern Misool’s adat leaders for months before the no-take zone was finally agreed upon. The leaders were keenly interested in the idea. They were not profiting from the trade in sharks: they were intimidated by the longliners but felt powerless to stop them. They, in turn, convinced their communities of the benefits of the plan. Buy-in from locals was vital for the success of the no-take zone for cultural reasons, but also to meet legal requirements. Indonesian law recognises the exclusive ownership of marine zones by traditional ‘owners’: in this case, the local villages. Agreement by the adat leadership of the nearest inhabited islands and their constituencies was thus key to the establishment of the no-take zone and its boundaries. Once adat leaders and their communities aligned, the district and provincial fisheries departments approved the agreement.

Patrolling the zone The establishment of the no-take zone led to the expulsion of shark-finning camps and the regulation of boats in the area: boats were allowed to transit the no-take zone, but under no circumstances could they fish there. Local rangers patrol in donated boats with the blessing of the local security actors, who often actively assist them. When fishing boats are seized, they are impounded and the catches are jettisoned into the water. The boats are held until a fine is paid. The patrol have chased off numerous large long liners; the most dramatic capture so far has been two fishing boats from Sulawesi, their roofs covered with drying fins. The boats were caught just after the nets were submerged, and when the patrol boarded the boats and dragged the nets from the water, entangled sharks were cut free and saved. More common are the seizures of local boats from Sorong: dozens a month have been driven off, and as word of the vigilance of the patrols spread, the number of seizures has declined to an average of two per month. The most difficult seizures are the boats from villages that traditionally fished the zone before the adat leaders decided otherwise. Such challenges to adat authority from impetuous young men seeking to establish their own power are common. But the law is applied to all. In the beginning, the patrols took a ‘soft’ approach to local infringements. Warnings were accompanied by constant socialisation of the reasons behind the no-take zone – food security for future generations. Fines were not imposed, but catches were confiscated. Meetings were then held in the offenders’ villages, when the elders would discuss the positive impact of the zone. In the last five years, violations have fallen by 90 per cent. The patrols are now paid by the profits from the resort and from donations: three dedicated boats and a team of local rangers, most of them ex-shark fishermen, operate from three ranger bases. They coordinate patrols with the resort and with local villages that report boats in the area. In 2010 the zone was expanded eastward to include Daram Island, doubling the size of the zone, and it is now larger than the land and sea area of Singapore. (To be continued)

Kota Ambon yang sempit dan padat, menyebabkan pola interaksi anak muda menjadi lebih intensif. Pasca konflik, ruang publik anak muda, secara garis besar hanya terpusat pada dua tempat, yakni Ambon Plaza dan Lapangan Merdeka. Dari kesempitan ini tingkat

persebaran gosip, isu dan perkembangan anak muda secara informatif sangat cepat menyebar. Gaya atau tingkah pola anak muda Ambon yang penuh sensasi, luar biasa atau bahkan

menjengkelkan dengan cepatnya terkabarkan ke segala penjuru. Anak muda akan segera tahu, jika si A sebagai pelaku sesuatu, maka pendengar kabar atau saksi mata akan mengetahui, si A anak muda dari wilayah mana, siapa saudara yang dikenalnya, dan dimana ia sering duduk-duduk. Pakaian, selera makanan dan minuman, pilihan musik menggambarkan pengalaman sosio kultural. Demikian pula, pengalaman anak muda Ambon dalam menerjemahkan pilihan gaya hidup dan selera tubuh mengacu kepada benang historis dan nilai kultural. Kemampuan menjalankan gaya secara bergengsi pada sebagian anak muda Ambon, dianggap bagian dari transfer gaya kaum kolonial yang diadaptasi kembali dan terus diartikulasikan hingga ketika pasca konflik tahun 2002. Pencuatan gaya dikalangan anak muda, disinyalir karena dua hal, yakni anak muda yang memasuki masa usia transisi dan perlu menyampaikan ekspresi tubuh dengan mencolok, serta bentuk tingginya kesensitifan terhadap rasa keterasingan diri ketika berada di

tengah modernitas sebuah kota. Konstruksi Anak Muda dalam Negara Anak muda digambarkan sebagai orang-orang paling bergelora, radikal dan heroik terhadap wacana anti kolonial. Munculnya Jong Java (Pemuda Jawa),Indonesia Muda (Pemuda

Indonesia), Jong Islamietenbond (Liga Pemuda Islam), Jong Minahasa (Pemuda Minahasa), dan lainnya mengindikasikan pemuda identik dengan orientasi yang peduli dengan

konstruksi Negara Bangsa. Setiap individu pemuda diharuskan mempunyai loyalitas kepatuhan terhadap negara sekaligus pelaku utama perubahan dan mempunyai berbagai potensi yang masih tertanam. Salah satu karakter pemuda Indonesia seperti

yang digambarkan Anderson tidak merujuk pada jenjang usia tertentu, dan memang pemuda di Indonesia dalam rentangan rezim tidak terbatas pada waktu tertentu. Antropolog James T. Siegel, melihat bahwa karakterisasi pemuda yang dianggap sangat politik pada masa Orde Baru, dibengkokkan ke istilah “remaja”.

Sebuah istilah yang diidentikkan dengan anak-anak muda apolitis, dekat dengan perilaku konsumtif dan hasrat-hasrat ketubuhan yang bertingkah hedonistik. Kata remaja juga mengacu kepada anak muda kelas menengah dengan pilihan-pilihan konsumsi yang telah selesai mengurusi permasalahan tubuh secara primer, seperti masalah gizi, kesehatan hingga pendidikan. Konsep remaja ataupun anak muda mempunyai satu kesamaan, yakni sangat peduli dengan selera (taste) dan tingkat konsumtifitas yang tinggi. Pada masa Orde Baru beberapa konsep sengaja dikaburkan. Sebagai misal konsep remaja yang berkelindan dengan makna anak muda. Meski sebuah organisasi negara bernama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang baru mengalami transisi fisik dari anak-anak menuju dewasa, yakni mereka yang berusia antara 10 hingga 21 tahun. Namun terdapat kesepakatan struktural dan kultural yang mengakui bahwa anak muda dewasa adalah mereka yang telah menginjak usia 17 tahun. Karena itu mereka berhak mendapatkan surat ijin mengemudi, mendapatkan kartu tanda penduduk, menghisap rokok, minum-minuman keras, melihat sinema dewasa di bioskop, hingga mencoblos dikala pemilihan umum yang diadakan dalam lima tahun sekali. Kartu-kartu yang diproduksi oleh negara menentukan identitas tubuh

Imajinasi Gaya dan Identitas Tubuh Anak Muda Kota Ambon

“Nyong Ambon

Pung Gaya”

Bobby Anderson bekerja untuk proyek-proyek kesehatan, pendidikan, dan tata pemerintahan di Papua dan Papua Barat. Beliau dapat dihubungi melalui email [email protected] Anderson ([email protected]) works on health, education and governance projects in Eastern Indonesia, and he travels frequently in the Indonesian provinces of Papua and West Papua.Artikel ini juga telah dimuat di Inside Indonesia 112: Apr-Jun 2013

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Muda dalam Konstruksi Negara

Anak Muda yang di Apolitisasi

Anak Muda Musuh Negara

Anak Muda Bentukan Negara

PemudaSiswa/iPelajarMahasiswa/iRemaja

GaliGeng PremanPemuda BerandalanAnak Jalanan

Pemuda PancasilaPemuda Panca MargaAngkatan Muda Pembaharuan IndonesiaAngkatan Muda Golkar

OLEH HATIB ABDUL KADIR

BAGIAN I

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Page 9: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

87 News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

seluruh Indonesia, konservasi dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan orang lain. Eksploitasi sumberdaya dianggap membayar dengan harga murah, namun konservasi tidak membayar sama sekali, dimana kebanyakan keuntungan konservasi jatuh ke tangan para operator wisata. Di Misool, sumberdaya manusia di pusat selam menyediakan modal bagi warga setempat untuk menjaga aktivitas ini dan meningkatkan hasil tangkapan di daerah pinggiran zona. Cara ini telah berhasil menunjukkan nilai tangible bagi orang lain dalam komunitas. Dukungan warga setempat adalah hal utama dalam mengerjakan sebuah konsep. Miners bernegosiasi dengan para pimpinan adat di Misool tenggara selama berbulan-bulan sebelum zona tabungan ikan ini disepakati. Para pimpinan adat sangat tertarik dengan ide ini. Mereka sendiri tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan hiu: mereka terintimidasi oleh para nelayan pukat namun tidak berdaya untuk menghentikannya. Para pimpinan adat kemudian meyakinkan komunitasnya akan keuntungan dari rencana ini. Dukungan dari warga setempat sangat penting bagi keberhasilan zona tabungan ikan, tidak hanya untuk alasan budaya, tetapi juga untuk memenuhi persyaratan hukum. Hukum Indonesia mengenal kepemilikan eksklusif zona laut oleh ’pemilik’ tradisional yang dalam hal ini adalah desa. Kesepakatan oleh pemimpin adat dari pulau berpenghuni terdekat dan konstituennya adalah kunci sukses ditetapkannya zona tabungan ikan dan batas-batasnya. Begitu para pemimpin adat dan komunitasnya mendukung inisiatif ini, Dinas Perikanan Kabupaten dan Provinsi pun menyetujui kesepakatan tersebut.

Menjaga Zona Pengadaan zona tabungan ikan mengarah pada penggusuran tempat berkemah nelayan pengambil sirip hiu dan pengaturan lalu-lintas perahu di area tersebut: perahu-perahu dibolehkan untuk melewati zona tabungan ikan, namun tidak diperbolehkan mengambil ikan di daerah tersebut. Para petugas patroli resort membolehkan perahu mereka digunakan dan hal tersebut direstui oleh petugas keamanan, yang juga seringkali membantu mereka. Saat kelompok nelayan ditangkap, perahunya akan disita dan hasil tangkapannya dibuang ke laut. Perahu-perahunya akan ditahan sampai dendanya dibayar. Para petugas patroli juga telah mengejar berbagai pukat; kasus penangkapan yang paling dramatis sampai sekarang adalah dua perahu dari Sulawesi, atapnya ditutup oleh sirip hiu kering. Perahunya langsung ditangkap sesaat setelah jaringnya diturunkan, dan saat petugas patroli naik ke perahu, jaringnya diangkat naik dan hiu yang terjerat dilepaskan. Kasus penangkapan yang lebih umum misalnya saat perahu lokal dari Sorong: selama puluhan bulan, perahu ini tidak boleh memasuki kawasan dan karena petugas selalu waspada, jumlah penangkapan ikan di dalam kawasan telah menurun hingga setengahnya dalam kurun waktu dua bulan. Kasus penangkapan yang paling sulit adalah perahu-perahu dari beberapa desa yang menangkap ikan secara tradisional di dalam zona tanpa diketahui atau diputuskan terlebih dahulu oleh para pimpinan adat. Tantangan juga muncul dari pemuda desa yang ingin membangun kekuasaan sendiri di daerah tersebut. Tapi hukum diberlakukan untuk semuanya. Pada awalnya, petugas patroli mengambil pendekatan halus bagi pelanggaran yang dilakukan warga setempat. Peringatan diberikan dan disertai dengan sosialisasi rutin tentang alasan-alasan pentingnya zona tabungan ikan-yakni keamanan pangan bagi generasi penerus. Denda tidak diberikan, tetapi hasil tangkapan harus disita. Rangakaian pertemuan juga diadakan di desa-desa pelaku, dimana para pemuka desa akan membahas dampak positif dari zona ini. Dengan cara ini, dalam lima tahun terakhir, terjadi penurunan pelanggaran sampai 90 persen. Para petugas patroli sekarang mendapatkan gaji dari keuntungan yang diperoleh resort dan dari donasi: tiga perahu yang didedikasikan dan sebuah tim petugas pengamanan lokal, kebanyakan di antaranya mantan nelayan pemburu hiu, beroperasi di tiga basis pengamanan. Mereka mengkordinasikan patroli dengan resort dan dengan desa-desa sekitar yang melaporkan adanya perahu di dalam zona. Pada tahun 2010, zona ini diperluas ke ara timur dan memasukkan Pulau Daram, luas zona pun bertambah menjadi dua kali lipat, dan sekarang menjadi lebih besar dari wilayah darat dan laut Singapura. (Bersambung)

The institutionalisation of conservation practice is a more complicated issue. Across Indonesia, conservation is something others profit from. Exploitation of resources pays a pittance, but conservation hardly pays at all, with much of the profits from conservation concentrated in the hands of local tour operators. In Misool, the centre’s human resources provides locals with a stake in maintaining these activities and the increased catch on the fringes of the zone has amply demonstrated a tangible value for others in the community. Local buy-in was vital to make the concept work. Miners negotiated with southeastern Misool’s adat leaders for months before the no-take zone was finally agreed upon. The leaders were keenly interested in the idea. They were not profiting from the trade in sharks: they were intimidated by the longliners but felt powerless to stop them. They, in turn, convinced their communities of the benefits of the plan. Buy-in from locals was vital for the success of the no-take zone for cultural reasons, but also to meet legal requirements. Indonesian law recognises the exclusive ownership of marine zones by traditional ‘owners’: in this case, the local villages. Agreement by the adat leadership of the nearest inhabited islands and their constituencies was thus key to the establishment of the no-take zone and its boundaries. Once adat leaders and their communities aligned, the district and provincial fisheries departments approved the agreement.

Patrolling the zone The establishment of the no-take zone led to the expulsion of shark-finning camps and the regulation of boats in the area: boats were allowed to transit the no-take zone, but under no circumstances could they fish there. Local rangers patrol in donated boats with the blessing of the local security actors, who often actively assist them. When fishing boats are seized, they are impounded and the catches are jettisoned into the water. The boats are held until a fine is paid. The patrol have chased off numerous large long liners; the most dramatic capture so far has been two fishing boats from Sulawesi, their roofs covered with drying fins. The boats were caught just after the nets were submerged, and when the patrol boarded the boats and dragged the nets from the water, entangled sharks were cut free and saved. More common are the seizures of local boats from Sorong: dozens a month have been driven off, and as word of the vigilance of the patrols spread, the number of seizures has declined to an average of two per month. The most difficult seizures are the boats from villages that traditionally fished the zone before the adat leaders decided otherwise. Such challenges to adat authority from impetuous young men seeking to establish their own power are common. But the law is applied to all. In the beginning, the patrols took a ‘soft’ approach to local infringements. Warnings were accompanied by constant socialisation of the reasons behind the no-take zone – food security for future generations. Fines were not imposed, but catches were confiscated. Meetings were then held in the offenders’ villages, when the elders would discuss the positive impact of the zone. In the last five years, violations have fallen by 90 per cent. The patrols are now paid by the profits from the resort and from donations: three dedicated boats and a team of local rangers, most of them ex-shark fishermen, operate from three ranger bases. They coordinate patrols with the resort and with local villages that report boats in the area. In 2010 the zone was expanded eastward to include Daram Island, doubling the size of the zone, and it is now larger than the land and sea area of Singapore. (To be continued)

Kota Ambon yang sempit dan padat, menyebabkan pola interaksi anak muda menjadi lebih intensif. Pasca konflik, ruang publik anak muda, secara garis besar hanya terpusat pada dua tempat, yakni Ambon Plaza dan Lapangan Merdeka. Dari kesempitan ini tingkat

persebaran gosip, isu dan perkembangan anak muda secara informatif sangat cepat menyebar. Gaya atau tingkah pola anak muda Ambon yang penuh sensasi, luar biasa atau bahkan

menjengkelkan dengan cepatnya terkabarkan ke segala penjuru. Anak muda akan segera tahu, jika si A sebagai pelaku sesuatu, maka pendengar kabar atau saksi mata akan mengetahui, si A anak muda dari wilayah mana, siapa saudara yang dikenalnya, dan dimana ia sering duduk-duduk. Pakaian, selera makanan dan minuman, pilihan musik menggambarkan pengalaman sosio kultural. Demikian pula, pengalaman anak muda Ambon dalam menerjemahkan pilihan gaya hidup dan selera tubuh mengacu kepada benang historis dan nilai kultural. Kemampuan menjalankan gaya secara bergengsi pada sebagian anak muda Ambon, dianggap bagian dari transfer gaya kaum kolonial yang diadaptasi kembali dan terus diartikulasikan hingga ketika pasca konflik tahun 2002. Pencuatan gaya dikalangan anak muda, disinyalir karena dua hal, yakni anak muda yang memasuki masa usia transisi dan perlu menyampaikan ekspresi tubuh dengan mencolok, serta bentuk tingginya kesensitifan terhadap rasa keterasingan diri ketika berada di

tengah modernitas sebuah kota. Konstruksi Anak Muda dalam Negara Anak muda digambarkan sebagai orang-orang paling bergelora, radikal dan heroik terhadap wacana anti kolonial. Munculnya Jong Java (Pemuda Jawa),Indonesia Muda (Pemuda

Indonesia), Jong Islamietenbond (Liga Pemuda Islam), Jong Minahasa (Pemuda Minahasa), dan lainnya mengindikasikan pemuda identik dengan orientasi yang peduli dengan

konstruksi Negara Bangsa. Setiap individu pemuda diharuskan mempunyai loyalitas kepatuhan terhadap negara sekaligus pelaku utama perubahan dan mempunyai berbagai potensi yang masih tertanam. Salah satu karakter pemuda Indonesia seperti

yang digambarkan Anderson tidak merujuk pada jenjang usia tertentu, dan memang pemuda di Indonesia dalam rentangan rezim tidak terbatas pada waktu tertentu. Antropolog James T. Siegel, melihat bahwa karakterisasi pemuda yang dianggap sangat politik pada masa Orde Baru, dibengkokkan ke istilah “remaja”.

Sebuah istilah yang diidentikkan dengan anak-anak muda apolitis, dekat dengan perilaku konsumtif dan hasrat-hasrat ketubuhan yang bertingkah hedonistik. Kata remaja juga mengacu kepada anak muda kelas menengah dengan pilihan-pilihan konsumsi yang telah selesai mengurusi permasalahan tubuh secara primer, seperti masalah gizi, kesehatan hingga pendidikan. Konsep remaja ataupun anak muda mempunyai satu kesamaan, yakni sangat peduli dengan selera (taste) dan tingkat konsumtifitas yang tinggi. Pada masa Orde Baru beberapa konsep sengaja dikaburkan. Sebagai misal konsep remaja yang berkelindan dengan makna anak muda. Meski sebuah organisasi negara bernama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang baru mengalami transisi fisik dari anak-anak menuju dewasa, yakni mereka yang berusia antara 10 hingga 21 tahun. Namun terdapat kesepakatan struktural dan kultural yang mengakui bahwa anak muda dewasa adalah mereka yang telah menginjak usia 17 tahun. Karena itu mereka berhak mendapatkan surat ijin mengemudi, mendapatkan kartu tanda penduduk, menghisap rokok, minum-minuman keras, melihat sinema dewasa di bioskop, hingga mencoblos dikala pemilihan umum yang diadakan dalam lima tahun sekali. Kartu-kartu yang diproduksi oleh negara menentukan identitas tubuh

Imajinasi Gaya dan Identitas Tubuh Anak Muda Kota Ambon

“Nyong Ambon

Pung Gaya”

Bobby Anderson bekerja untuk proyek-proyek kesehatan, pendidikan, dan tata pemerintahan di Papua dan Papua Barat. Beliau dapat dihubungi melalui email [email protected] Anderson ([email protected]) works on health, education and governance projects in Eastern Indonesia, and he travels frequently in the Indonesian provinces of Papua and West Papua.Artikel ini juga telah dimuat di Inside Indonesia 112: Apr-Jun 2013

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Muda dalam Konstruksi Negara

Anak Muda yang di Apolitisasi

Anak Muda Musuh Negara

Anak Muda Bentukan Negara

PemudaSiswa/iPelajarMahasiswa/iRemaja

GaliGeng PremanPemuda BerandalanAnak Jalanan

Pemuda PancasilaPemuda Panca MargaAngkatan Muda Pembaharuan IndonesiaAngkatan Muda Golkar

OLEH HATIB ABDUL KADIR

BAGIAN IILLU

STRA

SI CH

AN

NO

DJU

NA

ED

Page 10: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

9 10News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

seseorang untuk menjadi dewasa atau tidak. Mengenai konsep tentang anak muda yang dihadirkan oleh negara dapat anda lihat pada bagan. Bagan di kolom pertama adalah anak muda yang berhasil ditaklukkan oleh negara. Sepanjang rejim Orde Baru, tampak pada NKK/BKK yang disahkan oleh Mendagri Daud Yusuf (1982-1983) menjadikan mahasiswa seperti macan kehilangan taring. Demikian pula istilah remaja seperti yang telah saya bahas di atas. Pada kolom kedua di tahun yang sama ribuan pemuda jalanan diberangus melalui Petrus (penembakan misterius sepanjang 1983-1985) dan juga dicap sebagai musuh negara karena dianggap mengancam stabilitas pembangunan. Semua anak muda harus dikerahkan untuk selalu mendukung pembangunan negara. Sedangkan anak muda yang tak dapat dipetakan oleh negara, terkonstruk dengan istilah anak jalanan, Gali dan geng jalanan. Bagan di kolom ketiga adalah sekelompok anak muda yang mau dan mampu diklasifikasikan sebagai perangkat negara yang dimasukkan seperti ke dalam kelompok PP (Pemuda Pancasila). Ini adalah sebuah kelompok legal resmi yang mendukung satu partai dominan pada waktu itu yakni Golkar (Golongan Karya). Negara menyebut anak muda ini sebagai ”preman sadar”, karena terdiri dari preman yang dibina negara, dipupuk rasa nasionalismenya, namun pada saat yang sama menjadi becking perjudian, perlontean dan berbagai hiburan malam. Jika salah satu anggotanya kedapatan berbuat diluar hukum, akan disebut sebagai ”oknum”, sehingga tetap selamatlah organisasi di bawah negara tersebut. Terdapat pula organisasi yang disebut dengan Angkatan Muda Golkar (AMG) yang kategorisasi usia anggotanya diperlebar hingga mereka yang menginjak usia 40 tahun juga Pemuda Pancamarga dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Pragmatisme terhadap konsep anak muda pada kolom ketiga dikenakan demi berbagai suksesi yang diinginkan oleh negara. Konsep mengenai anak muda Indonesia pada kolom ketiga ini berkesan timeless, tak mempunyai batasan pada tingkatan umur tertentu. Karena konstruksi politik Orde Baru yang memasukkan institusi-institusi dengan kata ”muda” seperti diatas. Hingga di usai pemerintahan Orde Baru, politisasi anak muda hanya berlaku sebentar dalam euphoria reformasi, karena kesadaran anak muda urban selanjutnya kembali mengarah kepada serangkaian ekspresi yang sifatnya menghindari dari kegiatan dan partisipasi politik praktis. Ada sebuah re-generasi yang tidak diteruskan dalam bidang kepedulian terhadap dunia politik dan ideologi khususnya.

Modernitas Kolonial dalam Tubuh Anak Muda Ambon Harus diakui bahwa agama Kristen menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam membentuk perkembangan gaya dan identitas modern pada anak muda di Ambon, karena agama ini identik dengan pihak koloni. Mendapatkan posisi penuh previlese membuat urban Ambon menyadari bahwa perbedaan antara ’mereka’ (anak muda Islam; anak muda Buton, Makassar) dan ‘kita’ (anak muda Islam) telah mencolok semenjak masa kolonial. Identitas gaya tubuh telah terbagi ke dalam beberapa kluster, antara Islam dan Kristen; kluster etnis seperti China, Ambon itu sendiri, Jawa, serta orang-orang dari ujung Sulawesi seperti Buton, Bugis dan Makasar. Tubuh dan segala gayanya merupakan konstruksi dari dunia politik kolonial. Pada pertengahan abad XVII, awal dari kepercayaan baru terhadap agama Kristen bukan didapat dari masyarakat Ambon semenjak lahir. Menjadi Kristen merupakan transformasi tubuh di usia muda, yang terjadi melalui tatanan pemerintahan koloni. Kekuasaan koloni membahasakan teologi dengan menciptakan ketergantungan personal melalui dominasi pekerjaan birokrasi, pakaian pola makan hingga pola mandi dan mencuci. Kepercayaan dikreasikan melalui konversi doktrin baru, seperti mengubah makna tubuh telanjang seperti yang biasa oleh kepercayaan sebelumnya, menjadi tidak boleh. Kekuasaan juga mengkonstruksi lanskap kota yang yang menegaskan hadirnya penguasa Kristen. Terjadi pula konversi pemaknaan terhadap Tuhan. Karena itu permasalahan memilih agama tidak terlepas

dari unsur kepentingan politik. Jika merujuk pada asumsi bahwa agama dan keimanan adalah sistem asali yang dibentuk semenjak lahir, maka pengorbanan orang Ambon untuk mengubah kepercayaan dari Shamanisme ke bentuk agama Abrahamik merupakan suatu transfromasi yang patut dipertanyakan karena memeluk agama lebih didasarkan pada posisi tawar politik dan gengsi tubuh. Disinilah saya memperkirakan bahwa modernitas. koloni memunculkan kesetaraan urgensi antara keimanan terhadap suatu agama dan gengsi. Demi gengsi dapat memasuki tataran birokrasi modern, warga Ambon mentransformasikan keimanan sebagai salah satu strateginya. Seruan gaya tubuh dengan datangnya abad modern tidak dapat dipisahkan dari kondisi subjektif manusia. Ketakutan terhadap kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian, terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap, distrategikan dengan semangat demi menumbuhkan gaya sebagai “keangkuhan” dan kehormatan dalam identitas modern. Anak-anak muda Ambon tak hendak melepas identitas keetnisan di manapun kaki diinjak. Dengan bangganya mereka menyebut bahwa Maluku adalah propinsi kedua belas dari Belanda, kemanapun mereka berdiaspora. Kebanggaan tersebut muncul karena Belanda dianggap sebagai koloni yang berhasil memodernkan dan memperadabkan anak muda Ambon. Salah satu modernitas yang dihasilkan adalah sistem sistem pendidikan, yang dikenal dengan istilah “sekolah madras” sekolah diasuh oleh gereja, terutama yang menunjang untuk pendidikan agama. Pelajaran yang disampaikan adalah berhitung, membaca dan tentu saja menyanyi (lagu-lagu rohani). Saya mensinyalir bahwa munculnya sekolah di jaman koloni, bertujuan untuk mengubah tiga hal, kecerdasan intelektual, keimanan dan gengsi. Perluasan reformasi pendidikan tidak semata mengubah ketersediaan manusia untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, namun juga menciptakan relasi di antara orang-orang Ambon itu sendiri dengan pihak Koloni dan relasi horizontal dengan penduduk pribumi sendiri. Anak-anak burger menolak menjadi pekerja kasar, dan karena ingin menjadi pekerja kantoran mulai memasuki sekolah umum. Di berlakukannya sistem politik etik, mengubah sistem pendidikan yang berbasis keagamaan dan berorientasi pada keuntungan koloni, ke arah pendidikan yang humanis dan progresif. Maka berdirilah ABS (Ambon Burger School) pada tahun 1856. Bahasa Belanda digunakan sebagai pengantarnya. Sekolah tidak dipungut biaya, sehingga siapapun dapat menuntut ilmu di dalamnya. Dari sinilah kemudian anak muda kota Ambon benar-benar berperadaban dan semakin tercipta jarak dengan masyarakat di sekitarnya yang bukan orang kota dan bukan orang terdidik. Di sisi lain anak muda Ambon Islam juga banyak yang mengapropriasi budaya kolonial, hal ini tampak pada banyaknya mereka yang direkrut menjadi tentara KNIL. Demikian pula ketika ide mengenai nasionalisme menyebar hingga ke Ambon, anak-anak muda terpelajar Islam juga menjadi penggerak utama dalam menentang sistem kolonialisme. Namun demikian, tetap bersatunya orang Kristen dan Islam modern ke dalam identitas “Orang Ambon” tak lain karena kepercayaan terhadap satunya tradisi kepercayaan Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek moyang mereka. Pasca tahun 1930, pendirian sekolah tak lepas dari ide-ide nasionalisme seperti yang diusung anak-anak muda di Syarekat Ambon. Salah satu idenya adalah memunculkan pendidikan untuk mencegah anak muda melakukan migrasi ke kotakota di Jawa. Sekolah diharapkan mampu menjadi prasyarat mencerdaskan anak muda di kota Ambon sendiri. Kaum nasionalis juga menganggap bahwa belajar Bahasa Belanda adalah bentuk alienasi, karena itu perlu pendidikan dengan bahasa Ambon sendiri, yang didalamnya juga belajar tentang kultur Ambon. Ide mengenai “nasionalisme ke-Ambonan” mulai digulirkan melalui pendidikan. Sekolah menempati posisi pengalaman penting dalam upaya “pembaratan”. Ajaran dan lingkungan pendidikan dianggap sebagai momen terjadinya

transfer kekuasaan dari pemerintah Belanda. Bartels menyebutnya sebagai “White Power”. Sebagaimana ketika inspektur pendidikan J.A. Van Chijs, yang mengunjungi Ambon pada tahun 1869 melaporkan: Among the pupils the knowledge of our language is much more developed than among for example the Javanese or Malays. In many respects our manners and customs have become theirs. While in Java, the native child in general would rather associate have with native than with the European and prefers to speak Malay than Dutch, with the Ambonese its just the reverse, as much as possible the ambonese want to be Dutchmen and it is their good fortune than in Ambon a certain intermingling between European and native axists (Historisch overzicht 1930-31; 1: 54-5, via Chauvel 1990: 31). Van Chijs mengobservasi sistem gaya bersekolah pada sekelompok kecil anak muda Kristen yang terdidik dalam kota. Di dalam komunitas sekolah, kesempatan pendidikan lebih diperluas dibanding kesempatan yang didapat elit agama lokal dan elit adat. Beberapa penyebab “deman sekolah” tak lepas dari adanya malaise pada tahun 1930. Tak sedikit orang-orang Ambon keluar dari wilayah Maluku untuk menjadi tentara. Jaman Malaise menyebabkan anjloknya harga cengkeh di

pasaran dunia dan merosotnya lowongan untuk bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Sekitar 61 persen dari anak muda Kristen Ambon yang terdidik mulai bekerja di luar Maluku, seperti di birokrasi kolonial, guru, misionaris dan tentara. Anak-anak mereka mendapat standar posisi yang lebih tinggi, kemakmuran materi, fasilitas yang lebih lengkap dan mobilitas sosial yang lebih luas, dibanding mereka yang tinggal di dalam kota Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa, “nasionalisme ke-Ambonan” lebih mengacu kepada produk sistem pendidikan Belanda yang didukung sepenuhnya dalam komunitas Kristen urban. Demikian pula ”nasionalisme ke-Ambonan” ini juga melanda di kalangan anak muda urban Islam. Bersambung

INFORMASI LEBIH LANJUT

Penulis adalah antropolog muda, akan menerbitkan bukunya tahun ini (Biar Punggung Patah Asal Muka Jangan Pucat) tentang gaya anak muda Ambon pasca konflik agama. Tulisan ini dipresentasikan dalam Forum Interseksi 2008, Yogyakarta 17 Juni 2008.

