BAHASA ISYARAT INDONESIA DI KOMUNITAS GERAKAN UNTUK KESEJAHTERAAN TUNARUNGU INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Sos.) Oleh: DIYAH KARDINI MAULIDA NIM: 1110051100033 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
150
Embed
BAHASA ISYARAT INDONESIA DI KOMUNITAS GERAKAN UNTUK ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · bahasa isyarat dalam satu negara dengan neg. ara lain sangatlah berbeda.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAHASA ISYARAT INDONESIA DI KOMUNITAS GERAKAN
UNTUK KESEJAHTERAAN TUNARUNGU INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Sos.)
Oleh:
DIYAH KARDINI MAULIDA
NIM: 1110051100033
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
2.
3.
skripsi ini merupakan hasil karyu asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar 51 di universitas Islam Negeri
(UfN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (urN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya asli saya atau merupakan jiplakan
dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri UfD Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juh2017
i
ABSTRAK
Diyah Kardini Maulida 1110051100033
Bahasa Isyarat Indonesia di Komunitas Gerakan Untuk Kesejahteraan
Tunarungu Indonesia
Penyandang tunarungu merupakan kelompok yang menggunakan bahasa
isyarat untuk berkomunikasi. Secara alami, kaum tunarungu memaksimalkan sisa
indra pada tubuh yang masih berfungsi secara maksimal untuk dapat menerima
respon dari luar tubuh mereka. Salah satu bentuk rangsangannya berupa informasi
bahasa yang dapat diterima melalui indra penglihatan. Selain itu, cara pemahaman
bahasa pada tunarungu berbeda dengan cara pemahaman pada orang normal. Salah
satu cara pembelajaran bahasa pada tunarungu adalah dengan memaksimalkan indra
penglihatan sebagai alat dalam menerima rangsangan informasi bahasa dan
penggunaan bahasa isyarat sebagai cara melatih komunikasi bahasanya.
Perbendaharaan kata dalam bahasa tidak dapat dijelaskan melalui pembelajaran
secara audio karena ketidakmampuan tuna rungu dalam mendengar. Rangsangan
informasi tersebut berupa visualiasi kata-kata ke dalam bentuk gambar-gambar
sebagai pengganti cara-cara audio pada orang normal.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini akan menjawab: “Bagaimana
mengartikan isyarat bahasa kata tulisan ke dalam bentuk simbol?” dan “Adakah
persamaan gerakan dari Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dengan bahasa isyarat
dari negara lain?” Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
semiotika dengan pendekatan kualitatif deskiriptif.
Adapun teori yang digunakan adalah teori Semiotika Ferdinand de Saussure.
Semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji tentang kehidupan tanda-tanda di
tengah masyarakat dan menjadi disiplin ilmu psikologi sosial. Tujuannya adalah
untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta dengan kaidah-
kaidah yang mengaturnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa isyarat, peran ekspresi, gerak bibir, bahasa tubuh dan interpreter
sangatlah dibutuhkan. Tetapi selain dari hal-hal tersebut, upaya untuk mendalami dan
mempelajari bahasa isyarat pun menjadi hal yang penting untuk memperlancar
jalannya komunikasi antara individu tunarungu dengan individu normal. Selain itu,
bahasa isyarat dalam satu negara dengan negara lain sangatlah berbeda. Semua itu
tergantung dari latar belakang budaya masing-masing negara. Dengan adanya
BISINDO sebagai salah satu bahasa isyarat yang ada di Indonesia menjadi ciri kahs
tersendiri bagi budaya Indonesia yang tidak terdapat pada isyarat negara lain.
Kata Kunci : Semiotika,Bahasa Isyarat, BISINDO, BSL, Tunarungu dan
Komunikasi.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirohim
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarukatuh
Puji Syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat serta hidayah-Nya dan shalawat serta salam tak lupa peneliti
panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis bersyukur atas
terselesaikannya skripsi ini setelah peneliti mengenyam pendidikan selama tujuh
tahun di Jurusan Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini peneliti mengalami berbagai kendala dan
kejenuhan. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih
sebesarbesarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta jajarannya.
2. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr. H. Arief Subhan,
M.A., Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M.Ed Ph.D.,M.A,
Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Dra. Hj. Roudhonah, M.Ag.,
serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Dr. Suhaimi, M.Si.
iii
3. Kholis Ridho, M.Si dan Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA selaku Ketua dan
Sektertaris Jurusan Konsentrasi Jurnalistik yang telah banyak membantu
peneliti dalam memberi kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ade Rina Farida M.Si., Dosen Pembimbing Akademik mahasiswa
Jurnalistik A angkatan 2010. Beserta seluruh dosen yang telah
memberikan ilmu selama perkuliahan kepada penulis
5. Bapak Dr. Tantan Hermansah M.Si. selaku pembimbing yang telah
membantu peneliti dalam menjalankan skripsi.
6. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persaty. Terima kasih atas ilmu
dan dedikasi yang diberikan kepada peneliti.
7. Segenap pempinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi serta Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan peneliti untuk
mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Orang Tua, Ayahanda Sukardi dan Ibunda Rokayah yang tak pernah lelah
memberikan nasihat, dukungan dan doa yang berlimpah.
9. Kepada seluruh keluarga, Adik Fajar Alfisyahrin, Firkiawan Fathur
Rahman, dan keluarga lainnya yang selalu memberi semangat sehingga
peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
10. Kim Kibum no words can describe how thankful I am to be able known
you as a person yourself.
iv
11. SHINee, musik dan karya kalian sangat membantu melepas jenuh. Please,
always be my spirit animal.
12. Bapak Bambang Prasetyo selaku Ketua Umum GERKATIN Indonesia
yang banyak sekali membantu dan memberikan kemudahan kepada
peneliti dalam mengurusi data-data yang peneliti perlukan. Kebaikan
bapak tidak akan peneliti lupakan. Serta kepada seluruh narasumber lain
Ibu Wilma Redjeki , Ibu Juniati Effendi, Bapak Tori Hermawan dan
lainnya tanpa kalian penulis tidak bisa mendapatkan data-data yang
lengkap.
13. Teman-teman Jurnalistik A (NAJUA), keluarga kecil dalam berbagi suka
dan duka selama kurang lebih empat tahun, berbagi ilmu, support dan
samasama berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Jurnalistik A sangat
berkesan dengan adanya kalian semua terimakasih.
14. Teman-teman tercinta Cucu Sulastri, Dennisa P. Rosandria, Mella
Tabel 2 Keterangan Nrasumber dan Jenis Data ............................................. 12
Tabel 3 Studi Dokumen .................................................................................. 13
Tabel 4 Contoh Isyarat Bahasa Indoneia (BISINDO) .....……………………. 70
Tabel 5 Contoh Bentuk Kalimat Isyarat Pendek dan Penjelasannya
Ketika Berbicara dengan Sesama Tunarungu dan Ketika
Berbicara dengn Individu Normal ................................................... 82
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Abjad Huruf dalam Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)… 28
Gambar 2 Bentuk Komunikasi Semiotika Saussure………………... 33
Gambar 3 Teori Ferdinand de Saussure……………………………... 45
Gambar 4 Abjad Huruf dalam Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)… 67
Gambar 5 Contoh Isyarat Keluarga....................................................... 74
Gambar 6 Ekspresi Wajah……………………………………………. 76
Gambar 7 Contoh Pemberian Nama Inisial………………………….. 78
Gambar 8 Komunikasi Antara Tunarungu dan Individu Normal…… 82
Gambar 9 Tata Bahasa dan Artikulasi Isyarat BISINDO
Ketika Bertanya.................................................................. 85
Gambar 10 Tata Bahasa dan Artikulasi Isyarat BISINDO
Ketika Menjawab............................................................... 86
Gambar 11 Tata Bahasa dan Artikulasi Isyarat BISINDO
Ketika Bertanya................................................................. 88
Gambar 12 Tata Bahasa dan Artikulasi BISINDO Isyarat Kekuarga... 93
Gambar 13 Tata Bahasa dan Artikulasi BISINDO Isyarat Bayi......... 95
xi
Gambar 14 Tata Bahasa dan Artikulasi BISINDO Isyarat Anak........ 96
Gambar 15 Tata Bahasa dan Artikulasi BISINDO Isyarat Hamil..... 98
Gambar 16 Tata Bahasa dan Artikulasi BISINDO Isyarat Ayah...... 99
Gambar 17 Tata Bahasa dan Artikulasi BISINDO Isyarat Ibu......... 100
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Surat Keterangan Penelitian dari GERKATIN
Lampiran 4 Profile GERKATIN
Lampiran 5 Transkrip Wawancara Penulis dengan Ketua Umum Organisasi
GERKATIN
Lampiran 6 Transkrip Wawancara Penulis dengan Wakil Ketua Umum
Organisasi GERKATIN
Lampiran 7 Transkrip Wawancara Penulis dengan Sekrtaris Umum Organisasi
GERKATIN
Lampiran 8 Transkrip Wawancara Penulis dengan Wakil Sekretaris Organisasi
GERKATIN
Lampiran 9 Dokumentasi Foto Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh
anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.1 Sistem bahasa
dibangun oleh sejumlah substansi yang menjadikannya bukan sebagai satu sistem
tunggal. Bahasa biasa digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan atau
pun menyampaikan pesan kepada orang lain.
Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai peranan penting di dalam
kehidupan bermasyarakat. Tanpa bahasa manusia akan sulit untuk menyampaikan ide
dan gagasannya kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Oleh karena itu,
tak mengherankan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan komunikasi
dalam kehidupan manusia. Sumarsono dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik
mengemukakan bahwa, “bahasa sering dianggap produk sosial atau produk budaya,
bahkan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan.”2
Dalam penyampaiannya, terdapat dua macam bentuk komunikasi, yaitu komunikasi
verbal dan non verbal. Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang
1 Djarwowidjojo S, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 16. 2 Sumarsono, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 20.
2
disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan cara tertulis
atau pun dalam bentuk lisan. Sedangkan komunikasi non verbal adalah kebalikan dari
komunikasi verbal. Komunikasi non verbal merupakan suatu proses komunikasi
dimana cara penyampaiannya tidak menggunakan kata-kata dan suara melainkan
menggunakan body language (bahasa tubuh), ekspresi wajah, atau pun kontak mata.
Komunikasi ini sering disebut dengan bahasa isyarat.3
Bahasa isyarat adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual
melalui bahasa tubuh ataupun gerak bibir. Bahasa isyarat biasanya
mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi gerak tangan, lengan, bibir ataupun
gerak tubuh dan ekspresi mimik wajah untuk mengungkapkan sesustu hal yang ada di
dalam pikiran mereka. Penyandang tunarungu merupakan kelompok yang
menggunakan bahasa ini untuk berkomunikasi.
Ciri utama tuna rungu dalam belajar bahasa adalah dengan membiasakan pola
pikir dalam memahami bentuk makna kata. Makna kata jika pada orang normal dapat
diberi pengertian dengan cara menjelaskan arti dari kata tersebut dalam bentuk audio,
atau melalui cara berbicara dan mendengar secara terus menerus hingga anak
memahami secara pasti makna kata tersebut. Namun hal ini akan berbeda caranya jika
diterapkan pada tuna rungu yang memiliki gangguan atau hambatan pada indra
pendengaran. Secara alami, tuna rungu akan berusaha memaksimalkan sisa indra
pada tubuh yang masih berfungsi secara maksimal untuk dapat menerima respon dari
3 www.pengertianku.net > umum diakses pada 16 September 2015 pukul 20.50 WIB.
