LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat Grup Riset PRAGMATIK TIM PENELITI NIDN Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325 Anggota : 1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407 2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907 3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508 GRUP RISET PRAGMATIK PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA NOVEMBER 2015 Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa
73
Embed
Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
LAPORAN AKHIR
HIBAH GRUP RISET UDAYANA
Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak,
dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun
Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat
Grup Riset
PRAGMATIK
TIM PENELITI NIDN
Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325
Anggota :
1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407
2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907
3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508
GRUP RISET PRAGMATIK
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015
Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
8. Lalu Sukendar, Sailah, Taufik Al-Banjari (Ampenan-Lombok Barat)
Informan Bahasa Bali:
1. I Ketut Tumbuh (Laki-laki) 51 Tahun, Tukang Ukir, Desa Susut, Tabanan
2. Nyoman Widia (Laki-laki) 57 Tahun, Kelian Dinas Dalung, Badung
3. Ni Wayan Tingkes (Perempuan) 45 Tahun, Pedagang Kuliner Tradisional
4. Desak Supadmini (Perempuan) 43 Tahun, Desa Jegu, Tabanan
5. I Ketut Selebes (Laki-Laki) 43 Tahun, Guru, Tabanan
6. Ni Wayan Srati (Perempuan) 39 Tahun, PNS, Denpasar
7. Seka Truna di beberapaBanjar sekitaran Denpasar dan Tabanan
8. Pedagang-pedagang di Pasar
Informan Bahasa Sumbawa:
1. Novita (29 tahun), penduduk asli suku Samawa Sumbawa besar, daerah Sering
kabupaten Sumbawa Besar, ibu rumah tangga
2. Fitria, S.E., M.E. (28 tahun), penduduk asli suku Samawa kabupaten Sumbawa
Besar, dosen ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Teknik Sumbawa
(UTS)
3. Daeng Riadi (48 tahun), dari Sumbawa Besar, keturunan dari Sultan
Sumbawa, pegawai di kantor daerah Sumbawa Besar
4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun). Penduduk asli suku Samawa Sumbawa
Besar, dari daerah Genang Gendis Sering Sumbawa Besar. bekerja di kantor
Dinas Pariwisata Sumbawa Besar.
51
5. Warga sekitar daerah Sering Sumbawa Besar. Penduduk asli Sumbawa yang
bersuku Samawa dan menggunakan bahasa Sumbawa untuk berkomunikasi
sehari-hari.
LAMPIRAN 3: KUESIONER BAHASA SASAK
Nama :
Lokasi :
SOAL KUISIONER
1. Apakah anda mampu menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah bahasa Sasak yang anda gunakan tergolong pada bahasa Sasak yang
paling halus?
a. Ya b. Tidak
3. Apakan anda berbicara menggunakan bahasa Sasak halus di lingkungan
tempat anda tinggal?
a. Ya b. Tidak
4. Ketika anda berbicara dengan bangsawan (Raden/ Lalu), apakah anda
menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah perbedaan status sosial (bangsawan) mempengaruhi penggunaan
bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah perbedaan status sosial (pekerjaan) mempengaruhi penggunaan bahasa
Sasak anda ketika berkomunikasi?
a. Ya b. Tidak
7. Ketika anda berbicara dengan seorang bangsawan (Raden/ Lalu) yang
memiliki pekerjaan rendah, apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
52
8. Apakah perbedaan gender mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda?
a. Ya b. Tidak
9. Apakah perbedaan usia mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak Anda?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus ketika berbicara dengan anak
kecil?
a. Ya b. Tidak
11. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah keluarga?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
12. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pertemanan?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
13. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pasar?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
14. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah tetangga?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
15. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah agama?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
53
LAMPIRAN 4: ARTIKEL SENASTEK DAN LUARAN ARTIKEL LAINNYA
DAFTAR PEMAKALAH SENASTEK 2015
KATEGORI: PEMAKALAH ORAL
1. Artikel yang dimuat dalam prosiding SENASTEK tentang bahasa Bali
STRATIFIKASI SOSIAL DAN TINDAK TUTUR BAHASA BALI
DALAM KARYA SASTRA BALI MODERN
I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena
Darmasetiyawan4)
1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
54
Abstrak
Grimes dan Maryot (1994) menyatakan bahwa masyarakat penutur Austronesia memiliki ciri
khas yang cenderung memakai kosakata berbeda ketika berbicara dengan orang yang berkedudukan
tinggi. Ciri itu tampak terwaris dalam Bahasa Bali dengan sistem tindak tutur yang khas dengan
sebutan anggah-ungguhing basa Bali. Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya
sastra Bali, baik tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam
bentuk inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma sosio-
budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu yang berlangsung di
sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra dengan norma sosio-budaya, menurut
Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan
norma yang berlaku saat itu), restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak
berlaku lagi), dan negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma
sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas pemakaian tindak tutur
bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode simak
bebas libat seecakap pada saat penyediaan data, dan analisis dengan teori sosiolinguistik, serta
penyajian data secara informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stratifkasi masyarakat Bali
Tradisional dan Modern yang terdokumentasi dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur
Satonden Kembang menunjukkan pengaruh terhadap penggunaan bahasa Bali. Stratifikasi masyarakat
Bali Tradisional yang berpijak pada hubungan tri wangsa dan jaba yang berpengaruh pada
penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap (Lumbrah) tetap dicerminkan oleh novel ini. Demikian
pula, stratifikasi masyarakat Bali Modern yang cenderung lebih egalitar juga ditujukkan dalam novel
ini.
Kata Kunci : Stratifikasi Sosial, Tindak Tutur, dan Karya Sastra
Abstract
Grimes and Maryoto (1994) states that Austronesians- had characteristics that tended to use
different vocabulary when they talked to people in high places. This characteristic seems to be
inherited in Balinese language with a distinctive system of speech acts called the anggah-ungguhing
base Bali. The speech act systems in Balinese language are often reflected in Balinese’s literary works,
both traditional and modern. As a media of language documentation in the form of inscriptions,
literary works are always in tension between the literary and socio-cultural norms, since literature
work is considered as an evaluative response to something that took place in the vicinity (Djoko
Damono, 2002: 40). The relationship of literature to the norms of socio-cultural, according Teeuw
(1982: 19) takes place in three evaluative responses, namely affirmation (norms of the time),
restoration (expression of longing on the norms that are missing or not valid anymore), and negation
(rebellion against the norm, the alternative of socio-cultural norms). By this context, the study of the
reality use of speech acts in Balinese language was necessary to be done. The method used in this study
was observation method. Afterwards, the data were analyzed by using the theory of sociolinguistics as
well as the presentations of the data was presented informally. The results showed that the Balinese
stratification of traditional and modern was documented well in the Novel entitled Tresnane Lebur Ajur
Satonden Kembang. It showed that the effects of the Balinese’s traditional social stratification usage
were based on the relationship between tri wangsa and jaba, which affected the use Basa Alus and
Andap in Bali (Lumbrah). Similarly, it was found in the novel that the stratification of Bali Modern
society tends to be more egalitarians.
