1 USULAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA: KAJIAN WACANA POLITIK TIM PENELITI I GUSTI NGURAH PARTHAMA, S.S., M.HUM. NIDN. 0008017704 I NYOMAN TRI EDIWAN, S.S., M.HUM. NIDN. 0020067508 JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA FEBRUARI 2015 Kode/Nama Bidang Ilmu: 521 / ILMU LINGUISTIK
29
Embed
BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA: KAJIAN WACANA POLITIK fileSusunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas 18 Lampiran 4. Biodata Pembimbing, ... Peneliti 19 Lampiran 5. Surat Pernyataan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
USULAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA:
KAJIAN WACANA POLITIK
TIM PENELITI
I GUSTI NGURAH PARTHAMA, S.S., M.HUM.
NIDN. 0008017704
I NYOMAN TRI EDIWAN, S.S., M.HUM.
NIDN. 0020067508
JURUSAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
FEBRUARI 2015
Kode/Nama Bidang Ilmu: 521 / ILMU LINGUISTIK
2
3
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN SAMPUL 1
HALAMAN PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
RINGKASAN 4
JUDUL PENELITIAN 4
BAB I. PENDAHULUAN 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5
BAB III. METODE PENELITIAN 11
3.1 Sumber Data 11
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 11
3.3 Metode dan Teknik Analisa Data 12
BAB IV. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 12
4.1 Biaya 12
4.2 Jadwal Kegiatan 13
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 15
Lampiran 1. Format Justifikasi Anggaran Penelitian 15
Lampiran 2. Dukungan Sarana dan Prasarana Penelitian 17
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian
Tugas
18
Lampiran 4. Biodata Pembimbing, Ketua Peneliti, dan Anggota
Peneliti
19
Lampiran 5. Surat Pernyataan Personalia Penelitian 28
Lampiran 6. Surat Keterangan/Pengantar dari Grup Riset 29
4
RINGKASAN
Bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peran penting
tersebut juga sekaligus menunjukkan adanya relasi antara manusia dengan budaya yang
melingkupinya. Dengan berbahasa maka seseorang dapat diketahui latar belakang
budayanya. Dengan adanya hubungan yang erat maka bahasa sangat mempengaruhi
seluruh aspek kehidupan. Sehingga dalam politik pun bahasa mempunyai fungsi yang
penting. Dalam politik bahasa digunakan sebagai upaya untuk memberikan informasi dan
tentunya berkaitan dengan bentuk persuasi atau ajakan jika digunakan dalam wacana
politis bersifat kampanye. Karena itu, bahasa dalam wacana politik dikenal sangat lugas
dan jelas mengingat kepentingan – kepentingan yang terdapat di dalamnya kepadad
sejumlah pembaca atau pendengarnya. Penelitian ini akan mendeskripsikan bahasa sebagai
penciri budaya yang digunakan pada wacana politik saat pelaksanaan pemilu 2014 lalu.
Sumber data diambil dari media – media kampanye para calon anggota legislatif di
beberapa kabupaten di Bali. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan
menerapkan teknik rekam, teknik membaca dengan rinci, dan teknik pencatatan.
Sedangkan untuk metode analisa data menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
mengaplikasikan teori yang berkaitan dengan wacana dan tindak tutur.
Kata kunci: bahasa, wacana politik, tindak tutur
JUDUL PENELITIAN
BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA: REFLEKSI WACANA POLITIK
BAB I. PENDAHULUAN
Bahasa mempunyai fungsi penting dalam kehidupan ini. Dengan bahasa, seseorang
dapat berkomunikasi. Bahkan dengan memahami suatu bahasa, seseorang juga dapat
belajar budaya yang melingkupi suatu bahasa. Dengan bahasa pula seseorang dapat
mengemukakan ide – ide, pendapat, pandangan, pertanyaan, sanggahan, maupun berbagai
variasi komunikasi. Bahasa menjembatani komunikasi yang terjadi antar manusia dan hal
tersebut berlangsung melalui bahasa lisan atau bahasa tulisan. Bahkan, kini muncul pula
komunikasi dengan bahasa isyarat yang memungkinkan orang – orang dengan
keterbatasan tertentu berkomunikasi dengan orang lain. Beragamnya fungsi bahasa
menjadi bahasa sebagai prioritas dalam segala sendi kehidupan manusia.