Bangun Budaya Berbagi

Pengetahuan di KTI

royek Pengelolaan Pengetahuan BaKTI-AIPD berfokus Ppada perencanaan dan penganggaran yang ditingkatkan untuk prioritas dan sasaran penyampaian layanan.

Dukungan juga termasuk memperbaiki akses informasi yang terkait ke perencanaan dan penyampaian layanan publik. Proyek ini juga melakukan penguatan mekanisme pelibatan publik dalam perumusan kebijakan, persiapan perencanaan, penganggaran dan monitoring penyampaian layanan pembangunan. Hal-hal yang disebutkan di atas dimulai dengan mengembangkan kapasitas pelaku pembangunan pada lima Provinsi di Indonesia yakni Papua, Papua Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat. Dalam proyek Pengelolaan Pengetahuan, pemerintah selaku penyedia layanan publik didorong untuk lebih responsif sementara masyarakat dimampukan untuk lebih aktif dan terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan. Berbagai upaya terkait dua hal tersebut diorganisir dalam sebuah sistem manajemen pengetahuan sebagai jembatan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi pemerintah (sisi penyedia) dan masyarakat (sisi yang memerlukan pelayanan). Berikut adalah informasi terkini perkembangan kegiatan Proyek Pengelolaan Pengetahuan AIPD – BaKTI mulai dari April hingga Agustus 2013.

Pusat Data Pembangunan Daerah Sesuai strategi implementasi Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management-KM), sebelum kegiatan dilaksanaan proyek ini akan melakukan pemetaan kesiapan dan kebutuhan (Need and Readiness Asessment-NRA) terlebih dahulu. NRA ini

diperlukan guna melihat kesiapan dan komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan dan membangun produk kunci Pusat Data Pembangunan Daerah Proyek Pengelolaan Pengetahuan. Pemetaan ini juga untuk menangkap isu masing-masing daerah sehingga menjadi rencana aksi dalam pengembangan dan pembangunan Pusat Data Pembangunan Daerah (PD2). NRA PD2 dilaksanakan di empat daerah layanan AIPD; Provinsi NTB, Provinsi Papua termasuk Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Barat dengan pilihan dua kabupaten (Fak-Fak dan Manokwari), dan Provinsi Jawa Timur. Khusus NTT, hanya dilakukan pengumpulan data dan baseline karena di provinsi ini sudah ada dua Resources Center yang didirikan di level provinsi dan Kabupaten TTU. Dengan pertimbangan NRA PD2 melibatkan banyak pemangku kepentingan yang mengelola data dan informasi, metode workshop atau lokakarya menjadi metode yang cukup cocok dalam penggalian informasi menemukenali isu dan mengajak semua pemangku kepentingan merumuskan aksi dan komitmen bersama. NRA PD2 dilakukan secara berantai sejak April-Agustus 2013; NRA PD2 NTB 24-25 April, Papua 16-17 Mei, Papua Barat 28-29 Mei 2013, Jawa Timur 18-19 Juni 2013. Di beberapa kabupaten juga digelar kegiatan serupa seperti Kabupaten Merauke Provinsi Papua 23 Juli 2013 dan Kabupaten Fak Fak Provinsi Papua Barat 2 Agustus 2013.

Unit Pengelola Koordinasi Mitra Pembangunan (UPK) Unit Pengelola Koordinasi Mitra Pembangunan (UPK) beroperasi sebagai unit dukungan bagi Pemerintah Provinsi dan Daerah untuk mengkoordinir para donor dan lembaga bantuan luar negeri sebagai bagian dari agenda efektifitas bantuan (Aid effectiveness) dan deklarasi paris. Pemetaan Kebutuhan dan Kesiapan (Need and Readiness Assesment-NRA) UPK hanya dilakukan di level provinsi karena pelaksanaan UPK sebagian besar di tingkat provinsi dan banyak mitra pembangunan yang jarang membuat program di tingkat kabupaten/kota. UPK dirancang agar menjadi wadah penyedia informasi pembangunan seper ti ; buku database profi l mitra pembangunan dan mengelola isu-isu hasil pembelajaran pembangunan dari para pelaku pembangunan. Isu pembangunan yang dikemas bisa dalam bentuk sektoral maupun general. Konsep ini dilakukan agar UPK bisa memberi informasi update dari setiap pelaku pembangunan di wilayah tersebut. Untuk mewujudkan itu, pemanfaatan teknologi melalui media social seperti facebook, twitter, website, youtube, dan sms menjadi salah satu sarana yang bisa diberdayakan UPK

BERBAGI PENGETAHUAN

Page 11: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

9 10News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

seseorang untuk menjadi dewasa atau tidak. Mengenai konsep tentang anak muda yang dihadirkan oleh negara dapat anda lihat pada bagan. Bagan di kolom pertama adalah anak muda yang berhasil ditaklukkan oleh negara. Sepanjang rejim Orde Baru, tampak pada NKK/BKK yang disahkan oleh Mendagri Daud Yusuf (1982-1983) menjadikan mahasiswa seperti macan kehilangan taring. Demikian pula istilah remaja seperti yang telah saya bahas di atas. Pada kolom kedua di tahun yang sama ribuan pemuda jalanan diberangus melalui Petrus (penembakan misterius sepanjang 1983-1985) dan juga dicap sebagai musuh negara karena dianggap mengancam stabilitas pembangunan. Semua anak muda harus dikerahkan untuk selalu mendukung pembangunan negara. Sedangkan anak muda yang tak dapat dipetakan oleh negara, terkonstruk dengan istilah anak jalanan, Gali dan geng jalanan. Bagan di kolom ketiga adalah sekelompok anak muda yang mau dan mampu diklasifikasikan sebagai perangkat negara yang dimasukkan seperti ke dalam kelompok PP (Pemuda Pancasila). Ini adalah sebuah kelompok legal resmi yang mendukung satu partai dominan pada waktu itu yakni Golkar (Golongan Karya). Negara menyebut anak muda ini sebagai ”preman sadar”, karena terdiri dari preman yang dibina negara, dipupuk rasa nasionalismenya, namun pada saat yang sama menjadi becking perjudian, perlontean dan berbagai hiburan malam. Jika salah satu anggotanya kedapatan berbuat diluar hukum, akan disebut sebagai ”oknum”, sehingga tetap selamatlah organisasi di bawah negara tersebut. Terdapat pula organisasi yang disebut dengan Angkatan Muda Golkar (AMG) yang kategorisasi usia anggotanya diperlebar hingga mereka yang menginjak usia 40 tahun juga Pemuda Pancamarga dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Pragmatisme terhadap konsep anak muda pada kolom ketiga dikenakan demi berbagai suksesi yang diinginkan oleh negara. Konsep mengenai anak muda Indonesia pada kolom ketiga ini berkesan timeless, tak mempunyai batasan pada tingkatan umur tertentu. Karena konstruksi politik Orde Baru yang memasukkan institusi-institusi dengan kata ”muda” seperti diatas. Hingga di usai pemerintahan Orde Baru, politisasi anak muda hanya berlaku sebentar dalam euphoria reformasi, karena kesadaran anak muda urban selanjutnya kembali mengarah kepada serangkaian ekspresi yang sifatnya menghindari dari kegiatan dan partisipasi politik praktis. Ada sebuah re-generasi yang tidak diteruskan dalam bidang kepedulian terhadap dunia politik dan ideologi khususnya.

Modernitas Kolonial dalam Tubuh Anak Muda Ambon Harus diakui bahwa agama Kristen menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam membentuk perkembangan gaya dan identitas modern pada anak muda di Ambon, karena agama ini identik dengan pihak koloni. Mendapatkan posisi penuh previlese membuat urban Ambon menyadari bahwa perbedaan antara ’mereka’ (anak muda Islam; anak muda Buton, Makassar) dan ‘kita’ (anak muda Islam) telah mencolok semenjak masa kolonial. Identitas gaya tubuh telah terbagi ke dalam beberapa kluster, antara Islam dan Kristen; kluster etnis seperti China, Ambon itu sendiri, Jawa, serta orang-orang dari ujung Sulawesi seperti Buton, Bugis dan Makasar. Tubuh dan segala gayanya merupakan konstruksi dari dunia politik kolonial. Pada pertengahan abad XVII, awal dari kepercayaan baru terhadap agama Kristen bukan didapat dari masyarakat Ambon semenjak lahir. Menjadi Kristen merupakan transformasi tubuh di usia muda, yang terjadi melalui tatanan pemerintahan koloni. Kekuasaan koloni membahasakan teologi dengan menciptakan ketergantungan personal melalui dominasi pekerjaan birokrasi, pakaian pola makan hingga pola mandi dan mencuci. Kepercayaan dikreasikan melalui konversi doktrin baru, seperti mengubah makna tubuh telanjang seperti yang biasa oleh kepercayaan sebelumnya, menjadi tidak boleh. Kekuasaan juga mengkonstruksi lanskap kota yang yang menegaskan hadirnya penguasa Kristen. Terjadi pula konversi pemaknaan terhadap Tuhan. Karena itu permasalahan memilih agama tidak terlepas

dari unsur kepentingan politik. Jika merujuk pada asumsi bahwa agama dan keimanan adalah sistem asali yang dibentuk semenjak lahir, maka pengorbanan orang Ambon untuk mengubah kepercayaan dari Shamanisme ke bentuk agama Abrahamik merupakan suatu transfromasi yang patut dipertanyakan karena memeluk agama lebih didasarkan pada posisi tawar politik dan gengsi tubuh. Disinilah saya memperkirakan bahwa modernitas. koloni memunculkan kesetaraan urgensi antara keimanan terhadap suatu agama dan gengsi. Demi gengsi dapat memasuki tataran birokrasi modern, warga Ambon mentransformasikan keimanan sebagai salah satu strateginya. Seruan gaya tubuh dengan datangnya abad modern tidak dapat dipisahkan dari kondisi subjektif manusia. Ketakutan terhadap kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian, terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap, distrategikan dengan semangat demi menumbuhkan gaya sebagai “keangkuhan” dan kehormatan dalam identitas modern. Anak-anak muda Ambon tak hendak melepas identitas keetnisan di manapun kaki diinjak. Dengan bangganya mereka menyebut bahwa Maluku adalah propinsi kedua belas dari Belanda, kemanapun mereka berdiaspora. Kebanggaan tersebut muncul karena Belanda dianggap sebagai koloni yang berhasil memodernkan dan memperadabkan anak muda Ambon. Salah satu modernitas yang dihasilkan adalah sistem sistem pendidikan, yang dikenal dengan istilah “sekolah madras” sekolah diasuh oleh gereja, terutama yang menunjang untuk pendidikan agama. Pelajaran yang disampaikan adalah berhitung, membaca dan tentu saja menyanyi (lagu-lagu rohani). Saya mensinyalir bahwa munculnya sekolah di jaman koloni, bertujuan untuk mengubah tiga hal, kecerdasan intelektual, keimanan dan gengsi. Perluasan reformasi pendidikan tidak semata mengubah ketersediaan manusia untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, namun juga menciptakan relasi di antara orang-orang Ambon itu sendiri dengan pihak Koloni dan relasi horizontal dengan penduduk pribumi sendiri. Anak-anak burger menolak menjadi pekerja kasar, dan karena ingin menjadi pekerja kantoran mulai memasuki sekolah umum. Di berlakukannya sistem politik etik, mengubah sistem pendidikan yang berbasis keagamaan dan berorientasi pada keuntungan koloni, ke arah pendidikan yang humanis dan progresif. Maka berdirilah ABS (Ambon Burger School) pada tahun 1856. Bahasa Belanda digunakan sebagai pengantarnya. Sekolah tidak dipungut biaya, sehingga siapapun dapat menuntut ilmu di dalamnya. Dari sinilah kemudian anak muda kota Ambon benar-benar berperadaban dan semakin tercipta jarak dengan masyarakat di sekitarnya yang bukan orang kota dan bukan orang terdidik. Di sisi lain anak muda Ambon Islam juga banyak yang mengapropriasi budaya kolonial, hal ini tampak pada banyaknya mereka yang direkrut menjadi tentara KNIL. Demikian pula ketika ide mengenai nasionalisme menyebar hingga ke Ambon, anak-anak muda terpelajar Islam juga menjadi penggerak utama dalam menentang sistem kolonialisme. Namun demikian, tetap bersatunya orang Kristen dan Islam modern ke dalam identitas “Orang Ambon” tak lain karena kepercayaan terhadap satunya tradisi kepercayaan Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek moyang mereka. Pasca tahun 1930, pendirian sekolah tak lepas dari ide-ide nasionalisme seperti yang diusung anak-anak muda di Syarekat Ambon. Salah satu idenya adalah memunculkan pendidikan untuk mencegah anak muda melakukan migrasi ke kotakota di Jawa. Sekolah diharapkan mampu menjadi prasyarat mencerdaskan anak muda di kota Ambon sendiri. Kaum nasionalis juga menganggap bahwa belajar Bahasa Belanda adalah bentuk alienasi, karena itu perlu pendidikan dengan bahasa Ambon sendiri, yang didalamnya juga belajar tentang kultur Ambon. Ide mengenai “nasionalisme ke-Ambonan” mulai digulirkan melalui pendidikan. Sekolah menempati posisi pengalaman penting dalam upaya “pembaratan”. Ajaran dan lingkungan pendidikan dianggap sebagai momen terjadinya

transfer kekuasaan dari pemerintah Belanda. Bartels menyebutnya sebagai “White Power”. Sebagaimana ketika inspektur pendidikan J.A. Van Chijs, yang mengunjungi Ambon pada tahun 1869 melaporkan: Among the pupils the knowledge of our language is much more developed than among for example the Javanese or Malays. In many respects our manners and customs have become theirs. While in Java, the native child in general would rather associate have with native than with the European and prefers to speak Malay than Dutch, with the Ambonese its just the reverse, as much as possible the ambonese want to be Dutchmen and it is their good fortune than in Ambon a certain intermingling between European and native axists (Historisch overzicht 1930-31; 1: 54-5, via Chauvel 1990: 31). Van Chijs mengobservasi sistem gaya bersekolah pada sekelompok kecil anak muda Kristen yang terdidik dalam kota. Di dalam komunitas sekolah, kesempatan pendidikan lebih diperluas dibanding kesempatan yang didapat elit agama lokal dan elit adat. Beberapa penyebab “deman sekolah” tak lepas dari adanya malaise pada tahun 1930. Tak sedikit orang-orang Ambon keluar dari wilayah Maluku untuk menjadi tentara. Jaman Malaise menyebabkan anjloknya harga cengkeh di

pasaran dunia dan merosotnya lowongan untuk bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Sekitar 61 persen dari anak muda Kristen Ambon yang terdidik mulai bekerja di luar Maluku, seperti di birokrasi kolonial, guru, misionaris dan tentara. Anak-anak mereka mendapat standar posisi yang lebih tinggi, kemakmuran materi, fasilitas yang lebih lengkap dan mobilitas sosial yang lebih luas, dibanding mereka yang tinggal di dalam kota Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa, “nasionalisme ke-Ambonan” lebih mengacu kepada produk sistem pendidikan Belanda yang didukung sepenuhnya dalam komunitas Kristen urban. Demikian pula ”nasionalisme ke-Ambonan” ini juga melanda di kalangan anak muda urban Islam. Bersambung

INFORMASI LEBIH LANJUT

Penulis adalah antropolog muda, akan menerbitkan bukunya tahun ini (Biar Punggung Patah Asal Muka Jangan Pucat) tentang gaya anak muda Ambon pasca konflik agama. Tulisan ini dipresentasikan dalam Forum Interseksi 2008, Yogyakarta 17 Juni 2008.

Bangun Budaya Berbagi

Pengetahuan di KTI

royek Pengelolaan Pengetahuan BaKTI-AIPD berfokus Ppada perencanaan dan penganggaran yang ditingkatkan untuk prioritas dan sasaran penyampaian layanan.

Dukungan juga termasuk memperbaiki akses informasi yang terkait ke perencanaan dan penyampaian layanan publik. Proyek ini juga melakukan penguatan mekanisme pelibatan publik dalam perumusan kebijakan, persiapan perencanaan, penganggaran dan monitoring penyampaian layanan pembangunan. Hal-hal yang disebutkan di atas dimulai dengan mengembangkan kapasitas pelaku pembangunan pada lima Provinsi di Indonesia yakni Papua, Papua Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat. Dalam proyek Pengelolaan Pengetahuan, pemerintah selaku penyedia layanan publik didorong untuk lebih responsif sementara masyarakat dimampukan untuk lebih aktif dan terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan. Berbagai upaya terkait dua hal tersebut diorganisir dalam sebuah sistem manajemen pengetahuan sebagai jembatan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi pemerintah (sisi penyedia) dan masyarakat (sisi yang memerlukan pelayanan). Berikut adalah informasi terkini perkembangan kegiatan Proyek Pengelolaan Pengetahuan AIPD – BaKTI mulai dari April hingga Agustus 2013.

Pusat Data Pembangunan Daerah Sesuai strategi implementasi Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management-KM), sebelum kegiatan dilaksanaan proyek ini akan melakukan pemetaan kesiapan dan kebutuhan (Need and Readiness Asessment-NRA) terlebih dahulu. NRA ini

diperlukan guna melihat kesiapan dan komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan dan membangun produk kunci Pusat Data Pembangunan Daerah Proyek Pengelolaan Pengetahuan. Pemetaan ini juga untuk menangkap isu masing-masing daerah sehingga menjadi rencana aksi dalam pengembangan dan pembangunan Pusat Data Pembangunan Daerah (PD2). NRA PD2 dilaksanakan di empat daerah layanan AIPD; Provinsi NTB, Provinsi Papua termasuk Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Barat dengan pilihan dua kabupaten (Fak-Fak dan Manokwari), dan Provinsi Jawa Timur. Khusus NTT, hanya dilakukan pengumpulan data dan baseline karena di provinsi ini sudah ada dua Resources Center yang didirikan di level provinsi dan Kabupaten TTU. Dengan pertimbangan NRA PD2 melibatkan banyak pemangku kepentingan yang mengelola data dan informasi, metode workshop atau lokakarya menjadi metode yang cukup cocok dalam penggalian informasi menemukenali isu dan mengajak semua pemangku kepentingan merumuskan aksi dan komitmen bersama. NRA PD2 dilakukan secara berantai sejak April-Agustus 2013; NRA PD2 NTB 24-25 April, Papua 16-17 Mei, Papua Barat 28-29 Mei 2013, Jawa Timur 18-19 Juni 2013. Di beberapa kabupaten juga digelar kegiatan serupa seperti Kabupaten Merauke Provinsi Papua 23 Juli 2013 dan Kabupaten Fak Fak Provinsi Papua Barat 2 Agustus 2013.

Unit Pengelola Koordinasi Mitra Pembangunan (UPK) Unit Pengelola Koordinasi Mitra Pembangunan (UPK) beroperasi sebagai unit dukungan bagi Pemerintah Provinsi dan Daerah untuk mengkoordinir para donor dan lembaga bantuan luar negeri sebagai bagian dari agenda efektifitas bantuan (Aid effectiveness) dan deklarasi paris. Pemetaan Kebutuhan dan Kesiapan (Need and Readiness Assesment-NRA) UPK hanya dilakukan di level provinsi karena pelaksanaan UPK sebagian besar di tingkat provinsi dan banyak mitra pembangunan yang jarang membuat program di tingkat kabupaten/kota. UPK dirancang agar menjadi wadah penyedia informasi pembangunan seper ti ; buku database profi l mitra pembangunan dan mengelola isu-isu hasil pembelajaran pembangunan dari para pelaku pembangunan. Isu pembangunan yang dikemas bisa dalam bentuk sektoral maupun general. Konsep ini dilakukan agar UPK bisa memberi informasi update dari setiap pelaku pembangunan di wilayah tersebut. Untuk mewujudkan itu, pemanfaatan teknologi melalui media social seperti facebook, twitter, website, youtube, dan sms menjadi salah satu sarana yang bisa diberdayakan UPK

BERBAGI PENGETAHUAN

Page 12: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

11 12News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

untuk memudahkan mitra pembangunan dan pemerintah memperoleh informasi terkini tentang praktik cerdas dan kegiatan pembangunan lainnya. Berbeda dengan PD2, NRA UPK dilakukan secara cepat. Tim KM BaKTI menggali informasi kesiapan dan kebutuhan Unit Pengelola Koordinasi dari sejumlah tokoh kunci yang terkait dengan koordinasi mitra pembangunan di provinsi layanan AIPD. Hal ini dilakukan di Provinsi Papua (Juli 2013) dan Nusa Tenggara Barat (22 April 2013). Sementara di Provinsi Jawa Timur (26 Juni 2013) dan Papua Barat (24 Juli 2013) dilaksanakan lokakarya kecil dimana BaKTI menjadi fasilitator. Di Provinsi NTB, unit pengelola koordinasi ditangani oleh Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) dan dibawahi langsung oleh Biro Administasi Kerja Sama dan Sumber Daya Alam Setda Provinsi NTB. 2-3 Juli 2013 lalu, KM AIPD-BaKTi bersama Biro Administrasi Kerjasama dan SDA NTB telah menggelar Workshop Penguatan Kapasitas TKKSD di Hotel Santika Mataram, NTB. Sama dengan PD2, NRA UPK tak dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di Provinsi ini hanya dilakukan pengumpulan data dan baseline karena sudah ada Sekretariat Terpadu Kerjasama Pembangunan Lembaga Internasional (SPADU KPLI). SPADU bertindak sebagai focal point dalam mengkoordinir kerja sasama pembangunan lembaga internasional di Provinsi NTT sesuai Peraturan Gubernur No 4 Tahun 2011.

Pembelajaran Pembangunan Produk kunci ini mengidentifikasi berbagai topik penelitian, praktik cerdas dan hasil pembelajaran berkenaan dengan isu-isu desentralisasi, terutama terkait pengelolaan keuangan daerah dan penyampaian layanan publik. Tim KM AIPD-BaKTI saat ini sementara mengidentifikasi beberapa isu pembelajaran pembangunan dari Provinsi NTT, NTB, Papua, dan Papua Barat. Dari NTT, dua isu tentang implementasi Keterbukaan Informasi Publik dan Sinkronisasi Musrembang dan reses DPRD masuk dalam nominasi

pembelajaran pembangunan. Dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ide tentang peran Pusat Data atau Resources Center masuk dalam daftar identifikasi. Dua provinsi lainnya; Provinsi Papua dan Papua Barat masih dalam tahap identifikasi.

Forum dan Kegiatan Berbagi Pengetahuan Forum dan kegiatan berbagi pengetahuan memberikan peluang bagi mitra program AIPD untuk membahas isu-isu desentralisasi dan saling belajar serta berbagi pengalaman, penetahuan, dan praktik ccerdas terkait pengelolaan keuangan daerah dan penyampaian layanan publik. BaKTI sebagai mitra implementasi komponen Pengelolaan Pengetahuan bertanggungjawab sebagai event organizer yang mendukung terlaksananya berbagai kegiatan forum berbagi pegetahuan dan kunjungan belajar. Sejak Desember 2012 lalu, BaKTi telah mendukung berbagai penyelenggaraan even terkait empat isu penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan RI.

Empat Kajian tersebut:1. Reformasi DAU untuk Memperkuat Peran Sebagai

Equlization Grant2. Kajian Mengenai Potensi Penyediaan Pinjaman Lunak untuk

Pembangunan Infrastruktur dari Pemerintah ke Daerah3. Legalitas, Peluang, dan Hambatan Pembangunan Sistem

Informasi Keuangan Negara dan Daerah (E-SIKD) yang Terintegrasi

4. Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah.

Wilayah PapuaSHARE PDRB

TERHADAP 33 PROVINSI

PERTUMBUHAN EKONOMI

1,79 %

6,38 %

TINGKATKEMISKINAN 30,50%

TINGKATPENGANGGURAN3,97 %

Wilayah Jawa - Bali

PERTUMBUHAN EKONOMI

58,87 %6,58%

TINGKATKEMISKINAN11,36 %

TINGKATPENGANGGURAN 6,65 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Sumatra

PERTUMBUHAN EKONOMI

23,77 %

8,21%TINGKAT

KEMISKINAN 12,07 %TINGKAT

PENGANGGURAN 5,66 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Maluku

PERTUMBUHAN EKONOMI

0,27 %

7,33 %TINGKAT

KEMISKINAN 16,42 %TINGKAT

PENGANGGURAN 6,37%

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Sulawesi

PERTUMBUHAN EKONOMI

4,74 %

8,67 %

TINGKATKEMISKINAN 13,99%

TINGKATPENGANGGURAN 5,23 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Nusa Tenggara

PERTUMBUHAN EKONOMI

1,26 %

1,54%TINGKAT

KEMISKINAN 19,79%TINGKAT

PENGANGGURAN 4,06 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Kalimantan

PERTUMBUHAN EKONOMI 4,83 %TINGKAT

KEMISKINAN 6,69%TINGKAT

PENGANGGURAN 5,30%

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI 9,30%PERTUMBUHAN

EKONOMI

Nasional 2012

6,23 %TINGKAT

KEMISKINAN (FEBRUARI) 11,96

TINGKATPENGANGURAN

TERBUKA (AGUSTUS) 6,80 %

%

KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH PADA 7 PULAU BESAR DI INDONESIA

SUMBER : BPS 2012 (DIOLAH), KEMENTRIAN PNN/BAPPENAS

OLEH ICHSAN DJUNAED

INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Program Manajer Proyek Pengelolaan Pengetahuan BaKTI - AIPD, Stevent Febriandy, melalui email [email protected]

Tentang AIFIS American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) adalah organisasi non-profit (501c3) yang bergerak di bidang pendidikan dan didirikan di Amerika Serikat. AIFIS didirikan dengan dukungan finansial dari Yayasan Henry Luce, Department of Education di Amerika Serikat, dan Department of State, Bureau of Educational and Cultural Affairs di Amerika Serikat serta Putera Sampoerna Foundation di Indonesia. AIFIS sendiri merupakan konsorsium dari universitas-universitas dan perguruan tinggi di Amerika yang mempunyai minat dalam pengembangan Studi tentang Indonesia yang ada di Amerika Serikat. Tujuan utama didirikannya AIFIS adalah untuk mendorong pertukaran pelajar/sarjana antara Indonesia dan Amerika Serikat, untuk mempromosikan upaya pendidikan dan penelitian bagi para sarjana AS mengenai Indonesia, sekaligus memfasilitasi kunjungan para sarjana Indonesia ke AS. AIFIS telah membuka kantor untuk penelitian di Jakarta di kampus Universitas Siswa Bangsa Internasional , Komplek Mulia Business Park, Gedung A Lt.2, Jl. MT. Haryono Kav. 58-60, Jakarta Selatan. Kami telah memulai berbagai kegiatan kami mulai tanggal 9 Januari 2012. (Lihat halaman Acara kami untuk informasi lebih lanjut.). Pada tanggal 15 Februari 2013, AIFIS membuka kantor satelit di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Gedung PAU UGM Sayap Timur Lantai 1 , Jl. Teknika Utara, Barek , Yogyakarta

WEBSITE BULAN INI

American Institute for Indonesian Studies (AIFIS)www.aifis.org

Tentang SAPA SAPA - Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas dalam program pembangunan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. Keseriusan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari beragamnya program penanggulangan kemiskinan yang diinisiasi selama satu dekade terakhir. Selain itu, pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian, laju penurunan penduduk miskin yang diharapkan masih rendah. Kondisi ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan mengenai efektivitas program-program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi, setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan kurang efektif, antara lain :1. Pendekatan yang dilakukan oleh program penanggulangan

kemiskinan cenderung seragam dan menyederhanakan permasalahan dan karakteristik kemiskinan masyarakat

2. Minimnya ketersediaan data dan informasi kemiskinan yang digunakan dalam perencanaan program pembangunan.

3. Minimnya koordinasi antar para pemangku kepentingan dan keterlibatan masyarakat miskin secara aktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

4. Penanggulangan kemiskinan masih dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah. Dalam beberapa kasus, program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali justru menyebabkan masyarakat

Program SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation).www.sapa.or.id

tergantung dan sulit keluar dari kemiskinan.5. Penanggulangan kemiskinan sesungguhnya merupakan

persoalan lintas bidang pembangunan, namun upaya yang dilakukan oleh pemerintah ditengarai masih bersifat sektoral dan belum komprehensif.

Terkait dengan persoalan yang dikemukakan di atas, Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat melalui Deputi Penanggulangan Kemiskinan & Pemberdayaan Masyarakat bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, serta pemerintah daerah memulai suatu program kerjasama yang berbentuk kemitraan dalam penanggulangan k emisk inan. Ker jasama program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan dikenal dengan

nama Aliansi Strategis untuk Penanggulangan Kemiskinan atau yang lebih dikenal dengan nama Program SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation). Program SAPA meyakini bahwa upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah semata, akan tetapi juga harus melibatkan para pemangku kepentingan strategis seperti pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, termasuk masyarakat miskin. Para pemangku kepentingan tersebut memainkan peran-peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan, namun selama ini belum terintegrasi dalam suatu kerjasama yang efektif baik dalam penyusunan kebijakan, pelaksanaan program, maupun kerjasama pelaksanaan program.

