Top Banner
214

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mar 22, 2023

Download

Documents

Toto Suharto
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 2: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 3: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 4: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 5: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 6: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 7: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesiadari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islah Gusmian*Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta

Email: [email protected]

Abstract

This article demonstrates that a variety of local languages, like Javanese,Sundanese and Malay, have become a medium for writing Al-Qur’ancommentaries in the archipelago. The choice of local languages for these textsis closely connected to the social-cultural circumstances where they wereproduced. For example commentaries in Malay Jawi appear in Aceh and Sumatrawhile commentaries in Javanese are found in the palaces and pesantren of Java.Moreover, the process of adoption and adaptation of Islam to local culturealso characterized the dynamics of commentary writing in the region. Somecommentators wrote in the Malay or Javanese language with an Arabic scriptand yet, while the influence of local cultures was so strong, other commentatorsused both the Arabic language.

Keywords: Vernakularisasi, alih aksara, sosiokultural, Arab-Pegon,romanisasi

Pendahuluan

Jalan kultural dalam penyebaran Islam ke Nusantara yangdilakukan oleh para penyebar Islam, baik dari Gujarat, Persia,

maupun Arab,1 telah memberikan corak kultural yang kuat bagi

*Ketua Program Studi Tafsir Hadis STAIN Surakarta, Telp. 0271-7815161 Gujarat, Persia, dan Arab adalah tiga wilayah yang menjadi perdebatan asal-usul

Islam di Nusantara. Banyak teori telah dikemukakan untuk menjelaskan mana yang lebihdulu tiba di Nusantara membawa Islam. Lepas dari perdebatan ini, ketiganya nyata-nyatamempunyai pengaruh dalam perkembangan Islam di Nusantara. Penjelasan tentang teori-teori tersebut, lihat misalnya, T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagationof the Muslim Faith (Lahore: SA Muhammad Asraf, 1968), h. 369-371.

Page 8: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian2

Islam yang berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, penyebaranIslam di Nusantara ini telah mengalami dua proses sekaligus—me-minjam distingsi Fadlou Shahedina—yaitu: (1) proses adopsi (toadopt) elemen-elemen kultur lain, dalam hal ini kultur Nusantara,dan (2) pada saat yang sama terjadi proses seleksi atau adaptasi (toadapt) kultur luar tersebut dengan nilai-nilai kultur internal, sehinggaIslam di Indonesia sebetulnya bukanlah Islam murni persis denganIslam di semenanjung Arabia—di samping memang Islam murniitu sulit dibuktikan.2

Islam di Indonesia mempunyai kekhasan sendiri dalam prosespergumulannya dengan budaya Indonesia, karena telah mengalamidua proses kultural di atas. Penelitian yang dilakukan Mark R.Woodward mengenai Islam Jawa, dengan objek penelitian KeratonYogyakarta, membuktikan hal ini.3 Proses adaptasi dan adopsi diatas telah berpengaruh di berbagai bidang, terutama di bidang sosialdan budaya. Anthony H. Johns telah mencatat bahwa pada akhirabad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara telah terjadi prosespembahasalokalan (vernakularisasi) keilmuan Islam. Hal ini bisadilihat dalam tiga fenomena. Pertama, digunakannya aksara Arabdengan bahasa Melayu yang disebut dengan aksara Jawi. Kedua,banyaknya kata serapan dari bahasa Arab yang telah ditransformasi-kan dalam bahasa lokal. Ketiga, banyaknya karya sastra yang terinspi-rasi oleh model-model karya sastra Arab (dan Persia).4 Ada satu lagiyang tidak disebutkan oleh Johns, yaitu adanya penyerapan strukturdan aturan linguistik dan gramatikal bahasa Arab.5

2 Dari uraian Robert D. Lee ketika mengkaji pemikiran Muhammad Iqbal, ‘Alî Syari’atî,Sayyid Qutb, dan Muhammed Arkoun, bisa disimpulkan bahwa pencarian keotentikan Islamhanya akan melahirkan penolakan radikal terhadap tradisi dan kemodernan, yang pada akhirnyahanya melahirkan perpecahan dan penegasan narasi dari komunitas yang berbeda: Sekulardan Islam puritan. Sedangkan persoalan umat Islam sangat kompleks; yang dihadapi mestinyabukan dengan pemikiran otentik, tetapi dengan silang budaya. Lihat, Robert D. Lee,Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Authenticity (Westview Press, ADivision of HarperCollins Publishers, Inc., 1997). Lihat juga, Erni Budiwanti, Islam Sasak:Wetu Telu Versus Wektu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2001).

3 Tesis utama dalam bukunya yang berjudul Islam in Java: Normative Piety andMysticism in the Sultanate of Yogyakarta yang ia bangun menunjukkan bahwa Islam Jawa padadasarnya juga Islam, bukan Hindu atau Buddha, sebagaimana dituduhkan kalangan Muslimpuritan dan banyak sejarawan-antropolog (kolonial). Islam Jawa bukanlah penyimpangandari Islam, tetapi merupakan varian Islam, seperti Islam India, Islam Syria, dan lain-lain.

4 Lihat juga, Johns, “Quranic Exegesis in the Malay World” dalam Andrew Rippin (ed.),Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an (Clarendon Press, Oxford: 1988), h. 257-87.

5 Moch. Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Al-Qur’an Melayu Jawi di Indonesia: RelasiKuasa, Pergeseran dan Kematian”, Visi Islam vol. 1 No. 1 Januari 2002, h. 13.

Page 9: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 3

Analisis Johns ini menunjukkan bahwa islamisasi akan selalumemunculkan situasi di mana dua variasi bahasa dan budaya akandipergunakan secara bersamaan di dalam suatu komunitas. Namundalam konteks ini, proses arabisasi yang seringkali lebih tampakmenonjol. Ini terjadi, karena pengaruh penggunaan Al-Qur’an, teks-teks hadis dan literatur keagamaan Islam lainnya. Ditambah puladengan adanya suatu keyakinan bahwa bahasa Arab lebih ungguldaripada bahasa-bahasa yang lain, karena ia adalah bahasa yang di-pakai oleh Kitab Suci Al-Qur’an. Fenomena di atas terjadi pula di da-lam tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an di berbagai wilayah Nusantara.

Tulisan ini menganalisis proses adaptasi dan adopsi terkaitdengan pemakaian bahasa dan aksara di dalam proses penulisantafsir Al-Qur’an di Nusantara. Analisis semacam ini penting, bukanhanya untuk menunjukkan keragaman bahasa dan aksara yangdipakai di dalam penulisan tafsir di Indonesia, tetapi juga untukmemperlihatkan relevansi dan kepentingan mufasir dengankomunitas Muslim yang menjadi sasaran dan segmentasi dari karyatafsir tersebut, serta untuk memperlihatkan hierarki dari sebuahkarya tafsir dalam konteks sosio-kultural masyarakat.

Karya Tafsir dalam Keragaman Aksara dan Bahasa

Tradisi penulisan karya-karya keilmuan Islam di Nusantara,seperti dalam bidang sastra, fikih, kalam, hadis, tafsir dan tasawufbergerak bersamaan dengan diperkenalkannya Islam kepadapenduduk di Nusantara. Kajian Azyumardi Azra tentang jaringanulama di Nusantara dengan para ulama di Timur Tengah tidak hanyamenunjukkan kuatnya mata rantai intelektual Muslim Nusantaradengan ulama-ulama di Timur Tengah, yang melahirkan prosesrespons dan transmisi ilmu pengetahuan. Pada sisi yang lain, kajiantersebut juga telah memberikan data penting mengenai karya-karyakeislaman Muslim Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17 di berbagaibidang.6 Hamzah Fansuri,7 Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), ‘Abd ar-

6 Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan Kepulauan NusantaraAbad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), h. 142.

7 Kelahiran dan kematiannya tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian adabukti bahwa dia hidup dan berjaya pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala’Ad-Din Ri‘ayat Syah (berkuasa pada 1589-1602) diperkirakan dia meninggal sebelum 1607.S.M.N Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of MalayaPress, 1970), h. 3-13. dikutip Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 166.

Page 10: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian4

Rauf as-Sinkili (1615-1693), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1627-1699) adalah di antara tokoh penting yang berperan dalam tradisipenulisan karya-karya keislaman di Nusantara dalam bidang-bidangkeilmuan yang cukup beragam.

Peter Riddell telah memberikan satu peta yang cukup pentingmengenai karya-karya keilmuan Islam di Nusantara tersebut sejakabad ke-16 M hingga abad ke-19 M dan keterpengaruhannyadengan keilmuan Islam di Timur Tengah.8 Bila Azra lebih fokusmengkaji jaringan intelektual dalam konteks guru-murid danpengaruh-pengaruhnya, Riddell mengkaji keterpengaruhan karya-karya keislaman Muslim Nusantara—terutama di bidang ilmutasawuf dan tafsir Al-Qur’an—dengan wacana dan tradisi keilmuanyang berkembang di Timur Tengah sebagai bentuk respons dantransmisi. Nuruddin Al-Raniri misalnya, di antara tokoh penting yangproduktif menulis buku dengan berbagai bidang ilmu. Diperkirakania menulis sedikitnya 29 judul buku. Salah satu karyanya yangbanyak dikaji adalah al-S }irât } al-Mustaqîm yang berisi mengenaipentingnya aspek syariat dalam tasawuf. Dari karya ini pula, iakemudian membuat ringkasannya mengenai penerapan aturan-aturan rinci fikih, yang paling terkenal adalah Kaifiyyât al-S }alâh danBa’ al-Nikâh}. Raniri juga sadar bahwa penerapan syariat tidak dapatditingkatkan tanpa pengetahuan mendalam mengenai hadis Nabi.Oleh karena itu, ia mengumpulkan sejumlah hadis yang diterjemah-kan ke dalam bahasa Melayu agar penduduk Muslim Nusantaramampu memahaminya dengan benar. Kumpulan hadis inilah yangkemudian dikenal dengan judul Hidâyah al-H }abîb fi al-Targhîb waal-Tartîb.9 Di bidang fikih, karya-karya Al-Raniri banyak didasarkanpada buku-buku fikih syafi‘iyyah standar, seperti Minhâj al-T }âlibînkarya Al-Nawawi, Fath } al-Wahhâb bi Syarh Minhâj al-T }ullâb karyaZakariya Al-Anshâri dan Hidâyah al-Muh }tâj Syarh } al-Mukhtas {arkarya Ibn H }ajar. Di bidang kalam dan tasawuf karya-karyanya banyakdipengaruhi oleh Al-Ghazâlî, Al-Qunawî, Al-Qasyâni, Al-Jîli dan paraulama terkemuka lainnya.10

8 Lihat, Peter Riddell, Islam and The Malay-Indonesian World, Transmission andResponses (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2001), h. 73.

9 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 186.10 Ibid., h. 181.

Page 11: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 5

Adapun di bidang tafsir Al-Qur’an, pada abad ke-17 M, ulamaNusantara yang terkenal adalah ‘Abd ar-Rauf as-Sinkili (1615-1693).Dia adalah orang pertama di Nusantara yang menulis tafsir Al-Qur’anlengkap 30 juz, berjudul Tarjumân al-Mustafid, memakai bahasaMelayu dengan aksara Arab. Sebagai tafsir awal, karya ini telah ber-edar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan, edisi cetaknya dapatditemukan di kalangan komunitas Melayu, di tempat sejauh AfrikaSelatan. Edisi-edisi cetaknya tidak hanya diterbitkan di Singapura,Penang, Jakarta dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah.11

Satu abad sebelumnya, sebenarnya juga telah muncul karyatafsir di Nusantara, meskipun masih sangat sederhana dan hanyamenyangkut ayat tertentu, berjudul Tafsir Surah al-Kahfi (QS. Al-Kahfi/18: 9). Naskahnya dibawa oleh Erpinus (w. 1624) pada awalabad ke-17 M dari Aceh menuju Belanda, dan sekarang menjadikoleksi Cambridge University Library dengan katalog MS Ii.6.45.Naskah ini diduga ditulis pada masa awal pemerintahan SultanIskandar Muda (1607-1636), yang saat itu mufti kesultanan dipegangoleh Syams ad-Din as-Sumatrani, atau bahkan sebelumnya, yaituSultan Ala’ ad-Din Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1537-1604),yang saat itu mufti kesultanannya dipegang oleh Hamzah Fansuri.12

Karya tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya dan kapan ditulis.Namun, merujuk pada corak penafsirannya yang kental denganwarna sufistiknya, tentu penulisnya seorang yang mempunyaipandangan spiritual yang mendalam dan kuat. Atau bahkan iatermasuk pengikut tarekat yang dominan pada zaman ketika naskahini ditulis.

Ada dugaan bahwa naskah ini ditulis oleh Syamsuddin as-Sumatrani atau Hamzah Fansuri, yang pada masanya, ia dikenalsebagai syaikh tarikat Qadiriah. Seandainya karya-karya kedua tokohini tidak dibakar oleh Nuruddin ar-Raniri, tentu dugaan ini akanmenemukan kejelasan. Namun, yang jelas isi naskah tafsir ini sejalandengan kebijakan negara pada saat itu yang dalam masalah-masalahkeagamaan cenderung pada sufisme. Karya-karya sejenis ini tumbuhsubur di era kesultanan sebelum Iskandar Tsani dengan muftiNuruddin ar-Raniri itu.

11 Ibid., h. 203; Peter Riddell, Islam and The Malay-Indonesian World, Transmissionand Responses, h. 161-5.

12 Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 150.

Page 12: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian6

Karya-karya tafsir di Nusantara pada periode abad ke-17 Mini ditulis dalam bahasa Melayu berhuruf Arab (Jawi). Hal ini di-mungkinkan terjadi, karena berdasarkan lacakan Anthony H. Johns,seperti telah dikutip di depan, pada akhir abad ke-16 M telah terjadipembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara, sepertitampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudiandisebut dengan aksara jawi dan pegon.13

Dipakainya bahasa Melayu berhuruf Jawi (selanjutnya disebut“Melayu-Jawi”) pada era tersebut semakin menemukan kekuatan-nya, karena bahasa Melayu merupakan lingua franca yang dipakaidi Nusantara dan menjadi bahasa resmi yang dipakai dalamkomunikasi pemerintahan, hubungan antarnegara, dan perdaga-ngan. Namun, dalam masyarakat yang bahasa daerahnya non-Melayu, Melayu-Jawi tentu hanya dikuasai oleh orang-orang ter-tentu, misalnya kalangan pemerintahan, terpelajar dan pedagang.Di luar dari kelompok-kelompok ini, bahasa daerah masing-masinglah yang dominan dipakai.

Atas dasar kenyataan tersebut, literatur tafsir yang memakaibahasa Melayu dalam perkembangannya menjadi kurang populerdi tengah masyarakat Nusantara secara umum. Apalagi setelah aksaraRoman diintroduksi oleh pemerintah kolonial Belanda. Prosesromanisasi ini pada akhirnya menjadi dominan dari pusat hinggadaerah, terutama setelah dihapuskannya sistem tanam paksa pada1870 dan kemudian diterapkannya Politik Etis. Setelah era tahun1900-an, misalnya, dapat dilihat mulai muncul upaya mendirikansuatu sistem legislatif, seperti dalam bidang-bidang administrasikepegawaian, pendidikan, dan yang lain, untuk semua golonganpenduduk, baik Eropa maupun Indonesia, berdasarkan atas ukuranyang berlaku bagi golongan Eropa. Munculnya media massa,terutama koran dan majalah pribumi, pada dekade 1900-an jugamendorong romanisasi ini lebih jauh.14 Medan Prijaji adalah mediamassa pertama pribumi dalam bentuk majalah yang terbit kalipertama pada 1906, dipimpin oleh Tirtoadisoerjo, salah seorangpendiri Sarekat Islam. Kemudian disusul media-media massa lain

13 Anthony Johns, “The Qur’an in the Malay World: Reflection on ̀ Abd al-Rauf ofSinkel (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies 9:2 (1998), h. 121.

14 Moch. Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Qur’an Melayu-Jawi di Indonesia: RelasiKuasa, Pergeseran dan Kematian” dalam Visi Islam Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Volume 1,Nomor 1, Januari 2002, h. 23.

Page 13: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 7

yang beraksara roman, seperti Utusan Hindia Belanda, pimpinanTjokroaminoto, terbit kali pertama pada 1914; di Surabaya, Al-Islampimpinan Tjokroaminoto juga, terbit kali pertama pada 1916; di Solo,Neraca, pimpinan Abdoel Moeis dan Haji Agus Salim terbit kali per-tama pada 1916.15 Ini semua yang pada akhirnya mempercepatromanisasi bahasa-bahasa lokal, termasuk bahaya Melayu. Di sinilahtampak bahwa aksara Arab sebagai media penyampai tafsir Al-Qur’an mulai jarang digunakan.

Namun demikian, bahasa Melayu-Jawi hingga awal abad ke-20 tidak sepenuhnya mati dan lenyap dalam ruang dunia kepenulisantafsir. Bahasa Melayu-Jawi sebagai media pengungkapan tafsir Al-Qur’an masih bisa ditemui, setidaknya sampai pada dekade 1920-an. Kita bisa menyebut beberapa karya, misalnya: Tafsir Surat al-Kahfi dengan Bahasa Melajoe karya Abdoel Wahid Kari Moeda binMuhammad Siddik, terbit di Makassar pada 1920 M.; Tafsir al-Burhan, tafsir atas juz ‘Amma karya Haji Abdul Karim Amrullah yangdikenal dengan Haji Rasul (ayah Hamka) terbit di Padang pada 1922M; dan tiga juz pertama Tafsir al-Qur’an karya Mahmud Yunus yangterbit secara terpisah-pisah pada 1922 M diterbitkan di Mesir. Paruhakhir dekade ini juga ditandai dengan terbitnya dua karya tafsirMelayu-Jawi, yakni Alqoeranoel Hakim Beserta Toejoean danMaksoednya, juz I karya H Ilyas dan ‘Abdul Jalil yang terbit pada1925 M, dan Tafsir al-Qur’an al-Karim, juz 1-3, karya Jamain bin‘Abd al-Murad, yang terbit pada 1926 M.

Perkembangan yang lain terjadi di Jawa. Setidaknya sejak abadke-18 M tradisi penulisan tafsir di Jawa mengalami perkembanganyang khas, yakni pemakaian aksara Arab tidak dominan seperti yangterjadi di Aceh dan Sumatra. Namun demikian, aksara Arab masihdipakai dan dipadukan dengan bahasa dan aksara Jawa, sebatassebagai penulisan teks ayat-ayat Al-Qur’an.

Pada abad ke-18 hingga 19 M proses romanisasi ini tidakmenyentuh tradisi penulisan tafsir di Jawa. Hal ini bisa dilihat padaberbagai karya tafsir yang muncul di Jawa pada abad itu.16 Pertama,pada abad ke-18 karya tafsir di Jawa masih konsisten menggunakanbahasa Jawa, sebagaimana bisa dilihat pada naskah berkode Lor 2097

15 Informasi tentang beberapa media massa ini lihat, Deliar Noer, Gerakan ModerenIslam di Indonesia 1990-1945 (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 345-48.

16 Ervan Nurtawab, dalam Simposium Pernaskahan Nusantara di UIN Jakarta tahun2004 sebagaimana dilansir oleh Harian Republika 5 September 2004.

Page 14: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian8

R 15.710. Naskah ini merupakan teks Al-Qur’an disertai sisipankomentar menggunakan bahasa Jawa. Naskah ini sekarang menjadikoleksi perpustakaan Leiden.17

Kedua, naskah berkode IS.1 berjudul Tafsir Al-Qur’an, Primbonkarya Syekh Imam Arga. Naskah ini terdiri atas beberapa buah teks,salinan ayat suci dengan tafsir berbahasa Jawa beraksara Arab (Pegon)dan berbagai teks primbon. Untuk teks kitab sucinya berisi surahAl Patekah, Dakan, Rahman, Watangat, Anabail, Anaza’at, Abbas,Antaqat, Buresj, Syamsi dan at-Takasur. Sebagian dari teks ini disertaidengan tafsir yang ditulis dengan bahasa Jawa, yang disalin di bawahayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Naskah ini berbahasa Jawa denganaksara Arab, berukuran 19,5 x 16 cm setebal 366 halaman dan ter-dapat 14 baris di setiap halamannya.18

Pada abad ke-19 M muncul naskah berkode I34 SB 12 berjudulTafsir Al-Qur’an saha Pethikan Warna-warni. Naskah yang kinitersimpan di Museum Sonobudoyo ini menggunakan bahasa Jawaberaksara Arab, berisi tiga macam teks, dan disalin oleh lebih darisatu tangan. Teks pertama, halaman 4-27, berisi kutipan surah al-Baqarah lalu dilengkapi dengan catatan antaralinea berupa terjema-han atau tafsir kata-kata ke dalam bahasa Jawa. Teks kedua, halaman29-75, berisi aneka macam teks, di antaranya berisi catatan tentangfikih dalam berbagai tulisan tangan. Catatan ini sebagian dalambahasa Arab dengan terjemahan di bawah teks, sebagian lagi ditulisdengan bahasa Jawa saja, dan yang lain berbahasa Arab tanpa disertaiterjemahannya. Teks ketiga, halaman 76-90, berisi kutipan hadisNabi saw dalam bahasa Arab.19

Pada 1930, terbit tafsir Al-Qur’an lengkap berjudul TafsirQuran Jawen, dicetak oleh penerbit Siti Sjamsijah Surakarta. Karyaini kemungkinan merupakan tafsir pertama dalam edisi bahasa danaksara Jawa, yang dicetak berjilid-jilid. Salah satu jilidnya setebal282 halaman yang memuat tafsir juz satu surah al-Baqarah. Untukteks Al-Qur’an ini disertai dan didampingi terjemahan yang ditulisdengan bahasa dan aksara Jawa. Kini, naskah tersebut tersimpan diPerpustakaan Sonobudoyo, Mangkunegaran dan Radyapustaka.20

17 “Beragam Kitab Tafsir Nusantara,” Republika, 05 September 2004.18 Ibid.19 Ibid. Lihat juga T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Museum

Sonobudoyo Yogyakarta (Jakarta: Djambatan, 1990), h. 558.20 “Beragam Kitab Tafsir Nusantara,” Republika, 05 September 2004.

Page 15: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 9

Di Sunda, khususnya wilayah Priangan, Ervan menyimpulkanbahwa aksara Arab dengan berbagai peristilahannya belum me-masyarakat pada abad ke-18 M. Hal ini seperti tampak pada MSI238 berjudul Hadis Kudsi. Dalam naskah ini teks diawali dengansurah al-Fatihah, dan berisi penjelasan atas konsep-konsep keislamansecara sistematis lewat tahapan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.Istilah-istilah dari Al-Qur’an ditulis dalam Cacarakan.21

Pada abad ke-18 ini, belum ada bukti masyarakat Sunda telahmenulis tafsir selain upaya alih aksara istilah Al-Qur’an tersebut.Seiring berkembangnya penulisan naskah keislaman, tafsir Sundamulai dapat dijumpai pada abad ke-19 M. Tradisi pernaskahankeislaman tumbuh menyebar ke berbagai wilayah Jawa Barat,namun Cirebon dan Bandung menjadi skriptorium terbesar,merupakan wilayah terbanyak produksi naskah. Hal ini tampak darisurvei Ervan atas katalog yang disusun oleh Ekadjati dan Darsamengenai koleksi naskah-naskah Nusantara di Jawa Barat.22

Kebanyakan naskah ditulis untuk hal praktis, seperti fikih,tarekat, manakib, dan doa-doa. Maka, kebanyakan penulisan tafsirsebelum abad ke-20 M dilakukan dengan menggabungkannyadalam tema lain pada satu naskah agar tafsir yang dimaksud tampakkegunaannya. Bahasa Jawa mendominasi tradisi pernaskahan Islamdi Sunda masa awal. Seperti di Jawa, variasi tafsir Sunda jugaditemukan, antara lain, pertama, beberapa hanya terjemahan surahtertentu dan digabung dengan bahasan di bidang keislaman lain;kedua, yang lain berupa potongan tafsir non-lokal (biasanya al-Jalâlain) yang disalin kembali dalam naskah yang bercampurpembahasannya. Ketiga, tafsir Al-Qur’an lengkap.23

Untuk dua jenis naskah pertama yang mengandung penafsiranAl-Qur’an antara lain, pertama, naskah berkode 1254 berjudulTarekat abad ke-18 M. Teks naskah ini bisa dibagi ke dalam tigabagian: pertama, halaman 1-2 berisi doa-doa; kedua, halaman 4-50berisi tafsir dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an tertentu; dan tiga,

21 Lihat Ervan Nurtawab, “Karakteristik Tafsir Klasik Nusantara,” dalam Republika 17September 2004. Uraian Ervan ini tampaknya didasarkan pada Katalog Induk Naskah-naskahNusantara, Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Lebih jauh mengenai deskripsi naskah ini, lihatEdi S.Ekadjati dan Undang A. Darsa, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Jawa BaratKoleksi Lima Lembaga (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 425.

22 Ibid.23 Ibid.

Page 16: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian10

halaman 52-66 berisi uraian mengenai konsep-konsep keislamanberkaitan dengan masalah tauhid. Pemahaman konsep tersebutdidasarkan atas aliran tarekat Syatariyah.24 Bahasa yang dipakaiadalah bahasa Arab dan Jawa dengan aksara Arab dan Pegon.

Kedua, MS I362, Sohibul Kitab Abdul Mursid. Naskah ini diper-kirakan ditulis pada akhir abad ke-18 M, berisi tentang pengajarantafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dalam bahasa Jawa dialekCirebon. 25 Terdapat pula uraian tentang pemahaman arti yang lebihluas dari tafsir atas ayat-ayat tadi. Di bagian akhir teks disertai denganpembahasan mengenai masalah tarekat lengkap dengan diagram.Nama penulisnya belum dapat diidentifikasi secara pasti kecuali jikanama Abdul Mursid yang tertera di luar teks halaman 3 dapat di-anggap sebagai penyusunnya. Naskah ini memakai bahasa Arab danJawa dengan menggunakan aksara Pegon dan Arab. Naskah iniberasal dari Sultan Sepuh dan sekarang tersimpan di KeratonKasepuhan Cirebon. 26

Ketiga, MS I450, Kitab Tafsir Fatihah. Naskah ini lahir padaabad ke-19 M, merupakan salinan dari teks berbahasa Jawa mengenaitafsir sufistik surah al-Fatihah dalam bahasa Sunda.27 Teks yangdiawali pada lembar halaman 2 dengan gubahan kalimat sebagaiberikut: pupuh asmarandana. Bismillahi kitab nu ditulis tafsir patihahnu nyata asal nurod jawa keneh diganti ku basa sunda…(h. 2).Berdasarkan hal inilah teks ini merupakan salinan dari teks berbahasaJawa yang isinya mengenai tafsir Al-Qur’an surah al-Fatihah dalambahasa Sunda dalam gubahan pupuh.Naskah ini terdiri dari 14halaman. Menggunakan bahasa Arab dan Sunda dengan aksara Arabdan Pegon. Naskah ini berasal dari Bapak Endjum, BatukarutKecamatan Pameungpeuk Bandung. Sekarang disimpan di EFEO(cole Française D’extréme-Orient) Bandung.28

Keempat, MS I457, Sohibul Kitab. Naskah ini ditulis pada abadke-19. Teks naskah ini terbagi ke dalam tujuh bagian besar. Isinyaantara lain kumpulan doa disertai keterangan guna dan manfaatnya;

24 Ibid; Ekadjati & Darsa, Katalog Jawa Barat, h. 436.25 Ervan Nurtawab, “Karakteristik,” Republika, 17 September 2004. Ekadjati & Darsa,

Katalog Jawa Barat, h. 586-7.26 Ekadjati & Darsa, Katalog Jawa Barat, h. 519-520.27 Ervan Nurtawab, “Karakteristik,” Republika, 17 September 2004. Ekadjati & Darsa,

Katalog Jawa Barat, h. 586-7.28 Ekadjati & Darsa, Katalog Jawa Barat, h. 586-7.

Page 17: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 11

uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketauhidan, tentangtuntunan tahlil, dan tuntunan serta pemahaman makna ayat-ayatAl-Qur’an bagi kehidupan. Naskah ini terdiri dari 156 halaman, 144halaman digunakan untuk menulis dan 12 halaman lainnya dibiar-kan kosong. Ditulis dengan tinta hitam, menggunakan bahasa Arabdan Jawa dengan aksara Arab-Pegon. Naskah ini berasal dari KeratonKasepuhan Cirebon dan sekarang disimpan di Keraton KasepuhanCirebon.29

Kelima, MS I2, Al-Qur’an, memuat teks Al-Qur’an dengantafsir Pegon Jawa. Terjemahan lengkap disalin RH Abdoel Madjid—dan kemungkinan ia juga pengarangnya—pada 1856 di KaumSumedang, berukuran 44,5 x 28 cm dan tebal 637 halaman. BahasaArab digunakan sebagai teks asli Al-Qur’an sedangkan bahasa Jawadipakai sebagai tafsir dari teks Al-Qur’an. Aksara yang dipakai adalahArab dan Pegon.30

Keenam, MS I12, Tafsir Al-Qur’an, berukuran 29,5 x 18,4 cmdan tebal 698 halaman. Bahasa Arab digunakan sebagai teks asli Al-Qur’an sedangkan bahasa Jawa dipakai sebagai tafsir dari teks Al-Qur’an. Dalam teks ini ada pula tambahan berbentuk cerita danbahasan-bahasan. Aksara yang dipakai adalah Arab dan Pegon.31

Ketujuh, MS I12a, Tafsir Jalâlain. Naskah ini ditulis pada abadke-19. Isi teks secara umum merupakan tafsir dari sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Bagian awal teks ini dimulai dengan kalimat berikut:basmalah alhamdu wahuwal wasifu bildjamîl thabitun lillâhi…; danberakhir dengan kalimat antara lain berbunyi: … wayakulu kalallâhuta‘âla kismatu fâtihati bayna wabayni. Pengarangnya adalah ShekhAhmad Ibn Abbas kemudian disalin oleh Muhamad Bakri Assafii.Naskah ini berada di tangan Ustaz Khairuddin; Kp. Kasab, DesaNanggela, Kecamatan Mandirancan, Kuningan, kemudian disimpandi EFEO Bandung. Naskah ini menggunakan bahasa Arab dan Jawadengan aksara Arab dan Pegon. Tebalnya 167 halaman.32

Dari naskah-naskah tersebut di atas, naskah Islam Jawa, ter-masuk tafsir Al-Qur’an, umumnya ditulis dengan bahasa dan aksaraJawa. Jarang terlihat penggunaan aksara Roman, begitupun bahasa

29 Ekadjati & Darsa, Katalog Jawa Barat, h. 591.30 Ervan Nurtawab, “Karakteristik,” Republika, 17 September 2004; Ekadjati & Darsa,

Katalog Jawa Barat, h. 234.31 Ibid.; Ekadjati & Darsa, Katalog Jawa Barat, h. 240.32 Ekadjati & Darsa, Katalog Jawa Barat, h. 241.

Page 18: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian12

Arab tidak dipakai dalam penulisan naskah keagamaan selainpenulisan teks Al-Qur’an. Itu pun seringkali terjadi berbagaikesalahan pengejaan istilah Arab karena perbedaan dialek dankuatnya struktur bahasa dan sastra Jawa jika dikaitkan dengankonversi Islam dan Arabisasi di Jawa.33

Ada beberapa asumsi yang bisa diajukan mengapa hal initerjadi. Pertama, tradisi pernaskahan Islam di Jawa, termasuk naskahtafsir Al-Qur’an, hingga akhir abad ke-18 M bergerak cukupdominan di pusat kekuasaan, yaitu keraton, baik di Solo maupundi Yogyakarta, dan Cirebon. Naskah-naskah tersebut ditulis oleh parapenghulu, tokoh agama yang ada di lingkungan keraton. Merekaitulah yang berjasa dalam memopulerkan Islam di kalangan ningratkeraton. Misalnya, Serat Centhini yang sering disebut sebagaiensiklopedi kebudayaan Jawa, karena lengkapnya. Serat ini ditulisbanyak orang dengan berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Adabeberapa tokoh penting dalam Islam yang dilibatkan dalampenulisannya, yaitu Kiai Hasan Besari,34 ulama besar dari Gebang-tinatar, Ponorogo—menantu Paku Buwono IV, dan Kiai MohammadMinhad, ulama besar di Surakarta.35 Mereka inilah yang menulisbagian agama, tasawuf dan ilmu kasampurnan di dalam Serat Centhini.

Kedua, pada saat itu, bahasa dan aksara Jawa sangat dominandalam komunikasi sehari-hari maupun komunikasi politik keraton.Oleh karena itu, dalam proses adaptasi dan adopsi, bahasa dan aksaraJawa menjadi dominan dalam pernaskahan Islam di Jawa. Pada akhirabad ke-18 M proses romanisasi tidak cukup kuat pengaruhnyadalam tradisi pernaskahan di keraton, tidak terkecuali naskah Islam.Justru yang tampak pengaruhnya adalah islamisasi dengandipakainya aksara Arab, meskipun adopsi bahasa Arab ke dalambahasa Jawa terjadi banyak kekeliruan karena perbedaan dialek.

Ada pengecualian, yaitu Tafsâr Murâh Labîd atau Tafsîr al-Munîr36 karya Nawawî al-Bantanî. Tafsir ini ditulis pada abad ke-18M dengan aksara dan bahasa Arab. Hal ini terjadi, meskipun Imam

33 Ervan Nurtawab, “Karakteristik,” Republika, 17 September 2004.34 Martin menyebut Kiai Hasan Besari sebagai pendiri pesantren Tegalsari, pesantren

tertua di Jawa yang didirikan pada tahun 1742 di Ponorogo.35 Lihat Serat Centhini jilid 1 edisi yang dilatinkan oleh Kamajaya (Yogyakarta: Yayasan

Centhini, 1985), h. iv.36 Tafsir ini telah diterjemahkan oleh Chatibul Umam dan Nur Muhammad Ahmad

(Jakarta: Darul Ulum Press, 1990).

Page 19: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 13

Nawawi adalah kelahiran Banten, karena tafsir ini ditulis dan dicetakdi luar Nusantara, yaitu di Mekah pada permulaan tahun 1880. Penu-lisannya selesai pada hari Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 H /21 Desember1887 M. Sebelumnya, naskahnya disodorkan kepada para ulamaMekah dan Medinah untuk diteliti.37 Dari ruang sosial tempat tafsiritu ditulis bisa disimpulkan bahwa mula-mula tafsir ini memangbukan diorientasikan untuk penduduk Nusantara, apalagi pendudukJawa, tetapi secara khusus untuk umat Muslim yang telah menguasaibahasa Arab. Sebab, bila tafsir itu ditulis khusus untuk pendudukNusantara, Imam Nawawi tentu tidak akan menggunakan aksaradan bahasa Arab. Sebab, ia tahu bahwa penduduk Nusantara secaraumum, saat itu belumlah akrab dengan bahasa dan aksara Arab.Tentu, tafsir yang dia tulis itu justru akan menjadi asing bagipenduduk Nusantara sendiri.

Pada pertengahan abad ke-19 M memang harus diakui bahwaaksara Roman semakin dominan di tengah tradisi penulisan tafsirAl-Qur’an di Indonesia, meskipun digunakan dalam ragam bahasa,dan juga bahasa Indonesia mulai dipakai sebagai bahasa penyampaiyang cukup efektif di tengah komunikasi masyarakat Indonesia.Proses sosialisasi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara danbahasa pemersatu bangsa Indonesia—berbarengan dengan momen-tum kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya dimulai oleh mun-culnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan salah satu ikrar:“Berbahasa Satu Bahasa Indonesia”—menyebabkan literatur tafsirAl-Qur’an di Nusantara secara dominan ditulis dalam bahasaIndonesia dan dengan aksara Roman. Dari segi sasaran, dalam tingkattertentu, model penulisan tafsir yang menggunakan bahasaIndonesia dengan aksara Latin ini tentu lebih populis. Sebab, secaraumum bisa diakses oleh masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, bagi Muslim yang tidak menguasai bahasa Arabdengan baik, tentu mereka lebih suka membaca literatur tafsir ber-bahasa Indonesia daripada yang berbahasa daerah. Dalam perkem-bangannya kemudian, para penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesiatentu memahami kenyataan ini. Sebab, penulisan tafsir Al-Qur’an

37 Didin Hafiduddin dalam “Tinjauan atas Tafsir al-Munir Karya Imam MuhammadNawawi Tarana”, Ahmad Rifa’i Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah atas Karya-karya Klasik, h. 44. Dalam menyebut tahun kewafatan Imam Nawawi, ada yang keliru dalamtulisan Hafiduddin yaitu tertulis 1879 M, semestinya 1897 M; Zamakhsyari Dhofier, TradisiPesantren (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 87-89.

Page 20: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian14

bertujuan agar kandungan Al-Qur’an bisa dipahami oleh masyarakatumum tempat penulis tafsir itu berada. Akhirnya, pada akhir dekade1920-an, karya tafsir banyak ditulis dengan bahasa Indonesia danaksara Roman. Tafsir Mahmud Yunus yang mulanya ditulis denganbahasa Melayu-Jawi, dan tiga juz pertama telah terbit secara terpisah-pisah pada 1922 M, akhirnya dilanjutkan dengan menggunakanaksara Roman. Begitu juga Al-Furqan Tafsir Qur’an karya A. Hassan(terbit pertama Juli 1928 M); Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Al-Ustaz H.A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan AbdurrahimHaitami (terbit pertama kali April 1937); Tafsir an-Nur karya T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy (dicetak pertama kali pada tahun 1956); TafsirAl-Azhar karya Hamka (terbit pertama kali tahun 1967); Tafsir Al-Qur’an yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI; hinggasekarang yang ditandai berbagai bentuk tafsir yang muncul, salahsatu contohnya Tafsir Al-Mis }bah karya M. Quraish Shihab.

Dalam konteks romanisasi dan kesadaran nasionalisme dalamkonteks komunikasi bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasapemersatu, bahasa lokal daerah dan Arab-Pegon tidaklah lenyapbegitu saja dalam tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an. Sebagian mufasirdi Indonesia, ada yang masih menggunakannya dalam penulisantafsir, meskipun tidak dominan. Lihat misalnya, pada 1960 terbittafsir berbahasa Jawa dengan aksara Arab-Pegon, berjudul al-Ibrîzli Ma‘rifati Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz yang ditulis oleh Kiai BisriMustofa, Rembang. Untuk makna setiap kata di dalam ayat Al-Qur’an ditulis dengan model menggantung—dalam istilah pesantrendisebut “makna gandul”. Dalam edisi cetak, tidak diketahui kapantafsir ini pertama kali dicetak. Namun di juz terakhir dari tafsir al-Ibrîz, Kiai Bisri Mustofa menjelaskan bahwa karya tafsirnya ini selesaiditulis pada Kamis, 29 Rajab 1379 H/ 26 Januari 1960 M. Selain al-Ibrîz ada tafsir Iklîl li Ma‘ânî at-Tanzîl yang ditulis K.H. Misbah ZainulMustofa, saudara Kiai Bisri Mustofa. Karya tafsir yang kedua ini jugaditulis dengan aksara Arab dan bahasa Jawa.

Satu dekade kemudian, muncul tafsir Al-Huda, Tafsir Qur’anBasa Jawi yang ditulis oleh Brigjen Purn. Drs. H. Bakri Syahid,mantan Rektor IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.Karya tafsir ini selesai ditulis pada 1977 dan cetakan pertamanyaterbit pada 1979, oleh Penerbit Bagus Arafah, Yogyakarta. Tafsir inimenggunakan bahasa Jawa dengan aksara Latin. Dalam kategori ini,terdapat Tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa dengan aksara Latin yang

Page 21: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 15

ditulis oleh Muhammad Adnan (mantan Rektor IAIN SunanKalijaga) pada tahun 1960-an. Pada mulanya tafsir ini ditulis denganmenggunakan bahasa Jawa dan aksara Pegon, namun kemudian olehputranya, Abdul Basit, dialihkan ke aksaran Latin. Karya iniditerbitkan pertama kali oleh PT. Al-Maarif Bandung dan hakciptanya dibeli, saat itu, dengan harga Rp. 100.000,-38

Di Sulawesi Selatan, terjemah dan tafsir Al-Qur’an denganmenggunakan bahasa Bugis telah dimulai pada tahun 1948. Padasaat itu, Anre Gurutta H.M. As’ad (w. 1952) menulis tafsir kecilberjudul Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma. Judul ini ditulis dalamtiga bahasa: Arab, Bugis dan Indonesia. Edisi Indonesianyadialihbahasakan oleh muridnya, Sjamsoeddin Sengkang. Sepuluhtahun kemudian, lahir tafsir dalam bahasa Bugis yang ditulis olehAG. H.M. Yunus Martan (w. 1986 M). Namun, karya ini hanya tigajuz. Judulnya ditulis dalam dua bahasa: Arab dan Bugis. Juz ketigadicetak pertama kali pada tahun 1961. Model tafsirnya masihsederhana, yaitu setelah menerjemahkan setiap ayat, penulismemberikan penjelasan pada konteks-konteks yang dianggap perlu.Jadi, tidak semua ayat diberi penjelasan.39

Kemudian pada 1978, KH. Hamzah Manguluang, pengajar diMadrasah As’adiyah di Sengkang Kabupaten Wajo, menyelesaikanterjemah Al-Quran dengan bahasa dan aksara Bugis. Terjemah inilengkap 30 juz dan dibagi menjadi tiga jilid. Formatnya seperti yangdilakukan oleh A. Hassan dalam menulis tafsirnya, yaitu denganmembuat dua kolom dalam setiap halaman. Di kolom sebelah kiriditempatkan ayat-ayat Al-Quran dan di kolom sebelah kanan ditem-patkan terjemahnya. Penjelasan diberikan hanya pada ayat-ayattertentu dan secara singkat. Karya ini diberik Kata Pengantar olehAG. H. Daud Ismail, yang antara lain menyatakan bahwa AG. H.Hamzah Manguluang telah memeroleh kemuliaan yang tinggi karenatelah berupaya menerjemahkan Al-Qur’an 30 juz, yang belum pernahdilakukan orang di daerah Bugis dengan memakai bahasa Bugis.