Bahasa juga memasuki ranah – ranah komunikasi yang tidak biasa. Bahasa
digunakan pada bidang – bidang khusus seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan
bahkan pertahanan keamanan. Dalam bidang politik, bahasa menjadi sesuatu yang penting.
Seorang pemimpin yang mampu menguasai bahasa maka secara langsung mampu
menguasai para pengikutnya. Dengan bahasa, seorang pemimpin dapat menyampaikan
program – program kerjanya maupun kebijakan publik lainnya. Bahasa juga
5
memungkinkan seorang pemimpin baik itu di tingkat legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif dapat dinilai kepribadian maupun kemampuannya dalam hal berkomunikasi.
Kepribadian dan kemampuan berkomunikasi serta memanfaatkan bahasa menjadi
tujuan utama pada saat pemilihan umum legislatif 2014 lalu. Bahasa memungkinkan para
kandidat anggota parlemen atau dewan perwakilan rakyat berkomunikasi dengan para
pemilihnya. Bahasa menjadi penting mewakili hal – hal yang hendak dikomunikasikan
oleh para calon anggota parlemen. Bahasa menjadi media untuk dapat mengenalkan diri,
menginformasikan program kerja, dan pada akhirnya mengajak para pemilihnya untuk
memilih calon anggota parlemen tertentu. Kemampuan mengolah bahasa menjadikan para
kandidat anggota parlemen berlomba menarik perhatian melalui permainan kata, kalimat,
bahkan wacana. Dalam ranah politik, pemilihan bahasa dengan ekspresi tertentu maupun
pemilihan penggunaan bahasa dengan bahasa ibu maupun bahasa asing menjadi menarik.
Penelitian ini akan mendeskripsikan pemilihan bahasa dan ekspresi tertentu yang muncul
pada komunikasi politik kandidat anggota parlemen pada pemilihan umum legislatif yang
lalu. Dengan pemilihan bahasa maupun ekspresi tertentu nantinya akan dibahasa mengenai
makna – makna yang terkandung pada setiap tuturannya. Meski secara sederhana
dikatakan bahwa bahasa politik adalah bahasa yang lugas dan jelas, namun masih terdapat
kandidat yang menggunakan ekspresi tertentu sehingga menimbulkan interpretasi berbeda.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Rahayu (2005) dalam hasil penelitiannya mengenai karakteristik pemakaian bahasa
dalam spanduk kampanye pemilihan kepala daerah di Yogyakarta mengungkapkan bahwa
makna yang muncul lebih pada aspek makna dengan kecenderungan bermakna positif.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye mempunyai
pemilihan kata dalam tiga kelompok yaitu verba aksi dengan perwujudan, nomina yang
berkonotasi kejahatan, dan adjektiva yang berkonotasi positif. Dengan tiga pengelompokan
kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa spanduk kampanye mempunyai dua fungsi
yaitu fungsi informasi dan fungsi persuasi. Bahasa yang digunakan menjadi media untuk
memberi informasi dan melakukan persuasi terhadap para pemilih. Sehingga faktor yang
juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam spanduk kampanye cenderung pada
adalah adanya faktor fungsi sebagai ‘iklan’ dengan tujuan ‘menawarkan’ sesuatu. Secara
pragmatis dapat disimpulkan jika karakteristik bahasa pada spanduk kampanye lebih pada
fungsi persuasif dan fungsi komisif.
6
Searle dalam Wijana dan Rohmadi (2009: 20) menjelaskan secara garis besar
tindak tutur secara pragmatik dapat dibedakan menjadi tiga. Ketiga tindakan penutur
tersebut adalah tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Masing – masing tindak
tuturan memiliki karakteristik yang saling membedakan.
Tindak tutur lokusi secara singkat dapat didefinisikan sebagai tuturan biasa.
