BAHAYA BERITA BOHONG: PANDANGAN UMAT BUDDHA DI VIHARA AVALOKITESVARA PONDOK CABE TERHADAP BERITA BOHONG (HOAX) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Afrida Purwanti NIM: 11140321000003 PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M
112
Embed
BAHAYA BERITA BOHONG: PANDANGAN UMAT BUDDHA DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48105/1/SKRIPSI... · Penelitian ini membahas tentang bahaya berita bohong (hoax)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAHAYA BERITA BOHONG:
PANDANGAN UMAT BUDDHA DI VIHARA AVALOKITESVARA
PONDOK CABE TERHADAP BERITA BOHONG (HOAX)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Sebagai Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Afrida Purwanti
NIM: 11140321000003
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Afrida Purwanti
Judul Skripsi: "Bahaya berita bohong: Pandangan umat Buddha di Vihara
Avalokitesvara Pondok Cabe terhadap berita bohong (hoax)"
Penelitian ini membahas tentang bahaya berita bohong (hoax) menurut
umat Buddha di Vihara Avalokitesvara Pondok Cabe. Maraknya penyebaran hoax
akhir-akhir ini sangat berdampak terhadap keharmonisan hubungan antar sesama
masyarakat dan sesama umat beragama. Dampak dari penyebaran hoax tersebut
menyebabkan banyaknya perpecahan dan rusaknya hubungan antar sesama umat
beragama. Selain itu maraknya penyebaran hoax saat ini sangat dikecam oleh
berbagai lapisan masyarakat dan juga pemerintah.
Konsentrasi penelitian ini adalah mengenai bagaimana pandangan umat
Buddha terhadap maraknya berita hoax, dan bagaimana peran serta harapan umat
Buddha sendiri kedepannya dalam menyikapi maraknya penyebaran hoax saat ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskripsi kualitatif dengan
menggunakan pendekatan sosiologis dan teologis.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa umat Buddha tidak
mentolerir terhadap para pelaku penyebar hoax atas berita-berita bohong yang
mereka sebar luaskan. Sebagian jemaat menganggap suatu informasi harus diteliti
terlebih dahulu kebenarannya sesuai dengan ajaran Buddha yaitu ehipassiko
dengan datang dan melihat langsung suatu berita dengan mata kepala sendiri agar
jelas bahwa informasi tersebut benar atau palsu, dan sebagian yang lain langsung
menghapus dan mengabaikan berita tersebut. Mereka berharap semua umat
beragama terutama umat Buddha untuk menerapkan semua ajaran yang diajarkan
oleh Sang Buddha terutama bagaimana berkata dengan benar (samavaca),
bagaimana menjauhi perkataan-perkataan bohong (mussavada) dan yang paling
penting bagaimana merespon suatu berita yang diterima dengan menerapkan
ajaran ehipassiko. Serta, mereka berharap agar para pelaku penyebar hoax dapat
dihukum sesuai aturan yang berlaku di Indonesia dan pemerintah dapat
meminimalisir ruang gerak bagi para pelaku penyebar hoax.
Kata Kunci: Bahaya, Hoax, Pandangan
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Ahamdulilah segala puji dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, Dia lah yang telah melimpahkan nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat
sehat. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag). Dalam bidang Studi Agama-agama
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rangkaian shalawat dan salam terhatur kepada Rasullah SAW putra
padang pasir, reformis Islam sedunia, insan pilihan Allah SWT, pembebas umat
manusia dan alam semesta dari segala bentuk penindasan dan kezaliman. Beliau
juga insan teladan sejati bagi umatnya.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak
pihak yang senantiasa membimbing dan membantu serta tulus dengan sepenuh
hati meluangkan waktunya dalam memberikan kritik, saran dan inspirasi hingga
selesai dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak tersebut khususnya kepada:
1. Terkhusus untuk kedua orang tuaku di Surga, semoga kalian berbahagia atas
sedikit pencapaianku ini, terimakasih telah melahirkanku, merawatku dan
menyayangiku di waktu kecilku. Aku sangat merindukan kalian.
Terimakasih kepada orang tuaku ibu Ermawati tercinta yang tiada henti
memberikan motivasi yang begitu kuat serta doa yang tidak pernah putus
sepanjang masa untuk keberhasilan penulis, semoga Allah selalu
menyayangimu di dunia maupun akhirat. Terimakasih untuk kakakku
tersayang Yunita Sastra dan Emi Kurnia serta adikku tercinta Muhammad
vi
Qadri. Skripsi ini aku persembahkan untuk kalian, untuk kalian yang selalu
memberikan support yang tiada henti untuk perjuanganku ini. I love you☺
2. Syaiful Azmi, S.Ag, MA selaku pembimbing skripsi dan selaku Ketua Jurusan
Studi Agama-Agama yang memberikan arahan dengan sabar dalam
membimbing penulis. Beliau yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga,
fikiran dan memberikan motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Lisfa Sentosa Aisyah, MA, selaku sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kepada seluruh dosen Fakultas
Ushuluddin, para Staf Akademik Fakultas Ushuluddin khusus dengan kak
Jamil, dan para Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin.
4. Terimakasih kepada bapak Drs. Mukhlis Syu'ib yang selalu memberikan
support kepada saya, serta kepada bibi ku Nando dan bapak Zamris Syamsu.
5. Teruntuk Bhiksu Silagutto, Biksuni Santi, kak Maya dan seluruh teman-teman
di Vihara Avalokitesvara Pondok Cabe yang telah banyak memberikan
sumber utama dalam penulisan skripsi ini.