INFOGRAFIK

Page 13: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

11 12News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

untuk memudahkan mitra pembangunan dan pemerintah memperoleh informasi terkini tentang praktik cerdas dan kegiatan pembangunan lainnya. Berbeda dengan PD2, NRA UPK dilakukan secara cepat. Tim KM BaKTI menggali informasi kesiapan dan kebutuhan Unit Pengelola Koordinasi dari sejumlah tokoh kunci yang terkait dengan koordinasi mitra pembangunan di provinsi layanan AIPD. Hal ini dilakukan di Provinsi Papua (Juli 2013) dan Nusa Tenggara Barat (22 April 2013). Sementara di Provinsi Jawa Timur (26 Juni 2013) dan Papua Barat (24 Juli 2013) dilaksanakan lokakarya kecil dimana BaKTI menjadi fasilitator. Di Provinsi NTB, unit pengelola koordinasi ditangani oleh Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) dan dibawahi langsung oleh Biro Administasi Kerja Sama dan Sumber Daya Alam Setda Provinsi NTB. 2-3 Juli 2013 lalu, KM AIPD-BaKTi bersama Biro Administrasi Kerjasama dan SDA NTB telah menggelar Workshop Penguatan Kapasitas TKKSD di Hotel Santika Mataram, NTB. Sama dengan PD2, NRA UPK tak dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di Provinsi ini hanya dilakukan pengumpulan data dan baseline karena sudah ada Sekretariat Terpadu Kerjasama Pembangunan Lembaga Internasional (SPADU KPLI). SPADU bertindak sebagai focal point dalam mengkoordinir kerja sasama pembangunan lembaga internasional di Provinsi NTT sesuai Peraturan Gubernur No 4 Tahun 2011.

Pembelajaran Pembangunan Produk kunci ini mengidentifikasi berbagai topik penelitian, praktik cerdas dan hasil pembelajaran berkenaan dengan isu-isu desentralisasi, terutama terkait pengelolaan keuangan daerah dan penyampaian layanan publik. Tim KM AIPD-BaKTI saat ini sementara mengidentifikasi beberapa isu pembelajaran pembangunan dari Provinsi NTT, NTB, Papua, dan Papua Barat. Dari NTT, dua isu tentang implementasi Keterbukaan Informasi Publik dan Sinkronisasi Musrembang dan reses DPRD masuk dalam nominasi

pembelajaran pembangunan. Dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ide tentang peran Pusat Data atau Resources Center masuk dalam daftar identifikasi. Dua provinsi lainnya; Provinsi Papua dan Papua Barat masih dalam tahap identifikasi.

Forum dan Kegiatan Berbagi Pengetahuan Forum dan kegiatan berbagi pengetahuan memberikan peluang bagi mitra program AIPD untuk membahas isu-isu desentralisasi dan saling belajar serta berbagi pengalaman, penetahuan, dan praktik ccerdas terkait pengelolaan keuangan daerah dan penyampaian layanan publik. BaKTI sebagai mitra implementasi komponen Pengelolaan Pengetahuan bertanggungjawab sebagai event organizer yang mendukung terlaksananya berbagai kegiatan forum berbagi pegetahuan dan kunjungan belajar. Sejak Desember 2012 lalu, BaKTi telah mendukung berbagai penyelenggaraan even terkait empat isu penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan RI.

Empat Kajian tersebut:1. Reformasi DAU untuk Memperkuat Peran Sebagai

Equlization Grant2. Kajian Mengenai Potensi Penyediaan Pinjaman Lunak untuk

Pembangunan Infrastruktur dari Pemerintah ke Daerah3. Legalitas, Peluang, dan Hambatan Pembangunan Sistem

Informasi Keuangan Negara dan Daerah (E-SIKD) yang Terintegrasi

4. Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah.

Wilayah PapuaSHARE PDRB

TERHADAP 33 PROVINSI

PERTUMBUHAN EKONOMI

1,79 %

6,38 %

TINGKATKEMISKINAN 30,50%

TINGKATPENGANGGURAN3,97 %

Wilayah Jawa - Bali

PERTUMBUHAN EKONOMI

58,87 %6,58%

TINGKATKEMISKINAN11,36 %

TINGKATPENGANGGURAN 6,65 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Sumatra

PERTUMBUHAN EKONOMI

23,77 %

8,21%TINGKAT

KEMISKINAN 12,07 %TINGKAT

PENGANGGURAN 5,66 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Maluku

PERTUMBUHAN EKONOMI

0,27 %

7,33 %TINGKAT

KEMISKINAN 16,42 %TINGKAT

PENGANGGURAN 6,37%

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Sulawesi

PERTUMBUHAN EKONOMI

4,74 %

8,67 %

TINGKATKEMISKINAN 13,99%

TINGKATPENGANGGURAN 5,23 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Nusa Tenggara

PERTUMBUHAN EKONOMI

1,26 %

1,54%TINGKAT

KEMISKINAN 19,79%TINGKAT

PENGANGGURAN 4,06 %

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI

Wilayah Kalimantan

PERTUMBUHAN EKONOMI 4,83 %TINGKAT

KEMISKINAN 6,69%TINGKAT

PENGANGGURAN 5,30%

SHARE PDRB TERHADAP

33 PROVINSI 9,30%PERTUMBUHAN

EKONOMI

Nasional 2012

6,23 %TINGKAT

KEMISKINAN (FEBRUARI) 11,96

TINGKATPENGANGURAN

TERBUKA (AGUSTUS) 6,80 %

%

KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH PADA 7 PULAU BESAR DI INDONESIA

SUMBER : BPS 2012 (DIOLAH), KEMENTRIAN PNN/BAPPENAS

OLEH ICHSAN DJUNAED

INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Program Manajer Proyek Pengelolaan Pengetahuan BaKTI - AIPD, Stevent Febriandy, melalui email [email protected]

Tentang AIFIS American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) adalah organisasi non-profit (501c3) yang bergerak di bidang pendidikan dan didirikan di Amerika Serikat. AIFIS didirikan dengan dukungan finansial dari Yayasan Henry Luce, Department of Education di Amerika Serikat, dan Department of State, Bureau of Educational and Cultural Affairs di Amerika Serikat serta Putera Sampoerna Foundation di Indonesia. AIFIS sendiri merupakan konsorsium dari universitas-universitas dan perguruan tinggi di Amerika yang mempunyai minat dalam pengembangan Studi tentang Indonesia yang ada di Amerika Serikat. Tujuan utama didirikannya AIFIS adalah untuk mendorong pertukaran pelajar/sarjana antara Indonesia dan Amerika Serikat, untuk mempromosikan upaya pendidikan dan penelitian bagi para sarjana AS mengenai Indonesia, sekaligus memfasilitasi kunjungan para sarjana Indonesia ke AS. AIFIS telah membuka kantor untuk penelitian di Jakarta di kampus Universitas Siswa Bangsa Internasional , Komplek Mulia Business Park, Gedung A Lt.2, Jl. MT. Haryono Kav. 58-60, Jakarta Selatan. Kami telah memulai berbagai kegiatan kami mulai tanggal 9 Januari 2012. (Lihat halaman Acara kami untuk informasi lebih lanjut.). Pada tanggal 15 Februari 2013, AIFIS membuka kantor satelit di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Gedung PAU UGM Sayap Timur Lantai 1 , Jl. Teknika Utara, Barek , Yogyakarta

WEBSITE BULAN INI

American Institute for Indonesian Studies (AIFIS)www.aifis.org

Tentang SAPA SAPA - Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas dalam program pembangunan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. Keseriusan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari beragamnya program penanggulangan kemiskinan yang diinisiasi selama satu dekade terakhir. Selain itu, pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian, laju penurunan penduduk miskin yang diharapkan masih rendah. Kondisi ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan mengenai efektivitas program-program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi, setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan kurang efektif, antara lain :1. Pendekatan yang dilakukan oleh program penanggulangan

kemiskinan cenderung seragam dan menyederhanakan permasalahan dan karakteristik kemiskinan masyarakat

2. Minimnya ketersediaan data dan informasi kemiskinan yang digunakan dalam perencanaan program pembangunan.

3. Minimnya koordinasi antar para pemangku kepentingan dan keterlibatan masyarakat miskin secara aktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

4. Penanggulangan kemiskinan masih dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah. Dalam beberapa kasus, program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali justru menyebabkan masyarakat

Program SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation).www.sapa.or.id

tergantung dan sulit keluar dari kemiskinan.5. Penanggulangan kemiskinan sesungguhnya merupakan

persoalan lintas bidang pembangunan, namun upaya yang dilakukan oleh pemerintah ditengarai masih bersifat sektoral dan belum komprehensif.

Terkait dengan persoalan yang dikemukakan di atas, Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat melalui Deputi Penanggulangan Kemiskinan & Pemberdayaan Masyarakat bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, serta pemerintah daerah memulai suatu program kerjasama yang berbentuk kemitraan dalam penanggulangan k emisk inan. Ker jasama program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan dikenal dengan

nama Aliansi Strategis untuk Penanggulangan Kemiskinan atau yang lebih dikenal dengan nama Program SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation). Program SAPA meyakini bahwa upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah semata, akan tetapi juga harus melibatkan para pemangku kepentingan strategis seperti pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, termasuk masyarakat miskin. Para pemangku kepentingan tersebut memainkan peran-peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan, namun selama ini belum terintegrasi dalam suatu kerjasama yang efektif baik dalam penyusunan kebijakan, pelaksanaan program, maupun kerjasama pelaksanaan program.

INFOGRAFIK

Page 14: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

13 14News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Menganalisa Pengeluaran

dan Pendapatan

untuk Publik

orum Kepala BAPPEDA Provinsi se-FK a w a s a n T i m u r I n d o n e s i a mengadakan pertemuan pada akhir

Juni. Dalam pertamuan tersebut, para Kepala BAPPEDA mendiskusikan persiapan proses penyusunan RPJMN 2014 – 2019, dokumen-dokumen yang mendukungnya, termasuk Buku 3 tentang Kewilayahan dan isu pembangunan global ‘Konektivitas ASEAN’. Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA dihadiri oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bapak Max H. Pohan, dan praktisi Praktik Cerdas dari Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara, serta peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin. Sedikit berbeda dari pertemuan-per temuan Forum Kepala BAPPEDA sebelumnya, pada pertemuan kesembilan ini, para Kepala BAPPEDA juga berkesempatan untuk mendengarkan pemaparan beberapa Praktik Cerdas yang dapat menjadi inspirasi dalam proses perencanaan pembanganan selanjutnya. Selain itu, para Kepala BAPPEDA j u g a m e n d e n g a r k a n h a s i l a n a l i s a pendapatan dan pengeluaran publik yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin di beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia. Ber ikut k ami sa j ik an informasi mengenai Analisa Pengeluaran dan Pendapatan Publik (Public Expenditure and Revenue Analysis) sebagaimana dipaparkan dalam Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-Kawasan Timur Indonesia.

Apa itu PERA? Pera adalah sebuah studi yang menganalisis bagaimana pemerintah daerah m e m o b i l i s a s i , m e n g a l o k a s i k a n d a n mengelola sumberdaya keuangan (APBD) dengan memperhatikan disiplin dan konsistensi perencanaan dan penganggaran untuk mencapai kinerja pembangunan daerah

Urgensi PERA bagi Pemerintah Daerah PERA membantu Pemerintah Daerah untuk mengetahui apakah peningkatan kapasitas fiskal Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota sudah berjalan paralel dengan perbaikan manajemen keuangan publik. Selain itu hasil analisis ini juga dapat memberikan gambaran apakah pengelolaan keuangan daerah dan proses penganggaran telah bersesuaian dengan prior itas pembangunan daerah dan kebutuhan masyarakat. Dengan mengadakan analisis terhadap pendapatan dan pengeluaran publik, Pemerintah Daerah dapat mengetahui seberapa efisien dan efektif pengalokasian a n g g a r a n p u b l i k d a n p e n g e l u a r a n pemerintah daerah dalam memberikan p e l a y a n a n p u b l i k , m e n d o r o n g perekonomian daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan memastikan apakah kinerja pembangunan daerah telah

mengalami kemajuan berarti dari tahun ke tahun.

Tujuan PERA Tujuan PERA yang pertama adalah memperoleh gambaran kinerja sosial ekonomi masing-masing kabupaten di lima provinsi wilayah kerja PERA. PERA juga bertujuan memperoleh gambaran analisis tentang pengelolaan keuangan daerah (PFM) meliputi tiga aspek perencanaan dan penganggaran daerah, pelaksanaan anggaran, serta pengawasan dan akuntabilitas anggaran. Tujuan ketiga PERA adalah memperoleh gambaran tentang penerimaan (sumber-sumber pendapatan daerah dan rincian objek pendapatan daerah) dan belanja daerah (secara agregat, belanja sektor strategis), belanja daerah melalui APBN yang dikelola oleh instansi vertikal dan yang terakhir adalah memperoleh gambaran isu-isu lokal termasuk isu kemiskinan, isu HIV /AIDs, mitigasi bencana, konservasi lingkungan hidup, dan isu gender.

Manfaat PERA• Memberi informasi kepada pemerintah daerah dan legislatif

terkait dengan efektifitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah (aspek penerimaan dan pengeluaran).

• Mengembangkan tradisi evidence-based policy making di daerah.

• Mengembangkan kapasitas akademisi lokal yang akan menjadi mitra Pemerintah Daerah.

• Meningkatkan pengetahuan legislatif dan CSOs mengenai keuangan daerah dan pelayanan publik di daerahnya.

• Lahirnya rekomendasi kebijakan yang nantinya menjadi dasar bagi AIPD untuk mendesain program, termasuk kebutuhan capacity building bagi pemerintah daerah

• Hasil studi PERA bisa ditindaklanjuti pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang diharapkan mampu menghasilkan alokasi anggaran yang lebih baik.

Wilayah Kajian PERA Wilayah kajian PERA difokuskan pada satu pemerintah Provinsi, yakni Papua Barat, dan 20 Kabupaten / Kota yang tersebear pada lima provinsi sebagai berikut. Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu di Nusa Tenggara Barat. Kabupaten TTU, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Ngada, dan Kabupaten Sumba Barat Daya di Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Merauke, Kabupaten Keerom, Kabupaten Peg. Bintang dan Kabupaten Supiori di Papua. Kabupaten Fakfak, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Manokwari di Papua Barat; dan Kabupaten Situbondo, Kabupaten Sampang, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang di Jawa Timur.

Hasil Analisa PERA di NTB, NTT, Papua, dan Papua Barat Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah yang dinilai relatif kurang baik dan terjadi hampir di seluruh kabupaten, termasuk: kerangka peraturan dan perundangan; akuntabilitas anggaran terutama audit eksternal; dan akuntansi dan pelaporan. Sementara indikator yang dinilai relatif lebih baik karena mendapat poin tertinggi pada seluruh kabupaten studi PERA adalah pengadaan barang dan jasa. Pengelolaan Keuangan Daerah di NTB secara umum, penilaian yang dianggap lemah terkait pengelolaan keuangan adalah aspek kerangka peraturan dan perundangan dimana hasil penilaian terendah untuk Kabupaten Lombok Utara. Pengelolaan Keuangan Daerah di empat Kabupaten di NTT masih diperhadapkan pada lemahnya kerangka regulasi, eksternal audit, perencanaan dan penganggaran. Hasil analisis pendapatan daerah pada umumnya mengalami peningkatan selama periode 2007-2011, namun penyumbang terbesar adalah dana perimbangan rata-rata diatas dari 80 persen, sementara sumbangan PAD hanya berkisar

2-6 persen kecuali Lombok Barat mencapai 8,4 persen per tahun. Meskipun porsi PAD secara umum untuk seluruh kabupaten kecil, namun kecenderungannya meningkat hingga tahun 2011, sementara dana perimbangan cenderung menurun. Penyumbang terbesar PAD bervariasi antar kabupaten namun secara umum adalah retribusi daerah dan penerimaan lain PAD yang sah kecuali Lombok Barat dan Lombok Timur (pajak daerah-pajak hotel), Dompu, Merauke (hasil pengelolaan kekayaan daerah), SBD, Keerom, Supiori, TTU (lain-lain PAD-jasa giro dan pendapatan bunga). Hasil Analisis Belanja Daerah secara keseluruhan, belanja daerah meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan daerah yang terjadi pada seluruh kabupaten studi PERA kecuali Pegunungan Bintang menurun dan Merauke berfluktuasi. Proporsi terbesar terhadap belanja daerah adalah alokasi belanja pegawai hampir seluruh kabupaten kecuali kabupaten studi PERA di Papua (porsi belanja modal lebih besar dari belanja pegawai). Berdasarkan klasifikasi sektor, porsi alokasi belanja cukup besar didominasi oleh dua sektor yaitu sektor pendidikan dan pemerintahan umum, selebihnya sektor strategis lainnya relatif kecil. Sebagian kabupaten mengalokasikan belanja dengan porsi yang lebih besar ke sektor pendidikan dan sebagian lainnya lebih besar ke sektor pemerintahan umum. Sedangkan sektor-sektor strategis lainnya relative kecil bahkan sektor pertanian sebagai sektor yang dominan disentuh oleh masyarakat justru memperoleh alokasi belanja terkecil diantara sektor strategis lainnya

Hasil Analisis PERA di Jawa Timur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) secara umum sudah cukup baik. Kondisi perencanaan dan penganggaran juga cukup baik meski harus lebih diperbaiki dari sisi kerangka perundangan mengenai perencanaan dan penganggaran. Kendala umum yang dihadapi oleh PKD dari sisi oversight & accountability di Jatim adalah kualitas dan kuantitas SDM serta sistem informasi, terutama di Kabupaten Sampang, dimana jumlah pengawas di Inspektorat Kabupaten hanya empat orang. Perlu dilakukan peningkatan kinerja internal audit terutama dalam hal kecepatan merespon pemeriksaan keuangan dari pihak eksternal - contoh kasus di Trenggalek, dari 382 temuan masih diselesaikan 322, jadi masih ada 52 temuan yang belum diselesaikan. Terkait Pendapatan Daerah, yang tertinggi adalah Kabupaten Malang, namun karena jumlah penduduk yang sangat besar, pendapatan daerah perkapita Malang menjadi yang terkecil. Secara keseluruhan, pendapatan daerah 4 kabupaten masih sangat bergantung pada DAU, kemandirian daerah masih rendah dimana rasio PAD terhadap total pendapatan masih rendah. Rasio PAD tertinggi adalah Kabupaten Malang yang diperoleh dari lain-lain PAD terutama dari pendapatan BLUD Ruang fiskal pada empat kabupaten masih kurang lebar. Ini berarti dana untuk kegiatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi juga belum terlalu besar. DAU yang menjadi sumber pendapatan terbesar paling banyak dialokasikan untuk belanja pegawai tidak langsung. Belanja Daerah di empat kabupaten selalu meningkat seiring peningkatan jumlah pendapatan daerah. Belanja tidak langsung masih mendominasi komponen belanja daerah dimana sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai tidak langsung terutama Trenggalek. Semua kabupaten memberikan prioritas anggarannya untuk sektor pendidikan dan diharapkan mampu meningkatkan IPM masing-masing daerah.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin dengan mengirimkan email kepada Dr. Agussalim melalui [email protected]

Rp

Rp

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

SUARA FORUM KTI

Page 15: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

13 14News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Menganalisa Pengeluaran

dan Pendapatan

untuk Publik

orum Kepala BAPPEDA Provinsi se-FK a w a s a n T i m u r I n d o n e s i a mengadakan pertemuan pada akhir

Juni. Dalam pertamuan tersebut, para Kepala BAPPEDA mendiskusikan persiapan proses penyusunan RPJMN 2014 – 2019, dokumen-dokumen yang mendukungnya, termasuk Buku 3 tentang Kewilayahan dan isu pembangunan global ‘Konektivitas ASEAN’. Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA dihadiri oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bapak Max H. Pohan, dan praktisi Praktik Cerdas dari Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara, serta peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin. Sedikit berbeda dari pertemuan-per temuan Forum Kepala BAPPEDA sebelumnya, pada pertemuan kesembilan ini, para Kepala BAPPEDA juga berkesempatan untuk mendengarkan pemaparan beberapa Praktik Cerdas yang dapat menjadi inspirasi dalam proses perencanaan pembanganan selanjutnya. Selain itu, para Kepala BAPPEDA j u g a m e n d e n g a r k a n h a s i l a n a l i s a pendapatan dan pengeluaran publik yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin di beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia. Ber ikut k ami sa j ik an informasi mengenai Analisa Pengeluaran dan Pendapatan Publik (Public Expenditure and Revenue Analysis) sebagaimana dipaparkan dalam Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-Kawasan Timur Indonesia.

Apa itu PERA? Pera adalah sebuah studi yang menganalisis bagaimana pemerintah daerah m e m o b i l i s a s i , m e n g a l o k a s i k a n d a n mengelola sumberdaya keuangan (APBD) dengan memperhatikan disiplin dan konsistensi perencanaan dan penganggaran untuk mencapai kinerja pembangunan daerah

Urgensi PERA bagi Pemerintah Daerah PERA membantu Pemerintah Daerah untuk mengetahui apakah peningkatan kapasitas fiskal Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota sudah berjalan paralel dengan perbaikan manajemen keuangan publik. Selain itu hasil analisis ini juga dapat memberikan gambaran apakah pengelolaan keuangan daerah dan proses penganggaran telah bersesuaian dengan prior itas pembangunan daerah dan kebutuhan masyarakat. Dengan mengadakan analisis terhadap pendapatan dan pengeluaran publik, Pemerintah Daerah dapat mengetahui seberapa efisien dan efektif pengalokasian a n g g a r a n p u b l i k d a n p e n g e l u a r a n pemerintah daerah dalam memberikan p e l a y a n a n p u b l i k , m e n d o r o n g perekonomian daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan memastikan apakah kinerja pembangunan daerah telah

mengalami kemajuan berarti dari tahun ke tahun.

Tujuan PERA Tujuan PERA yang pertama adalah memperoleh gambaran kinerja sosial ekonomi masing-masing kabupaten di lima provinsi wilayah kerja PERA. PERA juga bertujuan memperoleh gambaran analisis tentang pengelolaan keuangan daerah (PFM) meliputi tiga aspek perencanaan dan penganggaran daerah, pelaksanaan anggaran, serta pengawasan dan akuntabilitas anggaran. Tujuan ketiga PERA adalah memperoleh gambaran tentang penerimaan (sumber-sumber pendapatan daerah dan rincian objek pendapatan daerah) dan belanja daerah (secara agregat, belanja sektor strategis), belanja daerah melalui APBN yang dikelola oleh instansi vertikal dan yang terakhir adalah memperoleh gambaran isu-isu lokal termasuk isu kemiskinan, isu HIV /AIDs, mitigasi bencana, konservasi lingkungan hidup, dan isu gender.

Manfaat PERA• Memberi informasi kepada pemerintah daerah dan legislatif

terkait dengan efektifitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah (aspek penerimaan dan pengeluaran).

• Mengembangkan tradisi evidence-based policy making di daerah.

• Mengembangkan kapasitas akademisi lokal yang akan menjadi mitra Pemerintah Daerah.

• Meningkatkan pengetahuan legislatif dan CSOs mengenai keuangan daerah dan pelayanan publik di daerahnya.

• Lahirnya rekomendasi kebijakan yang nantinya menjadi dasar bagi AIPD untuk mendesain program, termasuk kebutuhan capacity building bagi pemerintah daerah

• Hasil studi PERA bisa ditindaklanjuti pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang diharapkan mampu menghasilkan alokasi anggaran yang lebih baik.

Wilayah Kajian PERA Wilayah kajian PERA difokuskan pada satu pemerintah Provinsi, yakni Papua Barat, dan 20 Kabupaten / Kota yang tersebear pada lima provinsi sebagai berikut. Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu di Nusa Tenggara Barat. Kabupaten TTU, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Ngada, dan Kabupaten Sumba Barat Daya di Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Merauke, Kabupaten Keerom, Kabupaten Peg. Bintang dan Kabupaten Supiori di Papua. Kabupaten Fakfak, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Manokwari di Papua Barat; dan Kabupaten Situbondo, Kabupaten Sampang, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang di Jawa Timur.

Hasil Analisa PERA di NTB, NTT, Papua, dan Papua Barat Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah yang dinilai relatif kurang baik dan terjadi hampir di seluruh kabupaten, termasuk: kerangka peraturan dan perundangan; akuntabilitas anggaran terutama audit eksternal; dan akuntansi dan pelaporan. Sementara indikator yang dinilai relatif lebih baik karena mendapat poin tertinggi pada seluruh kabupaten studi PERA adalah pengadaan barang dan jasa. Pengelolaan Keuangan Daerah di NTB secara umum, penilaian yang dianggap lemah terkait pengelolaan keuangan adalah aspek kerangka peraturan dan perundangan dimana hasil penilaian terendah untuk Kabupaten Lombok Utara. Pengelolaan Keuangan Daerah di empat Kabupaten di NTT masih diperhadapkan pada lemahnya kerangka regulasi, eksternal audit, perencanaan dan penganggaran. Hasil analisis pendapatan daerah pada umumnya mengalami peningkatan selama periode 2007-2011, namun penyumbang terbesar adalah dana perimbangan rata-rata diatas dari 80 persen, sementara sumbangan PAD hanya berkisar

2-6 persen kecuali Lombok Barat mencapai 8,4 persen per tahun. Meskipun porsi PAD secara umum untuk seluruh kabupaten kecil, namun kecenderungannya meningkat hingga tahun 2011, sementara dana perimbangan cenderung menurun. Penyumbang terbesar PAD bervariasi antar kabupaten namun secara umum adalah retribusi daerah dan penerimaan lain PAD yang sah kecuali Lombok Barat dan Lombok Timur (pajak daerah-pajak hotel), Dompu, Merauke (hasil pengelolaan kekayaan daerah), SBD, Keerom, Supiori, TTU (lain-lain PAD-jasa giro dan pendapatan bunga). Hasil Analisis Belanja Daerah secara keseluruhan, belanja daerah meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan daerah yang terjadi pada seluruh kabupaten studi PERA kecuali Pegunungan Bintang menurun dan Merauke berfluktuasi. Proporsi terbesar terhadap belanja daerah adalah alokasi belanja pegawai hampir seluruh kabupaten kecuali kabupaten studi PERA di Papua (porsi belanja modal lebih besar dari belanja pegawai). Berdasarkan klasifikasi sektor, porsi alokasi belanja cukup besar didominasi oleh dua sektor yaitu sektor pendidikan dan pemerintahan umum, selebihnya sektor strategis lainnya relatif kecil. Sebagian kabupaten mengalokasikan belanja dengan porsi yang lebih besar ke sektor pendidikan dan sebagian lainnya lebih besar ke sektor pemerintahan umum. Sedangkan sektor-sektor strategis lainnya relative kecil bahkan sektor pertanian sebagai sektor yang dominan disentuh oleh masyarakat justru memperoleh alokasi belanja terkecil diantara sektor strategis lainnya

Hasil Analisis PERA di Jawa Timur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) secara umum sudah cukup baik. Kondisi perencanaan dan penganggaran juga cukup baik meski harus lebih diperbaiki dari sisi kerangka perundangan mengenai perencanaan dan penganggaran. Kendala umum yang dihadapi oleh PKD dari sisi oversight & accountability di Jatim adalah kualitas dan kuantitas SDM serta sistem informasi, terutama di Kabupaten Sampang, dimana jumlah pengawas di Inspektorat Kabupaten hanya empat orang. Perlu dilakukan peningkatan kinerja internal audit terutama dalam hal kecepatan merespon pemeriksaan keuangan dari pihak eksternal - contoh kasus di Trenggalek, dari 382 temuan masih diselesaikan 322, jadi masih ada 52 temuan yang belum diselesaikan. Terkait Pendapatan Daerah, yang tertinggi adalah Kabupaten Malang, namun karena jumlah penduduk yang sangat besar, pendapatan daerah perkapita Malang menjadi yang terkecil. Secara keseluruhan, pendapatan daerah 4 kabupaten masih sangat bergantung pada DAU, kemandirian daerah masih rendah dimana rasio PAD terhadap total pendapatan masih rendah. Rasio PAD tertinggi adalah Kabupaten Malang yang diperoleh dari lain-lain PAD terutama dari pendapatan BLUD Ruang fiskal pada empat kabupaten masih kurang lebar. Ini berarti dana untuk kegiatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi juga belum terlalu besar. DAU yang menjadi sumber pendapatan terbesar paling banyak dialokasikan untuk belanja pegawai tidak langsung. Belanja Daerah di empat kabupaten selalu meningkat seiring peningkatan jumlah pendapatan daerah. Belanja tidak langsung masih mendominasi komponen belanja daerah dimana sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai tidak langsung terutama Trenggalek. Semua kabupaten memberikan prioritas anggarannya untuk sektor pendidikan dan diharapkan mampu meningkatkan IPM masing-masing daerah.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin dengan mengirimkan email kepada Dr. Agussalim melalui [email protected]

Rp

Rp

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

SUARA FORUM KTI

Page 16: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

15 16News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

statusnya sebagai pelabuhan internasional sebagai pintu gerbang laut di Kawasan Timur Indonesia yang melayani kegiatan perdagangan luar negeri. Hal yang sama untuk pengembangan pelabuhan Kelas IV Manado, lebih difokuskan pada pelayanan transportasi untuk melayani mobilitas penduduk beserta barang-barang kebutuhan pokok antara pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara dengan Sulawesi Utara daratan, khususnya di Manado; (ii) pengembangan pelabuhan pulau-pulau kecil untuk melayani lalu lintas barang dan manusia ke pulau-pulau yang tersebar di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara; dan (iii) kemudahan akses dan mobilitas komoditas perikanan, perkebunan dan hortikultura sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara, terutama untuk mendukung 58 buah industri perikanan di Kota Bitung. Untuk mewujudkan terlaksananya rencana pengembangan pelabuhan tersebut diperlukan sinergitas pengelolaan dari pihak pemerintah daerah, Pelindo, Adpel, dan masyarakat terutama disekitar pengembangan pelabuhan laut. Dukungan kebijakan penganggaran sangat diperlukan. Di Gorontalo, seiring dengan semakin berkembangnya aktivitas ekonomi di Gorontalo, maka pengembangan infrastruktur pelabuhan laut perlu ditingkatkan. Terkait dengan hal itu, maka rencana pengembangan pelabuhan laut di Gorontalo terdiri atas tiga yaitu: (i) rencana pengembangan Pelabuhan Anggrek sebagai pelabuhan internasional di Kabupaten Gorontalo Utara; (ii) rencana pengembangan Pelabuhan Kwandang; dan (iii) pengembangan Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Bumbulan Marisa. Rencana pengembangan pelabuhan Anggrek diarahkan untuk melayani kegiatan ekspor komoditi/angkutan komoditi dalam rangka pengembangan kawasan industri di daerah tersebut. Hal ini didukung oleh letak strategis pelabuhan ini yang berada pada ALKI-II, dan didukung oleh fasilitas dan kedalaman pelabuhan yang memadai. Pengembangan Pelabuhan Kwandang sebagai angkutan penumpang yang bernilai sejarah, hubungan kekerabatan masyarakat Gorontalo dengan Tarakan di Kalimantan Timur, Buol dan Tolitoli di Sulawesi Tengah, serta Amuran di Sulawesi Utara. Pengembangan Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Bumbulan Marisa diarahkan untuk melayani mobilitas penduduk yang memiliki hubungan kekerabatan/sejarah dengan daerah-daerah di Teluk Tomini, baik Sulawesi Tengah maupun dengan Sulawesi Utara. Khusus untuk Pelabuhan Gorontalo, meskipun dengan permasalahan posisi yang tidak mendukung untuk pengembangannya, tetapi faktanya demand-nya sangat tinggi. Pengembangan Pelabuhan Gorontalo dalam jangka pendek dan menengah adalah peningkatan status pelabuhan kelas empat menjadi pelabuhan

kelas tiga, antara lain dengan peningkatan fasilitas bongkar-muat, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penambahan panjang dermaga, dan penambahan lapangan penumpukan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, perlu dukungan dari berbagai pihak termasuk dukungan kebijakan penganggaran dari pemerintah, pemerintah daerah, dan dukungan masyarakat. Di Sulawesi Tenggara, pengembangan infrastruktur pelabuhan laut terutama diarahkan pada Pelabuhan Kendari yang saat ini memiliki dermaga yang cukup pendek dan fasilitas dan peralatan bongkar muat barang yang masih terbatas. Pe l a b u h a n K e n d a r i m e r u p a k a n p e l a b u h a n y a n g menghubungkan Konawe, Unaha, Kolaka Utara, Surabaya, Jakarta dan Cina. Itu berarti Pelabuhan Kendari tidak hanya menghubungkan antar pulau di Sulawesi Utara tetapi juga antar pulau di Indonesia bahkan antar negara seperti Cina. Oleh karena itu, di Sulawesi Tenggara pengembangan pelabuhan Kota Kendari menjadi skala prioritas. Beberapa pelabuhan lainnya perlu penambahan peralatan bongkar muat terutama pelabuhan seperti Pelabuhan Konawe Utara, Pelabuhan Kolaka, dan Pelabuhan Kota Bau-Bau yang selama ini memperlihatkan kinerja arus bongkar muat barang yang cukup besar terutama hasil tambang seperti nikel. Ketersediaan dukungan anggaran dan dukungan masyarakat sangat didambakan untuk mewujudkan rencana pengembangan infrastruktur pelabuhan laut di Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tengah, terdapat pelabuhan sebanyak 14 unit yang terdiri dari 1 unit pelabuhan utama dan 13 unit pelabuhan pengumpul. Selama ini, sarana dan prasarana yang dimiliki masih sangat terbatas j ik a dibandingk an dengan perkembangan aktivitas pelabuhan yang ditandai oleh semakin banyak kapal yang tambat, antara lain kapal penumpang, kapal barang, dan kapal petikemas. Olehnya itu, rencana pengembangan infrastruktur pelabuhan lebih diprioritaskan pada perbaikan terminal penumpang, peningkatan alat bongkar muat barang, dan penambahan panjang dermaga.