3
luar tubuh mereka, salah satu bentuk rangsangan adalah berupa informasi bahasa
yang dapat diterima melalui indra penglihatan.
Selain itu, cara pemahaman bahasa pada tuna rungu berbeda dengan cara
pemahaman pada orang normal. Perbendaharaan kata dalam bahasa tidak dapat
dijelaskan melalui pembelajaran secara audio karena ketidakmampuan tuna rungu
dalam mendengar. Salah satu cara pembelajaran bahasa pada tuna rungu adalah
dengan memaksimalkan indra penglihatan sebagai alat dalam menerima
rangsangan informasi bahasa, dan penggunaan bahasa isyarat sebagai cara melatih
komunikasi bahasanya. Rangsangan informasi tersebut berupa visualiasi kata-kata
ke dalam bentuk gambar-gambar sebagai pengganti cara-cara audio pada orang
normal.
Bermula dari penjelasan di atas, peneliti mencoba mengangkat
permasalahan tentang bagaimana cara tuna rungu dalam memahami bahasa dalam
berkomunikasi serta mencari persamaan dan perbedaan Bahasa Isyarat Indonesia
(BISINDO) dengan bahasa isyarat dari negara-negara lain. Karena umum
masyarakat ketahui bahwa ada perbedaan yang cukup mencolok tentang cara
berkomunikasi antara tuna rungu dan orang normal pada umumnya. Serta
bagaimana cara menjembatani kesenjangan komunikasi ini dalam bermasyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Bahasa Isyarat Indonesia di Komunitas Gerakan Untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia.
4
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti membatasi masalah dan
memfokuskan penelitian pada Bahasa Isyarat Indonesia di Komunitas Gerakan
Nasional Tunarungu Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Dengan demikian, berdasarkan batasan masalah diatas maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana mengartikan isyarat bahasa kata tulisan ke dalam bentuk
simbol?
2) Bagaimana makna dibalik lambang-lambang BISINDO yang
digunakan dalam bahasa isyarat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan demikian, berdasarkan batasan dan rumusan masalah diatas maka
tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui cara mengartikan isyarat bahasa kata tulisan ke
dalam bentuk simbol.
2) Untuk mengetahui bagaimana makna dibalik lambang-lambang
BISINDO yang digunakan dalam bahasa isyarat?
5
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Secara Akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan berfikir dalam dunia Jurnalistik, khususnya bagi penelitian
semiotika dengan pendekatan kualitatif pada sistem bahasa isyarat alamiah
dasar BISINDO.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
kepada pemerintah dalam mengaplikasikan sistem bahasa isyarat yang ada
di Indonesia, serta tata cara belajar bahasa isyarat BISINDO kepada para
pelajar yang tertarik mendalami isyarat ini. Peneliti juga mengharapkan
penelitian ini dapat memberi masukan sebagai referensi tambahan terkait
dengan data analisis yang sama.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis. Kaum konstruktivis beranggapan bahwa dunia empiris tidaklah
independen, melainkan apa yang peneliti lihat saat melakukan penelitian
menjadi persepsi dan interpretasi tersendiri bagi peneliti. Konstruktifisme
beranggapan bahwa teori-teori komunikasi lebih dari sekedar hubungan
statistik saja, melainkan juga menjelaskan perilaku komunikasi dengan
mengacu pada alasan-alasan seseorang berbicara dengan orang ataupun
6
kelompok yang lainnya.4 Penelitian menggunakan paradigma konstruktivis
karena ingin melihat semiotika bahasa isyarat BISINDO diterapkan untuk
kaum tunarungu.
2. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Bodgan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.5
Penelitian kualitatif merupakan sebuah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
yang bersangkutan dalam bahasa dan peristilahannya.
Pendekatan penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk
membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta
dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Pendekatan ini juga bertujuan
untuk mendapatkan pemahaman bersifat umum yang diperoleh setelah
melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian,
kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum tentang kenyataan-
kenyataan tersebut.6
4 Andi Bulaeng, Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer, (Yogyakarta: Andi, 2004), h. 11-12. 5 Eduardus Dosi, Media Massa Dalam Jaringan Kekuasaan, (NTT: Ledalero, 2012), h. 95. 6 Lexy J.Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 157.
7
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan
sejumlah data, baik yang tertulis maupu lisan dari orang-orang serta tingkah
laku yang diamati. Dalam hai ini, individu atau organisasi harus dipandang
sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Artinya, tidak boleh diisolasikan ke
dalam variabel atau hipotesis.7
Eriyanto mengutip pernyataan Cresswell, ada beberapa asumsi dalam
pendekatan kualitatif, yaitu peneliti kualitatif lebih mementinglan proses
daripada hasil, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi, peneliti
merupakan alat utama dalam pengumpulan data dan harus terjun ke lapangan
dan menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian,
interpretasi data dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.8
Metode penelitian yang dipakai adalah metode semiotika Ferdinand de
Saussure. Menurut Saussure semiotika adalah suatu bidang penelitian yang
mengkaji tentang bahasa yang harus dilihat secara “sinkronis” sebagai sebuah
jaringan hubungan yang menjembatani antara bunyi dan makna.9 Selain itu,
Saussure juga menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah bentuk dari fenomena
sosial yang ditentukan oleh kebiasaan sosial. Bahasa bersifat otonom:
struktuur bahasa bukan merupakan cerminan dari struktur pikiran atau
7 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
(Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2011), h. 22. 8 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 3. 9
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 44.
8
cerminan dari fakta-fakta. Struktur bahasa adalah milik bahasa itu sendiri
(Grenz, 20001: 180).10
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah meliputi tiga teknik pengumpulan data yaitu, obsevasi,
wawancara, dan pengumpulan dokumen yang semuanya terkait langsung
dengan subjek penelitian ini:
1) Observasi
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan
hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia
kenyataan yang diperoleh melalui observasi.11
Observasi merupakan
teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan
melakukan pencatatan sistematis terhadap fenomena yang diselidiki.
Dengan metode ini peneliti mengamati, merekam hasil wawancara, berfoto
dengan narasumber yaitu Bambang Prasetyo selaku Ketua Umum
GERKATIN, Juniati Effendi Wakil Ketua Umum GERKATIN, Wilma
Redjeki Wakil Sekretaris GERKATIN dan para anggota GERKATIN,
mecatat hal-hal yang berkaitan dengan dampak semiotika pola komunikasi
non verbal BISINDO terhadap pemaknaan bahasa isyarat alamiah pada
tuna rungu di komunitas Gerkatin Jakarta dan mempelajari secara singkat
bahasa isyarat kaum tunarungu BISINDO.
10
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 45. 11 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 309.
9
TABEL. 01 Ringkasan Observasi Penelitian12
No Waktu Observasi
1 8 November 2016 Izin penelitian
Keadaan lingkungan:
1. Narasumber ramah, santun dan sopan.
2. Perizinan penelitian tidak dipersulit.
3. Komunkasi masih sulit dikarenakan
narasumber adalah tunarungu.
2 11 November
2016
Wawancara
Keadaan lingkungan:
1. Narasumber ramah, santun dan sopan.
2. Narasumber sangat teliti dan sabar
ketika menjelaskan kepada peneliti
karena pergantian komunikasi verbal
dan nonverbal.
3. Wawancara santai dan informatif.
4. Komunikasi lisan dan tulis karena
12
Rangkuman wawancara pribadi dengan Bambang Prasetyo, Tori Hermawan, Juniati Effendi, dan
Wilma Redjeki pada tanggal 11 November 2016 sampai dengan 27 Januari 2017.
10
narasumber semuanya tunarungu.
3 15 Januari 2017 Wawancara
Keadaan lingkungan:
1. Narasumber ramah, santun dan sopan.
2. Ramai karena semua staff sedang
berkumpul dan ada tamu dari
komunitas Bravo.
3. Ceria, santai dan peneliti mengamati
serta mempelajari cara komunitas
Bravo dan GERKATIN berkomunikasi.
4. Wawancara singkat dan informatif.
5. Komunikasi lisan dan tulis karena
narasumber semuanya tunarungu.
4 25 – 27 Januari
2017
Keterangan data tambahan
Keadaan lingkungan:
1. Narasumber ramah, santun dan sopan.
2. Peneliti meminta keterangan penelitian
dan wawancara kepada phak
GERKATIN dan berfoto bersama.
11
3. Komunikasi lisan dan tulis karena
narasumber semuanya tunarungu.
2) Wawancara
Wawancara adalah teknik yang dilakukan sebagai upaya
menhimpun data yang akurat untuk keperluan pemecahan masalah
penelitian. Kemudian data yang diperoleh dengan teknik ini adalah dengan
cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara seorang
atau beberapa orang yang diwawacarai dan pewawancara.13
Peneliti
berkesempatan untuk mewawancarai para anggota Gerkatin yang terdiri
dari Bambang Prasetyo Ketua Umum GERKATIN, Juniati Effendi Wakil
Ketua Umum GERKATIN, Tori Hermawan Sekeretaris Umum
GERKATIN, dan Wilma Redjeki Wakil Sekretaris GERKATIN.
Wawancara yang dilakukan bertempat di kantor Komunitas GERKATIN
Jakarta Selatan pada tanggal 25 sampai 27 Januari 2017.
13 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), h. 20.
12
TABEL. 02 Keterangan Narasumber dan Jenis Data14
No Informan Jenis Data Keterangan
1 Bambang
Prasetyo
Profil GERKATIN, Sejarah
BISINDO dan Contoh peragaan
bahasa isyarat BISINDO
Dua kali
wawancara
2 Juniati Effendi 1. Sejarah dan penjelasan
diterbitkannya buku pedoman
BISINDO Jakarta dan
Yogyakarta
Satu kali
wawancara
3 Tori
Hermawan
1. Sedikit perbedaan tentang
2. komunikasi BISINDO dan SIBI
Satu kali
wawncara
4 Wilma Redjeki Contoh memperagakan
komunikasi BISINDO dan
Perbedaan komunikasi
BISINDO Nasional dengan
BISINDO Jakarta
Satu kali
wawancara
14
Rangkuman wawancara pribadi dengan Bambang Prasetyo, Tori Hermawan, Juniati Effendi, dan
Wilma Redjeki pada tanggal 11 November 2016 sampai dengan 27 Januari 2017.
13
3) Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan sebuah teknik untuk mencari dan
mendapatkan data mengenai hal-hal yang tertulis.15
Peneliti
mendokumentasikan hasil wawancara tertulis dengan pihak-pihak terkait
di atas serta mempelajari buku BISINDO khusus Jakarta yang diberikan
oleh narasumber sebagai bahan penelitian.
TABEL. 03 Studi Dokumen16
No. Data Isi
1 Wawancara tertulis Wawancara tentang terbentuknya
Rangkuman wawancara pribadi dengan Bambang Prasetyo, Tori Hermawan, Juniati Effendi, dan
Wilma Redjeki pada tanggal 11 November 2016 sampai dengan 27 Januari 2017.
14
kegiatan dan program kerja
GERKATIN
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alur teknik analisis data
kualitatif model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984).