6. Sahabat dan rekan seperjuangan tercinta yang tiada henti memberi motivasi
kepada penulis Siti Syifa Fauziah, Refi Yuliawati, Sri Hartini, Faizah Eferdy,
Rahayu Devani, Putri Nurhayati, Yulia Anjani, Fatimah Ratnasari, and finally
thank you very much for all your support and motivation. Especially thank
you very much for you, Alfito Rahman.☺
7. Terimakasih untuk keluargaku di Padang khususnya teman-teman di Putra
Bangsa Yayasan Budi Mulia.
vii
8. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama angkatan 2014 yang semoga
diberikan kemudahan dalam menyelesaikan tugas akhir.
9. Teman-teman KKN 124 BERDIKARI atas kerja samanya menyelesaikan
tugas-tugas KKN dengan baik.
10. Terimakasih banyak untuk seluruh pegawai Perpustakaan Utama yang telah
memberikan banyak bantuan, khususnya ruangan multimedia yang sangat
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, dari awal saya mengerjakan
proposal sampai akhirnya saya bisa menyelesaikan skripsi saya ini.
Terimakasih banyak☺
11. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal saya,
terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan. Menyadari atas
banyaknya kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu penulis berharap
kiranya skripsi ini dapat dikembangkan di kemudian hari dengan lebih baik.
Serta, Seluruh pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam proses penulisan skripsi ini hingga selesai, saya sayang kalian semua.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan pada umumnya untuk perkembangan ilmu
pengetahuan di tanah air. Atas semua sumbangsih dan informasi yang telah
diberikan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.
Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, 24 September 2019
Afrida Purwanti
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………...… i
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH…..……... iii
ABSTRAK…………………………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………… viii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian ............................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 11
BAB II HOAX
A. Apa Itu Hoax .......................................................................... 13
B. Tinjauan Umum Tentang Hoax ............................................ 16
26Petapa kecil. Seseorang yang dibawah umur 20 tahun tidak dapat di tahbiskan sebagai
bhikkhu, tetapi dapat di tahbiskan sebagai seorang samanera, untuk wanita, disebut Samaneri.
28
3000 m2. Vihara ini diresmikan pada tanggal 6 Januari 1985. Terlaksananya
peresmian ini selain berkat bhiksuni Jinakumari yang mempunyai cita-cita yang
tulus juga di bantu oleh para umat Buddha yang lainnya memberikan dorongan
baik berupa materi maupun immateri.
Sebelum dibangun Vihara, tempat ini merupakan tanah lapang yang
ditumbuhi oleh ilalang. Karena letaknya yang cukup strategis, maka kemudian
didirikanlah Vihara dengan tujuan agar umat Buddha khususnya yang tinggal di
wilayah Pondok Cabe dan sekitarnya dapat beribadah secara berjamaah.
Vihara Avalokitesvara sekarang ini sudah lebih berkembang, terbukti
dengan didirikannya Vihara Dewi Kwam In di sebelah kanan Vihara
Avalokitesvara. Proses pembangunan Vihara Dewi Kwam In ini memakan waktu
sekitar satu tahun dan diresmikan pada tanggal 17 Januari 2003. Vihara
Avalokitesvara terletak di Jl. Cabe Raya Rt. 002/ Rw. 09 Desa Pondok Cabe
Udik, Jakarta Selatan, lokasinya terketak di depan Universitas Terbuka (UT).
Vihara Avalokitesvara luasnya 1500 m2 yang terdiri dari dua lantai. Lantai
satu terdapat ruang utama, garasi, perpustakaan, kantor danbagian kanan terdapat
kamar-kamar. Sedangkan dilantai atas terdapat ruang belajar untuk anak-anak,
kamar untuk anak, dan dibagian belakang terdapat dapur.27
Vihara Dewi Kwam Im, vihara ini merupakan bagian dari Vihara
Avalokitesvara dengan luas 1320 m2 yang terdiri dari ruang inti yang didalamnya
terdapat patung-patung dewa yaitu: Dewa Pelindung Dharma, Dewa Buddha
Amitabha, dan Dewa Cinta Kasih. Bagian belakang terdapat beberapa patung
Dewa lainnya, Dewa Rezeki, Dewa Tanah, Dewa Langit, Dewa Bumi, dan Dewa
27Wawancara pribadi dengan Bhiksuni Santi, Agustus 2018
29
Kwan Kong. Semua patung dewa-dewa tersebut di tempatkan dalam ruang kotak
yang berukuran 3x3 m2. Bagian luar Vihara terdapat patung Dewa Empat Muka
yang berasal dari Thailand, yang dimaksud dengan Dewa Empat Muka adalah
Dewa Rezeki, Jodoh, dan Dewa Keberuntungan.
B. Etika dalam Ajaran Agama Buddha
Agama Budha mandeskripsikan ajaran etikanya secara mendalam yang
lebih dikenal dengan istilah Sila. Sila merupakan ajaran utama yang harus
diaktualisasikan terlebih dahulu dari ajaran lain hingga tercapai tujuan
kesempurnaan manusia atau untuk mengelakkan dari berinkarnasi.28
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang berarti tempat
tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir.
Bentuk jamaknya adalah ta, etha, yang berarti adat istiadat.29Kata ethos dan
ethikoslebih berartikesusilaan, perasaan batinatau kecenderungan hati dengan
mana seseorangmelakukan suatu perbuatan. Dalam bahasa latin, istilah-istilah
ethos juga disebut dengan kata mos dan moralitas.30 Moral berasal dari kata latin
mos , atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan,
watak, tabiat, akhlak, cara hidup.
Menurut Bertens31 ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan sebagai
refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai- nilai dan norma-norma moral yang
baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya
28Mohd Abdulhalim, Etika Dalam Konghucu dan Budha (Riau: Skripsi UIN Riau, 2011),
h. 1. 29Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), h.