Kesimpulan dan Rekomendasi Pelabuhan laut memegang peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah melalui berbagai aktivitas kepelabuhanan seperti arus barang, petikemas, dan arus penumpang. Aktivitas pelabuhan cukup berkembang dan bervariasi antar provinsi, namun posisi pulau Sulawesi lebih rendah dari tiga pulau besar di Indonesia, yaitu Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Dilihat dari aktivitas bongkar muat, pada umumnya pelabuhan di Pulau Sulawesi

Analisis Kebutuhan dan Rencana Pengembangan Berdasarkan kondisi infrastruktur perhubungan laut yang ada saat ini, masih dibutuhkan sejumlah kebijakan dan program pengembangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Rencana pengembangan infrastruktur perhubungan laut di Pulau Sulawesi bervariasi antar 18provinsi sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Adapun rencana pengembangan infrastruktur perhubungan laut untuk masing-masing provinsi sebagai berikut: Di Sulawesi Selatan, seir ing dengan semak in berkembangnya aktivitas ekonomi di sekitar kawasan Makassar, maka kebutuhan pengembangan infrastruktur laut menjadi semakin penting. Kondisi Infrastruktur pelabuhan laut Makassar yang ada saat ini masih menghadapi sejumlah permasalahan terutama terkait dengan panjang dermaga, perubahan bentuk pantai akibat reklamasi pantai, dan sebagainya. Untuk itu, maka rencana pengembangan pelabuhan MNP diprediksikan mampu mengatasi permasalahan tersebut dan sekaligus dapat lebih meningkatkan aktivitas ekonomi tidak hanya di sekitar wilayah Makassar tetapi juga antar pulau baik di Sulawesi maupun di luar Sulawesi yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Namun demikian, pembangunan MNP harus diiringi oleh pengembangan infrastruktur jalan yang lebih memadai, penambahan peralatan bongkar muat yang lebih banyak, dan upaya pembangunan industri yang berskala besar agar kapasitas petikemas yang masuk dan keluar seimbang. Kendala yang dihadapi terkait rencana pembangunan MNP adalah keterbatasan anggaran. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Focus Group Discussion (FGD), biaya pembangunan MNP membutuhkan anggaran sekitar Rp 6 triliun. Kendala lainnya adalah proses perizinan yang terlalu panjang dan pembebasan lahan. Dengan demikian, agar rencana MNP dapat terwujud maka dibutuhkan

proses perizinan yang sederhana, dukungan anggaran baik yang bersumber dari APBN maupun dari investor dan dukungan pemerintah daerah setempat dalam hal pembebasan lahan. Di Sulawesi Barat, guna lebih meningkatkan kinerja aktivitas pelabuhan di Sulawesi Barat, rencana pengembangan Pelabuhan Belang-Belang sangat dibutuhkan dengan alasan bahwa pelabuhan Belang-Belang disamping merupakan pelabuhan utama di Sulawesi Barat juga pelabuhan ini dapat menghubungkan antar pulau di Luar Sulawesi seperti menghubungkan antar Sulawesi Barat dengan Surabaya, Kalimantan dan Makassar. Rencana pengembangannya diarahkan untuk tujuan komersial dan akan dikelola dengan sistem BUMD (bukan Pelindo). Sistem ini dimungkinkan sesuai dengan arahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008. Akan tetapi dalam rencana pengembangannya belum dicantumkan perkiraan biaya yang dibutuhkan termasuk biaya pengelolaan dan pemeliharaan (O & M). Oleh karena itu, mengingat pentingnya kehadiran pelabuhan Belang-Belang, diperlukan dukungan anggaran yang lebih besar kepada pemerintah Sulawesi Barat dan dukungan dari masyarakat terkait dengan pembebasan lahan serta pembangunan industri kelapa sawit di Mamuju Utara untuk mendukung kegiatan arus barang, baik antar pulau maupun antar negara. Di Sulawesi Utara, berdasarkan kondisi geografis Sulawesi Utara yang terdiri atas kurang lebih 100 pulau-pulau kecil, maka rencana pengembangan pelabuhan terdiri atas dua yaitu pengembangan pelabuhan utama Bitung dan Manado yang dikelola oleh Pelindo IV dan pengembangan Infrastruktur pelabuhan pulau-pulau kecil yang dikelola oleh pemerintah daerah. Ada beberapa alasan antara lain: (i) Pelabuhan Bitung merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III, terhubung langsung dengan wilayah Asia Timur dan Asia Pasifik. Kondisi geografis tersebut menyebabkan Pelabuhan Bitung diangkat

Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi

Sulawesi

SULAWESI DEVELOPMENT DIAGNOSTIC

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Bagian II

Page 17: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

15 16News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

statusnya sebagai pelabuhan internasional sebagai pintu gerbang laut di Kawasan Timur Indonesia yang melayani kegiatan perdagangan luar negeri. Hal yang sama untuk pengembangan pelabuhan Kelas IV Manado, lebih difokuskan pada pelayanan transportasi untuk melayani mobilitas penduduk beserta barang-barang kebutuhan pokok antara pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara dengan Sulawesi Utara daratan, khususnya di Manado; (ii) pengembangan pelabuhan pulau-pulau kecil untuk melayani lalu lintas barang dan manusia ke pulau-pulau yang tersebar di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara; dan (iii) kemudahan akses dan mobilitas komoditas perikanan, perkebunan dan hortikultura sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara, terutama untuk mendukung 58 buah industri perikanan di Kota Bitung. Untuk mewujudkan terlaksananya rencana pengembangan pelabuhan tersebut diperlukan sinergitas pengelolaan dari pihak pemerintah daerah, Pelindo, Adpel, dan masyarakat terutama disekitar pengembangan pelabuhan laut. Dukungan kebijakan penganggaran sangat diperlukan. Di Gorontalo, seiring dengan semakin berkembangnya aktivitas ekonomi di Gorontalo, maka pengembangan infrastruktur pelabuhan laut perlu ditingkatkan. Terkait dengan hal itu, maka rencana pengembangan pelabuhan laut di Gorontalo terdiri atas tiga yaitu: (i) rencana pengembangan Pelabuhan Anggrek sebagai pelabuhan internasional di Kabupaten Gorontalo Utara; (ii) rencana pengembangan Pelabuhan Kwandang; dan (iii) pengembangan Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Bumbulan Marisa. Rencana pengembangan pelabuhan Anggrek diarahkan untuk melayani kegiatan ekspor komoditi/angkutan komoditi dalam rangka pengembangan kawasan industri di daerah tersebut. Hal ini didukung oleh letak strategis pelabuhan ini yang berada pada ALKI-II, dan didukung oleh fasilitas dan kedalaman pelabuhan yang memadai. Pengembangan Pelabuhan Kwandang sebagai angkutan penumpang yang bernilai sejarah, hubungan kekerabatan masyarakat Gorontalo dengan Tarakan di Kalimantan Timur, Buol dan Tolitoli di Sulawesi Tengah, serta Amuran di Sulawesi Utara. Pengembangan Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Bumbulan Marisa diarahkan untuk melayani mobilitas penduduk yang memiliki hubungan kekerabatan/sejarah dengan daerah-daerah di Teluk Tomini, baik Sulawesi Tengah maupun dengan Sulawesi Utara. Khusus untuk Pelabuhan Gorontalo, meskipun dengan permasalahan posisi yang tidak mendukung untuk pengembangannya, tetapi faktanya demand-nya sangat tinggi. Pengembangan Pelabuhan Gorontalo dalam jangka pendek dan menengah adalah peningkatan status pelabuhan kelas empat menjadi pelabuhan

kelas tiga, antara lain dengan peningkatan fasilitas bongkar-muat, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penambahan panjang dermaga, dan penambahan lapangan penumpukan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, perlu dukungan dari berbagai pihak termasuk dukungan kebijakan penganggaran dari pemerintah, pemerintah daerah, dan dukungan masyarakat. Di Sulawesi Tenggara, pengembangan infrastruktur pelabuhan laut terutama diarahkan pada Pelabuhan Kendari yang saat ini memiliki dermaga yang cukup pendek dan fasilitas dan peralatan bongkar muat barang yang masih terbatas. Pe l a b u h a n K e n d a r i m e r u p a k a n p e l a b u h a n y a n g menghubungkan Konawe, Unaha, Kolaka Utara, Surabaya, Jakarta dan Cina. Itu berarti Pelabuhan Kendari tidak hanya menghubungkan antar pulau di Sulawesi Utara tetapi juga antar pulau di Indonesia bahkan antar negara seperti Cina. Oleh karena itu, di Sulawesi Tenggara pengembangan pelabuhan Kota Kendari menjadi skala prioritas. Beberapa pelabuhan lainnya perlu penambahan peralatan bongkar muat terutama pelabuhan seperti Pelabuhan Konawe Utara, Pelabuhan Kolaka, dan Pelabuhan Kota Bau-Bau yang selama ini memperlihatkan kinerja arus bongkar muat barang yang cukup besar terutama hasil tambang seperti nikel. Ketersediaan dukungan anggaran dan dukungan masyarakat sangat didambakan untuk mewujudkan rencana pengembangan infrastruktur pelabuhan laut di Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tengah, terdapat pelabuhan sebanyak 14 unit yang terdiri dari 1 unit pelabuhan utama dan 13 unit pelabuhan pengumpul. Selama ini, sarana dan prasarana yang dimiliki masih sangat terbatas j ik a dibandingk an dengan perkembangan aktivitas pelabuhan yang ditandai oleh semakin banyak kapal yang tambat, antara lain kapal penumpang, kapal barang, dan kapal petikemas. Olehnya itu, rencana pengembangan infrastruktur pelabuhan lebih diprioritaskan pada perbaikan terminal penumpang, peningkatan alat bongkar muat barang, dan penambahan panjang dermaga.

Kesimpulan dan Rekomendasi Pelabuhan laut memegang peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah melalui berbagai aktivitas kepelabuhanan seperti arus barang, petikemas, dan arus penumpang. Aktivitas pelabuhan cukup berkembang dan bervariasi antar provinsi, namun posisi pulau Sulawesi lebih rendah dari tiga pulau besar di Indonesia, yaitu Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Dilihat dari aktivitas bongkar muat, pada umumnya pelabuhan di Pulau Sulawesi

Analisis Kebutuhan dan Rencana Pengembangan Berdasarkan kondisi infrastruktur perhubungan laut yang ada saat ini, masih dibutuhkan sejumlah kebijakan dan program pengembangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Rencana pengembangan infrastruktur perhubungan laut di Pulau Sulawesi bervariasi antar 18provinsi sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Adapun rencana pengembangan infrastruktur perhubungan laut untuk masing-masing provinsi sebagai berikut: Di Sulawesi Selatan, seir ing dengan semak in berkembangnya aktivitas ekonomi di sekitar kawasan Makassar, maka kebutuhan pengembangan infrastruktur laut menjadi semakin penting. Kondisi Infrastruktur pelabuhan laut Makassar yang ada saat ini masih menghadapi sejumlah permasalahan terutama terkait dengan panjang dermaga, perubahan bentuk pantai akibat reklamasi pantai, dan sebagainya. Untuk itu, maka rencana pengembangan pelabuhan MNP diprediksikan mampu mengatasi permasalahan tersebut dan sekaligus dapat lebih meningkatkan aktivitas ekonomi tidak hanya di sekitar wilayah Makassar tetapi juga antar pulau baik di Sulawesi maupun di luar Sulawesi yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Namun demikian, pembangunan MNP harus diiringi oleh pengembangan infrastruktur jalan yang lebih memadai, penambahan peralatan bongkar muat yang lebih banyak, dan upaya pembangunan industri yang berskala besar agar kapasitas petikemas yang masuk dan keluar seimbang. Kendala yang dihadapi terkait rencana pembangunan MNP adalah keterbatasan anggaran. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Focus Group Discussion (FGD), biaya pembangunan MNP membutuhkan anggaran sekitar Rp 6 triliun. Kendala lainnya adalah proses perizinan yang terlalu panjang dan pembebasan lahan. Dengan demikian, agar rencana MNP dapat terwujud maka dibutuhkan

proses perizinan yang sederhana, dukungan anggaran baik yang bersumber dari APBN maupun dari investor dan dukungan pemerintah daerah setempat dalam hal pembebasan lahan. Di Sulawesi Barat, guna lebih meningkatkan kinerja aktivitas pelabuhan di Sulawesi Barat, rencana pengembangan Pelabuhan Belang-Belang sangat dibutuhkan dengan alasan bahwa pelabuhan Belang-Belang disamping merupakan pelabuhan utama di Sulawesi Barat juga pelabuhan ini dapat menghubungkan antar pulau di Luar Sulawesi seperti menghubungkan antar Sulawesi Barat dengan Surabaya, Kalimantan dan Makassar. Rencana pengembangannya diarahkan untuk tujuan komersial dan akan dikelola dengan sistem BUMD (bukan Pelindo). Sistem ini dimungkinkan sesuai dengan arahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008. Akan tetapi dalam rencana pengembangannya belum dicantumkan perkiraan biaya yang dibutuhkan termasuk biaya pengelolaan dan pemeliharaan (O & M). Oleh karena itu, mengingat pentingnya kehadiran pelabuhan Belang-Belang, diperlukan dukungan anggaran yang lebih besar kepada pemerintah Sulawesi Barat dan dukungan dari masyarakat terkait dengan pembebasan lahan serta pembangunan industri kelapa sawit di Mamuju Utara untuk mendukung kegiatan arus barang, baik antar pulau maupun antar negara. Di Sulawesi Utara, berdasarkan kondisi geografis Sulawesi Utara yang terdiri atas kurang lebih 100 pulau-pulau kecil, maka rencana pengembangan pelabuhan terdiri atas dua yaitu pengembangan pelabuhan utama Bitung dan Manado yang dikelola oleh Pelindo IV dan pengembangan Infrastruktur pelabuhan pulau-pulau kecil yang dikelola oleh pemerintah daerah. Ada beberapa alasan antara lain: (i) Pelabuhan Bitung merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III, terhubung langsung dengan wilayah Asia Timur dan Asia Pasifik. Kondisi geografis tersebut menyebabkan Pelabuhan Bitung diangkat

Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi

Sulawesi

SULAWESI DEVELOPMENT DIAGNOSTIC

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Bagian II

Page 18: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

17 18News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

mencatat arus bongkar barang lebih rendah daripada arus muat (imbalance cargo). Arus bongkar muat barang melalui pelabuhan laut di Sulawesi masih didominasi oleh perdagangan antar pulau dibandingkan dengan perdagangan luar negeri. Untuk l e b i h m e n i n g k a t k a n a k t i v i t a s kepelabuhanan di Pulau Sulawesi terutama untuk mengatasi imbalance cargo, beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain: (i) konektivitas antar pelabuhan perlu ditingkatkan agar saling mendukung antar satu pelabuhan dengan pelabuhan lainnya. Misalnya konsolidasi kargo (mengumpulkan barang ke satu pelabuhan tertentu agar kapasitas daya tampung kapal terisi secara maksimal, sehingga kapal keluar tidak dalam dalam keadaan kosong); (ii) pengembangan industri pengolahan berorientasi ekspor di Sulawesi untuk memperbesar skala ekonomi; dan (iii) menjajaki peluang rute internasional langsung dari Makassar, khususnya untuk petikemas. Secara umum, fasilitas sarana dan prasarana kepelabuhan di Pulau Sulawesi masih sangat terbatas. Akibatnya aktivitas ekonomi dengan menggunakan angkutan laut belum sepenuhnya bertumbuh secara s i g n i f i k a n . B e b e r a p a p u l a u m a s i h diperhadapkan permasalahan terkait dengan distr ibusi barang terutama kebutuhan pokok yang belum lancar, antrian kapal karena karena dermaga yang relatif pendek, peralatan bongkar muat yang terbatas, dan beberapa yang lainnya. Kurangnya sarana dan prasarana pelabuhan terkait dengan keterbatasan dukungan anggaran baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah. Beberapa catatan rekomendasi antara lain; (i) alokasi anggaran pusat dan daerah untuk peningkatan pelabuhan laut di pulau Sulawesi harus ditingkatkan; (ii) dukungan kebijakan pemerintah daerah ditingkatkan terutama terk ait dengan pembangunan f is ik pelabuhan; dan (iii) dukungan masyarakat terutama terkait dengan pembebasan lahan untuk pengembangan infrastruktur fisik pelabuhan. Berdasarkan kinerja perhubungan laut a n t a r p r o v i n s i d i P u l a u S u l a w e s i , pengembangan infrastruktur pelabuhan di S u l a w e s i S e l a t a n d i a r a h k a n p a d a peningkatan aktivitas perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri seperti perpanjangan dermaga, penambahan peralatan bongkar muat, dan lainnya, sementara pengembangan infrastruktur pelabuhan di provinsi lainnya (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo) lebih diarahkan pada peningkatan pelayanan transportasi untuk mobilitas penduduk dan distribusi kebutuhan baha

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin dengan mengirimkan email kepada Dr. Agussalim melalui [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT

FOR MORE INFORMATION

adan Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa (United BNations World Food Programme/WFP), Pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

Kupang merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus dengan peluncuran pertama kompetisi memasak makanan tambahan anak sekolah dengan menggunakan bahan pangan lokal. Kompetisi ini bertujuan untuk mempromosikan keragaman pangan dan menekankan pentingnya cara membuat makanan sekolah dengan lebih bergizi melalui sumber bahan pangan lokal. "Ini merupakan acara yang menarik untuk menampilkan keterlibatan masyarakat setempat dalam penyediaan makanan bergizi yang terbuat dari bahan pangan lokal dalam program makanan tambahan anak sekolah kami. Kami berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya makanan yang beragam dan bergizi dalam asupan sehari-hari," kata Peter Guest, Acting Country Director WFP Indonesia. Sebanyak 21 kelompok masak berpartisipasi dalam kompetisi ini, baik kelompok masak dari sekolah dimana WFP menjalankan program makanan tambahan anak sekolah serta kelompok masak dari sekolah-sekolah lainnya di Kabupaten Kupang. Kelompok masak terdiri dari perwakilan orang tua siswa - mayoritas ibu - yang telah mendapatkan pelatihan tentang gizi dan kebersihan dalam mempersiapkan makanan sekolah. Dalam program makanan sekolah yang dilaksanakan WFP, bekerjasama dengan pemerintah daerah dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, lebih dari 7.600 siswa SD di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan menerima makanan tambahan anak sekolah bergizi tiga kali seminggu. WFP menyediakan bahan baku jagung dan kacang hijau, sementara masyarakat memberikan kontribusi bahan pangan lokal seperti santan, singkong, pisang dan kayu manis. "Kita perlu mendorong masyarakat untuk mulai menerapkan konsumsi pangan yang beragam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bahan pangan lokal, sehingga tercipta makanan bergizi dan lezat bagi konsumsi keluarga," kata Detty Rosita, Asisten Deputi Urusan Kualitas Hidup Perempuan dan Kesejahteraan Anak, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. "Lebih banyak orang perlu menyadari tersedianya beragam makanan bergizi yang bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka." Para juri kompetisi masak makanan tambahan sekolah terdiri dari perwakilan WFP, PKK Kupang, Dinas Kesehatan, Kantor Ketahanan Pangan, dan Dinas Pertanian Kabupaten Kupang, Balai Pengawasan Obat dan Makanan Kupang (Balai POM), serta Poltekkes Gizi. Penilaian hidangan makanan sekolah dinilai berdasarkan lima kriteria: kebersihan, keamanan pangan, keanekaragaman, rasa dan penampilan, dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya. WFP akan mengkompilasi resep-resep yang terkumpul dalam acara ini dan akan mendistribusikannya kembali kepada masyarakat. "Kami ingin mengadakan sebuah acara yang tidak hanya menghibur, namun juga mengirimkan pesan penting sebagai bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Kami percaya kompetisi memasak makanan sekolah ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gizi, keamanan pangan dan kebersihan, dan diversifikasi makanan.K ami menyambut baik inisiatif WFP untuk mengadakan acara ini, "kata Ayub Titu Eki, Bupati kabupaten Kupang di NTT. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah WFP yang menggunakan bahan pangan lokal telah berjalan di provinsi NTT selama lebih dari dua tahun. Penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menunjukkan bahwa program ini menjadi model yang efektif dan efisien untuk mengatasi kelaparan jangka pendek, meningkatkan kehadiran siswa di sekolah serta meningkatkan tingkat konsentrasi siswa. Program ini juga bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik kesehatan serta perilaku hidup bersih dan sehat yang baik diantara siswa dan komunitas sekeliling mereka.

The United Nations World Food Programme (WFP), Kupang District Government and the Family Empowerment and Welfare Movement (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga or PKK Kupang) are celebrating Indonesia’s Independence Day on 17 August with the launch of the first cooking competition for school meals made with local ingredients. The competition aims to promote dietary diversity and highlight ways of making school meals more nourishing through sourcing locally-available ingredients. “This is an exciting event to showcase the involvement of people from the local community in the provision of nutritious foods made from local ingredients in our school meals programme. We hope this event can boost public awareness on the importance of having a diverse and nutritious food in our daily intake,” said Peter Guest, Acting Country Director for WFP Indonesia. A total of 21 cooking groups are taking part, both from schools where WFP runs school meals programmes and from other schools in the Kupang district. Cooking groups are made up of representatives of students’ parents – usually mothers – who have received nutrition and hygiene training for the preparation of school meals. In the school meals programmes implemented by WFP, in collaboration with local government and involving local communities, more than 7,600 elementary students in Kupang and Timor Tengah Selatan districts receive a nutritious hot snack three times a week. WFP provides maize and mung beans, while communities contribute local ingredients such as coconut milk, cassava, banana and cinnamon. “We need to encourage people to start diversifying their diets and including our various local ingredients to create nutritious and delicious meals for family consumption,” said Detty Rosita, Assistant Deputy Minister for Women’s Quality of Life and Child Welfare, Coordinating Ministry for Social Welfare . “More people need to be aware of the variety of nutritious foods which are beneficial for their health and wellbeing.” Judges of the competition are representatives from WFP, PKK, Kupang Health Office, Food Security Office, and District Agriculture Office Kupang district, Provincial Agency of Food and Drugs Control in Kupang (BPOM Province), and Poltekkes Gizi (nutrition academy in Kupang). Dishes will be judged on five criteria: hygiene; food safety; diversity; taste and appearance; and nutritional value. WFP will compile and distribute the recipes to all communities. “We want to create an event that is not only entertaining, but also sending an important message as part of Indonesia’s Independence Day celebration. We believe the cooking competition will increase public awareness on nutrition, food safety and hygiene, and dietar y diversification. Therefore we welcome WFP’s initiative to hold this event,” said Ayub Titu Eki, Head of Kupang district in NTT. School meals programmes using local foods have been running in NTT province for more than two years. Research by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) has shown these programmes to be an effective and cost-efficient model to tackle short-term hunger, increase school attendance and improve concentration levels of students. The programme also serves to improve the knowledge and practice of good health and hygiene habits among children and their communities.

Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi | For further information, please contact: WFP Jakarta Public Information Focal PointClara Lila, Tel. +62 21 570 9004 ext. 2110; mobile + 62811-166-1657Email: [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

TERIGU

Nutritious and Delicious School Meals

made from Local Ingredients

Makanan Sekolah

Lezat Bergizi Berbahan

Pangan Lokal

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Page 19: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

17 18News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

mencatat arus bongkar barang lebih rendah daripada arus muat (imbalance cargo). Arus bongkar muat barang melalui pelabuhan laut di Sulawesi masih didominasi oleh perdagangan antar pulau dibandingkan dengan perdagangan luar negeri. Untuk l e b i h m e n i n g k a t k a n a k t i v i t a s kepelabuhanan di Pulau Sulawesi terutama untuk mengatasi imbalance cargo, beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain: (i) konektivitas antar pelabuhan perlu ditingkatkan agar saling mendukung antar satu pelabuhan dengan pelabuhan lainnya. Misalnya konsolidasi kargo (mengumpulkan barang ke satu pelabuhan tertentu agar kapasitas daya tampung kapal terisi secara maksimal, sehingga kapal keluar tidak dalam dalam keadaan kosong); (ii) pengembangan industri pengolahan berorientasi ekspor di Sulawesi untuk memperbesar skala ekonomi; dan (iii) menjajaki peluang rute internasional langsung dari Makassar, khususnya untuk petikemas. Secara umum, fasilitas sarana dan prasarana kepelabuhan di Pulau Sulawesi masih sangat terbatas. Akibatnya aktivitas ekonomi dengan menggunakan angkutan laut belum sepenuhnya bertumbuh secara s i g n i f i k a n . B e b e r a p a p u l a u m a s i h diperhadapkan permasalahan terkait dengan distr ibusi barang terutama kebutuhan pokok yang belum lancar, antrian kapal karena karena dermaga yang relatif pendek, peralatan bongkar muat yang terbatas, dan beberapa yang lainnya. Kurangnya sarana dan prasarana pelabuhan terkait dengan keterbatasan dukungan anggaran baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah. Beberapa catatan rekomendasi antara lain; (i) alokasi anggaran pusat dan daerah untuk peningkatan pelabuhan laut di pulau Sulawesi harus ditingkatkan; (ii) dukungan kebijakan pemerintah daerah ditingkatkan terutama terk ait dengan pembangunan f is ik pelabuhan; dan (iii) dukungan masyarakat terutama terkait dengan pembebasan lahan untuk pengembangan infrastruktur fisik pelabuhan. Berdasarkan kinerja perhubungan laut a n t a r p r o v i n s i d i P u l a u S u l a w e s i , pengembangan infrastruktur pelabuhan di S u l a w e s i S e l a t a n d i a r a h k a n p a d a peningkatan aktivitas perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri seperti perpanjangan dermaga, penambahan peralatan bongkar muat, dan lainnya, sementara pengembangan infrastruktur pelabuhan di provinsi lainnya (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo) lebih diarahkan pada peningkatan pelayanan transportasi untuk mobilitas penduduk dan distribusi kebutuhan baha

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin dengan mengirimkan email kepada Dr. Agussalim melalui [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT

FOR MORE INFORMATION

adan Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa (United BNations World Food Programme/WFP), Pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

Kupang merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus dengan peluncuran pertama kompetisi memasak makanan tambahan anak sekolah dengan menggunakan bahan pangan lokal. Kompetisi ini bertujuan untuk mempromosikan keragaman pangan dan menekankan pentingnya cara membuat makanan sekolah dengan lebih bergizi melalui sumber bahan pangan lokal. "Ini merupakan acara yang menarik untuk menampilkan keterlibatan masyarakat setempat dalam penyediaan makanan bergizi yang terbuat dari bahan pangan lokal dalam program makanan tambahan anak sekolah kami. Kami berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya makanan yang beragam dan bergizi dalam asupan sehari-hari," kata Peter Guest, Acting Country Director WFP Indonesia. Sebanyak 21 kelompok masak berpartisipasi dalam kompetisi ini, baik kelompok masak dari sekolah dimana WFP menjalankan program makanan tambahan anak sekolah serta kelompok masak dari sekolah-sekolah lainnya di Kabupaten Kupang. Kelompok masak terdiri dari perwakilan orang tua siswa - mayoritas ibu - yang telah mendapatkan pelatihan tentang gizi dan kebersihan dalam mempersiapkan makanan sekolah. Dalam program makanan sekolah yang dilaksanakan WFP, bekerjasama dengan pemerintah daerah dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, lebih dari 7.600 siswa SD di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan menerima makanan tambahan anak sekolah bergizi tiga kali seminggu. WFP menyediakan bahan baku jagung dan kacang hijau, sementara masyarakat memberikan kontribusi bahan pangan lokal seperti santan, singkong, pisang dan kayu manis. "Kita perlu mendorong masyarakat untuk mulai menerapkan konsumsi pangan yang beragam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bahan pangan lokal, sehingga tercipta makanan bergizi dan lezat bagi konsumsi keluarga," kata Detty Rosita, Asisten Deputi Urusan Kualitas Hidup Perempuan dan Kesejahteraan Anak, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. "Lebih banyak orang perlu menyadari tersedianya beragam makanan bergizi yang bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka." Para juri kompetisi masak makanan tambahan sekolah terdiri dari perwakilan WFP, PKK Kupang, Dinas Kesehatan, Kantor Ketahanan Pangan, dan Dinas Pertanian Kabupaten Kupang, Balai Pengawasan Obat dan Makanan Kupang (Balai POM), serta Poltekkes Gizi. Penilaian hidangan makanan sekolah dinilai berdasarkan lima kriteria: kebersihan, keamanan pangan, keanekaragaman, rasa dan penampilan, dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya. WFP akan mengkompilasi resep-resep yang terkumpul dalam acara ini dan akan mendistribusikannya kembali kepada masyarakat. "Kami ingin mengadakan sebuah acara yang tidak hanya menghibur, namun juga mengirimkan pesan penting sebagai bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Kami percaya kompetisi memasak makanan sekolah ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gizi, keamanan pangan dan kebersihan, dan diversifikasi makanan.K ami menyambut baik inisiatif WFP untuk mengadakan acara ini, "kata Ayub Titu Eki, Bupati kabupaten Kupang di NTT. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah WFP yang menggunakan bahan pangan lokal telah berjalan di provinsi NTT selama lebih dari dua tahun. Penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menunjukkan bahwa program ini menjadi model yang efektif dan efisien untuk mengatasi kelaparan jangka pendek, meningkatkan kehadiran siswa di sekolah serta meningkatkan tingkat konsentrasi siswa. Program ini juga bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik kesehatan serta perilaku hidup bersih dan sehat yang baik diantara siswa dan komunitas sekeliling mereka.