Pada era 1980-an lahir tafsir dalam bahasa dan aksara Bugisyang ditulis oleh AG. H. Daud Ismail (1908-2006 M). Tafsir ini mulai

38 Abdul Hadi Adnan, “Pak Adnan: Jangan Minta-minta Jabatan” dalam Prof. Kiai HajiRaden Muhammad Adnan (Jakarta: t.tp., 1996), h. 30.

39 Lihat, M. Rafii Yunus Martan, “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas:Tafsir Al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an vol.I No. 3 tahun 2006, h. 523

Page 22: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian16

ditulis pada 1980 dan juz pertamanya terbit pada tahun 1983 olehpenerbit Bintang Selatan di Ujung Pandang. Pada tahun 2001 munculedisi satu jilid yang berisi tiga juz. Judulnya diberi tambahan, tetapipenjelasan tentang juz masih tetap ada. Misalnya, untuk jilid pertama,yang mencakup juz I, II dan III dari Al-Qur’an diberi judul TafsirMunir, Tarjamah wa Tafsir al-Juz al-Awwal wa al-Tsani wa al-Tsalits.Tata letak yang dipakai adalah dengan menulis ayat Al-Qur’an dikolom bagian kanan sedangkan terjemahnya di kolom bagian kanan.Adapun tafsirnya ditulis di bagian bawahnya dengan menyebutnomor ayat, tanpa menyebut ayatnya kembali.

Dari uraian di atas terlihat bahwa pemakaian bahasa lokal diIndonesia dalam tradisi penulisan tafsir ternyata masih hidup sebagaibentuk sosialisasi dan pembumian kitab suci Al-Qur’an kepadamasyarakat Muslim Indonesia. Di samping bahasa-bahasa dan aksaralokal tersebut, di antara para penulis tafsir di Indonesia juga adayang masih setia menulis karya tafsir dalam bahasa dan skrip Arab.Misalnya, Durûs Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya KH. M. Bashori AliMalang yang terbit pada 1960-an.40 Pada 1990-an,41 KH. Ahmad YasinAsymuni42 menulis Tafsîr Bismillâhirrah }mânirrah }îm MuqaddimahTafsîr Al-Fâtih }ah, Tafsîr Al-Fâtih }ah, Tafsîr Sûrah al-Ikhlâs }, Tafsîr al-Mu‘âwidatayn, Tafsîr Mâ As }âbak, Tafsîr âyat al-Kursî, dan TafsîrH }asbunallâh. Meskipun sedikit, tradisi menulis kitab tafsir—jugakitab-kitab dalam disiplin keilmuan yang lain—yang memakaibahasa Arab ini, tampaknya masih tetap hidup di Indonesia, terutamadi kalangan pesantren.43

40 KH. M. Bashori Ali Malang, Durûs Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Surabaya: Walisongo,1966).

41 Perkiraan tahun ini diambil dari diselesaikannya Tafsîr Bismillâhirrah}mânirrah }îmsebagaimana ditulis di akhir buku itu oleh penulisnya, yaitu 1416 H/1997 M.

42 Ia adalah pengasuh Pondok Pesantren Petuk Semen Kediri. Pada periode 1996/1997 tercatat sebagai kepala Madrasah Hidayatut Thulab, sebuah madrasah yang dalamnaungan pesantren Petuk Semen. Lihat, Informasi tentang penerimaan siswa baru yangdiselipkan dalam bukunya, Tafsîr Bismillâhirrah}mânirrah}îm (Surabaya: Bungkul Indah, t.th).

43 Pesantren sebagai basis keilmuan Islam, lewat tangan kiainya dalam sejarahnyamemang telah melahirkan berbagai karya intelektual, tidak hanya dalam bidang tafsir. SyaikhIhsan Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri, misalnya, pada tahun 1933 menulis Sirâj al-T}âlibîn, syarh} Minhâj al-T}âlibîn. Buku ini adalah komentar atas traktat al-Ghazâlî. Buku yangterdiri dua bagian—bagian pertama berisi 419 halaman dan bagian kedua 400 halaman(mengacu pada edisi Mushthafâ al-Babî al-H}alabî Mesir)—ini beredar tidak hanya di Indonesiatetapi juga di Amerika, Kanada, dan Australia. Tiga tahun sebelumnya, Kiai Ihsan menulisTashrîh al-Ibârât berbahasa Arab, buku di bidang ilmu astronomi (falak). Kemudian ada dua

Page 23: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 17

Elitisme Tafsir dan Hierarki Pembaca

Literatur-literatur tafsir Al-Qur’an yang muncul dari tanganpara Muslim Indonesia di atas, dengan keragaman bahasa dan aksarayang digunakan, mencerminkan adanya elitisme “hierarki”, baik“hierarki tafsir” itu sendiri di tengah karya-karya tafsir lain, maupun“hierarki pembaca” yang menjadi sasarannya.44

Yang dimaksud dengan elitisme hierarki tafsir dan pembacaadalah bahwa dengan bahasa dan aksara tertentu sebuah karya tafsirmenjadi elitis di kalangan suatu masyarakat Muslim tertentu dansegmen pembacanya pun menjadi tertentu. Misalnya, penggunaanbahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Imam Nawawi al-Bantanidalam Tafsîr Marah Labîd dan beberapa karya tafsir yang ditulis olehKiai Ahmad Yasin Asymuni, menjadikan karya tafsir ini menempatihierarki elitis di tengah masyarakat Muslim Nusantara pada saat itu.Hal ini terjadi karena secara umum tidak banyak masyarakat MuslimIndonesia yang menguasai bahasa Arab dengan baik. Dengan demi-kian, dalam konteks masyarakat Muslim Indonesia, tafsir ini menjadielit, karena hanya orang-orang tertentu saja—yaitu yang menguasaibahasa Arab—yang mampu mengakses karya tafsir ini. Tetapi ke-unggulannya, dari segi sasaran—dengan mempertimbangkanbahasa (Arab)—tafsir ini akan lebih mudah diakses oleh para peminatkajian Al-Qur’an dalam konteks yang lebih luas (internasional) dimana orang yang menguasai bahasa Arab akan mampu mengakseskarya tafsir ini.

Hal serupa juga terjadi pada karya tafsir yang memakai bahasalokal Nusantara, seperti Melayu-Jawi, bahasa Jawa dengan aksaraArab (Pegon), bahasa Jawa dengan aksara Roman, dan bahasa lokal

buku lagi karya kiai Ihsan, yaitu Manâhij al-Amdâd penjabaran dari kitab Irsyâd al-‘Ibâdkarya Syaikh Zainuddîn al-Malibarî (982 H), setebal 1039 halaman, dan Irsyâd al-Ikhwân fîSyurbah al-Qahwah wa al-Dukhân, berisi tentang minum kopi dan merokok dari segi hukumIslam. Lihat, “Siraj al-Thalibin dari Dari Jampes Kediri untuk Dunia Islam”, dalam Republika 24Maret 2000. Muh}ammad Ma‘shûm bin ‘Alî, asal Lasem Jawa Tengah menulis al-Amtsilah al-Tas }rîfiyyah fi al-Madâris al-Salafiyyah (berbahasa Jawa); MA. Sahal Makhfudz Kajen menulisal-Tsamarât al-H }ajîniyyah (Kajen: Maktabah Mathaliul Falah, t.th.)—berbahasa Arab; Kiai‘Abdullah Rifa’i Cebolek menulis Zâd al-Mutafakkih bi Zâd al-Mutafaqqih (tidak diterbitkan)—berbahasa Arab, dan masih banyak lagi.

44 Moch. Nur Ichwan “Pergumulan Kitab Suci dalam Konteks Lokal Indonesia:Menuju Hermeneutik Qur’an Pribumi”, Makalah dalam Diskusi Panel tentang Wacana TafsirPribumi, diselenggarakan BEM Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 22Mei 2000, h. 6.

Page 24: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian18

yang lain. Literatur tafsir yang ditulis dengan bahasa Jawa dan aksaraArab misalnya, pada satu sisi akan mempermudah bagi komunitasMuslim yang menguasai bahasa Jawa dan mampu membaca aksaraArab. Sedangkan orang yang meskipun mampu berbahasa Jawatetapi tidak mampu membaca aksara Arab, tetap saja akan kesulitanmengakses karya tafsir semacam ini. Hal serupa terjadi pada orangyang mampu berbahasa Jawa, mampu membaca aksara Arab, tetapitidak bisa membaca aksara Roman, tentu juga akan kesulitanmengakses karya tafsir yang memakai bahasa Jawa dengan aksaraRoman seperti yang ditempuh dalam karya tafsir Al-Huda TafsirAl-Qur’an Basa Jawi, karya Bakri Syahid. Pada tingkat milieu ke-indonesiaan, model tafsir ini pun juga pada akhirnya tidak bisa meng-hindar dari sifat elitisnya. Sebab, karya tersebut hanya mudahdipahami khusus oleh masyarakat Muslim yang memakai bahasatersebut.

Demikianlah, dalam konteks bahasa dan aksara yang dipakai,karya tafsir akan mengalami proses elitisme dan hierarki di tengahkemampuan para pembacanya. Namun, terlepas dari proses hierarkitersebut, pertanyaan yang muncul adalah: mengapa sebagian penulistafsir di Indonesia masih ada yang memilih bahasa Arab sebagaibahasa pengantar? Pilihan ini tentu bukan tanpa alasan. Adabeberapa asumsi yang bisa menjelaskan dalam masalah ini. Pertama,masih kuatnya keyakinan para penulis tafsir Al-Qur’an di Nusantara,bahwa bahasa Arab—bahasa yang dipakai Al-Qur’an—merupakanbahasa yang ‘sakral’, bahkan diyakini sebagian orang berasal dariTuhan. Sehingga sangat pantas dan layak bila tafsir Al-Qur’an jugaditulis di dalam bahasa Arab. Kedua, adanya tujuan praksis, yaitudengan memakai bahasa Arab, karya tafsir tersebut dimungkinkanakan mudah diakses oleh kalangan Muslim, bukan hanya di wilayahNusantara. Sebab, orang yang mampu berbahasa Arab akan bisamengakses karya tafsir ini. Sehingga, karya tafsir tersebut akan bisadijangkau secara internasional.

Lepas dari asumsi di atas, bahasa Arab dalam tradisi karya tafsir,memang menempati posisi tinggi dan penting di tengah bahasa yanglain. Proses akulturasi dua bahasa, Melayu dengan Arab misalnya,dalam tradisi penulisan karya tafsir tetap menempatkan bahasa Arabpada posisi di atas. Dalam hal ini merefleksikan adanya fenomenadiglossia, yaitu situasi di mana dua variasi bahasa, yang satu dianggaptinggi dan yang lain dianggap rendah—ini terjadi di komunitas

Page 25: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 19

Muslim Indonesia, tidak hanya dalam karya-karya tafsir. Misalnya,dapat dilihat dalam tafsir surat Al-Ikhlas} Hamzah Fansuri (1550-1599)dengan huruf jawi (Arab pegon), berikut ini: “Laut itulah yangbernama Ah }ad/ Terlalu lengkap pada allahus-s }amad/ Olehnya itulahlam yalid walam yûlad/Walam yakun lahu kufu’an ah }ad.45

Keragaman Bahasa dan Pengaruh Ruang Sosiokultural

Keragaman bahasa dan aksara yang dipakai oleh para penulistafsir Al-Qur’an di Indonesia di atas, bukan hanya menciptakanadanya hierarki dan tujuan demi pembumian nilai-nilai dalam kitabsuci Al-Qur’an. Tetapi juga mencerminkan adanya keterpengaruhanruang sosiokultural tempat karya tafsir tersebut ditulis. Tafsir yangditulis dengan bahasa Melayu-Jawi, secara umum muncul di wilayahSumatra dan Aceh; penulisnya adalah ulama-ulama yang berasal dariwilayah ini serta pada era abad ke-17 dan 18 M di mana bahasaMelayu Jawi menjadi alat komunikasi masyarakat pada masa itu.Tarjumân al-Mustafid karya ‘Abd ar-Rauf as-Sinkili yang memakaibahasa Melayu aksara Arab, tentu mempertimbangkan situasi umatIslam pada saat itu, dan bahasa Melayu-Jawi menjadi salah satu alatkomunikasi yang dominan.

Hal yang sama juga terjadi pada tafsir al-Ibrîz karya BisriMustofa yang memakai bahasa Jawa beraksara Arab-Pegon. Secarasosiologis, tafsir ini lahir di tengah-tengah tradisi pesantren di Jawa.Penulisnya adalah kiai sebuah pondok pesantren di Rembang. Tradisipesantren pada kenyataannya telah memengaruhi cara penulisan,bahasa dan aksara yang digunakan oleh tafsir al-Ibrîz, yaitumenggunakan aksara Arab-Pegon. Pilihan ini tentu mempertimbang-kan atas komunitas pembaca tafsir tersebut yang pada saat itu lebihakrab dengan aksara Arab-Pegon daripada aksara Latin. Di sampingitu, model makna gandul yang dipilih dalam karya tafsir al-Ibrîz ini,karena ia mempunyai banyak keuntungan bagi para pembaca, yaitudi samping mengetahui makna setiap kata, pembaca juga akanmudah mengetahui posisi kata dalam struktur kalimat.

Atas dasar milieu dan latar sosiokultural itu pula, karya-karyatafsir yang lahir di lingkungan keraton membentuk kekhasannya

45Doorenbos, De Geshcriften van Hamzah Pansoeri (Leiden, 1933), h. 94, dikutipoleh Johns, “The Qur’an ini Malay World”, h. 260.

Page 26: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian20

sendiri. Secara umum, karya-karya tafsir yang lahir di lingkungankeraton (Jawa) memakai bahasa dan aksara Jawa; hanya untuk teksayat Al-Qur’an yang ditulis dalam aksara Arab. Misalnya, naskahberkode IS.1 berjudul Tafsir Al-Qur’an, Primbon karya Syekh ImamArga, naskah berkode I34 SB 12 berjudul Tafsir Al-Qur’an sahaPethikan Warna-warni yang kini tersimpan di Museum Sonobudoyo,dan Tafsir Quran Jawen, dicetak oleh penerbit Siti Sjamsijah Sura-karta pada 1930. Pilihan ini tidak lepas dari kenyataan saat itu bahwakondisi umat Islam di kompleks keraton lebih akrab dan terbiasadengan bahasa dan aksara Jawa daripada Arab. Bahasa dan aksaraJawa menjadi alat komunikasi resmi dalam kehidupan sehari-haridi kompleks keraton. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pro-ses romanisasi tampak tidak begitu dominan pengaruhnya di dalamkomunikasi formal maupun kehidupan sehari-hari di lingkungankeraton.

Proses sosialisasi penyebaran kandungan ayat Al-Qur’an ditengah dominannya bahasa dan aksara Jawa ini telah membawa im-plikasi berupa berubahnya beberapa kata Arab di tengah kehidupanumat Islam Jawa. Hal ini terjadi karena dialek Jawa dengan dialekArab jelas berbeda, begitu juga sistem huruf sebagai pembentukkata dalam tulisan Jawa dan Arab. Maka, terjadilah proses adaptasiyang telah mengubah bacaan dari tulisan Arab. Misalnya, al-Fâtihahmenjadi al Patekah, ad-Dukhân menjadi Dakan dan seterusnya.

Di tengah proses romanisasi telah begitu kuat dan dominandalam berbagai dokumentasi dan media komunikasi, seperti yangterjadi di koran dan majalah, aksara Jawa lambat-laun menjadi tidakpopuler. Beberapa majalah dan koran yang memakai bahasa Jawasebagai alat komunikasi telah memakai aksara Roman, sepertiMajalah Panyebar Semangat dan Joko Lodang, dan beberapa mediamassa lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa aksara Jawa tidaklagi populer di tengah masyarakat Jawa sendiri. Hal ini juga berimbaspada penulisan karya tafsir. Salah satu contoh adalah yang terjadipada Al-Huda Tafsir Al-Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid yangselesai ditulis pada 1977 dan cetakan pertamanya terbit pada 1979oleh penerbit Bagus Arafah, Yogyakarta. Sebagai orang yangdilahirkan di Yogyakarta, Bakri Syahid mempunyai kepedulian agarAl-Qur’an bisa dipahami oleh masyarakat awam yang hanya tahubahasa daerah, yaitu Jawa. Kepeduliannya itu menemukan momen-tumnya ketika dia menjalin berbagai hubungan dengan banyak

Page 27: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 21

kalangan: dari orang-orang di daerah transmigrasi, warga Suriname,Singapura, Thailand, Filipina, yang berasal dari Jawa, meminta ke-padanya betapa perlu adanya tafsir Al-Qur’an yang ditulis dalambahasa Jawa dengan aksara Roman.46 Maka, ditulislah tafsir inidengan memakai bahasa Jawa dengan aksara Roman. Teks ayat Al-Qur’an, di samping ditulis dengan aksara Arab juga ditransvokalisasidengan aksara Roman. Langkah ini diambil tentu mempertimbang-kan para pembaca yang bukan hanya tidak paham dengan bahasaArab, tetapi juga tidak akrab dengan aksara Arab.

Hal yang terakhir ini juga terjadi pada karya-karya tafsir yangmemakai bahasa Indonesia dan aksara Roman; tentu denganpertimbangan yang sama. Pada sebagian karya tafsir yang ditulisdalam aksara Roman ada yang menulis teks ayat Al-Qur’an disamping dengan aksara Arab juga ditransvokalisasikan denganaksara Roman. Hal ini bertujuan agar pembaca yang tidak bisamembaca aksara Arab tetap bisa membaca teks ayat Al-Qur’an.Model ini bisa dilihat pada Tafsir an-Nur karya Hasbi (pada cetakanpertama yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta), danyang terkini Tafsir Ayat-ayat Tahlil karya M. Quraish Shihab. Adajuga yang sepenuhnya, untuk teks ayat Al-Qur’an ditulis denganmemakai aksara Arab. Model ini yang dipakai M. Quraish Shihabdalam Tafsir al-Mishbah, Hamka dalam al-Azhar, A. Hassan dalamTafsir al-Furqan, dan karya-karya tafsir yang lahir pada dekade 1990-an. Model yang terakhir ini tentu mengandaikan bahwa pembacanyatidak punya masalah lagi dalam hal teknis membaca aksara Arab.

Kesimpulan

Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam sejarah panjangpenulisan karya tafsir Al-Qur’an di Nusantara, komunitas Muslimdi mana karya tafsir ditulis, kepada siapa tafsir itu disajikan, telahmemberikan pengaruh kuat di dalam pilihan bahasa dan skrip yangdipakai oleh para penulis tafsir Al-Qur’an. Tafsir berbahasa MelayuJawi yang muncul pada abad 16 dan 17 M, ditulis di Aceh danSumatra. Penulisnya adalah orang-orang yang dengan dengankekuasaan negara (kesultanan) pada waktu itu. Al-Sinkili adalah

46 Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1979),h. 8.

Page 28: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian22

mufti kesultanan Aceh dan penyebar tarikat Syattariyah di Nusan-tara. Beberapa karyanya merupakan dari penguasa pada saat itu.Misalnya, karya di bidang fikih berjudul Mir’ah al-T }ullâb fî TasyîlMa‘rifah al-Ah }kâm al-Syar‘iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb.

Karya tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa ditulis di wilayah Jawa;yang memakai aksara Jawa muncul dari dalam komunitas keraton(Yogyakarta, Solo, dan Cirebon). Hal ini dengan nyata menunjukkanbahwa proses komunikasi dan dokumentasi di dalam lingkungankeraton telah berpengaruh kuat dan bahkan sangat menentukanterkait dengan dipilihnya aksara Jawa dalam penulisan karya tafsirAl-Qur’an di Jawa.

Begitu juga yang terjadi dengan karya tafsir berbahasa Jawadengan memakai aksara Arab (Pegon). Model ini muncul hanya dikomunitas pondok pesantren, di Jawa. Aksara Arab dipilih tidaklepas dari sistem belajar-mengajar di pondok pesantren di Jawa, yangpenggunaan aksara Arab, seperti terlihat dalam model makna ganduladalah tradisi yang tak terpisahkan dari dunia pesantren di Jawa.

Fenomena ini menunjukkan, bahwa meskipun telah terjadiislamisasi di lingkungan keraton, ditandai dengan semakin kuatnyaperan penghulu agama di dalam lingkungan keraton, danbergairahnya tradisi pengkajian atas Al-Qur’an pada abad ke-19 M,namun aksara Arab tampaknya kalah populer dibandingkan denganaksara Jawa—hal yang sebaliknya terjadi di lingkungan pesantren.Inilah yang kemudian menyebabkan berbagai kekeliruan dalampengucapan kata-kata atau istilah dalam Islam, karena di sampingdialek Jawa yang memang berbeda dengan dialek Arab, karakterbacaan hurufnya juga berbeda. Sehingga ketika bacaan Arab tidakditulis dengan aksara Arab akan menimbulkan masalah. Hal yangsama juga terjadi ketika bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia ditulisdengan aksara Arab, tanpa disertai standardisasi transliterasi atautransvokalisasi.

Di tengah pengaruh kuat proses modernisasi dan dinamikadunia perbukuan di tanah air, ada hal unik yang terjadi pada karya-karya tafsir Al-Qur’an, yaitu sebagian penulis tafsir Al-Qur’an diIndonesia masih setia tidak menggunakan bahasa lokal. Misalnya,yang dilakukan Ahmad Yasin Asymuni, yang kebanyakan karyanyaditulis dengan bahasa dan aksara Arab; model cetakannya memper-tahankan model kitab kuning dengan menggunakan sistem kurasanatau kateren, dan bidang ruang halaman yang besar. Meskipun tafsir

Page 29: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 23

ini memakai bahasa Arab, kata-kata yang sulit diberi makna ganduldengan aksara Arab berbahasa Jawa (Pegon) serta keteranganmengenai posisi kata dalam struktur kalimat, seperti lazimnya dalamtradisi yang ada di pesantren.

Dari keragaman bahasa dan aksara yang dipakai dalam penu-lisan karya tafsir di Nusantara tersebut, diketahui peran latar sosio-kultural, adanya hierarki pembaca dan kepentingan sosialisasikandungan kitab suci Al-Qur’an yang salingrajut. Dan keragamanbahasa dan aksara yang dipilih tersebut mempunyai ruang pembacayang berbeda-beda serta menunjukkan karakter dan hierarkipembaca yang berbeda-beda pula.[]

Daftar Pustaka

Ali, M. Bashori, Durûs Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, (Surabaya:Walisongo, 1966)

Arnold, T.W, The Preaching of Islam: A History of the Propagation ofthe Muslim Faith, (Lahore: SA Muhammad Asraf, 1968)

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Tafsir al-Bayan, (Bandung: Al-Ma’arif,1971)

______, Tafsir an-Nûr, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965)

Asmuni, Ahman Yasin, Tafsîr Bismillâhirrah }mânirrah }îm, (Surabaya:Bungkul Indah, t.th)

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan KepulauanNusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998)

Behrend, T.E, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, MuseumSonobudoyo Yogyakarta, (Jakarta: Djambatan, 1990)

“Beragam Kitab Tafsir Nusantara,” Republika, Minggu, 05 September2004

Bisri, Mustofa, Al-Ibriz li Ma‘rifati Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz, (Kudus:Menara, t.th.)

Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Wektu Lima, (Yogya-karta: LKiS, 2001)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: YayasanPenyelengara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1975)

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1980)

Page 30: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Islah Gusmian24

Hafiduddin, Didin. dalam “Tinjauan atas Tafsir al-Munir Karya ImamMuhammad Nawawi Tarana”, Ahmad Rifa’i Hasan, WarisanIntelektual Islam Indonesia, Telaah atas Karya-karya Klasik,(Bandung: Mizan, 1995)

Hamka. Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982)

Hassan, A. Al-Furqan: Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Dewan DakwahIslamiyah Indonesia, 1956)

Ichwan, Moch. Nur, “Literatur Tafsir Al-Qur’an Melayu Jawi diIndonesia: Relasi Kuasa, Pergeseran dan Kematian”, Visi Islamvol. 1 No. 1 Januari 2002, h. 23

______, “Pergumulan Kitab Suci dalam Konteks Lokal Indonesia:Menuju Heremeneutik Qur’an Pribumi”, Makalah dalamDiskusi Panel tentang Wacana Tafsir Pribumi, diselenggarakanBEM Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 22Mei 2000

Johns, Anthony, “Quranic Exegesis in the Malay World” dalamAndrew Rippin (ed.), Approaches to the History of theInterpretation of the Qur’an, (Oxford: Clarendon Press, 1988)

______, “The Qur’an in the Malay World: Reflection on `Abd al-Rauf of Sinkel (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies 9:2 (1998)

Lee, Robert D, Overcoming Tradition and Modernity: The Search forIslamic Authenticity, (Westview Press, A Division ofHarperCollins Publishers, Inc., 1997)

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1945, (Jakarta:LP3ES, 1996)

Nurtawab, Ervan, “Karakteristik Tafsir Klasik Nusantara,” dalamRepublika 17 September 2004

Riddell, Peter, Islam and The Malay-Indonesian World, Transmissionand Responses, (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2001).

Serat Centhini jilid 1 edisi yang dilatinkan oleh Kamajaya,(Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1985)

Shihab, M. Quraish. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil, (Jakarta:Lentera Hati, 1997)

______, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’anvolume I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)

Page 31: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia 25

Syahid, Bakri, Al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi, (Yogyakarta: BagusArafah, 1979)

“Siraj al-Thalibin: dari Jampes Kediri untuk Dunia Islam”, dalamRepublika 24 Maret 2000

Yunus, Mahmud, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Jakarta: P.T. HidakaryaAgung, 1973)

Page 32: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis SyariahAmiur Nuruddin*

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera UtaraEmail: [email protected]

Abstract

Although the market share of Islamic banking is still relatively small, thegrowth and development of Islamic banking and financial institutions inIndonesia has been quite encouraging. To support the process of socializationand institutionalization of sharia banking working better, the existence of reliableand highly qualified Human Resources is indispensable. This article examinesthe characteristics of Sharia-based human resources derived from thephilosophical framework of Islamic Economics. There are at least four Islamicphilosophical basis of economics, namely tauhid (monotheism), justice andbalance, freedom, and responsibility. For Islamic financial institutions, bothbanking and non-banking, as the business institutions based on values andprinciples of sharia, the qualification and quality of human resources are aboutan integration between the “knowledge, skill and ability” (KSA) with moralcommitment and personal integrity. Some morality aspects referred here are al-Shiddiq (true, honest), al-amanah (trustworthy, credible), al-Tabligh(communicative) and al-fathanah (intelligent, professional). Moreover, inmanaging a business, the moral aspects were even as “key success factor”.

Keywords: Ekonomi syariah, lembaga keuangan, distribusi, Islamic Finance

Pendahuluan

Perkembangan perbankan syariah yang tumbuh cukup pesatdalam beberapa tahun terakhir menunjukkan minatmasyarakat mengenai ekonomi syariah semakin bertambah.

Dalam perkembangan yang sangat menggembirakan ini disadari

* Guru Besar Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, Telp 061-66115683

Page 33: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin28

oleh banyak kalangan bahwa kebutuhan kepada SDM berbasisSyariah merupakan suatu keniscayaan. Kebutuhan adanya SDMyang handal sebagai pondasi berkembangnya ekonomi syariah da-lam lembaga keuangan dan perbankan syariah merupakan tantanganyang sekaligus mestinya dijadikan sebagai peluang. Sebagaimanadimaklumi melalui berbagai media dan informasi, Bank Indonesiamemprediksi industri perbankan syariah membutuhkan SDM yangcukup besar. Diperkirakan hingga tahun 2011 kebutuhan itu mencapaiangka 50 ribu sampai 60 ribu orang. Prediksi tersebut nampaknyadidukung oleh semakin bertambahnya “pemain-pemain baru” lembagakeuangan dan perbankan syariah. Di samping itu juga dimaksudkanuntuk mendorong berkembangnya aset atau pangsa pasar perbankansyariah agar tumbuh menjadi lebih cepat sebagaimana yang diharapkan.Secara nasional pangsa pasar bank syariah di Indonesia dewasa ini masihberkisar antara 3% s/d 4%. Suatu pertumbuhan yang mutlak perlumenjadi perhatian dan kepedulian kita bersama.

Prediksi pangsa pasar perbankan syariah (market share) yangpernah diharapkan mencapai angka 5% pada tahun 2008, ternyatatidak kesampaian. Boleh jadi angka itu ditetapkan tidak realistis,atau sengaja dimunculkan sekadar mendorong tumbuhnya sema-ngat “kerja keras” mensosialisasikan ekonomi dan perbankan syariah.Atau boleh jadi ada hambatan kultural dan atau struktural, sehinggaharapan itu tidak tercapai. Disadari memang bahwa upaya “memasya-rakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat”yang pada gilirannya dipilih menjadi “motto perjuangan” MasyarakatEkonomi Syariah (MES) yang dinahkodai Muliaman Hadad, yangsehari-hari menjabat sebagai Gubernur BI, bukanlah pekerjaan ringan.Untuk mendukung proses sosialisasi dan institusialisasi ekonomi danperbankan syariah berjalan lebih baik, maka keberadaan SDM yanghandal dan berkualifikasi tinggi sangat diperlukan.

Keberadaan SDM, baik pada aspek kualitas maupun kuantitasmemang sangat menentukan kinerja, produktivitas dan keberhasilansuatu institusi. Bagi perbankan syariah sebagai institusi bisnis yangberbasis nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah, kualifikasi dan kualitasSDM jelas lebih dituntut adanya keterpaduan antara “knowledge,skill dan ability” (KSA) dengan komitmen moral dan integritaspribadi. Penekanan pada aspek moralitas, yang dewasa ini diyakini

1Hermawan Kartajaya, Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, (Bandung: MizanMedia Utama, 2006), h. 120

Page 34: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 29

sebagai “key success factor”1 dalam pengelolaan bisnis, lembaga ke-uangan dan perbankan syariah, yaitu al-s }iddiq (benar, jujur), al-amanah (terpercaya, kredibel), al-tabligh (komunikatif, tansparan)dan al-fat }anah (cerdas, profesional) sama pentingnya denganpengetahuan, kemampuan dan keterampilan. SDM Syariah yangbekerja di lembaga-lembaga keuangan dan perbankan syariahdewasa ini dianggap untuk sebagian besarnya hanya SDM “dadakan”dan “karbitan” guna memenuhi kebutuhan yang mendesak, yangmemperoleh ilmu kesyariahannya dalam waktu yang sangat ter-batas. Tidak mengherankan, atas dasar pertimbangan profesionalitasdan keunggulan individu, di samping karena keterbatasan jumlahdan kualifikasi yang diperlukan, kasus pembajakan SDM seringterjadi di lingkungan lembaga keuangan dan perbankan syariah.Kondisi semacam ini secara tidak langsung jelas menjadi salah satupenghambat perkembangan lembaga keuangan dan perbankansyariah di Indonesia.

Landasan Filosofis Ilmu Ekonomi Syariah

Ilmu Ekonomi Syariah atau yang disebut juga dengan ilmuekonomi Islam (al-iqtis }ad al-islamiy) adalah ilmu ekonomi yangbertumpu pada sistem nilai dan prinsip-prinsip syariah. Sistem nilaipada hakikatnya adalah sesuatu yang akan memberi makna dalamkehidupan manusia pada setiap peran yang dilakukannya. Sistemitu terbangun dalam suatu rangkaian utuh yang terjalin sangat eratantara satu dengan yang lainnya. Sistem nilai ini mencakup panda-ngan dunia (al-khalqiyah) dan moral (al-khuluqiyyah) yang mem-pengaruhi, membimbing dan membantu manusia merealisasikansasaran-sasaran kemanusiaan (insâniyyah) yang berke-Tuhan-an(rabbâniyyah) guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Sesuai dengan semangat yang terkandung dalam terminologiekonomi Islam (al-iqtis}âd al-islamiy) yang berasal dari dua kata,yaitu “al-iqtis}âd” dan “al-islamiy” menyiratkan pengertian adanyasikap kehati-hatian, sederhana, tidak boros, pertengahan danekonomis selaras dengan watak ajaran Islam itu sendiri. Al-Iqtis}âdmenurut bahasa artinya “al-qas}d” kata Rafiq Yunus al-Mishriy, dan

2Rafiq Yunus al-Mishriy, Us }ul al-Iqtis}ad al-Islamiy, (Damaskus, Syria: Dar al-Qalam,2005), h. 11.

Page 35: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin30

dari kata itu terkandung makna “al-tawassut” dan “al-i’tidâl”.2 Olehsebab itu banyak sekali penghargaan di temukan dalam al-Quranterhadap sikap dan perilaku ekonomis yang dianggap sebagai watakdan karakter suatu masyarakat. Masyarakat semacam itu disebutsebagai “ummah muqtas}idah” (Q.s. al-Maidah/5:66) yang bersikaptidak boros dan tidak kikir tetapi selalu mengambil sikap tengah(Q.s. al-A’raf/7:31; al-Isra/17:29 dan al-Furqan/25:67). Adanya pene-kanan terhadap makna intrinsik, “kesederhanaan” dalam iqtishadislami, sejatinya menolak dengan tegas segala bentuk “kerakusan”dan “pemborosan” yang disinyalir menjadi watak dasar sikap kapi-talistik dalam ekonomi konvensional (al-iqtishad al-wadh’iy), yanghampir setiap waktu memicu timbulnya berbagai krisis dalamkehidupan manusia.

Setidaknya ada empat landasan filosofis ilmu ekonomi syariahyang merupakan paradigma yang membedakannya dari ilmuekonomi konvensional. Landasan filosofis tersebut adalah tauhid,keadilan dan keseimbangan, kebebasan, dan tanggung jawab.Pertama; Tauhid (al-tauhid). Tauhid adalah landasan filosofis yangpaling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam pandangandunia holistik, tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaankepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakuppengaturan tentang sikap manusia terhadap Tuhan dan terhadapsumber-sumber daya manusia maupun alam semesta. Aspekemansipatoris dari ajaran Tauhid berfungsi untuk membangunkualitas-kualitas individu, sekaligus juga membina kualitas-kualitasmasyarakat, yang keanggotaannya terdiri dari pribadi-pribadi yangserupa.3 Tauhid bukan saja mengandung makna keyakinan tentangke-Esaan Allah (Q.s al-Baqarah/2: 163; al-Ikhlas }/112:1-4 dll.), tetapisekaligus juga mencakup ajaran tentang “kesatuan penciptaan” (Q.sal-An’âm/6:102; al-Ra’ad/13:16; Fat }ir/35:3; al-Zumar/39:62; al-Mu’min/40:62; al-Hasyar/59:24 dll), “kesatuan kemanusiaan” (Q.s.al-Baqarah/2:213; al-Maidah/ 5:48 dll), “kesatuan tuntunan hidup”(Q.s. Ali Imran/3:85; al-Nisa/4:125 dll.) dan “kesatuan tujuan hidup”baik sebagai hamba Allah (Q.s al-Taubah/9:31; al-Dzariyat/51:56)maupun khalifah Allah (Q.s al-Baqarah/2:30; al-An’âm/6:165).Pengejewantahan pandangan hidup yang holistik ini di masa-masa

3Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,1992), h. 85.

Page 36: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 31

awal Islam terlihat jelas sekali pada semua bidang kehidupan, baikpada bidang sosial politik maupun pada sosial ekonomi.4

Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomihanyalah sekadar “mustakhlif” (trustee), yaitu menguasai sebagaipemegang amanah Allah (Q.s al-Hadid/57:7). Oleh sebab itu, manusiadalam seluruh peran dan aktivitas yang dilakukannya harus meng-ikuti ketentuan (syariah) Allah, termasuk dalam aktivitas ekonomi.Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanyabersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi jugayang bersifat teistis (rabbaniyyah), moral dan etis (khuluqiyyah).

Penjabaran tentang implikasi ekonomis dari tauhid ini meru-pakan fokus utama sekaligus sebagai corak tersendiri dalam analisisilmu ekonomi Islam. Sebagaimana diketahui dalam analisis ilmuekonomi Islam, unit operasional terkecil bukanlah semata-mata“manusia ekonomi” (homo economicus), melainkan manusia sebagaiagen (duta) langsung atau “khalifah Allah” (homo islamicus) dalammengelola amanah Allah.

Konsep khalifah, atau dalam pengertian pengelolaan disebutkhilafah, menyediakan basis bagi sistem perekonomian di manakerjasama dan gotong royong, atau yang disebut co-determinasimeminjam istilah Thoby Mutis, mengganti kompetisi yang selamaini menjadi ciri dominan proses interaksi ekonomi konvensional.Manusia mengelola kepemilikan yang diamanahkan Allah, sesuainorma-norma dan nilai Pemilik Mutlak alam semesta (Q.s.al-Najm/53:31; al-Nur/24:64). Dalam konsep pengelolaan, terkandung maknasinergi yang memberi tekanan pada kerjasama dan tolong menolong(Q.s. al-Maidah/5:2) dalam arti bahwa mereka yang bekerja meraihkemakmuran di bumi ini harus dilakukannya tanpa mengorbankanorang lain (al-fasad), sementara kalau memperoleh kelebihan (al-fadhl) harus digunakan memberi manfa’at dan pertolongan bagisesama. Kepemilikan hakikatnya bukanlah “terminal” bagi ke-hidupan, tetapi sejatinya hanyalah sekadar “transital”, menungguwaktu yang telah ditetapkan.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dilihat betapa konseptauhid sebagai prinsip dan landasan utama ilmu ekonomi Islam,benar-benar memberi implikasi ekonomis dalam aktivitas ekonomi

4Amiur Nuruddin, Keadilan Dalam al-Quran, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2008),h.190

Page 37: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin32

Islam. Hal ini dapat juga dilihat secara langsung dari instrumen-instrumen ekonomi yang menjamin terwujudnya keadilan dan ke-jujuran, seperti zakat, infaq, sadaqah, wakaf, sekaligus menolak segalabentuk kezaliman (la taz }lim wa la tuz }lam), kemudharatan (la d }ararwa la d }irâr), kecurangan (al-tat }fi >f), penipuan (al-ghisy), ketidakpastian (al-gharar), monopoli (al-ihtikar), spikulasi (al-maisir), riba(al-ribâ), di mana semua pada dasarnya merupakan elaborasi ajaran-ajaran Islam yang berbasis pada tauhid.