Keywords: Social Stratification, Speech Act, and Literature Work
1. PENDAHULUAN
Ardika (2006 : 2) menyatakan bahwa dewasa ini ada suatu gejala yang
menunjukkan semakin terpinggirkannya bahasa Bali dalam pergaulan keseharian
masyarakat Bali, terutama di kalangan generasi mudanya. Salah satu kekhasan sistem
yang dimiliki oleh bahasa Bali sebagai bagian dari bahasa Austronesia adalah adanya
tingkat-tingkatan wicara atu speech level. Tingkat-tingkatan bahasa ini dalam bahasa
Bali juga disebut dengan anggah-ungguhing basa Bali. Dalam kaitannya dengan
Anggah-ungguhing basa Bali, Sancaya (2004 : 210) mengatakan bahwa tingkat-
tingkatan bahasa ini merupakan aspek substansial dalam bahasa Bali yang sangat
55
rumit, karena berkaitan dengan nilai-nilai sosio-kultural, sosio-psikologis, dan sosio-
filosofis religius. Lebih lanjut dikatakannya bahwa persoalan anggah-ungguhing basa
sering dianggap sebagai sesuatu yang feodalistis. Hal ini merupakan masalah aktual
yang menyebabkan bahasa Bali tidak berkembang (Sancaya, 2004 : 209).
Perkembangan bahasa Bali mengalami hambatan sebab terjadinya kebingungan dalam
pemakaian norma sopan santun ini.
Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya sastra Bali, baik
tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam bentuk
inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma
sosio-budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu
yang berlangsung di sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra
dengan norma sosio-budaya, menurut Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga
tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan norma yang berlaku saat itu),
restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak berlaku lagi), dan
negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma
sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas
pemakaian tindak tutur bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan,
terutama dalam melihat dinamika pemakaian bahasa tersebut. Fokus penelitian ini
adalah melihat pengaruh stratifikasi sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun
modern terhadap tindak tutur bahasa Bali dalam karya sastra Bali Modern, khususnya
Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang.
2. PEMBAHASAN
2.1 Sinopsis
Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta itu Layu Sebelum
Berkembang) karya Djelantik Santha bertemakan pertentangan antarwangsa. Novel
ini terbit sebagai buku pada tahun 1986, berdasarkan cerita bersambung di Bali Post
15 Juli-19 September tahun 1981. Darma Putra (2000: 96) mengatakan bahwa karya
tersebut merupakan novel terbaik berbahasa Bali yang pernah ada, terutama apabila
dilihat dari tema yang disajikan lewat konflik antartokoh yang tidak kunjung habis.
Darma Putra (2000 : 99) selanjutnya menegaskan bahwa tema konflik kewangsaan
akan terus muncul dalam karya sastra yang diciptakan pengarang Bali. Hal ini
disebabkan setidak-tidaknya oleh dua alasan yakni (1) konflik kewangsaan merupakan
masalah yang nyata dan serius dalam masyarakat Bali; (2) konflik kewangsaan
menyediakan ‘konflik yang siap pakai’ untuk membangun cerita.
Mengacu pada pandangan di atas yang melihat perbedaan antarwangsa sebagai
masalah serius, maka Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang relevan untuk
dijadikan sebagai sumber data untuk melihat penggunaan tindak tutur dalam bahasa
Bali. Tema pertentangan antarwangsa yang menjadi latar belakang cerita menjadikan
karya sastra ini penuh dengan dialog antarwangsa maupun intrawangsa. Dialog-
dialog tersebut tidak hanya menghadirkan realitas penggunaan tingkat tutur bahasa
Bali dalam tataran leksikon, tetapi juga satuan yang lebih luas yaitu kalimat. Dengan
demikian, dialog-dialog tersebut dapat dimanfaatkan untuk melihat realitas
penggunaan tindak tutur bahasa Bali yang terdokumentasi dalam karya sastra.
Novel ini terdiri atas sepuluh bagian yang menjalin cerita secara keseluruhan.
Bagian pertama dan kedua mengisahkan kehidupan Nyoman Santosa, seorang
pemuda desa yang tinggal dengan ibunya Men Madu dan seorang adiknya yang
bernama Ketut Santi. Mereka sekeluarga tinggal di desa Selat Karangasem. Walaupun
tinggal di desa, Nyoman Santosa memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan
ke sekolah guru atau SGB di Klungkung. Akan tetapi, ibunya tidak setuju karena
56
keadaan keluarga mereka yang miskin. Pada suatu malam setelah selesai bertengkar
dengan ibunya, Nyoman Santosa ingat terhadap masa lalu keluarganya. Dia sejatinya
memiliki 2 kakak laki-laki yang bernama I Wayan Madu dan Made Madi. Kedua
kakaknya itu tewas dalam suatu perkelahian pada saat pulang dari Pura Puncak Sari
yang terletak di bukit Belisbis.
Wayan Madu dan Made Madi tewas bersama temannya I Ketut Tresna, karena
diserang oleh I Gusti Ngurah Cepeg dan teman-temannya pada hari Banyu Pinaruh.
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh dendam I Gusti Ngurah Cepeg yang lamarannya
ditolak oleh I Gusti Ayu Adi, karena lebih mencintai I Made Madi. Dalam peristiwa
tersebut, tidak hanya kedua kakaknya yang meninggal, tetapi juga I Gusti Ngurah
Cepeg dan rekan-rekannya. Tewasnya I Made Madi menyebabkan kekasihnya I Gusti
Ayu Adi sakit hati yang berujung pada kematian. Kematian I Gusti Ayu Adi tidak
membuat perselisihan di antara keluarga Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku
dan Pan Madu selesai. Pada suatu malam, Pan Madu dan I Gusti Mangku diserang
oleh ayah I Gusti Ngurah Cepeg dengan kekuatan illmu hitam. Pertempuran di alam
gaib itu juga berakhir pada kematian Pan Madu dan I Gusti Mangku, serta ayah I
Gusti Ngurah Cepeg. Rentetan peristiwa tersebut merupakan muara dari sakit hati dan
balas dendam yang tidak mampu diselesaikan secara kekeluargaan, padahal antara I
Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku masih memiliki hubungan keluarga.
Ditinggalkan ayah dan kedua kakaknya menyebabkan kehidupan I Nyoman
Santosa semakin terpuruk. Namun demikian, keinginannya untuk belajar masih tetap
besar. Setelah mendapatkan wangsit dari kakaknya dalam mimpi, dia semakin yakin
terhadap pilihannya. Walaupun sudah terlambat dari hari terakhir pendaftaran,
Nyoman Santosa akhirnya diterima di SGB. Pada masa inilah hubungan
percintaannya dengan seorang gadis bernama Made Arini terjalin. Made Arini adalah
teman kecilnya yang sama-sama berasal dari Selat Karangasem. Hubungan cinta di
antara Nyoman Santosa dengan Made Arini putus, karena Anak Agung Alit Sudendi
mengawininya secara paksa. Made Arini dilarikan oleh Anak Alit Sudendi ke rumah
Pekak Giyor di daerah Kintamani. Di tempat itulah Made Arini dinikahi oleh Anak
Agung Alit Sudendi.