The United Nations World Food Programme (WFP), Kupang District Government and the Family Empowerment and Welfare Movement (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga or PKK Kupang) are celebrating Indonesia’s Independence Day on 17 August with the launch of the first cooking competition for school meals made with local ingredients. The competition aims to promote dietary diversity and highlight ways of making school meals more nourishing through sourcing locally-available ingredients. “This is an exciting event to showcase the involvement of people from the local community in the provision of nutritious foods made from local ingredients in our school meals programme. We hope this event can boost public awareness on the importance of having a diverse and nutritious food in our daily intake,” said Peter Guest, Acting Country Director for WFP Indonesia. A total of 21 cooking groups are taking part, both from schools where WFP runs school meals programmes and from other schools in the Kupang district. Cooking groups are made up of representatives of students’ parents – usually mothers – who have received nutrition and hygiene training for the preparation of school meals. In the school meals programmes implemented by WFP, in collaboration with local government and involving local communities, more than 7,600 elementary students in Kupang and Timor Tengah Selatan districts receive a nutritious hot snack three times a week. WFP provides maize and mung beans, while communities contribute local ingredients such as coconut milk, cassava, banana and cinnamon. “We need to encourage people to start diversifying their diets and including our various local ingredients to create nutritious and delicious meals for family consumption,” said Detty Rosita, Assistant Deputy Minister for Women’s Quality of Life and Child Welfare, Coordinating Ministry for Social Welfare . “More people need to be aware of the variety of nutritious foods which are beneficial for their health and wellbeing.” Judges of the competition are representatives from WFP, PKK, Kupang Health Office, Food Security Office, and District Agriculture Office Kupang district, Provincial Agency of Food and Drugs Control in Kupang (BPOM Province), and Poltekkes Gizi (nutrition academy in Kupang). Dishes will be judged on five criteria: hygiene; food safety; diversity; taste and appearance; and nutritional value. WFP will compile and distribute the recipes to all communities. “We want to create an event that is not only entertaining, but also sending an important message as part of Indonesia’s Independence Day celebration. We believe the cooking competition will increase public awareness on nutrition, food safety and hygiene, and dietar y diversification. Therefore we welcome WFP’s initiative to hold this event,” said Ayub Titu Eki, Head of Kupang district in NTT. School meals programmes using local foods have been running in NTT province for more than two years. Research by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) has shown these programmes to be an effective and cost-efficient model to tackle short-term hunger, increase school attendance and improve concentration levels of students. The programme also serves to improve the knowledge and practice of good health and hygiene habits among children and their communities.

Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi | For further information, please contact: WFP Jakarta Public Information Focal PointClara Lila, Tel. +62 21 570 9004 ext. 2110; mobile + 62811-166-1657Email: [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

TERIGU

Nutritious and Delicious School Meals

made from Local Ingredients

Makanan Sekolah

Lezat Bergizi Berbahan

Pangan Lokal

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Page 20: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

2019 News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

embali ke Sumba, membangkitkan romansa Kpadang-padang sunyi, pantai jingga eksotik, dan tenun ikatnya yang selalu menggoda.

Kisah puteri nan pemberani, perjalanan hidup Bapa Raja, pun cerita rakyat lainnya membalut setiap kain tenun Sumba. Budaya bertutur secara visual yang diwarisi perempuan Sumba sungguh luar biasa. Setiap kain menyimpan ceritanya sendiri, dituturkan dalam bentuk gambar dari seorang ibu kepada anak perempuannya lalu kepada cucu perempuannya.

Mengantar Jenazah Bapa Raja Salah satu kisah dari kain tenun ikat Sumba adalah tentang iring-iringan pengantar jenazah Raja. Corlina Konda Ngguna menghamparkan kain tenun ikat berukuran sekitar 1,5 x 2,5 meter. Kisah kain itu dimulai dengan barisan terdepan pengantar jenazah. Barisan ini diisi oleh para punggawa yang membawa gong. Mereka bertugas untuk memberi tahu seisi desa di sepanjang jalan yang akan mereka lewati bahwa sebentar lagi iring-iringan pengantar jenazah Raja akan lewat. Barisan terdepan ini diikuti oleh barisan pengantar hewan kurban. Hewan kurban berupa babi biasanya diikatkan pada sebatang togkat dan dipanggul oleh dua orang laki-laki. Sementara hewan kurban berupa ayam diletakkan di atas sebuah tonggak. Dalam iring-iringan Raja, arwah dan jasad sang Raja berada pada dua bagian terpisah. Arwah Raja ‘dibawa’ dalam tubuh seorang hulubalang yang menunggang kerbau. Hulubalang ini didampingi o l e h d u a h u l u b a l a n g l a i n ny a y a n g s i a p menggantikan kapan saja si hulubalang pembawa arwah terjatuh pingsan karena kecapaian. Di belakang rombongan pembawa arwah adalah peti jenazah Raja. Peti ini dibopong enam orang pemuda berbadan kekar. Rombongan penari mengikuti di belakang peti jenazah, membuat keramaian dan menjadi pemberi tanda akan adanya rombongan pengantar jenazah. Di barisan paling akhir adalah rombongan orang yag mengantarkan kuda milik keluarga Raja. Corlina Konda Ngguna dengan semangat menjelaskan cerita di balik kain yang ditenun oleh nenek dan ibunya tak kurang dari duapuluh tahun yang lalu. Selain menjadi benda pusaka milik keluarga, kain itu kini menjadi patron yang digunakan Corlina.Saya mendengarkan dan memperhatikan setiap detil figur dalam kain tenun ibu Corlina. Tak bisa dipungkiri, warna kainnya yang alami dan tampak sedikit memudar justru membuat kisah iring-iringan pengantar jenazah Bapa Raja terasa lebih hidup.

Cerita di Balik Tenun Ikat Sumba Te n u n i k a t S u m b a , t i d a k s e k e d a r mendokumentasikan sejarah dan lagenda Sumba, tapi juga meninggalkan warisan pesan bagi setiap generasi yang sarat akan makna.

Keterampilan menggambar pola tenun kini telah menjadi hal yang langka dan hanya dimiliki segelintir perempuan Sumba. Tingkat kesulitan yang tinggi dan waktu yang lama menyebabkan tidak semua perempuan Sumba mau mempelajari tenun ikat. Saat ini, banyak benang dengan harga lebih murah dan ragam warna menarik menyebabkan mereka yang masih mau menenun mulai meninggalkan tenun ikat tradisional. Harga yang mahal dan pasar yang sulit dijangkau menjadi tantangan terbesar bagi kelompok penenun tradisional yang berusaha bertahan. Belum ada buku, modul, atau dokumen tertulis lainnya untuk mempelajari cara menggambar pola cerita dalam tenun ikat sumba. Ilmu menggambar pola adalah keterampilan yang diwariskan dan tidak dibagikan secara luas. Corlina Konda Ngguna mendapatkan keterampilan menenun dari ibu dan neneknya. Sejak tidak lagi melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar karena kekurangan biaya, menenun menjadi hal utama yang dipelajarinya sehari-hari. Tigapuluh tahun lalu, pendahulu Corlina Konda Ngguna belum menggunakan alat tulis untuk menggambar di atas kain. Pola gambar terekam dalam benak sang pembuat pola yang kemudian mengikat dan mengelompokkan ikatan benang mengikuti imajinasinya. Hanya pembuat pola lah yang mengetahui ikatan mana yang diberi warna apa dan akan menjadi gambar lalu cerita apa. Selain mengandalkan daya ingat dan imajinasinya, Corlina Konda Ngguna kerap mencontoh pola dari kain warisan orangtuanya.

Kabar dari Mbatakapidu, Sumba Kelompok Wanita Tani Tapawala Ba’di yang dipimimpin oleh Corlina Konda Ngguna berawal dari sekelompok ibu-ibu yang ingin belajar tenun. Seiring berjalannya waktu, mereka belajar banyak hal, mulai dari mengorganisir kegiatan bersama, membudidayakan tanaman pewarna alami dan tanaman pangan lokal, hingga mengelola kegiatan simpan pinjam dan tabungan pendidikan. Kegiatan kelompok ini terpilih menjadi salah satu Praktik Cerdas yang dipresentasikan pada Festival Forum KTI 2012 di Palu, Sulawesi Tengah. Berikut adalah kabar terkini perkembangan Kelompok Wanita Tani Tapawala Ba’di

1. Jumlah peserta Tabungan Pendidikan Anak telah bertambah dari 26 orang pada tahun 2012 menjadi 31 orang pada pertengahan tahun ini. Empat orang anggota baru untuk kegiatan ini berasal dari luar kelompok.

2. Jumlah total saldo Tabungan Pendidikan Anak yang disimpan di Bank NTT adalah sebesar lebih dari 41 juta rupiah.

3. KWT Tapawala Ba’di kini juga membina kegiatan untuk anak-anak di Desa Mbatakapidu. Tak kurang dari 40 anak mengikuti kegiatan rutin olahraga dan kelas menari di

saung milik kelompok.4. Panen sorgum tahun 2012-2013 di kebun kelompok

sukses besar. Kini KWT Tapawala Badi memiliki cadangan benih untuk ditanam di kebun kelompok pada awal musim penghujan tahun ini.

5. Kendala terberat KWT Tapawala Badi saat ini adalah belum adanya pasar tempat mereka dapat secara rutin menjual hasil tenun kelompok. Selama ini mereka menjual kain pada warga di sekitar desa yang memesan khusus, atau menitipkan kain pada keluarga dan kerabat yang tinggal di luar kota atau di luar daerah. Mereka bermimpi bisa mengelola sebuah art shop di kota Waingapu atau Denpasar di masa yang akan datang.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Praktik Cerdas yang dipromosikan BaKTI, Anda dapat menghubungi Sumarni Arianto melalui email [email protected]

PRAKTIK CERDAS TERKINI

OLEH VICTORIA NGANTUNG

Mengantar Bapa Raja di Tenun Ikat Sumba

Page 21: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

2019 News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

embali ke Sumba, membangkitkan romansa Kpadang-padang sunyi, pantai jingga eksotik, dan tenun ikatnya yang selalu menggoda.

Kisah puteri nan pemberani, perjalanan hidup Bapa Raja, pun cerita rakyat lainnya membalut setiap kain tenun Sumba. Budaya bertutur secara visual yang diwarisi perempuan Sumba sungguh luar biasa. Setiap kain menyimpan ceritanya sendiri, dituturkan dalam bentuk gambar dari seorang ibu kepada anak perempuannya lalu kepada cucu perempuannya.

Mengantar Jenazah Bapa Raja Salah satu kisah dari kain tenun ikat Sumba adalah tentang iring-iringan pengantar jenazah Raja. Corlina Konda Ngguna menghamparkan kain tenun ikat berukuran sekitar 1,5 x 2,5 meter. Kisah kain itu dimulai dengan barisan terdepan pengantar jenazah. Barisan ini diisi oleh para punggawa yang membawa gong. Mereka bertugas untuk memberi tahu seisi desa di sepanjang jalan yang akan mereka lewati bahwa sebentar lagi iring-iringan pengantar jenazah Raja akan lewat. Barisan terdepan ini diikuti oleh barisan pengantar hewan kurban. Hewan kurban berupa babi biasanya diikatkan pada sebatang togkat dan dipanggul oleh dua orang laki-laki. Sementara hewan kurban berupa ayam diletakkan di atas sebuah tonggak. Dalam iring-iringan Raja, arwah dan jasad sang Raja berada pada dua bagian terpisah. Arwah Raja ‘dibawa’ dalam tubuh seorang hulubalang yang menunggang kerbau. Hulubalang ini didampingi o l e h d u a h u l u b a l a n g l a i n ny a y a n g s i a p menggantikan kapan saja si hulubalang pembawa arwah terjatuh pingsan karena kecapaian. Di belakang rombongan pembawa arwah adalah peti jenazah Raja. Peti ini dibopong enam orang pemuda berbadan kekar. Rombongan penari mengikuti di belakang peti jenazah, membuat keramaian dan menjadi pemberi tanda akan adanya rombongan pengantar jenazah. Di barisan paling akhir adalah rombongan orang yag mengantarkan kuda milik keluarga Raja. Corlina Konda Ngguna dengan semangat menjelaskan cerita di balik kain yang ditenun oleh nenek dan ibunya tak kurang dari duapuluh tahun yang lalu. Selain menjadi benda pusaka milik keluarga, kain itu kini menjadi patron yang digunakan Corlina.Saya mendengarkan dan memperhatikan setiap detil figur dalam kain tenun ibu Corlina. Tak bisa dipungkiri, warna kainnya yang alami dan tampak sedikit memudar justru membuat kisah iring-iringan pengantar jenazah Bapa Raja terasa lebih hidup.

Cerita di Balik Tenun Ikat Sumba Te n u n i k a t S u m b a , t i d a k s e k e d a r mendokumentasikan sejarah dan lagenda Sumba, tapi juga meninggalkan warisan pesan bagi setiap generasi yang sarat akan makna.

Keterampilan menggambar pola tenun kini telah menjadi hal yang langka dan hanya dimiliki segelintir perempuan Sumba. Tingkat kesulitan yang tinggi dan waktu yang lama menyebabkan tidak semua perempuan Sumba mau mempelajari tenun ikat. Saat ini, banyak benang dengan harga lebih murah dan ragam warna menarik menyebabkan mereka yang masih mau menenun mulai meninggalkan tenun ikat tradisional. Harga yang mahal dan pasar yang sulit dijangkau menjadi tantangan terbesar bagi kelompok penenun tradisional yang berusaha bertahan. Belum ada buku, modul, atau dokumen tertulis lainnya untuk mempelajari cara menggambar pola cerita dalam tenun ikat sumba. Ilmu menggambar pola adalah keterampilan yang diwariskan dan tidak dibagikan secara luas. Corlina Konda Ngguna mendapatkan keterampilan menenun dari ibu dan neneknya. Sejak tidak lagi melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar karena kekurangan biaya, menenun menjadi hal utama yang dipelajarinya sehari-hari. Tigapuluh tahun lalu, pendahulu Corlina Konda Ngguna belum menggunakan alat tulis untuk menggambar di atas kain. Pola gambar terekam dalam benak sang pembuat pola yang kemudian mengikat dan mengelompokkan ikatan benang mengikuti imajinasinya. Hanya pembuat pola lah yang mengetahui ikatan mana yang diberi warna apa dan akan menjadi gambar lalu cerita apa. Selain mengandalkan daya ingat dan imajinasinya, Corlina Konda Ngguna kerap mencontoh pola dari kain warisan orangtuanya.

Kabar dari Mbatakapidu, Sumba Kelompok Wanita Tani Tapawala Ba’di yang dipimimpin oleh Corlina Konda Ngguna berawal dari sekelompok ibu-ibu yang ingin belajar tenun. Seiring berjalannya waktu, mereka belajar banyak hal, mulai dari mengorganisir kegiatan bersama, membudidayakan tanaman pewarna alami dan tanaman pangan lokal, hingga mengelola kegiatan simpan pinjam dan tabungan pendidikan. Kegiatan kelompok ini terpilih menjadi salah satu Praktik Cerdas yang dipresentasikan pada Festival Forum KTI 2012 di Palu, Sulawesi Tengah. Berikut adalah kabar terkini perkembangan Kelompok Wanita Tani Tapawala Ba’di

1. Jumlah peserta Tabungan Pendidikan Anak telah bertambah dari 26 orang pada tahun 2012 menjadi 31 orang pada pertengahan tahun ini. Empat orang anggota baru untuk kegiatan ini berasal dari luar kelompok.

2. Jumlah total saldo Tabungan Pendidikan Anak yang disimpan di Bank NTT adalah sebesar lebih dari 41 juta rupiah.

3. KWT Tapawala Ba’di kini juga membina kegiatan untuk anak-anak di Desa Mbatakapidu. Tak kurang dari 40 anak mengikuti kegiatan rutin olahraga dan kelas menari di

saung milik kelompok.4. Panen sorgum tahun 2012-2013 di kebun kelompok

sukses besar. Kini KWT Tapawala Badi memiliki cadangan benih untuk ditanam di kebun kelompok pada awal musim penghujan tahun ini.

5. Kendala terberat KWT Tapawala Badi saat ini adalah belum adanya pasar tempat mereka dapat secara rutin menjual hasil tenun kelompok. Selama ini mereka menjual kain pada warga di sekitar desa yang memesan khusus, atau menitipkan kain pada keluarga dan kerabat yang tinggal di luar kota atau di luar daerah. Mereka bermimpi bisa mengelola sebuah art shop di kota Waingapu atau Denpasar di masa yang akan datang.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Praktik Cerdas yang dipromosikan BaKTI, Anda dapat menghubungi Sumarni Arianto melalui email [email protected]

PRAKTIK CERDAS TERKINI

OLEH VICTORIA NGANTUNG

Mengantar Bapa Raja di Tenun Ikat Sumba

Page 22: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

21 22News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Benarkah Perempuan

Gagap Teknologi?

eringkah kita mendengar bahwa perempuan adalah Smahluk yang gagap teknologi? Mungkin lebih tepat bila kita mengatakan bahwa kebanyakan perempuan

kurang berminat pada studi-studi teknologi dan sains yang berakibat pada kesulitan menggunakan teknologi. Tentu saja ini persoalan, karena teknologi saat ini sangat dibutuhkan setiap orang untuk mempermudah berbagai

OLEH MARIANA AMINUDDIN

Tulisan ini juga bisa dibaca pada Jurnal Perempuan Edisi 7 Mei 2013Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi penulis melalui email [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

beberapa keluarga, para orang tua ternyata hanya menyimpannya, atau digunakan bukan untuk anak perempuannya. Berbeda ketika komputer itu ditujukan untuk anak laki-laki. Perbincangan di ruang kerja Menteri KPP-PA saat itu cukup lama, dan kami semua sepakat dalam satu visi bahwa tahun 2013 sampai ke depan, penting untuk lebih mendesak masyarakat untuk memperkenalkan teknologi kepada perempuan supaya mereka berminat untuk keperluan hidup mereka sehari-hari, baik informasi, pendidikan dan pengetahuan untuk mengembangkan dirinya.

Hambatan Budaya Dalam budaya kita, teknologi lebih diperkenalkan kepada anak laki-laki. Tujuannya adalah di masa dewasa laki-laki memasuki lapangan kerja untuk mencari nafkah, dan mereka dipentingkan untuk memiliki keahlian. Keahlian dibidang teknologi memiliki peluang besar untuk pendapatan yang tinggi dan usaha yang sukses. Selain mementingkan anak laki-laki, banyak pandangan bahwa perempuan secara kodrat tidak bisa berpikir rasional, tidak bisa menciptakan, tidak bisa memimpin, dan karena itu tidak cocok dengan berbagai kegiatan teknologi. Padahal, pandangan ini sebetulnya menjadi penyebab perempuan tidak berdaya dalam hal teknologi. Mereka phobia pada peralatan teknologi karena tidak dipercaya, tidak diberi kesempatan. Mereka kehilangan minat untuk bidang yang satu ini. Di sektor kerja, perempuan sedikit sekali yang memiliki keahlian di bidang teknologi. Rata-rata mereka bekerja untuk posisi administrasi, keuangan, dan sales. Kalaupun menjadi buruh pabrik, mereka menggantikan fungsi mesin karena dianggap lebih patuh dan teliti dan tidak diperlukan pemikiran yang mendalam. Sementara laki-laki, banyak menduduki posisi sebagai perencana, pemeliharaan mesin, mekanik, teknologi informasi, dan lain sebagainya, yang tentu pendapatan mereka lebih baik. Teknologi ibarat sesuatu yang asing bagi perempuan, dan masih dianggap dunia yang maskulin. Taruhlah contoh sehari-hari di sekitar kita. Dalam urusan mengendarai mobil, laki-laki diharuskan pegang kendali. Kalaupun perempuan mengendarai mobil, ia terlihat sendirian, atau bila penumpangnya adalah laki-laki, cukup sering ada pertanyaan, “Mengapa bukan Bapak-nya yang nyetir?” Situasi ini membuat perempuan menggantungkan seluruh urusan teknologi kepada laki-laki. Atau bila mereka bekerja di industri otomotif, mereka ditempatkan sebagai sales promotion girl (SPG), yang lebih digunakan sebagai pemikat konsumen, dengan penampilannya yang seperti model. Tidak sedikit perusahaan otomotif masih menganggap konsumen mereka adalah laki-laki yang dikait-kaitkan dengan kejantanan mereka. Dalam mengiklankan produk, perusahaan otomotif kerap menambahkan perempuan cantik sebagai SPG di samping laki-laki macho. Dengan begitu, mereka berasumsi konsumen laki-laki akan bergairah untuk memiliki produk tersebut. Untuk melihat pencitraan perempuan dalam isu teknologi, Anda dapat mengetik kata “perempuan dan teknologi” dalam pencarian di google, lihatlah gambar yang muncul adalah foto-foto SPG mobil dan motor atau jualan telpon seluler. Selain itu, kesan bahwa laki-laki yang memiliki banyak uang, dan maka sasaran industri otomotif adalah pada laki-laki yang tidak sekedar membeli produk sesuai seleranya, melainkan juga faktor kelelakiannya. Citra teknologi menjadi berkaitan dengan laki-laki sementara citra ‘penarik perhatian’ berkaitan dengan perempuan. Inilah kebudayaan k ita dalam memperlakukan gender dan teknologi.

Apa yang Harus Dilakukan? Penting untuk menanamkan pengertian bahwa teknologi adalah kebutuhan semua orang. Teknologi diperlukan tidak hanya oleh laki-laki, tapi juga oleh perempuan untuk mengembangkan diri dan kualitas hidup yang lebih baik. Teknologi dikenalkan sebagai alat untuk mencari informasi, pendidikan, pengetahuan, sosialisasi dan keahlian. Seiring dengan itu, perlu pula ditanamkan bahwa teknologi informasi

dan sosial media perlu memperhatikan proteksi diri untuk menghindar perempuan menjadi obyek dalam foto-foto atau video untuk tujuan seksual. Dalam pembangunan teknologi, perempuan sama halnya dengan laki-laki, perlu sama-sama aktif dan mendapatkan pendidikan kritis untuk menghindari upaya pihak-pihak tertentu yang menjadikan mereka sebagai obyek seksual, konsumtif, hanya sebagai pajangan, dan sebagainya. Perempuan harus menyatakan dirinya untuk menjadi bagian dari pembangunan teknologi. Laki-laki juga perlu diperkenalkan bahwa keterlibatan perempuan dalam teknologi akan menciptakan masyarakat yang maju, dan memberi dampak yang baik bagi lingkungannya. Contohnya, banyak ibu rumah tangga yang bisa bekerja di rumah dengan membuat blog, sosial media, untuk menjual produk-produk ciptaan mereka seperti masakan, resep, tas, baju dan lain sebagainya kepada jaringan sosial yang mereka miliki. Selain itu masyarakat perempuan juga memerlukan contoh-contoh model atau role model untuk membuktikan bahwa perempuan bukanlah mahluk gagap teknologi karena bawaan lahir, melainkan perempuan adalah bagian dari penciptaan, pembangunan dan penggunaan teknologi. Contoh-contoh model di bawah ini untuk memberi perempuan inspirasi dan kemauan serta minat mereka pada teknologi. Ada Lovelace (1815-1852). Perempuan ini sering disebut sebagai ‘programmer komputer pertama’. Lovelace yang lahir pada tahun 1815 membuat sebuah model analisis untuk mesin Babbage di tahun 1842. Dengan temuannya tersebut, Lovelace mampu menjelaskan hal yang kompleks dengan lebih baik, mirip sebuah bahasa kode. Emmy Noether (1882-1935). Ahli matematika asal Jerman ini berkontribusi pada Aljabar abstrak dan Fisika teori. Kejeniusan Noether ini pun juga diakui oleh seorang Albert Einstein. Bahkan penemu teori relativitas tersebut menyebut Noether sebagai perempuan paling penting dalam sejarah ilmu matematika. Grace Hopper (1906-1992). Hopper adalah perempuan yang mengembangkan komputer compiler di laboratorium komputasi di Harvard. Tak hanya itu, perempuan ini pula yang membuat konsep bahasa pemrograman COBOL. Hopper juga menjadi orang yang mempopulerkan kata ‘debugging’ untuk memperbaiki gangguan pada program komputer. Prestasi Hopper pun tak berhenti di situ, Hopper menjadi wanita pertama yang menjabat Admiral di angkatan laut Amerika Serikat. Joanne Simpson (1923-2010). Perempuan yang satu ini merupakan perempuan pertama yang memperoleh gelar Ph.D dalam bidang meteorologi. Joanne pun menjadi perempuan yang memimpin peneliti cuaca di Nasa selama 30 tahun. Marissa Mayer (1975-sekarang). Saat ini, hampir semua orang mengenal nama perempuan ini. Duduk di pucuk pimpinan perusahaan sebesar Yahoo, Mayer merupakan salah satu CEO termuda dalam daftar yang dirilis oleh Fortune. Sebelumnya, Mayer merupakan pekerja ke-20 dari Google dan merupakan engineer perempuan pertama di Google. Sheryl Sandberg (1969-sekarang). Siapa yang tidak mengenal Facebook? Nama Sandberg memang jauh dari sorotan media, jika dibandingkan dengan Zuckerberg. Tapi perlu diketahui ditangannyalah semua urusan operasional Facebook dipegang. Sandberg adalah sosok sahabat paling berharga Zuckerberg. Pertemuan rutinnya dengan Zuckerberg yang selalu tertutup telah membantu menjaga pertumbuhan pesat Facebook hingga mampu membius 500 juta pengguna. Tidak ada yang buruk dalam teknologi, kecuali siapa penggunanya dan apa tujuannya, karena itu ajaklah perempuan untuk memiliki minat dan kepercayaan diri dalam bidang ini.

GENDER DAN PEMBANGUNAN kegiatan yang menunjang kehidupan. Dalam studi gender, setiap persoalan perempuan, yang paling penting kita lakukan adalah mengetahui dan menganalisa faktor-faktor dibalik persoalan. Hasil yang diinginkan adalah kita dapat mengenal permasalahan kehidupan perempuan beserta jalan keluarnya. Atas situasi tersebut, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Jurnal Perempuan bersama perusahaan Intel dan Plan Internasional, melakukan audiensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dan mengusung kampanye bertema “perempuan dan teknologi”. Dalam perbincangan bersama Menteri KPP-PA Linda Amalia Sari, kami berbagi temuan tentang perempuan dan teknologi dalam berbagai kegiatan yang kami miliki. D a l a m a u d i e n s i t e r s e b u t , m e n c e r i t a k a n pengalamannya saat KPP-PA memberikan komputer untuk siswi-siswi di sebuah sekolah agama untuk kebutuhan pendidikan mereka. Bantuan komputer tersebut ditolak oleh pihak dengan alasan untuk melindungi murid-murid perempuan mereka dari bahaya teknologi. Menteri KPP-PA, Ibu Linda merasa terkejut atas penolakan ini, terutama ternyata teknologi dianggap berbahaya bagi perempuan dan karenanya tidak boleh diakses oleh perempuan. Deva Rachman, Direktur Corporate Affairs Intel Indonesia membeberkan cerita yang hampir sama. Ia menemukan bahwa ketika Intel melatih dan memberikan komputer secara cuma-cuma kepada anak perempuan di

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Page 23: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

21 22News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Benarkah Perempuan

Gagap Teknologi?

eringkah kita mendengar bahwa perempuan adalah Smahluk yang gagap teknologi? Mungkin lebih tepat bila kita mengatakan bahwa kebanyakan perempuan

kurang berminat pada studi-studi teknologi dan sains yang berakibat pada kesulitan menggunakan teknologi. Tentu saja ini persoalan, karena teknologi saat ini sangat dibutuhkan setiap orang untuk mempermudah berbagai

OLEH MARIANA AMINUDDIN

Tulisan ini juga bisa dibaca pada Jurnal Perempuan Edisi 7 Mei 2013Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi penulis melalui email [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

beberapa keluarga, para orang tua ternyata hanya menyimpannya, atau digunakan bukan untuk anak perempuannya. Berbeda ketika komputer itu ditujukan untuk anak laki-laki. Perbincangan di ruang kerja Menteri KPP-PA saat itu cukup lama, dan kami semua sepakat dalam satu visi bahwa tahun 2013 sampai ke depan, penting untuk lebih mendesak masyarakat untuk memperkenalkan teknologi kepada perempuan supaya mereka berminat untuk keperluan hidup mereka sehari-hari, baik informasi, pendidikan dan pengetahuan untuk mengembangkan dirinya.