Kedua; Keadilan dan keseimbangan (al-’adl wa al-tawâzun).Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam sejumlah ayat al-Qur’an sebagai fondasi utama terciptanya kesejahteraan hidup ma-nusia.5 Oleh sebab itu, seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomiharus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomiharuslah secara intrinsik membawa nilai keadilan dan ke-seimbangan.6 Keadilan dan keseimbangan secara alamiah dapatdilihat dari hukum dan tatanan yang harmonis alam semesta(sunnatullah). Walaupun demikian, keadilan dan keharmonisanbukanlah hanya karakteristik alami saja, melainkan sebagai suatuhal yang harus diperjuangkan keberadaannya di dalam kehidupan.7

Dalam ekonomi syariah, keadilan dan keseimbangan harus ter-cermin pada terwujudnya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi,sebab keduanya merupakan dua sisi dari satu entitas. Pembangunandengan demikian bukan berarti pertumbuhan pendapatan secaranominal, melainkan juga distribusi pendapatan tersebut secaraseimbang . Sumber daya pada hakikatnya adalah anugerah dariAllah, oleh karena itu tidak beralasan kalau kekayaan itu hanyaterpusat pada segelintir orang saja (Q.s al-Hasyar/ 59: 7). Rezki yangdiperoleh manusia sejatinya adalah kerja kolektif, yang di dalamnyaterdapat peran dan keterlibatan banyak orang.8

Konsep keadilan Islam dalam pembagian pendapatan dankekayaan bukanlah berarti bahwa setiap orang harus menerima im-balan sama persis tanpa mempertimbangkan kontribusinya kepada

5M. Umer Chapra, What Is Islamic Economics, (Jedah, Saudi Arabia: IRTI-IDB, 1996),h. 49

6M. Yasir Nasution, “Ekonomi Islam: Kecendrungan Baru Dalam PerkembanganPemikiran Islam”, Makalah disampaikan pada seminar Ekonomi Islam di HMJ MuamalatIAIN SU, 1998, h. 10

7Amiur Nuruddin, Keadilan..., h. ix8Amiur Nuruddin, Kalam: Membangun Paradigma Ekonomi Syariah, (Bandung: Cipta

Pustaka Media, 2008), h. 14)

Page 38: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 33

masyarakat. Islam membolehkan adanya perbedaan pendapatan,karena memang manusia diciptakan tidak sama dalam watak,kemampuan (potensi) dan pengabdiannya kepada masyarakat.9

Ada beberapa syarat yang menentukan terciptanya kese-imbangan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yaitu: pertama,hubungan-hubungan dasar antara konsumsi, distribusi dan produksiharus berhenti pada suatu keseimbangan tertentu demi menghindar-kan pemusatan kekuatan ekonomi dan bisnis dalam genggamansegelintir orang. Kedua, keadaan perekonomian yang tidak konsistendalam distribusi pendapatan dan kekayaan harus ditolak, karenaIslam menolak daur tertutup yang menjadi semakin menyempit (Q.sal-Hasyar/ 59: 7). Ketiga, sebagai akibat dari pengaruh sikapegalitarian, maka dalam ekonomi Islam tidak diakui adanya hakmilik yang terbatas maupun sistem pasar yang bebas tak terkendali.Hal ini disebabkan bahwa ekonomi dalam pandangan Islambertujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Kualitas keseimbang-an akan menguasai cakrawala ekonomi dalam ekonomi syariahdengan menyingkirkan struktur pasar yang eksploitatif maupunperilaku atomistik yang egois dari para agen ekonomi dan bisnis.10

Ketiga kebebasan (al-h }urriyah). Kebebasan mengandungpengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitasekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Tuhan yang melarangnya.Manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu keputusanekonomis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhanhidupnya karena dengan kebebasan itu pula manusia dapatmengoptimalkan potensinya dengan melakukan inovasi-inovasidalam kegiatan ekonomi.11

Cukup beralasan jika di dalam fikih Mu‘amalah berlaku sebuahkaidah, pada dasarnya sebuah aktivitas mu‘amalah itu diperbolehkanselama tidak ada dalil yang melarangnya. Konsekuensi dari kaedahini adalah, dalam aktivitas mu‘amalah (ekonomi) manusia diberikankebebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreati-

9Amiur Nuruddin, Konsep Keadilan Dalam Al-Quran dan Implikasinya TerhadapTanggung Jawab Moral, Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1995, h. 220-222

10Muhammad Syauqi al-Fanjari, al-Mazhab al-Iqtis}adi fi al-Islam, (Riyadh: SyarikahMaktabah li al-Nasyr wa al-Tauzi”, 1981), h. 99-104

11Afzalurahman Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (terj), Jilid I (Yogyakarta: Dana BaktiWakaf, 1995), h. 8; Mahmud Syauqi Al-Fanjari, Ekonomi Islam Masa Kini (terj), (Bandung:Husaini, 1985), h. 54

Page 39: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin34

fitasnya, melakukan inovasi-inovasi ekonomi sesuai dengan kebu-tuhan manusia (pasar) yang terus menerus mangalami perubahan.12

Walaupun demikian di dalam ajaran Islam makna kebebasanbukan dalam makna liberalisme, melainkan sangat terkait dengannilai tauhid dan pengaruhnya dalam membentuk kepribadian diri,13

karena semua aktivitas dan perilaku sejatinya dipertanggungjawab-kan sebagai pribadi di hadapan Allah. Sehingga dengan kebebasanyang bertanggung jawab itu lahirlah nilai pengabdian hamba yangtulus kepada Allah sebagai Pemilik dan Penguasa alam semesta (theCreator of universe).

Keempat Tanggung jawab (al-mas’u >liyyah). Pertanggungjawab-an adalah konsekwensi logis dari kebebasan yang diberikan Allahkepada manusia. Kebebasan dalam mengelola sumber daya alamdan kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi inilah yang se-jatinya akan dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Allahnantinya.

Dalam al-Qur‘an diisyaratkan bahwa salah satu makna amanah(Qs.Al-Ahzab/33:72) adalah kebebasan. Dengan kata lain, kebebasanitu sendiri adalah amanah Allah yang harus diimplementasikanmanusia dalam aktivitas kehidupannya. Oleh karenanya, perluditetapkan batasan apa yang bebas dilakukan manusia dengan tetapbertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.14

Dari sini terlihat jelas bahwa aksioma kebebasan berhubunganerat dengan aksioma tanggung jawab, sementara tanggung jawabmerupakan konsekuensi dari amanah yang diberikan kepadamanusia sebagai khalifah-Nya. Allah telah memberikan al-Qur’ansebagai pedoman bagaimana seharusnya manusia mengurus danmengelola alam ini. Dan pada akhirnya manusia disiapkan untukdapat bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukan-nya (Q.s al-Takatsur/102:8).

Pertanggungjawaban manusia pada hakikatnya perlu dipahamipada dua aspek, yaitu aspek transendental (transcendental

12Amiur Nuruddin, “Kontribusi Fiqh Muamalah Dalam Pengembangan AktivitasEkonomi Islam” dalam Prospek Bank Syari’ah Pada Milenium Ketiga: Peluang Dan Tantangan,(Medan: IAIN Press Bekerjasama Dengan FKEBI dan Bank Indonesia, 2002), h. 16.

13Abul A’la al-Maududi, Economic System of Syariah, (Lahore: Syariahic Publications,Shah alam Market, 1984), h. 83.

14Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:Salemba Diniyah, 2002), h. 16.

Page 40: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 35

accountability) dan aspek sosial (social accountability). Aspektransendental yang meyakini adanya hari pembalasan, atau jugasering disebut hari perhitungan (yaum al-h }isâb) memiliki perananpenting dalam kehidupan seseorang. Orang yang sadar akaneksistensi hari pembalasan tersebut akan mampu mengartikulasikankehidupannya dengan sikap dan perilaku yang terbaik. Sebaliknyapengingkaran terhadap hari pembalasan (yaum al-din), seperti yangterungkap pada sekelompok konglomerat Mekkah ketika Rasulul-lah memulai karir kerasulannya (Q.s al-Ma’un/107:1-7) bukan sajamelemahkan rasa tanggung jawab, tetapi juga menghilangkan ke-pedulian untuk memberi perhatian kepada orang lain, terutama per-tolongan kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang terlantar.

Aspek sosial dari pertanggungjawaban merupakan sebuahkeniscayaaan dari konsekuensi logis manusia sebagai khalifah(trustees) di muka bumi, sehingga dengan demikian pemahamantentang doktrin accountability ini seharusnya tidak hanya terbatasdalam konteks spiritual saja, melainkan juga harus mencakup prosesyang lebih praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam rangka membangun dan menyiapkan SDM handalberbasis syariah, agaknya empat landasan filosofis itu perlu dijadikanparadigma bagi pengembangan ekonomi syariah. Selama manusiamenyesuaikan mindset-nya dengan paradigma tersebut sertakonsisten berjalan di atas prinsip-prinsip itu, maka aktivitas ekonomidiharapkan akan berlangsung dalam suasana berkeadilan, seimbangdan bermanfa’at. Bersamaan dengan itu SDM yang disiapkanterhindar dari segala macam bentuk kebohongan, pengkhianatan,dan kecurangan. Melalui kesiapan SDM yang bermoral, berilmudan berketrampilan. Pengembangan ekonomi syariah di negeritercinta ini diharapkan akan bertumbuh dan berjalan sesuai denganapa yang diharapkan.

Karakter Sumber Daya Manusia Berbasis Syariah

Dalam perspektif ekonomi syariah, kesadaran bahwa manusiamerupakan makhluk (Q.s al-’Alaq/96:1-5) yang diciptakan sebagai“hamba” yang semata-mata mengabdikan diri kepada Allah Swt.(Q.s. al-Z }âriat/51:52), dan dalam waktu yang sama juga sebagai“khalifah” (Q.s al-Baqarah/2:30) yang mendapat amanah untukmengelola bumi, meraih keselamatan dan kemaslahatan dunia dan

Page 41: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin36

akhirat (al-mas }âlih fi al-dârain) adalah keyakinan yang melandasisemua perilaku dan aktifitas manusia. Melalui derivasi kedudukan-nya sebagai “pengabdi Allah” (‘abd Allah), manusia menampilkanjati dirinya sebagai makhluk yang senantiasa menjunjung tinggimoralitas (al-akhlâq al-karimah), sumber keunggulan dan kemuliandiri. Sementara dengan kesadaran sebagai “khalifah Allah” manusiamembangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan sertaketerampilannya memanfaatkan anugerah Allah. Kepada manusiasebagai khalifah, yang dipresentasikan Nabi Adam As. sejak semulamemang diajarkan ilmu pengetahuan, lalu dengan ilmu itu, manusiamemperoleh keunggulaan (Q.s. al-Baqarah/2:31-34). Atas dasarkeunggulan itulah, maka bumi dengan segala isinya, dimanfaatkanmanusia sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Allah.

Sumber daya manusia yang handal berbasis syariah padahakikatnya harus diletakkan di atas fondasi kesadaran spritual(hamba Allah) dan rasional (khalifah Allah). Tidak ada pertentanganantara kesadaran spiritual dengan kesadaran rasional dalam ekonomisyariah. Sebagai hamba Allah, manusia menjadi makhluk yang ta’atyang senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhilarangan-Nya, dan sebagai khalifah Allah, manusia menjadi makhlukyang sukses dan berhasil melalui dukungan ilmu pengetahuan.

Perpaduan antara keunggulan rasionalitas dan keseimbanganemosional dan spiritual pada gilirannya akan melahirkan jiwa (spirit)yang menghidupkan aktivitas yang mendapat pertolongan Allah.SDM Syariah yang beraktivitas, baik sebagai pemimpin perusahaan,pemilik, pemasar (marketer), pelanggan (nasabah) harus terpadudalam kesadaran ketuhanan (al-rabbâniy) dan kesadaran rasional(al-‘ilmiy). Orang-orang yang berilmu, yang mampu membaca, me-mahami dan memanfaatkan dengan tepat realitas kehidupan untukkebaikan dan kemaslahatan hidupnya dan dengan hatinya merasa“takut” (al-khasyyah) kepada Allah, itulah yang disebut dalam al-Quran sebagai SDM yang handal dan berilmu. (Q.s. Fathir/35:28).SDM handal yang akan dapat menumbuhkembangkan ekonomisyariah, sejatinya terdiri atas orang-orang yang di dalam dirinya ter-padu kualitas keilmuan sesuai dengan tuntutan profesi terpadudalam kesadaran yang membawa dirinya senantiasa takut kepadaAllah.

Dalam menyiapkan SDM yang handal, penguasaan aspekkeilmuan yang berkaitan dengan pengelolaan lembaga keuangan

Page 42: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 37

dan perbankan mutlak diperlukan. Ada standar yang harus diguna-kan untuk dijadikan sebagai acuan. Standar itu sudah barang tentuberhubungan dengan tugas dan wewenang yang akan dipertang-gungjawabkan. Tinggi-rendahnya pengetahuan, kesanggupan danketerampilan ditentukan oleh seberapa besar tanggung jawab yangakan diberikan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan mana-jemen SDM suatu perusahaan pada umumnya berlaku secarauniversal.

Dalam penyiapan SDM berbasis syariah, di samping adanyapersyaratan keilmuan dan keterampilan yang berlaku secara umum,ada lagi persyaratan khusus yang sangat menentukan. Sesuai dengankerangka filosofis ekonomi syariah seperti yang telah diuraikan padabagian awal, perusahaan yang berbasis syariah sejatinya harusdikelola dengan hati. Dalam buku “Marketing Syariah” karyaHermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, ditegaskanbahwa dalam mengelola bisnis syariah perlu dilakukan dengan hati(al-qalb).15 Tawaran ini nampaknya dapat dipertimbangkanselanjutnya dijadikan acuan dalam menyiapkan SDM yang handalsebagai pondasi berkembangnya ekonomi syariah. Penyiapan SDMini sudah barang tentu akan lebih efektif kalau dilakukan melaluilembaga pendidikan di Perguruan Tinggi dan mungkin juga denganpelatihan-pelatihan yang memadai.

Untuk mengisi peluang SDM yang semakin diperlukan men-dukung pertumbuhan lembaga keuangan dan Perbankan Syariah,di samping yang sudah melaksanakan pendidikan ilmu ekonomiIslam, baik di lingkungan Perguruan Tinggi yang berada di bawahpengelolaan Kementerian Agama RI maupun swasta, dan berbagaipelatihan yang sudah ada, kebijakan Kementerian PendidikanNasional secara resmi sangat dibutuhkan. Program studi ekonomiIslam di fakultas-fakultas ekonomi sejatinya harus dirancang denganmemadukan semua unsur yang diperlukan, untuk mensinergikanilmu ekonomi konvensional dengan ilmu ekonomi Islam. Langkahkongkret sinergi sangat ditunggu untuk memfinalkan kurikulumyang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Pertumbuhan kajian ekonomi Islam dalam bidang IslamicFinance, ternyata dibelahan bumi kita telah menunjukkan perkem-bangan yang sangat memberikan harapan. Sekadar bandingan, Adji

15Hermawan Kartajaya, Muhammad Syakir Sula, Syariah…, h. 58.

Page 43: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin38

W dan Agus Yuliawan dari pkesinteraktif.com, mewawancarai RifkiIsmail (Mahasiswa PhD Islamic Finance, Durham University, UnitedKingdom), terkait dengan klaim Inggris sebagai pusat keuangan sya-riah terkemuka di Eropa. Kendati jumlah komunitas Muslim tidaklebih dari 2 juta orang, Inggris ternyata secara professional meman-dang Islamic Banking sebagai peluang pasar yang sangat potensialuntuk dikembangkan. Secara umum, katanya dalam wawancara itu,bank syariah merupakan fenomena keuangan dunia yang palingmenarik perhatian saat ini. Walaupun baru berkembang secaramodern di awal 1970-an ketika IDB didirikan tahun 1974 lalu, namundengan laju pertumbuhan tahunan 15%-20% dan total global assetUSD 650-750 miliar, telah tersebar lebih dari 300 lembaga keuanganIslam dari 75 negara. Industri perbankan syariah ini bukan lagi dipan-dang sebagai industri dadakan dan emosional, sekadar memenuhikebutuhan umat Islam. Ia melihat 8-10 tahun ke depan industri inidiperkirakan akan menguasai 50% simpanan dari 1,6 miliarpenduduk muslim dunia yang diperkirakan bernilai USD 3 triliun.Perkembangan perbankan syariah di Inggris mempunyai kelebihantersendiri, di mana mereka dengan cepat menerima konsep banksyariah sekaligus mengadopsinya dengan menyesuaikan ketentuanperbankan dan undang-undang pasar keuangan yang berlaku.

Dalam waktu satu tahun yaitu 2003, pemerintah Inggris telahmenyelesaikan masalah double stamp duties (pengenaan pajak ganda)pada transaksi syariah. Pada tahun 2005 kontrak murâbahah danmud }ârabah diterima dalam sistem keuangan dan peraturan keuangandi Inggris. Tahun 2006 kontrak wakâlah dan diminishing musyarakahmelengkapi instrumen-instrumen keuangan syariah yang telahberoperasi di Inggris, bahkan tahun 2007 ketentuan penerbitan sukuktelah disiapkan.

Selain keterlibatan komunitas Muslim dan regulator dalammengembangkan industri perbankan syariah di Inggris, dukunganjuga datang dari sisi akademis. Sejumlah Universitas-universitas diInggris telah membuka program master/PhD Islamic banking/finance/economics seperti Markfield Institute of Higher Education(MIHE), Durham University, Reading University, NottinghamUniversity, Salford University, Bangor University dan City University(london) bahkan Oxford University memiliki Oxford Islamic FinanceCenter sebuah lembaga kajian Islamic finance. Sejumlah pakar syariahdunia juga tercatat mengajar di universitas-universitas tersebut seperti

Page 44: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 39

Prof. Khursid Ahmad, Prof. Rodney Wilson, Prof. Habib Ahmed,Prof. Anas Zarqa, Prof. Syed Ibrahim, Dr. Humayon Dar, Dr. MehmetAsutay, dll.

Walaupun sistem keuangan di Indonesia belum semapanInggris namun sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar didunia serta potensi dana perbankan dalam negeri yang sangat besar,Indonesia selayaknya dapat mengambil langkah cepat baik di sisiregulasi, sosialisasi, dunia akademik maupun peningkatan kinerjaperbankan syariah agar dapat menjadi pusat keuangan Islam duniadi Asia sebagaimana yang dilakukan Inggris.

Dalam pandangan Rifki Ismail, Indonesia memiliki lembagaMUI yang credible dalam menjaga kemurnian kontrak-kontraksyariah serta dukungan penuh bank sentral (BI) dan pemerintahyang diwujudkan dalam sejumlah ketentuan perbankan syariah danpenerbitan sukuk pemerintah. Pengesahan UU bank syariah danUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah bukti nyatadukungan regulator dan pemerintah. Jumlah penduduk yangmayoritas Muslim pada dasarnya merupakan modal utamapengembangan bank syariah di Indonesia namun usaha menyeluruhdan komprehensif sangat diperlukan untuk mengedukasi seluruhmasyarakat sejalan dengan persiapan sistem keuangan syariah,penguatan institusi, infrastruktur, legalitas, dll. Semua ini diharapkanmerupakan kunci sukses pengembangan industri perbankan syariahdi Indonesia.

Penutup

Pertumbuhan dan perkembangan Lembaga Keuangan danPerbankan Syariah di Indonesia jelas menunjukkan angka yangmenggembirakan. Walaupun pangsa pasar Perbankan Syariahdirasakan masih sangat kecil, namun pertumbuhannya memberiharapan untuk masa depan. Untuk itu penyediaan SDM yang handaluntuk menumbuhkembangkan ekonomi syariah harus secepatnyadilakukan. Nampaknya negeri ini tidak boleh tertinggal dalampengembangan ekonomi syariah, di samping karena komunitasMuslim terbesar berada di negeri tercinta ini, lebih dari itu ekonomisyariah diyakini sebagai solusi mengatasi krisis ekonomi.[]

Page 45: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin40

Daftar Kepustakaan

Al-Fanjari, Mahmud Syauqi, Ekonomi Islam Masa Kini (terj),(Bandung: Husaini, 1985)

________, al-Madhab al-Iqtis }adi fi al-Islâm, (Riyadh: SyarikahMaktabah li al-Nasyr wa al-Tauzi”, 1981)

Binti Syati’, Aisyah, “Manusia Dalam Perspektif al-Quran”Penterjemah Ahli Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).

Buarque, Cristovam, The End of Economics: Ethics and the Disoder ofProgress, (London: Zed Book, 1993)

Chapra, Umer, M., Islam dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: GemaInsani Press, 2000)

Chapra, Umer, M., Masa Depan Ekonomi Islam; Sebuah TinjauanIslami, (Jakarta: Syari’ah Economics and Banking Institute,2001)

Chapra, Umer, M., The Islamic Welfare State and It’s Role in theEconomy, The Islamic Foundation, London, 1979)

Chapra, Umer, M., What Is Islamic Economics, (Jedah, Saudi Arabia:IRTI-IDB, 1996)

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Press,1997)

Etzioni, Amitai, Moral Dimension: Towards a New Economics, (NewYork: Macmilan, 1988)

Kartajaya, Hermawan, Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing,(Bandung: Mizan Media Utama, 2006)

Landerth, Harry, History of Economic Theory: Scope, Method andContent, (Boston: Houghtoh Mifflin Company, 1976)

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: YayasanWakaf Paramadina, 1992)

Madjo Indo, A.B. Dt., Kato Pusako: Papatah, Patitih, Mamang, Pantun,Ajaran dan Filsafat Minangkabau, (Jakarta: PT Rora Karya,1999)

Maududi, Abul A’la al-, Economic System of Syariah, (Lahore: SyariahicPublications, Shah alam Market, 1984)

Page 46: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

SDM Berbasis Syariah 41

Metwelly, M. M., Teori dan Praktek Ekonomi Islam (terj) Bangkit DayaIslami, 1995)

Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika danBisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002)

Naisbitt, John dan Patricia Abuderne, Megatrends 2000, (New York:William Morrow and Company, Inc, 1990)

Nasution, Yasir. M., “Ekonomi Islam: Kecendrungan Baru DalamPerkembangan Pemikiran Islam”, Makalah disampaikan padaseminar Ekonomi Islam di HMJ Muamalat IAIN SU, 1998.

Nuruddin, Amiur, “Keadilan Sosial dan Ekonomi Dalam PerspektifEkonomi Islam” dalam Istislah No, 2 April-Juni 2002, FakulatasSyari’ah IAIN SU, Medan, 2002.

________, “Kontribusi Fiqh Muamalah Dalam PengembanganAktivitas Ekonomi Islam” dalam Prospek Bank Syari’ah PadaMilenium Ketiga: Peluang Dan Tantangan, (Medan: IAIN PressBekerjasama Dengan FKEBI dan Bank Indonesia, 2002)

________, Ekonomi Syariah: Menepis Badai Krisis Dalam SemangatKerakyatan,) Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2009)

________, Kalam: Membangun Paradigma Ekonomi Syariah,(Bandung: Cipta Pustaka Media, 2008)

________, Keadilan Dalam al-Quran, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama,2008)

________, Konsep Keadilan Dalam Al-Quran dan ImplikasinyaTerhadapTanggung Jawab Moral, Disertasi IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 1995

Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999)

Paul Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi, (Jakarta: Kepustakaan PopulerGramedia, 1997)

Poedjawijatna, I.R., Tahu dan pengetahuan; Pengantar ke Ilmu danFilsafat, (Jakarta: Bina Aksara, 1983)

Rahman, Afzalurahman, Doktrin Ekonomi Islam (terj), Jilid I(Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995)

Robert L. Heilbroner, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, (Jakarta:Bumi Aksara, 1994)

Page 47: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Jurnal TSAQAFAH

Amiur Nuruddin42

Russell, Bertrand, Science and Religion, (London, New York: OxfortUniversity Press, 1953)

Saefuddin, A.M., “Perbandingan Sistem Ekonomi Islam Dengan Ka-pitalisme dan Marxisme”, dalam Mustafa Kamal (ed.) Wawa-san Islam dan Ekonomi, (Jakarta: FEUI, 1997)

Schumpeter, Joseph, Theory of Economic Development,) Cambridge:Harvard University Press, 1954)

Soule, George, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka (terj), TGilarso, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)

Triyuwono, Iwan, Organisasi dan Akuntansi Syariah, (Yogyakarta:LkiS, 2000)

Winardi, DR. SE., Pengantar Sejarah Perkembangan Ilmu Ekonomi,(Bandung: Penerbit Alumni, 1982)

Yunus al-Mishriy, Rafiq, Us }ul al-Iqtis }ad al-Islâmi, (Damaskus, Syria:Dar al-Qalam, 2005)

Zubair, Achmad Charris, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu PengatuanManusia (Kajian Filsafat Ilmu), (Yogyakarta: LESFI, 2002)

Page 48: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Minimalisasi Masalah Agency MelaluiScreening Adverse Selection dalam

Pembiayaan Mud}arabah di Bank Syari’ah*)

Muhamad*Sekolah Tinggi Ekonomi Islam-Jogjakarta

Email: yassar@gmail. com

Abstract

This paper attempts to theorise the behaviour of the Islamic firm in thelight of the new theory of the firm. In this papers, we explore the agencyproblems and effort to minimalize the agency problems throught screening ofadverse selection. The adverse selection due to the pre-contractual endowmentof information to the entrepreneur about the productivity of the venture withrespect to effort and capital. The agency problem will not happened in themud}arabah financing if the shahibul mal applied the restricted screening ofadverse selection to the mudharib. The study has found that there are six attributesconsidered from the mud}arabah projects point of view, which include theprospect of project, availability of collateral, healthiness of project, project’sfinancial statements, clarity of contract conditions, and conformity of timeperiod. In regard to mudharib attributes, the study has also concluded fivecharacteristics which are considered important. They include the business capacity,[personal] collateral, mudharibs’ reputation and family background, and theirbusiness commitments.

Keywords: Moral hazard, Agency problem, asymmetric information, mud }ârib,s }âh }ibul mâl.

*)Artikel ini merupakan ringkasan dari disertasi yang disusun penulis pada saatmenyelesaikan program doktor ilmu ekonomi di Universitas Islam Indonesia dengan judul:Permasalahan Agensi (agency problems) dalam Kontrak Pembiayaan Mud}arabah pada BankSyari’ah di Indonesia. Disampaikan sebagai orasi ilmiah pada wisuda sarjana Sekolah TinggiEkonomi Islam Jogjakarta pada tanggal 25 Nopember 2006 di Hotel Shantika Jogjakarta.

*Sekolah Tinggi Ekonomi Islam-Jogjakarta, Telp. 0274-4589740

Page 49: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad44

Jurnal TSAQAFAH

Pendahuluan

Maraknya perbankan syari’ah dewasa ini bukanmerupakangejala baru dalam dunia bisnis syari’ah.Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai

kalangan, yaitu: ulama, akademisi dan praktisi untuk mengembang-kan perbankan tersebut dari sekitar pertengahan abad 20. Mengacupada ajaran al-Qur’an dan Hadis serta pemahaman bahwa bungabank adalah riba maka perbankan syari’ah dengan dipelopori negara-negara berbasis Islam, seperti: Mesir, Saudi Arabia, Yordania, Sudan,Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, Tunisia, Mauritania, Pakistan,Iran dan berkembang hingga ke negara-negara yang minoritasmuslim seperti Inggris1, Denmark, Philipina, dan Amerika Serikat(Saeed, 1996: 1), mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik. Per-kembangan bank syari’ah tersebut juga sampai di negeri Indonesia.

Dewasa ini Bank Syari’ah sedang menjadi pilihan bagi pelakubisnis perbankan sampai dengan tahun 2006. Di Indonesia telahberdiri sepuluh bank umum syari’ah (BMI, BNI, BSM, Bukopin,BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII, BPD DKI, dan lainnya),dengan sekitar 106 kantor cabang, ditambah lagi dengan 94 BPRSyari’ah (Bank Indonesia, 2006). Dari produk yang ditawarkan olehbank syari’ah dan “dibeli” oleh masyarakat pengguna di Indonesiamasih kecil, dibandingkan dengan produk bank konvensional.Selain itu, produk yang banyak digunakan oleh masyarakat adalahproduk dengan aqad jual beli (murâbah }ah = 72,71%), sementaraproduk dengan aqad mud }ârabah baru mencapai 17,19%.

Pengertian Mud}ârabah

Istilah mud }ârabah sesungguhnya tidak muncul pada masa NabiSAW, tapi jauh sebelum Nabi SAW. lahir pun sudah ada.2 MenurutUdovitch, istilah itu muncul sebagai kerjasama bangsa semenanjungArabia yang berkembang dalam konteks perdagangan para kafilah

1Pada 2004 telah dibuka bank Islam pertama di Inggris, yaitu Islamic Bank of Britain,yang telah mendapatkan ijin dari The Financial Services Autority. Bank ini merupakan bankyang murni syari’ah pertama di Inggris, yang sebelumnya di negeri ini telah berkembangdivisi atau cabang syari’ah dari bank konvensional HSBC dan Citibank (Republika, 12 Agustus2004, h. 2).

2Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and ItsContemporary Interpretation, (Leiden, New York, Koln: EJ. Brill, 1996), h. 51-52

Page 50: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 45

Vol. 6, No. 1, April 2010

Arab sebelum Islam. Istilah itu berkembang luas ketika dalamsejarah bangsa ini berhasil menaklukkan beberapa wilayah sepertinegara-negara yang termasuk dalam wilayah Timur Dekat, AfrikaUtara dan sampai pada Eropa Selatan.3

Luasnya wilayah perkembangan istilah mud }ârabah ini mem-buat setiap bangsa menyebarkan dengan istilah (term) yang berbeda.Masyarakat Iraq, misalnya, menyebutnya dengan mud }ârabah ataukadang-kadang muamalah, masyarakat Hijaz yaitu meliputiMadinah, Mekah dan kota-kota di sekelilingnya menyebutnya de-ngan qirâdh atau muqârad }ah .4 Sedangkan masyarakat Eropamenyebutnya dengan commenda.5

Mengamati mudhârabah (muamalah, qirad }, muqârad }ah ataucommenda) tidak ditemukan asal-usulnya dan telah dipraktekkansecara turun-temurun dengan ketidak-jelasan titik awal historisnya,ini berarti membuka peluang besar untuk memberikan istilah barubagi wilayah manapun yang menggunakan sistem ini.

Para fuqaha dan sebagian para sejarawan muslim secara umummendefinisikan mud }ârabah sebagai kerjasama antar dua pihak, yaitupihak pertama memberikan fasilitas modal dan pihak keduamemberikan tenaga atau kerja. Perhitungan labanya akan dibagidua dan kerugiannya ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal.Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa kerjasama modelmud }ârabah ini muncul ketika terdapat dalam sebuah masyarakatkeinginan untuk bekerjasama antar anggotanya dalam rangkameningkatkan taraf hidup ekonomi. Definisi umum mud }ârabahsecara fiqih, menurut Sadr disebut sebagai:

Kontrak khusus antara pemilik modal dan pengusaha dalam rangkamengembangkan usaha yang modalnya berasal dari pihak pertamadan kerja dari pihak kedua, mereka bersatu dalam keuntungandengan pembagian berdasarkan prosentase. Jika proyek (usahamendatangkan keuntungan maka laba dibagi berdua berdasarkankesepakatan yang terjalin antara keduanya, jika modal tidakmempunyai kelebihan atau kekurangan maka tidak ada bagi pemilikmodal selain modal pokok tersebut, begitu pula dengan pengusaha

3Abraham L. Udovitch, Partnership and Profit in Medival Islam, (New Jersey: PrincetonUniversity Press, 1970), h. 172

4Al-Kasani, Bada’i’ al-S}anâ’i’ fi Tarti>bi al-Syarâ’i’, Juz. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996),h. 121; Kharofa, 1998, h. 182

5Udovitch, Partnership…, h. 172

Page 51: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad46

Jurnal TSAQAFAH

tidak mendapatkan apa-apa. Jika proyek rugi yang mengakibatkanhilangnya modal pokok maka kerugian itu sedikit ataupun banyakditanggung oleh pemilik modal. Tidak diperkenankan kerugian ituditanggung oleh pengusaha dan menjadikannya sebagai jaminanbagi modalnya kecuali proyek itu didasarkan pada bentuk pinjamandari pemilik modal kepada pengusaha. Jika demikian maka pemilikmodal tidak berhak mendapatkan apapun dari keuntungan tersebut.6

Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua pihak dalam kon-trak mud}ârabah, yaitu pihak s }âh {ib al-mâl dan mud }ârib. S }âh }ib al-mâladalah orang mempunyai surplus dana yang menyediakan danatersebut untuk kepentingan usaha. Sementara mudharib adalahpengelola usaha yang membutuhkan dana dari s }âh }ib al-mâl. Me-nurut Kuran, kedua belah pihak harus memahami betul bagaimanakontrak mud}arabah dijalankan, sehingga ia menegaskan, bahwa:

Keduanya saling memahami, artinya s }âh }ib al-mâl mengenali mud }âribdan memahami jenis usaha yang akan dilakukannya, begitu pulamudhârib mengerti akan kemurahan hati s }âh }ib al-mâl. Keduanya terlibatlangsung dalam kontrak kerjasama yang saling membutuhkantersebut dan dilakukannya sendiri secara sadar dan dapat mem-perkirakan hasil usahanya.7

Sementara makna mud }ârabah dalam sistem perekonomianmodern, khususnya perbankan, menjadi berkembang. Pihak yangterlibat dalam kerjasama ini menjadi tiga; (1) Pihak yang menyimpandana (depositor), (2) Pihak yang membutuhkan dana atau pengusaha(debitur) dan (3) Pihak yang mempertemukan antara keduanya(bank). 8 Pihak yang pertama, depositor, inilah seharusnya menjadis }âh}ib al-mâl sebab dia yang memiliki dana yang secara sadar akandigunakan dana tersebut untuk kepentingan usaha. Sementara pihakkedua, debitur, adalah mud }ârib-nya depositor, karena dia yangmenggunakan dana depositor untuk digunakan sebagai modal usaha.Sedangkan pihak ketiga, bank, adalah pihak yang menjembatanikeinginan keduanya (pihak pertama dan pihak kedua).

6Sadr, Kazim, “The Role of Musharakah Financing in the Agricultural Bank of Iran,”Arab Law Quarterly, 1996, h. 25

7Timur Kuran, “The Economic System in Contemporary Islamic Thought:Interpretation and Assesment”, International Journal of Meddle East Studies 18, Vol. 2, No. 1,1986, h. 135-164.

Page 52: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 47

Vol. 6, No. 1, April 2010

Kontrak mud }ârabah (bagi hasil) ini, jika dikaitkan dengan teorikeuangan, merupakan kontrak keuangan yang sangat berhubungandengan masalah agency. Agent (mud }ârib) dalam kontrak mud}ârabahsangat mungkin melakukan penyimpangan-penyimpangankeuangan hasil proyek yang dijalankan, karena kontrol pemilikmodal tidak optimal. Penyimpangan-penyimpangan itu berkaitandengan aspek: (1) standar moral; (2) ketidak-efektifan modelpembiayaan bagi hasil; (3) berkaitan dengan para pengusaha; (4)biaya; (5) teknis; (6) kurang menariknya sistem bagi hasil dalamaktivitas bisnis; (7) permasalahan efisiensi.9 Hal ini merupakanpermasalahan mendasar dalam kontrak mud}ârabah di bank syari’ah.Di sisi lain, kontrak mud }ârabah menjadi salah satu bentuk coreproduct bank syari’ah, sehingga bank syari’ah berbeda dengan bankdengan sistem bunga. Namun, keberadaannya mengandung banyakpermasalahan. Oleh karena itu, permasalahan ini harus mendapatkanpemecahan.

Hubungan kontrak principal dengan agent dalam kontrakpembiayaan mud}ârabah di bank syari’ah dapat diwujudkan dalambentuk perjanjian kontrak pembiayaan mud}ârabah, yaitu perjanjiankontrak antara pemilik modal (bank/s }âh }ib al-mâl/principal) denganpelaku usaha (nasabah/mud }ârib/agent). Di dalam perjanjian kontrakini akan disepakati aspek-aspek atau rukun kontrak mud }ârabah,yaitu: (1) pemilik modal/principal/bank syari’ah; (2) pelaku usaha/mud }ârib/agent; (3) proyek yang akan dijalankan; (4) Nisbah pem-bagian untung dan porsi pembagian kerugian, dan (5) Masa kontrakatau perjanjian. Serta syarat-syarat lain yang mendukung berjalannyakontrak mud }ârabah.

Jika aspek-aspek atau rukun tersebut dipenuhi, maka dimung-kinkan dapat memperkecil terjadinya penyimpangan-penyimpa-ngan yang dilakukan oleh agent. Permasalahan penyimpangan agentatau permasalahan agency dalam kontrak mud }ârabah dapatdiminimalisasi dengan cara menetapkan struktur insentif kepadapelaku usaha (agent/mud }ârib) (Saeed, 2003). Jika hal ini dapatdilakukan maka hasil kontrak mud }ârabah dapat dioptimalkan. Carayang lebih penting adalah tindakan pemilik dana mampu melakukan

8Sadr, Op. cit. 1996: 26; Lihat pula Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam danKedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti,2000), h. 47

9Abdullah Saeed, Islamic Banking…, h. 128 – 132

Page 53: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad48

Jurnal TSAQAFAH

screening terhadap pelaku proyek dan proyek yang akan dibiayai.Screening ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi terjadinyaadverse selection. Jika adverse selection tidak dilakukan secara ketatoleh pemilik dana maka dapat menimbulkan ketidakoptimalanproyek yang akan dibiayai.

Wilson menegaskan, bahwa “Developing sound and acceptablescreens is crucial for both Islamic and ethical financial”.10 Lebih lanjut,Wilson menegaskan, bahwa

kontrak investasi penyertaan Islami mengandung konflik kepenting-an dan masalah moral hazard yang sangat mungkin terjadi, sehinggainvestor perlu sangat hati-hati dalam menyalurkan dananya dalampembiayaan.11

Oleh karena itu, screening merupakan hal penting dalam investa-si syari’ah yang diharapkan dapat mengurangi penyimpangan-penyim-pangan dalam kontrak atau memperkecil terjadinya masalah agency.

Sehubungan dengan screening adverse selection pelaku proyek,Innes (1993) dan Dowd (1996) menyatakan sebagai berikut:

Dalam kondisi tertentu, perjanjian utang bisa juga tidak optimal ke-tika ada problem adverse selection yang merugikan. Problem ini munculapabila ada hal penting dari proyek (atau pilihan proyek) investortidak diperhatikan oleh pihak investor. Situasi seperti itu terjadi ma-nakala pihak investor tidak memerhatikan ‘kualitas’ proyek. Dalamhal ini, perjanjian utang masih tetap optimal dalam berbagai keada-an. Alasannya adalah bahwa pengusaha yang memiliki proyek de-ngan kualitas lebih baik akan memilih perjanjian utang untuk me-maksimalkan laba sisa (residual profit) mereka, sementara pengusahayang memiliki proyek dengan kualitas buruk harus meniru merekaagar jangan sampai terungkap. Jadi, perjanjian ekuitas dapat menga-tasi problem yang ditimbulkan oleh proses seleksi proyek yangmerugikan, dan memberikan hasil yang terbaik. Sudah pasti, dalamupaya mengurangi adverse selection, bankir akan tertarik untuk meng-evaluasi nilai proyek dan kapasitas si peminjam untuk membayarutang selama periode yang layak, dengan menggunakan pengetahuanpribadi dan catatan masa lampau untuk menilai karakter dankecerdasan finansial dari klien.12

10Wilson, Peter W. , A Question of Interest: The Analysis of Saudi Banking, (Boulder:Westview Press, 2004), h. 44

11Ibid., h. 3512Dalam Lewis, Mervyn dan Latifa al-Gqoud, Islamic Banking: Principles, Practis and

Prospect, (Massacusetts: Edward Elgar, 200), h. 113-114

Page 54: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 49

Vol. 6, No. 1, April 2010

Dengan kata lain, masalah penting yang perlu dicermatipemodal (principal) dalam melakukan kontrak mud }ârabah dalammemperkecil efek negatif dari permasalahan agency salah satucaranya adalah mempertimbangkan adverse selection pelaku usahaberikut proyek yang akan dibiayai. Berangkat dari kondisi yang telahdigambarkan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentangmekanisme screening terhadap atribut proyek dan atribut mud }aribpengaruhnya terhadap masalah agensi (agency problems) dalamkontrak pembiayaan mud }ârabah pada bank syari’ah.

Masalah Agency dalam Kontrak Mudhârabah

Berbicara masalah agency pada dasarnya adalah membicarakankonsep incentive based contract. Konsep ini berarti bahwa setiapbentuk dari sistem kontrak yang memberikan penghargaan kepadapekerja atau kelompok pekerja dengan suatu cara yang mendorongpeningkatan usaha atau produksi.13 Penghargaan tersebut dapatberupa: bonus, profit-related-pay, profit sharing.

Sebagaimana ditegaskan di bagian pembahasan mud }ârabah,bahwa mud }ârabah adalah bentuk kontrak kerja sama antara pemilikmodal (s }âhibul mâl) menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha(mud }ârib) untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengankeuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.14 Dalamkontrak seperti ini, ada dua pihak yang saling terikat, yaitu pemilikdana atau modal (s }ahibul mâl), yang disebut principal dan pemilikkeahlian/manajemen (mud }arib), yang disebut sebagai agent.

Dalam kontrak mud}ârabah, kepemilikan proyek adalah milikbersama antara pemodal (s }ahibul mâl) dengan pelaksana (mud }arib).Namun hak kepemilikannya secara terperinci adalah: modalmud}ârabah tetap menjadi hak milik s }ahibul mâl, adapun keuntunganyang dihasilkan oleh usaha syarikat mud }ârabah tadi jadi milikbersama dan pembagian hak kepemilikannya munurut nisbah bagihasil yang telah disepakati bersama. Jadi, mud }arib tidak berhakmengambil bagiannya dari keuntungan tanpa sepengetahuan ataukehadiran s }ahibul mâl dan sebaliknya juga demikian. Keuntungantersebut jadi milik bersama antara s }ahibul mâl dan mud}arib kerena

13Lowes Pass dan Davies, Kamus Lengkap Ekonomi, (Longman: 1998), h. 28514al-Nawawi, tt: 289

Page 55: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad50

Jurnal TSAQAFAH

modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan dan mem-butuhkan, maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengannisbah masing-masing.15

Jika terjadi penyimpangan kontrak, maka s }âh }ibul mâl dapatmenetapkan syarat dan sanksi kepada mud }arib. Jika mud }âribmelanggar ketentuan, maka mud}ârib harus menanggung akibatnyadan menjamin kerugian yang menimpa modal atau kepentingans }âh }ibul mâl. Dalam hal menanggung risiko dan keuntungan atasmodal dan proyek, ketentuan fiqh menggariskan sebagai berikut:jika kontrak mud }ârabah terdapat keuntungan maka pembagiankeuntungannya dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakatikedua pihak yang berkontrak.16

Dengan demikian, dalam kontrak mud }ârabah, ternyatamudharib melakukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukanuntuk kepentingan dirinya, maka mudhârib akan menanggungseluruh kerugian yang diakibatkan penyimpangan yang dilakukan.Oleh karena itu, s }âh}ibul mâl harus dapat membuat aturan atau per-syaratan yang dapat mengurangi kesempatan mud }ârib melakukantindakan yang merugikan s }âh }ibul mâl.