Tuturan lokusi oleh Wijana dan Rohmadi (2009: 20) sering juga disebut dengan the act of
saying atau tindak tuturan biasa. Dari ketiga jenis tindak tutur maka tindak tutur lokusi
merupakan tindak tutur yang justru tidak memiliki peran penting. Sehingga seringkali
hanya dianggap sebagai suatu bentuk informasi semata. Adapun contoh tindak tutur lokusi
adalah seperti berikut;
(1) Singa adalah binatang yang buas.
(2) Kegiatan lokakarya diselenggarakan di Fakultas Sastra dan Budaya,
Unud.
Jika dilihat contoh (1) dan (2) di atas maka dapat diperhatikan jika keduanya
merupakan bentuk tindak lokusi biasa. Artinya, jika disampaikan maka hanya menjadi
suatu bentuk informasi yang sifatnya umum. Pada contoh (1) hanya menyampaikan bahwa
singa merupakan binatang buas yang secara umum semua orang sudah mengerti hal itu.
Sedangkan pada contoh (2) juga merupakan informasi yang berkaitan dengan kegiatan
yang diselenggaran oleh suatu lembaga atau institusi pendidikan.
Tindak tutur kedua adalah tindak tutur ilokusi. Tindak tutur ilokusi oleh Wijana
dan Rohmadi (2009: 22) sering disebut dengan the act of doing something. Penyebutan itu
berkaitan dengan adanya suatu tindakan yang muncul karena tuturan yang disampaikan
oleh seseorang. Selain mengharapkan seseorang melakukan sesuatu, tindak tutur ilokusi
juga mempunyai peran sebagai tuturan untuk mengatakan atau menyampaikan informasi
tertentu. Contoh dari tindak tutur ilokusi adalah sebagai berikut;
(3) Ada anjing galak.
(4) Kuku tanganmu hitam.
Jika diperhatikan secara seksama maka contoh (3) dan (4) di atas memiliki peran
informasi dan tindakan tertentu. Seperti pada contoh (3) merupakan bentuk informasi yang
disampaikan kepada semua orang bahwa ada anjing galak. Sebagai bentuk informasi,
tuturan itu juga memiliki tindakan tertentu. Umumnya, tuturan itu ditulis di depan pintu
gerbang rumah seseorang. Sehingga hal tersebut menjadi sebuah peringatan atau himbauan
bagi yang akan berkunjung untuk berhati – hati. Bahkan, menjadi peringatan bagi mereka
7
yang hendak berbuat iseng atau tidak baik. Dalam hal ini si pemilik rumah sudah
memberikan informasi dan juga peringatan melalui tanda ada anjing galak.
Sementara itu contoh (4) juga mempunyai peran sebagai tuturan yang
menginformasikan atau mengatakan bahwa seseorang memiliki kuku tangan hitam.
Tuturan itu juga tidak hanya sebatas memberikan informasi. Tuturan kuku tanganmu hitam
mengandung makna peringatan jika disampaikan seorang dokter kepada pasiennya. Dokter
mengingatkan pasien agar menjaga kebersihan dengan memotong kuku – kuku tangannya
yang hitam. Makna peringatan juga dapat diartikan melalui contoh (4) jika disampaikan
oleh seorang guru kepada siswanya. Jika dalam pemeriksaan kebersihan seorang siswa
dikatakan kuku tanganmu hitam oleh gurunya maka dapat diartikan jika siswa
bersangkutan tidak menjaga kebersihan. Padahal dengan kebersihan seperti memotong
kuku sebagai hal yang sederhana justru dapat meningkatkan konsentrasi belajar seorang
siswa.
Bagian ketiga dari tindak tutur secara pragmatis adalah tindak tutur perlokusi.
Tindak tutur perlokusi menurut Wijana dan Rohmadi (2009: 23) merupakan tindak tutur
yang disampaikan dengan efek atau daya pengaruh yang disengaja atau tidak sengaja oleh
penutur. Dalam hal ini seseorang yang menyampaikan suatu tuturan berbentuk perlokusi
mengharapkan adanya suatu tindakan yang berkaitan dengan tuturannya. Karena itulah
tindak tutur perlokusi dianggap sebagai the act of affecting someone. Adapun contoh dari
tuturan perlokusi adalah sebagai berikut;
(5) Ruangan ini panas.