Ada empat macam kegiatan dalam analisa data kualitatif, yaitu pengumpulan data,
reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan / verifikasi.17
Berikut
penjabara tahap-tahapnya:18
a. Tahap Pengumpulan Data
Tahap ini dilakukan sebelum penelitian menuju akhir. Peneliti
melakukan ketiga prosses pengumpulan data di atas mulai dari masih
berbentuk konsep (draft) sampai selesai.
b. Tahap Reduksi Data
Tahap ini merujuk pada proses pemilihan, pemokusan,
penyederhanaan, abstraksi dan pentransformasian “data mentah” yang
terjadi dalam catatan-catatan lapangan tertulis. Jadi, peneliti merangkum
dan memilih data-data yang dianggap penting untuk dikumpulkan melalui
wawancara dan analisis.
17 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatf untuk Ilmu-Ilmu Sosial, h. 163. 18 Emzir, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h.
129-133.
15
c. Tahap Display Data
Setelah direduksi, kemudian data disajikan dalam bentuk uraian
atau penjelasan (teks naratif). Dengan adanya display data, maka data yang
diperoleh akan lebih mudah dikelompokkan dan dipahami.
d. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi
Tahap ini merujuk kepada jawaban dari pertanyaan yang peneliti
ajukan sebelumnya, kemudian ditarik kesimpulan baru yang didasari oleh
data-data yang sudah didapatkan, berupa pemaparan dan interpretasi
penemuan peneliti.
6. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah GERKATIN sebagai salah satu
komunitas bahasa isyarat BISINDO yang ada di Indonesia. Sedangkan objek
penelitiannya adalah pola komunikasi non-verbal BISINDO terhadap
pemaknaan bahasa isyarat alamiah pada tunarungu.
7. Tempat dan Waktu Penelitian
Kantor komunitas GERKATIN Jakarta Selatan, jalan Ranco Indah
Dalam No. 47 BC – Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Waktu pelaksanaan
penelitian ini dimulai tanggal 25 sampai 27 Januari 2017.
8. Pedoman Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi
16
dkk yang diterbitkan oleh CeQDA 2015 (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Tinjauan Pustaka
Analisis ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu dan buku-buku
yang membahas tentang media massa, berita dan studi kasus. Oleh karena itu,
untuk menghindari hal-hal yang menjiplak hasil karya orang lain, maka penulis
mempertegas perbedaan antara masing-masing judul yang sedang dibahas yaitu,
sebagai berikut:
1. Wuri Ariyani, “Realisasi Hak Publik Dalam Produksi Berita Bahasa Isyarat
Di Televisi (Studi Kasus Program Berita Indonesia Malam Versi Bahasa
Isyarat di TVRI)”. Skripsi ini disusun di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014, dengan membatasi masalahnya pada
produksi berita Indonesia Malam TVRI versi bahasa isyarat. Dalam penelitian
ini peneliti memaparkan realisasi atau pemenuhan hak tunarungu dalam
mendapatkan informasi melalui perancangan produksi berita versi bahasa
isyarat yang dilakukan pihak TVRI.
2. Hamidah, “Pola Komunikasi Antarpribadi Nonverbal Penyandang Tuna
Rungu (Studi Kasus di Yayasan Tuna Rungu Sehjira Deaf Foundation
Joglo – Kembangan Jakarta Barat)”. Skripsi ini disusun di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014, dengan membatasi
masalahnya pada pola komunikasi penyandang tunarungu melalui komunikasi
antar pribadi yang bersifat nonverbal serta difokuskan kepada penyandang
tunarungu ringan dan tunarungu berat.
17
3. Nur Fajri Rahmawati, “Semiotika Sosial Hukum Bertabaruj pada Kuku bagi
Wanita Muslimah dalam Program Berita Islami Masa Kini dan Mozaik
Islam di Trans TV”. Skripsi ini disusun di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014, dengan membatasi masalahnya pada
tayangan tentang konstruksi media yang dilakukan dalam episode hukum
bartabaruj pada kuku bagi wanita, yang menurut islam arti bertabaruj adalah
memamerkan kecantikannya (wanita) kepada yang bukan mahramnya.
Penelitian ini difokuskan dalam program Berita Islami Masa Kini dan Mozaik
Islam Trans TV dalam episode hukum bertabaruj pada kuku bagi wanita.
4. Rizqi Nurul Ilmi, “Strategi Komunikasi Guru Dalam Penanaman Nilai-
Nilai Pendidikan Agama Pada Anak Penyandang Tunagrahita Di SLB-C
Tunas Kasih I Kabupaten Bogor”. Skripsi ini disusun di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013, dengan membatasi
masalahnya pada ruang lingkup bentuk komunikasi yang digunakan antara
guru dengan murid penyandang tunagrahita dalam penananman nilai-nilai
agama.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, maka peneliti membagi
pembahasannya ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub bab. Adapun
sistematika penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut:
18
Bab I Pendahuluan
Bab ini akan memaparkan mengenai latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini menjelaskan tentang Bahasa Sebagai Alat Komunikasi,
Komunikasi Verbal dan Komunikasi Nonverbal, Bahasa Isyarat, Jenis Bahasa
Isyarat, Tunarungu, Semiotika, Semiotika Struktural dan Model Semiotika
Ferdinand de Saussure.
Bab III Landasan Umum
Bab ini berisikan mengenai profile Gerakan Kesejahteraan Tunarungu
Indonesia (GERKATIN) Jakarta Selatan. Sedangkan objek penelitiannya adalah
penjelasan singkat sejarah berdirinya Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
Bab IV Temuan dan Analisis Data
Bab ini peneliti mendeskripsikan tentang Bahasa Isyarat Indonesia di
Komunitas Gerakan Nasional Tunarungu Indonesia.
Bab V Penutup
Bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran dari peneliti mengenai
hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.
19
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL DAN LANDASAN TEORI
A. Kerangka Konseptual
1. Bahasa Sebagai Alat Komunikasi
Dalam pengertian populer, bahasa adalah bentuk percakapan;
sementara dalam ruang lingkup wacana linguistik bahasa dapat diartikan
sebagai simbol bunyi bermakna dan berartikulasi yang bersifat arbitrer dan
konvensional.1 Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud
untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang dimaksudkan
oleh seseorang bisa dipahami dan dimengerti oleh lawan bicaranya melalui
bahasa yang diungkapkan. Selain itu, bahasa juga memiliki kemampuan untuk
menyatakan lebih daripada apa yang disampaikan.
Bahasa dapat dikatakan sebagai satu-satunya sarana yang
menjembatani komunikasi antar manusia. Karena bahasa adalah milik
manusia, maka bahasa merupakan suatu ciri pembeda utama komunikasi
manusia dengan cara komunikasi makhluk lainnya. Manusia merupakan
makhluk individual dan makhluk soaial. Untuk memenuhi hasrat sebagai
makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa untuk berinteraksi
dengan sesamanya. Untuk itu, bahasa mempunyai fungsi yang amat penting
bagi kehidupan manusia, terutama sebagai fungsi komunikatif.
1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 274.
20
Jika kita merujuk pada definisi bahasa di atas, maka penggunaan
bahasa hanya dapat dilakukan jika organ pendengaran dan bicara kita
berfungsi, sehingga informasi yang berupa simbol sandi konseptual secara
vokal dapat tersampaikan kepada penerima pesan. Bahasa juga terbatas
penggunaan pada suatu komunitas di mana bahasa tersebut diangkat untuk
disetujui dan dipahami bersama pengertiannya. Karena itulah kita mengenal
perbedaan bahasa bergantung pada tiap kebudayaan atau kelompok manusia
yang menggunakannya. Bahasa dapat bersifat arbitrer asalkan makna kata
tersebut dapat diterima secara komunitas dan disetujui sebagai bentuk bahasa.
Namun syarat bahasa ternyata tidak hanya terbatas pada penggunaan
organ pendengaran dan bicara saja, jauh sebelum bahasa lisan terbentuk
manusia telah mengenal bentuk bahasa lain, yakni bahasa tubuh dimana
komunikasi menggunakan alat gerak tubuh untuk membentuk simbol tertentu
yang membentuk makna tertentu.
Penggunaan bahasa tubuh tersebut diaplikasikan ke dalam bentuk
bahasa isyarat sebagai bentuk komunikasi kaum tuna rungu. Kaum tuna rungu
tidak mampu memanfaatkan alat bicara mereka sehingga mereka akan
menggunakan alat gerak tubuh yang lain untuk mengekspresikan isi pikiran
dan penerima akan menerima simbol-simbol tubuh tersebut sebagai sebuah
pesan. Bahasa isyarat merupakan alat komunikasi utama pada kaum tuna
rungu dimana ciri bahasa tersebut memanfaatkan indera penglihatan dan alat
gerak tubuh.
21
a. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih.2 Artinya, semua usaha yang kita lakukan secara sadar
untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Sedangkan sarana
untuk mengungkapkannya disebut dengan bahasa verbal. Jacobson dalam
buku “Pesan, Tanda dan Makna” karya Marcel Danesi mengungkapkan
bahwa komunikasi verbal jauh dari sekedar pemindahan informasi yang
sederhana.3
Bahasa mampu mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran
komunikator, baik hal konkret atau pun hal abstrak. Semua hal dapat
dibicarakan melalui komunikasi verbal, baik itu yang terjadi saat ini, di
masa lampau maupun rencana-rencana yang disusun untuk masa
mendatang. Oleh karena itu, komunikasi ini merupakan jenis komunikasi
yang paling sering digunakan oleh manusia.
Dengan adanya bahasa, memungkinkan kita untuk mengungkapkan
hal-hal yang ada di dalam pikiran yang tidak mungkin untuk diungkapkan
dengan lambang lain. Dalam komunikasi verbal, bahasa mempunyai dua
jenis pengertian, yaitu makna denotatif dan makna konotatif.4 Makna
denotatif merupakan jenis bahasa yang mengandung arti sebenarnya
(tercantum di dalam kamus) dan dapat diterima secara umum oleh
2 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, h. 52.
4 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, h. 35.
22
masyarakat yang berbudaya serta berbahasa yang sama. Pesan denotatif
tidak akan menimbulkan interpretasi pada komunikan ketika pesan itu
disampaikan. Sedangkan makna konotatif merupakan jenis bahasa yang
mengandung pengertian emosional atau evaluatif. Hal ini disebabkan
karena orang yang satu dengan yang lainnya dapat menginterpretasikan
pesan konotatif secara berbeda-beda. Maka dari itu, ketika suatu pesan
konotatif tidak dapat terhindari, komunikator harus bisa menjelaskannya
agar semua dapat mengerti dan mengiterpretasikannya secara sama.
b. Komunikasi Nonverbal
Secara sederhana komunikasi nonverbal didefinisikan sebagai
komunikasi tanpa kata-kata atau dengan selain kata-kata yang digunakan.5
Selain itu, komunikasi nonverbal juga merupakan bentuk penyampaian
pesan yang dikemas tanpa kata-kata.6 Jadi bisa dikatakan juga sebagai
pertukaran pesan dengan menggunakan media body language (gerak
tubuh), mimik wajah, kontak mata dan sentuhan.
Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi;
Komunikasi Antar Budaya memberikan batasan-batasan komunikasi
nonverbal, yaitu komunikasi nonverbal merupakan komunikasi tanpa kata-
kata, komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa
menggunakan suara, komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang
5 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h.
308. 6 Agus M Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Inerpersonal, (Yogyakarta: KANISIUS, 2003),
h. 26.