75. 30Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Buddhis Bodhi, 1997), h. 2. 31Prof. Dr. Kees Bertens adalah seorang rohaniwan dan tokoh etika Indonesia
30
dipraktikkan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu
apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan
sebagainya.32
Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,
yakni “ethic, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral
principle or value Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan, habit. Jadi dalam
pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan
kebiasaan masyarakat (pada saat itu).Istilah lain dari etika, yaitu moral, susila,
budi pekerti, akhlak.33
Menurut Webster Dictionary, secara etimologis, etika adalah suatu disiplin
ilmu yang menjelaskan sesuatu yang baik dan yang buruk, mana tugas atau
kewajiban moral, atau bisa juga mengenai kumpulan prinsip atau nilai moral.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika diartikansebagai
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak).34
Jadi dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa etika
merupakan nilai, mengenai nilai-nilai dannorma-normamoral yang menjadi
pegangan bagi suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.35
Menurut Verkyul, etika dalam bahasa Indonesia adalah kesusilaan. Kata
kesusilaan berasal dari kata su dan sila. Su berarti bagus baik. Sedangkan kata sila
yang berasal dari bahasa Sansekerta dan Pali yang digunakan dalam kebudayaan
32K. Bertenz, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 22. 33 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 17. 34Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 309.
35Wijayamukti, Wacana Buddha Dharma, H. 176.
31
Buddhis mempunyai arti norma, kaidah, peraturan hidup, perintah, sikap
keadaban, perilaku, sopan santun.36
Sila dalam buku-buku agama Buddha sering diterjemahkan sebagai moral
kebaikan atau perbuatan baik. Dalam agama Buddha, sila merupakan dasar utama
dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik
yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Prilaku-prilaku
dalam ajaran Buddha merupakan pantulan dari norma-norma yang harus ditaati.
Prilaku itu memperlihatkan dirinya melalui tiga pintu (kammaduarani), yaitu
jasmani, ucapan dan pikiran. Etika dalam ajaran Buddha merupakan peraturan
hidup umat Buddhis.37
Sila merupakan dasar atau fondasi yang utama dalam pengalaman ajaran
suatu agama, sehingga merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk
mencapai peningkatan batin yang luhur. Hal ini juga jelas tersirat dari syair sang
Buddha yang tercatat di berbagai sutta dalam kitab suci Tripitaka. Banyak
dijumpai sutta-sutta yang mengandung penjabaran tentang aturan moralitas,
meditasi dan kebijaksanaan, dalam bentuk tiga rangkaian latihan pada kitab suci
Tripitaka. Ketiga belas urutan pertama dari sutta-sutta di dalam kitab dighanikaya
adalah sutta yang membahas tentang aturan moralitas, meditasi dan kebijaksaaan.
Dari sutta-sutta tersebut terlihat bahwa aturan moralitas merupakan salah satu
bagian dasar dari ajaran agama Buddha yang sangat penting.
Budaya bangsa Indonesia mengenal istilah yang disebut etika yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai tata susila. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tata menunjukkan kaidah aturan dan susuan atau sistem. Su
36Rashid, Sila dan Vinaya ,h. 3.
37Mohd Abdulhalim, Etika dalam Konghucu dan Buddha (Pekanbaru: Skripsi Uin Riau,
2011), h. 33.
32
diartikan bagus baik dan sila adalah adab akhlak, moral. Sehingga susila berarti
budi bahasa yang baik dan adat istiadat. Sila secara luas dapat diartikam sebagai
aturan, etika moralitas yang telah disepakati dalam agama Buddha, sila
merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua
perilaku dan sifat-sifat baik.
Buddhaghosa dalam kitab Visuddhimagga menafsirkan sila sebagai
berikut: pertama, sila menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana). Kedua,
menunjukkan penghindaran (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika).
Ketiga. Menunjukkan pengendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan
tiada pelanggaran peraturan yang ditetapkan (avitikhama).
Ciri dari sila adalah ketertiban dan ketenangan. Fungsi dari sila adalah
mengahancurkan kelakuan yang salah dan menjaga seseorang agar tetap tidak
bersalah. Manifestasi (paccupatthana) dari sila adalah kesucian, baik dalam
perbuatan, ucapan atau pikiran. Sebab terdekat yang menimbulkan sila adalah
adanya tahu malu dan takut akan akibat perbuatan yang salah.38
Dalam ajaran agama Buddha dikenal empat kesunyataan/ kebenaran mulia
yang artinya ialah kebenaran mutlak yang berlaku bagi siapapun tanpa membeda-
bedakan suku, ras, budaya maupun agama. Empat kebenaran tersebut yaitu,
kebenaran tentang adanya dukkha, kebenaran tentang sebab dukkha, kebenaran
tentang lenyapnya dukkha dan kebenaran tentang jalan berakhirnya dukkha.
Dukkha merupakan istilah dalam bahasa Pali yang diartikan sebagai penderitaan,
ketidakpuasan, kesedihan, kemalangan dan keputusasaan. Menghentikan dukkha
38Wijayamukti, Wacana Buddha Dharma, h. 179-180.
33
dan terbebas dari penderitaan merupakan tujuan utama dalam ajaran agama
Buddha.
Jalan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu sila, semadi dan kebijaksanaan.
Ketiganya merupakan kelompok unsur-unsur dari jalan yang satu dan tidak
terpisahkan. Kedelapan faktor jalan tersebut dibagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok disiplin moral (silakkhandha) yang terdiri dari perkataan
benar, perbuatan benar dan pencaharian benar. Kedua, kelompok semadi
(samadhikkhandha) yang terdiri dari upaya benar, perhatian benar dan semadi
benar. Ketiga, kelompok kebijaksanaan (pannakkhandha) yang terdiri atas
pandangan benar dan kehendak benar.