Dalam praktek keuangan modern, Jensen dan Meckling (1976)menawarkan dua cara yang dapat dilakukan pemilik modal untukmengurangi risiko akibat tindakan manajer yang merugikan, yaitu:pemilik modal melakukan pengawasan (monitoring) dan manajersendiri melakukan pembatasan atas tindakan-tindakannya(bonding).17 Implikasi kedua kegiatan ini adalah (1) dapat mengu-rangi kesempatan penyimpangan manajer sehingga nilai perusahaan(proyek) meningkat, sedangkan (2) keduanya akan memunculkanbiaya sehingga akan berdampak mengurangi nilai perusahaan(proyek). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa calon in-vestor akan mengurangi munculnya kedua biaya tersebut ditambahdengan kerugian yang masih muncul, meskipun sudah adamonitoring dan bonding, yang disebut residual loss.18 Antisipasi ketigabiaya yang didefinisikan sebagai biaya agency ini nampak pada hargasaham yang terdiskon saat perusahaan menjual sahamnya.

15Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Penentuan profit Margin di BankSyari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 90

16Ibid17Jensen, C. Michael dan W. H. Mechkling, “Theory of the Firm: managerial Behavior,

Agency Costs and Ownership Structure”, Journal of Fiancial Economics, No. 3, 197618Ibid

Page 56: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 51

Vol. 6, No. 1, April 2010

Ada persamaan dan perbedaan antara masalah agency dalamkontrak keuntungan modern dengan mud }ârabah. Persamaannyaadalah dua cara yang dilakukan pemilik modal (s }âh}ibul mâl) untukmengurangi risiko akibat tindakan manajer (mud }ârib) yangmerugikan dapat diterapkan untuk kontrak pembiayaan mud}ârabah.Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW, bahwa:

“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mud}arabah, iamensyaratkan kepada mudhârib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidakmenuruni lembah, serta tidak membeli ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia(mudhârib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkanAbbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”. 19

Namun ada perbedaan antara keduanya (keuangan moderndengan mud }ârabah) dalam menentukan masalah agency. Masalahagency dalam keuangan modern dihitung berdasarkan selisih antarahasil yang diharapkan (expected return) dengan hasil nyata (actualreturn). Sementara dalam kontrak mud }ârabah antara hasil yangdiharapkan dengan hasil nyata tidak dapat diselisihkan. Sebab, dalamkontrak mud}ârabah hasil yang diharapkan tidak dapat dijadikan hasilyang dipastikan di depan. Tindakan memastikan hasil proyek didepan secara pasti adalah termasuk riba. Hal demikian, menurutQardhawi disebut sebagai mud }ârabah fâsid.

Dalam kontrak mud}ârabah, jika hasil proyek selalu berada dibawah harapan maka s }âh }ibul mâl akan mengakhiri kontrak. Me-nurut fuqaha dari madzab selain Maliki: mereka berpendapat bolehsaja sebagai harga yang lebih rendah dari semestinya, maka jikamud}ârib melihat bahwa dalam mengelola s }âh}ibul mâl membahaya-kan bagi syarikat, ia dapat melarang atau mencegah pengelolanya,jika hal itu terjadi setelah mud }ârib memulai usahanya. Namun, jikasebelum ia memulai usahanya, maka bagi s }âh }ibul mâl dapat me-ngelola modalnya dan mud }ârib tidak berhak melarangnya danotomatis batal-lah akad mud }ârabah.20

Semua ketentuan yang terkait dengan masalah kontrakmud }ârabah, oleh pihak yang melakukan kontrak (s }âh }ibul mâl/principal dengan mud }ârib/agents) akan dituangkan dalam bentukperjanjian kontrak atau akad. Hal ini dimaksudkan agar kontrak

19HR. Thabrani dari Ibnu Abbas20Muhammad, Teknik. . .

Page 57: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad52

Jurnal TSAQAFAH

dapat berjalan baik dan tidak ada pihak yang dirugikan. Kerugianbisa diderita oleh pemilik modal sebagai akibat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Hal demikianinilah yang disebut dengan moral hazard.

Reichelstein (1992) berpendapat bahwa masalah agensi akanmuncul ketika ada seorang principal menyewa seorang agent untukmengerjakan suatu pekerjaan, namun si agen tidak ikut memperolehbagian dari apa yang dia hasilkan.21 Sedangkan Stiglitz (1992) menge-mukakan bahwa masalah antara principal dan agent akan munculketika dalam hubungan antara principal dan agen tersebut terdapatimperfect information.22

Berdasarkan dua pendapat di atas, kontrak mud}ârabah dijalan-kan oleh bank syari’ah, merupakan suatu kontrak yang mengan-dung peluang besar terjadinya imperfect information, bila salah satupihak tidak jujur. Dengan kata lain, model kontrak mud }ârabah –dimungkinkan – sarat dengan terjadinya imperfect information dalamhubungan antara principal (s }âh }ibul mâl) dan agent (mud }ârib), makamuncullah masalah asymmetric information. Informasi asimetrikadalah kondisi yang menunjukkan sebagian investor mempunyaiinformasi dan yang lainnya tidak memilikinya.

Asymmetric information dapat terjadi berupa kegiatan maupuninformasi. Masalah yang berkaitan dengan kegiatan dinamakan hiddenaction, sedangkan masalah yang berkaitan dengan informasi disebuthidden information. Hidden action akan memunculkan moral hazarddan hidden information akan memunculkan adverse selection. Dengankata lain, Asimetrik informasi merupakan kondisi agent dalam kontrakkeuangan biasanya berbentuk moral hazard dan adverse selection.

Sehubungan dengan masalah adverse selection dan moralhazard, Sadr dan Iqbal mengatakan:

adverse selection terjadi pada kontrak utang ketika peminjam memilikikualitas yang tidak baik atas kredit di luar batas ketentuan tingkatkeuntungan tertentu, dan moral hazard terjadi ketika melakukan penyim-pangan atau menimbulkan risiko yang lebih besar dalam kontrak.23

21Stefan Reichelstein, “Agency”, dalam The New Palgrave Dictionary of Money andFinance, Vol. 2, 1992, h. 23-26.

22Stiglitz, E. Joseph, “Principal and Agent,” dalam The New Palgrave Dictionary ofMoney and Finance, Vol. 2, 1992, h. 185-190.

23Kazem Sadr and Zamir Iqbal, “Choice of Debt or Equity Contract and AsymmetricalInformation: An Empirical Evidence,” Conference Papers, Fourth International Conference on IslamicEconomics and Banking Loughborough University, UK, August 13-15, 2000, h. 487-499.

Page 58: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 53

Vol. 6, No. 1, April 2010

Dalam kontrak mud }ârabah, ketika proses produksi dimulai,maka agen menunjukkan etika baiknya atas tindakan yang telahdisepakati bersama. Namun setelah berjalan, muncul tindakan yangtidak terkendalikan, yaitu: moral hazard (tindakan yang tidak dapatdiamati) dan adverse selection (etika pengusaha yang secara melekattidak dapat diketahui oleh pemilik modal). Dari uraian ini, terlihatbahwa masalah informasi asimetrik adalah sangat berhubungandengan masalah keuangan atau investasi. Terlebih lagi jika dikaitkandengan kontrak keuangan mud }ârabah.

Hubungan antara informasi asimetrik dengan peluang investasipernah diteliti oleh Stephan Rass.24 Kemudian masalah ini dikaji olehsebagian kalangan dengan berbagai macam pendekatan yang dipilih.Sebagai contoh, Harris dan Raviv menguji masalah informasiasimetrik dengan agency model.25 Penelitian tentang masalah ini,menunjukkan adanya hubungan antara informasi asimetrik danmodel agensi dengan batas probabilitas (default probability) peluanginvestasi. Munculnya asymmetric information ini dapat mem-pengaruhi besar kecilnya pendapatan investasi yang diperoleh.

Tingkat adverse selection dan moral hazard berhubunganlangsung dengan tingkat informasi asimetrik dan ketidak lengkapanpasar. Sehubungan dengan itu, maka bank syari’ah harus memilikialat screening untuk mengurangi asymmetric information yang akanterjadi dalam pembiayaan mud }ârabah. Agar kontrak mud }ârabahdapat diminimalkan risikonya dan terjadi hasil maksimal, makapihak bank syari’ah – sebagai principal – perlu melakukan upaya-upaya pencegahan (adverse selection), misalnya melalui: screeningterhadap calon nasabah yang akan dibiayai, screening atas proyek;membuat kontrak yang lengkap (complete contract), misalnyatentang: jangka waktu, nisbah bagi hasil, jaminan. Sementara itu,untuk mencegah terjadinya moral hazard dalam kontrak mudhâ-rabah dapat dilakukan monitoring biaya dan proyek.

Hubungan principal-agent dalam kerangka mud }ârabah secarateoritik dibahas oleh Habib Ahmed (2000).26 Dalam hal ini Ahmed

24Stephen Ross, “The Determination of Financial Structure: The Incentive SignallingAproach,” Bell Journal of Economics, Vol. 8, h. 23-40

25Harri, Milton and Arthur Raviv, Capital Structure and Informational Role of Debt,”Journal of Finance, vol. 45, h. 321-49.

26Habib Ahmed (2000) dalam Muhammad, Konstruk Mud}arabah dalam Bisnis Syari’ah,(Yogyakarta: BPFE, 2005), h. 72.

Page 59: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad54

Jurnal TSAQAFAH

membahas tentang kurangnya informasi yang dimiliki oleh s }âh}ibulmâl atas mud }ârib. Oleh karena itu, indek dari kondisi advers selectionini adalah l (0 < l < 1), kemudian AS= 1/l. Sementara jika tidak terjadiadverse selection, yaitu l= 1, maka AS= 1. Dengan kata lain, jika lkecil, maka AS besar. Moral hazard akan terjadi ketika biaya yangdiharapkan terjadi dilaporkan tidak sebenarnya. Kondisi ini disim-bolkan oleh Ahmed sebagai berikut E(C

f) < E(C

t), ini adalah kondisi

keuntungan aktual lebih kecil dibandingkan dengan keuntunganyang diharapkan. Keadaan tersebut dapat dihindari jika dilakukanmelakukan audit pelaporan keuntungan.27

Moral hazard dapat terjadi dalam bentuk: penggunaan biayaproyek yang berlebihan, penahanan keuntungan yang akan dibagi-kan kepada pemilik modal, dan berbagai kecurangan yang dapatmengurangi laba atau aset perusahaan. Di antara fonomena-feno-mena tersebut menurut Arifin (2003) diakui sebagai fenomena yangmendorong munculnya teori agency.28

Pada prinsipnya, pengelolaan mud }ârabah dilakukan olehmud }ârib karena kerja tersebut adalah hak sekaligus kewajibanmud }ârib untuk dapat merealisasikan keuntungan. Dengan demikiantidak boleh dan tidak sah bagi s }âh }ibul mâl untuk mensyaratkansupaya ia memiliki hak dalam pengelolaan karena bertentangandengan hak mud }ârib.29 Dengan kata lain, kontrak mud }ârabah ada-lah kontrak antara pimilik modal dengan manajemen yang terpisahantara kedua pihak. Hal ini jika dikaitkan dengan pendekatan positiveagency-nya Jensen dan Meckling (1976) ada kemiripan. Dalam ana-lisis, Jensen dan Meckling, pendekatan tersebut dimunculkan karenamasalah agensi akan muncul dalam perusahaan yang terpisah antarakepemilikan dan manajemennya.

Tindakan-tindakan yang dilakukan s }âh }ibul mâl (principal’s)terhadap mud }ârib (agent’s) ataupun proyek untuk memperkecilmasalah agency, dalam teori keuangan dikenal dengan incentivecompatible constraints. Sehubungan dengan persoalan insentif, HabibAhmed (2000) menawarkan pendekatan pengontrolan variabel b

27Ibid28Zaenal Arifin, “Masalah Agensi dan Mekanisme Kontrol pada Perusahaan dengan

Struktur Kepemilikan Terkonsentrasi yang Dikontrol Keluarga: Bukti dari Perusahaan Publikdi Indonesia”, Disertasi, Tidak Dipublikasikan, Program Studi Ilmu Manajemen PS FaktultasEkonomi Universitas Indonesia, 2003

29Muhammad, Teknik. . . , h. 92

Page 60: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 55

Vol. 6, No. 1, April 2010

untuk mempengaruhi kemungkinan terjadinya moral hazard.Variabel b dapat terjadi karena exogenous atau endogenous. Adapunmodelnya adalah p*= s(y

a-y

rf)/[1. 5A + b( y

a-y

rf)-sy

rf]30

Pembahasan masalah kontrak dapat diidentifikasi tiga masalahpokok dalam kontrak mudhârabah, yaitu: (1) Idiosynchraticuncertainty (risk), (2) Extreme linearity, (3) Discretionary power.31

Dari tiga masalah pokok tersebut dapat dijelaskan sebagaiberikut: idiosyncratic uncertainty khususnya terjadi bagi bank. Kon-trak bagi hasil adalah kontrak yang tidak bisa dipastikan (uncertainty)pendapatannya. Uncertainty ini bersumber dari beberapa hal, antaralain: return bagi bank diasumsikan tergantung hanya kepada laporanaliran kas masa yang akan datang yang dihasilkan dari beroperasinyakemampuan mendatangkan keuntungan yang pada gilirannyasepenuhnya tergantung kepada keputusan investasi perusahaan yangdibuat oleh agen yang dihadirkan.

Gambaran kedua yang dapat timbul dalam kontrak mud }ârabahadalah extreme linearity (pembagian yang linear) antara reward danperformance proyek yang diusahakan, reward bagi pihak (agen)adalah berupa fungsi garis lurus hasil yang direalisasikan. Hasil akhiryang mungkin terjadi dan diharapkan lebih tergantung kepadatingkat keterampilan pengusaha dan tingkat usaha yang dilakukan,ditambah dengan menghindari (penggunaan) dana. Hal ini tidakhanya dapat diteliti oleh pihak bank, akan tetapi biayanya pun di-tanggung bersama secara proporsional, sementara manfaat yangdidapat dari pengecilan (kerja) dan dana hanya dinikmati oleh agen.

Penjelasan ketiga bahwa kontrak mud }ârabah adalah repre-sentasi kontrak discretionary power (investasi) karena agen padaawalnya mengontrol proyek dan menikmati hak untuk membuatkeputusan berkaitan dengan investasi dan distribusi arus kas. Halini menimbulkan discretion yang penuh atas aset kepada pengusaha,sama seperti yang dimiliki manajer pada proyeknya sendiri, tanpamenghadapi risiko kerugian secara keuangan. Berbeda denganmodal, di dalamnya tidak ada hak otomatis untuk membuat janjikepada dewan direksi dengan menggunakan kekuatan suara yang

30Ahmed dalam Muhammad, Konstruk…31Abdel-Fattah A. A. Khalil, Colin Rickwood, dan Victor Muride, (2000), “Agency

Contractual in Profit-Sharing Financing,” Islamic Finance: Challenges and Oportunities in TheTwenty-First Century, Conference Papers, Fourth International Conference on IslamicEconomic and Banking Loughborough University, UK, August 13-15, 2000.

Page 61: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad56

Jurnal TSAQAFAH

memungkinkan pemberi dana untuk meneliti usaha yang sedangberjalan. Dalam kondisi ini pengusaha dapat dikarakterisasi sebagaiagen yang discretionary, yang menghentikan kepemilikannya atasproyek dalam kaitannya dengan penghasilan, dapat bertindak dalamkepentingannya sendiri. Oleh karena itu kualitas personal (sepertikejujuran, kapabilitas dan lain-lain) dan berbagai karakteristikpengusaha tersebut diharapkan menjadi kriteria vital bagi kontraksemacam ini dalam pengontrolan dan pengurangan masalah-masalah agensi, seperti kebijakan investasi suboptimal dan motivasiuntuk lebih mengkonsumsi dana. Refleksi biaya agensi darigambaran yang penting ini adalah bahwa bank harus menunjukkanisu-isu fundamental mengenai pengusaha ini. Biaya-biaya mungkindikenakan untuk menilai secara akurat berbagai kualitas yang relevandari pengusaha yang mungkin berguna dalam pendirian strukturstimulus yang efisien dari pareto optimal kerjasama risk-sharing.

Analisis Efek Screening Atribut Mud}ârib dan Proyek TerhadapMasalah Agency dalam Pembiayaan Mud }ârabah

Penerapan kontrak mud}arabah membutuhkan tindakan-tindakan yang sangat teliti. Dalam kondisi demikian ini, penulis dapatmemberikan alasan bahwa pengusaha dapat dicirikan sebagai agentyang bebas dan dapat bertindak dengan sendirinya. Oleh karenaitu, kualitas dan karakteristik personal mud }ârib/pengusaha (agents)diharapkan menjadi kriteria penting untuk kontrak mud }ârabah.Selain itu juga kriteria proyek yang akan dibiayai.

Jika karakteristik ini dapat diwujudkan, maka dapat mengu-rangi timbulnya masalah-masalah agency, sehingga kebijakan in-vestasi mampu memberikan hasil yang optimal. Hubungan masalahagensi dengan karakteristik tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Atribut Proyek yang dijadikan pertimbangan dalam PembiayaanMud }ârabah

Khalil, Rickwood dan Murinde memberikan pertimbangan ke-pada bank untuk memasuki kontrak mudhârabah dengan mud }ârib.Bank harus memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhiterjadinya kontrak mud }ârabah. Proyek yang dapat dipertimbangkanuntuk dibiayai dengan mud }ârabah adalah proyek yang memiliki:profitabilitas proyek baik; variabilitas dan ketidakpastian hasil

Page 62: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 57

Vol. 6, No. 1, April 2010

rendah; risiko kerugian rendah; biaya untuk pemantauan usaharendah; tingkat pengembalian (return) baik; aturan pengawasanketat; proses akuntansi yang teliti; keadaan sosial dan lingkunganmendukung; jangka waktu kontrak pendek; posisi arus keuanganperusahaan baik; keamanan aset terjamin.32

Sementara penelitian Sumiyanto (2004) menyimpulkan bahwaciri-ciri atau karakteristik proyek yang diperhatikan s }âh }ibul mâl dalammelakukan kontrak mud }ârabah meliputi: proyek memiliki risikokegagalan minimal, menerapkan sistem akuntansi, memberikanreturn pasti, dan biaya pemantauan kecil.33

2. Atribut Mud}ârib yang dijadikan pertimbangan dalam PembiayaanMud }ârabah

Proyek mud }ârabah dijalankan oleh mud }ârib, ini berarti ke-dudukan mud }ârib adalah sebagai manajer proyek tersebut. Dalamhubungan ini Fama (1980) menyatakan bahwa masalah agensi akansangat berkurang dengan sendirinya, karena manajer akan dicatatkinerjanya oleh pasar manajer baik yang ada dalam perusahaansendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan.34 Lebih lanjutFama menjelaskan, bahwa lapisan manajer atas akan digantikan olehmanajer lapisan di bawahnya jika kinerjanya kurang memuaskan.35

Persaingan di pasar manajer ini akan memaksa manajer bertindaksebaik mungkin untuk kemajuan perusahaan. Namun mekanismepasar manajer ini tidak dapat sepenuhnya berjalan karena pasarmanajer bukan merupakan pasar yang sempurna.

Sementara dari hasil penelitian yang sama, menunjukkanvariabel-variabel penentu untuk menerima atau menolak mud }âribuntuk kontrak mud }ârabah adalah, karena: reputasi pengusaha;pengalaman dan kualifikasi pengusaha; ketundukan pengusaha padaajaran Islam; kesalahan pelaporan hasil yang dilakukan olehpengusaha; catatan keuangan pengusaha; tidak dapat meng-aksesinformasi.36

32Ibid., h. 64133Sumiyanto, Minat Manajer BMT dalam Pembiayaan Mud}arabah, Tesis, PS MSI

UII, 2004, h. 9734Fama (1980) dalam Zaenal Arifin, “Masalah Agensi. . .35Ibid., h. 2336Abdel-Fattah A. A. Khalil, Colin Rickwood, dan Victor Muride, (2000), “Agency

Contractual…, h. 641

Page 63: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad58

Jurnal TSAQAFAH

Senada dengan penelitian Khalil, Richwood dan Murinde,Sumiyanto (2004) menemukan atribut mud }ârib yang perlu diper-hatikan s }âh }ibul mâl untuk kontrak pembiayaan mud }ârabah, meli-puti: track-record yang baik, pengusaha memiliki keahlian, pengu-saha mampu mengoreksi risiko, dan pengusaha memiliki usahasendiri.37

Variabel-variabel di atas merupakan variabel yang secarabertingkat (rangking) dipertimbangkan oleh s }âh }ibul mâl atasmudharib dalam menjalankan kontrak mud }ârabah. Dengandemikian, jika s }âh }ibul mâl memperhatikan variabel-variabeltersebut, maka dapat ditemukan deteksi dini terhadap kontrakmud }ârabah yang akan dijalankan.

3. Mekanisme Screening untuk Minimalisasi Masalah Agencydalam dalam Kontrak Mud }ârabah

Kontrak bagi hasil (mud }ârabah), jika dihubungkan teori agency,maka ada persamaannya. Sehubungan dengan itu, Khalil, Rickwooddan Muride menjelaskan sebagai berikut:

In an agency theoritical framework, however, the ideal risk – and profit – sharingcontract relates to two parties who have identical probability beliefs with respectto the state of nature. One party is the insider (active) who is identified as theagent (entrepreneur); this party has knowledge about a risky profitable investmentproject which they wish to undertake, but they have zero initial funds to financeit. The outsider (passive) party is interpreted as the principal (bank), who providesthe full initial funds needed to establish the project. 38

Pihak pengusaha disebut insider, sementara pemberi modaladalah pihak outsider. Pihak insider diberikan hak aktif atas usaha,dan sebaliknya pihak outsider tidak. Hal ini akan berpengaruh ter-hadap hak kontrol terhadap aktivitas usaha. Dalam hal ini, lebihlanjut Khalil, Rickwood dan Muride menjelaskan:

The control rights of the project exercised by the agent are the right to makedecisions concerning investment and financial reporting, and to know more aboutthe probability distribution of the outcome of the project, given that these outcomesare unobservable by the principal. The bank can be viewed as a passive principalwith neither the capability to detect the agent’s core attribute (skills, abilities,

37Ibid.38Ibid.

Page 64: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 59

Vol. 6, No. 1, April 2010

honesty, faithfulness, etc. ) costlessly, nor with sufficient power to control theproject. In terms of the contract, the bank’s utility is represented in money only,whereas there is the inference that the agent’s rewards and costs are additivelywith respect to money and effort. The effort is not costlessly observable by thebank39

Hal itu juga yang dijadikan alasan bahwa kontrak mud }ârabahmenunjukkan suatu kekuatan kontrak untuk memilih (investasi),ketika pada awalnya agen mengontrol proyek dan menikmati hakuntuk membuat keputusan berkenaan dengan investasi dan distri-busi berdasarkan arus kas. Ini memberikan kebebasan secara penuhkepada pengusaha atas aset, untuk dikelola sendiri tanpa menang-gung risiko kerugian yang diakibatkan karena kerugian keuangan.

Namun demikian, secara umum ada beberapa perbedaanantara masalah kontrak mud }ârabah dengan kontrak agency. Dalampenelitian ini akan diidentifikasi tiga masalah pokok dalam kontrakmud }ârabah, yaitu: (1) Idiosynchratic uncertainty (risk), (2) Extremelinearity, (3) Discretionary power.40

Secara empirik hasil penelitian penulis menemukan keseimpu-lan sebagai berikut: (1) Pertimbangan praktis pelaku Bank Syari’ahatas proyek yang akan dibiayai dengan kontrak mud }ârabah adalahbahwa proyek memiliki: (a) tingkat kesehatan proyek, (b) jaminankesepakatan pembayaran, (c) prospek yang baik, (d) laporan ke-uangan proyek, (e) kejelasan perysaratan kontrak, (f) ketegasan waktukontrak; (2) Pertimbangan praktis pelaku Bank Syari’ah atas mud }âribyang akan dibiayai dengan kontrak mud }ârabah, adalah bahwamud}ârib memiliki: (a) kemampuan bisnis, (b) jaminan, (c) reputasimud}ârib, (d) asal-usul mud }ârib, dan (e) komitmen usaha; (3) Atributkesehatan proyek, prospek proyek, laporan keuangan proyek,persyaratan kontrak dan waktu kontrak merupakan atribut proyekyang dipertimbangkan oleh pelaku bank syari’ah yang dibiayaidengan pembiayaan mud }ârabah yang secara efektif dapat mem-perkecil munculnya masalah agency. (4) Atribut kemampuan bisnis,jaminan, reputasi mud }ârib, asal-usul mud }ârib, komitmen usahamerupakan atribut proyek yang dipertimbangkan oleh pelaku banksyari’ah yang dapat dibiayai dengan pembiayaan mud}ârabah yangsecara efektif dapat memperkecil munculnya masalah agency. (5)

39Ibid., h. 618-1940Ibid., h. 619

Page 65: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad60

Jurnal TSAQAFAH

Mekanisme penyeleksian atribut proyek dan atribut mud }ârib [(a)kempampuan bisnis mud }ârib, (b) reputasi mud }ârib, (c) komitmentusaha, (d) laporan keuangan proyek, dan (e) waktu kontrak] dapatmengurangi timbulnya masalah agency dalam kontrak mud }ârabahdi BPR Syari’ah.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa core productlembaga keuangan syari’ah adalah produk-produk yang berbasisbagi hasil. Oleh karena itu, pelaku bank syari’ah perlu meningkatkanporsi portofolio pembiayaan mud }ârabah, karena portofolio pem-biayaan tersebut masih rendah (17,4%). Peningkatan tersebut dimak-sudkan agar bank syari’ah memang benar-benar sesuai dengan ruhekonomi Islam dan sekaligus berbeda dengan bank konvensional.

Terbuka peluang dalam menerapkan skim pembiayaanmud }ârabah setelah praktisi bank syari’ah memahami (a) atributproyek yang akan dibiayai, (b) atribut mud }ârib yang akan dibiayai,sehingga dana bank yang disalurkan untuk pembiayaan mud }ârabahdapat tepat sasaran.

Pihak-pihak terkait, seperti: ulama, dosen, perlu membantuproses sosialisasi tentang sistem dan mekanisme pembiayaanmud }ârabah kepada masyarakat, sehingga masyarakat benar-benarmemahami tata cara menjalankan kontrak perjanjian pembiayaanmud }ârabah.

Pihak Direktorat Perbankan Syari’ah – Bank Indonesia (atauotoritas terkait) perlu melengkapi infrastruktur bagi berjalannya skimmudhârabah, misalnya dalam bentuk standarisasi akad, aturan danpetunjuk pelaksanaan pembiayaan mud }ârabah yang tidakmenyulitkan para pelaku pembiayaan mud }ârabah di bank syari’ah.[]

Daftar Pustaka

Abidin, Ibnu, al-Radd al-Mukhtâr alâ al-Durr al-Mukhtâr, Juz IV,(Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1987)

Ad-Dasuqi, Hasyiyat al-Dasu >qi ala al-Syarhi al-Kabir, Juz III, (Beirut:Dar al-Fikr, 1989)

Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, (Beirut: Daral-Fikr, 1990)

Page 66: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 61

Vol. 6, No. 1, April 2010

Al-Kasani, Bada’i’ al-S }ana’i’ fi Tartibi al-Syarâ’i’, Juz. VI, (Beirut: Daral-Fikr, 1996)

al-Mishri, Rafiq Yunus, Al-Jami’ fi Us }ul al-Ribâ, cet. I, (Damsyiq:Dar al-Qalam dan Beirut: al-Dar al-Syamiyah, 1991)

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syari’ah: Teori dan Praktek, (Jakarta: GemaInsani Press, 2001)

Arifin, Zaenal, “Masalah Agensi dan Mekanisme Kontrol padaPerusahaan dengan Struktur Kepemilikan Terkonsentrasi yangDikontrol Keluarga: Bukti dari Perusahaan Publik diIndonesia”, Disertasi, Tidak Dipublikasikan, Program StudiIlmu Manajemen PPS Faktultas Ekonomi UniversitasIndonesia, 2003

Jensen, C. Michael dan W. H. Mechkling, “Theory of the Firm:managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”,Journal of Fiancial Economics, No. 3, 1976.

Jensen, C. Michael, “Agency Cost of Free Cash Flow, CorporateFinance, and Takeover”, American Economic Review, Vol. 76,No. 2, May, 1989

Karim, Adiwarman A. , “Incentive Compatible Constrains for Islamic:Banking Some Leassons From Bank Muamalat”, ConferencePapers, Fourth International Conference on Islamic Economicsand Banking Loughborough University, UK, August 13-15,2000, pp. 579-598.

Karim, Adiwarman A., “Perbankan Syari’ah: Peluang, Tantangan danStrategi Pengembangan,” Orientasi, Jurnal Agama, Filsafat danSosial, Edisi 3, Tahun III, April 2001.

Khalil, Abdel-Fattah A. A., Colin Rickwood, dan Victor Muride,(2000), “Agency Contractual in Profit-Sharing Financing,”Islamic Finance: Challenges and Opportunities in The Twenty-First Century, Conference Papers, Fourth InternationalConference on Islamic Economic and Banking LoughboroughUniversity, UK, August 13-15, 2000.

Khoiruddin, Moh., “Upaya Meminimumkan Agency Problemdengan Menggunakan Konsep Islam tentang Perusahaan”,Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi Kompetensi, Vol 2,No. 1, Juni 2004, Fakultas Ekonomi Universitas CokroaminotoYogyakarta.

Page 67: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Muhamad62

Jurnal TSAQAFAH

Kim, Saeng Wi and Eric Sorensen, “Evidence on the Impact of theAgency Cost of Debt on Corporate Debt Policy”, JournalFinancial and Quantitative Analysis, Vol. 21, No. 2., pp. 131-144.

Kuran, Timur, “The Economic System in Contemporary IslamicThought: Interpretation and Assesment”, International Journalof Meddle East Studies 18, Vol. 2, No. 1, 1986, pp. 135-164.

Lewis, Mervyn dan Latifa al-Gqoud, Islamic Banking: Principles,Practis and Prospect, (Massacusetts: Edward Elgar, 2001)

Mallat, Chibli (ed. ). Islamic Law and Finance, (London-Dordrecht-Boston: Graham and Trotman, 1988)

Muhamad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2002)

Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah,(Yogyakarta: UII Press, 2001)

Muhammad, Konstruk Mudhârabah dalam Bisnis Syari’ah,(Yogyakarta: BPFE, 2002)

Naqvi, Syed Nawab Heidar, Islam, Economics, and Society, (Londonand New York: Kegan Paul International, 1994)

Presley, JR. & Sessions, JG. “Islamic Economic: The Emergence of aNew Paradigm,” The Economic Journal, Vol 104, pp. 584-596

Presley, JR. Dan Muhammad Abalkhail, “How to Manag InformationAsymmetric Risk in the Profit and Loss Sharing,” ConferencePapers, Fourth International Conference on Islamic Economicsand Banking Loughborough University, UK, September 13-15, 2002, pp. 487-499.

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni ‘alâ al-Syarh } al-Kabi >r, vol. V, Mesir: al-Manar, 1347 H

Reichelstein, Stefan, “Agency”, dalam The New Palgrave Dictionaryof Money and Finance, Vol. 2, 1992, p. 23-26.

Ross, Stephen, “The Determination of Financial Structure: TheIncentive Signalling Approach,” Bell Journal of Economics, Vol.8, pp. 23-40

Sadr, Kazem and Zamir Iqbal, “Choice of Debt or Equity Contractand Asymmetrical Information: An Empirical Evidence,”

Page 68: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Minimalisasi Masalah Agency melalui Screening Adverse Selection 63

Vol. 6, No. 1, April 2010

Conference Papers, Fourth International Conference on IslamicEconomics and Banking Loughborough University, UK, August13-15, 2000, pp. 487-499.

Sadr, Kazim, “The Role of Musharakah Financing in the AgriculturalBank of Iran,” Arab Law Quarterly, pp. 245-56.

Saeed, Abdullah, Islamic Banking and Interest: A Study of theProhibition of Riba and its Contemporary Interpretation. )Leiden-New York-Kohl: E. J. Brill, 1996)

Stiglitz, E. Joseph, “Principal and Agent,” dalam The New PalgraveDictionary of Money and Finance, Vol. 2, 1992, p. 185-190.

Udovitch, Abraham L. , Partnership and Profit in Medival Islam, (NewJersey: Princeton University Press, 1970)

Warde, Ibrahim, “The Revitalization of Islamic Profit-and-lossSharing,” Proceeding of the The Harvard University Forum onIslamic Finance, Oktober 1, Cambridge: Harvard IslamicFinance Information Program Centre for Middle EasterStudies, 1999.

Warde, Ibrahim, Islamic Finance in Global Economy, (Edinburgh:Edinburgh University Press, 1999)

Weiss, Dieter, “The Struggle for a Viable Islamic Economy”, TheMuslim World, Vol. 79, 1989, pp. 46-58.

Page 69: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Proses Pengambilan Keputusan dalamPerspektif Ibn Taimiyyah

Shobahussurur*Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstract

An important problem in the discourse of Islamic political study is theproblem of decision-making process within the political order of a country.Does Islam follow a view of absolutism in the decision making process. Howdoes representative institutions decision become a constitutional decision. Whatis the form of consultation can be done to get the best decision. Almost allforms of Islamic political thought agree to make syûrâ (consultation system,consulting) as a tool to create a state decision. Yet, the debate is on the problemsthat can be decided or determined through the mechanism of the syûrâ. ForIbn Taymiyyah, people are the main owners of state power. Determination ofchoice for power players and the way of power are completely in the hands ofthe people. They are the owners of the leadership in general. They are entitledto elect and dismiss the leader, as they also decide the broad outlines of statepolicy that must be done by him. Moreover, the authority outlines is not on theleader, but on the whole people. However, the syûrâ is not like the promotedWestern liberal democracy. It has its characteristics, traits and principles.

Keywords: Syûrâ, ijma’ qat}’i, ijma’ z}anni, ahl al-Syawkah, demokrasi Barat

Pendahuluan

Bagaimana lembaga perwakilan mengambil keputusan hinggamenjadi sebuah keputusan konstitutional? Baik pemikiranSunni maupun Syi’ah sependapat menjadikan syûrâ (sistem

musyawarah, konsultasi) sebagai perangkat untuk membuat sebuah

*FISIP dan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Telp.021- 7401925,

Page 70: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur66

Jurnal TSAQAFAH

keputusan-keputusan kenegaraan oleh ahl al-h}all wa al-’aqd. Hanyasaja antara Sunni dan Syi’ah berbeda pandangan tentang masalahyang dapat diputuskan atau ditentukan melalui mekanisme syûratersebut. Masalah pemilihan kepala negara, umpamanya, dalampandangan Sunni harus ditempuh melalui jalan syûrâ hingga sampaipada kata putus melalui ijmâ’ (konsensus), tapi dalam pandanganSyi’ah masalah penentuan kepala negara (imâm) tidak dapat dilaku-kan melalui syûrâ. Imâm ditunjuk berdasarkan nash (penunjukkanatau wasiat) dari imâm sebelumnya.

Yang menjadi titik tolak kritik Ibn Taimiyyah berkaitan denganproses pengambilan keputusan adalah adanya kekuasaan yangcenderung absolut yang pada gilirannya menolak segala bentukkonsultasi, kemudian memaksakan keputusan-keputasan yang tidakdihasilkan dari musyawarah yang murni. Lembaga Ahl H}all wa al-’Aqd yang dianggap sebagai lembaga yang memberi kata putus dalampenentuan kepala negara, melalui proses bai’at,1 seringkali membuatkeputusan yang tidak memihak rakyat, bahkan seringkali merugikanmereka. Hal itu bukan saja karena orang-orang yang duduk di situtidak mencerminkan wakil umat, tapi tidak jarang pembentukannyahanya fiktif belaka guna melegalisasi sebuah kediktatoran penguasa.2

Sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan merupakan“pesanan” dari pihak penguasa. Penjelasan al-Mâwardî bahwa bai’atsudah dianggap sah walau hanya dilakukan satu orang,3 bisamengarah pada praktik suksesi turun temurun, dan dapat membukapeluang terjadinya bai’at lain dari para pembangkang. Itulah yangterjadi pada masa kemunduran dinasti Banî Abbâs, di mana khalifah-khalifah silih berganti naik dan turun, karena keanggotaan ahl al-h }all wa al-’aqd yang tidak jelas itu.

Maka Ibn Taimiyyah mengkritik lembaga tersebut sebagaitidak mempraktikkan prinsip syûrâ (musyawarah). Mestinya, dalammengambil keputusan itu, konsep syûrâ tidak dilakukan melaluikeputusan orang-orang tertentu yang tidak mewakili rakyat. Ke-putusan yang diambil mestinya melalui ijmâ’ dalam arti sesungguh-nya, yaitu dengan cara melibatkan semua lapisan masyarakat yangdiwakili oleh Ahl al-Syawkah. Mereka adalah orang-orang yangmempunyai qudrah (kekuatan) dan sult }ân (kekuasaan) di dalam

1 al-Mâwardî, Kitâb al-Ah}kâm al-Sult }âniyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6-7.2 Henry Laoust, Nad }ariyât Syeikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, h. 285.3 al-Mâwardî, Kitâb al-Ah }kâm…, h. 7

Page 71: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 67

Vol. 6, No. 1, April 2010

masyarakat, yang tanpa memandang profesi dan kedudukan,mereka ditaati dan dihormati masyarakat. Hanya orang-orang itulahyang seharusnya berhak mengambil keputusan melalui syûrâ itu.4

Ibn Taimiyyah mengkritik pandangan Syi’ah tentang imâmahyang tidak terjamah oleh syûrâ, dan pandangan Sunni tradisionalyang membatasi syûrâ hanya menjadi hak sekelompok kecil ahl al-hall wa al-’aqd yang tidak berbentuk itu.5 Karena masalah negaraadalah masalah bersama seluruh rakyat, maka dalam mengambilkeputusan harus dilakukan berdasarkan syûrâ oleh orang-orangkredibel yang disebut dengan ahl al-syawkah. Kebersamaan seluruhrakyat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan merekauntuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik.Maka keputusan akhirnya, semestinya merupakan konsensus darimereka. Keputusan-keputusan yang dilakukan sepihak merupakansuatu kezaliman yang akan menghancurkan sistem pemerintahandan pada gilirannya akan merusak negara itu sendiri.

Penerapan Konsensus

Keputusan-keputusan itu adalah merupakan ijmâ’ (konsensus)hasil dari musyawarah, dan tidak merupakan rekayasa sepihakuntuk menguntungkan kepentingan tertentu. Ibn Taimiyyah men-definisikan ijmâ’ sebagai suatu proses yang mendorong ulama untukbermusyawarah dalam rangka menghasilkan sebuah kesepakatanatau aturan yang bulat.6 Dia membagi ijmâ’ menjadi dua macam,yaitu: ijmâ’ qat}’î dan ijmâ’ z}annî. Yang dimaksud dengan ijmâ’ qat }’îadalah ijmâ’ yang dinukilkan secara mutawâtir baik ucapan atauperbuatan, atau dengan kata lain, ijmâ’ qat}’î adalah ijmâ’ yang sudahdipastikan tidak ada yang menyalahi, dan keberadaannya disandar-kan kepada nash al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan ijmâ’ z }annîadalah ijmâ’ yang belum atau tidak dapat dipastikan bahwa di sanaada kemungkinan pendapat lain yang menyalahi ijmâ’ itu. Ijmâ’

4Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah, juz 1, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t.), h. 141.

5Ibid, h. 116.6 Ibn Taimiyyah memberikan definisi ijmâ’ itu sebagai berikut:

“Pengertian ijmâ’ adalah kesepakatan para ulama kaum muslimin mengenai suatuhukum dari beberapa hukum”. Lihat al-’Ashimî, Majmu’ Fatâwâ, juz 1, h. 406.