Hambatan Budaya Dalam budaya kita, teknologi lebih diperkenalkan kepada anak laki-laki. Tujuannya adalah di masa dewasa laki-laki memasuki lapangan kerja untuk mencari nafkah, dan mereka dipentingkan untuk memiliki keahlian. Keahlian dibidang teknologi memiliki peluang besar untuk pendapatan yang tinggi dan usaha yang sukses. Selain mementingkan anak laki-laki, banyak pandangan bahwa perempuan secara kodrat tidak bisa berpikir rasional, tidak bisa menciptakan, tidak bisa memimpin, dan karena itu tidak cocok dengan berbagai kegiatan teknologi. Padahal, pandangan ini sebetulnya menjadi penyebab perempuan tidak berdaya dalam hal teknologi. Mereka phobia pada peralatan teknologi karena tidak dipercaya, tidak diberi kesempatan. Mereka kehilangan minat untuk bidang yang satu ini. Di sektor kerja, perempuan sedikit sekali yang memiliki keahlian di bidang teknologi. Rata-rata mereka bekerja untuk posisi administrasi, keuangan, dan sales. Kalaupun menjadi buruh pabrik, mereka menggantikan fungsi mesin karena dianggap lebih patuh dan teliti dan tidak diperlukan pemikiran yang mendalam. Sementara laki-laki, banyak menduduki posisi sebagai perencana, pemeliharaan mesin, mekanik, teknologi informasi, dan lain sebagainya, yang tentu pendapatan mereka lebih baik. Teknologi ibarat sesuatu yang asing bagi perempuan, dan masih dianggap dunia yang maskulin. Taruhlah contoh sehari-hari di sekitar kita. Dalam urusan mengendarai mobil, laki-laki diharuskan pegang kendali. Kalaupun perempuan mengendarai mobil, ia terlihat sendirian, atau bila penumpangnya adalah laki-laki, cukup sering ada pertanyaan, “Mengapa bukan Bapak-nya yang nyetir?” Situasi ini membuat perempuan menggantungkan seluruh urusan teknologi kepada laki-laki. Atau bila mereka bekerja di industri otomotif, mereka ditempatkan sebagai sales promotion girl (SPG), yang lebih digunakan sebagai pemikat konsumen, dengan penampilannya yang seperti model. Tidak sedikit perusahaan otomotif masih menganggap konsumen mereka adalah laki-laki yang dikait-kaitkan dengan kejantanan mereka. Dalam mengiklankan produk, perusahaan otomotif kerap menambahkan perempuan cantik sebagai SPG di samping laki-laki macho. Dengan begitu, mereka berasumsi konsumen laki-laki akan bergairah untuk memiliki produk tersebut. Untuk melihat pencitraan perempuan dalam isu teknologi, Anda dapat mengetik kata “perempuan dan teknologi” dalam pencarian di google, lihatlah gambar yang muncul adalah foto-foto SPG mobil dan motor atau jualan telpon seluler. Selain itu, kesan bahwa laki-laki yang memiliki banyak uang, dan maka sasaran industri otomotif adalah pada laki-laki yang tidak sekedar membeli produk sesuai seleranya, melainkan juga faktor kelelakiannya. Citra teknologi menjadi berkaitan dengan laki-laki sementara citra ‘penarik perhatian’ berkaitan dengan perempuan. Inilah kebudayaan k ita dalam memperlakukan gender dan teknologi.

Apa yang Harus Dilakukan? Penting untuk menanamkan pengertian bahwa teknologi adalah kebutuhan semua orang. Teknologi diperlukan tidak hanya oleh laki-laki, tapi juga oleh perempuan untuk mengembangkan diri dan kualitas hidup yang lebih baik. Teknologi dikenalkan sebagai alat untuk mencari informasi, pendidikan, pengetahuan, sosialisasi dan keahlian. Seiring dengan itu, perlu pula ditanamkan bahwa teknologi informasi

dan sosial media perlu memperhatikan proteksi diri untuk menghindar perempuan menjadi obyek dalam foto-foto atau video untuk tujuan seksual. Dalam pembangunan teknologi, perempuan sama halnya dengan laki-laki, perlu sama-sama aktif dan mendapatkan pendidikan kritis untuk menghindari upaya pihak-pihak tertentu yang menjadikan mereka sebagai obyek seksual, konsumtif, hanya sebagai pajangan, dan sebagainya. Perempuan harus menyatakan dirinya untuk menjadi bagian dari pembangunan teknologi. Laki-laki juga perlu diperkenalkan bahwa keterlibatan perempuan dalam teknologi akan menciptakan masyarakat yang maju, dan memberi dampak yang baik bagi lingkungannya. Contohnya, banyak ibu rumah tangga yang bisa bekerja di rumah dengan membuat blog, sosial media, untuk menjual produk-produk ciptaan mereka seperti masakan, resep, tas, baju dan lain sebagainya kepada jaringan sosial yang mereka miliki. Selain itu masyarakat perempuan juga memerlukan contoh-contoh model atau role model untuk membuktikan bahwa perempuan bukanlah mahluk gagap teknologi karena bawaan lahir, melainkan perempuan adalah bagian dari penciptaan, pembangunan dan penggunaan teknologi. Contoh-contoh model di bawah ini untuk memberi perempuan inspirasi dan kemauan serta minat mereka pada teknologi. Ada Lovelace (1815-1852). Perempuan ini sering disebut sebagai ‘programmer komputer pertama’. Lovelace yang lahir pada tahun 1815 membuat sebuah model analisis untuk mesin Babbage di tahun 1842. Dengan temuannya tersebut, Lovelace mampu menjelaskan hal yang kompleks dengan lebih baik, mirip sebuah bahasa kode. Emmy Noether (1882-1935). Ahli matematika asal Jerman ini berkontribusi pada Aljabar abstrak dan Fisika teori. Kejeniusan Noether ini pun juga diakui oleh seorang Albert Einstein. Bahkan penemu teori relativitas tersebut menyebut Noether sebagai perempuan paling penting dalam sejarah ilmu matematika. Grace Hopper (1906-1992). Hopper adalah perempuan yang mengembangkan komputer compiler di laboratorium komputasi di Harvard. Tak hanya itu, perempuan ini pula yang membuat konsep bahasa pemrograman COBOL. Hopper juga menjadi orang yang mempopulerkan kata ‘debugging’ untuk memperbaiki gangguan pada program komputer. Prestasi Hopper pun tak berhenti di situ, Hopper menjadi wanita pertama yang menjabat Admiral di angkatan laut Amerika Serikat. Joanne Simpson (1923-2010). Perempuan yang satu ini merupakan perempuan pertama yang memperoleh gelar Ph.D dalam bidang meteorologi. Joanne pun menjadi perempuan yang memimpin peneliti cuaca di Nasa selama 30 tahun. Marissa Mayer (1975-sekarang). Saat ini, hampir semua orang mengenal nama perempuan ini. Duduk di pucuk pimpinan perusahaan sebesar Yahoo, Mayer merupakan salah satu CEO termuda dalam daftar yang dirilis oleh Fortune. Sebelumnya, Mayer merupakan pekerja ke-20 dari Google dan merupakan engineer perempuan pertama di Google. Sheryl Sandberg (1969-sekarang). Siapa yang tidak mengenal Facebook? Nama Sandberg memang jauh dari sorotan media, jika dibandingkan dengan Zuckerberg. Tapi perlu diketahui ditangannyalah semua urusan operasional Facebook dipegang. Sandberg adalah sosok sahabat paling berharga Zuckerberg. Pertemuan rutinnya dengan Zuckerberg yang selalu tertutup telah membantu menjaga pertumbuhan pesat Facebook hingga mampu membius 500 juta pengguna. Tidak ada yang buruk dalam teknologi, kecuali siapa penggunanya dan apa tujuannya, karena itu ajaklah perempuan untuk memiliki minat dan kepercayaan diri dalam bidang ini.

GENDER DAN PEMBANGUNAN kegiatan yang menunjang kehidupan. Dalam studi gender, setiap persoalan perempuan, yang paling penting kita lakukan adalah mengetahui dan menganalisa faktor-faktor dibalik persoalan. Hasil yang diinginkan adalah kita dapat mengenal permasalahan kehidupan perempuan beserta jalan keluarnya. Atas situasi tersebut, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Jurnal Perempuan bersama perusahaan Intel dan Plan Internasional, melakukan audiensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dan mengusung kampanye bertema “perempuan dan teknologi”. Dalam perbincangan bersama Menteri KPP-PA Linda Amalia Sari, kami berbagi temuan tentang perempuan dan teknologi dalam berbagai kegiatan yang kami miliki. D a l a m a u d i e n s i t e r s e b u t , m e n c e r i t a k a n pengalamannya saat KPP-PA memberikan komputer untuk siswi-siswi di sebuah sekolah agama untuk kebutuhan pendidikan mereka. Bantuan komputer tersebut ditolak oleh pihak dengan alasan untuk melindungi murid-murid perempuan mereka dari bahaya teknologi. Menteri KPP-PA, Ibu Linda merasa terkejut atas penolakan ini, terutama ternyata teknologi dianggap berbahaya bagi perempuan dan karenanya tidak boleh diakses oleh perempuan. Deva Rachman, Direktur Corporate Affairs Intel Indonesia membeberkan cerita yang hampir sama. Ia menemukan bahwa ketika Intel melatih dan memberikan komputer secara cuma-cuma kepada anak perempuan di

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Page 24: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

23 24News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Mengelola Sumber

Daya Alam

dengan Zero

KonflikOLEH MAHARANI

“Tunggu sebentar saya masih di perjalanan, kita berangkat dari Lendang Nangka sekitar jam 12.00 agar kita bisa makan siang di Aik Mel, karena di Sambelie tidak ada tempat singgah untuk makan”, ungkap Pak Muhtar, Koordinator program dari LSM Transform di ujung telepon. Perjalanan dari kota Mataram ke Sambelie memang membutuhkan waktu yang lumayan lama yakni sekitar 3 jam menggunakan mobil. Gambaran umum yang ada di kepala kita kalau mendengar kata desa Sambelie yaitu tempat yang sangat gersang, kering, masyarakatnya terbelakang dan miskin. Sambelie merupakan daerah di bagian ujung timur Pulau Lombok. Daerah itu dahulunya dijadikan tempat tujuan dari transmigrasi lokal di daerah Lombok. Secara klimatologi, memang Sambelie merupakan daerah yang memiliki bulan basah relative kecil yaitu 2 atau 3 bulan. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini merupakan daerah yang sangat termarginalkan baik dari segi lahan maupun dari segi geografis karena sangat jauh dari pusat kota.

Karena sumber daya air dianggap sebagai kekayaan alam dan warisan leluhur, maka sebagian masyarakat agak sulit untuk diatur penggunaannya, apalagi disuruh membayar, diminta pemeliharaan pipa dan sumber air di hulu”, ungkap salah seorang pengurus KPA. Dengan keseriusan fasilitator Transform, lama-kelamaan masyarakat yang tidak mau menggunakan water meter dan membayar dilakukan pembinaan dan diberikan pengertian secara terus menerus. Bahkan sebanyak lebih dari 30 orang yang kontra diajak studi banding ke Narmada, Kabupaten Lombok Barat mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya air dan pentingnya pemeliharaan. Sehingga sekitar bulan November 2010 masyarakat dengan berkeyakinan penuh menyetujui penggunaan water meter dan pembayaran air sebesar 200 rupiah per meter kubik. Dampak yang ditimbulkan dari pengaturan penggunaan sumber daya air ini sangat dirasakan oleh masyarakat. Dampak yang nyata yaitu dari segi ekonomi dan kesehatan. Sebelum penggunaan water meter masyarakat tidak ada yang memiliki kloset/kakus, namun belum berjalan dua tahun, sudah 100 persen masyarakat yang memiliki kakus. Belum lagi dulu Sambelie dikenal dengan daerah yang sangat kering dan terisolir. Alhamdulillah sekarang kami sudah mampu melakukan pemekaran desa dan coba dilihat disetiap rumah masyarakat dipekarangannya semua tampak hijau dan didominasi oleh tanaman-tanaman buah seperti pisang dan lain-lainnya. ”Cukup menjual satu tandan pisang sudah mampu membayar air untuk tiga bulan” ungkap salah satu masyarakat yang kami temui. Hal menarik lainnya adalah di sepanjang pinggir jalan

mulai dari gerbang Desa, kita akan menemukan masyarakat sedang giatnya melakukan pembangunan, baik untuk rumah tinggal maupun untuk membuat toko atau kios.

“Harga tanah sekarang disini sangat mahal, sejak adanya program pipa air ini” ungkap Pak Sukron salah satu pengurus KPA di Sambelie. Untuk pemeliharaan sumber mata air, masyarakat menyepakati melakukan penanaman pohon beringin setiap tahunnya. Kenapa pohon beringin? Ini merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat. Beringin di Sambelie dikenal merupakan pohon yang tidak dapat digunakan sebagai bahan bangunan, selain itu secara mistis beringin merupakan pohon yang disukai oleh mahluk halus sebagai rumahnya. Inilah yang nantinya membuat masyarakat akan takut untuk menebangnya. Jika kita tanam pohon yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan, kita tidak berani jamin masyarakat disini ataupun nantinya masyarakat dari luar wilayah kita untuk tidak melakukan penebangan. Pada tahun 2011 yang lalu kami sudah melakukan penanaman pohon beringin dari swadaya masyarakat sendiri lebih dari 5.000 pohon. Dan itu terus kami lakukan setiap tahunnya.

Sebagai perekat dari kami adalah adanya rasa kekeluargaan dan transparansi dari pengurus KPA. Setiap ada laporan kerusakan, secara bersama-sama masyarakat turun langsung ke lokasi. Kami memiliki peraturan bawa jika kerusakannya dari bak penampungan ke bawah, itu merupakan tanggung jawab pengurus, akan tetapi jika kerusakannya dari bak penampungan ke atas baru merupakan tanggung jawab kami semua. Secara terbuka setiap bulannya kami pengurus melaporkan dana keluar ataupun dana yang sudah masuk. Dan ini murni dari swadaya masyarakat. ”Kami tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kalau diukur dari pendapatan pengurus per bulannya yaitu 50 ribu rupiah per bulan per pengurus, mungkin kami semua sudah lepas tangan. Akan tetapi karena mengingat ini merupakan kekayaan masyarakat dan merupakan warisan bagi generasi nanti, maka kami bersemangat lagi untuk mau bekerja”, ungkap salah satu pengurus.

Benar saja sekitar pukul 11.30 pak Muhtar sampai di rumah saya di Lendang Nangka. Baru turun dari kendaraannya saya langsung menyambutnya dengan pertanyaan, “Kita ngopi dulu atau langsung berangkat?” tanya saya singkat. “Sebentar dulu kita ngopi dulu lah” jawab pak Muhtar. Selesai menikmati tetesan terakhir kopi buatan istri saya, kita langsung bersiap untuk berangkat menuju Sambelie. Perjalanan kita siang itu disambut oleh rintik-rintik hujan di sepanjang perjalanan. Memasuki gerbang batas wilayah yang bertuliskan selamat datang di Sambelie, di sebalah kiri dan kanan jalan kita disuguhi oleh pemandangan alam yang hijau yang didominasi oleh tanaman pisang. Selain pohon-pohon pisang, masyarakat yang sedang membangun juga lumayan banyak, tidak hanya pembangunan rumah tempat tinggal yang terlihat. Pembangunan toko atau kios tempat berjualan juga lumayan banyak. Ini berarti roda perekonomian masyarakat sudah mulai bergeliat. Melihat saya yang agak terheran-heran, langsung pak Muhtar menjelaskan, “Dulunya memang daerah ini kering dan tidak akan ditemukan hijau seperti ini, begitu juga masyarakat yang membangun akan sangat sulit kita temukan. Namun setelah adanya program pemasangan water meter air, sekarang masyarakat Sambelie bergairah untuk melakukan cocok tanam di sekitar pekarangannya. Yang lebih menarik lagi yaitu harga tanah di pinggir jalan langsung melonjak” ungkap pak Muhtar menjelaskan. Kita langsung menuju kantor Desa, karena kita sudah ditunggu oleh pengurus kelompok pemakai air. Benar saja setelah sampai di halaman kantor desa terlihat beberapa orang keluar dari kantor desa manyambut kedatangan kita. “Beginilah rupa kantor desa kami pak, maklum desa pemekaran dan masih tahap pembangunan”, ungkap salah satu dari bapak-bapak yang manyambut kita dan langsung mempersilahkan kita duduk di kursi yang telah disediakan. Maaf kami agak terlambat, ungkap pak Muhtar. Biasanya kami menginap di sini bila kegiatan fasilitasi lebih dari sehari” pak Muhtar menambahkan.

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Kami tiba di kantor Desa Sambelie sekitar pukul 15.20. “Setiap hari disini hujan pak” ungkap salah seorang memulai membuka pembicaraan. “Kalau melihat mendungnya sebentar lagi hujan besar akan turun” tambahnya. Benar saja tidak sampai lima menit hujan lebat turun. Kami datang hanya sekedar ingin mengetahui perkembangan kelompok pemakai air, penanaman pohon dan kondisi terakhir masyarakatnya. Dan saya dengar sekarang sudah 100% masyarakatnya menggunakan jamban. Itu progress yang sangat luar biasa, yang sebelumnya tidak ada masyarakat yang memiliki jamban, ungkap pak Muhtar bersemangat. Alhamdulillah kami sekarang merasa sangat mudah dalam melakukan aktifitas. Dengan adanya Kelompok Pemakai Air (KPA) yang membuat kami teratur dalam penggunaan sumber daya air ini. Sejak akhir tahun 2010 yang lalu, LSM Trasform mendampingi masyarakat di Sambelie untuk pengaturan pemakaian air dengan penggunaan meteran air. ”Awalnya masyarakat sangat sulit diberikan pengertian.

”Selain itu, kami juga sudah diperkuat dengan adanya Perdes yang kami susun bersama seluruh masyarakat berdasarkan bimbingan dari LSM Transform. Tempat penampungan yang kami buat sudah kami prediksi untuk pertumbuhan penduduk sampai 10 tahun ke depan. Agar apa yang kami lakukan dapat menjadi warisan bagi anak cucu kami”, tutur pak wardi mengakhiri diskusi kami sore itu. Hari menjelang magrib. Tiba waktunya kami untuk pamit. Menjadi inspirasi bagi saya hari itu melihat bagaimana masyarakat yang sangat termarginalkan dan jauh dari pusat kota memiliki cara dan keinginan untuk mau berbuat menjaga alamnya. Hingga saat ini tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah dan yang mereka lakukan adalah murni swadaya dari masyarakat untuk masyarakat.

Penulis adalah pekerja sosial dan Koordinator Forum KTI Wilayah NTB. Dapat dihubungi melalui email : [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

”Awalnya masyarakat sangat sulit diberikan pengertian. Karena sumber daya air dianggap sebagai kekayaan alam dan warisan leluhur, maka sebagian masyarakat agak sulit untuk diatur penggunaannya, apalagi disuruh membayar, diminta pemeliharaan pipa dan sumber air di hulu” pengurus KPA

FORUM KTI WILAYAH NTB

Page 25: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

23 24News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Mengelola Sumber

Daya Alam

dengan Zero

KonflikOLEH MAHARANI

“Tunggu sebentar saya masih di perjalanan, kita berangkat dari Lendang Nangka sekitar jam 12.00 agar kita bisa makan siang di Aik Mel, karena di Sambelie tidak ada tempat singgah untuk makan”, ungkap Pak Muhtar, Koordinator program dari LSM Transform di ujung telepon. Perjalanan dari kota Mataram ke Sambelie memang membutuhkan waktu yang lumayan lama yakni sekitar 3 jam menggunakan mobil. Gambaran umum yang ada di kepala kita kalau mendengar kata desa Sambelie yaitu tempat yang sangat gersang, kering, masyarakatnya terbelakang dan miskin. Sambelie merupakan daerah di bagian ujung timur Pulau Lombok. Daerah itu dahulunya dijadikan tempat tujuan dari transmigrasi lokal di daerah Lombok. Secara klimatologi, memang Sambelie merupakan daerah yang memiliki bulan basah relative kecil yaitu 2 atau 3 bulan. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini merupakan daerah yang sangat termarginalkan baik dari segi lahan maupun dari segi geografis karena sangat jauh dari pusat kota.

Karena sumber daya air dianggap sebagai kekayaan alam dan warisan leluhur, maka sebagian masyarakat agak sulit untuk diatur penggunaannya, apalagi disuruh membayar, diminta pemeliharaan pipa dan sumber air di hulu”, ungkap salah seorang pengurus KPA. Dengan keseriusan fasilitator Transform, lama-kelamaan masyarakat yang tidak mau menggunakan water meter dan membayar dilakukan pembinaan dan diberikan pengertian secara terus menerus. Bahkan sebanyak lebih dari 30 orang yang kontra diajak studi banding ke Narmada, Kabupaten Lombok Barat mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya air dan pentingnya pemeliharaan. Sehingga sekitar bulan November 2010 masyarakat dengan berkeyakinan penuh menyetujui penggunaan water meter dan pembayaran air sebesar 200 rupiah per meter kubik. Dampak yang ditimbulkan dari pengaturan penggunaan sumber daya air ini sangat dirasakan oleh masyarakat. Dampak yang nyata yaitu dari segi ekonomi dan kesehatan. Sebelum penggunaan water meter masyarakat tidak ada yang memiliki kloset/kakus, namun belum berjalan dua tahun, sudah 100 persen masyarakat yang memiliki kakus. Belum lagi dulu Sambelie dikenal dengan daerah yang sangat kering dan terisolir. Alhamdulillah sekarang kami sudah mampu melakukan pemekaran desa dan coba dilihat disetiap rumah masyarakat dipekarangannya semua tampak hijau dan didominasi oleh tanaman-tanaman buah seperti pisang dan lain-lainnya. ”Cukup menjual satu tandan pisang sudah mampu membayar air untuk tiga bulan” ungkap salah satu masyarakat yang kami temui. Hal menarik lainnya adalah di sepanjang pinggir jalan

mulai dari gerbang Desa, kita akan menemukan masyarakat sedang giatnya melakukan pembangunan, baik untuk rumah tinggal maupun untuk membuat toko atau kios.

“Harga tanah sekarang disini sangat mahal, sejak adanya program pipa air ini” ungkap Pak Sukron salah satu pengurus KPA di Sambelie. Untuk pemeliharaan sumber mata air, masyarakat menyepakati melakukan penanaman pohon beringin setiap tahunnya. Kenapa pohon beringin? Ini merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat. Beringin di Sambelie dikenal merupakan pohon yang tidak dapat digunakan sebagai bahan bangunan, selain itu secara mistis beringin merupakan pohon yang disukai oleh mahluk halus sebagai rumahnya. Inilah yang nantinya membuat masyarakat akan takut untuk menebangnya. Jika kita tanam pohon yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan, kita tidak berani jamin masyarakat disini ataupun nantinya masyarakat dari luar wilayah kita untuk tidak melakukan penebangan. Pada tahun 2011 yang lalu kami sudah melakukan penanaman pohon beringin dari swadaya masyarakat sendiri lebih dari 5.000 pohon. Dan itu terus kami lakukan setiap tahunnya.

Sebagai perekat dari kami adalah adanya rasa kekeluargaan dan transparansi dari pengurus KPA. Setiap ada laporan kerusakan, secara bersama-sama masyarakat turun langsung ke lokasi. Kami memiliki peraturan bawa jika kerusakannya dari bak penampungan ke bawah, itu merupakan tanggung jawab pengurus, akan tetapi jika kerusakannya dari bak penampungan ke atas baru merupakan tanggung jawab kami semua. Secara terbuka setiap bulannya kami pengurus melaporkan dana keluar ataupun dana yang sudah masuk. Dan ini murni dari swadaya masyarakat. ”Kami tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kalau diukur dari pendapatan pengurus per bulannya yaitu 50 ribu rupiah per bulan per pengurus, mungkin kami semua sudah lepas tangan. Akan tetapi karena mengingat ini merupakan kekayaan masyarakat dan merupakan warisan bagi generasi nanti, maka kami bersemangat lagi untuk mau bekerja”, ungkap salah satu pengurus.

Benar saja sekitar pukul 11.30 pak Muhtar sampai di rumah saya di Lendang Nangka. Baru turun dari kendaraannya saya langsung menyambutnya dengan pertanyaan, “Kita ngopi dulu atau langsung berangkat?” tanya saya singkat. “Sebentar dulu kita ngopi dulu lah” jawab pak Muhtar. Selesai menikmati tetesan terakhir kopi buatan istri saya, kita langsung bersiap untuk berangkat menuju Sambelie. Perjalanan kita siang itu disambut oleh rintik-rintik hujan di sepanjang perjalanan. Memasuki gerbang batas wilayah yang bertuliskan selamat datang di Sambelie, di sebalah kiri dan kanan jalan kita disuguhi oleh pemandangan alam yang hijau yang didominasi oleh tanaman pisang. Selain pohon-pohon pisang, masyarakat yang sedang membangun juga lumayan banyak, tidak hanya pembangunan rumah tempat tinggal yang terlihat. Pembangunan toko atau kios tempat berjualan juga lumayan banyak. Ini berarti roda perekonomian masyarakat sudah mulai bergeliat. Melihat saya yang agak terheran-heran, langsung pak Muhtar menjelaskan, “Dulunya memang daerah ini kering dan tidak akan ditemukan hijau seperti ini, begitu juga masyarakat yang membangun akan sangat sulit kita temukan. Namun setelah adanya program pemasangan water meter air, sekarang masyarakat Sambelie bergairah untuk melakukan cocok tanam di sekitar pekarangannya. Yang lebih menarik lagi yaitu harga tanah di pinggir jalan langsung melonjak” ungkap pak Muhtar menjelaskan. Kita langsung menuju kantor Desa, karena kita sudah ditunggu oleh pengurus kelompok pemakai air. Benar saja setelah sampai di halaman kantor desa terlihat beberapa orang keluar dari kantor desa manyambut kedatangan kita. “Beginilah rupa kantor desa kami pak, maklum desa pemekaran dan masih tahap pembangunan”, ungkap salah satu dari bapak-bapak yang manyambut kita dan langsung mempersilahkan kita duduk di kursi yang telah disediakan. Maaf kami agak terlambat, ungkap pak Muhtar. Biasanya kami menginap di sini bila kegiatan fasilitasi lebih dari sehari” pak Muhtar menambahkan.

ILLUST

RASI C

HA

NN

O D

JUN

AED

Kami tiba di kantor Desa Sambelie sekitar pukul 15.20. “Setiap hari disini hujan pak” ungkap salah seorang memulai membuka pembicaraan. “Kalau melihat mendungnya sebentar lagi hujan besar akan turun” tambahnya. Benar saja tidak sampai lima menit hujan lebat turun. Kami datang hanya sekedar ingin mengetahui perkembangan kelompok pemakai air, penanaman pohon dan kondisi terakhir masyarakatnya. Dan saya dengar sekarang sudah 100% masyarakatnya menggunakan jamban. Itu progress yang sangat luar biasa, yang sebelumnya tidak ada masyarakat yang memiliki jamban, ungkap pak Muhtar bersemangat. Alhamdulillah kami sekarang merasa sangat mudah dalam melakukan aktifitas. Dengan adanya Kelompok Pemakai Air (KPA) yang membuat kami teratur dalam penggunaan sumber daya air ini. Sejak akhir tahun 2010 yang lalu, LSM Trasform mendampingi masyarakat di Sambelie untuk pengaturan pemakaian air dengan penggunaan meteran air. ”Awalnya masyarakat sangat sulit diberikan pengertian.

”Selain itu, kami juga sudah diperkuat dengan adanya Perdes yang kami susun bersama seluruh masyarakat berdasarkan bimbingan dari LSM Transform. Tempat penampungan yang kami buat sudah kami prediksi untuk pertumbuhan penduduk sampai 10 tahun ke depan. Agar apa yang kami lakukan dapat menjadi warisan bagi anak cucu kami”, tutur pak wardi mengakhiri diskusi kami sore itu. Hari menjelang magrib. Tiba waktunya kami untuk pamit. Menjadi inspirasi bagi saya hari itu melihat bagaimana masyarakat yang sangat termarginalkan dan jauh dari pusat kota memiliki cara dan keinginan untuk mau berbuat menjaga alamnya. Hingga saat ini tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah dan yang mereka lakukan adalah murni swadaya dari masyarakat untuk masyarakat.

Penulis adalah pekerja sosial dan Koordinator Forum KTI Wilayah NTB. Dapat dihubungi melalui email : [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

”Awalnya masyarakat sangat sulit diberikan pengertian. Karena sumber daya air dianggap sebagai kekayaan alam dan warisan leluhur, maka sebagian masyarakat agak sulit untuk diatur penggunaannya, apalagi disuruh membayar, diminta pemeliharaan pipa dan sumber air di hulu” pengurus KPA

FORUM KTI WILAYAH NTB

Page 26: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

25 26News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

OLEH RIO ABDUL FATTAH

JiKTI Terkini

aringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (disingkat JiKTI) Jdibentuk pada tahun 2007 atas inisiasi dan koordinasi Forum Kawasan Timur Indonesia (disingkat FKTI), serta

berada dalam naungan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (disingkat Yayasan BaKTI). JiKTI merupakan jaringan peneliti yang pertama dan satu-satunya di wilayah KTI. Gagasan pembentukan jaringan ini didasari atas sebuah kesadaran akan pentingnya melembagakan jejaring di kalangan peneliti KTI untuk selanjutnya secara bersama mengembangkan sektor pengetahuan (knowledge sector) yang diyakini memiliki peran strategik dalam meningkatkan dan mengakselerasikan pembangunan KTI ke depan. Jaringan ini bertujuan untuk membangun dan mengembangkan kemitraan diantara peneliti se-KTI guna meningkatkan kapasitas peneliti KTI agar dapat berperan aktif dalam proses pembangunan yang berbasis pengetahuan. JiKTI mendorong upaya–upaya kolaboratif diantara para peneliti di KTI untuk mengisi kebutuhan perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah agar bertumpu pada hasil-hasil penelitian, dengan menempatkan gender dan lingkungan hidup sebagai cross-cutting issue. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses dan capaian pembangunan daerah, k hususnya dalam mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, percepatan otonomi daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas layanan publik, dan sebagainya. Dengan segenap modal dasar yang telah dimiliki oleh JiKTI serta prospek dan kecenderungan pengembangannya kedepan, maka diperlukan langkah – langkah strategis guna mengembangkan kemitraan diantara peneliti KTI yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan JiKTI. Hal ini termasuk mengembangkan jejaring peneliti KTI secara berkelanjutan. Salah satu kebutuhan untuk pengembangan jejaring adalah penataan internal melalui proses sosialisasi rencana strategis jaringan yang menjadi referensi pengembangan JiKTI ke depan serta pemetaan kembali anggota jaringan dan kapasitasnya. Untuk mendukung proses tersebut, maka perlu diadakan pertemuan jaringan di tingkat provinsi sekaligus road show guna mendukung proses penataan internal jaringan.