Jalan berunsur delapan ini merupakan kendaraan yang menuntun kita
menuju pembebasan, melenyapkan penderitaan dan dukha. Kata dukha berasal
dari bahasa Pali yang diterjemahkan sebagai penderitaan. Dukkha juga disebut
suatu penyakit yang dalam bahasa pali dikenal "kilesa" yang artinya adalah
kotoran batin. Dalam agama Buddha melenyapkan dukkha bertujuan untuk
mencapai nirwana. Nirwana adalah surga yang dapat dicapai pada masa hidup dan
setelah kematian. Apabila pada masa hidup seseorang dapat menghilangkan maka
dia akan merasakan kenikmatan nirwana di dunia. Pedoman dasar untuk mencapai
nirwana adalah melaksanakan delapan jalan kemuliaan.
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa sila merupakan dasar utama dalam
pengamalan ajaran agama Buddha dan pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan-
pelatihan berbeda-beda sesuai dengan cara latihannya masing-masing. Oleh
karena itu, sudah selayaknya sila dipelajari agara dapat dihayati dan diamalkan
untuk dapat meraih kesejahteraan batiniah dan lahiriah dalam kehidupan sekarang
34
dan yang akan datang. Dalam pembahasan ini yang akan dibahas hanya dua dari
delapan jalan kesunyataan, yaitu berkata benar (samma vaca) dan larangan berkata
bohong (musavada).39
1. Anjuran Berkata Benar (Samma Vaca)
Ucapan adalah wujud dari pikiran atau pemikiran-pemikiran kita, sehingga
batas antara ucapan dan pikiran itu sangat kecil dan halus.Sang Buddha menyadari
hal tersebut, sehingga mengkhususkan ucapan sebagai sebuah poin
penting.40Bahkan dalam sutta-sutta, kata ucapan biasanya muncul sejajar dan
bersamaan dengan kata pikiran atau perbuatan.
Ucapan benar (samma vaca) terdiri dari dua kata, yaitu ucapan (vaca) dan
benar atau sejati (samma). Ucapan (vaca) yaitu ujaran atau kata yang
dilisankan/disebutkan. Benar/sejati (samma) memiliki arti yang lebih dalam
daripada sekedar benar, tapi juga mencakup keseluruhan, lengkap atau integral.
Suatu ucapan dikatakan benar apabila memenuhi kriteria berikut: Ucapan yang
menjauhi kebohongan, menghindari fitnah atau kata-kata untuk memecah belah
yang didasari kebencian, tidak mengandung kata-kata kasar, tidak melakukan
obrolan kosong yang tidak bermanfaat.
Dalam kitab umat Buddha, Sang Buddha banyak menjelaskan tentang
aturan-aturan moralitas kehidupan terutama di dalam kotbah-kotbah dan syair-
syairnya. Syair dalam Buddha lebih dikenal dengan dhammapada. Dhammapada
merupakan salah satu kitab suci Agama Buddha dari bagian Khuddaka Nikaya,
yang merupakan salah satu bagian dari Sutta Pitaka. Dhammapada terdiri dari 26
39 Bhikkhu Bodhi, Jalan Kebahagiaan Sejati, (Bandung: Karaniya, 2006), h. 19.
Faktor yang menentukan suatu perkataan dapat dianggap bohong adalah kehendak
untuk berbohong. Jika kita renungkan sejenak, perkataan tidak benar atau bohong
yang kita lakukan biasanya akan ditutupi lagi dengan kebohongan lainnya. Untuk
menyembunyikan kebohongan yang telah dibuat. Inilah yang disadari oleh Sang
Buddha, sehingga Beliau menyatakan tidak seharusnya seseorang melakukan
kebohongan sekalipun demi sebuah lelucon.46
“Aku akan meninggalkan dan menjauhkan diri dari ucapan bohong,
mengucapkan yang benar, ucapan sesuai kenyataan, ucapan yang dapat
dipercaya, ucapan yang dapat diandalkan, tidak berdusta kepada siapa pun.”
(Uposathasutta, AN VIII, 41).47
Musavada dalam pengertian yang lebih luas mencakup pisunavaca
(memfitnah), pharusavaca (berkata kasar), dan samphappalapa (bergunjing atau
membicarakan yang tidak berguna).48
Pinusavaca suatu istilah Pali yang terdiri dari dua kosakata, yaitu pisuna
dan vacca. Kata pisuna secara harfiah berarti menimbulkan perpecahan, pertikaian
dan pertengkaran, sedangkan kata vaca berarti ucapan atau perkataan. Jadi,
gabungan kedua kata tersebut berarti mengucapkan perkataan yang dapat
menimbulkan perpecahan, pertikaian, pertengkaran pada kedua belah pihak atau
orang yang sebelumnya hidup dalam kerukunan. Pisunavaca dapat juga diartikan
mengahasut atau memfitnah.
Ada ungkapan yang menyatakan, fitnah lebih kejam dari pada
pembunuhan. Fitnah dapat diartikan sebagai adu domba yang bertujuan untuk
menimbulkan perpecahan atau perselisihan. Fitnah sendiri merupakan tindakan
46Willy Yandi Wijaya, Ucapan Benar, h. 16. 47AN (dibaca) Anggutara Nikaya merupakan kutbah Sang Buddha 48Ronald Satya Surya, 5 Aturan Moralitas Buddhis, h. 60.
42
yang sangat kejam tanpa ada rasa belas kasihan. Pada umumnya motif dari fitnah
adalah kebencian, iri hati terhadap keberhasilan orang lain, dan niat untuk
mengahancurkan orang lain.