23
dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain dan
komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan,
waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.7
Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau
diungkapkan karena spontan. Disamping itu, komunikasi nonverbal juga
lebih sulit ditafsirkan karena kabur. Kekaburan ini disebabkan karena
struktur komunikasi nonverbal tidak jelas. Cara mempelajari komunikasi
nonverbal pun lebih sulit daripada mempelajari komunikasi verbal. Sebab
perbendaharaan kata, tata kalimat, dan tata bahasanya sulit ditunjuk.8
c. Bahasa Isyarat
Bahasa isyarat adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi
manual, bahasa tubuh dan gerak bibir, bukannya suara untuk
berkomunikasi. Kaum tunarugu adalah kelompok utama yang
menggunakan bahasa ini. Bahasa isyarat biasanya pengkombinasian dari
bentuk, orientasi dan gerak tangan, lengan, tubuh serta ekspresi wajah
untuk mengungkapkan isi pikiran.9
Bahasa isyarat merupakan jenis komunikasi non verbal karena
merupakan bahasa yang tidak menggunakan suara tetapi menggunakan
bentuk dan arah tangan, pergerakan tangan, bibir, badan serta ekspresi
wajah untuk menyampaikan maksud dan pikiran dari seorang penutur.
Belum ada bahasa isyarat internasional karena bahasa isyarat di tiap
7 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas Indonesia, TT), h. 32. 8 Agus M Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Inerpersonal, h. 26-27.
9 Bahasa Isyarat, https://id.wikipedia.org/ diakses pada 22 April 2017 pukul 11.14 WIB.
24
negara belum tentu sama. Ada beberapa bahasa isyarat yang dipakai di
suatu negara tetapi tidak ditemukan di negara lain. Bahasa isyarat biasanya
berkembang sesuai dengan lingkungan dan budaya setempat. Beberapa
bahasa isyarat yang ada adalah American Sign Language (ASL), French
Sign Language (LSF), German Sign Language (DGS), dan Arabic Sign
Language (ArSL).
Para penderita tuna rungu dan tuna wicara di Indonesia
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat yang mengacu pada dua
sistem yaitu BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem
Isyarat Bahasa Indonesia).10
BISINDO dikembangkan oleh orang tuna
rungu sendiri melalui GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu
Indonesia). SIBI dikembangkan oleh orang normal, bukan penderita tuna
rungu. SIBI sama dengan bahasa isyarat yang digunakan di Amerika yaitu
American Sign Language (ASL).
Isyarat dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penggunaan
tangan, lengan, dan kadang-kadang kepala untuk membuat tanda.11
Banyak terdapat persamaan isyarat di berbagai budaya, baik sejauh mana
isyarat itu digunakan maupun penafsiran dalam penggunaan isyarat
tertentu.
Isyarat mencakup keseluruhan lingkup signifikasi. Penggunaan
telunjuk merupakan bentuk manisfestasi dari penunjukan indeksikal untuk
menunjukkan arah dan sumber acuan jarak, meskipun bisa dilakukan oleh
10
Bahasa Isyarat, https://id.wikipedia.org/ diakses pada 22 April 2017 pukul 11.14 WIB. 11
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, h. 65-66.
25
bagian tubuh yang lain. Isyarat ikonis biasanya digunakan untuk
mempresentasikan benuk benda. Biasanya komunikasi isyarat ikonis
mengacu pada bentuk benda yang direpresentasikan oleh tangan. Selain
itu, jari juga dapat merepresentasikan isyarat sebuah simbol. Ladzimnya,
isyarat jari digunakan untuk bahasa kaum tunarungu. Ada pula isyarat
simbolis yang biasa digunakan bedasarkan kesepakatan bersama untuk
melalukan protokol interaksi seperti bentuk penyambutan terhadap suatu
hal, penegasan atau pun bentuk penolakan secara halus.12
Saat ini, banyak masyarakat yang telah mengembangkan “bahasa
gerakan” untuk individu-individu yang memiliki keterbatasan dalam
bekomunikasi, baik dalam pendengaran maupun dalam berbicara. Bahasa
ini dikenal dengan nama bahasa isyarat (sign language). Istilah tanda
(sign) digunakan sebagai sinonim dari isyarat (gesture). Bahasa isyarat
mempunyai banyak kesamaan dalam bentuk struktur dengan bahasa vokal.
Gerakan tangan bersifat spasial dan orientatif, serta ekspresi wajah dan
gerakan tubuh menjadi tata bahasa dan kosakata dalam bahasa ini.
Bahasa Isyarat merupakan salah satu bentuk bahasa yang bisa
dipelajari dengan mengutamakan komunikasi menggunakan bahasa tubuh,
ekspresi muka dan beberapa sinyal yang bukan manual dan bukan pula
suara. Bahasa isyarat ini banyak digunakan oleh orang dengan gangguan
12
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, h. 67.
26
pendengaran atau penyandang difabel rungu.standar bahasa isyarat yang
digunakan di dunia adalah American Sign Language (ASL).13
Di Indonesia, sistem umum yang digunakan ada dua yakni
BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) yang dikembangkan oleh difabel
rungu sendiri melalui GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu
Indonesia) dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) yang merupakan
hasil rekayasa orang normal yang sama dengan sistem isyarat Amerika
yaitu ASL (American Sign Language).14
d. Jenis Bahasa Isyarat
1. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI)
Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) merupakan salah satu
media yang membantu komunikasi sesama kaum tuna rungu di dalam
masyarakat yang lebih luas (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
Wujudnya adalah tatanan yang sistematis tentang seperangkat isyarat
jari, tangan, dan berbagai gerak yang melambangkan kosa kata bahasa
Indonesia.
SIBI juga merupakan salah satu media yang membantu sesama
kaum difabel rungu di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujud SIBI
adalah tatanan yang sistematis tentang seperangkat isyarat jari tangan,
dan berbagai gerak yang melambangkan kosakata bahasa Indonesia.
13 Hanny Novitasari Susanto, Aplikasi Pembelajaran Bahasa Isyarat untuk Tunawicara dengan
Standar American Sign Language, Jurnal Ilmiah Universitas Surabaya, (Surabaya: Universitas Suurabaya,
2014), h. 2 e-journal.ubaya.ac.id/ diakses pada 08 November 2016 pukul 10.30 WIB. 14 Martin Luter, dkk, SO-Ice (Sign To Voice) Aplikasi Alat Bantu Komunikasi untuk Tunarungu
Wicara, h. 5 https://repository.telkomuniversity.ac.id diakses pada 08 November 2016 pukul 10.46 WIB.
27
Kamus SIBI mengacu pada sistem isyarat struktural bukan sistem
isyarat konseptual.15
2. Bahasa Isyarat Konseptual / BISINDO
Bahasa isyarat konseptual merupakan bahasa isyarat yang
resmi digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Bahasa isyarat
ini sering digunakan oleh difabel rungu dalam berinteraksi dengan
sesama kelompok mereka. Adapun sistem bahsa isyarat konseptual
adalah BISINDO. BISINDO adalah sistem komunikasi yang praktis
dan efektif untuk penyandang difabel rungu Indonesia yang
dikembangkan oleh difabel rungu sendiri.
BISINDO digunakan untuk berkomunikasi antar individu
sebagaimana halnya dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Melalui
BISINDO difabel rungu dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan
leluasa dan mengekspresikan dirinya sebagai warga Negara Indonesia
yang bermartabat sesuai dengan falsafah hidup dan HAM (Hak Asasi
Manusia).16
BISINDO dikembangkan dan disebar luaskan melalui
wadah organisasi GERKATIN (Gerakan untuk Kejejahteraan
Tunarungu Indonesia). Pada saat ini pusat BISINDO sedang mengkaji
15
Ahmad Wasita, Seluk Beluk Tunarungu dan Tunawicara Serta Strategi Pembelajarannya, (Yogyakarta:
Javalitera, 2012), h. 72-73. 16
Wawancara pribadi dengan Bambang Prasetyo, Ketua Umum BISINDO pada tanggal 11
November 2016 pukul 14.00 WIB.
28
penyusunan standar, penyusunan kamus BISINDO, dan buku mata
pelajaran BISINDO.17
.
Gambar. 01 Abjad Huruf Dalam Bahasa Isyarat Indoensia (BISINDO)18
3. Tunarungu
Terdapat berbagai istilah yang berkembang di masyarakat untuk anak
yang mengalami gangguan pendengaran, misalnya terdapat istilah: tuli, bisu,
tunawicara, cacat dengar, kurang dengar atau tunarungu. Namun istilah yang
paling populer di masyarakat dan di dunia pendidikan adalah tunarungu.
Istilah tunarungu diambil dari kata „tuna‟ dan „rungu‟, tuna berarti kurang dan
rungu artinya pendengaran. Istilah yang biasanya digunakan untuk
menjelaskan anak yang mengalami gangguan pendengaran adalah tunarungu
atau dalam keseharian masyarakat biasanya mereka disebut dengan anak tuli.
Seseorang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu atau kurang mendengar.
Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak ada bedanya dengan anak
17
Hanny Novitasari Susanto, h. 2 e-journal.ubaya.ac.id/ diakses pada 08 November 2016 pukul
11.10 WIB. 18
http://www.kompasiana.com/anggakade/kelas-komunikasi-isyarat_54f42421745513942b6c8883 diakses pada 26 Januari 2017 pukul 19.58
29
normal lainnya, akan tetapi pada saat berkomunikasi baru dapat diketahui
bahwa mereka tunarungu.
Murni Winarsih mengungkapkan bahwa penyandang tunarungu adalah
seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari, yang
berdampak terhadap kehidupannya secara kompleks terutama pada
kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting.19
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa penyandang
tunarungu adalah seseorang yang tidak mampu mendengar tanpa
menggunakan alat bantu mendengar, yang diakibatkan oleh kerusakan organ
pendengaran, baik disebabkan oleh faktor prenatal, natal, maupun postnatal.
Ketunarunguan berdampak besar dalam kehidupan penyandang tunarungu,
terutama dalam kehidupan sosial, dimana anak tunarungu tidak mampu
berkomunikasi secara lancar dengan orang lain.
Selain itu Efendi juga mengemukakan bahwa penyandang tunarungu
adalah seseorang yang mengalami kerusakan satu atau lebih organ telinga
dalam proses pendengarannya sehingga organ tersebut tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.20
Jadi dari pendapat tersebut penyandang tunarungu
adalah mereka yang tidak mampu mendengar secara total atau sebagian
19 Murni Winasih, Intervensi Dini Bagi Anak Tunarungu dalam Pemerolehan Bahasa, (Jakarta:
Depdikbud Dirjendikti, 2007), h. 22. 20
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007), h. 57.
30
melalui telinga, kecuali menggunakan Alat Bantu Mendengar (ABM).
Ketidakmampuan mendengar tersebut dapat terjadi disalah satu organ telinga
maupun keduanya, yang disebabkan oleh penyakit, keturunan maupun karena
kecelakaan. Apabila terjadi kerusakan pada organ telinga, tentu saja
mengakibatkan telinga tidak dapat berfungsi secara optimal untuk mendengar.
Dengan demikian ketunarunguan dibagi menjadi dua, yaitu tunarungu
total dan tunarungu sebagian (hard of hearing). Penyandang tunarungu total
adalah seseorang yang mengalami kehilangan pendengaran sehingga
menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai
atau tidak memakai alat bantu dengar. Sedangkan tunarungu sebagian adalah
seseorang yang apabila menggunakan alat bantu dengar sisa pendengarannya
cukup memungkinkan untuk memperoleh informasi bahasa.