Page 72: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur68

Jurnal TSAQAFAH

seperti itu sering pula disebut dengan ijmâ’ iqrârî atau ijmâ’ istiqrâ’î.7

Para ulama dianggap sebagai figur yang mewakili umat yang tidakbersalah, dan oleh karenanya apabila ada ijmâ’ qat }’î yang telahditetapkan terhadap suatu hukum atau masalah, demikian menurutIbn Taimiyyah, maka tidak boleh ada seorangpun yang keluarmeninggalkan atau menentang keputusan mereka itu.8 Orang-orangyang keluar atau menentang ijmâ’ (konsensus) dianggap sebagaiorang yang menempuh jalan selain jalan orang-orang yang berimanyang dicela Allah.9

Meskipun demikian Ibn Taimiyyah memberikan persyaratanketat dalam menerima ijmâ’ sebagai dasar hukum. Di antara per-syaratan ketat itu adalah bahwa ijmâ’ harus benar-benar merupakankesepakatan seluruh ulama dalam masa tertentu, dan tidakmemandang cukup kuat suatu ijmâ’ yang hanya didasarkan padakesepakatan sebagian ulama tanpa disetujui oleh sebagian ulamalain. Bahkan kesepakatan para ulama seperti al-fuqahâ’ al-arba’ahsekalipun bukan merupakan sebuah kesepakatan mengikat danbukan pula ijmâ’ dengan kesepakatan kaum muslimin.10

Ibn Taimiyyah memberi batasan terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh ahl al-syawkah melalui musyawarah.Ada masalah-masalah yang tidak dapat diputuskan melaluikonsultasi, yaitu masalah yang sudah secara tegas dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah sebagai ajaran dasar (baca, qat}’î). Sedangkanajaran bukan dasar (baca, z }annî), sebagaimana yang dicontohkan

7 al-’Ashimî, Majmu’ Fatâwâ, juz 19, (Riyâdh: Idârât al-Buhûts al-Ilmiyyah wa al-Iftâ’wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1398 H), h. 267.

8 al-’Ashimî, Majmu’ Fatâwâ, juz 1, (Riyâdh: Idârât al-Buhûts al-Ilmiyyah wa al-Iftâ’wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1398 H), h. 406. Lihat juga ‘Adnân al-Khathîb, “al-Fikr al-Qânûnî‘ind Ibn Taimiyyah”, dalam Muhammad Abu Zahrah, Usbû’ al-Fiqh, (Kairo: t.t.), h. 890.

9 Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, kenapa ijmâ’ dijadikan sebagai dasar hukumsetelah al-Quran dan al-Sunnah, karena ummat Islam tidak mungkin menyepakati suatu urusanatas dasar kesesatan. Alasannya, ummat Islam adalah khair ummah (ummat terbaik) yangdilahirkan di tengah-tengah ummat manusia agar memerintah mereka untuk berbuat yangma’ruf dan mencegah dari kemungkaran (Q.S. Ali Imrân/3: 110). Di samping itu, ummatIslam merupakan ummatan wasat }an (ummat tengah, Q.S. al-Baqarah/2: 143) yang berartiummat yang adil, terpilih, dan terbaik untuk selamanya. Mereka itu adalah para saksi (syuhadâ’)bagi ummat manusia (Q.S. al-Baqarah/2: 143). Oleh karenanya, keputusan yang disepakatimereka adalah merupakan keputusan terbaik. Penentangan terhadap keputusan itu berartimenentang jalan yang ditempuh orang-orang yang beriman sebagaimana disebutkan dalamQ.S. al-Nisâ’/4: 115. Lihat Ibn Taimiyyah, Ma’arij al-Wushûl ilâ Ma’rifah anna Us }ûl al-Dînwa Furû’ahâ qad Bayyanahâ al-Rasûl, (t.p., t.t, 1318 H), h. 17-18 dan 30-31.

10al-’Ashimî, Majmu’ Fatâwâ..., juz 1, h. 406.

Page 73: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 69

Vol. 6, No. 1, April 2010

oleh Rasulullah SAW., Ibn Taimiyyah menegaskan tentang perlunyasyûrâ.11 Menyangkut masalah ketatanegaraan, Islam tidak mengatur-nya sebagai ajaran qat }’î. Al-Quran maupun al-Sunnah hanya men-jelaskan prinsip-prinsip dasar dalam bernegara. Oleh karena itu peranijtihad menjadi sangat dominan, dan dalam sudut pandang sepertiinilah Ibn Taimiyyah memberikan pandangannya tentang negara.Bagi Ibn Taimiyyah keberadaan negara dibutuhkan oleh umat secararasional dan agama, maka penentuan pemimpin, bentuk dan kons-titusi negara itu harus ditentukan oleh hasil konsultasi (musyawarah)umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan. Mereka harusmemberikan keputusan-keputusan berdasarkan pada prinsip syûrâdalam menata problematika kehidupan rakyat. Karena dalam panda-ngan Ibn Taimiyyah, konstitusi negara harus berdasarkan Syari’ahyang meliputi ajaran-ajaran dasar (qat }’î) dan bukan dasar (z }annî),maka peran ulama menjadi sangat penting. Mereka bergabungdalam wadah ahl al-syawkah untuk menerjemahkan Syari’ahtersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yangdikehendaki Syari’ah dan kemudian dapat diaplikasikan dalamkehidupan bernegara.12 Seorang pemimpin negara, selain menerimapendapat dari para ulama, harus menerima pendapat wakil-wakilrakyat yang mempunyai otoritas dari semua kelas-kelas masyarakatyang berkepentingan, dan dari semua orang yang sanggupmemberikan pendapat.13

Jadi Ibn Taimiyyah menghendaki agar pengambilan keputusanitu tidak saja dengan menggunakan mekanisme yang benar, yaitumenggunakan prinsip syûrâ, tapi juga harus dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas di bidangnya, dan merepresentasikan per-wakilan yang sesungguhnya. Keputusan juga hendaklah merupakansebuah konsensus (ijmâ’) dari mereka itu. Hanya saja dalammengambil keputusan, haruskah yang diikuti itu merupakan suaramayoritas?. Tidak selalu demikian. Memang Ibn Taimiyyah setujubahwa secara umum suara terbanyak itulah yang menjadi standarkeputusan musyawarah, sepanjang tidak bertentangan dengan nash

11 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Is }lâh al-Râ’î wa al-Ra’iyyah, (Beirut:Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1988)h. 136.

12 Lihat Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al- Nabawiyah fî Naqdhi Kalâm al-Syî’ahwa al-Qadariyyah, juz 1 (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t.), h. 141; Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah..., h. 138; dan al-’Ashimî, Majmu’ Fatâwâ..., juz 28, h. 287.

13 Henry Laoust, Naz }ariyât Syeikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, h. 302.

Page 74: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur70

Jurnal TSAQAFAH

al-Quran dan al-Sunah.14 Dengan demikian, hasil musyawarah ahlal-hall wa al-’aqd tidak sekadar dilegalkan melalui suara mayoritas,tapi juga terikat dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Syura dan Demokrasi Barat

Inilah yang tampaknya membedakan antara syûrâ dengandemokrasi Barat, meskipun para pemikir politik Islam moderensering mengidentikkan syûrâ dengan demokrasi. Dalam demokrasiBarat landasan filosofinya adalah kedaulatan rakyat. Kekuasaanmutlak legislasi berada di tangan rakyat. Pembuatan undang-undangmerupakan hak prerogatif mereka dan harus sejalan dengan ke-hendak mereka. Bila sebuah undang-undang diinginkan oleh mayo-ritas rakyat, maka undang-undang itu harus disahkan, meskipundilihat dari sisi moral dan agama undang-undang itu sangat jahatsekalipun. Begitu pula sebaliknya, sebaik dan seadil apapun suatuperaturan, kalau tidak dikehendaki oleh mayoritas rakyat, makaperaturan itu harus dihilangkan. Hal itu tentu berbeda dengankonsep syûrâ dalam Islam. Dalam syûrâ tidak sekadar memperhati-kan keinginan dan keputusan mayoritas ummat, tetapi terlebihdahulu memperhatikan pedoman wahyu Allah tentang suatumasalah yang akan diterima untuk diundangkan atau ditolak.

Javid Iqbal lebih jauh menjelaskan bahwa metode demokratisyang digunakan di beberapa negara muslim sebagai akibat daripengaruh Barat bukanlah metode yang sempurna. Sebab, semestinyanegara Islam itu dipimpin oleh para pemuka masyarakat terbaik.Sedangkan metode demokratis, meskipun digunakan beberapanegara Barat untuk mencapai tujuan sama, biasanya tidak menjamindapat dipilih orang-orang terbaik, karena yang menentukan adalahjumlah suara. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dialah yangakan dipilih sebagai penguasa. Demikian pula, suara bukanlahpengganti bai’at, karena suara tidak melibatkan kewajiban, berbedajauh bai’at. Dalam Islam tidak ada kewajiban mengikuti dan menaatimayoritas, karena hak mayoritas tidak dikenal dalam Islam. Dengandemikian, Iqbal berpendapat, dan itu sesuai dengan pemahamanIbn Taimiyyah, bahwa negara Islam adalah negara yang menjunjung

14 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah..., h. 136. Dikutip pula Q.S. al-Nisâ’/4:59.

Page 75: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 71

Vol. 6, No. 1, April 2010

tinggi Syarî’ah sebagai landasan hukumnya.15

Prinsip Syûrâ

Di dalam al-Quran, ada dua ayat yang menyerukan umat Islamuntuk bermusyawarah, yaitu Q.S. ‘Alî Imrân/3: 15916 dan Q.S. al-Syûrâ/42: 38.17 Dalam ayat yang pertama, keharusan musyawarahbukan saja antar umat Islam, tapi keharusan bermusyawarah(berdialog) juga dianjurkan dengan orang-orang di luar umat Islam.Umat Islam disuruh bersikap lemah lembut dan mengembangkaniklim dialog, dan dilarang bersikap kasar. Hal itu, menurut ‘AbdAllâh Yûsuf ‘Alî, menunjukkan bahwa Islam adalah a mercy to allcreation (rahmat bagi alam semesta) karena di saat umat Islam kalahdalam perang Uhud, mereka justru disuruh bersikap lemah lembutdan bermusyawarah.18 Ayat kedua, kata-kata “syûrâ” disebutkanbersamaan dengan kepatuhan shalat dan infaq yang berarti bahwamusyawarah termasuk salah satu tanda orang yang beriman.Konsultasi (consultation), sebagai kata kunci bagi “syûrâ”, kata ‘AbdAllâh Yûsuf ‘Alî, merupakan prinsip yang sepenuhnya dilaksanakanoleh Rasulullah SAW. dan orang-orang Islam awal (shahabat) dalamkehidupan individu dan masyarakat. Syûrâ yang belakangandijadikan salah satu prinsip dalam kehidupan bernegara, merupakan

15 Hakim Javid Iqbal, “Konsep Negara Dalam Islam”, dalam Mumtaz Ahmad (ed.),Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. 68-69.

16 Bunyi ayat tersebut:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri darisekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahkan dengan mereka dalamurusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepadaAllah. Sesungguhnya Allah menyukai oang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Q.S.‘Alî Imrân/3: 159. Lihat Quran dan Terjemahnya, h. 103.

17Bunyi ayat tersebut:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikanshalat, sedng urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan merekamenafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka”. Q.S. al-Syûrâ/42: 38.

18‘Abd Allâh Yûsuf ‘Alî, The Holy Qur-ân, English Translation of The Meanings andCommentary (Riyadh: The Precidency of Islamic Researches, Ifta, Call and Guidance, 1410H), h. 189.

Page 76: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur72

Jurnal TSAQAFAH

cara ideal yang mesti dilakukan setiap orang agar tidak bersikapsombong dan tidak melepaskan tanggung jawab.19

Terhadap ayat-ayat di atas, Ibn Taimiyyah melihat bahwa pe-rintah kepada Rasulullah SAW. dalam ayat-ayat tersebut dimaksud-kan agar umat Islam mengambil suri tauladan dari beliau dalamproses pengambilan keputusan sebagai bagian dari tugas ke-agamaan.20 Sebagai suatu proses, konsep konsultasi Ibn Taimiyyah,merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari keseluruhanpemikirannya tentang sistem kekuasaan negara, terutama yangberkaitan dengan konsep umat dan bai’at.21

Sejalan dengan pendapat mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ibn Taimiyyah memandang bahwa umat adalah pemilikutama kekuasaan negara. Penentuan pilihan terhadap pelakukekuasaan dan jalannya kekuasaan, sepenuhnya berada di tanganumat. Mereka adalah pemilik kepemimpinan secara umum. Merekaberhak memilih dan memberhentikan pemimpin, sebagaimanamereka pula yang menentukan garis-garis besar haluan negara yangmesti dilaksanakan pemimpin. Garis-garis otoritas bukan padaseorang pemimpin, tapi pada umat.22 Ibn Taimiyyah menyatakan:

“Kami tidak menerima bahwa tanggung jawab memelihara Syari’ahhanya dibebankan kepada seorang imam. Sesungguhnya umat secarakeseluruhan yang bertanggung jawab memelihara Syarî’ah. Syari’ahyang dipelihara seluruh umat akan lebih baik dari pada hanyadibebankan pemeliharannya kepada satu orang pemimpin”.23

19 ‘Abd Allâh Yûsuf ‘Alî, The Holy Qur-ân, h. 1487.20 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah…, h. 36.21 Bai’at adalah aksi penerimaan yang dilakukan oleh tokoh terkemuka secara umum,

atas nama seluruh komunitas masyarakat. Ia merupakan suatu kontrak perjanjian antara pimpinandan masyarakat yang dilakukan oleh tokoh-tokoh terkemuka umat, atau oleh salah seorangtokoh paling terhormat dari umat tersebut. Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture ofIslam, vol 2 (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), h. 348. Bandingkan konsepbai’at tersebut dengan kontrak sosial (social contract) yang didefinisikan sebagai suatu perjanjianantara beberapa individu, atau antara individu-individu dengan penguasa, di mana beberapakebebasan pribadi secara bebas diserahkan guna memperoleh keuntungan dari adanya suatumasyarkat yang terorganisir baik, atau dari adanya suatu pemerintahan yang baik. LihatAntony Flew, A Dictionary of Philosophy (New York: St. Martin’s Press, 1984), h. 328. Lihatjuga Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 1992), h. 28.

22 Lihat al-Dzahabî, al-Hâfizh Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ibn ‘Utsmân, al-Muntaqâ(Fusthâth: Maktabah Dâr al-Bayân, 1374 H), h. 261, 415, 416. Lihat juga Ibn Taimiyyah,Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah..., juz 3, h. 116.

23 Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah..., juz 3, h. 270.

Page 77: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 73

Vol. 6, No. 1, April 2010

Di dalam tubuh umat terdapat berbagai unsur yang salingterkait sebagai sebuah kesatuan organis. Kesatuan itu direkat olehrasa sodilaritas yang tinggi yang digambarkan oleh Rasulullah SAW.sebagai suatu kesatuan tubuh atau bangunan.24 Keputusan-keputu-san, termasuk masalah kepemimpinan negara yang ditetapkan olehkesatuan umat itu sebagai suatu konsensus (ijmâ’) adalah merupakankeputusan-keputusan terbaik yang harus ditaati oleh seluruh lapisanmasyarakat. al-Quran sendiri memberi gelar umat ini sebagai “khairaummah (sebaik-baik umat)”,25 di mana Nabi berkata: “Sesungguhnyakebaikan, petunjuk dan rahmat bersama jamâ’ah, dan sesungguhnyaAllah tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan”. Di dalam umatini selalu ada kelompok yang menampakkan kebenaran (al-haq) yangtidak bisa dirusak oleh siapa saja yang menentang atau menghina.26

Logika yang dikedepankan Ibn Taimiyyah berkenaan dengankeabsahan ijmâ’ sebagai suatu kebenaran adalah bahwa ketaatanmutlak itu hanya kepada Allah dan hukum itu hanya hukum Allah.Mentaati Rasul itu wajib, karena taat kepadanya berarti taat kepadaAllah. Mentaati orang-orang mukmin itu wajib, karena mentaatimereka berarti mentaati Allah dan Rasul-Nya. Berhukum kepadaRasul itu wajib, karena hukum yang ditetapkan adalah hukum Allah.Begitu pula hukum yang ditetapkan umat adalah hukum Allah, olehkarena itu wajib ditaati.27 Dalam ijmâ’ inilah prinsip musyawarahdikembangkan, yaitu bahwa semua permasalahan umat ditentukanbersama oleh umat.

Dalam praktik kenegaraan, sebagaimana konsep yang diajukanMuhammad Iqbal (1873-1938), ijma’ merupakan hasil ijtihadbersama para ulama yang forumnya dapat dilembagakan menjadisebuah lembaga legislatif (lembaga pembuat undang-undang).28 Darilembaga tersebut negara memproses setiap undang-undang untukditetapkan sebagai undang-undang negara.

24 Rasulullah bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling cinta dankasih sayangnya ibarat tubuh. Bila salah satu anggota tubuh itu ada yang sakit, maka seluruhtubuh turut merasakan sakit dengan demam dan sulit tidur”. Sabdanya pula: “Seorang mukminterhadap mukmin yang lain bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan antara yangsatu dengan yang lain. Hadits dikutip dalam Ibn Taimiyyah, al-’Aqîdah al-Wâsithiyyah (Riyâdh:Mathbû’ât Sa’ad al-Râsyid, t.t.), h. 29.

25 Q.S. ‘Alî Imrân/3: 110.26 Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah..., juz 4, h. 235-23627 Ibid., h. 233.28 Lihat Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New

Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 173-176.

Page 78: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur74

Jurnal TSAQAFAH

Dalam teori khilafah klasik, suara umat diwakili oleh suatulembaga yang disebut dengan Ahl H}all wa al-’Aqd (para pemegangkekuatan tertinggi untuk mengikat dan melepaskan). Lembaga initidak dikenal pada awal sejarah Islam dan baru populer lama setelahDaulat Bani Abbas berkuasa. Seorang baru dianggap sah menjadipemimpin (imâm) bila ditetapkan oleh lembaga ini melalui prosesbai’at.29 Meskipun konsep lembaga Ahl H }ill wa al-’Aqd dimaksudkanmewakili mayoritas umat, tapi sulit bisa diperbandingkan dengansebuah parlemen dalam suatu negara modern. Hal itu bukan sajakarena orang-orang yang duduk di situ tidak mencerminkan wakilumat, tapi tidak jarang pembentukannya hanya fiktif belaka gunamelegalisasi sebuah kediktatoran penguasa.30 Penjelasan al-Mâwardîbahwa bai’at sudah dianggap sah walau hanya dilakukan satu orang,31

dapat mengarah pada praktik suksesi turun temurun, dan dapatmembuka peluang terjadinya bai’at lain dari para pembangkang.

Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah mengkritik lembaga ini sebagaitidak mempraktikkan prinsip musyawarah. Lembaga Ahl H }ill waal-’Aqd yang bersifat elitis dan hanya terdiri dari para ulama terbatas,tidak bisa mewakili umat. Dalam pemilihan seorang pemimpin,konsep syûrâ harus dijalankan bukan melalui ijmâ’ sekelompoktertentu, tapi harus melibatkan semua lapisan masyarakat yangdiwakili oleh Ahl al-Syawkah. Ahl al-Syawkah adalah orang-orangyang mempunyai qudrah (kekuatan) dan sult }âh (kekuasaan) didalam masyarakat, yang tanpa memandang profesi dan kedudukan,mereka ditaati dan dihormati masyarakat. Bagi Ibn Taimiyyah, karenaimâmah hanya terwujud berkat adanya kekuatan dan otoritas, makabai’at harus dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kekuatandan otoritas itu, yaitu Ahl al-Syawkah.32

Secara riilnya, Ahl al-Syawkah itu terdiri dari para ‘ulamâ danumarâ’. Ulama harus dipahami dalam pengertian yang luas, yaitusetiap orang yang karena ilmu pengetahuan dan pendidikannya,mampu menerjemahkan Syari’ah secara tepat.33 Ulama bukan saja

29 al-Mâwardî, Kitâb al-Ah}kâm…, h. 6-7.30 Henry Laoust, Nad }ariyât Syeikh al-Islâm Ibn Taimiyyah fî al-Siyâsah wa al-Ijtimâ’

(Essai Sur Les Doctrines Sociales et Politiques d’Ibn Taymiyya), terj. Bahasa Arab oleh Muhammad‘Abd al-’Azhîm ‘Alî (Kairo: Dâr al-Anshâr, 1976), h. 285.

31 al-Mâwardî, Kitâb al-Ah }kâm…, h. 732 Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah…, juz 1, h. 141.33 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, h. 236.

Page 79: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 75

Vol. 6, No. 1, April 2010

tokoh-tokoh tertentu yang ahli di bidang fiqih atau kalâm. Ulamamencakup mereka yang ahli di bidang ilmu pengetahuan yang lain.Sedangkan umara’, terdiri dari para tokoh yang mempunyai wilayah(otoritas) di masyarakat. Orang-orang inilah yang bertanggung jawabmelakukan kontrak perjanjian (bai’ah) dengan orang yang diangkatsebagai pemimpin. Pada gilirannya nanti, setelah dilakukan bai’atdan seorang pemimpin telah menjalankan tugasnya, maka Ahl al-Syawkah bertugas memantau dan mengawasi jalannya pemerintahandan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjukkepada masyarakat.34

Pandangan Ibn Taimiyyah tentang umat dan bagaimana peran-nya dalam suatu negara, sebagaimana disebutkan di atas menunjuk-kan bahwa dalam setiap keputusan, prinsip syûrâ harus ditegakkan.Adanya kebersamaan seluruh umat dalam mewujudkan cita-citanegara mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencarisebuah jalan keluar yang terbaik. Hal itu tentu saja berbeda denganpaham Syi’ah yang hanya mengenal rahmat Allah dalam menentu-kan seorang pemimpin, dan berbeda pula dengan paham Sunnitradisional yang hanya membatasi syûrâ pada kelompok elit Ahl Hallwa al-’Aqd.35 Jadi bila peran syûrâ begitu besar dalam pandanganIbn Taimiyyah, maka negara yang diinginkannya adalah negara“demokratis”, di mana suara umat menjadi sangat menentukan,meskipun tetap harus dibedakan dengan pandangan demokrasidalam paham barat.

Meskipun begitu, Ibn Taimiyyah memberi batasan terhadapmasalah-masalah yang bisa dimusyawarahkan. Tidak semua masalahumat bisa dikonsultasikan. Di sana ada wilayah yang kebal musya-warah, yaitu wilayah yang sudah secara tegas dijelaskan oleh al-Qurandan al-Sunnah sebagai ajaran dasar (baca, qat}’î). Sedangkan ajaranbukan dasar (baca, z }annî), sebagaimana yang dicontohkan olehRasulullah SAW., Ibn Taimiyyah menegaskan tentang perlunya syûrâ.36

Karena masalah ketatanegaraan, baik masalah imâmah maupunmasalah proses pelaksanaan negara, tidak secara tegas dibicarakanoleh al-Quran dan al-Sunnah, maka interfensi ijtihad menjadi sangatdominan, dan dalam sudut pandang seperti inilah Ibn Taimiyyah

34 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, h. 23735 Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah..., juz 3, h. 116.36 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah..., h. 136.

Page 80: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur76

Jurnal TSAQAFAH

memberikan pandangannya tentang negara. Hal itu akan terasaberbeda bila dilihat dari pandangan Syi’ah dan Sunni. Masing-masing memberikan konsep dan rumusan-rumusan yang tidakmemberi ruang gerak akal secara leluasa. Konsep imâmah Syi’ah,nyaris tak terjamah oleh akal karena faktor-faktor ilâhiyah sangatdominan. Sementara konsep khilâfah Sunni, meskipun membukapeluang konsultasi, tapi ruang geraknya terasa sempit. Hal ituberbeda dengan konsep Ibn Taimiyyah. Baginya, bila negaradibutuhkan oleh umat dengan pertimbangan kebutuhan secararasional dan agama, maka pemimpin, bentuk dan konstitusi negaraitu harus ditentukan oleh hasil konsultasi (musyawarah) umat itusendiri sebagai pemegang kedaulatan.

Para pemimpin negara dalam menjalankan tugasnya harusbersandar pada prinsip syûrâ dalam menata problematika kehidupanrakyat. Menurut Ibn Taimiyyah, bila konstitusi negara harus ber-dasarkan Syari’ah, maka peran ulama sangat besar guna mener-jemahkan Syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalansesuai dengan yang dikehendaki Syari’ah.37 Seorang pemimpinnegara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus menerimapendapat wakil-wakil rakyat yang mempunyai otoritas dari semuastrata masyarakat yang berkepentingan, dan dari semua orang yangsanggup memberikan pendapat.38

Ibn Taimiyyah memberi petunjuk tentang cara bermusyawarahyang baik. Pertama, agar memulai pendekatan setiap masalah yangdimusyawarahkan berdasarkan nash al-Quran dan al-Sunah. Bila adapendapat yang paling dekat kepada nash, maka pendapat itulah yangdiikuti. Dilarang mengikuti pendapat seseorang karena jabatan. IbnTaimiyyah berkata: “Bila dalam bermusyawarah terjadi silang pen-dapat, maka setiap orang dipersilahkan menyampaikan pendapatnya,kemudian yang diambil adalah pendapat yang paling dekat kepadaal-Quran dan al-Sunnah”.39 Hal itu sesuai dengan petunjuk al-Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, danUlil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapattentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran)

37 Lihat Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah..., juz 1, h. 141; IbnTaimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah..., h. 138; dan al-’Ashimî, Majmû’ Fatâwâ..., juz 28, h.287.

38 Henry Laoust, Nad }ariyât Syeikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, h. 302.39 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah..., h. 136.

Page 81: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 77

Vol. 6, No. 1, April 2010

dan Rasul (al-Sunnah)nya, jika kamu benar-benar beriman kepadaAllah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)dan lebih baik akibatnya”. Q.S. al-Nisa’/4: 59.40

Bila masalah yang diperdebatkan itu tidak dapat diselesaikanpada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu, atau karenaketidakmampuan peserta musyawarah, maka diperbolehkan untuksementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkatkapasitas keilmuan dan keagamaannya.41

Apakah dengan konsep syûrâ Ibn Taimiyyah yang begitu ter-buka, berarti bahwa Islam menganut paham demokrasi dalam ber-politik? Tidak dapat sepenuhnya disamakan antara demokrasidengan prinsip syûrâ.42 Hal itu karena, sebagaimana yang telah dijelas-kan Ibn Taimiyyah, dalam Islam terdapat wilayah-wilayah yang tidak

40 Al-Quran dan Terjemahnya, h. 128.41 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah al-Syar’iyyah..., h. 13642 Wacana disekitar Islam dan demokrasi marak dibicarakan oleh para ahli politik

Islam di abad modern ini. Silang pendapat apakah negara dalam pandangan Islam menganutsistem demokrasi, teokrasi, atau teokrasi-demokrasi. Dalam tulisan ini tidak akan dibicarakandiskursus di seputar masalah itu secara menyeluruh, hanya saja setidaknya rangkuman daripendapat Dhiya’ al-Din al-Rays yang mencoba menemukan persamaan dan perbedaan Islamdan demokrasi, bisa dikemukakan di sini. Titik kesamaannya antara lain: (1) Bila demokrasididefinisikan sebagai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka sistem negara dalamIslam juga begitu, dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secarakomprehensif, (2) seperti halnya di dalam demokrasi, dalam Islam negara menjamin hak-hakhidup, kebebasan, mendapatkan pekerjaan, dan lain-lain, (3) Bila dalam demokrasi kekuasaaneksekutif dan yudikatif dipisahkan, maka demikian pula dalam Islam. Islam membatasi seorangimam hanya sebagai pelaksana undang-undang. Sedangkan undang-undang itu dibuat olehumat melalui konsultasi (musyawarah) berupa ijma’, berdasarkan hukum-hukum Syari’ah.Sedangkan titik perbedaannya antara lain: (1) Dalam demokrasi Barat, bangsa selalu diikatoleh nasionalisme, tapi dalam Islam bangsa (umat) diikat oleh kesatuan aqidah, pemikirandan perasaan, (2) dalam demokrasi Barat, tujuan yang ingin direalisasikan hanya sebataspemenuhan kebutuhan materi, sedang dalam Islam, selain tujuan di atas, juga untuk memenuhikebutuhan spiritual, (3) dalam demokrasi Barat, kedaulatan mutlak ada di tangan rakyat.Dalam Islam kedaulat rakyat tidak mutlak, tapi terikat oleh ketentuan Syari’ah. Jadi menurutIslam, demikian Dhiya’ al-Din al-Rays, kekuasaan tertinggi tidak di tangan penguasa, karenaIslam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan tertinggi tidak di tangan para tokohagama, karena Islam tidak sama dengan teokrasi. Tidak juga hanya di tangan undang-undang,karena Islam tidak sama dengan paham nomokrasi. Bukan juga di tangan umat mutlak, karenaIslam bukan paham demokrasi dengan pengertian sempit. Jawaban yang benar, menurut al-Rays adalah bahwa kekuasaan tertinggi di dalam Islam sangat konkrit, di mana di dalamkekuasaan itu terpadu dua hal yaitu; umat dan undang-undang (Syari’ah). Jadi umat danSyari’ah adalah pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam. Lihat Dhiyâ’ al-Dîn al-Rays,al-Naz}ariyyât al-Siyâsiyyah al-Islâmiyyah (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1969), h. 378-386. Lihatjuga Fahmi Huwaydi, al-Islâm wa al-Dîmuqrât }iyyah, terj. Muhammad Abdul Ghaffar EM(Bandung: Mizan, 1996), h. 196-201.

Page 82: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur78

Jurnal TSAQAFAH

boleh disentuh oleh syûrâ. Syûrâ hanya berada pada kawasan “yangtidak terbicarakan oleh wahyu”. Demokrasi adalah produk Baratyang tidak mengenal pembatasan seperti itu. Namun tidak puladikatakan bahwa syûrâ sama sekali berbeda dengan demokrasi.Setidaknya Fazlur Rahman memandang konsep syûrâ dan demo-krasi sebagai yang tidak perlu dipertentangkan. Menurut Rahman,sebagaimana dikutip oleh A. Syafii Maarif, “negara Islam” adalahnegara demokrasi karena keberpihakannya kepada komunitas umat.Hanya saja, sebagaimana konsep syûrâ itu sendiri, bentuk-bentukdemokrasi dapat saja berbeda-beda disesuaikan dengan kondisidalam suatu masyarakat. Dan untuk menentukan bentuk-bentukitu, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan. Yang paling pokokadalah bagaimana konsep syûrâ tetap dipertahankan dan dihormatisecara sadar.43

Penutup

Jika konsep syûrâ – yang menurut Syafii Maarif, merupakangagasan politik utama dalam al-Quran - itu ditransformasikan dalamkehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi lebihmendekati cita-cita politik Qur’ani, sekalipun tidak selalu dipandangidentik dengan demokrasi Barat.44 Baik Rahman maupun SyafiiMaarif, setuju untuk tidak mengadopsi demokrasi produk Barat ituapa adanya. Namun yang terpenting adalah bahwa keduanya, ter-masuk Ibn Taimiyyah sendiri, menginginkan partisipasi dan kerja-sama seluruh umat dalam merumuskan jalan terbaik bagi negaranya.Ketiganya sama-sama menganjurkan pemakaian prinsip syûrâ dalamkehidupan bernegara. Oleh karena itu konsep syûrâ, termasuk yangdikumandangkan oleh Ibn Taimiyyah menunjukkan bahwa Islammenganut paham demokrasi karena perhatiannya kepada seluruhwarga negara tanpa terkecuali, meskipun tidak harus dipahami samapersis dengan demokrasi Barat.45

43A. Syafii Maarif, Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalam Bosco Carvallodan Dasrizal, eds., Aspirasi Umat Islam Indonesia (Jakarta: Leppenas, 1983), h. 47, 55.

44M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik TentangCendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 223.

45Meskipun banyak para pemikir mensejajarkan prinsip-prinsip demokrasi dengansyûrâ, namun mereka kebanyakan mengkritisi dengan serius tentang demokrasi itu. Kritik-kritik mereka terhadap demokrasi, antara lain terkait pada pendewaan pada suara rakyat,hilangnya nilai moral dan agama, dan praktiknya di dunia Barat. Bagi Muhammad Iqbal,

Page 83: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Proses Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Ibn Taimiyyah 79

Vol. 6, No. 1, April 2010

Yang diingatkan oleh Ibn Taimiyah adalah bahwa prinsip syûrâitu hanya berlaku pada ajaran bukan dasar yang bersifat z }anni,sedangkan pada ajaran dasar yang qat }’i, tidak dibutuhkan syûrâ.Yang dibutuhkan hanyalah ketaatan dengan menerima sebagaimanaadanya. Bila Ibn Taimiyyah mengakui ijmâ’ dan qiyâs sebagai sumberhukum di samping al-Quran dan al-Sunnah, maka berarti diamengakui pentingnya ijtihad yang salah satu bentuknya adalahmelalui bentuk syûrâ.[]

Daftar Pustaka

Abû Zahrah, Muhammad, Us}ûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1957)

Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah KajianPolitik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, ( Jakarta:Paramadina, 1995)

Anshârî, ‘Abd al Hamîd Ismâ’îl al-, al-Syûrâ wa Atsaruhâ fî al-Dîmuqrât }iyyah, (Kairo: Mathba’ah al-Salafiyyah, 1980)

meskipun ada kemiripan, demokrasi tidak sama dengan syûrâ. Oleh karenanya kalaulah demokrasiingin dijadikan model bagi sebuah negara, haruslah diberi muatan lain, yaitu nilai-nilai spiritualagama. Menurutnya, demokrasi Barat telah kehilangan basis moral dan agama dan bahkanmenghambat bagi kemajuan etika dan moralitas manusia. Oleh karenanya, Muhammad Iqbalmenawarkan tambahan pada demokrasi itu, yaitu nilai tauhid sebagai landasan azasi, kepatuhankepada hukum, toleransi sesama warga, tidak membatasi wilayah geografis, ras, warna kulit, ataubahasa, dan melakukan penafsiran terhadap hukum Tuhan melalui proses ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menyatakan, meskipun ada kesamaan antara syûrâ dan demokrasi, namun ada yangperlu dikritisi, yaitu bahwa dalam konsep demokrasi Barat rakyat yang dimaksud adalah warganegara yang dibatasi oleh geografi, demokrasi modern didasarkan pada kebangsaan sempit, dantujuannya hanya untuk kepentingan dunia atau materi belaka. Demokrasi hanya mementingkankekuasaan rakyat saja, sehingga mengabaikan kekuasaan moral dan agama. M. Quraish Shihabmelihat ada tidak perbedaan antara syûrâ dan demokrasi: 1) Syûrâ tidak memutlakkan pengambilankeputusan hanya berdasarkan suara mayoritas, 2) kontrak sosial antara penguasa dan rakyatterikat dengan perjanjian Allah sehingga terhindar dari eksploitasi manusia atas manusia, dan 3)demokrasi dapat memutuskan persoalan apa saja, sedangkan dalam syûrâ terdapat batasan-batasanapa saja yang dapat dimusyawarahkan. Sementara itu, ‘Abd al Hamîd Ismâ’îl al-Anshârîmenyebutkan bahwa antara syûrâ dan demokrasi itu terdapat perbedaan pokok, antara lain: 1)kekuasaan majlis syûrâ terbatas sejauh tidak bertentangan dengan nash, 2) hak dan kebebasanmanusia dalam syûrâ dibatasi oleh kewajiban sosial dan agama, dalam demokrasi Barat, kebebasandi atas segalanya, 3) syûrâ ditegakkan atas dasar akhlak agama, sedangkan demokrasi didasarkansuara mayoritas. Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Delhi:Kitab Bhavan, 1981), h. 180. H. H. Bilgrami, Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 79; T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam FiqihIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 129-133. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,(Bandung: Mizan, 1996), h. 483-484. Juga ‘Abd al Hamîd Ismâ’îl al-Anshârî, al-Syûrâ wa Atsaruhâfî al-Dîmuqrâthiyyah, (Kairo: Mathba’ah al-Salafiyyah, 1980), h. 437-438.

Page 84: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Shobahussurur80

Jurnal TSAQAFAH

Ashimî, al-, ‘Abd al-Rahmân Ibn Muhammad Ibn Qâsim al-Najdîal-Hanbalî, Majmu’ Fatâwâ Syeikh al-Islâm Ahmad IbnTaimiyyah, (Riyâdh: Idârât al-Buhûts al-Ilmiyyah wa al-Iftâ’ waal-Da’wah wa al-Irsyâd, 1398 H)

Bilgrami, H. H., Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982)

Ibn Taimiyyah, Taqiy al-Dîn Abû al-Abbâs Ahmad, al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Is }lâh al-Râ’î wa al-Ra’iyyah, (Beirut: Dâr al-Afâqal-Jadîdah, 1988)

______, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah fî Naqd }i Kalâm al-Syî’ahwa al-Qadariyyah, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t.)

______, Ma’ârij al-Wus }ûl Ilâ Ma’rifat Anna Us }ûl al-Dîn wa Furû’ahâqad Bayyanahâ al-Rasûl, (Kairo: t.p., 1318 H)

______, al-’Aqîdah al-Wâsit }iyyah, (Riyâdh: Mathba’ah Sa’ad al-Râsyid, t.t.)

Iqbal, Mohammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam,(New Delhi: Kitab Bhavan, 1981)

Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah (The PoliticalThought of Ibn Taymiyah), terj. Anas Mahyudin, (Bandung:Pustaka, 1983)

Laoust, Henry, Naz }ariyât Syeikh al-Islâm Ibn Taimiyyah fî al-Siyâsahwa al-Ijtimâ’ (Essai Sur Les Doctrines Sociales et Politiques d’IbnTaymiyya), terj. Bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abd al-‘Azhim‘Ali, tahqiq Mushthafâ Hilmî, (Kairo: Dâr al-Anshâr, 1976)

Mâwardi, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Baghdâdi al-, Kitâb al-Ah}kâm al-Sult}âniyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.)

Mumtaz Ahmad, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam,(Bandung: Mizan, 1994)

Maarif, A. Syafii, Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalamBosco Carvallo dan Dasrizal, eds., Aspirasi Umat Islam Indonesia,(Jakarta: Leppenas, 1983)

Shiddieqy, T. M. Hasbi ash-, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1971)

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu’i AtasPelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996)

Page 85: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Integrated Islamic Education:An Analytcal Study on The Concept and Practice of

Gontor System in East Java Indonesia

Imam Bahroni*Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor

Email: [email protected]

Abstract

The current issue on international education, especially in relation withmuslim community, like in Malaysia and Indonesia is morality. The impact andinfluence of secular civilization upon muslim society can not be denied. Theproblem of morality is not only an individual but rather touches the level of allsocial community of muslim ummah all over the world. Consequently every onenow needs an education which can fortify the nation from this moral malady.To overcome this problem according to the researcher needs strategy, planningand strong system, such as boarding school based education. Based on aboveintroduction, the researcher wishes to study in this simple research on Gontorsystem of integrated Islamic education. To reach valid result of study, theresearcher wish to use interview, observation and documentary method for thedata collection. Meanwhile, for the data analysis, the researcher uses datareduction, display and verification of Miles and Huberman method. The pointsabove, ensures the writer to further explore the data of Gontor system, sothen the object of the research could be approved scientifically for the purposeof muslim community all over the world.

Keywords: Islamic values, spiritual happiness, modern education,meaningful pattern, natural endowment.

*Fakultas Tarbiyah, Kampus Pusat ISID Gontor, Jl. Raya Siman Ponorogo Telp.0352-488182

Page 86: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni82

Jurnal TSAQAFAH

Introduction

The current issue on international education, especially in relationwith Muslim community, like Malaysia and Indonesia ismorality1. The impact and influence of secular and Western

civilization2 upon Muslim society can’t be denied. The tradition3 andculture4 which against the teaching of Holy Qur’an and PropheticTradition penetrates as well as invades mind and character of almostthe Muslim generation all over the world. The fact results everyMuslim parent anxious on the future education5 of their children.

At the time being, the Muslim nation is in serious need for analternative solution, to overcome the problem of morality. Thisproblem consequently not only an individual, but becomes socialproblem in every nation and almost exists overall Muslim countriesin the world. To fortify the generation from such serious social maladyis not simple, it needs strategy, planning and strong system6. In the

1The definition of morality is equal to adab which has been quoted by Wan MuhammadNor Wan Daud, from Syed Muhammad Naquib al-Atas in his book entitled EducationalPhilosophy and practice of Syed Muhammad Naquib Al-Atas, an expotion of the original conceptof Islamization, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization,1998), p. 137. According to al-Atas adab is recognition and acknowledgement of thereality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their variousgrades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and to one’sphysical, intellectual and spiritual capacities and potential.

2Civilization is a human society that has a complex cultural, political and legalorganization; an advanced state in social development. JM Sinclair, in his dictionary alsofurther defined the word civilization as the total culture and way of life of a particularpeople, nation, region or period. See. Collins English Dictionary and thesaurus, (Glasgow:Harper Collins Publishers, 2007).

3Tradition is the body of customs, thought etc, belonging to a particular country,people, family, or institution over along period. Ibid., p. 1265.

4Culture is the total of the inherited ideas, beliefs, values, and knowledge, whichconstitute the shared bases of social action. Ibid., p. 278.