Setelah hubungan cinta Nyoman Santosa dengan Made Arini kandas dan hasil
ujian akhir di SGB menyatakan dirinya lulus, dia memutuskan untuk melanjutkan
pendidikannya ke SGA Singaraja. Nyoman Santosa tinggal di rumah Gusti Ketut Rai
yang juga berasal dari wilayah Karangasem. Di tempat itu, Nyoman Santosa bertemu
dengan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti. Perasaan cinta mulai tumbuh di hati
Nyoman Santosa, setelah dia menyelamatkan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti dari
bahaya gulungan ombak saat rekreasi di suatu pantai. Walaupun demikian, dalam hati
Nyoman Santosa yang terdalam, bayang-bayang Made Arini masih sulit
dilupakannya. Suatu hari pada saat Nyoman Santosa pulang dari Singaraja, dia
mendapatkan kesempatan untuk singgah di Alit Arini Homstay, sekaligus
membuktikan kesetiaan cinta Made Arini. Walaupun sudah menikah dengan Agung
Alit Sudendi dirinya masih tetap perawan. Hal ini disebabkan karena Anak Agung
Alit Sudendi impoten.
Kendati Nyoman Santosa masih ada perasaan cinta dengan Made Arini, sedikit
demi sedikit perasaan cintanya dengan Gusti Ayu Jinar mulai mekar. Sempat dia ragu
akan memilih Gusti Ayu Jinar atau Made Astiti, namun pilihan akhirnya jatuh pada
Gusti Ayu Jinar. Hubungan Nyoman Santosa dengan Gusti Ayu Jinar tak terpisahkan
walaupun sudah mendapatkan peringatan dari I Gusti Ketut Rai dan istrinya. Gusti
Ayu Jinar berani memperjuangkan cintanya dengan Nyoman Santosa walaupun sudah
pasti ayahnya tidak akan setuju. Cerita ini diakhiri dengan tenggelamnya Made Arini
57
pada saat megantar tamu ke Desa Trunyan. Demikian pula, kematian Made Arini
disusul kematian I Gusti Ayu Jinar karena terseret banjir besar di tempat tinggalnya.
Cerita cinta I Nyoman Santosa brrmuara pada kekecewaan.
2.2 Stratifikasi Sosial dan Penggunaan Tindak Tutur dalam Novel Tresnane
Lebur Ajur Satonden Kembang
Eksistensi tindak tutur bahasa Bali yang juga disebut dengan sistem anggah-
ungguhing basa Bali ini tidak dapat dilepaskan dari adanya stratifikasi masyarakat
Bali. Stratifikasi ini secara umum dapat dipilah menjadi dua yaitu stratifikasi
masyarakat Bali tradisional dan modern. Menurut Suasta (2006: 10), pada masa lalu
stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial
berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat
suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali
yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat
suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan
menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat
kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat
suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku
Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan
munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan
keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki
keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu.
Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh
senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur
pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak
begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda
dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi
oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai
menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi
masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional
yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami
perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan
masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada,
yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan
adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali
yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan
golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat.
Stratifikasi sosial masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang berdampak
pada penggunaan bahasa Bali juga tampak pada Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden
Kembang. Karya sastra sejatinya merupakan dokumen penting dalam menelusuri
perubahan sosio-kultural termasuk perubahan bahasa dalam kehidupan masyarakat
Bali. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang merekam perubahan
penggunaan bahasa Bali tradisional menuju masyarakat Bali Modern, yang diiringi
oleh perubahan penggunaan bahasa Bali. Oleh sebab itulah, dalam tulisan ini status
sosial masyarakat Bali yang meliputi tradisional maupun modern yang terekam dalam
karya sastra ini akan dideskripsikan terlebih dahulu. Hal ini penting karena akan
berpengaruh pada penggunaan bahasa dalam komunikasi antartokoh intrawangsa dan
antarwangsa.
58
2.2.1. Stratifikasi Tradisional
Stratifikasi masyarakat tradisional yang menata hubungan masyarakat Bali
dapat dibagi menjadi dua yaitu golongan Tri Wangsa dan golongan Jaba. Golongan
Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Sementara itu,
golongan jaba adalah golongan masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri
Wangsa. Golongan Tri Wangsa dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur
Satonden Kembang ini dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.
Tabel 1. Stratifikasi Masyarakat Bali Tradisional
dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
No. Golongan Tri Wangsa
Keterangan Nama Tokoh
1. I Gusti Ayu Adi Seorang gadis yang berasal dari Desa Selat, anak dari I Gusti
Mangku, dan pacar I Made Madi
2. I Gusti Mangku Lanang Ayah dari I Gusti Ayu Adi
3. I Gusti Mangku Istri Ibu dari I Gusti Adi
4. I Gusti Ngurah Cepeg Saudara dari I Gusti Ayu Adi, yang menyerang Made Madi,
Wayan Madu, dan yang lainnya di Bukit Bisbis karena
lamarannya ditolak I Gusti Ayu Adi.
5. Aji I Gusti Ngurah Cepeg Ayah I Gusti Ngurah Cepeg
6. Biang I Gusti Ngurah Cepeg Ibu I Gusti Ngurah Cepeg
5. Anak Agung Alit Sudendi Seorang pemuda yang berasal dari Klungkung, yang
mengawini Made Arini dengan cara kawin paksa.
6. Anak Agung Ngurah Ayah Anak Agung Alit Sudendi
7. Jero Sekar Ibu Anak Alit Sudendi yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Made Arini
8. Ida Bagus Aji 1 Seorang keturunan brahmana, yang dimintai Pan Madu Obat
9. Ida Bagus Aji 2 Seorang keturunan brahmana yang berprofesi sebagai petugas
bioskop
9. Gusti Ketut Rai Pemilik tempat kos-kosan yang ditempati Nyoman Santosa di
Singaraja.
10. Gusti Ayu Srati Istri dari Gusti Ketut Rai.
11. Gusti Ayu Jinar Pacar I Nyoman Santosa, yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Gusti Ketut Rai
12. Gusti Ayu Manik Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP
13. Gusti Ayu Mirah Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP
14. Gusti Gede Pande Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SD
No Golongan Jaba
Keterangan Nama Tokoh
1. I Nyoman Santosa Seorang pemuda desa yang melanjutkan sekolahnya di SPG
Klungkun dan SGB Singaraja, dan juga kekasih Made Arini
serta Gusti Ayu Jinar.
2. I Wayan Madu Kakak tertua dari I Nyoman Santosa yang tewas dalam
serangan I Gusti Ngurah Cepeg.
3. I Made Madi Kakak ke dua dari I Nyoman Santosa, kekasih I Gusti Ayu
Adi.
4. Pan Madu Ayah dari Nyoman Santosa.
5. Men Madu Ibu dari Nyoman Santosa.
6. I Ketut Santi Adik terkecil keluarga Nyoman Santosa.
7. Made Arini Kekasih pertama Nyoman Santosa yang akhirnya dikawin
paksa oleh I Gusti Ngurah Cepeg.