(6) Kamarmu bersih sekali.
Memperhatikan contoh (5) dan (6) di atas seperti suatu tuturan yang biasa saja.
Pada contoh (5) apabila disampaikan seseorang namun tidak memiliki daya mempengaruhi
orang lain maka tuturan tersebut hanya sebuah informasi biasa. Tuturan ruangan ini panas
tidak mempunyai kekuatan perlokusi jika tidak ada tindakan yang mengikutinya. Namun,
jika tuturan itu disampaikan oleh seorang guru di kelas dan selanjutnya ketua kelas
membuka jendela atau menghidupkan pendingin ruangan maka tuturan itu memiliki
kekuatan perlokusi. Sehingga tuturan ruangan ini panas yang dikatakan oleh guru secara
sengaja merupakan bentuk memerintah agar salah seorang siswa membuka jendela atau
menghidupkan pendingin ruangan. Dengan begitu ruangan kelas tidak lagi panas.
Begitu pula dengan contoh (6) di atas yang hanya akan menjadi tuturan informatif
semata jika diucapkan seseorang tanpa diikuti tindakan tertentu. Akan sangat berbeda
8
apabila hal itu disampaikan seorang ibu kepada anaknya. Apalagi ketika sang ibu melihat
mainan anaknya masih berantakan di lantai kamar. Tuturan kamarmu bersih sekali justru
menjadi tuturan yang implisit bagi si anak. Tuturan itu menjadi peringatan bagi anak untuk
sesegera mungkin membersihkan ruangannya. Jika setelah tuturan disampaikan si anak
membersihkan ruangannya maka tuturan kamarmu bersih sekali mempunyai kekuatan
perlokusi.
Kajian tindak tutur sesungguhnya menekankan pada maksud atau daya dari suatu
tuturan. Sehingga tidak semata – mata hanya menekankan pada tuturannya saja. Untuk
itulah maka Searle dalam Leech (1983: 327) membagi maksud atau daya suatu tuturan ke
dalam lima bagian yaitu representatif atau asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan
deklaratif. Pembagian secara lebih terinci tersebut berkaitan dengan maksud atau daya dari
suatu tuturan ilokusi.
Tindak tutur representatif atau asertif merupakan tindak tutur yang mengikat
penuturnya terhadap kebenaran atas apa yang dikatakannya. Untuk itu tindak tutur
representatif atau asertif diwakili dengan kata – kata seperti; menyatakan, melapor,
menunjukkan, dan menyebutkan. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan
oleh seorang penutur dengan maksud agar pendengar melakukan tindakan dalam
ujarannya. Tindak tutur ini biasanya diwakili dengan kata – kata seperti; menyuruh,
memohon, menyarankan, dan menantang. Sedangkan tindak tutur ekspresif menekankan
pada ujaran yang dilakukan penutur sebagai bentuk evaluasi terhadap sesuatu dan bentuk
evaluasi itu terwakili dengan kata – kata seperti; memuji, mengkritik, dan mengeluh.
Sementara itu tindak tutur komisif lebih menekankan pada pelaksanaan terhadap apa yang
terdapat dalam ujaran seorang penutur dan hal itu mengikat seorang penutur untuk dapat
melaksanakannya. Tindak tutur komisif diwakili oleh kata – kata seperti; mengancam,
berjanji, dan bersumpah. Tindak tutur yang terakhir adalah tindak tutur deklaratif. Tindak
tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk
menciptakan sesuatu yang baru. Karena itu kata – kata yang sering digunakan dalam
tuturan ini antara lain; memutuskan, membatalkan, dan mengizinkan.
Harus diakui juga bahwa maksud atau daya (force) dari suatu tuturan ilokusi
maupun tuturan perlokusi dapat berubah berdasarkan konteks saat tuturan dilakukan.