5Education plays a uniquely important role in Islam as the means by which Muslims learnto understand and appreciate aspects of their heritage of faith, duty and culture. Evidence of therichness of Islamic educational theory and praxis is provided by the words used to express thisdiversity. Five Arabic words may be cited in suppot of this. The word ta’lim connotes instruction,information, direction, and schooling. The word ta’dib suggests good manners, urbanity, andrefined taste. The word tarbiya is accosiated with upbringing, teaching, instruction, and goodbreeding. The word tathqif is linked with the cultivation of the mind and the processes ofenculturation. The word ma’rifa suggest a deeper kind of intuitive and mystical knowledge. See,Ian Richard Netton, Encyclopedia of Islamic civilization, (New York: Routledge, 2008), p. 152.

6Definition of system is a combination of interrelated elements forming a collectiveentity. When this word is related to education, it can be understood as the integration ofinterrelated elements of education to form a collective entity. See, JM Sinclair, CollinsEnglish Dictionary and Thesaurus, (Glasgow: Harpercollins Publishers, 2007).

Page 87: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 83

Vol. 6, No. 1, April 2010

mind of writer, the basic solution for such moral’s onslaught is strongeducation institution in which the generation of every Muslim nationcan be saved. They can be prepared well with qualified subjects ofeducational system to fortify themselves against the secular invasion.The phenomenon of life above, guides the writer to focus his attentionupon the study on the development of Islamic institution as the basisof the transformation of Islamic values and moralities in almost allMuslim communities, especially in Indonesia.

The nature of Islamic institution is an educational institutionwhich concerns upon the meaning, philosophy, concept and theimportance of Islamic education. This education, with all itscharacteristics at the time being should be conceived as the first choiceof an ideal education for Muslim community. In the elaboration ofthis point, Ashraf stated that, Islamic education does not regard lifeas an end in itself. Life on earth is but a bridge which man mustcross before he enters into spiritual life after death. Herein lays afundamental difference between the concept of modern educationand the Islamic one. Modern secular education merely considershappiness in this world as its final goal, whereas Islamic educationregards life as only a means of achieving happiness in the hereafter7.This basic difference in the aims and objectives of modern and Islamiceducation leads to difference in the methods, content, spirit and thesystem by which these aims and objectives are achieved. Moderneducation seems to consider everything that brings comfort andprosperity in this world as conducive to happiness. In other word, itis solely preoccupied with achieving worldly happiness by utilizingany means available. On the other hand Islamic education sees thehappiness of man as fundamentally based on intellectual, emotionaland spiritual convictions. Spiritual happiness in this world preparesfor a life of everlasting happiness in the next. The segregation of thereligious from the secular in non Islamic educational system isreflected in the policies of educational institutions and the functions,aims and objectives of schools and universities. Thus there are stateschools and ecclesiastical schools functioning separately.

In Islam there is no segregation between religious and seculareducations. They are inseparable and indivisible. Neither aspect

7Syed Ali Ashraf, Curriculum and teacher education, (Jeddah: King abdul AzizUniversity, an Islamic education series, 1980), p. 4.

Page 88: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni84

Jurnal TSAQAFAH

should be over emphasized at the expense of the other. The basicdifference between Islamic and secular education are currentlyneglected or frequently overlooked by those working in the field ofeducation throughout the Muslim world. The political and economicinstability of many Muslim countries, seen against the backgroundof the political supremacy and industrial and economic advancementof non Muslim countries, has apparently alienated Muslim from theprinciples and teaching of Islam. It has led them to believe that bymerely copying, borrowing or transplanting non Islamic educationsystem, they can match the progress already achieved in non Muslimcountries. Often the systems imitated are travesties of the principlesof Islam. Muslim have not achieved the hoped for material andpolitical progress, nor has this education satisfied their desires oranswered their innermost religious feelings.

Education has been split into two distinctive types, modernand religious, which are independent of and irreconcilable with eachother in non Islamic countries. Modern education has its own schools,institutions, colleges and universities, as has religious education. Thisduality or artificial division is entirely at variance with the principlesof Islam. It is a situation which urgently demands an immediate anddrastic change in the existing system now in force in educationalinstitutions in most Muslim countries like Indonesia and Malaysia.

To the Islamic point of view the concept of duality in educationis against its real tenet and teaching. Any segregation between religiousand secular issues should be eliminated. Scholarly specialization inany field is futile and inadequate in the building up of one’spersonality unless one is on terms with both the secular and thereligious aspects of life. The importance of establishing qualifiedIslamic system of education in this regard may be measured fromone of its characteristics, such in its aim. The ultimate aim of Islamiceducation lies in the inculcation of the concept of Allah in the mindsand souls of God-fearing individuals. In order to achieve this, Islamiceducation is divided into what is called individual and socialeducation. Individual education aims at familiarizing the individualwith, his relation to other creatures, his individual responsibilities inlife, his responsibilities towards the human community, his socialrelation, his relationship to the universe and universal phenomenonand exploration of nature’s laws in order to utilize and exploit them,and his Maker’s creative wisdom apparent in His creation.

Page 89: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 85

Vol. 6, No. 1, April 2010

Meanwhile, the social education according to Ashraf,8 aims at,building a society of good, pious, and god-fearing individuals wheresocial justice prevails, building a society where tolerance, brotherhood,love, mercy, goodness and righteousness are predominant, buildinga society based on mutual consultation and the maximumexploitation of the individual’s intellectual capacities, building asociety where individuals enjoy freedom of thought and arecompetent to take responsibility, and building a society whereindividuals can live an ideal, pure and happy life.

Education in general, can be defined as conscious and plannedeffort to actualize a conducive learning and a process of how to be,to enable every learner actively develop and explore his ownpotencies to possess a power of religious spirit, self control,personality, intelligence, respected character and all skills needed forhimself and his society. Education is continuous learning process forevery individual of human beings aimed at the achievement of innerbeing and physical perfection as well. However, Syed MuhammadNaquib al-Atas9 defined the meaning of education like in the followingstatement; education and of what it involves is of utmost importancein the formulation of a system of education and its implementation10.He further elaborated that education is a process of instillingsomething into human beings. This process refers to the methodand the system by which what is called education is graduallyimparted; include, something refers to the content of what is instilled,and human beings refers to the recipient of both the process and thecontent. The education then consists of three fundamental elements,indeed the recipient, the content and the process. According to al-Attas, the definition of man as the recipient of education is already

8Ibid., p. 179His complete name is Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al-

Attas, was born on September 5, 1931 in Bogor, Java, Indonesia. His family backgroundpermanently and positively shaped his basic education. From family in Bogor he obtainedhis education in Islamic sciences, while from his family in Johor Malaysia he developed thefoundations for Malay language, literature, and culture. He is competent in several academicareas such as theology, philosophy, and methaphysics, history and literature, and hascontributed original and authoritative works of significance particularly in the field ofIslamic and Malay civilization, see Wan Muhammad Nor Wan Daud, The educationalphilosophy…, p. 7.

10Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, The concept of education in Islam; A frameworkfor an Islamic philosophy of education, (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia,1980), 1st ed., p. 13.

Page 90: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni86

Jurnal TSAQAFAH

well known, that is a rational animal11. Since rationality defines man,then it is closely related to the word reason. The reason is conceivedby Muslim thinkers as an organic unity of both ratio and intellect.Man is possessed of an inner faculty that formulates meaning indeeddhu nutq, and this formulation of meaning, which involves judgmentand discrimination and clarification, is what constitutes his rationality.The terms natiq and nutq are derived from a root that conveys thebasic meaning of speech, in the sense of human speech, so that theyboth signify a certain power and capacity in man to articulate wordsin meaningful pattern. He is as it were, a language animal, and thearticulation of linguistic symbols into meaningful patterns is no otherthan the outward, visible and audible expression of the inner, unseenreality which we call aql.

The term aql itself according to al-Attas basically signifies akind of binding or withholding, so that in this respect aql signifiesan innate property that binds and withholds objects of knowledgeby means of words. Aql is synonymous with qalb in the same wayas qalb, which is a spiritual organ of cognition called the heart, issynonymous with aql. The real nature of aql is that it is a spiritualsubstance by which the rational soul recognizes and distinguishestruth from falsehood.

It is clear from this, that the reality underlying the definitionof man is this spiritual substance. When in the word of educationtherefore, it must pertain to this reality of man, and not simply tohis body and his animal aspect.12 In defining man as a rational animal,where it means the capacity for understanding speech, and the powerresponsible for the formulation, distinction and clarification, andwhich has to do with the articulation of words or expression inmeaningful pattern, the meaning of the word “meaning” in thiscontext, based on the concept of ma’na, is the recognition of theplace of anything in a system which occurs when the relation a thinghas with others in the system becomes clarified and understood.

The second important element inherent in education accordingto al-Attas is its content, which here indicated as something. In thisregard, the word something is conceived as the word of knowledge.The word of knowledge in the basic meaning is recognition andacknowledgement of the proper places of things in the order of

11Ibid.

Page 91: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 87

Vol. 6, No. 1, April 2010

creation, such that it leads to the recognition and acknowledgementof the proper place of God in the order of being and existence.

The third important element inherent in education is a process.This third element, in the concept of al-Attas is considered as themethod and the system by which the education is graduallyimparted. These three fundamental elements of ideal education tothe knowledge of writer of this research is the core of a system ofeducation which must be studied in detailed in relation to theexistence of Islamic institution in Indonesia, and especially to theconcept, characteristics and implementation of integrated Islamiceducation of Gontor system, which has been made by the writer asthe main point to be discussed.

Definition of term

Since the title of the article is: “Integrated Islamic Education:An Experience of Gontor Modern Islamic Boarding School East JavaIndonesia.” Here the writer wishes to define the term clearly.

The word integrated derives from the English word whichmeans united. When this word is joined to the word Islamic education,according to Carter V Good (1959) in his dictionary of education is apractice of combining different Islamic educational aspects includemethod, subjects, curriculum, co-curricular and related activitieswhich based on the teaching of the Holy al-Qur’an and PropheticTradition into one united system.13

Meanwhile, Gontor system is an educational system whichimplemented by Gontor as the alternative Islamic Education Systemin East Java, Indonesia. Naturally this system has been adopted byhundreds of Islamic institutions in Indonesia, particularly due to itscontinuous dynamic and innovative system. Among the charac-teristics of this system are the method and its curriculum and inte-gration of learning, teaching and education into one united system.

After above clarification, the title of the article can be simplyunderstood as an attempt to define the concept of integrated Islamiceducation system in the experience of Gontor in East Java Indonesia.

12Ibid., p. 15.13Carter V. Good, Dictionary of education; Prepared Under Auspices of Phi Delta Kappa,

(New York: MacGraw-Hill, 1959), 2nd. Ed.

Page 92: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni88

Jurnal TSAQAFAH

The study also include a critical analysis on the advantages anddisadvantages of the implementation of this system.

As far as the discussion on the word of education is concernedCarter V. Good, had defined as the aggregate of all the processes bymeans of which a person develops abilities, attitudes, and other formsof behavior of positive value in the society in which he lives14. Hefurther elaborated that the word education is the social process bywhich people are subjected to the influence of a selected andcontrolled environment (especially that of the school), so that theymay attain social competence and optimum individual development.However, education according to the researcher could not beseparated from the position of man as the main object of it. Mannaturally has been endowed with many capabilities, but most ofthem remain dormant or embryonic until something awakens them,nourishes them and brings them out for his perfection. Education,therefore, stands for bringing out and developing to their full potentialall the faculties that are latent in each individual. The Arabic wordtarbiyah has something more to add to this meaning of education.

Among the inherent capabilities of man there are some which,if not checked properly, have the tendency to disintegrate humanpersonality. Tarbiyat means not only to bring forth, nourish and evolvebut also to look after, give right proportion, sustain and carry a thingto its desired end successfully. It is thus bringing out and directingtowards a harmonious flow all human capabilities for an individuallyand socially valuable, not pernicious, end. This process can not beleft to chance or experiences of trial and error, for that would meanchaos and disorderliness amounting to a denial of man’s own facultiesof setting things right. Man, therefore, needs an artificial or contrivededucation in addition to that which he receives automatically throughexperience. Man’s need for education arises from the fact that, amongall other animals, man is perhaps the one most ill-equipped withinstinctive mechanism for dealing profitably with his environment.According to the teaching of the Holy Qur’an man is altogether anew creation as compared to an animal just as vegetation is altogethera new creation as compared to minerals or just as an animal isaltogether a new creation as compared to vegetation, in spite of a

14Carter V. Good, Dictionary of Education, (New York: McGraw-Hill, 1959), 2nd.Ed., p. 191.

Page 93: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 89

Vol. 6, No. 1, April 2010

few similarities common to them all. He has, therefore, to be studiedin his distinctive position as man only and not as an animal15.

Mahr Abdul Haq further elaborated the relationship betweena man and the world of education that some living things fend forthemselves from their very birth because they have no purpose oflife before them other than just fending for themselves. In manyothers that have a period of helpless infancy the mechanisms theyneed for adult life are soon gained as a matter of growth rather thanby way of learning.16This is because they are merely things and theyhave to reach an adult life for procreation only and no more. Man isnot a thing in that sense; he has many higher purposes to fulfill. Hislonger period of dependent infancy has a very important objectivebehind it. In his later years he has not only to take care of himselfbut to take care of others also and prepare for a higher plane of lifewhich starts after the physical death. He has to share big responsibilitiesand pass through a number of thorny paths of life with care and caution.He has to protect his spiritual self from disintegration.

The very fact that education is a life-long process for humanbeings alone by itself a he fact that beyond this earthly world lifemust go on further to a newer and higher plane and that this worldlyspan of a few decades is just a period of training and preparation forit. Among all the other things of nature, man holds a position ofsuperiority because of his higher faculties of feeling, understanding,thinking and willing. These things either do not possess these facultiesall or have very little of them. For this very reason these are all thingsand are not responsible for their actions; and for this very reasontheir actions are measured or predetermined actions; that is to say,they cannot do otherwise what they do instinctively. This is the reasonthat in our made laws, the responsibilities of the children, thementally retarded, the grown ups, the educated, the wise and thehighly talented persons are fixed in varying degrees according to thelevel of their consciousness the wisest carrying the highest burdenon their shoulders.

From another angle it can be seen and observed that wherethere is a lack of these faculties nature itself assumes all or most ofthe responsibilities of nourishing, sustaining and evolving the objects

15Mahar Abdul Haq, Educational philoosophy of the holy Qur’an, (Lahore: Institute ofIslamic Culture, 1990), 1st. ed., p. 14.

Page 94: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni90

Jurnal TSAQAFAH

of creation to their full potentialities. For example in stones and otherdead matter where there is no consciousness everything is done bynature itself through its fixed and unchangeable laws. The diamondin the coal, the pearl in the oyster, the fruit in the genesis of the seed,the dead from the living and the living from the dead all evolveaccording to their predetermined rules of individual evolution whichthe things themselves can neither change nor amend nor defy. It canalso be seen that in higher things in which life or consciousness makesit first appearance nature withdraws as much as it necessary accordingto the level of consciousness which the things possess, giving eachliving as much freedom to work unassisted as is required for itsnourishment, sustenance and evolution. So these things have eitherno period of training or have a very short one which just enables themto satisfy their physical needs and no more. In them the acquisition ofabilities is a matter of maturation of instincts, not education. It is manalone who is the most plastic and educable of all the creation of Allahand, as such, he stands in most need of a right sort of education.

The meaning behind the word right sort of education is thateducation meant for and suitable to human beings and not that whichthe lower creation of Allah requires. In some directions, and to a certainextent, man gets automatic rather than deliberately instituted training.In the natural course of his life he meets with situations which he neverexpected; he learns lessons which he never wanted to learn; he developscapabilities for overcoming such difficulties as appear suddenly beforehim, and he acquires knowledge which no one else had designed forhim. But all these automatic learning is too limited to enable him tocope efficiently with all the complex situations of his life. Education ofthe right type will enable him to achieve his accomplishment moreeasily, more speedily and more profitably with the added help of therequired skills, attitudes and values than otherwise.

The Concept of Islamic Education

To explain the concept17 of Islamic education clearly, the writerwishes to introduce the word education from general term used to

16Ibid.17The definition of concept is an idea or representation of the common element or

attribute by which groups or classes may be distinguished. It is also meant as a thought, anopinion, an idea, or a mental image, see Carter V Good, Dictionary of education, (New York:McGrawhill Book Company, 1959), sec. ed., p. 118.

Page 95: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 91

Vol. 6, No. 1, April 2010

mean the word education. The word education has been derivedfrom the Latin word “educare” which means to bring up or to raise.According to this view, education is a process of imparting to anindividual certain information and knowledge which society deemsnecessary. Education implies modification of the behavior of theindividual by imposing standards of society upon him. Thus,education is a process of external imposition rather than growth fromwithin. This derivation gives the concept of teacher-centered ratherthan child centered education.

On the other hand, some scholars defined the word educationas a drawing out process. The meaning behind this definition is thatthe word education can be meant as a process to draw out somethingand not to put in something. And therefore it means the process ofdrawing out from within rather than imposing from without.Education from this point of view is considered as a process of thedevelopment of what is innate in the child. It is an agency of, or aninstrument for, the transformation of the potential into the actual.This elaboration presumes that all knowledge is inherent in children.Education, therefore, implies growth from within rather thanimposition from without. Education is a process of the developmentof talent inborn in the individual and not conveying to an individuala body of information or knowledge. A large number of eminenteducators and philosophers have endorsed this interpretation.

From these two different viewpoints of education discussed, itseems to be impartial. These two cannot be isolated from each other.The view that education is drawing out process can be accepted witha pinch of salt. In this interpretation, an important aspect of educationhas been disregarded. Can it be possible that everything which formspart of education was already inherent in the child’s mind? Is itpossible to draw out everything? Can it be established thateverything, ideas, ideals, beliefs, opinions, and attitudes were potentialin the mind of the child? It is true that certain inherent capacities doform part of the natural endowment of the child, but the factualknowledge acquired, skills learnt or the habits and sentimentsdeveloped, during life-time, were not innate in the child’s mind.

Therefore, it can be said that in the absence of poured-inknowledge or suitable foundation laid through learning underenvironmental influences, drawing out will be out of question. Unlessknowledge or experience is given to the child, we cannot draw out

Page 96: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni92

Jurnal TSAQAFAH

the best in him. Education, therefore, is not only a drawing out, butalso a bringing up process, whereby the educated trained for certaintypes of social behavior, democratic living, worthy citizenship,international understanding and is developed into a full man orwoman with well integrated personality. The process of drawing out,and bringing up which have been discussed above from the Islamicpoint of view is closely related to the meaning of Islamic education,when it based on the tenets of Islam. To vividly define the wordIslamic education here, the researcher quotes some definition fromthe eminent Muslim scholar, such in the following points:

According to Muhammad SA Ibrahimi the definition of Islamiceducation is a system of education which enables a man to lead hislife according to Islamic ideology, so that he may easily mould hislife in accordance with tenets of Islam18. From this definition, Islamiceducation can be meant as a system in which some components areinterrelated. Such as an integration of belief, shariah and akhlaq,which includes, cognition, affection and psychomotor, these threecomponents cannot be separated from each other. MuhammadIbrahim also underlined that the Islamic education is based on Islamicideology, so then the process of Islamic education not opposed thenorms and values of the basic teaching of Islam.

Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani defined the Islamiceducation as a process to change the behavior of an individual life inthe society and his surrounding, through teaching and guiding asthe fundamental activity among other activities in the community.19

This definition stressed on the change of behavior from bad to good,from minimum to maximum from potential to actual and frompassive to active. All the changes are through teaching process whichdoes not end at the level of individual, but up to the level of society.Educational process at this sense according to at-Toumi will enhanceindividual as well as social piety. Islamic education on the other hand,from the view of Ahmadi in his book entitled ideology of Islamiceducation can be defined as all efforts to educate and developindividual self and his human resources to be perfect person. Thisdefinition is in accordance with the view of Islam on the real meaningof education, that is to actualize a person who has strong faith in

18Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), p. 2519Ibid., p. 26, see also Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan

Islam, tr. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), p. 399.

Page 97: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 93

Vol. 6, No. 1, April 2010

Allah the Almighty and at the same time he is able to keep in balancehis pious relationship with his God and fellow being positively aswell as constructively.20However, this definition is equal to the conceptof Islamic education produced by the First Islamic Conference onIslamic education held in 1977 at Mecca the Kingdom of SaudiArabia. The conference stated that Islamic education does not merelyteaching the theology which derived from al-Qur’an and PropheticTradition as well as the Islamic jurisprudence, but also include thewhole aspects of lives and universe.

Muhammad Athiyah al-Ibrasyi in this regard also gave adefinition on Islamic education which according to him is aneducation which has fundamental principles like independentmethods, learning based on self reliance, freedom in teaching, selfstudy, special attention on children with particular approach,encouraging the skill and potencies of the student, appreciation onthe students’ intelligence, teaching with suitable approach, kindguidance, and softness21.

Athiyah also further explained that Islamic education mainlyfocus on the behavior education, giving special attention on thedevelopment of skill in oratory, reasoning and speech presentation,reading enrichment on the classical Islamic book and consistent inlearning, research and teaching which all are based on long lifeeducation22. Meanwhile, the aim of Islamic education in the view ofal-Ibrasyi is personality construction, educating the mind and heart,nourishing the potencies, inhabits good conduct and preparing thechild to be sincere and clean in mind and heart based on the teachingof Islam.23 In the view of Athiyah al-Ibrasyi the whole activities andthe subjects taught at the process of education should be tahdhibulakhlaq (etiquette construction).24

Based on the previous definitions, the researcher finds thatmuslim educators unanimously agree that the purpose of educationis not to cram the pupil’s mind with facts but to prepare them for a

20Prof. Dr. Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),p. 29.

21Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, At-Tarbiyah al-Islamiyyah wa falasifatuha, (DarulFikril Arabi, tt), p. 3.

22Ibid., p. 4.23Ibid., p 22.24Ibid.

Page 98: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni94

Jurnal TSAQAFAH

life of purity and sincerity. This total commitment to characterbuilding based on the ideals of Islamic ethics is the highest goal ofIslamic education. In relation with the aim of the Islamic education,Zaki Badawi stressed his idea in his paper entitled Traditional Islamiceducation; its aims and purpose in the present day that the aim of Islamiceducation should be instilling the principles of Islam in the hartsand minds of its young to achieve through them the ideal of thefaith, the continuity of the ummah which the holy Quran describesas the best nation ever brought forth to men. The ummah was sodescribed not for its superiority in knowledge or skill but for thefact that it enjoined virtue and forbade vice and believed in Allah.25

According to Zaki Badawi, Islam affected a balance between the twotendencies. Individual excellence was not sacrificed for the good ofthe group nor was the goal of the group given second place to that ofthe individual. The balance runs through all aspects of Muslimeducation and is manifested most strikingly in the area of its aimand purposes. He further gave an illustration on Max Weber’s analysisof the type of education. He enumerates three types. The first hecalls charismatic education which is dominant in periods in whichreligion reaches its highest point. It aims at awakening religiousinstitution and the inner readiness for transcendental experience.

The predominant aim in this case is not the transfer of specificcontent or skill but to stir up certain innate powers. This type isperhaps exemplified by what the Sufis call Tarbiyah. It is concernedprimarily with the individual’s inner excellence. The second and verydifferent type is education for culture. It is based on the belief thatcertain contents perceived as classical have the inner qualificationsof breeding a certain social type. It is not only the substance which isvalued but the style of life which unconsciously will be transferredthrough the ideas presented. Not the content as such but itsformative educational power is being stressed. Good examples arethe creation of the gentlemen or of the Chinese mandarin whoacquire through the study of the classics a certain mental mood,style of thought, and inner disposition and sentiment. The emphasishere is on social distinction. The third type is specialist education. Itseeks to transfer a special knowledge or skill and is strictly correlated

25Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Aims and objectives of Islamic education, (Jeddah:King Abdul Aziz University, 1977), p. 104.

Page 99: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 95

Vol. 6, No. 1, April 2010

with the growth of division of labor which makes the specialistindispensable in modern industrial society.

This type is exemplified by the training given in some of themodern secular trade schools where the whole relationship is purelymechanical and lacking the inner depth of charismatic of the culturaleducation. Islam in this regard, blends the three types in its ownsystem giving prominence to inner purity to be manifested in socialconsciousness and idealistic endeavor towards the mastery of anyskill to which the person has assigned himself.

On the other hand, Syed Muhammad Naquib al-Attasexplained that Islamic system of education is based on certain keyconcepts, namely; the concept of religion, the concept of man, theconcept of knowledge, the concept of wisdom, the concept of justice,the concept of right action, and the concept of university. When thesewhole concepts woven together in meaningful pattern, then thedefinition of education in Islamic religion can be defined. Accordingto al-Attas view, the definition of education is recognition andacknowledgement, progressively instilled into man, of the properplaces of things in the order of creation, such that it leads to therecognition and acknowledgement of the proper place of God in theorder of being and existence26. To al-Attas still there is one moreother key concept which in reality is central to education and theeducational process, because the others which have been mentionedall focus their meanings in this context toward it alone, such that byitself it stands sufficient as the precise term to denote education.This is because the key concept alluded to identifies itself as thesomething in knowledge which is knowledge of the purpose ofseeking it. This major key concept is couched in the term adab.

The word adab according to al-Attas is the discipline of body,mind and soul; the discipline that assures the recognition andacknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical,intellectual and spiritual capacities and potentials; the recognitionand acknowledgement of the reality that knowledge and being areordered hierarchically according to their various levels (maratib) anddegrees (darajat). Since adab refers to recognition and acknowledge-ment of the right and the proper place, station, and condition in life,and to self-discipline in positive and willing participation in enacting

26Al-Attas, The concept of education..., p 22.

Page 100: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni96

Jurnal TSAQAFAH

one’s role in accordance with that recognition and acknowledgement,its actualization in one and in society as a whole reflects the conditionof justice (‘adl). Justice itself is a

In addition to the idea of al-Attas, Syed Hosein Nasr clearlyfollows this same line of reasoning, he had underlined that the goalof Islamic education was not only the training of the mind but thatof the whole beings of the person. That is why it implied not onlyinstruction or transmission of knowledge (ta’lim), but also trainingof the whole being of the student (tarbiyah). The teacher was notonly a mu’allim, a transmitter of knowledge, but also murabbi, a trainerof souls and personalities. This was true to such an extent that theterm mu’allim itself came to gain the meaning of murabbi as well,that is, it came to be imbued with ethical connotations which in themodern world have become nearly totally divorced from the questionof teaching and the transmission of knowledge, especially at thehigher levels of education.27

The creative reintroduction of ta’dib as the comprehensiveconcept of Islamic education in the integrated and systematic mannerby al-Attas in the mind of Wan Daud is of great significance not onlyfor the fact that it appears for the first time in the contemporaryMuslim world, but more significantly, it provides an authentic,integrated and comprehensive concept and powerful framework forour educational thinking and practice.28

However, the definition of Islamic education according to al-Attas is an education which includes in its conceptual structure theelement of knowledge (ilm), instruction (ta’lim), and good breeding(tarbiyah) which are integrated in the term of ta’dib. The word ta’dibthen, according to al-Attas is the precise and correct term to denoteeducation in the Islamic sense29. In the summary of the article, the

27Ibid., p. 146, see also, S.H. Nasr, Traditional Islam in the modern world, p. 123.Wan Muhammad Nor commented on the idea of Nasr that it is unfortunate that Nasr does notprovide any proof to support his assertion except that (in p. 13), note 6) the term ta’lim andtarbiyah are popularly used in formal educational circles in the Arab world and Iran.nasrdoes not mention adab or ta’dib in this volume. Such omission is difficult to understandespecially from scholar who has been much associated with traditional aspects of Islam,especially Sufism. Ibid.

28Ibid., p 146.29Syed Muhammad Naquib al-Attas, The concept of education…, p. 34. See also Wan

Muhammad Nor Wan Daud, The educational philosophy…, education according to al-Attas isthe instilling and inculcation of adab in man –it is ta’dib. The Quran testifies that the Holy

Page 101: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 97

Vol. 6, No. 1, April 2010

definition of Islamic education and its meaning in the mind of writeris in accordance with what has been defined by Syed Muhammadal-Naquib al-Attas which is more comprehensive as well as deeprooted to the values of Islam. The writer then after this discussionwishes to elaborate vividly the aims and objectives of Islamiceducation.

Aims of Islamic Education

The aims of Islamic education can be formulated after definingthe word education itself, especially the difference of education fromthe word instruction. Education which has been defined by manyscholars like in the discussion previously, helps in the completegrowth of an individual’s personality, whereas instruction merelytrains an individual or a group to do some task efficiently. A manmay be a great general, an efficient carpenter or a first class pilot, alawyer, a mechanic of a pathologist, a renowned doctor, a chemicalengineer or a chartered accountant, but still remain a semi-educatedill-mannered, immoral, unrighteous or unjust man.

Similarly a man may be a very fine painter, a good poet, or hislove of beauty may be highly delicate and sensitive, but he may, atthe same time, be cruel or brutal or an untruthful, unsocial individual.He could be highly selfish and deliberately ignore his duty towardshis neighbors or even towards his wife and children. We can say thatpeople who have specialized in certain educational fields are well-instructed regard them as truly educated. On the other hand, a manwho knows and performs his duty towards himself, his family, hisneighbors and humanity, and at the same time has acquired a basicknowledge about how to earn his livelihood honestly and live a decentlife, should be called an educated person. He may not have specializedin a particular field of knowledge but lack of expertise does notautomatically prevent him from being recognized as a good man.

prophet is the ideal who is the best example of such a man , whom some scholars havecalled the perfect or universal man, thus the organization of administration and of knowledgein an Islamic educational system should reflect the perfect man. It is in order to reflect sucha man that al-Attas symbolically inscribed the name Muhammad at the center of the logo ofthe International Institute of Islamic thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, whichhe founded and directs, Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy…, p. 133.

Page 102: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni98

Jurnal TSAQAFAH

A good man is not necessarily a complete man. No one can beregarded as a complete man because there is no end to the growthof human personality. A wide knowledge of many subjects helps inthe growth of personality provided a man knows how to adjustknowledge to behavior, and how knowledge and action areintegrated into a broad, total framework of life. The outlook of aneducated man is not static but is modified and mellowed as he appliesprinciples to practice and his outlook is enriched by experience. Inorder to achieve such integration a man needs some basic valuesand the society in which he lives needs some basic unquestionedassumptions. Man is both an individual and a member of acommunity. One cannot be separated from the other withoutdestroying something vital in both. The individualism that stressescomplete freedom from any kind of social control is a practicalimpossibility because it leads to the disintegration of society and givescomplete license to the individual to break or make social institutionsat will, overthrow ideals and value assumptions of society accordingto whatever individual whims dictates.

Similarly complete social control that represses the creativeand critical urge of the individual, cripples man and leads society toeither degeneration and stagnation or sudden and violent socialupheaval. Education preserves the basic structure of society byconserving all that is worthwhile in basic values and institutions, bytransmitting them to the next generation and by renewing cultureafresh whenever degeneration, stagnation or loss of values occurs.At the same time, the job of education is to nurture personal growth.It is through this nurture of the individual and the preservation andtransmission of culture that both the individual and society attain aquality of life. Education conveys this sense of quality to pupils, thequality that has an objective status beyond any subjectiveassumptions and assertions, but which requires individual cognitionif individuals are to grow as full men and women.

According to Rosnani Hashim, based on the survey of the viewsof Muslim Philosophers, from the dawn of Islam to the present,concerning the aims of education are useful in framing the aims ofeducation in Islam and for discerning trends and themes. She furtherquoted the view of Al-Farabi regarded the pursuit of happiness asthe goal of the city of excellence. He equated happiness with theoreticalperfection which entailed practical as well as theoretical philosophy.

Page 103: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 99

Vol. 6, No. 1, April 2010

Consequently, according to Al-Farabi, knowledge of such things asthe end of human existence and the way political communities shouldbe organized lie within the scope of theoretical perfection. He arguedfurther that the highest deliberative excellence, the highest moralexcellence, and the highest practical art are inseparable fromtheoretical excellence.

Al-Farabi asserted that the function of the intellect was to ensurethat people reach the ultimate degree of perfection. Hence Al-Farabibelieves that the cultivation of the intellect should be the highestaim of Education.30 On the other hand, Al-Ikhwan al-Safa’s aim ofeducation is reminiscent of Plato’s idea of education as prescribed inthe Republic. To Al-Ikhwan, the aim of education is to bring theattribute of the knower from potentiality to actuality. Al-Ikhwan said,knowledge exists naturally in the soul of the learner, but it will notbecome actual knowledge except by the effect of the teacher. Al-Ikhwan’s educational curriculum aimed at creating an individual whowould be broad minded and not be affected by narrow provincialismand sectarian urges. He would judge all matters, including religiousconcerns, with his intellect. The Ikhwan asserted, Our brother, Godsupport them, must not be the enemy of any science, or leave anybook, or be prejudiced against any sect, because our opinion anddoctrine contains all doctrines and science.31

The curriculum drawn up by Al-Ikhwan was comprehensivein nature and scope, extending to all human knowledge, traditionaland rational. It also considered matters of this world as well as thehereafter. The significance of the effect of the environment on thelearner also was taken into consideration. According to al-Ikhwan,who classified knowledge into three types, mathematical science isestablished for the sake of livelihood and well being in this life;traditional science is established to purify the soul/human conductand for well-being in the hereafter; and philosophical science is meantto raise the human being to the stage of perfection.

30See Miriam Galston, Politics and excellence: The political philosophy of Al-Farabi,(Princeton: Princeton University Press, 1990).

31Ibid., p. 104. See al-Rasail al-Ikhwan al-Safa wa Khullan al-Wafa, vol.IV, pp.41-2quoted Sadeq al-Haj Jaffer Isma’il, The Ikhwan al-Safa’s Philosophy of education: Its origins andinpact on Muslim educators and education, Ph.D thesis, University of California, Berkeley,1974, 56.

Page 104: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni100

Jurnal TSAQAFAH

Therefore, Al-Ikhwan’s aims of education take into considera-tion the vocational, the spiritual, and the intellectual aspects of man.Similar to Al-Farabi, Ibn Sina held that the ultimate aim of educationwas the cultivation of the intellect. He argued that the intellect ofman is unique and distinct from other creatures. Ibnu Sina assertedthat another important aim of education is to prepare children fortheir calling in life. He said, when the child is through from learningal-Qur’an and the principles of the language, he is then to choosewhat his vocation will be, and he is instructed accordingly32.

However the importance accorded to the intellect by prominentMuslim philosophers from the early ninth century, that had resultedin knowledge explosion especially in the intellectual andphilosophical sciences, experienced a turnabout by the twelfthcentury. The Mu’tazilah, a theological school that upheld rationalismand was aligned with many Muslim philosophers of the period, hadprovoked the orthodox Muslims for two major reasons. First, theschool’s close association with the Abbasid caliphate, especially duringthe reign of Caliph al-Ma’mun, influenced the latter to makerationalism a state doctrine which was preached in mosques andmadrasah and became the distinguishing mark of the educated.Access to state power led the Mu’tazilah to become repressive againstthose who did not believe the Qur’an was created.

This was contrary to the common belief that the Qur’an to thecommon belief that the Qur’an were the words of God dictated tothe Prophet Muhammad through direct divine revelation. Second,and more fundamental, despite asserting the mutual compatibilityof revelation and reason, the Mu’tazilah gave primacy to reason overrevelation in their works. For example, the Mu’tazilah had little usefor the Hadith (Tradition), which they doubted for the reliability ofthe accounts. They rejected anthropomorphic representations of God,in contrast to the belief held their opponents, the Ash’ari, whoemphasized literalism and anthropomorphic representation of God.By denying such attributes, and insisting on God as pure essence,the Mu’tazilah were accused of stripping Him of content and makingHim difficult for humans to comprehend and worship. The excessesof the Mu’tazilah led to a revolt by the orthodox which terminatedin victory for revelation. Hellenistic and secular sciences, especially

32Ibid., p. 105.

Page 105: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 101

Vol. 6, No. 1, April 2010

philosophy, became a suspect and were equated with heresy.33

The decline of the intellectual and philosophical sciencesfollowing this event was simultaneous with the ascendance of anossified religiosity. As consequence of the above, rational scienceswere excluded from the madrasah and only taught by individuals inbookshops, libraries, and hospitals. The aims of education too,experienced a shift in emphasis. Abu Umar Yusuf Ibn Abd Al-BasrAl-Namari, a scholar in the twelfth century, discussed a variety ofaims and objectives of education – religious, social, intellectual, andvocational. In Jami’ Bayan al-’Ilmi he stated, seek learning, for it (a)is conducive to religion; (b) awakens the intelligence of men; (c) is acompanion in lonesomeness; (d) is useful in social contact; (e) bringsmoney. Al-Namari’s contemporary, Al-Zarnuji, emphasized thereligious factor in education. He asserted that, it is meet for the studentin his quest for knowledge to strive for the good will of God, thefuture life, the removal of ignorance from himself and from the restof the ignorant, the conservation of religion, and the survival of Islam.

In relation with the aims of education, Muhammad Iqbal (1873-1938), a well known Muslim philosopher in the early twentiethcentury, emphasized the proper development of the individuality ofman. He maintained that an individual should be exposed to all kindsof formative and challenging experiences; otherwise his individualitywill shrink and wither34. Iqbal underscored the importance offreedom, which allowed for experimentation with the environment,for the exercise of choice and discrimination in the use of methodsand substance, and for learning by direct, first hand experience.

Despite his emphasis on the individual, Iqbal did not ignorethe role of the community and its culture in the give-and-takedynamics with the individual. Iqbal also subscribed to the view thatthere must be harmony between the material and spiritual elementsin man, which educational theory should consider. He valuedintellect, but he criticized contemporary thought for overstressing it

33Ibid., p. 106, for interesting account of the battle between religious orthodoxy andrationality, see PervezHoodbhoy, Islam and science: Religious orthodoxy and the battlefor rationality, London: Zed boos, 1991; for its impact on education, see Charles M.Stanton,Higher learningin Islam: The classical period .AD 700-1300, Savage, MD: Rowman&Littlefield publishers, 1990.

34K.G. Saiyidain, Iqbal’s educational philosophy, 8th ed., (Lahore: SH MuhammadAshraf, 1977), p. 14.

Page 106: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni102

Jurnal TSAQAFAH

at the expense of intuition or love. From Iqbal’s writings, thecharacteristics of the good man could be inferred. First, the goodman is creative and original, for creativity is the most precious anddistinctive gift of man. He must be able to use his intelligence toharness the forces of nature for his own good and also to increase hisknowledge and power. Secondly, the good man lives his life in thename of the Lord, dedicating his powers and knowledge to workingout His purpose and thereby deserving himself for the position ofGod’s vicegerent on earth35.

The Curriculum of Islamic Education

In order to realize the aims and objectives of Islamic educationsuch which have been discussed in the previous discussion, it isnecessary for schools, colleges and universities to have an Islamiccurriculum. But a curriculum and even the text-books preparedaccording to that curriculum36 cannot make education truly Islamiceither in spirit or in practice if the teachers are not faithful Muslimsand if they do not know the proper methods of teaching accordingto that curriculum. Curriculum, method and teacher education arethus closely interlinked. According to Muhammad Hamid Al-Afendi,curriculum always reflects the concept of man that the societybelieves in, the ideology and culture that it inherits or has acquiredor intends to preserve and the goal that it wants to achieve37. The

35Ibid., p. 107.36Definition of curriculum is a systematic group of courses or sequences of subjects

required for graduation or certification in a major field of study, for example, social studiescurriculum, physical education curriculum, etc., In an other meaning the word curriculummay be defined as a general overall plan of the content or specific materials of instructionthat the school should offer the student by way of qualifying him for graduation or certificationor for entrance into a professional or vocational field. The term also can be meant as thegroup of courses and planned experiences which a student has under the guidance of theschool or college. Curriculum has its various dimensions, such as activity curriculum,areas of living curriculum, arts curriculum, articulated curriculum, broad-fields curriculum,classical curriculum, college preparatory curriculum, community centered curriculum,conduct curriculum, correlated curriculum, experience curriculum, etc., include the integratedcurriculum which can be defined as a curriculum in which subject-matter boundaries areignored, all offerings of the school being taught in relation to broad areas of study and inrelation to one another as mutually associated in some genuine life relation. This integratedcurriculum can be in the form of particular discipline, like integrated curriculum of Islamiceducation system. See, Carter V. Good, Dictionary of…, p. 149-52.

37Professor Muhammad Hamid Al-Afendi, et.al., Curriculum and teacher education,edit. (Jeddah: KAU, 1980), p. v.

Page 107: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 103

Vol. 6, No. 1, April 2010

liberal education that muslim countries have either accepted fromthe West or have felt compelled to follow for political or worldlyreasons, is at present highly confused in ideals and ideologies andgreatly indecisive in its aims and objectives. This state of affairs reflectsthe loss of a basic norm, but Muslim scholars have not as yetsucceeded in integrating that norm with all the new dimensions ofknowledge that come from the West. As a result a section of thecommunity has preserved its traditional Islamic curriculum for atraditional system of education.

Islamic education curriculum on the other hand should bebased on the study of the Holy Qur’an. Study on it closely, enablesan educationist to formulate a workable integrated curriculum witha unique philosophy and methodology. The Qur ’an attachesparamount importance to everything that concerns education andphilosophy. It ideals with the genesis of creation, the creation andthe basic nature of man; it analyses the existing social order, the workof nature and stresses the urgent need for man’s spiritual edification.