8. Ketut Dirga Teman sejawat I Nyoman Santosa di SPG Klungkung.
9. Nyoman Nerti Sahabat sejawat Made Arini di SMP Klungkung.
10. Made Astiti Seorang remaja yang menyukai Nyoman Santosa di Singaraja,
yang juga teman dari Gusti Ayu Jinar.
11. Wayan Widanta Ayah dari Made Arini.
59
12. Ketut Dani Ibu dari Made Arini.
13. Pekak Giyor Dukun yang membantu Anak Agung Alit Sudendi dalam
mengawini secara paksa Made Arini
14. Made Galang Orang yang membantu Anak Alit Sudendi mengawini secara
paksa Made Arini.
Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Tradisional ini berdampak pada
penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya.
Dengan mengacu pada dialog-dialog dalam novel ini, dapat diketahui dua yaitu (1)
apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan jaba, maka bahasa yang digunakan
cenderung bahasa Andap (Kepara/Lumbrah), (2) apabila komunikasi tersebut terjadi
antargolongan tri wangsa, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap
bagi penutur yang lebih tua dan bahasa Alus bagi penutur yang lebih muda, (3)
apabila komunikasi tersebut terjadi antara golongan Tri Wangsa dengan golongan
Jaba, maka bahasa yang digunakan oleh golongan jaba tersebut adalah bahasa Alus,
sedangkan golongan Tri Wangsa akan cenderung menggunakan bahasa Andap apabila
berkomunikasi dengan golongan jaba. Hal ini dapat dibuktikan melalui dialog-dialog
di bawah ini :
a. Dialog Antargolongan Jaba
Dialog antargolongan jaba akan diambil dari percakapan Pan Madu dengan
Men Madu pada saat Pan Men Madu membicarakan kegiatan sehari-hari Pan Madu
yang seringkali dimintai bantuan untuk menolong orang sakit, dengan kondisi
keluarganya sendiri yang masih miskin secara materi:
Men Madu : “Beneh, yèn perawat utawi dokter anè magajih buina madagang ubad tusing
nyidaang nelokin anak sakit, ngèngkèn dadi beli anè maan sèn tepu, gèsèk? Buina
anakè sakit joh joh tekain beli, nanging panak belinè jumah sakit tusing tawang
bapannè. Apa buin lakar ngubadin, matakon bapannè tusing taèn, apa ia suba
madaar apa tondèn? apa ngelah baju apa tusing anggona masuk mani? apa tuduh
umahè apa tusing?
(Benar, jika perawat atau dokter yang digaji apalagi yang berjualan obat saja tidak
dapat mengunjungi orang sakit, apakah dari pekerjaan ini Bapak dapat uang? Apalagi,
orang lain yang sakit di tempat yang jauh pun engkau datangi, tapi anak kita di rumah
jika sakit tidak pernah tahu ayahnya. Apalagi akan mengobati, bertanya saja tidak
pernah. Apakah dia sudah makan atau belum? Apakah dia sudah mempunyai baju
untuk sekolahnya besok atau tidak? Apakah rumah kita bocor atau tidak?)
Pan Madu : “Naaah, beli ngrasa tekèn awak lacur, tusing ngelah sakaya pipis. Keto masih tusing
ngelah arta brana anggon matulung tekèn nyama brayanè. Yèn jani beli tusing
mapikolih, dumadak mani puan panak-panak iraganè nemu rahayu, ada ngiwasin
yèn kalahin beli mati malunan”. (Novel TLASK, hlm. 11)
(Iya, aku merasa terhadap diri miskin, tidak mempunyai harta berupa uang. Demikian
juga harta untuk membantu masyarakat. Jika sekarang aku tidak mendapatkan hasil
apa-apa, semoga di hari esok anak-anak kita yang akan menemui kebahagiaan, ada
yang memperhatikan jika aku mati duluan).
Mengacu pada dialog di atas, leksikon beneh ‘benar’, yèn ‘jika’, anè ‘yang’,
madagang ‘berjualan’, ubad ‘obat’, dan yang lainnya membuktikan bahwa apabila
terjadi dialog antargolongan jaba maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Andap.
Apabila konteks situasi yang terbangun dalam komunikasi adalah orang tua dengan
anaknya, atau orang yang belum kenal terlalu dekat, maka pronomina atau kata ganti
orang ketiga tunggal yang digunakan cenderung memakai kata alus madya yaitu tiang
‘saya’. Hal ini dapat dibuktikan dari dialog antara Nyoman Santosa dengan ibunya,
pada saat Nyoman Santosa berniat untuk melanjutkan sekolahnya.
tan dadi baan neptepin. Tiang lakar nerusang masekolah ka
Klungkung. (Novel TLASK, hlm. 8)
(Ibu, janganlah ibu marah kepadaku, karena keinginanku tidak
bisa ditahan lagi. Aku akan melanjutkan bersekolah ke
Klungkung).
b. Dialog Antargolongan Tri Wangsa
Dialog antargolongan Tri Wangsa akan diambil dari dialog pada saat I Gusti
Ngurah Cepeg melamar I Gusti Ayu Adi kepada orang tuanya.
Gusti Ngurah Cepeg : “Aji, suwe sampun titiang kangin kauh, gumanti mamanah nunas pasuwecan
ajine. Cutet mangkin anak aji, Ayu Adi tunas titiang, jagi ajak titiang sareng
ngarembat anak lingsir jumah kauh”.
(Aji, sudah lama sekali kehidupan saya tidak menentu, saat ini saya bermaksud
meminta izin dari Aji. Intinya, sekarang putri Aji, Ayu Adi akan saya jadikan
istri, akan saya ajak menjadi pendamping di rumah orang tua sya di Badung).
Gusti Mangku : Kene Gus, adin Ngurahe saja aji ngelah panake. Ngurah masih ngelah
misane. Sep awai cening maka dadua manyama. Mungguing awakne bakat
baan aji ngisiang, nanging buat kenehne, sawireh jani ia suba kelih, tusing
pantes aji mekek (TLASK, hlmn. 12).
(Begini Gus, adikmu memang benar Aji yang memiliki. Kamu juga yang
menjadi misannya. Engkau dengannya saudara yang dekat. Badannya dapat
Aji pegang, tapi hatinya belum tentu. Karena Gusti Ayu Adi sudah dewasa,
tidak pantas Aji memaksa).
Kosakata suwe ‘lama’, sampun ‘sudah’, titiang ‘saya’ pada dialog yang
digambarkan di atas cenderung memperlihatkan penggunaan bahasa yang halus
apabila penutur berbicara kepada penutur yang lebih tua dalam percapakan sesama
golongan Tri Wangsa. Sementara itu, petutur memberikan jawaban dengan bahasa
yang andap. Hal ini dibuktikan dari leksikon, kènè ‘begini’, adin ‘adik’, saja ‘benar’,
ngelah ‘mempunyai’, anak ‘anak’ dan yang lainnya. Penggunaan bahasa penutur yang
lebih halus daripada petutur di atas, barangkali disebabkan karena situasi formal.
Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi dalam dialog-dialog lainnya juga
menunjukkan hal yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat Gusti Ayu Adi berdialog
dengan ayahnya saat menyesali kematian Made Madi:
Gusti Ayu Adi : “Aji...., ampurayang titiang aji. Bas banget titiang ngaryanang aji sungkawa.”
(Aji, maafkanlah saya Aji. Terlalu sering saya membuat Aji menderita).
Gusti Mangku : “Ah endepang suba geg. Tegtegan ragan ceninge. Yen suba tuduhing Sang Hyang
Widi Wasalakar nyabut uripe, mula tusing dadi kelidin.” (TLASK, hlm : 19)
(Ah, diamlah sudah Geg. Tenangkan dirimu. Jika sudah takdir Sang Hyang Widi
Wasa akan mencabut hidup ini, memang tidak dapat dihindari).
c. Dialog antara Golongan Jaba dan Tri Wangsa
Dialog antara golongan jaba dan tri wangsa akan diambil pada saat Men Madu
meminta obat kepada Ida Bagus Aji di Griya. Dialog tersebut dapat dijelaskan di
bawah ini.
Ida Bagus Aji : “To kenken Men Madu suba sanja, padidian buin?.”
(Bagaimana Men Madu sudah senja (datang) sendirian ?)
Men Madu : “Ratu, titiang nawegang mamitang lugra, matur sisip wawu pedek tangkil ring ratu,
ngaturang indik sinengkaon parekan iratu saking itigang raina nenten mresidaang
61
bangun. Sakeng wawu sakit titiang sampun matari ring ipun jaga nuur palungguh
iratu ngaksi parekane, nanging ipun nenten ngewehin” (TLASK, hlmn. 25).
(Ratu, maafkan saya. Maaf, saya datang kepada Anda, menyampaikan tentang sakit
abdimu yang dari tiga hari yang lalu tidak bisa berdiri. Sejak awal sakit saya sudah
berbicara dengannya untuk meminta Ratu datang ke rumah, tapi dia tidak
memberikan).
Penggunaan kata-kata kenken ‘bagaimana’, suba ‘sudah’, pedidi ‘sendirian’ dan
yang lainnya dalam dialog di atas menunjukkan bahwa Ida Bagus Aji menggunakan
kata-kata andap ketika sedang berbicara dengan Men Madu. Sementara itu, Men
Madu menggunakan kata-kata yang halus pada saat berbicara dengan Ida Bagus Aji
yang dapat dibuktikan dari kata-kata titiang ‘saya’, wawu ‘baru’, mresidaang ‘dapat’
dan yang lainnya. Hal ini dapat dikuatkan dari dialog Nyoman Santosa dengan Anak
Agung Alit Sudendi di bawah ini.
Anak Agung Alit Sudendi : “Ih, Man, cai lakar kija, selidan suba mapayas nyateg”.
(Ih Man, kamu akan kemana, masih terang sudah rapi)
Nyoman Santosa : “Ooh, Gung Dendi, titiang jagi nonton sareng Made Arini (TLASK,
hlmn. 25).
(Oh, Gung Dendi, saya akan menonton dengan Made Arini).
2.2.2 Stratifikasi Modern
Stratifikasi masyarakat modern adalah stratifikasi yang tidak lagi didasarkan
pada aspek geneologi, melainkan lebih menyesuaikan dengan kemajuan zaman.
Stratifikasi masyarakat tersebut di antaranya adalah pendidikan, pangkat, kekuasaan,
dan jabatan tertentu menyebabkan golongan-golongan ini juga mendapatkan
penghormatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang tercermin melalu penggunaan
bahasanya. Stratifikasi masyarakat Bali Modern dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut
ini. Tabel 2. Stratifikasi Masyarakat Bali Modern
dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
Nama Tokoh Status Sosial
1. Kepala Sekolah Kepala sekolah SPG Klungkung, tidak disebutkan oleh
pengarang nama atau identitas tradisionalnya.
2. Mantri Kesehatan Petugas kesehatan yang memeriksa Pan Madu, tidak
disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya.
Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Modern ini berdampak pada
penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya.
Hal ini tampak pada profesi-profesi baru yang dimiliki oleh seseorang dalam
kehidupan modern. Mengacu pada dialog-dialog yang terjadi dalam novel ini dapat
diketahui bahwa jabatan tertentu dalam dunia pendidikan dan kesehatan misalnya,
menyebabkan seseorang menggunakan bahasa Bali Alus dalam komunikasinya. Hal
ini dapat dibuktikan dari percakapan antara Men Madu dengan Mantri Kesehatan di
bawah ini.
Mantri Kesehatan : “Ten kenapi-kenapi, me. Ibapa anak masuk angin tur batisne nyem. Pantesne bas
ngampeg magawe di carike. Masan napi mangkin di carike, Pa?”
(Tidak apa-apa Bu. Bapak hanya masuk angin, itu yang membuat kakinya
dingin. Mungkin karena bekerja terlalu berat di sawah. Musim apa di sawah
sekarang Bu?)
Men Madu : “Enggih pak Mantri, mangkin dicarike sedeng eega magarapan. Tiang
magarapan padidi sasukat kalaina mati teken panak tiange.(TlASK, hlmn :
25)”
62
(Iya Pak Mantri, sekarang di sawah sedang sibuk-sibuknya penggarapan. Saya
menggarap sawah sendiri setelah ditinggal mati oleh anak saya).
Pada dialog di atas, melalui kata-kata ten ‘tidak’, kenapi-kenapi ‘kenapa-
kenapa’ Mantri Kesehatan menggunakan unsur kosakata halus pada saat berbicara
dengan Men Madu. Demikian pula Men Madu juga menggunakan unsur-unsur
kosakata halus saat berbicara dengan Mantri Kesehatan seperti ditunjukkan kata oleh
kata nggih ‘ya’, mangkin ‘sekarang’. Demikian pula, dialog dari Nyoman Santosa
dengan Kepala Sekolahnya, penggunaan bahasa alus menjadi media komunikasinya
dalam berbicara kepada Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah : “Kenken dadi mara Nyoman teka? Kaden timpale lenan ada masi naftarang
dini, Man?”
(Kenapa baru Nyoman datang? bukankah teman-teman lainnya ada yang
mendaftar di sini, Man?)
Nyoman Santosa : “Kasep wiakti titiang Pak, santukan tan madue bekel jagi anggen titiang
ngaranjing mawinan tan wehina ring memen titiange. Niki titiang murunang
dewek, dumadak ledang bapak nerima titiang deriki ring SGB”.(TLASK, hlmn.
36)
(Memang benar saya terlambat Pak, karena saya tidak mempunyai bekal untuk
melanjutkan pendidika, itu yang menyebabkan saya tidak diberikan melanjutkan
pendidikan oleh ibu saya. Ini saya memberanikan diri masuk, semoga Bapak
berkenan menerima).
Mengacu pada dialog di atas, maka stratifikasi masyarakat modern telah
tercermin dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Dalam dialognya
terlihat penutur maupun petutur yang punya jabatan tinggi maupun masyarakat pada
umumnya sama-sama menggunakan unsur bahasa halus sehingga terkesan lebih
egaliter.