Konteks itulah yang selanjutnya menjadi penentu untuk mengetahui maksud yang hendak
dicapai. Parker (1986: 16) mengatakan bahwa konteks penggunaan tuturan serta orang –
orang yang terlibat di dalamnya sangat menentukan maksud dari suatu ujaran. Contohnya
jika muncul ujaran You’d better do your homework maka penafsiran yang muncul dapat
9
berbeda – beda. Parker menambahkan apabila konteks disampaikan oleh orangtua kepada
anaknya maka hal itu dianggap sebagai perintah. Ujaran itu juga bisa dianggap
mengganggu secara perlokusi terhadap si anak jika disampaikan setiap hari. Sedangkan
jika ujaran di atas disampaikan oleh mahasiswa kepada rekannya yang merupakan rekan
satu kelas serta satu kamar kos maka hal itu dianggap sebagai bentuk persuasi. Bentuk
persuasi untuk menyelesaikan tugas – tugas perkuliahan sebelum diumumkan untuk
dikumpulkan oleh dosen. Apabila disampaikan oleh guru sekolah menengah umum (SMU)
kepada siswanya maka hal itu dapat dianggap sebagai ancaman. Dalam hal ini siswa
diwajibkan untuk menyelesaikan tugas – tugas dari dosen. Selain itu ujaran seperti itu
sesungguhnya merupakan bentuk yang memalukan apabila disampaikan di depan kelas
yang didengar oleh seluruh siswa.
Dari penyampaian itu dapat dilihat jika konteks maksud dan daya (force) dari suatu
ujaran sangat dipengaruhi oleh kondisi saat percakapan berlangsung dan para penutur yang
terlibat di dalamnya. Secara umum Austin dalam Parker (1986: 13) mengungkapkan
sesungguhnya terdapat tiga hal penting dalam suatu ujaran atau tindak tutur yang dianggap
sebagai tindak yang valid. Ketiga hal tersebut adalah penutur dan kondisi tuturan harus
sesuai; tindak tutur harus disampaikan secara utuh dan menyeluruh oleh penutur; dan
penutur harus menunjukkan perhatian yang sepantasnya. Austin mengatakan jika suatu
tuturan tidak memenuhi kriteria yang dimaksud maka dianggap tidak sesuai atau invalid.
Leech (1977: 10) membagi makna dari suatu tuturan menjadi tujuh makna. Ketujuh
makna tersebut adalah makna konseptual, makna konotatif, makna stilistik dan afektif,
makna reflektif dan kolokatif, makna asosiatif, makna tematik, dan makna intensi dan
tafsiran. Masing – masing makna mempunyai karakteristik yang membedakan antara satu
makna dan lainnya. Sehingga makna – makna itu nantinya akan membantu saat melakukan
analisa tindak tutur.
Makna konseptual merupakan makna sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur.
Dalam hal ini makna konseptual mengacu pada referensi suatu tindakan, barang, orang,
atau lainnya. Makna konseptual menurut Leech (1977: 10) dikatakan sebagai makna paling
sentral dalam komunikasi manusia. Selanjutnya makna konotatif lebih menekankan pada
makna yang berbeda dengan ujaran sesungguhnya atau seringkali disebut makna figuratif.
Makna konotatif secara umum dianggap sebagai makna yang tidak sebenarnya dan tidak
memiliki acuan seperti halnya makna konseptual. Poin penting yang diperhatikan Leech
(1977: 11) saat mengkaji makna konotatif adalah makna konotatif tidak selalu stabil
10
dikarenakan makna tersebut berdasarkan pada budaya, periode sejarah, dan pengalaman
dari masing – masing penutur.
Makna stilistik dan afektif mengacu pada situasi komunikasi ketika tuturan
berlangsung. Makna stilistik mengacu pada adanya perbedaan penggunaan suatu kata yang
dikarenakan pertimbangan dialek maupun latar belakang kelompok penutur. Perbedaan itu
yang pada akhirnya menandai adanya perbedaan penafsiran suatu kata dari kelompok –
kelompok masyarakat yang lain. Sementara itu makna afektif lebih mengacu pada situasi
penutur yang berkaitan dengan emosional atau perasaan serta sikapnya terhadap
pendengar. Dalam hal ini seseorang dapat menyampaikan suatu tuturan dalam situasi yang
emosional sehingga secara eksplisit kata – kata yang muncul tidak menyenangkan atau
mengenakkan didengar oleh penutur lainnya.