Integrated Islamic EducationIn order to actualize the aim and purpose of Islamic education

as mentioned above, the writer likely wishes to invite the participantsof this International Seminar to focus on an understanding uponthe term of Integrated System of Islamic Education as an alternativemethod of this due regard.

The term Integrated System can be defined as a system ofeducation in which subject-matter boundaries are ignored, allofferings of the school being taught in relation to broad areas of studyand in relation to one another as mutually associated in some genuinelife relation. This integrated system can be in the form of particulardiscipline, like integrated curriculum of Islamic education, integratedintra and extra curricular, integrated learning, teaching andeducation, integrated home, school and society education, integrationof school based management and society based education. Likelythe concept of ideal integrated system of Islamic education in themind of the writer is in the form of boarding school system whichimplements strict discipline in within 24 hours inside the campus toconstruct the character, behavior and personality of student.

Page 108: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni104

Jurnal TSAQAFAH

Gontor System of Education1. The Nature of Gontor System

Study on the integrated system of Islamic Education,particularly at Nusantara, cannot be denied from its strongrelationship with the existence of boarding schools, since thiseducational institution naturally followed the traditional Muslimpattern of education. This school played a very important role inbuilding up the Islamic character of the Indonesian Muslim, andprepared some numbers of intellectual and religious national leadersof Muslim community.

In the process of human resources development in Indonesia,education plays an important role that is why it must be integratedinto a single system of the national reformation. The nationalreformation on education in Indonesia, is one important aspect tobe concerned by every level of society, so then the aim of educationfor all can be actualized justly.

Among the education reformation in this country isdecentralized education. This program is aimed at empowering thecommunity based education which based on the basic competencyat the whole level of national education. The community in thisregard, actively invited to participate in the enhancement of thestandard of quality in the frame of implementation of communitybased education. The reformation now is not limited to theeducational institutions under the government control, but cross theboundary of all Islamic private institutions, like boarding school basededucation.

The boarding school system of education in Indonesia nowincreases day by day qualitative and quantitatively. And it has comeinto a gigantic educational institution to prepare and build characterand personality of young generation the qualified human resourcesof Indonesia. And in fact almost all of these institutions derived fromthe private organization which stand and run on the basis of socialsupports.

Indonesian educational system paradigm on the other hand,in recognition on over all formal schools, could not be denied, itinclude the whole forms of formal educational institutions. In thisregard, the existence of Islamic boarding school traditionally, as wellas modern should be well widely promoted, so then vision on school

Page 109: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 105

Vol. 6, No. 1, April 2010

role equality could be actualized and the government as well as theprivate school in general can do side by side in developing theIndonesian national human resources.

The root of the development of Islamic boarding school systemof education in Indonesia can be traced back through thedevelopment of the Islamic institutions which flourish day by day,particularly in the East Java province. This province famously knownas the basis of such schools which reach to some hundreds of Islamiceducational institutions. Naturally, these boarding school basededucation can be classified mainly into two categories, the traditionaland the modern one. The traditional Islamic boarding schoolcharacterized by study on Islamic classical books with special teachingand values transformation. Meanwhile the modern boarding schoolidentified by formal learning system with special attention on theimportance of character construction, life skill education, and cadrebuilding, integrated in single system of Islamic education.

Among the modern Islamic boarding school which has strongconcept of integrated Islamic education system to the preliminaryobservation and assumption of the presenter is Gontor. This Islamicboarding school so far has an interesting characteristic, values, spiritand its own system. In the knowledge of the researcher suchimportant points could be made the background of this research.The experience of Gontor system in implementing the integratedIslamic education, with its special curriculum, subject content, andmethod is an important point to be explored for the development ofIslamic education system in Indonesia.

This school consistently exists as the central of learning ofIslamic knowledge and sciences since its establishment in 1926 upto now.38 The existence of Gontor Islamic boarding school with thedynamic innovation of its system, according to Abdullah Syukri dueto three basic school aspects. The first is school values, the second isstrong system and the third is subject content of boarding schoolbased education. The value as the first aspect of Gontor Islamicboarding school is an Islamic value which consisted in its five spirit,

38Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan pembaharuan pendidikan pesantren, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), ed. 1, p. 87.

Page 110: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni106

Jurnal TSAQAFAH

indeed sincerity39, modesty40, self-help41, Islamic brotherhood42 andfreedom43. This school spirit manifested in the whole school activitiesand dimensions as the basis of its integrated system of education.

The second aspect is strong system. The nature of this systemis an integration of community based education and school basedmanagement, in the boarding system and controlled by strictdiscipline. This system is also can be said as the combination betweenhome, society and school education. The home aspect in this regard,is in the form of members of school guardians, teachers, and thestudents who live together and having brotherly relationship as themembers of single family. And the school aspect is the academiclives in the campus, meanwhile, the society aspect is totality ofstudents, teachers and guardians lives inside the campus as themembers of directed community. This system strongly supports theimplementation of integrated curriculum which can be controlledin within twenty four hours daily. The advantage of this system canbe measured through three points, the first is an effectivecoordination among the members of campus personnel, the secondis an ability to control and construct the character of student byutilizing all school facilities as the mean of education medias. And

39The word sincerity can be defined as a quality of being sincere, which means thatevery individual in this school must try to be sincere in all acts of devotion for the sake of Allah(worship) and not for reaping any profit from it. The teachers are sincere in doing the educationalprocess and the students are sincere in seeking for the knowledge. The implementation of thisspirit is through the whole aspects of lives in side the campus. Every school activity which canbe seen, heard, and felt is considered as a mean of education. See Ibid., p. 104.

40 Modesty is meant as a positive conducts towards every situation of life, and notsurrender upon the problems of lives. The precise meaning of it is to procure for the individual’svalues that will prepare them to face the trials and tribulations. It is to have strength, courage,determination, and self control. And behind these all, lies nobility, bravery and zeal to nevergive up, as well as the development of a strong mentality and character that are imperativeand necessary in preparing them to face the hardship in life, Ibid.

41Self-help is defined as standing on one’s feet. This is the most important andeffective ability provided by this school for its students. The students in this due regardpractice by themselves how to be self-relient in undertaking all his daily necessity, up to allthe means of lives. Whereas, as an educational institution, Darussalam Islamic BoardingSchool has to rely on its own resources without having to be dependent on others for aidand assistance, Ibid.

42 Islamic brotherhood in this regard is considered as the fourth basic principle ofeducation to be implemented in Gontor school through which every student learn how tobuild strong friendship and empathetic solidarity upon the other muslim brother. Happinessand sadness are shared together under the banner of Islamic brotherhood, in order toactualize the unity of muslim ummah, Ibid., p. 105.

Page 111: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 107

Vol. 6, No. 1, April 2010

the third point is the existence of mosque as the central spiritualactivities and the guardian as the symbol of an ideal life.

The third aspect of Gontor system to be concerned here issubject content. The subject taught in this system is an integrationof revealed and acquired knowledge. Based on the philosophy ofthis school there is no dichotomy of science, both revealed andacquired derived from the single transcendental source. The secondand the third aspects of boarding school based education whichapplied by Gontor, can be innovated with development of modernsystem, situation and condition. Meanwhile, in relation with the firstaspect, indeed school values cannot be altered, due to itstranscendental and universal, which derived from the teaching ofthe holy Qur’an and Prophetic Tradition.

The innovation of teaching method, curriculum, andintegrated system of Islamic education in Gontor is a mean as themedia of character construction, and life skill education of thestudents, who are the cadres of muslim community. And in the mindof researcher the nature of such integrated Islamic education systemis well to be studied.

Gontor as an Islamic institution also introduces innovation onorganizational structure and management. For the purpose of Islamicmission, Gontor Islamic boarding school in 1958, approximately after32 years of its establishment officially had been declared to be wakfinstitution, so then Gontor school management no more underpersonal control of the founding fathers, but to the authority of theschool board, based on Islamic democracy. This point to theobservation of the presenter is also something interested to be studiedfor the development and enhancement of Islamic Education inNusantara.

2. Boarding System

The construction of Education System of Gontor based on thebasic Islamic values, Indonesian spirit and the principle of boardingsystem. The basic Islamic values include: Islamic Theology, Syari’ahand Etiquette, completed by scientific Tradition and Islamic spirit.Meanwhile the basic values derived from the nation is Pancasila andthe Basic Indonesian Constitution of 1945, National EducationConstitution No. 20th, 2003, and other educational rule and regulationimplemented in Indonesia. Whereas the basic spirit of boarding

Page 112: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni108

Jurnal TSAQAFAH

system include: The Five Spirits, Sincerity, Simplicity, IslamicBrotherhood, Self-help, and Freedom, with school mottoes; NobleCharacter, Sound Body, Broad Knowledge and Independent Mind.These values also completed by the basic tradition of the positiveand constructive boarding school system. These basic values becomethe basis and spirit of the whole school educational activities in Gontor,implemented in its various programs. The existence and thedevelopment of boarding system influenced by its consistence tomaintain and keep alive above values. The orientation of theeducation in Gontor is to achieve value transformation, system andknowledge with personal development through implementation ofexcellence, habit, establishment of educating milieu, advice,instruction, guidance, assignment and control.

The whole students of Gontor board together in the hostelwith strict discipline and doing full activities in within 24 hours underthe guidance of certain guardian, instructed and controlled. Gontormore concerns upon the personality construction throughimplementation of basic values, system and basic Islamic knowledge.All activities inside as well as outside the campus are meant as theintegration of education system.

3. The Curriculum

The curriculum of Gontor system as elaborated in the Profileof Gontor’s School44 is integrated, comprehensive, and autonomous.The integration of intra, extra and co-curricular. The matter can berealized as both the teachers and students are boarded inside thecampus with strict discipline. The aforementioned system, however,consistently could integrate the three centers of education namely,family, school and society. The system of Gontor is a nature ofintegration of school based management and society based education,it may be seen at the integration of learning, teaching and educationinto one system. The integration is also applied towards the

43 Freedom is the fifth school spirit to be imparted upon the heart of every student.This freedom makes pupil optimistic in facing the problem of lives. The meaning behindthis word is freedom in thinking and acts, freedom in deciding the profession, freedom informing his future and freedon in creatifity of life based on the Islamic faith and principle,Ibid.

44Masyhudi Subari, et.al, A Profile of Islamic Teachers Training College, (Gontor:Darussalam Press, first ed., Dec., 2009).

Page 113: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 109

Vol. 6, No. 1, April 2010

component of religious subjects and general sciences, which can bedetailed in the following points:

i. Intra-curricular : 1. Islamic studies include: Al-Qur’an, Al-Tajwid,Al-Tafsir, Translation, Al-Hadith, Musthalahul Hadith, IslamicJurisprudente, The Principle of Islamic Jurisprudente, Al-Faraid,Theology Islamic Religion, Al-Adyan and the History of Islam. 2.Arabic Subject include: Dictation, Tamrin Lughah, Insya’,Muthala,ah, Nahwu, Morphology, Rhetoric, History of Arabicliterature, Arabic wise-word, Al-Khat. 3. General Subjects include:Logic, Teacher’s Profile, English, Bahasa Indonesia, Civic, AppliedSciences, Natural Sciences, Social Sciences.

ii. Co-Curricular. This curricular is implemented out of the classesunder guidance of certain teachers and senior students, include:1. Practical Worship, Prayer, Fasting, Al-Qur’an, Dzikir, Wiridand Do’a. 2. Extensive Learning, include: Teaching threelanguages, tutorial at noon and night, study on classical Islamicbook, training on public speech in three languages, puzzle,discussion, seminar, symposium, study on particular referenceand Friday Sermon. 3. Practical and guidance, include practiceon etiquette, practice on teaching of subject, practice on Dakwah,practice on pilgrimage, practice on funeral, guidance andcounseling.

iii. Extra-Curricular. This extra-curricular implemented out of theclassroom by the manager of student organization, under theguidance of the teachers and senior students. The points include:1. Training on organization, leadership and management. 2.Courses and training on scouting , handicraft, arts, sports,economic enterprises, entrepreneurship, environment, language,science, rhetoric and so on. 3. Dynamic Student Clubs(compulsory as well as optional).

The implementation of above curriculum is to realize itseducation orientation that consists of, 1) Society, where the essenceof education is oriented to prepare the student to give a social servicein the society. 2) Simplicity. The second point of the orientation inthis regard is to construct the student to have simple life, based onthe basic need, to form the spirit of self confidence and survive toface the challenge of life. 3) Non political party. The meaning behindthis point is that the student is to be the mediator of ummah, and notaffiliated to any political party or an organization. 4) Worship. The

Page 114: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni110

Jurnal TSAQAFAH

meaning of this point is that the aim and purpose of learning inGontor is thalabul ilmi (seeking for a knowledge), where the studentis sincere to obey Allah the Almighty, not to get a certificate or degreeand its civil effect.

These four points are basically related to the strong vision andmission which can be elaborated that Gontor’s vision is to be theIslamic educational institution to produce the cadres of communityleaders, to be the place for worship, and a the source of Islamicknowledge, the language of al-Qur’an and general knowledge basedon the spirit of boarding school system. Meanwhile the mission ofthis system is to prepare qualified generation to actualize the bestnation. To teach and developing muslim generation to have noblecharacter, sound body, broad knowledge and independent mind andready to serve the society. Teaching the religious and generalknowledge in balance to actualize intellectual muslim scholar, notan intellectual with limited religious knowledge and finally to preparea pious citizen with total submission to Allah the Almighty.

Conclusion

The integration of the whole aspects of campus activities inGontor into one system can be meant as the Ideal Integrated IslamicEducation to actualize perfect personality of muslim ummah, whichmay be implemented in any Islamic Institution in the future atNusantara, wallahu a’lam.[]

Bibliography

Al-atas, Syed Muhammad Naquib, Aims and Objectives of IslamicEducation, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1st. ed., 1979)

______, The Concept of Education in Islam: a Framework for an IslamicPhilosophy of Education, (Kuala Lumpur: ABIM, 1980)

Anwar, Life Skill Education, (Bandung: CV Alfabeta, 2006)

Ashraf, Syed Ali, Curriculum and Teacher Education, (Jeddah: KAU,1980)

Baloch, N.A., Education Based on Islamic Values: Imperatives andImplications, (Sindh: Pakistan Study Centre, 2000)

Page 115: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Integrated Islamic Education... 111

Vol. 6, No. 1, April 2010

Daud, Wan Muhammad Nor Wan, The Educational Philosophy andPractice of Syed Muhammad Naquib al-Atas, (Kuala Lumpur:ISTAC, 1998)

Dhiman, Foundation of Education, (New Delhi: Nangia, 2007)

Haq, Mahar Abdul, Educational Philosophy of the Holy Qur’an, (NewDelhi: Adam Publishers, first ed., 2002)

Hassan, Mohd Kamal, Moral and Ethical Issues; in Human ResourceDevelopment: Old Problems and New Challenges, (KualaLumpur: IKD, 1985)

______, Towards a Common Civilization, (Kuala Lumpur: IKIM,1997)

Hashim, Rosnani, Educational Dualism in Malaysia, (Kuala Lumpur:The Other Press, 2004)

Hussain, Mohd. Yusof, Islamization of Human Sciences, (KualaLumpur: IIUM, 2006)

Khan, Mohd Sharif, Islamic Education, (New Delhi: Ashish PublishingHouse, 1986)

______, K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern,(Ponorogo: Gontor Press, 1996)

Komar, Ong, Filsafat Pendidikan Non Formal, (Bandung: PustakaSetia, 2006)

Langgulung, Hasan, Falsafah Pendidikan Islam, ( Jakarta: BulanBintang, 1979)

______, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologis Filsafatdan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru)

______, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka HusnaBaru, 2003)

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, ( Jakarta:Paramadina, 4th. Ed., 2000)

______, Bilik-bilik Pesantren. (Dymension of Islamic BoardingSchool), (Jakarta: Paramadina, 2000)

Muslehuddin, Mohammad, Islamic Education its Form and Feature,(Islamabad: The Islamic research institute)

Page 116: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Bahroni112

Jurnal TSAQAFAH

Nata, Abudin, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2005)

Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy, (Lahore: MuhammadAshraf Publication, 1992)

Shaikh, Wahid Bakhsh, Education Based on the Teachings of HolyQur’an, (Sindh: Pakistan Study Center, 1993)

Sharif, M.M. A History of muslim philosophy, (Karachi: Royal BookCompany, 1st ed., 1983)

______, A History of Muslim Philosophy. 2nd ed., 1983.

Siradj, Sa’id Aqiel. Pesantren dan Masa Depan: Wacana Pemberdayaandan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)

Zarkasyi, Abdullah Syukri. Manajemen Pesantren, (Gontor:TRIMURTI PRESS, 2nd ed., 2005)

______, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PTRaja Grafindo, 2005)

Page 117: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Islam dan Civil SocietyImam Sukardi*

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) SurakartaEmail: [email protected]

Abstract

The article tries to address the concept of civil society from variedperspectives. From a historical point of view, civil society demands not onlythe absent domination of state but also liberates individuals from the hegemonyof state. The article shows that in Indonesia and Malaysian discourse, masyarakatmadani is often used to represent the term of civil society. Using this conception,major values of civil society also share with basic ideas within the MedinaTreaty in the history of Islam. These ideas include egalitarianism, human rightsprotection, participation, law and justice enforcement and pluralism. In thisframe, the question on whether or not Islam is compatible with the concept ofcivil society is clearly answered. Muslims could benefit such a concept to buildtheir awareness of being progressive and adaptive to social changes.

Keywords: masyarakat madani, civilization, demokratis, piagammadinah, egaliter.

Pendahuluan

Gagasan Civil Society sebenarnya dilihat dari akar sejarahkemunculannya bukan merupakan wacana baru. Gellner telahmenelusuri akar gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah

peradaban barat (Eropa dan Amerika), dan antara lain yang menjadiperhatian adalah ketika konsep ini pertama kali dipopulerkan secaragamblang oleh pemikir Scotlandia, Adam Ferguson (1723-1816),dalam karya klasiknya, An Essay on History of Civil Society (1767),hingga perkembangan konsep Civil Society lebih lanjut oleh kalangan

* Program Pascasarjana STAIN Surakarta, Telp. 0271-781516

Page 118: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi114

Jurnal TSAQAFAH

pemikir modern seperti John Lock, J.J. Rousseau, Hegel, Marx danTocqueville, hingga upaya menghidupkan kembali di Eropa Timurdan Barat di zaman Kontemporer.

John Lock, seorang pemikir kapitalis, mengembangkan istilahCivil Society menjadi civillian government dan ditulis dalam sebuahbuku yang berjudul Civillian Government pada tahun 1690. Bukutersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalammenghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hakistimewa para bangsawan. Sedangkan Rousseau yang terkenaldengan bukunya The Social Contract berbicara tentang otoritas rak-yat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusiauntuk menentukan hari dan masa depannya, serta menghancurkanmonopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demikepentingan manusia.

Karl Marx, pendahulu Hegel, sebagai pencetus ide sosialisme,juga mempunyai konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegelberpendapat bahwa negara adalah bagian dari suprastruktur,mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dandominasi struktur politik oleh kelas dominan. Negara tidakmewujudkan kehendak universal, tetapi kepentingan kelas borjuis.Secara lengkap Marx telah memberi teori tradisional tentang duakelompok masyarakat di dalam negara, yang dikenal dengan base-superstructure. Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalamMarxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai halyang sentral, faktor esensial dan menentukan dalam perubahan sosial.Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dariperspektif ekonomi, masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelasutama, yaitu; borjuis dan proletar. Dari perspektif ini, masyarakatterdiri dari dua unsur esensial yaitu dasar (base) dan supratructure.Adanya dua kelas ini mau tidak mau akan membawa kepada konflikyang tidak dapat dihindarkan ketika keduanya berusaha salingmendominasi.

Selain Marx, Antonio Gramsci, salah satu tokoh Neo-Marxisme, telah mengembangkan teori ini menjadi lebih luas. Base-superstructure dalam teori Marx dikembangkan tidak hanya dalambidang ekonomi, tetapi bisa juga dalam bidang pendidikan, politikdan lain sebagainya. Dalam bidang politik, negara menjadisuperstructure yang sering memaksakan kehendak kepada rakyat(base). Adanya pembagian kelas ini, menurut Gramsci menuntut

Page 119: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 115

Vol. 6, No. 1, April 2010

untuk terciptanya kemandirian masyarakat (Civil Society). Agarnegara lebih terbatasi dalam melebarkan kekuasaannya. Dari akarsejarah kemunculan konsep Civil Society didalangi oleh sosialismedan kapitalisme untuk mewujudkan sebuah masyarakat yangdemokratis.

Ketakutan orang-orang Arab khususnya dan orang-orang Islampada umumnya, terhadap demokrasi tidaklah sebesar penderitaanmereka karena lemahnya akses terhadap kemajuan paling pentingabad ini, khususnya toleransi — sebagai prinsip dan praktek. Yangkita maksudkan adalah humanisme sekuler yang memungkinkanberkembangnya masyarakat sipil (civil society) di Barat. Gagasan-gagasan humanistik – kebebasan berpikir, kedaulatan individu,kebebasan untuk bertindak, toleransi – dipropagandakan di Baratmelalui aliran pemikiran sekuler. Dengan sedikit pengecualikan(khususnya Turki), negara modern tidak pernah menyebut dirinyanegara dengan ajaran inisiatif individual. Sebaliknya individualismeselalu mengambil posisi yang agak ambigu di kalangan parapembaharu gerakan nasionalis abad ke- 19. Gerakan yang memusat-kan diri pada perjuangan menentang penjajahan dan karena itusangan anti Barat ini, diwajibkan mengakarkan diri secara lebihmendalam, lebih dari yang pernah ada dalam Islam.

Berhadapan dengan Barat yang militeristik dan imperialistik,para nasionalis muslim terpaksa berlindung pada masa lalu mereka,dan menegakkannya sebagai benteng — hudud — kultural untukmembebaskan diri dari kekerasan kolonial. Masa lalu ummat Islamyang mereka bangkitkan kembali tidak menambatkan identitasmodern pada tradisi rasionalis. Sebenarnyalah, para nasionalis adalahpara tahanan situasi historis yang tak dapat tidak, membuatmodernitas menjadi pilihan yang niscaya. Baik mereka bisa mem-bangun modernitas dengan mengklaim warisan humanistik parapenjajah Barat dengan resiko kehilangan kesatuan (sebab bila kitaberbicara tentang tradisi rasional, maka kita berbicara tentang ra’yu,“pendapat” individu dan ‘aql, nalar, dan karena itu mungkin berbedapendapat); ataupun mereka dapat secara hati-hati melindungi rasapersatuan dalam menghadapi penjajah dengan berpegang teguhpada masa lalu, mendukung tradisi tha’at, patuh, dan menutupsegala penemuan Barat.1

1Fatimah Mernisi, Islam dan Demokrasi, terjemahan oleh Amiruddin Arrani, dariIslam and Democracy Fear of Modern World, (Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 52.

Page 120: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi116

Jurnal TSAQAFAH

Celakanya, pemecahan kedua inilah yang tanpa sengaja dipiliholeh para politisi nasionalis. Hakikat dari dua warisan rasionalistersebut, baik Islam maupun Barat, adalah kebebasan berpikir, ke-bebasan untuk berbeda. Hal ini dikorbankan demi menyelamatkanpersatuan. Apa yang dilihat secara jelas oleh para politisi dan pem-baharu tahun 1920-an dan 1930-an adalah bahwa dengan menying-kirkan akal, ummat Islam melemahkan diri sendiri lebih dari apayang pernah terjadi.2

Pada sekitar tahun 60-an seorang orientalis pernah mempre-diksikan bahwa Islam akan menjadi salah satu kekuatan politik yangsangat penting di dunia.3 Pengamat yang lain memberikan sinyale-men adanya ‘kebangkitan’ Islam sebagai gerakan yang semakin gopublic, yang semakin inklusif.4 Pada kenyataannya dapat dilihatbahwa Islam begitu marak dalam menentukan identitasnya. Begitubanyak aspek kehidupan yang dicarikan dasarnya dari akar Islam,baik yang sekunder (hadits) maupun yang primer (Qur’an). Adakesan bahwa di setiap aspek kehidupan ini Islam harus memilikikekhasannya sendiri.

Paradigma Civil Society

Menurut Gellner, Civil Society, di samping merupakan seke-lompok institusi/lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegahtirani politik baik oleh negara maupun komunal/komunitas, jugacirinya yang menonjol ialah adanya kebebasan individu di dalamnya,dimana sebagai sebuah asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki sertaditinggalkan oleh individu dengan bebas.

Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa Civil Society tidakhanya menolak dominasi negara atas dirinya, tetapi juga karenasebagai institusi yang bersifat non-state, maka dalam penampilankelembagaannya tidak mendominasi individu-individu dalamdirinya. Di sinilah posisi individu sebagai aktor sosial yang bebasyang diistilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidakdipengaruhi kultur), yang menurutnya tidak merupakan prasyaratbagi perwujudan Civil Society. Jadi Civil Society tidak hanya mene-rapkan sifat otonominya terhadap negara, namun dalam konteksinternalnya dari sejak hubungan antara anggotanya, ia juga meru-

2 Ibid.

Page 121: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 117

Vol. 6, No. 1, April 2010

pakan institusi yang menghargai keniscayaan perlunya menghargaiotonomi individual.

Sejalan dengan itu AS Hikam menyatakan bahwa variabelutama Civil Society adalah otonomi (kemandirian), publik dan civic,sesuatu yang meniscayakan demokrasi bagi masyarakat sepertikebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul menge-luarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam memper-tahankan kepentingan di depan umum.

Masyarakat Madani dan Civil Society

Masyarakat Madani merupakan suatu istilah yang sampaisekarang para pakar masih belum menemukan definisinya secarapas. Hal ini disebabkan karena istilah Masyarakat Madani ini barudikenal di Indonesia pada tahun 1995; yaitu ketika Dato Seri AnwarIbrahim, Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia,pada waktu itu menyampaikan ceramahnya yang berjudul “Islamdan Pembentukan Masyarakat Madani” pada Festival Istiqlal, 26September 1995.

Dalam ceramah itu Dato Seri Anwar Ibrahim menyatakansebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan masyarakat madani ialah sistem sosial yangsubur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimba-ngan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik darisegi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keter-dugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sistem.”5

Bahtiar Effendy menyatakan bahwa di Indonesia dan Malaysiaistilah Masyarakat Madani ini merupakan padanan dari “civil society”.Istilah Madani, sebenarnya tidak murni berasal dari perbendaharaan

3Bandingkan introduksi W. Montgomery Watt, Islamical Political Thought (Edinburgh:Edinburgh University Press, 1968).

4Lihat bagian kesimpulan Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islamand the Ideology of Tolerance (New York and London: Routledge, 1996).

5Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani di Indonesia Sebuah Penjajakan Awal, dalamJurnal Pemikiran Islam Paramadina, Jakarta, Vol, I, No. 2, 1999, h. 23. Lihat. Anwar Ibrahim,“Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” dalam Aswab Mahasin, et, al, ed. Ruh Islamdan Budaya Bangsa, h. 22.

Page 122: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi118

Jurnal TSAQAFAH

kata rumpun Melayu. Secara jelas kata itu merupakan istilah yangberasal dari kata bahasa Arab, mudun, madaniyyah, yang mengan-dung arti peradaban.6 Dalam bahasa Inggris, istilah tersebut mem-punyai padanan makna dengan “civilization”. Dengan demikian –lanjut Bahtiar – dipandang dari sudut peralihan peristilahan, kata“Masyarakat Madani” jelas mempunyai kedekatan makna dengan“civil society”. Akan tetapi, perlu diingat bahwa konsep “civil society”mempunyai kekhususan, yang berkaitan dengan kehidupan ber-bangsa dan bernegara dalam artian bangunan dan prilaku politik.Dan pemahaman yang paling umum dari konsep “civil society” adalahbahwa ia berkaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi.7 Jadi, meskipunada anggapan bahwa “masyarakat madani” merupakan pengalih-bahasaan dari “civil society”, dalam membahas “masyarakat madani”lebih jauh bukan hanya sekadar terfokus kepada pengalihbahasaan;ia adalah suatu konsep yang bersifat khusus, dan ada perbedaandalam soal cakupan.8

Kata madani biasanya juga dikaitkan dengan kata “madinah”yang orang sekarang cenderung membandingkannya dengan kon-sepsi Yunani tentang polis, dan tentu saja banyak kesamaankonseptual antara keduanya, mengingat al-Farabi, pernah menulissalah satu karangannya tentang “al-Madinah al-Fâd }ilah”, kota tela-dan. Namun ketika “madinah nabi” didirikan di Yatsrib di bawah bim-bingan Nabi, filsafat Yunani belum banyak dikenal di negara Arab.9

Meskipun demikian, bukanlah suatu kebetulan bahwa wujudnyata masyarakat madani untuk pertama kalinya itu dalam sejarahummat manusia merupakan hasil usaha utusan Tuhan untuk akhirzaman, Nabi Muhammad, Rasulullah saw sesampainya di kotaYatsrib, beliau ganti nama kota itu dengan madinah. Di sana Nabi

6Istilah “madani” juga biasanya diambil dari kata “madinah” dan digunakan sejakbeberapa abad yang lau dalam arti “civil”, beradab. Muhammad Abduh menulis satukarangannya yang besar dengan judul “al-Islam wa an-Nas}raniyah wa al-‘Ilm al-Madaniyyah(Islam dan Kristen tentang ilmu dan peradaban), buku yang kemudian diterbitkan danditerjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1970.

7Bahtiar Effendy, Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani MenujuTerbentuknya Negara-Bangsa Yang Modern, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina Jakarta,Vol, I, No. 2, 1999, h. 76-77.

8AS. Hikam, Nahdhatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan, dalam AhmadBaso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), h. 11

9Olaf Schumann, Dilemma Islam Kontemporer Antara Masyarakat Madani dan NegaraIslam, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Jakarta, Vol, I, No. 2, 1999, h. 65

Page 123: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 119

Vol. 6, No. 1, April 2010

telah membangun masyarakat yang berperadaban, yaitu masyarakatyang berperadaban (ber-”madaniyyah”) karena tunduk dan patuhkepada supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat madani padadasarnya merupakan reformasi total terhadap masyarakat tak kenalhukum Arab Jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadiseorang penguasa yang selama ini menjadi pengertian umum tentangnegara.10

Islam Suatu Kekuatan Politik

Memandang Islam sebagai suatu kekuatan politik mengandai-kan pengertian bahwa Islam memiliki pemahaman integral akanyang duniawi dan yang ukhrawi.11 Secara historis dapat dipahamibahwa Islam menghidupi aspek integral antara yang duniawi danukhrawi, antara yang rohani dan jasmani. Di sini pantas dicatat bahwagerakan Nabi (Muhammad) sendiri pada awalnya tidak memilikirelevansi politis yang jelas. Akan tetapi, pada akhirnya gerakanreligius Nabi ini disegani juga oleh pedagang-pedagang besar diMekah. Gagasan religius Nabi menjawab situasi Mekah secara totalsehingga lambat laun gerakan Nabi sungguh-sungguh memilikirelevansi bagi kegiatan politik di tanah Arab itu.12

Dari perjuangan Nabi dapat dilihat bahwa gerakan religiusnyamemang memiliki relevansi politis. Keterbukaan dan penghormatankepada sesama manusia makhluk Allah, misalnya, baginya cukupmenjadi basis penggerak untuk membuat komunitas pluralistik(dengan Piagam Madinah). Hal inilah yang memungkinkanmunculnya pemahaman bahwa Islam sebagai kekuatan politik tidakterlepas dari Islam sebagai suatu gejala teologis. Apa yang dihayati,dihidupi sebagai bagian kerohanian itu terwujud pula dalam aspekjasmani. Dengan kata lain, Islam sebagai gejala teologis pun secarahistoris terejawantah dalam Islam sebagai gejala ideologis. Itu berartibahwa Islam memiliki ideologi-ideologi yang mendasari bagaimanaia hidup dalam tatanan sosial politik.

10Nurcholis Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan danKemungkinan, dalam Ahmad Baso, Civil Society..., h. 21.

11Bandingkan. Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan (Jakarta: YayasanWakaf Paramadina, 1995), h. 188. Lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam(Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 4-6.

12Lihat W. Montgomery Watt, Islamical..., h. 3-30.

Page 124: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi120

Jurnal TSAQAFAH

Lebih radikal lagi, dalam arti luas, dari sini juga dapat diterimabahwa agama (Islam) memiliki kaitan yang istimewa dengannegara.13 Dalam arti tertentu, Islam menawarkan landasan yang ko-koh sebagaimana ideologi lainnya memberikan dasar untuk penye-lenggaraan negara.

Secara teoritis, dengan pola hubungan tujuan-sarana, mutlak-relatif, hubungan antara Islam dan negara tidak dapat dimengertisebagai suatu pola hubungan statis. Artinya, keharusan adanya negara(Islam) tidak sekuat keharusan adanya agama Islam. Misalnya, kalaudari segi historis dapat ditemukan adanya negara Islam dalam artisebagaimana dialami oleh Nabi, tidak dapat dimutlakkan bahwatatanan negara Islam itu diwujudkan dalam masa sekarang ini. Halitu akan serupa dengan pencarian demokrasi yang mengimpikandemokrasi awal: demokrasi Athena.

Pola hubungan yang dinamis antara Islam dan negara itu me-mungkinkan munculnya beberapa penafsiran dan gerakan dalamIslam sendiri. Kelompok yang lebih moderat tentu saja tidak me-mutlakkan institusi negara Islam sebagaimana ditafsirkan olehkelompok fundamental. Bahkan, mungkin kebanyakan para tokohmuslim tidak menolak adanya kompromi bahwa negara Islam perludimengerti sebagai suatu negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.Istilah negara Islam tidak perlu dimengerti sebagai negara yangsegala-galanya diatur menurut kaidah Islam.14

Dengan penafsiran yang lebih terbuka itu (kalau tidak dapatdikatakan bahwa Al-Qur’an dan hadits sendiri tidak menyebutkansoal negara Islam) Islam tidak dapat tidak perlu menemukan idedasar dalam syari’ah bagi demokrasi. Harus diakui, demokrasi perse bukanlah gagasan Islam15 tetapi tidak berarti bahwa Islam tidakcompatible dengan gagasan itu. Islam justru harus terbuka padagagasan demokrasi yang sudah diakui secara universal sebagai satu

13Menarik untuk diperhatikan bahwa relatif banyak literatur membahas soal interpretasiterhadap suatu negara Islam (Islamic state). Bdk. Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 3-4 tetapi juga bdk. Nurcholish Madjid, Islam...,h.188-189.

14Gagasan tentang tidak adanya negara Islam disampaikan oleh Amien Rais yangmendapat dukungan dari Mohamad Roem. Bdk. Agus Edi Santoso (ed.), Tidak Ada NegaraIslam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Penerbit Djambatan,1997), h. 1-11.

15Bandingkan M. Imam Aziz, et. al. (ed.), Agama, Demokrasi & Keadilan (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 63-66.

Page 125: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 121

Vol. 6, No. 1, April 2010

peradaban yang layak diupayakan demi di dunia yang lebih baik.Kiranya dapat disebutkan di sini apa saja elemen-elemen demokrasiyang perlu ditemukan basisnya dalam Islam

Apabila Civil Society dipahami sebagai masyarakat madani,menurut Nurcholis Madjid, dalam Islam, realisasinya masyarakatyang dibangun oleh Rasulullah dengan azas yang tertuang dalam“Piagam Madinah” yang memiliki enam ciri utama yaitu; (1). Egali-tarianisme; (2). Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi; (3).Keterbukaan; (4). Keadilan; (5). Toleransi dan Pluralitas; (6).Musyawarah.

Dengan mencermati isi dari piagam Madinah, bahwasanyapiagam tersebut berisi rumusan yang jelas tentang hak-hak dankewajiban orang Islam di antara mereka sendiri, serta hak-hak dankewajiban di antara orang Islam dan Yahudi, dan orang Yahudimenerima perjanjian itu dengan gembira apabila terjadi perselisihandi antara mereka maka semuanya dikembalikan kepada Allah danrasulNya sebagaimana termaktub dalam piagam tersebut bahwa “Biladi antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi perselisi-han yang dikhawatirkan akan menimbulka kerusakan, maka tempatkembalinya kepada Allah dan kepada Rasulullah saw dan bahwaAllah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.Selain itu juga tertulis “bahwa melindungi orang-orang Quraisy ataumenolong mereka tidak dibenarkan”. “Bahwa di antara mereka harussaling membantu melawan orang-orang yang mau menyerangYatsrib ini. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlahajakan perdamaian itu, “Bahwa apabila mereka diajak berdamaimaka orang-orang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepadaorang-orang yang memerangi agama, bagi setiap orang, daripihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa posisi piagamMadinah adalah sebagai kontrak sosial antara Rasulullah denganrakyat Madinah yang terdiri dari orang-orang Quraisy, kaum Yatsribdan orang-orang yang mengakui dan berjuang bersama mereka.Posisi Rasul di sini adalah sebagai pemimpin yang mereka akuibersama dan telah meletakkan dasar Islam sebagai landasanbermasyarakat dan bernegara. Sehingga jika kita akan mencari nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat madani saat itu pastilah nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang Islami.

Page 126: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi122

Jurnal TSAQAFAH

Kembali kepada penggambaran masyarakat madani yangdinyatakan oleh Nurcholis Madjid di atas, kita dapat menelusurisecara detail apakah keenam nilai tersebut memang terpancar darinilai-nilai yang tertuang dalam Piagam Madinah. Berikut ini beberapacatatan yang barangkali dapat dipertimbangkan, menanggapi para-digma Nurcholis Madjid tentang realisasi berlakunya PiagamMadinah yang diasumsikan sebagai fakta terwujudnya masyarakatmadani dalam pemerintahan Nabi Muhammad di kota Madinah

Pertama, egaliter. Kata egaliter bermakna kesetaraan. Egalitarianadalah paham yang mempercayai bahwa semua orang sederajat,sementara egalitarianisme diartikan sebagai doktrin atau pandanganyang menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama,sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok. Jadi masyarakategaliter atau masyarakat yang mengemban nilai egalitarianisme dapatdigambarkan sebagai masyarakat yang mengakui adanya kesetaraansuku, keturunan, ras, agama dan sebagainya. Dalam PiagamMadinah, memang terlihat betapa Islam memberikan jaminankesamaan derajat warga negara ketika Islam secara adil mengaturpemenuhan hak-hak dan kewajiban warganya dan orang-orang yangterikat perjanjian dengan Rasulullah sebagai pimpinan saat itu. Hanyasaja semua ini berlangsung dalam rangka ketundukan terhadapsyari’at Islam. Artinya selama non-muslim mematuhi aturan mainyang diberikan Rasulullah maka posisi mereka tersebut tidak akanterzalimi. Jadi dalam masyarakat Madinah tersebut sangatlah jelasposisi masing-masing apakah dia muslim, ahl al-Z }immah atau orang-orang yang terikat perjanjian dan Islam telah mengatur merekadengan aturan yang menjamin ketenangannya. Oleh karena itumasyarakat Madinah bukanlah masyarakat Egaliter seperti yangdikatakan Nurcholis Madjid.

Kedua, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi. Nilaiini sama sekali tidak ada dalam Islam. Karena penghargaan yangsetinggi-tingginya hanya diberikan kepada orang-orang yang teguhdalam kebenaran Islam. Artinya bila penghargaan kepada orangsemata-mata berdasarkan prestasi bisa jadi ketika dalam masyarakattersebut si Yahudi ternyata lebih cakap dalam bidang pemerintahanakhirnya dibenarkan oleh tatanan yang ada untuk menerimanyasebagai pemimpin masyarakat. Padahal jelas Islam telah mensyariat-kan bahwa salah satu syarat pemimpin (khalifah) adalah muslimbukan yang lain.

Page 127: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 123

Vol. 6, No. 1, April 2010

Ketiga, keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakataktif) sebagai kerendahan hati untuk tidak selalu merasa benar,kemudian kesediaan untuk mendengar pendapat orang lain untukdiambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurutNurcholis akan memberi peluang pada adanya pengawasan sosial.Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa keterbukaan adalahkonsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihatsesama manusia pada dasarnya adalah baik, sebelum terbuktisebaliknya. Oleh karenanya kita harus menerapkan prasangka baik,bukan prasangka buruk kecuali untuk keperluan kewaspadaan.

Islam sebagai ajaran yang sempurna telah mengajarkan kepadakita standar benar dan salah. Kebenaran itu tidak bersifat relatif,sehingga membuat seorang muslim menjadi ragu terhadap ke-yakinannya. Bagaimana mungkin Islam memerintahkan ummatnyauntuk menegakkan kebenaran jika standar kebenaran itu tidakdiajarkan kepada ummatnya. Secara jelas kita melihat dalam PiagamMadinah dinyatakan bahwa jika terjadi perselisihan hendaklah di-kembalikan kepada Allah dan RasulNya. Terjadinya perselisihan diantara manusia menunjukkan adanya ketidakbenaran yang terjadidi tengah masyarakat. Sehingga harus dikembalikan kepada Allahdan RasulNya sebagai sumber kebenaran itu. Jadi kalaupun dimasyarakat Islam ada nilai-nilai keterbukaan maka yang dimaksud-kan adalah keterbuakaan terhadap kebenaran yang datangnya dariAllah dan RasulNya, bukan dari yang lain. Sedangkan dalam kaitan-nya dengan pengawasan sosial, maka yang dimaksud adalah amarma’ruf nahi munkar dari masyarakat terhadap masyarakat dan negara.