3. SIMPULAN
Berbasarkan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa novel sebagai genre
karya sastra memberikan informasi penting dalam perubahan kultural masyarakat Bali
terutama penggunaan bahasanya. Analisis di atas juga menunjukkan bahwa stratifikasi
sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun modern sama-sama mempengaruhi
penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap dalam aktivitas komunikasi. Tindak
tutur bahasa Bali yang didasarkan pada wangsa melalui analisis di atas menunjukkan
masih tetap dipertahankan. Sementara itu, stratifikasi masyarakat modern juga tetap
berkembang.
4. DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Gede. 2006. Kebijakan Strategi, dan Revitalisasi Bahasa Bali. Denpasar :
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Bagus, I Gusti Ngurah. dkk. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Denpasar : Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesi dan Daerah Bali Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam dalam
Masyarakat Bali Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa (Disertasi Universitas
Indonesia).
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya
(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sancaya, IDG Windhu. 2004. Bahasa Bali Jagadhita : Bahasa Budaya dan
Pengetahuan. Denpasar : Pustaka Bali Post
63
Simpen, I Wayan. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar :
Pustaka Larasan dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.
Suasta, Ida Bagus Made. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali.
Denpasar : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa,
Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.
2. Artikel lainnya tentang bahasa Bali
SAPAAN DALAM TUTURAN BAHASA BALI TERKAIT STRATIFIKASI
SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI MERUJUK KUASA DAN
SOLIDARITAS
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK
I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena
Darmasetiyawan4)
1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai kuasa dan solidaritas yang
ditunjukkan tuturan beserta sapaan dalam bahasa Bali berkaitan dengan stratifikasi
sosial pada masyarakat Bali. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif pendekata
kualitatif yang mengutamakan tuturan spontan sebagai data. Adapun hasil penelitian
yang ditemukan yaitu sapaan atau panggilan merujuk pada nilai kuasa pada tuturan
penutur yang memiliki status sosial tinggi dengan petutur yang berstatus sosial lebih
rendah, tuturan penutur berjenis kelamin laki-laki dengan petutur perempuan, dan
tuturan penutur berumur lebih tua dengan petutur lebih muda, sedangkan hubungan
sosial yang mendekatkan antar individu dalam interaksi komunikasi menunjukkan
adanya solidaritas dan cenderung mengendurkan pengaruh status sosial.
Kata Kunci: sapaan, stratifikasi sosial, kuasa, solidaritas
Abstract
The aim of this research is to know the power and solidarity value which are
shown on Balinese utterances include the address terms in it which relate to social
stratification in Balinese people. This research is descriptive research with qualitative
approach which feature spontaneous utterances as the data. The finding in this
research are the address term in Balinese utterances refer to power value that are
64
found on higher social status’ utterance with low status social’s, men’s utterances
against women’s utterances, and old people’s utterances have more power value
against the younger. Meanwhile, social relation which is strengthening certain people
tend to be loosen on social status influence which is represented on Balinese
utterances too.
Kata Kunci: address terms, social stratification , power, solidarity
1. Pendahuluan
Interaksi komunikasi antar individu dalam komunitas tertentu memberikan
ruang pada perkembangan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang
dipengaruhi lingkungan sosial termasuk latar belakang penutur dan petutur yang
terlibat di dalamnya. Latar belakang penutur dan penutur yang dimaksud yaitu
stratifikasi sosial, jenis kelamin, dan umur. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan-
tuturan yang diucapkan dalam percakapan khususnya sapaan-sapaan yang juga dapat
menunjukkan adanya nilai kuasa dan solidaritas. Dalam penelitian ini bukan hanya
sapaan berupa leksikon saja yang dikaji tetapi kalimat yang mengandung sapaan yang
dikaji sehingga komponen seluruh kalimat dapat memberi informasi secara utuh untuk
mengetahui perkembangan sosial mellui bahasa yang digunakan khususnya bahasa
Bali yang dipengaruhi stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin penutur maupun
petutur. Stratifikasi sosial di lingkungan sosial masyarakat Bali masih terjaga
walaupun sudah mengendur karena sistem di masyarakat yang sudah mulai
menyamaratakan kedudukan, bahasa Bali yang digunakan bahasa pergaulan dan
dinamis. Akan tetapi, tanda stratifikasi sosial masih menjadi faktor yang berpengaruh
dalam penggunaan bahasa adanya sapaan dalam tuturan-tuturan saat terlibat
percakapan. Setiap bahasa dapat menunjukkan adanya tanda atau rujukan nilai kuasa
dan solidaritas yang tidak hanya ditunjukkan penggunaan sapaan Tu dan Vous saja
tetapi pemilihan sapaan pada nama depan, namanya saja, nama gelar, dan nama
keluarga (Hudson, 2001: 123). Stratifikasi masyarakat tradisional di Bali ada dua
golongan yaitu Tri Wangsa dan Jaba. Golongan Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi
Brahmana, Ksatria, dan Wesia, sedangkan golongan jaba terdiri atas golongan
masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri Wangsa. Berbeda dengan stratifikasi
sosial tradisional, stratifikasi modern menggolongkan pekerjaan dan gelar pendidikan
sebagai pembeda status sosial. Selain stratifikasi sosial, faktor umur dan jenis kelamin
juga dapat memengaruhi penggunaan bahasa khususnya tingkatan-tingkatan tutur
bahasa Bali. Nilai kuasa dan solidaritas dapat dibedakan juga dari penggunaan bahasa
penutur dan petutur dan melibatkan faktor lain lagi seperti tingkat formalitas yang
terkait dengan hubungan personal antara penutur dan petutur sehingga perbedaan
signifikan terlihat antara tuturan yang mengandung nilai kuasa dan nilai solidaritas.
Berdasarkan paparan pendahuluan tersebut penelitian ini mengangkat dua masalah
untuk dikaji yaitu mengetahui pengaruh stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin
pada penggunaan bahasa Bali di masyarakat Bali dan menemukan nilai kuasa dan
solidaritas pada tuturan bahasa Bali dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Bali.
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Observasi partisipasi dan teknik elisitasi digunakan dalam pengumpulan data yaitu
peneliti ikut berpartisipasi dalam komunitas tutur bahasa Bali yang bertujuan untuk
65
mendapatkan data lisan dan spontan (Labov 1972b: 102-11). Dalam pengumpulan
data lebih mengkhusus menggunakan sampel purposif yaitu memilih sampel sesuai
karakter masalah dalam penelitian ini (Hadi, 183:83). Data yang dikumpulkan berupa
tuturan informan terkait yang direkam perekam dan transkripsi tuturan tersebut
diklasifikasikan berdasarkan tingkat tutur dengan variabel jenis kelamin, umur, dan
status sosial serta beberapa ranah terjadinya interaksi komunikasi. Pada tahap
penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah metode formal dan
informal. Metode formal merupakan metode perumusan dengan tanda-tanda dan
lambang sedangkan metode informal merupakan metode dengan perumusan yang
menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).
3. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh, hasil penelitian yang ditemukan dibahas
lebih rinci seperti berikut ini.
3.1 Tuturan Bernilai Kuasa
Contoh dari tuturan bernilai kuasa adalah tuturan-tuturan bahasa Bali dalam
suatu percakapan yang melibatkan perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, dan
perbedaan status sosial baik tradisional maupun modern yang dijelaskan sebagai
berikut.
Ngurah : Punapi gatra Gung Aji?
Anak Agung Wira : montoan gen Rah (1)
Percakapan (1) adalah percakapan antara teman seumuran yang sama-sama
tergolong dalam golongan Tri Wangsa tetapi petutur memiliki status sosial lebih
tinggi. Percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dalam artian tidak melibatkan
emosi pada situasi tersebut. Penutur menyadari status sosial yang dimiliki sehingga
penutur menggunakan bahasa Bali Alus bertanya kepada petutur. Hal tersebut
menunjukkan adanya hubungan asimetris yang menunjukkan adanya petutur sebagai
pihak kuasa dan penutur sebagai pihak yang terkuasa.
Irma : Jero sampun kalih medue Oka, mriki ke pondok tyang kapah-
kapah
Jero Onik : ae Ma, dua suba, manian nyen melali kene sibuk ngayah dini (2)
Begitu juga percakapan (2), percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dan
penutur yang terlibat adalah teman seumuran bahkan teman masa kecil. Akan tetapi,
adanya status sosial yang berbeda membuat penutur menggunakan bahasa Bali Alus
dan menyapa dengan sapaan Jero padahal kedua penutur memiliki umur yang sama
dan hubungan yang dekat.
Wayan Juli : be suud ujian tesis Pik?
Novi : sampun Bli, tuni semeng, Bli pidan?
Wayan Juli : bin a semester Pik (3)
Percakapan (3) melibatkan penutur yang berbeda umur tetapi sama dalam
kedudukan stratifikasi sosial tradisional. Selain itu, keduat penutur juga dalam satu
jenjang pendidikan walaupun berbeda angkatan. Wayan Juli adalah karyasiswa
semester 2 dan Novi adalah karyasiswa semester 4. Dalam percakapan di atas,
penggunaaan bahasa Bali Alus dan sapaan Bli yang digunakan petutur menunjukkan
66
petutur menyadari adanya perbedaan umur dan perbedaan jenis kelamin lawan bicara
khususnya jenis kelamin laki-laki yang dianggap superior. Begitu juga petutur,
penggunaan bahasa yang digunakan menunjukkan petutur menyadari dirinya adalah
pihak kuasa walaupun petutur juga menyadari adanya perbedaan tingkat dalam
jenjang pendidikan.
Biyang Tude : niki sampun ten uning napi, nyeh mepreksa Dok
Dokter Made : sing dadi nyeh Bu, penting yen suba ada gejala (4)
Pecakapan (4) melibatkan kedua penutur yang memiliki jenis kelamin yang
berbeda yaitu laki-laki dan perempuan, perbedaan status sosial modern dalam hal ini
pekerjaan penutur adalah pedagang dan petutur adalah dokter, dan perbedaan umur
penutur yang lebih tua dari petutur. Stratifikasi sosial modern digolongkan
berdasarkan pekerjaan dan jenjang pendidikan membuat perubahan pada sistem
hierarki di dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa sekarang. Penutur yang
tergolong ke dalam golongan Tri Wangsa menjadi pihak terkuasa yang ditunjukkan
penggunaan bahasa Bali Alus kepada petutur yang bukan golongan Tri Wangsa tetapi
berprofesi sebagai dokter yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi sesuai
penggolongan stratifikasi sosial modern. Faktor umur yang lebih tuapun tidak
diperhitungkan lagi.
3.2 Tuturan Bernilai Solidaritas
Selain tuturan bernilai kuasa, tuturan bernilai solidaritas juga menggunakan
tuturan-tuturan bahasa Bali dalam percakapan bahasa Bali dan dipaparkan sebagai
berikut.
Gung Putra : Kene Hp usak, kal meli baru gen
Putu Wiyana : De lebian ngeluh Gung, biasaang (5)
Percakapan (5) adalah percakapan yang melibatkan penutur yang memiliki
status sosial lebih tinggi dari petutur sesuai penggolongan stratifikasi sosial
tradisional. Kedua penutur menggunakan bahasa Bali Kepara yang tidak tergolong
halus maupun kasar. Bahasa tersebut sering digunakan dalam pergaulan di lingkungan
masyarakat Bali. Hubungan yang dekat antarpenutur membuat rasa solidaritas
keduanya lebih erat sehingga kedudukan yang berbeda sesuai stratifikasi sosial
tradisional di Bali tidak diperhitungkan lagi walaupun tetap menggunakan sapaan
yang menunjukkan gelar atau perbedaan status sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari
penggunaan bahasa Bali Kepara yang digunakan keduanya.
Agung Supadmi : Atu adi mare teka?
Ida Bagus Suanda : Mare uli Bukit Bu Gung, kenyel (6)
Pecakapan (6) melibatkan kedua penutur yang seumuran tetapi memiliki status
sosial yang berbeda, status sosial petutur lebih tinggi dari penutur, dan percakapan ini
terjadi di ranah kantor. Seperti percakapan (5), penutur dalam percakapan (6)
menggunakan bahasa Bali biasa dan tetap menggunakan sapaan sesuai gelar yang
menunjukkan status sosial tradisionalnya. Kedua penutura yang terlibat memiliki
hubungan yang dekat karena sudah belasan tahun bekerja sama dalam satu kantor
sehingga status sosial tidak dipermasalahkan yang ditunjukkan dari penggunaan
bahasa Bali biasa dari kedua penutur.
67
4. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, perilaku berbahasa yang ditunjukkan penutur dan petutur dalam tuturan yang
mengandung nilai kuasa menunjukkan perilaku berbahasa yang asimetris, yaitu pihak
yang memiliki kedudukan lebih tinggi, umur lebih tua, dan berjenis kelamin laki-laki
sebagai pihak penguasa sedangkan pihak yang berkedudukan lebih rendah sebagai
pihak terkuasa. Implikasinya adalah tuturan pihak terkuasa lebih santun dengan
menggunakan bahasa Bali Alus dan menyapa dengan gelar Tri Wangsa atau gelar
pekerjaannya. Kedua, perilaku berbahasa berbeda ditunjukkan tuturan penutur dan
petutur yang mengandung nilai solidaritas. Hubungan yang dekat memengaruhi
perilaku berbahasa penutur dan petutur yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa Bali
biasa bahkan kepara walaupun tidak lupa menggunakan sapaan sesuai gelar Tri
Wangsa yang dimiliki.
5. Daftar Pustaka
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi research I. Yogyakarta: UGM Press.
Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society
1, 97- 120.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya
(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University
Press.