Selanjutnya makna reflektif dan kolokatif lebih mengkhususkan pada hubungan
interkoneksi antar tingkatan leksikal suatu bahasa. Makna refleksi menurut Leech (1977:
19) mengungkapkan sebagai makna yang muncul sebagai hasil pemaknaan konseptual
yang berulang kali. Makna refleksi umumnya terjadi pada istilah – istilah yang berkaitan
dengan keagamaan dengan tujuan untuk menghaluskan makna konseptual yang
sebenarnya. Makna kolokatif lebih menekankan pada adanya asosiasi terhadap sejumlah
kata yang berasal dari satu makna konseptual yang umum dalam suatu lingkungan tuturan.
Seperti misalnya kata cantik dan ganteng yang sesungguhnya berasal dari satu makna
konseptual berpenampilan menarik. Hanya, penggunaan kata cantik dan ganteng lebih
banyak menyesuaikan dengan lingkungan saat tuturan berlangsung.
Makna asosiatif bagi Leech (1977: 21) merupakan makna yang sifatnya lebih luas
dibandingkan makna refleksi dan makna kolokasi serta makna afektif dan makna stilistik.
Leech mengungkapkan parameter makna asosiatif cenderung berdasarkan pada hubungan
antara asosiasi antara teori yang terdapat pada pikiran penutur yang didasarkan pada
pengalaman kognitifnya. Kerumitan itu yang menjadikan makna asosiatif justru sulit untuk
dapat dipahami penggunaannya serta mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makna
konseptual.
Makna tematik lebih mengkhususkan pada organisasi penutur saat tuturan
berlangsung. Dalam hal ini menurut Leech (1977: 22) seorang penutur harus mampu
mengorganisir suatu ujaran ketika berkomunikasi. Sebagai contoh seorang penutur
tentunya harus mengorganisir adanya perintah, fokus, dan penekanan saat mengirimkan
suatu pesan. Dengan begitu dalam berbagai konteks tuturan akan diperoleh respon yang
berbeda terhadap suatu tuturan yang justru sesungguhnya memiliki kesamaan. Makna
11
tematik sesungguhnya lebih menekankan pada adanya alternatif lain penggunaan
konstruksi gramatika terhadap satu ujaran yang sama. Misalnya seorang pria menunggu di
aula kampus mempunyai makna tematik yang sama dengan ada seorang pria menunggu di
aula. Padahal secara konstruksi gramatika hanya terdapat perubahan yang kecil.
Makna yang terakhir adalah makna intensi dan makna tafsiran. Leech (1977: 24)
menjelaskan bahwa makna intensi dan makna tafsiran lebih menekankan pada istilah
‘komunikasi’ dan ‘akibat komunikasi’. Makna intensi merupakan makna yang muncul
pada pikiran seorang penutur ketika dia menyusun suatu pesan. Sedangkan makna tafsir
lebih pada pendengar yang menyusun pemahaman atau penafsiran dalam pikirannya
terhadap tuturan yang diujarkan. Sehingga Leech (1977: 24) menambahkan suatu
komunikasi dianggap berlangsung apabila hal yang ada dalam pemikiran penutur A sudah
ditransfer atau dikopi pada pikiran penutur B.
BAB III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan langkah – langkah yang diambil dalam sebuah
penelitian ilmiah. Untuk melaksanakan penelitian ini maka metode penelitian yang akan
diterapkan dibagi menjadi tiga bagian yaitu sumber data, metode dan teknik pengumpulan
data, serta metode dan teknik analisa data.
3.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah media – media kampanye yang digunakan para
caleg saat kegiatan kampanye calon legislatif 2014. Masa kampanye berlangsung selama
hampir dua bulan terhitung mulai dari Januari hingga Februari. Adapun media – media
kampanye yang digunakan pada penelitian ini adalah baliho, spanduk, dan stiker. Media –
media kampanye caleg tersebut diambil dari empat daerah yaitu Denpasar, Badung,
Tabanan, dan Gianyar.