Saat ini ada empat rencana kerja utama JiKTI:1. Pemetaan Anggota yang merupakan pijakan awal penataan

kelembagaan sekaligus akan menjadi dasar bagi pengembangan Stock of Knowledge JiKTI

2. Roadshow/diskusi jaringan untuk mensosialisasikan rencana kerja JiKTI maka diadakanlah Roadshow. Selain merupakan ajang pertemuan jaringan ditingkat provinsi, kegiatan ini sekaligus untuk mendata kembali anggota serta

berbagi informasi dan berdiskusi terkait program kerja dan pengembangan JiKTI kedepan

3. Pengembangan Stock of Knowledge yang akan dibangun berdasarkan kebutuhan jaringan sehingga akan didukung dengan piloting project melibatkan 30 anggota jaringan terpilih.

4. Capacity building merupakan komponen peningkatan kapasitas yang tentunya menjadi suatu kebutuhan bagi JiKTI. Dalam rencana kerja tahun ini, JiKTI akan mengadakan pelatihan untuk mendukung program stock of knowledge dan pelatihan untuk mendukung peningkatan kapasitas teknis penelitian.

Berikut adalah kegiatan yang diadakan oleh Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia dalam bulan Juli dan Agustus 2013.

Pelatihan Komunikasi Vibrant bagi Peneliti JIKTI menyelenggarakan pelatihan bertajuk Komunikasi Vibrant bagi Peneliti pada tanggal 22-24 Juli 2013 di Hotel Santika Makassar. Pelatihan yang diusung oleh INSPIRIT, dengan fasilitator Dani Wahyu Moenggoro dan Budhita Kismadi ini adalah pelatihan yang mengedepankan dan memberikan pemahaman kepada peserta mengenai komunikasi vibran dalam presentasi materinya secara keseluruhan. Komunikasi vibran lahir atas masalah-masalah sosial yang kerap ditemukan, yang pada akhirnya menuju pada persoalan komunikasi. Untuk menghadapinya, maka sebuah interaksi antar manusia yang berkualitas dan kreatif akan menghasilkan solusi-solusi sosial yang luar biasa. Komunikasi Vibran adalah proses penuh antusiasme dengan interaksi dan komunikasi kreatif untuk membantu orang atau organisasi untuk tergerak menciptakan solusi-solusi sosial yang segar melalui aktivasi keagungan insani. Kaitannya dengan JiKTI adalah bahwa dalam hal ini, para peneliti dalam lingkup region Kawasan Timur Indonesia, sebagai produsen dan penggerak pengetahuan dalam kerangka akademisi, pemangku kebijakan, maupun kelembagaan masyarakat, adalah pihak-pihak yang tergerak melakukan refleksi, perbaikan dan pembaruan, bahkan juga perubahan pada wilayah kerja masing-masing. Komunikasi Vibran membantu para peneliti merancang proses penelitian yang menggerakkan dan menyampaikan baik gagasan penelitian, diskusi pengetahuan dan kebijakan berdasarkan pengetahuan, maupun hasil-hasil penelitian dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, komunikatif dan berdampak.

TujuanTujuan dari kegiatan ini adalah mempertemukan anggota jaringan dalam suatu forum untuk :1. Mensosialisasikan Rencana Strategis JiKTI sebagai arah dan

pedoman pengembangan jaringan kedepan.2. Mensosialisasikan Statuta JiKTI sebagai aturan pokok

jaringan yang diperlukan dalam penyelenggaraan aktifitas jaringan.

3. Diskusi jaringan guna mengidentifikasi kebutuhan penelitian kebijakan ataupun kapasitas penelitian kebijakan yang ada di provinsi masin-masing.

4. Mendata kembali anggota jaringan serta kapasitas yang ada termasuk anggota potensial di provinsi pelaksanaan road show.

5. Mensosialisasikan database “Stock of Knowledge” sebagai elemen penting dalam esensi JiKTI sebagai organisasi peneliti yang saling berjaring dan berinteraksi aktif.

Peserta Tercatat sebanyak 24 orang menghadiri Roadshow JiKTI Penguatan Jaringan dan Kelembagaan – Gorontalo, yang mana komposisinya terdiri dari 5 orang perempuan dan 19 orang laki-laki. Peserta Roadshow tersebut adalah para anggota JiKTI Gorontalo yang sebagian besar merupakan akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan fakultas dari beberapa universitas di Gorontalo, yaitu Institut Agama Islam Negeri Sultan Amal (IAIN) Gorontalo, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Gorontalo, Universitas Ichsan Gorontalo, Institut Teknologi BJ Habibie (ITBJH). Beberapa orang peserta berasal dari LSM/lembaga peneliti lokal seperti Lembaga Pengkajian Pembangunan Gorontalo (LP2G), selain beberapa berasal dari pemangku kebijakan di Provinsi Gorontalo, seperti Bappeda Provinsi Gorontalo, yang mana Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Bpk. Sudirman Habibie hadir dan secara resmi membuka diskusi.

Fasilitator dan Narasumber Focal Point JiKTI Provinsi Gorontalo, Irwan Bempah bertindak sebagai fasilitator utama dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan, baik dari segi pengundangan maupun fasilitas acara. Selain itu, pak Irwan pula bertindak sebagai moderator diskusi sekaligus membawa presentasi singkat mengenai pengenalan JiKTI dan agenda acara pada hari ini. Rangkaian sosialisasi roadshow JiKTI dibuka secara resmi oleh Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Bapak Sudirman Habibie yang menyambut kedatangan tim BaKTI yang terdiri dari Direktur Eksekutif BaKTI, Caroline Tupamahu, Program Development Management Manajer BaKTI, Yusran Laitupa, Program Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah, Program Assistant Rini Indayani dan dua konsultan IT dari Springfields untuk Stock of Knowledge, David Shirley dan Namira Zahra.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia, Anda dapat menghubungi Program Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah melalui email [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Proses presentasi diskusi dimulai dengan presentasi mengenai Perangkat Kelembagaan JiKTI oleh Program Development Manager BaKTI, Muhammad Yusran Laitupa. Presentasi kedua adalah mengenai Rencana Strategis JiKTI 2013 oleh Project Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah. Presentasi ditutup dengan presentasi dan sosialisasi mengenai platform jaringan Stock of Knowledge JiKTI oleh konsultan IT dari Springfields, David Shirley dan Namira Zahra.

Peserta Tercatat sebanyak 34 orang menghadiri Roadshow JiKTI penguatan Jaringan dan Kelembagaan – Sulawesi Tengah, yang mana komposisinya terdiri atas 23 orang laki-laki dan 11 orang perempuan. Peserta Roadshow tersebut adalah para anggota JiKTI Sulawesi Tengah, yang sebagian besar merupakan akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan fakulttas dari universitas terbesar di Sulawesi Tengah, yaitu Universitas Tadulako, Palu. Beberapa orang peserta berasal dari LSM lokal, seperti SIKAP Institute, selain beberapa berasal dari pemangku kebijakan di Sulawesi Tengah, seperti dari Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah dan Litbang.

Fasilitator dan Narasumber Focal Point JiKTI Provinsi Sulawesi Sulawesi Tengah, Muzakir Tumbolotutu bertindak sebagai fasilitator utama dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan, baik dari segi perundangan maupun fasilitas acara secara keseluruhan.Rangkaian diskusi dibuka secara resmi oleh Sekretaris Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, Dr. Fahruddin, S.Sos, M.Si, yang mewakili Kepala Bappeda Provinsi yang sedang mengadakan kunjungan ke luar daerah. Dalam rangkaian acara, anggota JiKTI Sulawesi Tengah yang juga merupakan akademisi dan peneliti Universitas Tadulako, Muhammad Nur Sangadji, bertindak sebagai moderator diskusi. Proses presentasi diskusi dimulai dengan presentasi mengenaiPerangkat Kelembagaan JiKTI oleh Program Development Manager BaKTI, Muhammad Yusran Laitupa. Presentasi kedua adalah mengenai Rencana Strategis JiKTI 2013 oleh Project Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah. Presentasi ditutup dengan presentasi dan sosialisasi mengenai platform jaringan Stock of Knowledge JiKTI oleh konsultan IT dari Springfields, David Shirley dan Namira Zahra. Stock of Knowledge dapat diakses di http://jikti.bakti.or.id

Roadshow JiKTI Provinsi GorontaloRabu, 31 Juli 2013Aula II Gedung Samsat Kota Gorontalo, Jl. Jendral Sudirman

Roadshow JiKTI Provinsi Sulawesi TengahSenin, 29 Juli 2013Lt. II. Rg. VIP Nagana Kantor Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah

Page 27: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

25 26News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

OLEH RIO ABDUL FATTAH

JiKTI Terkini

aringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (disingkat JiKTI) Jdibentuk pada tahun 2007 atas inisiasi dan koordinasi Forum Kawasan Timur Indonesia (disingkat FKTI), serta

berada dalam naungan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (disingkat Yayasan BaKTI). JiKTI merupakan jaringan peneliti yang pertama dan satu-satunya di wilayah KTI. Gagasan pembentukan jaringan ini didasari atas sebuah kesadaran akan pentingnya melembagakan jejaring di kalangan peneliti KTI untuk selanjutnya secara bersama mengembangkan sektor pengetahuan (knowledge sector) yang diyakini memiliki peran strategik dalam meningkatkan dan mengakselerasikan pembangunan KTI ke depan. Jaringan ini bertujuan untuk membangun dan mengembangkan kemitraan diantara peneliti se-KTI guna meningkatkan kapasitas peneliti KTI agar dapat berperan aktif dalam proses pembangunan yang berbasis pengetahuan. JiKTI mendorong upaya–upaya kolaboratif diantara para peneliti di KTI untuk mengisi kebutuhan perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah agar bertumpu pada hasil-hasil penelitian, dengan menempatkan gender dan lingkungan hidup sebagai cross-cutting issue. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses dan capaian pembangunan daerah, k hususnya dalam mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, percepatan otonomi daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas layanan publik, dan sebagainya. Dengan segenap modal dasar yang telah dimiliki oleh JiKTI serta prospek dan kecenderungan pengembangannya kedepan, maka diperlukan langkah – langkah strategis guna mengembangkan kemitraan diantara peneliti KTI yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan JiKTI. Hal ini termasuk mengembangkan jejaring peneliti KTI secara berkelanjutan. Salah satu kebutuhan untuk pengembangan jejaring adalah penataan internal melalui proses sosialisasi rencana strategis jaringan yang menjadi referensi pengembangan JiKTI ke depan serta pemetaan kembali anggota jaringan dan kapasitasnya. Untuk mendukung proses tersebut, maka perlu diadakan pertemuan jaringan di tingkat provinsi sekaligus road show guna mendukung proses penataan internal jaringan.

Saat ini ada empat rencana kerja utama JiKTI:1. Pemetaan Anggota yang merupakan pijakan awal penataan

kelembagaan sekaligus akan menjadi dasar bagi pengembangan Stock of Knowledge JiKTI

2. Roadshow/diskusi jaringan untuk mensosialisasikan rencana kerja JiKTI maka diadakanlah Roadshow. Selain merupakan ajang pertemuan jaringan ditingkat provinsi, kegiatan ini sekaligus untuk mendata kembali anggota serta

berbagi informasi dan berdiskusi terkait program kerja dan pengembangan JiKTI kedepan

3. Pengembangan Stock of Knowledge yang akan dibangun berdasarkan kebutuhan jaringan sehingga akan didukung dengan piloting project melibatkan 30 anggota jaringan terpilih.

4. Capacity building merupakan komponen peningkatan kapasitas yang tentunya menjadi suatu kebutuhan bagi JiKTI. Dalam rencana kerja tahun ini, JiKTI akan mengadakan pelatihan untuk mendukung program stock of knowledge dan pelatihan untuk mendukung peningkatan kapasitas teknis penelitian.

Berikut adalah kegiatan yang diadakan oleh Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia dalam bulan Juli dan Agustus 2013.

Pelatihan Komunikasi Vibrant bagi Peneliti JIKTI menyelenggarakan pelatihan bertajuk Komunikasi Vibrant bagi Peneliti pada tanggal 22-24 Juli 2013 di Hotel Santika Makassar. Pelatihan yang diusung oleh INSPIRIT, dengan fasilitator Dani Wahyu Moenggoro dan Budhita Kismadi ini adalah pelatihan yang mengedepankan dan memberikan pemahaman kepada peserta mengenai komunikasi vibran dalam presentasi materinya secara keseluruhan. Komunikasi vibran lahir atas masalah-masalah sosial yang kerap ditemukan, yang pada akhirnya menuju pada persoalan komunikasi. Untuk menghadapinya, maka sebuah interaksi antar manusia yang berkualitas dan kreatif akan menghasilkan solusi-solusi sosial yang luar biasa. Komunikasi Vibran adalah proses penuh antusiasme dengan interaksi dan komunikasi kreatif untuk membantu orang atau organisasi untuk tergerak menciptakan solusi-solusi sosial yang segar melalui aktivasi keagungan insani. Kaitannya dengan JiKTI adalah bahwa dalam hal ini, para peneliti dalam lingkup region Kawasan Timur Indonesia, sebagai produsen dan penggerak pengetahuan dalam kerangka akademisi, pemangku kebijakan, maupun kelembagaan masyarakat, adalah pihak-pihak yang tergerak melakukan refleksi, perbaikan dan pembaruan, bahkan juga perubahan pada wilayah kerja masing-masing. Komunikasi Vibran membantu para peneliti merancang proses penelitian yang menggerakkan dan menyampaikan baik gagasan penelitian, diskusi pengetahuan dan kebijakan berdasarkan pengetahuan, maupun hasil-hasil penelitian dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, komunikatif dan berdampak.

TujuanTujuan dari kegiatan ini adalah mempertemukan anggota jaringan dalam suatu forum untuk :1. Mensosialisasikan Rencana Strategis JiKTI sebagai arah dan

pedoman pengembangan jaringan kedepan.2. Mensosialisasikan Statuta JiKTI sebagai aturan pokok

jaringan yang diperlukan dalam penyelenggaraan aktifitas jaringan.

3. Diskusi jaringan guna mengidentifikasi kebutuhan penelitian kebijakan ataupun kapasitas penelitian kebijakan yang ada di provinsi masin-masing.

4. Mendata kembali anggota jaringan serta kapasitas yang ada termasuk anggota potensial di provinsi pelaksanaan road show.

5. Mensosialisasikan database “Stock of Knowledge” sebagai elemen penting dalam esensi JiKTI sebagai organisasi peneliti yang saling berjaring dan berinteraksi aktif.

Peserta Tercatat sebanyak 24 orang menghadiri Roadshow JiKTI Penguatan Jaringan dan Kelembagaan – Gorontalo, yang mana komposisinya terdiri dari 5 orang perempuan dan 19 orang laki-laki. Peserta Roadshow tersebut adalah para anggota JiKTI Gorontalo yang sebagian besar merupakan akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan fakultas dari beberapa universitas di Gorontalo, yaitu Institut Agama Islam Negeri Sultan Amal (IAIN) Gorontalo, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Gorontalo, Universitas Ichsan Gorontalo, Institut Teknologi BJ Habibie (ITBJH). Beberapa orang peserta berasal dari LSM/lembaga peneliti lokal seperti Lembaga Pengkajian Pembangunan Gorontalo (LP2G), selain beberapa berasal dari pemangku kebijakan di Provinsi Gorontalo, seperti Bappeda Provinsi Gorontalo, yang mana Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Bpk. Sudirman Habibie hadir dan secara resmi membuka diskusi.

Fasilitator dan Narasumber Focal Point JiKTI Provinsi Gorontalo, Irwan Bempah bertindak sebagai fasilitator utama dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan, baik dari segi pengundangan maupun fasilitas acara. Selain itu, pak Irwan pula bertindak sebagai moderator diskusi sekaligus membawa presentasi singkat mengenai pengenalan JiKTI dan agenda acara pada hari ini. Rangkaian sosialisasi roadshow JiKTI dibuka secara resmi oleh Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Bapak Sudirman Habibie yang menyambut kedatangan tim BaKTI yang terdiri dari Direktur Eksekutif BaKTI, Caroline Tupamahu, Program Development Management Manajer BaKTI, Yusran Laitupa, Program Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah, Program Assistant Rini Indayani dan dua konsultan IT dari Springfields untuk Stock of Knowledge, David Shirley dan Namira Zahra.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia, Anda dapat menghubungi Program Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah melalui email [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Proses presentasi diskusi dimulai dengan presentasi mengenai Perangkat Kelembagaan JiKTI oleh Program Development Manager BaKTI, Muhammad Yusran Laitupa. Presentasi kedua adalah mengenai Rencana Strategis JiKTI 2013 oleh Project Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah. Presentasi ditutup dengan presentasi dan sosialisasi mengenai platform jaringan Stock of Knowledge JiKTI oleh konsultan IT dari Springfields, David Shirley dan Namira Zahra.

Peserta Tercatat sebanyak 34 orang menghadiri Roadshow JiKTI penguatan Jaringan dan Kelembagaan – Sulawesi Tengah, yang mana komposisinya terdiri atas 23 orang laki-laki dan 11 orang perempuan. Peserta Roadshow tersebut adalah para anggota JiKTI Sulawesi Tengah, yang sebagian besar merupakan akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan fakulttas dari universitas terbesar di Sulawesi Tengah, yaitu Universitas Tadulako, Palu. Beberapa orang peserta berasal dari LSM lokal, seperti SIKAP Institute, selain beberapa berasal dari pemangku kebijakan di Sulawesi Tengah, seperti dari Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah dan Litbang.

Fasilitator dan Narasumber Focal Point JiKTI Provinsi Sulawesi Sulawesi Tengah, Muzakir Tumbolotutu bertindak sebagai fasilitator utama dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan, baik dari segi perundangan maupun fasilitas acara secara keseluruhan.Rangkaian diskusi dibuka secara resmi oleh Sekretaris Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, Dr. Fahruddin, S.Sos, M.Si, yang mewakili Kepala Bappeda Provinsi yang sedang mengadakan kunjungan ke luar daerah. Dalam rangkaian acara, anggota JiKTI Sulawesi Tengah yang juga merupakan akademisi dan peneliti Universitas Tadulako, Muhammad Nur Sangadji, bertindak sebagai moderator diskusi. Proses presentasi diskusi dimulai dengan presentasi mengenaiPerangkat Kelembagaan JiKTI oleh Program Development Manager BaKTI, Muhammad Yusran Laitupa. Presentasi kedua adalah mengenai Rencana Strategis JiKTI 2013 oleh Project Officer JiKTI, Rio Abdul Fattah. Presentasi ditutup dengan presentasi dan sosialisasi mengenai platform jaringan Stock of Knowledge JiKTI oleh konsultan IT dari Springfields, David Shirley dan Namira Zahra. Stock of Knowledge dapat diakses di http://jikti.bakti.or.id

Roadshow JiKTI Provinsi GorontaloRabu, 31 Juli 2013Aula II Gedung Samsat Kota Gorontalo, Jl. Jendral Sudirman

Roadshow JiKTI Provinsi Sulawesi TengahSenin, 29 Juli 2013Lt. II. Rg. VIP Nagana Kantor Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah

Page 28: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

27 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

GENDER DAN KEUANGAN PUBLIK

Itu adalah beberapa pertanyaan yang muncul, ketika topik gender dibicarakan dalam berbagai workshop dan pertemuan persiapan penulisan Public Expenditure Analysis (PEA) atau

Analisa Keuangan Publik. PEA adalah bagian dari Program PEACH yang dilakukan Bank Dunia dan didukung oleh CIDA, AusAID, dan Yayasan BaKTI. Topik gender, memang merupakan hal yang baru bagi sebagian orang, apalagi bila dihubungkan dengan pengelolaan keuangan publik. Mendengar kata 'gender', orang biasanya akan berasumsi 'perempuan'. Padahal ada laki-laki dan perempuan dalam makna kata gender. Program pemberdayaan gender merupakan program yang membantu semua warga, laki-laki dan perempuan, yang mengalami ketidakadilan dalam menikmati fasilitas atau program dari pemerintah daerah. Gender pun bukan merupakan sarana pembangkangan perempuan dari kodrat atau peran sosialnya. Pemberdayaan gender semestinya dipahami sebagai upaya bersama untuk menciptakan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan yang bisa dirasakan oleh perempuan dan laki-laki dalam suatu wilayah. Berbicara soal belanja daerah, kita bicara bagaimana anggaran yang dibelanjakan bisa dirasakan manfaatnya, baik oleh warga laki-laki maupun warga perempuan secara merata. Hal ini dapat tercermin dari program-program yang direncanakan dan realisasi pelaksanaan program tersebut dalam tahun berjalan.

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN TERKAIT PERENCANAAN PEMBANGUNAN RESPONSIF GENDER

Program responsif gender bukan hanya tanggung jawab satu unit pemerintah saja, seperti Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA), tetapi merupakan tanggung jawab semua unit kerja yang ada di pemerintahan daerah, mulai dari Bappeda, Inspektorat, BPKD serta Badan PP&PA, hingga seluruh SKPD yang ada di daerah tersebut.

Merencanakan program responsif gender, tidak berarti harus ada penambahan anggaran. Dalam membuat

program responsif gender, yang perlu dilakukan adalah memastikan data pendukung program adalah data terpilah, serta memast ikan lak i- lak i dan perempuan dikenal i dan

dipertimbangkan kebutuhannya dalam penentuan tujuan kegiatan, output (keluaran) dan outcome (dampak kegiatan). Bukan menambah anggaran.

Landasan Hukum Sejak tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang di antaranya adalah mewajibkan kementerian dan lembaga untuk mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. Inpres ini kemudian diperkuat dengan berbagai peraturan, mulai dari UU no. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, PerPres. No. 5/2010 tentang RPJMN 2010 – 2014, hingga rangkaian Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, mulai dari PMK No. 104/2010 untuk tahun anggaran 2011, PMK No. 93/2011 untuk tahun anggaran 2012, hingga PMK No. 112/2012 untuk tahun anggaran 2013. Sementara untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah, pemerintah telah mengeluarkan Permendagri No. 67 Tahun 2011, yang merupakan perubahan atas peraturan menteri dalam negeri nomor 15 tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah. Permendagri ini diantaranya mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender, yang dituangkan dalam RPJMD, Rencara Strategis SKPD dan Rencana Kerja SKPD. Selain itu, menjabarkan tata cara pelaksanaan perencanaan responsif gender, dengan mengenalkan metode alur kerja analisis gender (Gender Analysis Pathway), selain juga metode analisis lain, yang hasilnya digunakan untuk menyusun Gender Budget Statement (GBS). GBS ini merupakan dokumen resmi perencanaan dan penganggaran yang menjadi bagian tak terpisahkan dengan dokumen RKA/DPA SKPD. Namun kenyataannya, konsep gender dan tata laksana pengelolaan anggaran yang responsif gender masih asing di telinga banyak orang, termasuk mereka yang memiliki wewenang untuk membuat perencanaan dan penganggaran belanja publik.

“Gender dan keuangan publik? Apa hubungannya?” “Mengapa hanya nasib perempuan yang diperjuangkan? Bagaimana dengan laki-laki?”“Perempuan kan kodratnya mengurus rumah tangga…”

1

2

Pengantar

SULAWESI UTARA

AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92 28

60

.706

orangSEK

TOR PERTA

NIA

N

100

.451 orang

PERDA

GA

NG

AN

BESAR,

ECERA

N, RU

MA

H M

AK

AN

DA

N H

OT

EL

92.494

orangSEK

TOR JA

SA

ILUSTRASI KONDISI DI PROVINSI SULAWESI UTARA

INFRASTRUKTUR DASAR

KESEHATAN

IPM/IPG

Contact Person: Guntur P. Sutiono, Email: [email protected]

PENDIDIKAN

KEMISKINAN

Jumlah rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan bertambahdalam kurun waktu 5 tahun (2006 – 2010).

Jumlah kematian Ibu pada tahun 2011 di tingkat kabupaten/kota bervariasi.

Indeks Pembangunan Gender (IPG) mengalami peningkatan, namun masih berada dibawahIndeks PembangunanManusia (IPM)

Angka Partisipasi Murni (APM) laki-laki sedikit lebih tinggi dari perempuan pada tingkat SD, namun berbalik pada tingkat SMU, menjadi lebih rendah dari perempuan.

Sumber: Dinas Kesehatan Sulawesi Utara

8.8

8.7

Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap sanitasi dan air bersih mengalami penurunan.

Akses terhadap fasilitas air bersih menurun

%63,6

%72,32006

2010

Akses terhadap sanitasi yang layak menurun, tahun 2006 sebesar 82.9%; lalu menurun drastis menjadi 57.8% pada tahun 2010

%93.72006

%93.62010

TENAGA KERJA

Rumah tangga yang dikepalai perempuan dari kelompok pendapatan terendah, meningkat dari 2.5% pada tahun 2006 menjadi 3.1% pada tahun 2010.

Sementara pada kelompok pendapatan tertinggi tidak terdapat perbedaan yang signifikan, yaitu 4.1% di tahun 2006 dan 4.2% di tahun 2010

Penutup Jika mengamati ilustrasi data diatas, dapatlah terlihat bahwa pembangunan belum menyentuh semua warga laki-laki dan perempuan secara merata; belum memenuhi prinsip 4E yang dicanangkan pemerintah, yaitu effective, efficient, equality dan equity. Perbedaan angka capaian pembangunan yang dirasakan oleh warga laki-laki dan warga perempuan inilah yang perlu dijawab dan diatasi oleh pemerintah daerah, dengan mulai melakukan perencanaan pembangunan yang responsif gender, termasuk melengkapi dokumen RKA dengan GBS, sehingga nantinya angka capaian pembangunan laki-laki dan perempuan di Provinsi Sulawesi Utara bisa terus meningkat dan akhirnya setara.

IPM meningkat 73.4

76.092010

2005

IDG

Sumber: Susenas 2011 (diolah)

(Sumber: BPS bekerjasama

dengan Kemeneg PP&PA)

(Sumber: Kemeneg PP&PA)

Prosentase Angka Melek Huruf (AMH) laki-laki dan perempuan hampir seimbang, dengan perempuan lebih rendah 0.49% dari laki-laki.

Di Provinsi Sulawesi Utara,

jumlah penduduk laki-laki lebih banyak

dari perempuan

Sumber: Susenas (diolah)

1110

.69

1159

.9

Perbedaan terbesar terjadi pada tahun 2010

dengan selisih 49.21 dan terkecil

pada tahun 2006 dengan selisih 22.48

Sumber: Sulawesi Utara Dalam Angka 2011

Jumlah pencari kerja sangat berfluktuasi, dengan perbedaan signifikan pada

tahun 2010, dimana jumlah pencari kerja laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Sementara pada tahun 2007, jumlah pencari kerja perempuan lebih besar dari laki-laki,

dengan selisih 85 orang; dan pada tahun 2005 jumlah pencari kerja laki-laki dan perempuan

sama yaitu sebesar 27.302 orang.

TENAGA KERJA PEREMPUAN PALING BESAR

TERSERAP PADA SEKTOR :

Sementara tenaga kerja laki-laki paling besar terserap pada sektor pertanian

Sementara itu, rata-rata lama sekolah di Prov. Sulawesi

Utara lebih tinggi dari angka nasional; dengan angka yang

(hampir) sama antara laki-laki dan perempuan

Bolaang Mongondow menempati urutan teratas, sebanyak 12 kasus; Sangihe dengan 10 kasus dan Kotamobagu 9 kasus.

Kasus terendah terdapat di Bolmut, Sitaro dan Minahasa, sebanyak masing-masing 1 kasus pada tahun yang sama.

Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap fasilitas listrik hampir sama

IPG meningkat 64.1

67.972010

2005

Indeks Pemberdayaan

Gender (IDG) menunjukkan

perbaikan selama periode

2005-2010, dan berada

diatas rata-rata nasional.

IDG meningkat

62.7

71.052010

2005

IDG Nasional meningkat

62.7

71.052010

2005

296.850 orang

Sumber: Sulawesi Utara Dalam Angka 2011

83 .51%

3 .84%9

82.9%

4 .06%

2010 2009

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya setengah dari laki-laki, yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran terbukanya.

124.332 orang

44

9.964

orang

Selisih jumlah perempuan usia produktif yang

bekerja, jauh lebih besar dari laki-laki

(Sumber: BPS bekerjasama dengan Kemeneg PP&PA)

Belanja program Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA) menurut klasifikasi ekonomi sangat berfluktuasi.Di tingkat provinsi, belanja urusan PP&PA baru ada pada tahun 2008 dengan dominasi belanja pegawai; sementara tahun 2009 belanja urusan PP&PA didominasi dengan belanja barang dan jasa. Di tingkat kabupaten/kota, belanja urusan PP&PA sudah ada sejak 2007 dan didominasi dengan belanja pegawai (2007-2009).Sementara itu belanja urusan Keluarga Berencana (KB) di tingkat provinsi didominasi dengan belanja barang dan jasa; sementara di tingkat kab/kota didominasi dengan belanja pegawai.

Sumber: APBD Prov. Dan Kab/Kota Sulawesi Utara 2007 – 2010 (diolah)

Belanja Program Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (sebagai contoh):

2006

1159

.9

1110

.69

2010

1091

.56

1069

.08

1.424 orang

Page 29: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

27 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

GENDER DAN KEUANGAN PUBLIK

Itu adalah beberapa pertanyaan yang muncul, ketika topik gender dibicarakan dalam berbagai workshop dan pertemuan persiapan penulisan Public Expenditure Analysis (PEA) atau

Analisa Keuangan Publik. PEA adalah bagian dari Program PEACH yang dilakukan Bank Dunia dan didukung oleh CIDA, AusAID, dan Yayasan BaKTI. Topik gender, memang merupakan hal yang baru bagi sebagian orang, apalagi bila dihubungkan dengan pengelolaan keuangan publik. Mendengar kata 'gender', orang biasanya akan berasumsi 'perempuan'. Padahal ada laki-laki dan perempuan dalam makna kata gender. Program pemberdayaan gender merupakan program yang membantu semua warga, laki-laki dan perempuan, yang mengalami ketidakadilan dalam menikmati fasilitas atau program dari pemerintah daerah. Gender pun bukan merupakan sarana pembangkangan perempuan dari kodrat atau peran sosialnya. Pemberdayaan gender semestinya dipahami sebagai upaya bersama untuk menciptakan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan yang bisa dirasakan oleh perempuan dan laki-laki dalam suatu wilayah. Berbicara soal belanja daerah, kita bicara bagaimana anggaran yang dibelanjakan bisa dirasakan manfaatnya, baik oleh warga laki-laki maupun warga perempuan secara merata. Hal ini dapat tercermin dari program-program yang direncanakan dan realisasi pelaksanaan program tersebut dalam tahun berjalan.