B. Landasan Teori
1. Semiotika
Semiotika merupakan bagian kajian ilmu atau metode analisis yang
mengkaji tentang tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh
komunikasi. Bidang kajian ini mempelajari bagaimana manusia melakukan
hal-hal yang terjadi dan memaknai arti dibalik tanda-tanda tersebut dan
mengkomunikasikan kepada sesamanya. Manusia dengan perantaraan tanda-
tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kajian semiotika
dibagi menjadi dua, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi.
Semiotika komunikasi menitikberatkan pada teori tentang produksi
tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam
31
komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan semiotika
signifikasi menitikberatkan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu
konteks tertentu.21
Semiotika berasal dari bahasa Yunani Semeion yang berarti tanda.
Menurut padangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke
dalam berbagai cabang ilmu dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk
memandang berbagai wacana sosial ke dalam fenomena bahasa.22
Bahasa
dijadikan model dalam berbagai wacana. Bila seluruh praktek sosial bisa
dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semua bisa dipandang sebagai
tanda.
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yaitu Ferdinand de
Saussure yang berasal dari Eropa (1857-1913) dan Charles Sander Pierce dari
Amerika (1839-1914). Kedua ilmuan ini mengembangkan ilmu semiotika
secara terpisah. Saussure dengan latar belakang ilmu linguistik dan menyebut
ilmu yang sedang dikembangkannya dengan istilaah semiologi. Sedangkan
Pierce dilatarbelakangi dari ilmu filsafat dan menyebutnya dengan semiotika.
Baik semiotika dan semiologi sama-sama bisa saling menggantikan,
karena keduanya mengacu pada ilmu tentang tanda.23
Dalam studi komunikasi
semiotika dapat dipahami sebagai tanda (signs) dan simbol yang merupakan
21 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.15. 22 Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna, (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2011), h. 262. 23 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.12.
32
tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi.24
Tradisi semiotik
mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili obyek, ide,
situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada diluar diri.25
Adapun
konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika dalam komunikasi adalah
“tanda” yang memiliki arti a stimulus designating something other than itself.
Teori tentang tanda yang menggagas pertamakali adalah filosof dari abad
kesembilan belas yaitu Charles Saunders Peirce serta Ferdinant de Sasuusure
walaupun keduanya memiliki paradigma yang berbeda.26
Para ahli pun tidak
mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena menurut mereka
keduanya sama saja. Alex Sobur mengutip dari Tomy Christomy (2013: 7)
menyebutkan: ada kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada
istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering
menggunakannya.27
Dalam perkembangannya pun, istilah semiotika lebih
sering digunakan oleh para ilmuan sampai saat ini.
Dalam definisi Saussure yang dikutip Sobur, semiologi merupakan
sebuah ilmu yang mengkaji tentang kehidupan tanda-tanda di tengah
masyarakat dan dengan demikian menjadi disiplin ilmu psikologi sosial.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda
24 Morissan, Teori Komunikasi Individu hingga Massa , (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
2013), h. 32. 25 Morissan, Teori Komunikasi Individu hingga Massa, h. 32. 26 Morissan, Teori Komunikasi Individu hingga Massa, h. 33. 27 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 7.
33
beserta dengan kaidah-kaidah yang mengaturnya.28
Dengan demikian,
pengikut Saussure menegaskan perbedaan semiologi dan semiotika.
Semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda-tanda yang dapat
dijabarkan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima
istilah:29
Gambar. 02. Bentuk Komunikasi Semiotika Saussure30
S ( s, i, e, r, c )
S untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i
untuk interpreter (penafsir); e untuk effect (pengaruh); r untuk reference
(rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi). Semiotika
berusaha menjelaskan tentang ilmu tentang tanda; secara sistematik
menjelaskan esensi, cirri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi
yang menyertainya.
Sementara, istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada
akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik, Charles Sander Pierce,merujuk
28 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 12. 29 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 17. 30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 17.
34
kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda”.31
Dasar dari semiotika adalah
tidak harus selalu berhubungan dengan konsep tentang tanda (bahasa dan
sistem komunikasi), melaikan juga dunia itu sendiri (sejauh terkait dengan
pikiran manusia selalu terdiri dari tanda-tanda. Jika tidak begitu, manusia
tidak dapat menjalin hubungan dengan realitas. Bahasa merupakan sistem
tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda
nonverbal dapat dipandang sebagai jenis bahasa yang tersusun dari tanda-
tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan hubungan dari keduanya.
Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal
yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan ,berita). Karena sistem
tanda sifatnya sangat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda
tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai
kontruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada.32
a. Semiotika Struktural
Kata struktur dapat diartikan dengan kaitan-kaitan yang tetap dan
teratur antara kelompok-kelompok gejala.33
Adapun strukturalisme
merujuk pada suatu gerakan intelektual yang berpusat di Perancis di tahun
1960 an. Gerakan intelektual ini memahami bahwa fenomena hidup
manusia tidak dapat dipahami kecuali adanya saling keterhubungan antara
31 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 13. 32
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 3. 33 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa mengungkap hakekat bahasa, makna dan tanda,
(Bandung:Rosdakarya, cet-2, 2009), h. 102.
35
sesamanya dan membentuk struktur melalui sebuah hubungan.34
Dalam
pengertian lain, strukturalisme adalah suatu cara berpikir yang memandang
suatu realitas sebagai suatu kesatuan terdiri dari struktur-struktur yang
saling berkaitan yaitu meliputi transformasi dan keutuhan maupun
penagaturan diri dalam sistem itu sendiri.35
Bagi kaum strukturalis manusia tidak digambarkan sebagai sebagai
pencipta struktur melainkan sebagai hasil dari sebuah struktur. Pemikiran
ini berlawanan dengan aliran eksistensialisme yang menganggap bahwa
manusia itu makhluk bebas.36
Dalam hal tersebut, Ferdinad de Saussure
memandang bahwa struktur semacam itu sebagai institusi sosial yang
berjangka panjang dan dengan demikian hubungan antara bahasa dengan
realitas sifatnya adalah arbiter.37
Lahirnya Strukturalisme melalui pandangan Ferdinand de Saussure
berkaitan dengan strukturalisme pada bidang linguistik. Bahasa menurut
Ferdinand de Saussure tak hanya sebagai karya musik dalam sebuah
permainan simponi melainkan terdiri atas unsur parole (ucapan manusia)
serta hubungan jaringan „sinkronis‟, yaitu hubungan antara bunyi dan
makna. Bagi Saussure, bahasa adalah sebuah keutuhan yang berdiri
sendiri.38
Sehingga dapat dikatakan bahwa Ferdinand de Saussure
merupakan pelopor di bidang pengembangan konsep teori Strukturalisme
Santoso, h. 838. 35 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, h. 102. 36 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa mengungkap hakekat bahasa, makna dan tanda, h. 103. 37 Mariane W Jorgensen dan Louise J.Philips, Analisis Wacana Teori dan Metode, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), Terjemahan Imam Suyitno dkk (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), h. 19. 38 Kaelan M.S, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2009), h.
182.
36
dalam ilmu pengetahuan lain. Salah satu contohnya adalah teori Claude
Levi-strauss di bidang ilmu antropologi budaya dan M.Faucault dengan
sejarah kebudayaannya.39
Konsep yang dikembangkan oleh Saussure berdasar pada makna
yang diperkenalkan dalam teori strukturalisme, yaitu signifiant dan signife,
kemudian langage, parole dan langue serta sinkroni dan diakroni.40
Gagasan tersebut lahir dalam sebuah tulisan karya buku yang berjudul
Course de Linguistique Generale41
yang membuatnya terkenal di sejumlah
ilmuwan terkemuka dalam bidang linguistik.
Pendekatan strukturalisme atas kebudayaan dikenal pada periode
tahun 1950-an, dengan dua tokoh utama yaitu Levi-Strauss dan Roland
Barthes, serta kemudian Charles Sanders Peirce dan Marshall Sahlins.
Namun demikian, akar pendekatan ini sesungguhnya mulai dikembangkan
oleh Ferdinand de Saussure pada periode 1900-an. Oleh sebab itu, kajian
tentang semiotika ini pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk menelusuri
kembali pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut.
Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang secara ilmiah
(objektif, ketat, berjarak), mencari struktur terdalam dari realitas yang
tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan. Berikut ini beberapa
gagasan pokok Strukturalisme, yang dipelopori oleh Levi-Strauss dalam
mendekati masalah kebudayaan (Philip Smith, 2001).
39 Kaelan M.S, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, h. 103. 40 K.Bertens, Filsafat Barat abad XX jilid II Perancis, h. 381. 41 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 45.
37
Pertama, yang dalam menjelaskan apa yang ada di permukaan.
Kehidupan sosial sekilas tampak kacau, tak beraturan, beragam, dan tak
dapat diprediksi, namun sesungguhnya hal itu hanya di permukaan. Di
balik atau di dalamnya, terdapat mekanisme genaratif yang kurang lebih
konstan.
Kedua, yang dalam itu terstruktur. Mekanisme generatif yang ada
di dalam itu tidak hanya eksis dan bersifat potensial, melainkan juga
terorganisasi dan berpola. Kaum strukturalis percaya, bahwa struktur
―yang dalam‖ tersebut terdiri atas blok-blok unsur yang bila
dikombinasikan dapat dipakai untuk menjelaskan yang ada dipermukaan.
Ketiga, kebudayaan itu seperti bahasa. Strukturalisme dipengaruhi
oleh linguistik struktural, yaitu bahasa dianggap sebagai sistem yang
terdiri atas kata-kata, bahkan unsur-unsur mikro seperti suara. Relasi antar
unsur ini memungkinkan bahasa menyampaikan informasi untuk
menandai (to signify). Pendekatan strukturalis atas kebudayaan berfokus
pada identifikasi unsur-unsur yang bersesuaian dan bagaimana cara unsur-
dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian dalam
sebuah tanda memrepresentasikan sebuah realitas, yang menjadi rujukan
atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili sesuatu di
dalam dunia realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas lebih bersifat
mewakili. Dengan perkataan lain, keberadaan tanda sangat bergantung
pada keberadaan realitas yang direpresentasikannya. Realitas mendahului
sebuah tanda, dan menentukan bentuk dan perwujudannya. Ketiadaan
realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda.
42
Keenam, prinsip kontinuitas (continuity). Ada kecenderungan pada
semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan
penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yaitu sebuah
relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai
tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada
sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di
dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode,
dan makna. Perubahan kecil pada berbagai elemen bahasa, sebagai akibat
logis dari perubahan sosial itu sendiri. Selanjutnya, menurut Saussure
(Smith, 2001), analisis tentang sistem linguistik dapat diterapkan pada
teori kebudayaan. Ia mengajukan kemungkinan untuk mengembangkan
ilmu yang khusus mempelajari peran penanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Gagasan inilah yang memungkinkan berkembangnya
Strukturalisme.
b. Model Semiotika Ferdinand de Saussure
Saussure, tokoh besar dan sarjana dari Swiss adalah pendiri dari
ilmu linguistik modern. Saussure terkenal dengan teorinya tentang tanda.46
Sebetulnya, Saussure tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi sebuah
buku. Hanya saja, catatan-catatann yang berhasil dikumpulkan oleh para
muridanya menjadi sebuah outline. Karyanya disusun menjadi tiga buah
kumpulan catatan kuliah saat ia mengajar ilmu linguistic umum di
Universitas Janewa tahun 1907, 1908 – 1909, dan 1910 – 1911 yang
46
Indiawan Setyo Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian
Komunikasi, h. 20.