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
simak. Pelaksanaan metode simak didukung dengan sejumlah teknik pengumpulan data.
Teknik rekam dilakukan dengan cara memfoto media – media kampanye yang akan
digunakan sebagai data. Selanjutnya teknik pemilahan dilakukan untuk memilah data
penelitian yang sesuai dan data yang tidak sesuai. Setelah itu proses pengumpulan data
12
dilanjutkan dengan teknik membaca rinci dan teknik mencatat. Kedua teknik berlangsung
secara bersamaan dimana saat membaca rinci bahasa – bahasa pada media kampanye maka
saat itu juga dilakukan proses pencatatan. Teknik terakhir yang akan dilaksanakan adalah
teknik klasifikasi yang bertujuan untuk menempatkan data – data berdasarkan klasifikasi
jenis tindak tutur dan makna yang dimilikinya.
3.3 Metode dan Teknik Analisa Data
Metode yang akan digunakan saat analisa data adalah metode deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif kualitatif menerapkan teknik deskripsi saat dilakukan analisa data
berdasarkan kajian tindak tutur dan kajian makna. Teknik deskripsi yang berkualitas akan
mengacu pada teori – teori mengenai kajian tindak tutur dan kajian makna. Dengan begitu
akan terlihat pengaruh bahasa pada media kampanye caleg melalui tindak tutur dan
pemaknaannya.
BAB IV. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
Bagian ini membahas biaya dan jadwal kegiatan penelitian yang akan
dilaksanakan.
4.1 Biaya
Biaya yang akan digunakan pada penelitian ini secara umum dirinci seperti tabel di
bawah.
No Jenis Pengeluaran Biaya yang diusulkan (Rp)
1 Gaji dan upah 2.000.000,-
2 Bahan habis pakai dan peralatan 5.000.000,-
3 Perjalanan 1.500.000,-
4 Lain – lain (seminar dan laporan akhir) 1.500.000,-
JUMLAH 10.000.000,-
13
4.2 Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan penelitian akan dilaksanakan selama delapan bulan dan rincian
kegiatan penelitian tercantum pada tabel kegiatan di bawah ini.
NO KEGIATAN WAKTU
MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT
1 Pengurusan perijinan &
persiapan penelitian
2 Pengumpulan data
(pengumpulan sumber
data, pembacaan,
pemilahan, dan
pencatatan data)
3 Klasifikasi data
4 Analisa data secara
deskriptif kualitatif
5 Penyiapan draft laporan
& pembuatan laporan
akhir
14
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman.
Leech, Geoffrey. 1977. Semantics. New York: Penguin Books Ltd.
Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguists. Boston: Little, Brown and
Company (Inc.).
Rahayu, Yayuk Eny. 2005. Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Spanduk
Kampanye Pemilihan Kepala Daerah di Yogyakarta. Hasil penelitian.
Yogyakarta: Fakultas Budaya dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta.
Diunduh dari laman staff.uny.ac.id pada tanggal 2 September 2013.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana
Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
15
LAMPIRAN
Lampiran 1. Format Justifikasi Anggaran Penelitian
No. Jenis Pengeluaran yang Diusulkan Tujuan / Alasan
I. Bahan Habis Pakai Komponen biaya ini diusulkan untuk menunjang kelancaran
penelitian terutamanya untuk memenuhi keperluan
administrasi seperti pendokumentasian / perekaman data dan
analisa data.
II. Peralatan Komponen biaya ini diusulkan untuk menunjang pemerolehan
data, analisa data, dan untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan presentasi hasil penelitian.
III. Perjalanan Komponen biaya ini diusulkan untuk menunjang pelaksanaan
kegiatan penelitian terutamanya yang berkaitan dengan
transportasi saat pelaksanaan kegiatan penelitian.
IV. Penggandaan Laporan Penelitian Komponen biaya ini diusulkan untuk penggandaan dan
pengiriman laporan penelitian sebagai bentuk
pertanggungjawaban peneliti terhadap penyandang dana.
V. Diskusi / Publikasi Komponen biaya ini diusulkan agar kegiatan penelitian dapat
terpublikasikan kepada khalayak dan dapat memberikan
kontribusi kepada masyarakat.