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN TERKAIT PERENCANAAN PEMBANGUNAN RESPONSIF GENDER

Program responsif gender bukan hanya tanggung jawab satu unit pemerintah saja, seperti Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA), tetapi merupakan tanggung jawab semua unit kerja yang ada di pemerintahan daerah, mulai dari Bappeda, Inspektorat, BPKD serta Badan PP&PA, hingga seluruh SKPD yang ada di daerah tersebut.

Merencanakan program responsif gender, tidak berarti harus ada penambahan anggaran. Dalam membuat

program responsif gender, yang perlu dilakukan adalah memastikan data pendukung program adalah data terpilah, serta memast ikan lak i- lak i dan perempuan dikenal i dan

dipertimbangkan kebutuhannya dalam penentuan tujuan kegiatan, output (keluaran) dan outcome (dampak kegiatan). Bukan menambah anggaran.

Landasan Hukum Sejak tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang di antaranya adalah mewajibkan kementerian dan lembaga untuk mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. Inpres ini kemudian diperkuat dengan berbagai peraturan, mulai dari UU no. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, PerPres. No. 5/2010 tentang RPJMN 2010 – 2014, hingga rangkaian Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, mulai dari PMK No. 104/2010 untuk tahun anggaran 2011, PMK No. 93/2011 untuk tahun anggaran 2012, hingga PMK No. 112/2012 untuk tahun anggaran 2013. Sementara untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah, pemerintah telah mengeluarkan Permendagri No. 67 Tahun 2011, yang merupakan perubahan atas peraturan menteri dalam negeri nomor 15 tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah. Permendagri ini diantaranya mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender, yang dituangkan dalam RPJMD, Rencara Strategis SKPD dan Rencana Kerja SKPD. Selain itu, menjabarkan tata cara pelaksanaan perencanaan responsif gender, dengan mengenalkan metode alur kerja analisis gender (Gender Analysis Pathway), selain juga metode analisis lain, yang hasilnya digunakan untuk menyusun Gender Budget Statement (GBS). GBS ini merupakan dokumen resmi perencanaan dan penganggaran yang menjadi bagian tak terpisahkan dengan dokumen RKA/DPA SKPD. Namun kenyataannya, konsep gender dan tata laksana pengelolaan anggaran yang responsif gender masih asing di telinga banyak orang, termasuk mereka yang memiliki wewenang untuk membuat perencanaan dan penganggaran belanja publik.

“Gender dan keuangan publik? Apa hubungannya?” “Mengapa hanya nasib perempuan yang diperjuangkan? Bagaimana dengan laki-laki?”“Perempuan kan kodratnya mengurus rumah tangga…”

1

2

Pengantar

SULAWESI UTARA

AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92 28

60

.706

orangSEK

TOR PERTA

NIA

N

100

.451 orang

PERDA

GA

NG

AN

BESAR,

ECERA

N, RU

MA

H M

AK

AN

DA

N H

OT

EL

92.494

orangSEK

TOR JA

SA

ILUSTRASI KONDISI DI PROVINSI SULAWESI UTARA

INFRASTRUKTUR DASAR

KESEHATAN

IPM/IPG

Contact Person: Guntur P. Sutiono, Email: [email protected]

PENDIDIKAN

KEMISKINAN

Jumlah rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan bertambahdalam kurun waktu 5 tahun (2006 – 2010).

Jumlah kematian Ibu pada tahun 2011 di tingkat kabupaten/kota bervariasi.

Indeks Pembangunan Gender (IPG) mengalami peningkatan, namun masih berada dibawahIndeks PembangunanManusia (IPM)

Angka Partisipasi Murni (APM) laki-laki sedikit lebih tinggi dari perempuan pada tingkat SD, namun berbalik pada tingkat SMU, menjadi lebih rendah dari perempuan.

Sumber: Dinas Kesehatan Sulawesi Utara

8.8

8.7

Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap sanitasi dan air bersih mengalami penurunan.

Akses terhadap fasilitas air bersih menurun

%63,6

%72,32006

2010

Akses terhadap sanitasi yang layak menurun, tahun 2006 sebesar 82.9%; lalu menurun drastis menjadi 57.8% pada tahun 2010

%93.72006

%93.62010

TENAGA KERJA

Rumah tangga yang dikepalai perempuan dari kelompok pendapatan terendah, meningkat dari 2.5% pada tahun 2006 menjadi 3.1% pada tahun 2010.

Sementara pada kelompok pendapatan tertinggi tidak terdapat perbedaan yang signifikan, yaitu 4.1% di tahun 2006 dan 4.2% di tahun 2010

Penutup Jika mengamati ilustrasi data diatas, dapatlah terlihat bahwa pembangunan belum menyentuh semua warga laki-laki dan perempuan secara merata; belum memenuhi prinsip 4E yang dicanangkan pemerintah, yaitu effective, efficient, equality dan equity. Perbedaan angka capaian pembangunan yang dirasakan oleh warga laki-laki dan warga perempuan inilah yang perlu dijawab dan diatasi oleh pemerintah daerah, dengan mulai melakukan perencanaan pembangunan yang responsif gender, termasuk melengkapi dokumen RKA dengan GBS, sehingga nantinya angka capaian pembangunan laki-laki dan perempuan di Provinsi Sulawesi Utara bisa terus meningkat dan akhirnya setara.

IPM meningkat 73.4

76.092010

2005

IDG

Sumber: Susenas 2011 (diolah)

(Sumber: BPS bekerjasama

dengan Kemeneg PP&PA)

(Sumber: Kemeneg PP&PA)

Prosentase Angka Melek Huruf (AMH) laki-laki dan perempuan hampir seimbang, dengan perempuan lebih rendah 0.49% dari laki-laki.

Di Provinsi Sulawesi Utara,

jumlah penduduk laki-laki lebih banyak

dari perempuan

Sumber: Susenas (diolah)

1110

.69

1159

.9

Perbedaan terbesar terjadi pada tahun 2010

dengan selisih 49.21 dan terkecil

pada tahun 2006 dengan selisih 22.48

Sumber: Sulawesi Utara Dalam Angka 2011

Jumlah pencari kerja sangat berfluktuasi, dengan perbedaan signifikan pada

tahun 2010, dimana jumlah pencari kerja laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Sementara pada tahun 2007, jumlah pencari kerja perempuan lebih besar dari laki-laki,

dengan selisih 85 orang; dan pada tahun 2005 jumlah pencari kerja laki-laki dan perempuan

sama yaitu sebesar 27.302 orang.

TENAGA KERJA PEREMPUAN PALING BESAR

TERSERAP PADA SEKTOR :

Sementara tenaga kerja laki-laki paling besar terserap pada sektor pertanian

Sementara itu, rata-rata lama sekolah di Prov. Sulawesi

Utara lebih tinggi dari angka nasional; dengan angka yang

(hampir) sama antara laki-laki dan perempuan

Bolaang Mongondow menempati urutan teratas, sebanyak 12 kasus; Sangihe dengan 10 kasus dan Kotamobagu 9 kasus.

Kasus terendah terdapat di Bolmut, Sitaro dan Minahasa, sebanyak masing-masing 1 kasus pada tahun yang sama.

Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap fasilitas listrik hampir sama

IPG meningkat 64.1

67.972010

2005

Indeks Pemberdayaan

Gender (IDG) menunjukkan

perbaikan selama periode

2005-2010, dan berada

diatas rata-rata nasional.

IDG meningkat

62.7

71.052010

2005

IDG Nasional meningkat

62.7

71.052010

2005

296.850 orang

Sumber: Sulawesi Utara Dalam Angka 2011

83 .51%

3 .84%9

82.9%

4 .06%

2010 2009

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya setengah dari laki-laki, yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran terbukanya.

124.332 orang

44

9.964

orang

Selisih jumlah perempuan usia produktif yang

bekerja, jauh lebih besar dari laki-laki

(Sumber: BPS bekerjasama dengan Kemeneg PP&PA)

Belanja program Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA) menurut klasifikasi ekonomi sangat berfluktuasi.Di tingkat provinsi, belanja urusan PP&PA baru ada pada tahun 2008 dengan dominasi belanja pegawai; sementara tahun 2009 belanja urusan PP&PA didominasi dengan belanja barang dan jasa. Di tingkat kabupaten/kota, belanja urusan PP&PA sudah ada sejak 2007 dan didominasi dengan belanja pegawai (2007-2009).Sementara itu belanja urusan Keluarga Berencana (KB) di tingkat provinsi didominasi dengan belanja barang dan jasa; sementara di tingkat kab/kota didominasi dengan belanja pegawai.

Sumber: APBD Prov. Dan Kab/Kota Sulawesi Utara 2007 – 2010 (diolah)

Belanja Program Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (sebagai contoh):

2006

1159

.9

1110

.69

2010

1091

.56

1069

.08

1.424 orang

Page 30: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

29 30

KEGIATAN DI BaKTI

Please see the country-specific webpages for eligibility criteria, application procedure, deadlines, and contact information specific to your country. If you fulfill the eligibility requirements, contact the Swiss diplomatic representation in your country of origin. The diplomatic representation will provide you with all the necessary information regarding the procedure including application forms and a list of required documentation.

The application deadline falls between the end of October and early November 2013, depending on the Swiss Embassy to which the applications have to be submitted.

It is important to visit the official website (link found below) for detailed information on how to apply for this scholarship.

Swiss Government Excellence Scholarships for Foreign Students

Swiss Government PhD/Postdoctoral Degree

OPP

OR

TU

NIT

IES

Brief description:

The Swiss Government, through the Federal Commission for Scholarships for Foreign Students (FCS), awards various postgraduate scholarships to foreign scholars and researchers: University scholarships (Swiss universities, Federal Institutes of Technology as well as Universities of Applied Sciences) and Arts scholarships (schools of music and fine arts, only for a limited number of countries).

These scholarships provide graduates from all fields with the opportunity to pursue doctoral or postdoctoral research in Switzerland at one of the public funded university or recognized institution.

Host Institution(s):

Any of the ten (10) Swiss Public Universities, the two (2) Swiss Federal Institutes of Technology, the public teaching and research institutes and the Universities of applied sciences

Field of study:All academic fields

Scholarships are open to: Afghanistan, Albania, Algeria, Angola, Argentina, Antigua & Barbuda, Argentina, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Belarus, Belgium, Benin, Bolivia, Bosnia and Herzegovina, Botswana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi, Cambodia, Cameroon, Cape Verde, Central African Republic, Chad, Chile, China, Columbia, Comoros, Cook Islands, Costa Rica, Côte d’Ivoire, Croatia, Cuba, Cyprus, Czech Republic, Democratic Republic of Korea, Democratic Republic of Congo, Denmark, Dijibouti, Dominica, Dominican Republic, Ecuador, Egypt, El Salvador, Equatorial Guinea, Eritrea, Estonia, Ethiopia, Fiji, Finland, Gabon, Gambia, Georgia, Germany, Ghana, Greece, Guatemala, Guinea, Guinea-Bissau, Honduras, Hungary, India, Indonesia, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Jordan, Kazakshtan, Kenya, Kiribati, Kosovo, Kuwait, Kyrgyzstan, Laos, Latvia, Lebanon, Lesotho, Liberia, Libya, Lithuania, Macedonia, Madagascar, Malaysia, Mali, Marshall Islands, Mauritania, Mauritius, Morocco, Mexico, Micronesia, Moldova, Mongolia, Montenegro, Mozambique, Myanmar, Namibia, Nauru, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Niger, Nigeria, Oman, Pakistan, Palau, Palestinian Authority, Panama, Papua New Guinea, Peru, Philippines, Poland, Portugal, Qatar, Republic of Korea, Romania, Russia, Rwanda, Samoa, Sao Tome & Principe, Saudi

Deadline: varies, around Oct-Nov

Study in: Switzerland

Course starts 2014

Scholarship value/inclusions:

The scholarship covers the following:• Monthly payment of 1920 Swiss Francs for PhD

studies/research or 3,500 Swiss Francs for postdoctoral research

• Exemption of the tuition fees (except for EPFL)• Mandatory Swiss Health insurance paid by the FCS (for non-

European grantees only)• A lump sum for air fare for non-European grantees (provided at

the end of the scholarship)• Special 300 Swiss Francs lodging allowance (paid once at the

beginning of the scholarship)• 1 year half-fare public transportation card• Counseling and various trips, dinners and sigh seeing tours

organized for Swiss Government Scholarship holders

General Eligibility Criteria:• First class Master degree or equivalent University degree if

applying for PhD studies/research or a First Class Doctoral Degree if applying for a Postdoctoral research.

• For PhD studies/research, the candidate should not be more than 35 years old at the moment of the application. For postdoctoral research, there should not be a gap of more than 5 years between the award of the PhD and the application deadline.

• Applicants should be residing in their home country at the moment of the application. Applicants who are in Switzerland since more than 1 year are not eligible

• Applicants must provide a letter (e-mail) from a Professor from the Swiss host institution stating that he/she is willing to supervise the Research, PhD, or the Postdoctoral reasearch. For PhD studies, applicants must apply to the chosen Swiss University as well as for the scholarship.

• Applicants must have a research proposal including a timeframe (this is the central piece of the application. The applicant must devote all required attention to it)

• Applicants must be in command of the necessary language skills required for the Research, PhD Studies or the Postdoctoral research.

Application instructions:

Official Scholarship Website: http://www.sbfi.admin.ch/themen/01366/01380/01715/index.html?lang=en

Website:

Arabia, Senegal, Serbia, Seychelles, Sierra Leone, Singapore, Slovakia, Slovenia, Somalia, South Africa, Spain, Sri Lanka, St. Kitts & Nevis, Sudan, Sudan South, Swaziland, Tajikistan, Tanzania, Thailand, Togo, Tonga, Tunisia, Turkey, Turkmenistan, Tuvalu, Uganda, Ukraine, United Arab Emirates, Uruguay, USA, Uzbekistan, Vanuatu, Venezuela, Vietnam, and Yemen.

23 Agustus 2013Inspirasi BaKTISharing Praktik Cerdas JICA PRIMA Kesehatan Fase 2

Inspirasi BaKTI kali ini, BaKTI bekerjasama dengan JICA PRIMA Kesehatan mengadakan d i s k u s i y a n g m e n g a n g k a t t e m a

“Meningkatkan Kesehatan Masyarakat oleh Masyarakat dengan Dukungan Pemerintah dan Optimalisasi Sumber Daya yang ada”, yang bertempat di ruang pertemuan BaKTI Makassar. Dua (2) orang narasumber yakni Bapak Musran A. Muchsin dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa dan Kelurahan provinsi Sulawesi Selatan dan dr.Abdul Asis, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo hadir memberikan presentasi tentang pelaksanaan program dan dampaknya bagi masyarakat. Kedua narasumber dalam presentasinya juga menjelaskan mengenai mitra-mitra yang terlibat, pendekatan yang digunakan, penganggaran dan perluasan lokasi program. Saat ini JICA sedang dalam proses membicarakan strategi perluasan program ini bersama Pemerintah Provinsi. Dalam pertemuan ini juga beberapa kabupaten, seperti Kab. Bone dan Pangkep menunjukkan antusiasme yang besar untuk ingin mengadopsi program ini dengan kunjungan lapangan langsung ke Kab. Wajo (wilayah kerja Prima Kesehatan), yang disambut baik oleh Prima Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Kab. Wajo. Sebanyak 54 orang hadir dalam diskusi ini berasal dari pemerintah daerah, mitra pembangunan internasional, jurnalis dan LSM.

26 Agustus 2013Diseminasi Media untuk Kerjasama UNICEF Indonesia dengan Kaum Muda di Tanah Papua

NICEF Indonesia bekerjasama dengan UBaKTI melaksanakan kegiatan Diseminasi Media UNICEF bertajuk “Pelibatan Kaum

Muda di Tanah Papua”. Pada bulan Juni 2013, sebuah inisiatif telah berhasil dikembangkan, yaitu Kebijakan Pemuda Provinsi Papua (yang merupakan kebijakan pertama untuk jenis ini di Indonesia), yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi dengan dukungan dari UNICEF, setelah berbulan-bulan melakukan pengumpulan data generasi dengan seksama, yang termasuk diantaranya proses komprehensif dari partisipasi kaum muda. Ini merupakan hasil dari kerjasama pemerintah dan UNICEF dengan lembaga pemuda dan lembaga kemasyarakatan untuk menghasilkan bukti dan keterangan mengenai situasi kaum muda di Papua dan Papua Barat, termasuk didalamnya tantangan yang sedang dihadapi oleh provinsi mereka. Temuan-temuan ini membentuk dasar dalam pengembangan Advocacy Briefs: ‘Kebutuhan Adanya Kebijakan Pemuda di Papua’. Kegiatan ini diikuti oleh sejumlah media TV, Radio dan surat kabar cetak di Makassar serta staf BaKTI dan UNICEF.

ayasan Kelola menyelenggarakan pelatihan bagi kandidat peraih hibah program Komunitas Kreatif PNPM yang ada di Sulawesi YSelatan bertempat di Kantor BaKTI Makassar. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkuat proposal para kandidat dalam mengikuti proses seleksi kedua hibah Komunitas Kreatif yang bersifat kompetitif dan proposal yang lolos seleksi akan

mendapat hibah yang jumlahnya tidak melebihi 80 juta rupiah. Bapak Andi Indra, Koordinator Provinsi PNPM Mandiri Perdesaan Sulawesi Selatan hadir menjadi narasumber dan pelatihan ini difasilitasi oleh Luna Vidya dan Ashry Sallatu.

29 Agustus 2013Pelatihan penguatan kualitas proposal bagi kandidat peraih hibah program Komunitas Kreatif

AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Page 31: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

29 30

KEGIATAN DI BaKTI

Please see the country-specific webpages for eligibility criteria, application procedure, deadlines, and contact information specific to your country. If you fulfill the eligibility requirements, contact the Swiss diplomatic representation in your country of origin. The diplomatic representation will provide you with all the necessary information regarding the procedure including application forms and a list of required documentation.

The application deadline falls between the end of October and early November 2013, depending on the Swiss Embassy to which the applications have to be submitted.

It is important to visit the official website (link found below) for detailed information on how to apply for this scholarship.

Swiss Government Excellence Scholarships for Foreign Students

Swiss Government PhD/Postdoctoral Degree

OPP

OR

TU

NIT

IES

Brief description:

The Swiss Government, through the Federal Commission for Scholarships for Foreign Students (FCS), awards various postgraduate scholarships to foreign scholars and researchers: University scholarships (Swiss universities, Federal Institutes of Technology as well as Universities of Applied Sciences) and Arts scholarships (schools of music and fine arts, only for a limited number of countries).

These scholarships provide graduates from all fields with the opportunity to pursue doctoral or postdoctoral research in Switzerland at one of the public funded university or recognized institution.

Host Institution(s):

Any of the ten (10) Swiss Public Universities, the two (2) Swiss Federal Institutes of Technology, the public teaching and research institutes and the Universities of applied sciences

Field of study:All academic fields

Scholarships are open to: Afghanistan, Albania, Algeria, Angola, Argentina, Antigua & Barbuda, Argentina, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Belarus, Belgium, Benin, Bolivia, Bosnia and Herzegovina, Botswana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi, Cambodia, Cameroon, Cape Verde, Central African Republic, Chad, Chile, China, Columbia, Comoros, Cook Islands, Costa Rica, Côte d’Ivoire, Croatia, Cuba, Cyprus, Czech Republic, Democratic Republic of Korea, Democratic Republic of Congo, Denmark, Dijibouti, Dominica, Dominican Republic, Ecuador, Egypt, El Salvador, Equatorial Guinea, Eritrea, Estonia, Ethiopia, Fiji, Finland, Gabon, Gambia, Georgia, Germany, Ghana, Greece, Guatemala, Guinea, Guinea-Bissau, Honduras, Hungary, India, Indonesia, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Jordan, Kazakshtan, Kenya, Kiribati, Kosovo, Kuwait, Kyrgyzstan, Laos, Latvia, Lebanon, Lesotho, Liberia, Libya, Lithuania, Macedonia, Madagascar, Malaysia, Mali, Marshall Islands, Mauritania, Mauritius, Morocco, Mexico, Micronesia, Moldova, Mongolia, Montenegro, Mozambique, Myanmar, Namibia, Nauru, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Niger, Nigeria, Oman, Pakistan, Palau, Palestinian Authority, Panama, Papua New Guinea, Peru, Philippines, Poland, Portugal, Qatar, Republic of Korea, Romania, Russia, Rwanda, Samoa, Sao Tome & Principe, Saudi

Deadline: varies, around Oct-Nov

Study in: Switzerland

Course starts 2014

Scholarship value/inclusions:

The scholarship covers the following:• Monthly payment of 1920 Swiss Francs for PhD

studies/research or 3,500 Swiss Francs for postdoctoral research

• Exemption of the tuition fees (except for EPFL)• Mandatory Swiss Health insurance paid by the FCS (for non-

European grantees only)• A lump sum for air fare for non-European grantees (provided at

the end of the scholarship)• Special 300 Swiss Francs lodging allowance (paid once at the

beginning of the scholarship)• 1 year half-fare public transportation card• Counseling and various trips, dinners and sigh seeing tours

organized for Swiss Government Scholarship holders

General Eligibility Criteria:• First class Master degree or equivalent University degree if

applying for PhD studies/research or a First Class Doctoral Degree if applying for a Postdoctoral research.

• For PhD studies/research, the candidate should not be more than 35 years old at the moment of the application. For postdoctoral research, there should not be a gap of more than 5 years between the award of the PhD and the application deadline.

• Applicants should be residing in their home country at the moment of the application. Applicants who are in Switzerland since more than 1 year are not eligible

• Applicants must provide a letter (e-mail) from a Professor from the Swiss host institution stating that he/she is willing to supervise the Research, PhD, or the Postdoctoral reasearch. For PhD studies, applicants must apply to the chosen Swiss University as well as for the scholarship.

• Applicants must have a research proposal including a timeframe (this is the central piece of the application. The applicant must devote all required attention to it)

• Applicants must be in command of the necessary language skills required for the Research, PhD Studies or the Postdoctoral research.

Application instructions:

Official Scholarship Website: http://www.sbfi.admin.ch/themen/01366/01380/01715/index.html?lang=en

Website:

Arabia, Senegal, Serbia, Seychelles, Sierra Leone, Singapore, Slovakia, Slovenia, Somalia, South Africa, Spain, Sri Lanka, St. Kitts & Nevis, Sudan, Sudan South, Swaziland, Tajikistan, Tanzania, Thailand, Togo, Tonga, Tunisia, Turkey, Turkmenistan, Tuvalu, Uganda, Ukraine, United Arab Emirates, Uruguay, USA, Uzbekistan, Vanuatu, Venezuela, Vietnam, and Yemen.

23 Agustus 2013Inspirasi BaKTISharing Praktik Cerdas JICA PRIMA Kesehatan Fase 2

Inspirasi BaKTI kali ini, BaKTI bekerjasama dengan JICA PRIMA Kesehatan mengadakan d i s k u s i y a n g m e n g a n g k a t t e m a

“Meningkatkan Kesehatan Masyarakat oleh Masyarakat dengan Dukungan Pemerintah dan Optimalisasi Sumber Daya yang ada”, yang bertempat di ruang pertemuan BaKTI Makassar. Dua (2) orang narasumber yakni Bapak Musran A. Muchsin dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa dan Kelurahan provinsi Sulawesi Selatan dan dr.Abdul Asis, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo hadir memberikan presentasi tentang pelaksanaan program dan dampaknya bagi masyarakat. Kedua narasumber dalam presentasinya juga menjelaskan mengenai mitra-mitra yang terlibat, pendekatan yang digunakan, penganggaran dan perluasan lokasi program. Saat ini JICA sedang dalam proses membicarakan strategi perluasan program ini bersama Pemerintah Provinsi. Dalam pertemuan ini juga beberapa kabupaten, seperti Kab. Bone dan Pangkep menunjukkan antusiasme yang besar untuk ingin mengadopsi program ini dengan kunjungan lapangan langsung ke Kab. Wajo (wilayah kerja Prima Kesehatan), yang disambut baik oleh Prima Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Kab. Wajo. Sebanyak 54 orang hadir dalam diskusi ini berasal dari pemerintah daerah, mitra pembangunan internasional, jurnalis dan LSM.

26 Agustus 2013Diseminasi Media untuk Kerjasama UNICEF Indonesia dengan Kaum Muda di Tanah Papua

NICEF Indonesia bekerjasama dengan UBaKTI melaksanakan kegiatan Diseminasi Media UNICEF bertajuk “Pelibatan Kaum

Muda di Tanah Papua”. Pada bulan Juni 2013, sebuah inisiatif telah berhasil dikembangkan, yaitu Kebijakan Pemuda Provinsi Papua (yang merupakan kebijakan pertama untuk jenis ini di Indonesia), yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi dengan dukungan dari UNICEF, setelah berbulan-bulan melakukan pengumpulan data generasi dengan seksama, yang termasuk diantaranya proses komprehensif dari partisipasi kaum muda. Ini merupakan hasil dari kerjasama pemerintah dan UNICEF dengan lembaga pemuda dan lembaga kemasyarakatan untuk menghasilkan bukti dan keterangan mengenai situasi kaum muda di Papua dan Papua Barat, termasuk didalamnya tantangan yang sedang dihadapi oleh provinsi mereka. Temuan-temuan ini membentuk dasar dalam pengembangan Advocacy Briefs: ‘Kebutuhan Adanya Kebijakan Pemuda di Papua’. Kegiatan ini diikuti oleh sejumlah media TV, Radio dan surat kabar cetak di Makassar serta staf BaKTI dan UNICEF.

ayasan Kelola menyelenggarakan pelatihan bagi kandidat peraih hibah program Komunitas Kreatif PNPM yang ada di Sulawesi YSelatan bertempat di Kantor BaKTI Makassar. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkuat proposal para kandidat dalam mengikuti proses seleksi kedua hibah Komunitas Kreatif yang bersifat kompetitif dan proposal yang lolos seleksi akan

mendapat hibah yang jumlahnya tidak melebihi 80 juta rupiah. Bapak Andi Indra, Koordinator Provinsi PNPM Mandiri Perdesaan Sulawesi Selatan hadir menjadi narasumber dan pelatihan ini difasilitasi oleh Luna Vidya dan Ashry Sallatu.

29 Agustus 2013Pelatihan penguatan kualitas proposal bagi kandidat peraih hibah program Komunitas Kreatif

AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92 AGUSTUS - SEPTEMBER 2013News Edisi 92

Page 32: BaKTINews Edisi 92_FINAL EDIT.cdr - Yayasan BaKTI

Menakar Limbah Kota

Sustainable and Renewable Energy; Innovation 3 PTN dan Aplikasinya pada CSR Perusahaan

Warga Bicara Media: Sepuluh Cerita

Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa STIKES Mega Rezky

Makassar di Tempat Pembuangan Sampah Akhir Tamangapa, Makassar. Buku ini mengurai sejarah awal

berdirinya TPA Tamangapa, dinamika kehidupan orang-orang yang bertautan dengan TPA ini baik dari segi

ekonomi, pendidikan, kesehatan hingga proses pengelolaan sampah.

Inovasi yang dilakukan oleh tiga Perguruan TInggi Negeri terkemuka di Indonesia yaitu ITB, ITS dan UGM mengenai energy terbaharukan sebagai riset unggulan dibidangnnya, dicermati dalam buku ini. Dalam buku ini dijabarkan mengenai pemetaan dan informasi perkembangan inovasi energy terbaharukan yang disajikan dari Negara lain yang diharapkan mampu menginspirasi akademisi untuk berkarya lebih strategis.

Sepuluh cerita hasil penelitian yang dilakukan oleh sepuluh lembaga peserta pelatihan Critical Research Methodology yang dilaksanakan bersama dengan CIPG dan HIVOS terangkum dalam buku ini. Kesepuluh cerita merupakan hasil capacity building kesepuluh lembaga tersebut. Topik bahasan diantaranya adalah media dan masyarakat, media dan masyarakat terpinggirkan serta jurnalisme dan media baru.

The Power of Literacy; Women’s Journey in India, Indonesia, Philippines and Papua New Guine

Melek huruf adalah hak asasi manusia dan merupakan langkah penting dalam proses belajar seumur hidup manusia. Saat in sebanyak 793 juta anak muda dan dewasa tidak dapat membaca. Angka ini didalamnya termasuk kaum perempuan. Dalam buku ini dipaparkan hasil kajian tentang wacana melek huruf kaitannya dengan pemberdayaan perempuan. Rangkaian rekomendasi juga terdapat dalam buku ini yang membahas mengenai tantangan, pilihan kebijakan, strategi dan agenda untuk mengejar angka melek huruf perempuan.

INFO BUKU

Penerbit

ITS bekerjasama dengan Dwitama Ukrindo

Buku-buku tersebut diatas tersedia di Perpustakaan BaKTI.Perpustakaan BaKTI berada di Kantor BaKTI Jl. H.A. Mappanyukki No. 32, Makassar Fasilitas ini terbuka untuk umum setiap hari kerja mulai dari jam 08:00 – 17:00.

Penulis

Badan Eksekutif Mahasiswa STIKES Mega Rezky Makassar

Terima kasih kepada Badan Eksekutif Mahasiswa STIKES Mega Rezky Makassar, CIPG Hivos atas sumbangan buku-bukunya untuk perpustakaan BaKTI.

PenerbitCIPG dan HIVOS

ISBN

979-499-309-3

Deskripsi Fisik

ix+67 hlm; 14.8 x 21 cm

ISBN

978-979-9020-41-3

Deskripsi fisik

170 Hal, 22 x 17 cm

Penerbit

ASPBAEEditor

Mae Buenaventura

Deskripsi Fisik

108 Hal,23 x 17 cm