43
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Course In General
Linguistic.
Saussure berhasil menyerang pemahaman “Historis” terhadap
bahasa yang setelah itu dikembangkan pada abad 19. Pandangan abad ke-
19 memulai studi bahasa dengan fokus kepada prilaku linguistik nyata.47
Studi ini bermaksud menelusuri perkembangan kata-kata dan ekspresi
sepanjang sejarah. Ia menggunakan pendekatan anti-historis yang melihat
bahasa sebagai sistem yang utuh dan harmonis secara internal (language).
Ia pun mengusulkan nama untuk menggantikan pendekatan “historis”,
yaitu pendekatan “strukturalisme.”48
Ahli linguistik belum melihat bahasa sebagai bagian dari cerminan
proses berpikir manusia., tetapi Saussure berpikir sebaliknya. Ia
menyatakan bahwa “jika bahasa adalah sebuah fenomena sosial, maka
setiap sistem bahasa ditentukan oleh kebiasaan sosial. Bahasa itu bersifat
otonom: struktur bahasa bukan merupakan cerminan dari fakta-fakta.
Struktur bahasa adalah milik bahasa itu sendiri.”49
Saussure memiliki lima pandangan yang menjadi dasar dari
strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang:50
47
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 44. 48
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 44. 49
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 45. 50
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46.
44
a. Signifier (Penanda) dan Signified (Petanda)
Menurut Saussure tanda mempunyai dua entitas, yaitu
Signifer dan Signifed atau wahana “Tanda” dan “Makna” atau
“Penada” dan “Petanda”. Signifer adalah bunyi yang bermakna
atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah
gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dan
bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental
tersebut dinamakan Signification. Dengan kata lain Signification
adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia.
Ferdinand de Saussure mengungkapkan suatu teori bahwa
setiap tanda ligusitik dibentuk dari dua komponen yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu komponen signifiant dan signife.51
Signife
(penanda) dan signifiant (petanda) keduanya merupakan prinsip
yang menunjukkan bahwa bahasa adalah sistem tanda (sign) dan
setiap tanda itu tersusun atas bagian keduanya.52
Suatu penanda
tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak disebuat
tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau
ditangkap lepas dari penanda. Dengan demikian bisa dipahami
bahwa penanda dan petanda merupakan kesatuan.53
51 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 348. 52 Kaelan M.S, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, h. 183. 53 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 47.
45
Untuk memahami atas konsep tersebut maka disini kami
sajikan mengenai bagan yang dikemukakan oleh Ogden dan
Richads Palmer sebagai berikut:
Gambar. 03 Teori Ferdinand de Saussure.54
Petanda / Signifiant
Penanda / Signifie Acuan / Referen
b. Form (Bentuk) dan Content (Isi)
Istilah form (bentuk) dan content (isi) diistilahkan oleh
Gleason dengan expression dan content, satu berbentuk bunyi dan
yang lainnya berbentuk ide.55
Bahasa merupakan sistem nilai,
bukan koleksi unsur-unsur yang hanya ditentukan lewat materi,
tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya. Maksudnya adalah
satu kata bisa dikatakan sama tetapi mungkin setiap individu
mengucapkannya berbeda-beda dan bisa jadi pemaknaannya pun
menjadi berbeda-beda, tetapi kata yang diucapkan tetap sama dan
berasal dari satu kata. Jadi, perbedaan-perbedaan yang memisahkan
54 Okke K.S. Zaimar, Semiotika dalam analisis karya sastra, (Depok:Komodo Baokks, 2014), h.
14. 55
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 47.
46
satu kata dengan kata lain terutama memisahkannya dari kata-kata
yang paling berdekatan (baik melalui suara maupun konsep), itulah
yang memberikan identitas pada suatu kata.
c. Language (Bahasa) dan Parole (Tuturan)
Saussure meletakkan dasar perbedaan antara language dan
parole yang dianggap cukup penting oleh Recoeur. Roland Barthes
pun mengakui bahwa konsep language/parole yang sangat penting
bagi pemikiran Saussure dan telah membawa suatu pembaharuan
bagi kajian linguistik sebelumnya.
Saussure memulai dengan sifat bahasa yang “berbentuk
jamak dan beragam.”56
Sifat bahasa yang terlihat tidak dapat di
kelompokkan, yang seolah-olah tidak ada satu kesatuan di
dalamnya, baik itu bersifat fisik, fisioloogis, psikis dan sosial.
Padahal menurut Saussure, kekacauan ini bisa terhindarkan bila
semua keberagaman itu bisa disarikan ke dalam suatu objek sosial
sebagai alat komunikasi yang disebut language. Disamping itu
terdapat parole yang mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya
bersifat individual.
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis:
langage, langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran) yang
diambil dari buku Saussure sendiri, sebab di bidang kekhususan
bahasa Prancis tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 49.
47
lain. Langage mengacu kepada bahasa pada umumnya yang terdiri
dari langue dan parole.57
Langage adalah kemampuan berbahasa yang ada di dalam
setiap diri manusia yang bersifat pembawaan. Orang bisu pun juga
memiliki langage, namun karena gangguan yang dialaminya pada
bagian tertentu, maka mereka tidak dapat berbicara secara normal.
Langue adalah langage dikurangi parole; suatu institusi
sosial dan sekaligus juga suatu sistem nilai. Langue dimaksudkan
sebagai cabang dari ilmu linguistik yang menaruh perhatian pada
tanda-tanda (sign) bahasa atau kode-kode (code) bahasa yang
disebut dengan fonem. Fonem merupakan satuan bunyi terkecil
yang mampu menunjukkan kontras makna atau dapat membedakan
arti. Selain itu, yang termasuk dalam tanda bahasa juga ada yang
disebut morfem, yaitu satuan bentuk bahasa terkecil yang
mempunyai makna relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian
bermakna yang lebih kecil.58
Menurut Saussure, bahasa bukan
merupakan substansi, melainkan bentuk saja. Jadi, darimana
bahasa itu berdiri tidak mempunyai peranan, yang terpenting
adalah aturan-aturan yang mengkonstitusinya.
Parole merupakan living speech, bahasa yang terlihat
sebagaimana penggunaannya. Parole memperlihatkan faktor
57
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 49. 58
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 50-51.
48
pribadi dari sang pengguna bahasa itu sendiri dan juga terikat
dengan dimensi waktu pada saat pembicaraan itu berlangsung.
Jadi, parole dapat dilihat sebagai kombinasi yang memungkinkan
orang yang berbicara sanggup mengungkapkan isi pikirannya ke
dalam sebuah kalimat yang dapat dimengerti oleh orang lain.
d. Synchronic (Sinkronik) dan Diachronic (Diakronik)
Sinkronis adalah deskripsi tentang keadaan tertentu suatu
bahasa pada periode waktu tertentu. Jadi, meneliti suatu bahasa
tanpa memikirkan tentang urutan waktu. Bahasa yang diteliti tidak
hanya bahasa modern saja, melainkan juga bahasa pada waktu-
waktu yang telah lampau, dengan catatan ada cukup keterangan
pada naskah yang ingin diteliti. Sedangkan diakronis disebut juga
dengan menelusuri waktu. Hal ini dapat diartikan sebagai
pendeskripsian tentang perkembangan sejarah dari waktu ke waktu.
Menurut Saussure dalam lingustik hendaklah memperhatikan
sinkroni lebih dahulu baru kemudian diakroni. Sinkroni berasal
dari bahasa Yunani yaitu khronos (waktu) dan dua awalan syn
masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”.59
Oleh sebab itu
dapat dikatakan sinkroni adalah “bertepatan menurut waktu” dan
59 K. Bertens, Filsafat Barat abad XX jilid II Perancis, h. 385.
49
diakroni adalah “menelusuri waktu”. Diakroni adalah peninjauan
historis, sedangkan sinkroni adalah sama sekali lepas dari waktu.60
Dari pemaparan tersebut diatas jelaslah bahwa metode
Diakroni lebih fokus pada struktur linguistik bahasa dilihat dari
perkembangan sejarahnya sedangkan Sinkroni mempelajari
struktur bahasa yang tidak terikat oleh sejarahnya atau non sejarah.
Dan analisa sinkroni memberikan deskripsi bahasa dan analisa
bahasa bagaimana kerja dan penggunaannya oleh penutur pada
kurun waktu tertentu.61
e. Syntagmatic (Sintagmatik) dan Associative (Asosiatif)
Hubungan sintagmatik dan asosiatif atau dapat disebut juga
dengan paradigmatik terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian
bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Jadi, hal ini
berhubungan dengan sebab-akibat penggantian sebuah kata benda
dari suatu kalimat. Sejauh hal tersebut tetap memenuhi syarat
sintagmatik, penggantian itu bersifat fleksibel.
60 K. Bertens, Filsafat Barat abad XX jilid II Perancis, h. 385. 61 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, mengungkap hakekat makna dan tanda, h. 112.
50
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. GERKATIN
1. Profil Umum GERKATIN
Ketunarunguan merupakan suatu bentuk dari hilangnya daya
pendengaran semenjak lahir yang disebabkan oleh takdir ataupun faktor
lainnya, seperti sakit, kecelakaan, ataupun lanjut usia. Tunatungu jelas
menerima ketertinggalan dari segi informasi dan komunikasi dari mulut ke
mulut terlahalang, tetapi walaupun ada diposisi yang cukup tidak
menguntungkan, ada pepatah yang mengatakan “raga boleh cacat asal
jiwanya tidak cacat”. Hal inilah yang membuat tunarungu tetap bersemangat
mengejar segala ketertinggalannya dan sanggup untuk menyetarai orang
yang sehat secara jasmaniah. Melalui akses pendidikan bervisualisasi, antara
lain seperti membaca gerak bibir, menulis, membaca teks berjalan dan
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat adalah cara-cara untuk
mengejar ketertinggalan dan keterbatasan tersebut.1
Secara medis bisa dikatakan anak berkelainan indra pendengaran
atau tunarungu jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan lain
sebab terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan atau rusak.
Akibatnya, organ tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya untuk
menghantarkan dan mempersepsi rangsang suara yang ditangkap untuk
1 Brosur GERKATIN.
51
diubah menjadi tanggapan akustik. Secara pedagogis, seorang anak
dapat dikategorikan berkelainan indra pendengaran atau tunarungu, jika
dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar
dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti
program pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan
khusus untuk meniti tugas perkembangannya.2
Menurut Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 2007:
74) mengemukakan bahwa ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing).3 Tuli adalah anak
yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat
sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar
adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi
masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa
menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007:23) klasifikasi
ketunarunguan adalah sebagai berikut.4
a. Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau
ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia
normal.
2 Nandiyah Abdullah, Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Jurnal ilmiah Universitas Widya
Dharma Klaten (Klaten: Universitas Widya Dharma, 2013), h. 2 jurnal.unwidha.ac.id/ diakses pada 20
April 2017 pukul 20.03 WIB. 3 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 74. 4 Murni Winarsih, Intervensi Dini Bagi Anak Tunarungu dalam Pemerolehan Bahasa, (Jakarta:
Depdikbud Dirjendikti, 2007), h. 23.
52
b. Kelompok II: kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau
ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara
cakapan manusia hanya sebagian.
c. Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau
ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia
tidak ada.
d. Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau
ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia tidak ada sama sekali.
e. Kelompok V: kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau
ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak
ada sama sekali.