Dalam kitab-kitab Buddhis tercatat beberapa kasus fitnah terhadap pihak
yang tidak bersalah yang akhirnya menyebabkan kelahiran kembali di alam
sengsara. Sang Buddha pernah menyebutkan, kebalikan dari fitnah adalah
perkataan yang berasal dari fikiran penuh cinta kasih serta empati kepada sesama
sehingga memungkinkan timbulnya persahabatan dan keharmonisan. Kepercayaan
yang muncul merupakan tonggak penting untuk mengahapus rasa tidak percaya
dan khawatir terhadap orang lain. fitnah dapat terjadi apabila ada orang yang akan
difitnah, ada niat untuk memfitnah,ada usaha yang dilakukan untuk memfitnah,
dan ada orang yang percaya atau terpengaruh oleh fitnah tersebut.
Pharusavaca terdiri dari dua kata pharusa dan vaca. Secara harfiah
pharusa adalah kasar dan vaca berarti ucapan. Pharusavaca adalah ucapan yang
kasar yang membuat orang lain menjadi sakit hati, kesal atau marah. Kata-kata
kasar biasanya diucapkan ketika sedang marah, yang bertujuan untuk menyakiti
pendengarnya yang membuat orang sakit hati, kesal dan tersinggung. Tetapi hal
ini lah yang dapat menimbulkan kondisi-kondisi negatif yang dapat merugikan
kedua belah pihak. Kunci utama untuk mengurangi perkataan kasar adalah dengan
kesabaran. Bila kita bisa menghargai setiap perbedaan pendapat, bertahan
terhadap tudingan dan kecaman dari pihak lain, serta menyikapi perlakuan kasar
dari orang lain tanpa harus membalas, kita akan semakin dekat dengan
pencerahan.
43
Samphapalapa terdiri dari dua kata shampa dan palapa. Secara harfiah
sampha berarti melenyapkan manfaat dan kebahagiaan, sedangkan palapa berarti
ucapan atau perkataan. Samphapalapa adalah suatu pembicaraan yang tidak
berguna atau tidak bermanfaat atau juga bisa disebut dengan istilah omong
kosong. Omong kosong adalah pembicaraan yang tak bermakna, yaitu perkataan
yang tidak memilki tujuan atau bobot. Obrolan seperti ini tidak menyampaikan
apa pun yang bernilai, namun hanya membangkitkan kotoran batin dari dalam diri
sendiri dan dalam pikiran orang lain.49
Di dalam Buddha ada empat sifat kejahatan yang disebut catur mara.
Catur mara terdiri dari dua kata, catur yang berarti empat dan mara yang berarti
perbuatan jahat. Mara merupakan sifat setan yang selalu bertolak belakang dengan
sifat paramita. Sifat ini dimiliki oleh manusia yang keduanya sangat bertentangan
yang apabila mara menguasai hidup kita akan penuh dengan derita (dukha).
Keempat perbuatan jahat atau setan itu adalah dosa, lobha, issa dan moha.
Dosa ialah kebencian yang menjadi akar dari perbuatan jahat
(akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya metta. Dosa ini secara
etika berarti kebenciandan secara psikologis (kejiwaan) berarti pukulan yang berat
dari pikiran terhadap objek yang bertentangan.
Lobha ialah serakah yang menjadi akar dari perbuatan jahat
(akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya karuna. Lobha ini secara
etika berarti keserakaan atau ketamakan. Tetapi secara psikologis berarti terikat
pikiran pada objek-objek.
49Ronald Satya Surya, 5 Aturan Moralitas Buddhis, h. 61-64.
44
Issa ialah iri hati yaitu perasaan tidak senang melihat makhluk lain
berbahagia yang menjadi akar dari perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan
lenyap bila dikembangkannya mudita.
Moha ialah kegelisahaan batin sebagai akibat dari perbuatan dosa, lobha
dan issa, akan lenyap bila dikembangkannya upekha. Moha berarti kebodohan
dan kurangnya pengertian.50
Saat ini fitnah dan infomasi hoax merajalela dimana-mana diakibatkan
oleh cepatnya penyebaran suatu informasi baru. Di era digital semua bisa diakses
dengan cepat dan dimana saja. Untuk itu diperlukan kontrol terhadap diri sendiri
bagaimana seharusnya menyampakain pesan maupu informasi kepada orang lain.
Sang Buddha menyampaikan dalam beberapa khutbahnya untuk selalu berusaha
menjauhi dari sifat-sifat musavada.
Musavada dalam pengertian luas mencakup berkata dengan kasar, omong
kosong dan menebar fitnah. Sama halnya dengan penyebaran hoax saat ini,
semakin banyaknya berita hoax yang disebarluaskan oleh oknum-oknum yang
tidak bertanggungjawab maka semakin banyak perpecahan yang akan
ditimbulkan. Perpecahan yang serin terjadi antar satu kelompok dengan kelompok
lain disebabkan oleh para pelaku yang tidak pernah jera. Padahal sudah banyak
pelaku penyebar hoax yang dibawa keranah hukum.
C. Ajaran Buddha Tentang Ehipassiko
Dalam agama Buddha ada istilah kata Ehipassiko. Ehipassiko adalah ciri
khas ajaran Buddha yang membedakan dengan agama lain adalah kalimat seorang
50Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaandalam Dhamma. h. 22
45
manusia besar yang sempurna dan itu harus diakui oleh siapapun bahwa setiap
orang bisa membuktikan sendiri tanpa paksaan untuk ditakut-takuti atau dipaksa
percaya begitu saja. Hal ini menunjukkan apa yang telah dicapainya pasti bisa
dibuktikan dengan jelas dan detail tanpa disembunyikan agar setiap mahluk bisa
membuktikannya.