68
LAMPIRAN 6: CATATAN HARIAN (LOG BOOK)
Catatan Harian (Log Book):
Kegiatan Hibah : PNBP
Judul Kegiatan : Bahasa dan Kategori-Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada
Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat
NO TANGGAL
PELAKSANAAN URAIAN KEGIATAN
JUMLAH DANA
TERPAKAI
PERSENTASE
PELAKSANAAN BERKAS
1. 21 Mei 2015 Penandatanganan Kontrak
Print, Fotokopi, dan Jilid
Proposal Penelitian: Rp.
130.000,-
Bensin: Rp. 75.000,-
80%
2. 29 Mei 2015 Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang
kelanjutan dari proposal penelitian
Konsumsi Rapat: Rp.
75.000,- 20%
3. 12 Juni 2015
Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang
persiapan penelitian lapangan, dan segala prosedur
(administratif) yang diperlukan
Konsumsi Rapat: Rp.
75.000,- 40%
4. 26 Juni 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti
untuk wilayah Lombok (Bahasa Sasak) Snack Rapat: Rp. 50.000,- 60%
5. 10 Juli 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti
untuk wilayah Bali (Bahasa Bali) Snack Rapat: Rp. 60.000,- 80%
6. 15 Juli 2015
Rapat Tim Peneliti dengan seluruh tim lapangan:
membahas tentang persiapan penelitian ke
lapangan, yang meliputi batasan, ranah,
kelengkapan-kelengkapan teknis, dan instrumen
kuesioner yang dipakai sebagai bahan penelitian
lapangan
Snack Rapat: Rp. 90.000,-
Konsumsi Rapat: Rp.
225.000,-
80%
69
7. 23 Juli 2015 Persiapan Penelitian Lapangan
ATK: Rp.173.000,-
Tinta dan Flashdisk: Rp.
2.230.000,-
Obat-Obatan: Rp. 65.800,-
Print dan Fotokopi Instrumen
Penelitian: Rp.17.500,-
50%
8. 24 Juli 2015
Penelitian Lapangan Lombok (Hari Pertama)
Tim berangkat ke Lombok
menemui informan Dr. Muhammad Sukri,
S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas
Negeri Mataram (UNRAM), yang berada di
daerah pusat kota Mataram, Lombok Barat,
terutama untuk melihat referensi-referensi
yang berkaitan dengan penggunaan tingkat
tutur bahasa sasak yang telah dipublikasikan
Tim menuju sekitaran Lombok Barat untuk
melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah
pasar daerah yang menggunakan dialek Meno-
Mene, yaitu daerah Narmada dan Ampenan,
selain itu juga tim ke rumah-rumah untuk
mengamati tingkat tuturan yang terjadi dalam
ranah keluarga. Pengambilan data dilakukan
dengan cara wawancara dan kuesioner.
Tiket Kapal: Rp. 390.000,-
Sewa Kendaraan (3 hari): Rp.
1.650.000,-
Makan pagi: Rp. 67.000,-
Makan siang: Rp. 80.000,-
Makan malam: Rp. 66.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
148.000,-
Fotokopi bahan pustaka: Rp.
37.500,-
70%
9. 25 Juli 2015 Hari Kedua Makan pagi: Rp. 82.000,- 70%
70
menuju kantor Beraim,
kecamatan Peraya Tengah Lombok Tengah
untuk mengamati tingkatan tuturan dalam ranah
perkantoran khususnya antara atasan dan
bawahan dalam dialek Meno-Mene bahasa sasak
Lombok.
penelitian dilanjutkan dengan ke
rumah-rumah penduduk, di desa Ketejer,
kecamatan Praya dan di daerah Penujak,
bertemu beberapa informan, untuk mendapatkan
informasi tentang bahasa sasak khususnya dialek
Meno-Mene, dan juga tingkat tutur penggunaan
bahasa Sasak terutama di kalangan bangsawan
(Lalu dan Baiq)
Makan siang: Rp. 132.000,-
Makan malam:Rp. 115.500
Snack dan Minuman: Rp.
27.500
10. 26 Juli 2015
Hari Ketiga
Tim melakukan pengambilan
data di sekitaran Lombok Timur, melalui
wawancara dan kuesioner, khususnya untuk
melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah rumah
tangga dan tetangga
Tim melanjutkan perjalanan
kembali ke Denpasar
Makan pagi: Rp. 62.000,-
Makan siang: Rp. 78.000,-
Makan malam: Rp. 37.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
23.000,-
Penginapan: Rp. 1.800.000,-
Tiket Kapal: Rp. 390.000,-
70%
11. 27 Juli – 1
Agustus 2015 Transkripsi dan Tabulasi Data Bahasa Sasak
80%
71
12. 30 Juli 2015
Penelitian lapangan Tim Bahasa Bali (setelah libur
panjang Galungan dan Kuningan) – Hari Pertama
Tim bergerak ke kantor-kantor
di sekitaran Denpasar untuk melihat
penggunaan bahasa Bali dalam ranah kantor
Kemudian, tim juga
mengumpulkan data dari sumber data
tertulis, dan referensi-referensi sejenis,
seperti novel, tresnane lebur ajur santonden
kembang karya Djelantik Santha (1981)
Pustaka Ekspresi Tabanan
Sewa Alat Rekam: Rp.
700.000,-
Bensin: Rp. 20.000,-
Makan siang: Rp. 63.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
58.000,-
Pulsa Telp dan Modem: Rp.
339.000,-
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 92.900,-
70%
13. 31 Juli 2015
Hari Kedua
Tim bergerak ke rumah-rumah
di seputaran Denpasar dan sekitaranya untuk
melihat penggunaan bahasa Bali dalam
ranah keluarga dan tetangga.
Makan pagi: Rp. 34.000,-
Makan siang: Rp. 60.000,-
Snack dan Minuman:Rp.
44.600,-
Bensin: Rp. 44.000
70%
14. 1 Agustus 2015
Hari Ketiga
Tim bergerak ke sekitaran pasar-
pasar tradisional di Denpasar dan sekitarnya
untuk penggunaan bahasa Bali dalam ranah
pasar
Tim a menuju ke daerah
Tabanan, yaitu di sekitaran desa Jegu,
Penebel, untuk melihat penggunaan bahasa
Bali baik itu di ranah keluarga, pasar,
maupun agama
Sewa Kendaraan: Rp.
400.000,-
Bensin: Rp. 200.000,-
Makan pagi: Rp. 39.000,-
Makan siang: Rp. 120.000,-
Makan malam: Rp. 42.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
22.000,-
70%
15. 2 Agustus 2015 Hari Keempat
Tim bergerak ke sekitaran banjar
Bensin: Rp. 150.000,-
Makan pagi: Rp. 54.000,- 70%
72
(seka truna), dan pura di sekitaran Denpasar
dan sekitarnya untuk melihat penggunaan
bahasa Bali dalam ranah agama dan Adat
Kemudian, tim bergerak ke
daerah Tabanan dan sekitarnya, yaitu di
sekitaran desa Tunjuk, dan Susut untuk
melihat penggunaan bahasa Bali baik itu di
ranah keluarga, tetangga maupun agama.
Makan siang: Rp. 55.000,-
Makan malam: Rp. 60.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
20.500,-
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 163.100,-
16. 3- 11 Agustus
2015
Transkripsi dan Analisis data awal baik itu data dari