Dampak ketunarunguan yang dialami oleh anak tunarungu secara
umum menurut Sastrawinata (1977: 16-17 )5, yaitu pada segi:
a. Intelegensi
Pada dasarnya kemampuan intelektual anak tunarungu sama seperti
anak yang normal pendengarannya. Anak tunarungu ada yang memiliki
intelegensi tinggi, rata-rata dan rendah. Perkembangan intelegensi anak
tunarungu tidak sama cepatnya dengan mereka yang mendengar. Pada
umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang normal atau rata-rata,
tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh
5 Emron Sastawinata, Pendidikan Anak-Anak Tunarungu, (Jakarta: Depdikbud, 1977), h. 16-17.
53
perkembangan bahasa maka anak tunarungu akan menampakkan intelegensi
yang rendah karena mengalami kesulitan memahami bahasa.
b. Segi Bahasa dan Bicara
Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan
anak yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat
kaitannya dengan kemampuan mendengar. Perkembangan bahasa dan bicara
pada anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan
karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan pita suara.
Setelah masa meraban, perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu
terhenti. Pada masa meniru, anak tunarungu terbatas hanya pada peniruan
yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Perkembangan bicara
selanjutnya pada anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan
intensif, sesuai dengan taraf ketunarunguan dan kemampuan-kemampuan
yang lain. Karena anak tunarungu tidak mampu mendengar bahasa, maka
kemampuan berbahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau
dilatih secara khusus. Akibat dari ketidakmampuannya dibandingkan dengan
anak yang mendengar pada usia yang sama, maka dalam perkembangan
bahasanya akan jauh tertinggal.
c. Segi Emosi dan Sosial
Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasingnya individu tunarungu
dari pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing dari pergaulan atau
aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana ia hidup. Keadaan ini
menghambat perkembangan kepribadian anak menuju kedewasaan.
54
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tuna rungu adalah salah satu sebutan
bagi kaum difabel yang memiliki keterbatasan dalam hal pendengaran. Anak
tunarungu lebih banyak menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.
Sedangkan lingkungan pada umumnya merupakan kumpulan masyarakat yang
lebih banyak memahami bahasa lisan dari pada bahasa isyarat. Hal ini
menyebabkan anak tunarungu kesulitan memahami ungkapan lisan dari
lingkungannya dan begitu pun sebaliknya.
2. Sejarah Berdirinya GERKATIN
Sebelumnya ada beberapa komunitas organisasi tunarungu Indonesia
yang bersifat kedaerahan yang telah terbentuk terlebih dahulu. Hanya saja,
komunitas tersebut bersifat kedaerahan, seperti yang terbentuk tahun 1960
yaitu, untuk daerah bandung bernama Serikat Kaum Tuli Bisu Indonesia
(SEKATUBI), di daerah Semarang ada Persatuan Tunarung Semarang
(PTRS), sedangkan di Yogyakarta bernama Perhimpunan Tunarungu
Indonesia (PERTRI), dan di Surabaya bernama Perkumpulan Kaum Tuli
Surabaya (PEKATUR).6
Sehubungan dengan banyaknya komunitas kaum tunarungu yang
bersifat kedaerahan, maka beberapa pemimpin organisasi tunarungu
berkesepakatan untuk mengadakan Kongres Nasional I pada tanggal 23
Februari 1981 di Jakarta. Pertemuan Kongres Nasional I itu menghasilkan
keputusan yang salah satunya adalah menyempurnakan nama organisasi
6 Wawancara pribadi dengan Bambang Prasetyo, Ketua Umum BISINDO pada tanggal 11
November 2016 pukul 14.00 WIB.
55
menjadi satu, yaitu Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
(GERKATIN) atau dalam bahasa Inggrisnya menjadi Indonesian Association
for the Welfare of the Deaf (IAWD). Dalam perkembangan selanjutnya,
GERKATIN/IAWD telah terdaftar sebagai anggota World Federation of the
Deaf (WFD) atau Federasi Tunarung se-Dunia sejak tahun 1983 yang
bermarkas di Helsinki (Finlandia).7 Srtuktur organisasi:
1. Tingkat Nasional, terdiri dari Dewan Pembina Organisasi, Dewan
Pertimbangan Organisasi, dan Dewan Pengurus Pusat.
2. Tingat Daerah / Provinsi, terdiri dari Dewan Pembina Daerah, Dewan
Pertimbangan Organisasi, dan Dewan Pengurus Daerah dengan jumlah
30 dari 34 provinsi.
3. Tingkat Cabang, terdiri dari Dewan Pembina Cabang, Dewan
Pertimbangan Organisasi Cabang, Organisasi Cabang dan Dewan
Pengurus Cabang dengan jumlah 69 dari 276 kota / kabupaten.8
3. Struktur Organisasi GERKATIN
Struktur Organisasi GERKATIN Periode 2015 - 2020
Dewan Pembina Pusat : Direktur ODK Kemensos R.I.
: Ketua Umum DNKS
: Ketua Umum PPDI Pusat
Dewan Pertimbangan Organisasi Pusat
Ketua : Ir. H. Aprizar Zakaria
Sekretaris : Rama Syahti
7 Brosur GERKATIN.
8 Brosur GERKATIN, h. 1-2.
56
Dewan Pengurus Pusat
Ketua Umum : Bambang Prasetyo
Wakil Ketua Umum : Juniati Effendi
Sekretaris Umum : Tori Hermawan
Wakil Sekretaris Umum : Wilma Redjeki
Bendahara Umum : Dita Indriyanti
Wakil Bendahara Umum : Achmad Iwan
Koordinator Bidang-Bidang
1. Aksesibilitas : Irdanelly
2. Kesejahteraan
2.1 Tenaga Kerja : Andrew Sihombing
2.2 Kesenian dan Kebudayaan : Nasruddin
2.3 Kesehatan : Myrna Mustika Sari
3. Kepemudaan : Dimas Hendrayanto
4. Olahraga : Kumala Manurung
5. Pendidikan : Panji Surya Sahetapy
6. Organisasi : Budi Heryawan
7. Humas dan Publikasi : Fedayen Alquasi
8. Advokasi dan HAM : Lidya Miranita
9. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
: Wilma Redjeki
10. Hubungan Internasional : Iwan Sartyawan
11. Teknologi Infokom : Abdul Abbas
57
12. Pendataan : Phieter Angdika
13. Penguatan Kapasitas : Muh. Insnaini
14. Ekonomi Kreatif / Wiraswasta : Tori Hermawan
15. Peduli Lanjut Usia : Hendra Pangestu
Koordinator Penghubung Antar Wilayah
1. Wilayah Sumatera dan Kepulauan Riau : Ferinaldi
2. Wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat : Billy Permana
3. Wilayah Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur
: Yuyun Maskurun
4. Wilayah Bali, NTB dan NTT : Andri Donasi
5. Wilayah Kalimantan : Yusna
6. Wilayah Sulawesi : Yassin
7. Wilayah Papua : Ibo Hemi
4. Visi dan Misi GERKATIN
a. Visi GERKATIN9
1) Mencapai kesetaraan kesempatan dalam semua aspek kehidupan
dan penghidupan.
2) Menciptakan organisasi tunarungu yang madani.
3) Menjadi organisasi Nasional yang bermitra dengan Pemerintah dan
non pemerintah untuk mewujudkan tercapainya kesetaraan dalam
kesempatan, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi
tunarungu dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
9 Brosur GERKATIN.
58
b. Misi GERKATIN10
1) Memberdayakan tunarungu agar dapat turut berperan aktif selaku
insane pembangunan yang berintegrasi, mandiri dan produktif di
era globalisasi.
2) Meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat umum
melalui media sosial dan informasi tentang kemampuan tunarungu
menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.
3) Meningkatkan peran tunarungu dalam kehidupan bemasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4) Meningkatkan fungsi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)
sebagai bahasa utama diantara para tunarungu maupun diantara
tunarungu dengan non tunarungu dalam berkomunikasi.
c. Tujuan dari Visi dan Misi GERKATIN
1) Menggali dan meningkatkan potensi Sumber Daya Manusia
(SDM) tunarungu Indonesia.
2) Berperan aktif membantu melaksanakan usaha-usaha Pemerintah
dalam program pembangunan kesejahteraan sosial bagi tunarungu
Indonesia.
3) Memngupayakan pemenuhan hak-hak tunarungu Indonesia.
4) Untuk mencapai tujuannya, GRKATIN membentuk lembaga atau
badan usaha demi menunjang kesejahteran tunarungu Indonesia.
10
Brosur GERKATIN.
59
d. Landasan Hukum Visi dan Misi GERKATIN
1) Hasil Kongres Nasional I GERKATIN, tahun 1981;
2) Akta Notaris Anasrul Jambi Nomor 12 tertanggal 05 Maret 1985;
3) Pengesahan dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 192/D, III.2/VII/2009 tertanggal 30 Juli 2009;
4) Pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM RI Nomor Register
AHU-166.AH.01.06 Tahun 2010 tertanggal 20 Desember 2010;
dan
5) Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak
Disabilitas11
.
5. Kegiatan dan Program Kerja GERKATIN
a. Kegiatan yang telah dilaksanankan
1) Mengadakan PORTRIN (Pekan Olahraga Tuna Rungu Indonesia)
tiap tiga tahun sekali.
2) Menjadi tuan rumah pertemuan Delegasi Pengurus Tuna Rungu se-
Asia Pasifik ke-16 di Jakarta tahun 2004.
3) Menjadi tuan rumah Pekemahan Kepemudaan Tuan Rungu se-Asia
Pasifik ke-empat di Jakarta dan Sukabumi tahun 2008.
4) Menyelenggarakan RAKERNAS I GERKATIN tahun 2009 di
Jakarta dan RAKERNAS II GERKATIN tahun 2013 di Denpasar,
Bali.
11
Brosur GERKATIN.
60
5) Mengadakan Kongres Nasional GERKATIN I sampai IX setiap
empat tahun sekali.
6) Mengajar kemahiran Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang
telah menjadi kurikulum di Universitas Indonesia.
7) Menerbitkan pertama kali buku dengan judul “Berkenalan dengan
Bahasa Isyarat Indoneisa (BISINDO)” dan buku kamus bahasa
isyarat Jakarta, Yogyakarta serta yang lain menyusul.
8) Memberikan bantuan beasiswa dari KEMENDIKNAS untuk anak
Sekolah Dasar atau Sekolah Menegah Pertama yang memiliki
orangtua tunarungu pada tahun 2011 sebanyak 150 orang sebesar
750.000 ribu rupiah dan 1.000.000 juta rupiah untuk 250 anak dai
orangtua tunarungu tahun 2013.
9) Sosialisasi CRPD / UU No. 19 Tahun 2015.
10) Workshop Pekanbaru tahun 2015.
11) Pelatihan Guru Anak Tuna Rungu di Jakarta tahun 2016.
b. Program Kerja GERKATIN12
1) Aksesibilitas
2) Kesejahteraan, kesehatan dan tenaga kerja
3) Kewanitaan
4) Seni budaya
5) Pendidikan
6) Advokasi
12
Brosur GERKATIN.
61
7) Hubungan masyarakat
8) Kepemudaan dan olahraga
9) Organisasi
10) Hubungan internasional
11) Ekonomi kreatif
12) Bahasa Isyarat Alamiah Indonesia (BISINDO)13
B. Sejarah Singkat Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)
BISINDO adalah sistem komunikasi yang praktis dan efektif untuk
penyandang tunarungu Indonesia yang dikembangkan oleh tunarungu sendiri.