Buddha telah mengajarkan kepada kita agar jangan percaya begitu saja
dengan apa yang didengar dari seorang guru, dari apa yang tertera dalam kitab,
omongan orang, tradisi, kepercayaan, takhayul dan peramal sekalipun, sebelum
kita benar benar menguji dan membuktikannya sendiri (ehipassiko).Semangat
Ehipassiko seperti yang tercermin dalam Kalama-sutta menyebabkan Buddhis
lebih terbuka terhadap perkembangan baru di dunia sains, ini tercermin dari
perjalanan sejarah agama Buddha yang tidak pernah mengalami konflik dengan
dunia sains.
Kata Ehipassiko berasal dari kata Ehipassiko yang terdiri dari tiga suku
kata yaitu ehi, passa dan iko. Secara harfiah ehipassiko berarti datang dan lihat.
Ehipassiko dhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang,
melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma. Istilah
ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma)
yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.
Sang Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam
menerima ajaranNya. Beliau mengajarkan untuk datang dan buktikan ajaranNya,
bukan datang dan percaya. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu
ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
46
Maya ketua muda-mudi Vihara Avalokitesvara menjelaskan bahwa
ehipassiko ialah ajakan atau undangan kepada semua orang untuk datang dan
melihat langsung dan melakukan verifikasi terhadap suatu hal untuk mendapatkan
bukti secara langsung, itulah yang di ajarkan oleh Sri Buddha. Jadi, pada
hakekatnya Ehipassiko diajarkan memang bertujuan untuk menguji kebenaran
suatu ajaran dengan cara mendengarkan, merenungkan, memahami dan
membuktikan sendiri kebenarannya, sehingga dengan cara yang demikian dapat
menimbulkan kebijaksanaan dan keyakinan yang terbebas dari cengkeraman rasa
takut, terbebas dari keragu-raguan, terbebas dari kekotoran dan kebodohan batin
serta terbebas dari berpandangan keliru terhadap suatu ajaran kebenaran
sebagaimana adanya.51
Berbeda dengan Maya, menurut Shella Ehipassiko adalah salah satu ajaran
yang sangat penting dalam ajaran Agama Buddha tentang datang dan lihat
langsung kejadian tersebut. Maksudnya adalah apapun suatu keadaan atau suatu
informasi harus di teliti langsung oleh kita sendiri, sehingga tidak menimbulkan
keragu-raguan di waktu kedepannya.
Salah satu sikap dari Sang Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan
memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam
perbincangan antara Sang Buddha dengan suku Kalama berikut ini:
"Wahai, suku Kalama.Janganlah percaya begitu saja berita yang
disampaikan kepadamu,atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan
tradisiatau sesuatu yang didesas-desuskan.Janganlah percaya begitu saja apa
yang tertulis dalam kitab-kitab suci,juga apa yang dikatakan sesuai logika dan
51Wawancara dengan Maya, ketua Muda-mudi vihara, Januari 2019
47
kesimpulan belaka,juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu,atau
karena ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi gurumu.Tetapi, setelah
diselidiki sendiri, kamu mengetahui.
Hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para
bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan
kebahagiaan, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan
hal-hal tersebut. (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya III. 65).
Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan
apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak
tecela,dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan,
menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan
menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki
sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan yang
berdasarkan pada kebenaran.
Ajaran Ehipassiko yang diajarkan oleh Sang Buddha juga harus diterapkan
secara bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti datang dan buktikan bukanlah
berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan.
Jadi, pada hakekatnya Ehipassiko diajarkan memang bertujuan untuk
menguji kebenaran suatu ajaran atau berita dengan cara mendengarkan,
merenungkan, memahami dan membuktikan sendiri kebenarannya, sehingga
dengan cara yang demikian dapat menimbulkan kebijaksanaan dan keyakinan
yang terbebas dari cengkeraman rasa takut, terbebas dari keragu-raguan, terbebas
dari kekotoran dan kebodohan batin serta terbebas dari berpandangan keliru
terhadap suatu ajaran kebenaran.
48
Dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin maraknya arus
informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berdampak pada kehidupan
masyarakat, baik berdampak positif maupun dampak negatif seperti penyebaran
hoax dan ujaran kebencian. Maka sangat penting dalam kehidupan ini untuk dapat
mengendalikan diri, sehingga luput dari keinginan, nafsu dan godaan-godaan
tersebut.
Begitu dahsyatnya efek yang ditimbulkan hoax, jauh sebelumnya Sang
Buddha memberikan pelajaran pada umatnya pentingnya mengecek kebenaran
informasi yang kita terima secara individu atau yang sudah beredar di masyarakat.
Sang Buddha prihatin dengan kabar bohong karena hal ini akan membawa
kehancuran umatnya.
Mengendalikan diri untuk tidak terlibat dalam kasus-kasus penyebaran
hoax tidak hanya diatur dalam peraturan undang-undang di Indonesia. Dalam
agama Buddha sendiri terdapat ajaran untuk meneliti suatu infomasi yang
diperoleh terlebih dahulu. Ajaran tersebut sudah lama di sampaikan oleh Sang
Buddha, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menerima suatu informasi
baru. Ajaran Ehipassiko mengajarkan untuk meneliti keadaan suatu berita baru
dengan mata kepala sendiri agar jelas kebenaran yang diperoleh. Sama halnya
didalam ajaran Islam diperintahkan untuk menyaring suatu berita atau informasi
yang didapat terlebih dahulu dengan cara tabayyun.
Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu
hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan
49
menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal
hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.52
Setiap agama tentu memiliki ajaran untuk selalu menjaga lisan serta
perkataan agar terhindar dari yang namanya perilaku omong kosong dan suka
menyebar fitnah. Untuk itu agar berita hoax tidak menyebar kemana-mana
diharapkan kepada semua orang khususnya para pengguna media sosial untuk
lebih bijak menggunakannya dan selalu mengamalkan serta mengikuti ajaran-
ajaran yang telah diajarakan oleh para pembawa risalah kebenaran.