16
RINCIAN BIAYA PENELITIAN
1. Honor
Honor Honor/jam (Rp) Waktu
(jam/minggu) Minggu
Honor per tahun
(Rp)
Ketua 3,750 10 32 1,200,000
Anggota 1 2,500 10 32 800,000
SUB TOTAL (Rp) 2,000,000
2. Peralatan Penunjang
Material Justifikasi
Pemakaian Kuantitas
Harga
Satuan
(Rp)
Harga Peralatan
Penunjang
Sewa Kamera Digital
Canon
Pengumpulan
data 2 1,000,000 2,000,000
Sewa LCD Pengecekan data 1 500,000 500,000
SUB TOTAL (Rp) 2,500,000
3. Bahan Habis Pakai
Material Justifikasi
Pemakaian
Kuantitas Harga
Satuan
(Rp)
Biaya per Tahun
(Rp)
ATK Analisa Data 1 1,000,000 1,000,000
Tinta printer Pencetakan 2 500,000 1,000,000
Flashdisk Penyimpanan data 1 500,000 500,000
SUB TOTAL (Rp) 2,500,000
4. Perjalanan
Material Justifikasi
Pemakaian
Kuantitas Harga
Satuan
(Rp)
Biaya per Tahun
(Rp)
Perjalanan Denpasar ke
Gianyar
Survey dan
Sampling 1 750,000 750,000
Perjalanan Denpasar ke
Tabanan dan Badung
Survey dan
Sampling 1 750,000 750,000
SUB TOTAL (Rp) 1,500,000
5. Lain - Lain
Kegiatan Justifikasi Kuantitas
Harga
Satuan
(Rp)
Biaya per Tahun
(Rp)
Menghadiri seminar Diseminasi
penelitian 1 500,000 500,000
Laporan Akhir Laporan hasil
penelitian 1 1,000,000 1,000,000
SUB TOTAL (Rp) 1,500,000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN SETAHUN (Rp) 10,000,000
17
Lampiran 2. Dukungan Sarana dan Prasarana Penelitian
Penelitian ini akan didukung oleh sarana dan prasarana berupa LABORATORIUM
BAHASA Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Secara spesifik, penggunaan
Laboratorium Bahasa dapat diuraikan sebagai berikut:
Nama Sarana dan Prasarana LABORATORIUM BAHASA
Instansi Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas
Udayana
Kapasitas Komputer (2 buah), printer, internet, Audio
Visual, Booth untuk mendengarkan (45 buah)
Kegunaan dalam Penelitian ini 1. Transkripsi data penelitian terutamanya yang
berkaitan dengan percakapan dalam bahasa
Inggris.
2. Pengolahan data untuk memilah bagian –
bagian data yang akan menjadi data sumber
penelitian.
3. Pengelompokan data – data berdasarkan
klasifikasi yang telah disusun sebelumnya.
18
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
No. Nama/NIDN Instansi Asal Bidang Ilmu Alokasi Waktu
(jam/minggu)
Uraian Tugas
1 I Gusti Ngurah
Parthama, S.S.,
M.Hum./0008017704
Fakultas Sastra
dan Budaya,
Universitas
Udayana
Ilmu Linguistik 10 jam / minggu Klasifikasi data
Analisa Data
Pembuatan laporan
penelitian
2 I Nyoman Tri Ediwan,
S.S., M.Hum.
Fakultas Sastra
dan Budaya,
Universitas
Udayana
Ilmu Linguistik 10 jam / minggu Klasifikasi data
Analisa Data
Pembuatan laporan
penelitian
19
Lampiran 4. Biodata Pembimbing, Ketua Peneliti, dan Anggota Peneliti
1. PEMBIMBING PENELITI
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. L/P
2. Jabatan Fungsional Lektor Kepala
3. Jabatan Struktural Guru Besar
4. NIP/NIK/No. Identitas lainnya 19521225 197903 1 004
5. NIDN 0025125208
6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 25 Desember 1952
7. Alamat Rumah Jln. Gunung Mas I A / C7 Dukuh Sari, Padangsambian