BISINDO digunakan untuk berkomunikasi antar sesama tunarungu atau kaum
tunarungu dengan masyarakat luas seperti halnya berkomunikasi dengan bahasa
sehari-hari. Dengan BISINDO, penyandang tunarungu dapat mengungkapkan
pikiran dan perasaan secara leluasa dan mengekspresikan dirinya sebagai insan
manusia dan warga negara Indonesia yang bermatabat sesuai dengan falsafah
hidup dan HAM.
Munculnya BISINDO berawal dari terbentuknya Sistem Bahasa Isyarat
Indoneisa (SIBI) yang dikarenakan pada saat itu penyandang tunarungu masih
dalam suasana kenanak-kanakan atau belum dewasa secara pemikiran dan belum
mengenal apa itu bahasa isyarat. Maka munculah kamus SIBI yang dibuat oleh
non tunarungu yang diantaranya adalah guru bahasa isyarat, pemerhati (mecakup
budaya dan bahasa) tunarungu. Kamus SIBI berhasil dibuat pada tahun 1995 dan
segera diresmikan serta disebarluaskan di seluruh Sekolah Luar Biasa (SLB)
13
Brosur GERKATIN.
62
tingkat nasional. Setelah kamus SIBI tersebar luas, kaum tunarungu masih buta
bagaimana cara mempelajarinya dikarenakan tidak adanya training khusus dalam
mempelajari kamus SIBI. Hal ini menyebabkan para pengajar tunarungu kesulitan
untuk mempelajarinya.
Setelah kurang lebih berjalan hampir satu dasawarsa atau sepuluh tahun,
hal tersebut masih sama seperti pada awalnya. Tuli dewasa mulai berontak dan
tidak menyetujui adanya kamus SIBI. Mereka berfkir bahwa kamus SIBI adalah
produk campuran luar negeri 80% dan 20% Bahasa Indonesia.
“Tuli yang sudah dewasa berontak ga setuju dengan SIBI dan ada
keinginan bikin kamus sendiri BISINDO secara alamiah. SIBI adalah
produk campuran dari luar negeri yang menggunakan satu tangan untuk
komunikasinya. Komunikasi SIBI Cuma bisa dilakukan untuk komunikasi
jarak dekat dalam susunan internasional. Kalau BISINDO, ada budaya
tersendiri menggunakan dua tangan. Pihak GERKATIN bukan menolak
isyarat SIBI (abjadnya), tabjadnya bisa diterima tapi komunikasi tingkat
internasional isyaratnya berbeda karena orang tunarungu dbagi bahasa
isyaratnya menjadi dua. Misalkan „saya mau pergi ke pasar‟ terdapat lima
suku kata dan SIBI memperagakannya sesuai denga jumlah suku katanya,
sedangkan BISINDO isyaratnya bisa dipersingkat menjadi tiga suku kata
„saya ke pasar‟ yang penting inti dari kalimatnya itu sama.14
”
14
Wawancara pribadi dengan Bambang Prasetyo, Ketua Umum BISINDO pada tanggal 11
November 2016 pukul 14.00 WIB.
63
BISINDO berontak dengan adanya sistem SIBI tetapi pemerintah keberatan
dengan hal tersebut dan tidak bisa menghapus kamus SIBI dari peredaran. Hal ini
dikarenakan sudah adanya surat keputusan dan terlanjuur sudah dibuat
menjadikan kamus SIBI harus tetap dijalankan. Sampai sekarang para tunarungu
yang berusaha untuk memperjuangkan BSISNDO belum mendapat pengakuan
dari pemerintah Indonesia. BISINDO muncul tahun 2002/2003 sedangkan SIBI
sudah kebih dulu muncul tahun 1995.
Keberadaan SIBI dan BISINDO sebenarnya saling berkesinambungan dan
saling membutuhkan serta saling melengkapi satu sama lain. SIBI dengan konsep
structural dan BISINDO dengan konsep kontekstualnya. SIBI itu penting untuk
pelajaran akademis karena tata bahasanya teratur. Sedangkan BISINDO tidak
terdapat tata bahasa di dalamnya karena menggunakan bahasa isyarat alamiah dan
tunarungu lebih paham itu. Maka dari itu terjadilah dualisme isyarat di Indonesia.
BISINDO ini dikembangkan dan disebarluaskan melalui wadah organisasi
GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Pada saat ini
pusat BISINDO sedang mengkaji penyusunan standar, penyusunan kamus
BISINDO, dan buku mata pelajaran BISINDO. Harapan kami kelak BISINDO
dapat dipelajari oleh masyarakat umum, diajarkan di sekolah umum, perguruan
tinggi, dan sebagai pengantar Sekolah Luar Biasa.15
ahli,diakses pada 04 November 2016 pukul 18.25 WIB.
64
BAB IV
HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Arti Isyarat Bahasa Kata Tulisan ke dalam Bentuk Simbol
Semiotika merupakan bagian kajian ilmu atau metode analisis yang mengkaji
tentang tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Bidang
kajian ini mempelajari bagaimana manusia melakukan hal-hal yang terjadi dan
memaknai arti dibalik tanda-tanda tersebut dan mengkomunikasikan kepada
sesamanya. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi
dengan sesamanya. Kajian semiotika dibagi menjadi dua, yaitu semiotika komusikasi
dan semiotika signifikasi.
Semiotika komunikasi menitikberatkan pada teori tentang produksi tanda
yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,
yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan
(hal yang dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikasi menitikberatkan pada teori
tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.1
Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan yang melibatkan
dua orang atau lebih dengan tujuan agar komunikator dan komunikan bisa dengan
seketika berkomunikasi dan memberi umpan balik satu sama lain. Hal ini menjadi
berbeda ketika berkomunikasi dengan tuna rungu dikarenakan jenis komunikasinya
1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.15.
65
berbeda dengan jenis komunikasi pada umumnya. Karena penyandang tuna
rungu memiliki keterbatasan dalam hal pendenganran yang menyulitkan untuk
penyandang tuna rungu memberikan respon cepat terhadap makna pesan yang
diterima dalam sebuah informasi.
Dalam berkomunikasi, penguasaan bahasa sangat penting bagi seorang
individu untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan yang ingin diperolehnya selain
sebagai alat utama dalam berkomunikasi. Namun hingga saat ini pengertian teori
mengenai bahasa belum ada yang baku, banyak pendapat mengenai teori bahasa yang
berbeda-beda bergantung pada latar belakang keilmuan yang dirumuskan oleh para
ilmuwan. Menuru ilmu linguistik, sebagai ibunya bahasa, definisi bahasa adalah “ a
system of communication by symbols, i.e., through the organs of speech and hearing,
among human beings of certain group or community, using vocal symbols processing
arbitrary conventional meanings (Sebuah sistem komunikasi dengan menggunakan
tanda-tanda yang sudah melalui tahap pemrosesan dari organ-organ tubuh penghasil
suara; mulut dan pendengaran, hal ini terjadi diantara sekelompok manusia atau
masyarakat tertentu, dengan mengaplikasikan pengolahan tanda/simbol bunyi yang
diambil dari kata-kata konvensional).“ 2 Sedang menurut pada ahli antropologi,
“Sandi konseptual sistem pengetahuan yang memberikan kesanggupan kepada
penutur-penuturnya guna menghasilkan dan memahami ujaran.3
2 A.Chaedar Alwasilah, Linguistik. Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 1990), h. 82. 3 Roger M. Keesing, Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer (Jakarta: Erlangga, 1992),
h.79.
66
Jika kita merujuk pada definisi bahasa di atas, maka penggunaan bahasa
hanya dapat dilakukan jika organ pendengaran dan berbicara kita berfungsi, sehingga
informasi yang berupa simbol sandi konseptual secara vokal dapat tersampaikan
kepada penerima pesan. Bahasa juga terbatas penggunaan pada suatu komunitas
dimana bahasa tersebut diangkat untuk disetujui dan dipahami bersama
pengertiannya. Karena itulah kita mengenal perbedaan bahasa bergantung pada tiap
kebudayaan atau kelompok manusia yang menggunakannya. Bahasa dapat bersifat
arbitrer atau mana suka, asalkan makna kata tersebut dapat diterima secara komunitas
dan disetujui sebagai bentuk bahasa.
Namun syarat bahasa ternyata tidak hanya terbatas pada penggunaan organ
pendengaran dan bicara saja, jauh sebelum bahasa lisan terbentuk manusia telah
mengenal bentuk bahasa lain, yakni bahasa tubuh dimana komunikasi menggunakan
alat gerak tubuh untuk membentuk simbol tertentu yang membentuk makna tertentu.
Penggunaan bahasa tubuh tersebut diaplikasikan ke dalam bentuk bahasa
isyarat sebagai bentuk komunikasi kaum tuna rungu. Kaum tuna rungu tidak mampu
memanfaatkan alat bicara mereka sehingga mereka akan menggunakan alat gerak
tubuh yang lain untuk mengekspresikan maksud mereka, dan penerima akan
menerima simbol-simbol tubuh tersebut sebagai sebuah pesan. Bahasa isyarat
merupakan alat komunikasi utama pada kaum tuna rungu dimana ciri bahasa tersebut
memanfaatkan indra penglihatan dan alat gerak tubuh.
67
Gambar. 04 Abjad Huruf Dalam Bahasa Isyarat Indoensia (BISINDO)4
Bahasa isyarat berkembang dan memiliki karakteristik yang berlainan pada
tiap negara. Di Indonesia, ada BISINDO yang dikenal oleh kaum tuna rungu sebagai
bahasa ibu yang sedari mereka lahir sudah digunakan dan diterapkan sebagai alat
komunikasi dengan sesamanya atau dengan masyarakat luas. BISINDO menjadi cara
berkomunikasi yang praktis dan efektif untuk penyandang tuna rungu Indonesia yang
dikembangkan oleh tuna rungu sendiri. Dengan BISINDO, penyandang tuna rungu
dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara leluasa dan mengekspresikan
dirinya sebagai insan manusia dan warga negara Indonesia yang bermatabat sesuai
dengan falsafah hidup dan HAM.
Kemunculan BISINDO didasari oleh lahirnya isyarat SIBI yang dibuat oleh
orang dengar. Hal ini menyebabkan tunarungu yang belum mengenal bahasa isyarat
kesulitan dalam menyerap sistem yang dibuat oleh sistem SIBI. Setelah
diresmikannya dan disebarluaskan pada tahun 1995, karena tidak adanya training
Jl. Arimbi I RT 02101 No. 46 Pondok Benda Pamulang
Adalah benar Mahasiswi dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SyarifHidayatullah telah melaksanakan tugas penelitian/ mencari data dalam rangka penulisan skripsi berjudul" Dampak Semiotika Pola Komunikasi Non Verbal BISINDO terhadap Pemakaian Bahasa Isyarat
Alamiah pada Tunarungu di Komunitas GERKATIN DKI Jakarta " selama 3 (tiga) hari pada tanggal
25-27 Januarr20lT
Demikian Surat Pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Wassalmu'Alaikum Wr Wb.
Tembusan:
1 Wakil Dekan Bidang Akademik
2 Ketua Jurusan/Program Studi Jurnalistik.
LAMPIRAN 3
Biodata Narasumber
Nama : Bambang Prasetyo
Tanggal Lahir : 16 April 1959
Alamat : Jalan Kelapa Tiga RT 003 / 03 Jagakarsa, Jakarta Selatan