52 Dina Nasicha, Makna Tabayun dalam Al-Quran (Semarang: Skripsi UIN Semarang,
2016) h. 20.
50
BAB IV
RESPON DAN HARAPAN SERTA PERAN UMAT BUDDHA
DALAM MENYIKAPI HOAX
A. Respon Umat Buddha dalam Menyikapi Hoax
Maraknya hoax yang beredar dimasyarakat membuat kegelisahan
tersendiri dikalangan umat Buddha Vihara Avalokitesvara di Pondok Cabe.
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan beberapa jemaat di vihara yang
pada umumnya adalah pelaku aktif dalam komunikasi virtual melalui internet.
Sebagai pelaku aktif maka perlu diketahui apakah secara umum mereka mampu
mengenali sebuah berita itu merupakan berita palsu atau tidak. Dengan
kemampuan mengenali suatu berita adalah hoax atau bukan maka tentunya
mereka memiliki keterampilan untuk menangkalnya.
Saat ini, meskipun sudah ada peraturan pemerintah yang mengatur
hukuman bagi para pelaku penyebar hoax yang diatur dalam undang-undang
republik indonesia nomor 11/2008 tentang ITE, yang terdapat dalam pasal 28 ayat
1 dan 2. Namun, tetap saja masih banyak pelaku penyebar hoax menyebarluaskan
berita fitnah dimana-mana. Seringkali berita bohong yang tersebar berujung pada
perpecahan dan perselisihan antar dua kelompok, yang salah satunya disebabkan
oleh berita yang berbau SARA dan ujaran kebencian.
Konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) di Indonesia
seakaan tidak pernah ada habisnya, seperti contoh yang penulis jelaskan pada bab
sebelumnya. SARA adalah berbagai pandangan dantindakan yang didasarkan
pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau
51
kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi
dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan
sebagai tindakan SARA, tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan
dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.53
Hoax adalah segala sesuatu baik itu perkataan atau informasi yang tidak
sesuai dengan kebenarannya. Informasi yang salah yang disampaikan oleh
seseorang dan disebarluaskan yang bertujuan untuk memperkeruh keadaan dan
membuat perpecahan di tengah masyarakat. Sang Buddha dalam khotbah nya
pernah menyampaikan, untuk meneliti terlebih dahulu suatu infomasi yang
diterima, atau mendiamkan saja jika ragu atas kebenaran informasi tersebut.
Hoax bermula dari seseorang yang mempunyai dan memiliki sifat
musavada. Musavada ialah salah satu dari pancasila Buddis yang mewajibkan
semua umatNya untuk menjauhi segala sesuatu bentuk perkataan yang berbau
dusta dan penuh dengan kebohongan. Dalam agama Buddha musavada termasuk
ajaran yang paling penting, bagaimana seharusnya umat Buddha mengamalkan
kelima pancasila tersebut dengan benar agar mencapai puncak kebahagiaan sejati
yaitu nirwana.
Untuk mencapai kebahagiaan sejati yaitu nirwana semua umat Buddha
diharuskan menjauhi sifat musavada dan tentunya mengamalkan ajaran
ehipassiko. Ajaran ehipassiko adalah ajaran yang disampaikan oleh Buddha
bagaimana merespon dan menyikapi suatu perkataan dan informasi yang diterima.
Buddha menjelaskan untuk melihat dan meneliti sendiri informasi yang diterima
53Christine Purnamasari Andu, "Efek Postingan Sara di Media Sosial Terhadap
Pertemanan", Jurnal KRITIS: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Vol. 4 No.1
(Juni 2018), hal. 2.
52
agar jelas kebenarannya dan menjauhi dari membaca dan menerima informasi-
informasi yang salah.54
Hoax berbau SARA sangat banyak tersebar atau disebarkan ke media
sosial online pada masa pilkada di setiap tahunnya. Banyak orang yang
terpengaruh oleh berita hoax tersebut, sehingga muncul rasa curiga, benci,
sentimen terhadap orang yang berbeda agama, bahkan pengaruhnya terus terbawa
hingga saat ini.55Pemerintah sudah mengupayakan agar tidak terjadi lagi
perpecahan yang disebabkan oleh berbagai macam berita hoax ditengah
masyarakat. Dalam bab ini penulis akan membahas bagaimana respon jemaat
Buddha terhadap maraknya penyebaran hoax.
Maya sebagai ketua muda-mudi Vihara Avalokitesvara di Pondok Cabe
mengatakan bahwa, hoax merupakan sebagian rangkaian informasi yang memang
sengaja disesatkan dan dijual sebagai suatu kebenaran. Berita-berita hoax tersebut
dengan sengaja disebarluaskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab
yang bertujuan untuk memecah belah satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Perpecahan tersebut bisa diatasi jikasaat menerima dan membaca suatu infromasi
terbaru agar terlebih dahulu membiasakan melakukan cross check terhadap
kebenaran informasi yang diterima.Dengan demikian tindakan tersebut bisa
mempersempit gerak pelaku para penyebara hoax.56
Seringkali informasi hoax yang tersebar, berbentuk tulisan maupun
gambar yang dikirim ke media chating seseorang. Informasi tersebut bisa berupa
konten sosial pilitik dan ataupun mengenai bencana dan berita duka, sehingga
54 Wawancara pribadi dengan Bhiksu Silaguto, 6 Oktober 2019 55Henri Septanto, "Pengaruh Hoax dan Ujaran Kebencian Sebuah Cyber Crime dengan
Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial Masyarakat", JurnalKalbiscentia, Vol. 5 No. 2
(Agustus 2018), hal. 158 56Wawancara pribadi dengan Maya jemaat Buddha, Januari 2019
53
sangat disayangkan kenapa berita bencana bisa dijadikan bahan propaganda.
Adapun dampak dari maraknya penyebaran hoax ini ialah menimbulkan rasa
saling curiga antar elemen bangsa terutama dalam kehidupan beragama karena
dapat merusak hubungan antar umat beragama.
Juni Wati sebagai jemaat Vihara dan anggota muda-mudi mengemukakan
pendapat yang sama, menurutnya hoax ialah informasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Juni Wati, berita hoax yang
marak saat ini bisa dicegah dengan sikap kehati-hatian saat menerima suatu
informasi, ataupun saat menerima suatu berita terbaru hendaknya melakukan
cross check terlebih dahulu, baik itu melalui media massa atau melalui google,
dan bisa juga menanyakan langsung kepada orang yang lebih paham mengenai
informasi berita tersebut.57
Menurut Juni, suatu informasi hoax akan banyak menimbulkan dampak
negatif yang dirasakan oleh masyarakat diantaranya ialah timbulnya kecurigaan
antar elemen bangsa, perpecahan antar umat beragama serta dapat menghambat
suatu pembangunan oleh pemerintah. Hoax tersebut bisa dipersempit
penyebarannya dengan cara yang paling efektif misalnya perlu adanya kontrol
pengawasan dari pihak keluarga dan memberikan edukasi kepada masyarakat
setempat agar terhindar dari perilaku yang suka menyebar-nyebarkan hoax, dan
yangpaling penting setiap masing-masing individu bertanggungjawab
menghambat penyebaran hoax tersebut.58
Responden berikutnya ialah Nana, menurutnyahoax adalah informasi yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Informasi hoax yang sering ia
57Wawancara pribadi dengan Juni Wati jemaat Buddha, Januari 2019 58Wawancara pribadi dengan Juni Wati jemaat Buddha, Januari 2019
54
peroleh dan yang sering ia baca baik itu di media massa atau media sosial adalah
mengenai etnis dan kesukuanyang sering menjelaskan dan menyudutkan salah
satu pihak.
Sejauh ini sebagai salah satu pengguna media sosial ia seringkali
menerima hoax-hoax yang beredar, namun dengan demikian tidak lantas
membuatnya langsung mempercayai begitu saja berita tersebut. Di zaman yang
serba canggih ini kita dituntut untuk tidak langsung mempercayai berita yang kita
terima, diharuskan sebagai pengguna aktif untuk mencari kebenaran berita
tersebut sampai jelas itu berita fakta atau hoax.59 Dengan caratidak mudah
terprovokasi terhadap suatu berita baru, dengan begitulah otomatis kita dapat
mempersempit tersebarnya berita bohong tersebut.
Sejauh ini pemerintah selalu memberikan peringatan kepada masyarakat
tentang bahaya penyebaranhoax, dengan diterbitkannya peraturan dalam undang-
undang ITE setidaknya bagi para pelaku yang masih suka menyebar hoax akan
timbul efek jera terhadap dirinya. Banyak masyarakat yang menanggapi positif
terhadap kebijakan pemerintah tersebut, namun ada juga yang tidak terlalu peduli
dengan kebijakan tersebut buktinya sampai saat ini penyebaran hoax kian
meningkat sebanyak 771 hoax telah diidentifikasi Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) sepanjang Agustus 2018 hingga Februari 2019. Dari 771
total konten hoax yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh Tim AIS Kominfo,
sebanyak 181 konten hoax terkait isu politik, berturut-turut menyusul isu
kesehatan sebanyak 126 dan isu pemerintahan sebanyak 119, lalu hoax berisikan
fitnah terhadap individu tertentu sebanyak 110, terkait kejahatan 59, isu agama 50,
59Wawancara pribadi dengan Nana jemaat Buddha, Januari 2019
55
isu internasional 21, penipuan dan perdagangan masing-masing 19 konten, dan
terakhir isu pendidikan sebanyak 3 konten.60
Saat membaca atau menerima berita hoax, yang disasar itu ialah emosi.
Hoax menciptakan kondisi dimana kebenaran itu dibentuk berdasarkan emosi
seseorang. Akhirnya, banyak berita yang di-share karena judulnya sangat
provokatif, sampai bisa membuat pembacanya emosi, marah, hingga berujung
perpecahan, seperti yang terjadi di Tanjung Balai.61 Namun dengan adanya
sosialisasi yang sering ditekankan kepada jemaat Buddha khususnya teman-teman
muda-mudi vihara membuat para generasi mudamengetahui akan bahaya hoax
dan bahaya penyebarnnya.
Sama dengan Dessy Mentari, salah satu jemaat aktif di muda-mudi Vihara.
Saat ditanya responnya terhadap maraknya penyebaran hoax saat ini, ia
menuturkan jika hoax sebenarnya ialah suatu informasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, meskipun demikian ia selalu berusaha
menegecek suatu informasi baru yang ia peroleh melalui media sosial dengan
mencari kebenarannya melalui internet (google).62
Veni mengatakan bahwasanya masih banyak sekali masyarakat yang tidak
mengerti atau tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan dari maraknya
penyebaran hoax di masyarakat. Selain merusak hubungan antar sesama penganut
agama hoax juga seringkali menimbulkan permusuhan antar umat agama. Selain
kominfo/0/sorotan_media. Diakses 17 juli 2019. 61Wawancara pribadi dengan Nana jemaat Buddha, Januari 2019 62Wawancara pribadi dengan Dessy Mentari jemaat Buddha, Januari 2019