Keempat, penegakan hukum dan keadilan. Hal ini cukup jelasdan tercantum dalam Piagam Madinah yang berbunyi “Bahwa orang-orang yang beriman dan bertaqwa harus melawan orang yangmelakukan kejahatan di antara mereka sendiri, atau orang yang sukamelakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuatkerusakan diantara orang-orang beriman sendiri dan mereka harusbersama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri.

Kelima dan keenam adalah toleransi dan pluralitas serta musya-warah-demokrasi yang sebenarnya merupakan unsur asasi pem-bentuk Civil Society (Masyarakat Madani). Menurut NurcholisMadjid, Civil Society merupakan simbol masyarakat yang demokratisyang terbangun dengan menegakkan musyarawarah. Musyawarahpada hakekatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam

Page 128: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi124

Jurnal TSAQAFAH

masyarakat yang saling memberikan hak untuk menyatakanpendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapatitu. Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yangluhur dilandasi toleransi dan pluralitas. Toleransi dan pluralitas itutidak lain adalah wujud civility yaitu sikap kejiwaan pribadi dan sosialyang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar. Pluralitas dantoleransi ini merupakan wujud dari ikatan keadaban (bound ofcivility), berarti masing-masing pribadi dan kelompok dalamlingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan peng-hargaan, betapapun perbedaan ada tanpa saling memaksakan ke-hendak, pendapat atau pandangan sendiri. Dengan kata lain untukmencapai sebuah masyarakat yang civilized harus ada kesetaraan po-litik dan itulah wujud dari praktik demokrasi yang sesungguhnya.

Seorang penulis besar seperti Robert A. Dahl pun bahkanterkesan memakai pendekatan tesis-antitesis-sintesis yang cukupmenimbulkan pertanyaan besar tentang apa itu sebenarnya demo-krasi. Misalnya, gagasannya tentang poliarki menempatkandemokrasi pada tahap terakhir setelah poliarki. Sementara negara-negara yang dianggap sudah mengalami poliarki pun tidak menga-lami apa-apa meskipun dikenal sebagai negara demokratis. Di sinipengertian demokrasi seolah-olah dikaburkan juga.16

Akan tetapi, dari sekian banyak diskusi tentang demokrasi,kiranya masih ada saja pokok-pokok yang selalu dibahas sebagaielemen penting dalam demokrasi atau elemen penting yang perludiupayakan oleh demokrasi. Dapat disebutkan di sini elemendemokratis itu sebagai berikut:17 (1). Ada pengakuan kesetaraanantara seluruh individu. (2). Nilai-nilai yang melekat pada individumengatasi nilai-nilai yang melekat pada negara. (3). Pemerintahmerupakan pelayan masyarakat. (4). Ada aturan-aturan hukum. (5).Pengakuan atas nalar, eksperimentasinya dan pengalaman. (6).Pengakuan mayoritas atas hak-hak minoritas. (7). Adanya prosedurdan mekanisme demokratis sebagai cara mencapai tujuan bersama.

Dari prinsip-prinsip demokratis ini, kiranya dapat diterimabahwa demokrasi pada akhirnya mengandaikan adanya suatu kese-taraan atau keseimbangan politis. Itu berarti setiap elemen masya-

16Bandingkan Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, (New Haven & London:Yale University Press, 1989), h. 213-224.

17Mahmoud Mohamed Taha, Syari’ah Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agamadan Demokrasi, 1996), h. 232-233.

Page 129: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 125

Vol. 6, No. 1, April 2010

rakat memiliki kesempatan dan kemampuan yang relatif seimbanguntuk memperjuangkan kepentingan politisnya. Dalam beberapakajian tentang demokrasi, hal ini dapat dipahami sebagai salah satuunsur demokrasi tetapi mungkin juga justru tidak dianggap sebagaipadanan demokrasi.18 Akan tetapi, akhirnya toh prinsip kesetaraanditerima sebagai basis demokrasi.

Dari paham kesetaraan inilah dapat diturunkan berbagaimacam teori demokrasi yang akomodatif bagi gagasan Islam.Artinya, Islam sendiri memiliki basis yang kuat yang mendukungprinsip kesetaraan tersebut. Seiring dengan gerak rasionalitas daninklusivisme Islam, Islam dapat memperkuat basis demokratistersebut dengan syari’ahnya.

Penutup

Dari uraian sekilas di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnyaCivil Society merupakan masyarakat merdeka terhadap setiapbentuk intervensi negara yang menguasai seluruh wacana publikdalam wujud konstitusi dan hegemoni elite penguasa yangcenderung diperlakukan sebagai kelas yang selalu benar di bawahperlindungan negara yang disakralkan.

Islam harus dipahami secara integral, sebagai agama yangdisamping memperhatikan permasalahan-permasalan akhirat, diajuga tidak pernah meremehkan masalah-masalah kekinian dan masadepan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan yang dalam bahasaagama dipercaya sebagai khalifah, wakil Tuhan di muka bumi ini,dengan mengembangkan persoalan-persoalan yang bermanfa’atbuat alam sekitar dan masyarakat secara keseluruhan.

Civil Society dapat diartikan juga sebagai masyarakat yangmandiri di hadapan hukum, termasuk syari’at, karena hukum diberiarti dinamis sebagai produk masyarakat yang selalu berubah danberkembang. Karena itu, lebih tepat jika kesadaran hukum padaCivil Society diartikan sebagai kesadaran etik terhadap ketentuanhukum yang dinamis.

Secara historis antara Islam dan Civil Society tidak pernah adahubungan apa-apa, tetapi konsep Civil Society dapat diterapkan juga

18Bandingkan John Dunn (ed.), Democracy The Unfinished Journey, (New York: OxfordUniversity Press, 1992), h. 73 dan 115.

Page 130: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Imam Sukardi126

Jurnal TSAQAFAH

dalam dinamika masyarakat Islam untuk membangun kesadaranmereka agar dapat berpikir lebih maju dan berlaku sportif bahwaIslam juga membutuhkan masukan-masukan (ide-ide) dari luardirinya untuk mengembangkan interpretasi.[]

Daftar Pustaka

Aziz, M. Imam, et. al. (ed.), Agama, Demokrasi & Keadilan, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1993)

Dahl, Robert A, Democracy and Its Critics, (New Haven & London:Yale University Press, 1989)

Dunn, John, (ed.), Democracy: The Unfinished Journey, (New York:Oxford University Press, 1992)

Effendy, Bahtiar, Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat MadaniMenuju Terbentuknya Negara-Bangsa Yang Modern, dalam JurnalPemikiran Islam Paramadina, pp. 76-77.

Hikam, AS, Nahdhatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan,dalam Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani,(Jakarta: Pustaka Hidayah 1999)

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: PenerbitMizan, 1997)

Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 1994)

Madjid, Nurcholish, Islam: Agama Kemanusiaan, (Jakarta: YayasanWakaf Paramadina, 1995)

Mernisi, Fatimah, Islam dan Demokrasi, terjemahan oleh AmiruddinArrani, dari Islam and Democracy Fear of Modern World,(Yogyakarta: LkiS, 1994)

Rahardjo,Dawam, Masyarakat Madani di Indonesia Sebuah PenjajakanAwal, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Jakarta, Vol,I, No. 2, 1999.

Ramage, Douglas E, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and theIdeology of Tolerance, (New York and London: Routledge, 1996)

Santoso, Agus Edi, (ed.), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat PolitikNurcholish Madjid-Mohamad Roem, ( Jakarta: PenerbitDjambatan, 1997)

Page 131: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Islam dan Civil Society 127

Vol. 6, No. 1, April 2010

Schumann, Olaf, Dilemma Islam Kontemporer Antara MasyarakatMadani dan Negara Islam, dalam Jurnal Pemikiran IslamParamadina, Jakarta, Vol, I, No. 2, 1999.

Taha, Mahmoud Mohamed, Syari’ah Demokratik, (Surabaya:Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996)

Watt, W. Montgomery, Islamical Political Thought, (Edinburgh:Edinburgh University Press, 1968)

Page 132: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

Wacana Masyarakat Madani:Dialektika Islam dengan Problem Kebangsaan

Mohammad Muslih*Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Ponorogo

Email: [email protected]

AbstractThis article contributes to the analysis of the “madani society” discourse

and its development in Indonesia as a form of a struggle and dialectic ofintellectual Muslim to interpret Islamic teachings in its relationship to modernlife, especially to politics and nationality problems. The Islamic basic conceptabout the democratic principles such as justice, equality, freedom and deliberation,including the attitudes of tolerance and recognition of human rights actuallyhad been developed well over the Apostles and the Khilafat ‘al-Rashidin politicaland social life. This Islamic political concept is tried to be reconstructed backby Muslim intellectuals with the idea of madani community. The presence ofthis discourse in Indonesia seems externally to be affected by the discourse ofcivil society that had been becoming a global currents of thought since the1990s, and internally cannot be separated from the condition of the nation atthat time, especially the unavailability of public space, besides as the impact ofthe model static approach developed in the New Order political reality.

Keywords: Mitsaq al-Madinah, equalitas, otokrasi, toleransi.

Pendahuluan

Gagasan masyarakat madani sudah tetu tidak langsung terbentukdalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkanpemikiran ini pun masih akan berkembang terus akibat dari

proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut dilapangan. Konstruksi wacana masyarakat madani memiliki rentangwaktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari

* Kampus Pusat ISID Gontor, Jl. Raya Siman Ponorogo Telp. 0352-488182

Page 133: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih130

Jurnal TSAQAFAH

akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk pola seperti yangdikenal sekarang ini.1

Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan di-namika intelektual muslim dalam memaknai ajaran Islam terkaitkehidupan modern, terutama problem politik dan kebangsaan.Konsep masyarakat madani juga sering disebut sebagai alternatifuntuk mewujudkan good government. Bagaimana wawasan politikIslam terkait posisi dan peran masyarakat sebagai bagian darikehidupan berbangsa dan bernegara? Dan bagaimana dinamikawacana ini di Indonesia? Inilah beberapa persoalan yang akandiuraikan jawabannya dalam artikel ini.

Antara Civil Society dan Masyarakat Madani

Sebagai sebuah wacana, atau lebih tepatnya wacana kefilsa-fatan, Civil Society bisa disejajarkan dengan isu gender, human right,dan demokrasi. Dalam pemikiran keislaman, bahkan tidak kalahserunya dengan isu pluralisme yang pada kenyataannya memangberjalan seiring dengan isu ini. Semangat beberapa wacana ini adalahpemahaman akan keberadaan hak, baik sebagai individu dan kelom-pok masyarakat. Juga perlakuan yang adil di tengah adanya perbe-daan, serta penghapusan dominasi yang satu terhadap yang lain.

Kehadiran wacana ini di Indonesia secara eksternal karenasekitar tahun 1990-an civil society telah menjadi arus pemikiranglobal, dan secara internal tidak bisa dipisahkan dari kondisi bangsasaat itu, terutama tidak tersedianya ruang publik (public space). Rezimorde baru berada pada posisi kekuatan yang tidak tertandingi. Kritisterhadap kebijakan pemerintah dianggap melawan negara. Pada saatitulah, civil society terus diwacanakan oleh para aktivis, termasukintelektual muslim.

Pengusung wacana ini, umumnya adalah para intelektualmodernis, seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Raharjo,Abdurrahman Wahid, AS. Hikam, Mansour Fakih, dll. Sekalipunmereka, dalam beberapa hal, berbeda dalam memaknai civil society,namun mereka memiliki keperihatinan yang sama, terutama soal

1Thoha Hamim, “Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentangPrinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance”, dalam Ismail SM dan AbdullahMukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000) h. 112-113.

Page 134: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 131

Vol. 6, No. 1, April 2010

kekuasaan pemerintah yang terlalu kuat. Mereka umumnya men-jadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society.Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisamengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan smallstateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum.2

Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.

Kesan seperti ini terjadi karena lahirnya civil society bersamaandengan konsep negara modern, yang bertujuan, antara lain: pertama,untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abadke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atasdasar itu, civil society berjalan di atas kerangka dasar bahwa …thestate as an association between the members of a society rather than asthe personal domain of a monarch, and furthermore as an associationthat is unique among all the associations in civil society because of therole it plays. Thingking of the state as an association between all membersof a society means ascribing to it supreme authority to make and enforcelaws –the general rules that regulate social arrangements and socialrelationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be agenuine association between all members of the community, it followsthat its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditarytitle of a royal line, but must originate in the way in which rulers arerelated to the ruled.3

Sementara itu, civil society juga dimengerti sebagai lawan darimasyarakat militer, karenanya dipopulerkan dengan menggunakanistilah “masyarakat sipil”. Mansour Fakih adalah di antara tokoh yangmengusung pandapat ini.4 Untuk kasus Indonesia, pandangan inicukup beralasan, karena munculnya civil society sebagai counterterhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisidi Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, di mana ABRIjuga memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepalapemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI.

2A Qodri Abdillah Azizi, “Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif”, dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi danMasyarakat Madani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 87

3Andrew Gamble, An Introduction to Modern Social and Political Thought, (Hongkong:Macmillan Education Ltd, 1988), h. 47-48

4Lihat Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan IdeologiLSM Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

Page 135: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih132

Jurnal TSAQAFAH

Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasioleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis ter-hadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahukalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikanterhadap para aktivis demokrasi.5

Adalah Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan danTimbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah SimposiumNasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26September 1995 memperkenalkan masyarakat madani sebagaiterjemahan dari civil society.6 Istilah itu diterjemahkan dari bahasaArab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas,seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiriISTAC.7 Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madaniberarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya sepertihadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arabmemang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan. M.Dawam Rahardjo kelihatannya sependapat, bahwa alih bahasa dandefinisi yang sesuai dari civil society adalah “masyarakat madani”.8

Sebagian kalangan keberatan menyepadankan istilah inidengan civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike(Yunani). Karena istilah “masyarakat madani” dan civil society berasaldari dua sistem budaya berbeda. Masyarakat madani merujuk tradisiArab-Islam, sedang civil society pada tradisi Barat non-Islam.Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila dikaitkandengan konteks asal istilah itu muncul.

Oleh karena itu, pemaknaan lain di luar derivasi konteksasalnya akan merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaanini tidak hanya menimpa kelompok masyarakat yang menjadi sasaranaplikasi konsep tersebut, tetapi juga para interpreter yang akan

5Thoha Hamim, “Islam dan Civil society…, h. 113.6Lihat Anwar Ibrahim, “Islam dan Masyarakat madani” dalam Aswab Mahasin (ed.)

Ruh Islam dan Budaya Bangsa (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996); Juga NurcholishMadjid , “Meneruskan Agenda Reformasi untuk Demokrasi dengan Landasan JiwaMasyarakat madani; Masalah Pluralisme dan Toleransi,” Makalah Pidato Halal Bihalal KAHMI(Jakarta, 11 Syawwal 1419 / 28 Januari 1999).

7Ismail SM. “Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat Madani”,dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.180-181.

8Lihat M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan PerubahanSosial, (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999), h. 133-173.

Page 136: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 133

Vol. 6, No. 1, April 2010

mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaanaplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telahteruji secara terus-menerus dalam tatanan kehidupan sosial-politikBarat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut mem-bidani lahirnya peradaban Barat modern. Sedangkan masyarakatmadani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang meru-juk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad.

Karena memiliki arti dan konteks yang sangat berbeda inilah,AS. Hikam tetap mempertahankan istilah aslinya: civil society.9

Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjaminberlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak ter-kungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalamjaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civilsociety, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirianyang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompokdalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2)adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politiksecara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yangberkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuanmembatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.

Menurut pengamatan A. Syafii Maarif, masyarakat sipil yangberkembang dalam masyarakat Barat secara teoritis bercorak egali-tarian, toleran, dan terbuka —nilai-nilai yang juga dimiliki oleh ma-syarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahirdan berkembang dalam semangat pembebasan (liberalisme) sehing-ga masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranandan kebebasan individu, sementara persoalan keadilan sosial danekonomi masih belum nyata. Sedangkan dalam masyarakat madani,keadilan adalah satu pilar utamanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madaniadalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan moder-nitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat se-kuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyaimoral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan.Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhanpetunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakatmadani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan

9Lihat Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, (Jakarta: LP3ES, 1999).

Page 137: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih134

Jurnal TSAQAFAH

toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yangbersumber dari wahyu Allah.10

Masyarakat Madinah, yang oleh Nurcholish Madjid dijadikantipologi masyarakat madani, merupakan masyarakat yang demo-kratis. Dalam arti bahwa hubungan antar kelompok masyarakat,sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah,mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hakdan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain,kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (sepertipenetapan strategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompokmana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku.

Soal Toleransi dan Wawasan Politik Islam

Tiadanya tatanan sosial politik yang mapan bisa menghancur-kan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi danhilangnya keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasimanusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesiaselama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yangdimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistemkehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan dengan mencarirumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi,keadilan, HAM, dan toleransi.11

Sikap toleran seorang muslim terhadap pemeluk agama lainjelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yangdilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakanpertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialahmenetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah(Mit }aq al-Madinah), atau terkenal dengan “Konstitusi Madinah”.Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakankonstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang meletakkandasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam tersebut ditetap-kan adanya pengakuan kepada semua warga Madinah, tanpa me-mandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota ummat yangtunggal (ummah wahidah), dengan hak dan kewajiban yang sama.12

10A. Syafii Maarif, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan, (Yogyakarta: PSAP, 2004), h. 8411Achmad Jainuri, “Agama dan Masyarakat Madani; Rujukan Khusus Tentang Sikap

Budaya, Agama dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III,Tahun ke 2: Juli-Desember2000, h. 21-22

Page 138: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 135

Vol. 6, No. 1, April 2010

Meskipun prinsip Piagam Madinah ini tidak dapat sepenuhnyaterwujud, karena pengkhiatanan beberapa komunitas Yahudi diMadinah saat itu, namun semangat dan maknanya dipertahankandalam berbagai perjanjian yang dibuat kaum Muslim di berbagaidaerah yang telah dibebaskan tentara Islam.13 Semangat ini terusmenjiwai pandangan sosial, politik, dan keagamaan masyarakatMuslim. Dalam perjalanan sejarah ummat Islam juga ditemukanprinsip dasar sikap budaya dan agama serta hak-hak asasi manusiayang pernah dipraktekkan secara berbeda, sehingga berdampak bu-ruk terhadap mereka yang oposan terhadap dan berlainan keyakinandengan penguasa.

Masyarakat madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakikat-nya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanyamengenai supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yangselama itu menjadi pengertian umum tentang negara.14 Meskipunsecara eksplisit Islam tidak berbicara tentang konsep politik, namunwawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupanpolitik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasanyang dimaksud tercermin dalam prinsip persamaan (equality),kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah.

Prinsip persamaan bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa se-tiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau statussemuanya adalah makhluk Tuhan. Dalam Islam Tuhan menegaskan;“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orangyang paling bertaqwa.”15 Nilai dasar ini dipandang memberikanlandasan pemahaman, di mata Tuhan manusia memiliki derajatsama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam HadithNabi yang menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara orang Arabdan orang yang bukan Arab.

Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam memberikan dasarkonsep tentang equalitas. Berbeda dengan konsep equalitas yangada pada masyarakat Yunani, equalitas yang ada dalam Islam,misalnya bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yangdatang sebelumnya. Equalitas menurut orang-orang Yunani hanya

12Alfred Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford University Press, 1970),h. 231-233.

13Nurholish Madjid, Meneruskan Agenda …, h. 2.14Ibid., 1-2.15QS. Al-Hujurat (49): 13.

Page 139: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih136

Jurnal TSAQAFAH

berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini Hannah Arendt me-ngatakan, bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan sama,tetapi sebaliknya karena manusia pada dasarnya memang tidaksama. Karena itu ia memerlukan sebuah institusi artifisial, polis, un-tuk membuatnya sama. Persamaan ini hanya ada di bidang politik,yang memungkinkan orang bertemu satu sama lain sebagai warganegara dan bukan sebagai pribadi orang secara individual. Perbedaanantara konsep equalitas Yunani kuno dengan Islam terletak padaide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidaksama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatanmanusia. Equalitas yang terdapat dalam masyarakat Yunanimerupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan,yang memperoleh equalitasnya berbadasarkan nilai kewarganega-raan dan bukan diperolehnya sejak lahir.16

Perbedaan antara Islam dan Barat klasik mengenai konsepequalitas sebagian tergambar dalam terminologi politik dari duamacam budaya ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan manusia (insan),tidak membedakan keyakinan dan politik yang dianutnya, tetapitidak menyebut kata warga negara. Oleh karena itu kaum Muslimindi zaman modern ini mencoba menemukan konsep warga nagaraini dengan kata muwathin (Arab), yang jelas merupakan istilah baru.Meskipun demikian, hak politik individu tidak banyak didefinisikandalam sumber-sumber tradisional pemikiran politik Islam. Posisimanusia sendiri, dalam masa pra-sosialnya, memperoleh tempatyang tinggi dalam al-Qur’an sebagai “Wakil Tuhan di bumi.”17 Se-baliknya bagi rakyat Romawi, kata Latin homo, yang berarti manusia,tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia, seorang yang tidakmemiliki hak, dan karenanya disamakan statusnya dengan budak.

Jika demokrasi dimaksudkan sebagai sebuah sistem peme-rintahan yang menentang keditaktoran, Islam bisa bertemu dengandemokrasi karena di dalam Islam tidak ada ruang bagi putusanhukum sepihak yang dilakukan oleh seorang atau kelompoktertentu. Dasar semua keputusan dan tindakan dari sebuah negaraIslam bukan ide mendadak dari seorang tetapi adalah syari’ah, yangmerupakan sebuah perangkat aturan yang tertuang dalam al- Qur’andan tradisi Nabi. Shari‘ah adalah salah satu manifestasi dari kebijakan

16Hannah Arendt, On Revolution (New York: Th., 1963), h. 23.17QS. Al-Baqarah (2): 30.

Page 140: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 137

Vol. 6, No. 1, April 2010

Ilahi, yang mengatur semua fenomena yang ada di alam, materi mau-pun spiritual, natur maupun sosial. Beberapa istilah di dalam al-Qur’an menjelaskan karakter normatif tentang kebijaksanaan Tuhanini seperti sunnatullah (hukum Allah SWT atau orang sering menye-butnya dengan “hukum alam”), mizan (timbangan), qisth dan ’adl(keduanya berarti adil). Pada tingkat yang abstrak, semua ekspresitersebut bisa memenuhi persyaratan awal demokrasi, yaitu tegaknyahukum. Beberapa penulis menyatakan, karena alasan ini sebuahnegara Islam mestinya disebut bukan teokrasi, tetapi adalah sebuahnomocracy.

Perbedaannya memang tidak terlalu mencolok karena apayang dipandang suci dan mengikat dalam Islam bukan hukum padaumumnya, tetapi hanya hukum yang datang dari Tuhan. Islamsesungguhnya menegaskan perlunya pemerintahan berdasarkannorma dan petunjuk jelas, bukan berdasar pada preferensi per-orangan. Bagi kalangan Barat dan kelompok Muslim tertentu, peng-galian konsep hukum buatan manusia dari wawasan syari’ah dipan-dang sebagai sebuah cara yang kurang memuaskan untuk meru-muskan sebuah elemen rekayasa sosial. Namun demikian, harusdiakui bahwa seseorang sesungguhnya tidak menemukan banyakkelemahan dengan cara ini, kecuali apa yang mungkin dianggapkuno. Karena dalam sejarah pemikiran politik Barat konsep hukummodern juga merupakan sebuah produk perkembangan perdebatanabad pertengahan mengenai sifat kebijaksanaan Tuhan. Gagasanhukum sebagai “sebuah tatanan rasional yang menyangkut kebai-kan umum dan ketenteraman masyarakat” telah dibicarakan olehSt. Thomas Aquinas18 dari persepsi akal Tuhan sebagai satu-satunyasumber yang memancarkan semua tingkat kosmis dan tatanan.

Di samping elemen tersebut, Islam juga menekankan kebebas-an dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciripenting masyarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik,orang harus bebas merdeka. Apabila keyakinan seseorang karenapaksaan, maka keyakinan yang dimiliki itu bukan merupakan keya-kinan sesungguhnya. Dan jika seorang Muslim secara bebasmenyerahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telahmengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan

18St. Thomas Aquinas, Selected Political Writings, diedit oleh A.P.D. Entreves (Oxford:Oxford University Press, 1948), h. 113.

Page 141: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih138

Jurnal TSAQAFAH

diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal inikarena, di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untukbebas memilih taat atau tidak kepada perintahNya.

Al-Qur’an tidak mentolelir adanya pembedaan antara satudengan yang lain, laki-laki atau wanita atas dasar partisipasi yangsama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan ini al-Qur’anmenegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengaturpembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Sayang-nya, selama berabad-abad di kalangan kaum Muslimin telah tumbuhkekeliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Merekamemahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsul-tasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yangsangat bijaksana dengan tidak ada keharusan untuk meng-implementasikan nasehat mereka.

Pandangan ini, menurut Fazlur Rahman, jelas merusak maknasyura itu sendiri. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan; “…sedangurusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…..”19 Yang dimaksud dengan “urusan mereka” adalah bukan individu,kelompok, atau elit tertentu, tapi “urusan masyarakat pada umum-nya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan “musyawarahantara mereka” yaitu urusan mereka itu dibicarakan dan diputuskanmelalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorangindividu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat, dari sinidipahami bahwa syura tidak sama maknanya dengan “seorang mintanasehat dengan orang lain”, tetapi saling menasehati melalui diskusidalam posisi yang sama. Secara langsung ini berarti, kepala negaratidak boleh menolak begitu saja keputusan yang diambil melaluimusyawarah.20

Tampaknya praktik kehidupan politik Islam pada abadpertengahan masih membekas dalam kehidupan bernegara hinggasekarang ini. Meskipun dunia Muslim sekarang sudah terbebas daridominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahan sendiri,tetapi hampir semuanya dihadapkan pada problem internal, yaitu“kurang demokratis”.

19QS. Al-Shura (42): 38.20Fazlur Rahman, “The Principle of Shura and the Role of Ummah in Islam,” dalam

Mumtaz Ahmad (ed.), Politics and Islam, (Indianapolis, IN: American Trust Publication,1986), h. 91, 95-96.

Page 142: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 139

Vol. 6, No. 1, April 2010

Menurut Bernard Lewis, kecuali Turki, semua negara yang ma-yoritas penduduknya Muslim dipimpin oleh variasi dari rezimotoriter, otokrasi, despotis, dan sebangsanya.21Dari kalangan sosiologdunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi darimasyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakatdemokratis, kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer.22

Dua kecenderungan itu mencerminkan watak yang berbeda, yangpertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang keduamenggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkandi atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenalpemerintahan demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsepdemokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yangsetuju dan yang menentang.

Masyarakat Madani di Indonesia

Masyarakat madani sulit tumbuh dan berkembang pada rezimOrde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatis-me dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutamaterbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesidalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dansebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki keman-dirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrolterhadap jalannya roda pemerintahan.

Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik(political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdayamelakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawardengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapaorganisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agakmemiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan dirisebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama(NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammad-iyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untukmelakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keaga-

21Bernard Lewis, “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview,” Journal ofDemocracy 7, 2 (1996), h. 58.

22Bryan S. Turner, Capitalism and Class in Middle East; Theories of Social Change andEconomic Development, (London: Heinemann Educational Books, 1984), h. 30.

Page 143: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih140

Jurnal TSAQAFAH

maan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahamanajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan inibahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) danmenampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masatransisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karenapresiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentangkonsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluar-kan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untukmembentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan danmensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsepmasyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigmalama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbuktisudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta padatanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudahbosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. GerakanReformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkankonsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (IkatanCendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group darikalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya.Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islamdalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangatphobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantaraHabibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian,pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satucara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukunganluas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karenamereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkangerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsipdemokrasi, supremasi hukum, dan HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas’oed23 yakin bahwapengembangan masyarakat madani memang bisa membantumenciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakatyang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembanganmasyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap

23Republika, 3 Maret 1999

Page 144: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 141

Vol. 6, No. 1, April 2010

demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusikekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan,bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukanpengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaanpolitik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keber-lanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politiksaja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutamakasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papuamerdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yangtelah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaranHAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa per-soalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yangbuta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.

Sebagai sebuah gerakan (termasuk gerakan pemikiran), civilsociety di Indonesia belakangan justru banyak dilakukan oleh kala-ngan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan olehkalangan “modernis”.24 Hal ini bisa dipahami karena pada masatersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasidalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Dikalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahamisebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengannegara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civilsociety, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalahLembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagaiLembaga Kajian Islam.

Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali denganmomentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang me-ngantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memper-kenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negarasehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakandengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsipdualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggalPancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan

24Rumadi, “Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur”, Kompas Online. 5 November1999

Page 145: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih142

Jurnal TSAQAFAH

dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan pahampluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QSal-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai denganPerennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heartyang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal,yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politikmaupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyimsebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwaMukhtamar NU 1935 di Palembang.25

Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universaltidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang danwaktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakandirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan idesuksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara.26

Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab,tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secarabertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukan-lah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidikmanusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnyakebebasan, keadilan, dan kesejahteraan.27

Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupanNabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di sampingtentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminandasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutubal-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid28 sebagai berikut: (1)keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luarketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) kese-lamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda danmilik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.

Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islamyang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas

25Faisal Ismail, NU, Gusdurism, dan Politik Kyai, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.17

26Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 16. 27Joseph Schacht and C.E. Bosworth (eds.), The Legacy of Islam, (London: Oxford

University Press, 1979), h. 541.28Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam,

<http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html> 11/9/99, h. 1

Page 146: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 143

Vol. 6, No. 1, April 2010

etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islamyang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungannormatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua wargamasyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim).29 Keseimbanganitu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadapajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan danmempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasungterhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatiflangsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagaipenentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmen-nya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umatberagama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi modelkerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti.30 Oleh karenaitu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam,bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang ber-nama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuanuntuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, sepertikelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasar-kan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, danketulusannya untuk pengabdian pada sesama.

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkansebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalanganNU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalumenjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itusendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yangakan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalamkonstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagianawal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkanuntuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus meme-rankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantutugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukanoleh negara, misalnya pengembangan pesantren.31 Sementara, Gus

29Wahid, ibid., h. 430Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Pasing Over: Melintas Batas Agama,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. xiv31Rumadi, “Civil Society…, h. 3

Page 147: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih144

Jurnal TSAQAFAH

Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supayamemungkinkan berkembangnya masyarakat madani, di mana ne-gara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintaskehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila.32

Penutup

Penciptaan tatanan kehidupan masyarakat madani adalahmelalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam ten-tang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, ke-bebasan dan musyawarah, termasuk sikap toleransi dan pengakuanhak-hak asasi manusia sebenarnya pernah terbangun dengan baikselama masa Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin dalam kehidupan sosialpolitik. Wawasan politik Islam inilah yang coba direkostruksi kem-bali oleh kalangan intelektual Muslim dengan gagasan masyarakatmadani.

Di Indonesia, gagasan masyarakat madani mendapatkan mo-mentumnya sebagai keprihatinan bahkan reaksi terhadap kecende-rungan politik rezim yang otoriter-totaliter, yang akhirnya diruntuh-kan oleh kekuatan-kekuatan pro-demokrasi yang bangkit men-dobrak struktur penindasan itu. Munculnya reaksi dari civil societydan atau masyarakat madani adalah impact dari pendekatan negara(static approach) yang banyak berkembang terutama dalam realitaskepolitikan Orde Baru.[]

Daftar Pustaka

Aquinas, St. Thomas, Selected Political Writings, diedit oleh A.P.D.Entreves (Oxford: Oxford University Press, 1948)

Arendt, Hannah, On Revolution (New York: Tp., 1963)

Azizi, A Qodri Abdillah, “Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta:Kajian Historis-Normatif”, dalam Ismail SM dan AbdullahMukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan MasyarakatMadani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

32Abdurrahman Wahid, “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya denganKehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dalam OetojoOesman dan Alfian (eds.), Pancasila sebagai Ideologi, (Jakarta: BP 7 Pusat, 1991), h. 164.

Page 148: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Wacana Masyarakat Madani 145

Vol. 6, No. 1, April 2010

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.Tanjung Mas Inti, 1992)

Fakih, Mansour, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergola-kan Ideologi LSM Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

Gamble, Andrew, An Introduction to Modern Social and PoliticalThought. (Hongkong: Macmillan Education Ltd., 1988)

Guillaume Alfred, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford UniversityPress, 1970)

Habibie, B.J. “Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari1999”. Jakarta, 1999.

Hamim, Thoha, “Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tin-jauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan ReligiousTolerance”, dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, PendidikanIslam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000)

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, Pasing Over: Melintas BatasAgama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998)

Hikam, Muhammad AS., Demokrasi dan Civil society, (Jakarta: LP3ES,1999)

Ibrahim, Anwar, “Islam dan Masyarakat madani” dalam AswabMahasin (ed.) Ruh Islam dan Budaya Bangsa (Jakarta: YayasanFestival Istiqlal, 1996)

Ismail SM. “Signifikansi Peran Pesantren dalam PengembanganMasyarakat Madani”, dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti,Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

Ismail, Faisal, NU, Gusdurism, dan Politik Kyai, (Yogyakarta: TiaraWacana, 1999)

Jainuri, Achmad, “Agama dan Masyarakat Madani; Rujukan KhususTentang Sikap Budaya, Agama dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III,Tahun ke 2: Juli-Desember 2000

Lewis, Bernard, “Islam and Liberal Democracy: A HistoricalOverview,” Journal of Democracy 7, 2 (1996)

Maarif, A. Syafii, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan, (Yogyakarta:PSAP, 2004)

Page 149: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Mohammad Muslih146

Jurnal TSAQAFAH

Madjid, Nurcholish, “Meneruskan Agenda Reformasi untukDemokrasi dengan Landasan Jiwa Masyarakat madani; MasalahPluralisme dan Toleransi,” Makalah Pidato Halal BihalalKAHMI (Jakarta, 11 Syawwal 1419 / 28 Januari 1999)

Mohtar Mas’oed. (1999) Republika 3 Maret 1999

Raharjo, M. Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengahdan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999)

Rahman, Fazlur, “The Principle of Shura and the Role of Ummah inIslam,” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Politics and Islam,(Indianapolis, IN: American Trust Publication, 1986)

Rumadi, “Civil society dan NU Pasca-Gus Dur”, Kompas Online. 5November 1999

Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.), The Legacy of Islam,(London: Oxford University Press, 1979)

Turner, Bryan S., Capitalism and Class in Middle East; Theories of SocialChange and Economic Development, (London: HeinemannEducational Books, 1984)

Wahid, Abdurrahman, “Universalisme Islam dan KosmopolitanismePeradaban Islam”. <http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html> 11/9/99

Wahid, Abdurrahman, “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannyadengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadapTuhan Yang Maha Esa. dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.)Pancasila sebagai Ideologi, (Jakarta: BP 7 Pusat, 1991)

Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS,2000)

Page 150: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Vol. 6, No. 1, April 2010

‘Interfaith Dialogue’ dan HubunganAntaragama dalam Perspektif Islam

Syamsuddin Arif*International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur

Email: [email protected]

Abstract

This article addresses issues related to the interfaith dialogue, focusing onthe historical context from which it emerged and uncovering the tacit assumptionsunderlying the idea. It is argued that interfaith dialogue is part and parcel of theChristian mission which seeks to promote inclusivism but also eventually leads topluralism and relativism. In addition, the article also discusses the three approachestaken by Muslims throughout centuries in dealing with people of other faiths.This article addresses issues related to the interfaith dialogue, focusing on thehistorical context from which it emerged and uncovering the tacit assumptionsunderlying the idea. It is argued that interfaith dialogue is part and parcel of theChristian mission which seeks to promote inclusivism but also eventually leadsto pluralism and relativism. In addition, the article also discusses the threeapproaches taken by Muslims throughout centuries in dealing with people ofother faiths. First approach is to call with wisdom and good advice (da‘wah bilh}ikmah wal mau‘iz}ah alh}asanah). The second is to argue with what better (jidalbillati hiya ah }san). And the last approach used is war.

Keywords: Global theology, pluralisme, interreligious, exclusivism.

Pendahuluan

Banyak proyek yang telah dan sedang digarap atas nama ‘dialogantaragama’, namun sedikit mereka yang mengetahui asalmuasal serta latarbelakangnya, dan lebih sedikit lagi yang

* Dept. of General Studies KIRKHS International - Islamic University Malaysia Telp.60166005916

Page 151: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif148

Jurnal TSAQAFAH

memahami hakikat tujuan yang terselip di balik pelbagai aktivitidialog antaragama. Tulisan ini terdiri dari dua bagian: bagian pertamamengulas sejarah dialog antaragama dan latarbelakangnya,sedangkan bagian kedua mengurai pola hubungan antara Islamdengan agama lain –khususnya agama Kristen sebagaimanatercermin dalam sikap, perilaku dan karya tulis ulama Islamsepanjang sejarah sejak zaman dahulu hingga sekarang ini.

Dari Eksklusif ke Inklusif

Sejak berabad-abad lamanya, Gereja Katholik yang berpusatdi Roma (lebih tepatnya Vatikan) selalu mengajarkan bahwa agamaKristen adalah satu-satunya agama yang benar; bahwa agama-agamalain – Yahudi, Hinduisme, Buddhisme, Islam dan lain sebagainyaitu semua tidak benar; hanya mereka yang menjadi Kristen dan me-ngikuti Gereja dijamin selamat sampai ke surga. Adapun kaumYahudi, penganut Hindu, pengikut Buddha, pemeluk Islam dansekte-sekte mereka dianggap sesat dan kelak masuk neraka. Sepertikata St. Cyprianus: “Salus extra ecclesiam non est, tak ada keselamatandi luar gereja.”1 Pendirian exclusivism ini masih dipegang kuat hinggapertengahan abad ke-20. Baru setelah Perang Dunia II, yang menelanjutaan korban jiwa, sebagian besarnya etnis Yahudi, mereka tampakmulai sedikit berubah sikap. Doktrin exclusivism ini banyak dikritikkarena dianggap bertanggung-jawab menyuburkan sikap intoleran,fanatik, picik (bigotry), memicu dan secara tidak langsung juga mem-benarkan aneka ragam perlakuan buruk dan penindasan terhadap orangberlainan agama dan kepercayaan lewat proses inquisisi dan sebagainya.

Dalam sebuah pertemuan (konsili) yang digelar di Vatikanpada tahun 1962-1965, Gereja Katholik meninjau kembali pendirianserta hubungannya dengan agama-agama lain. Lalu terbitlahdokumen bernama Decretum de Ecclesiae Habitudine ad ReligionesNon-Christianas yang belakangan lebih sering disebut Nostra Aetate2

(‘Di Zaman Kita’). Dokumen resmi itu antara lain menyatakan

1 Sebagaimana dikutip oleh St. Agustinus. Lihat De Baptismo contra Donatistas, LiberIV, dalam Sancti Aurelii Augustini Hipponensis Episcopi Opera Omnia, Tomus IX (Paris, 1837),h. 237, par. 24 (XVII).

2 Decretum de Ecclesiae Habitudine ad Religiones Non-Christianas - Nostra Aetate, AAS58 (1966), 740-744. Bisa diakses di http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_decl_19651028_nostra-aetate_lt.html.

Page 152: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 149

Vol. 6, No. 1, April 2010

bahwasanya Gereja Katholik tidak mengingkari adanya kebenarandan kesucian pada agama-agama selain Kristen (Ecclesia catholicanihil eorum, quae in his religionibus vera et sancta sunt, reicit), bahwaagama-agama lain tersebut adalah pantulan cahaya kebenaran yangmenerangi seluruh umat manusia (haud raro referunt tamen radiumillius Veritatis, quae illuminat omnes homines). Namun demikian, tetapditegaskan bahwa Jesus Kristus ialah satu-satunya jalan [keselamat-an], satu-satunya kebenaran, dan satu-satunya kehidupan (Annuntiatvero et annuntiare tenetur indesinenter Christum, qui est ‘via et veritas etvita’ [Gospel Yohannes (John) 14.6] yang hanya dengannya manusiadapat hidup beragama secara utuh dan sempurna (in quo hominesplenitudinem vitae religiosae inveniunt). Kendati tersirat ambivalensi-nya, disini tampak Gereja ingin memberi kesan seolah-oleh sikapnyatelah berubah dari eksklusif menjadi inklusif, namun sebenarnyatetap meyakini bahwa keselamatan hanya bisa diraih oleh parapemeluk Kristen.

Gagasan Dialog Antaragama

Selanjutnya Gereja menghimbau kepada ‘anak-anaknya’supaya mengadakan dialog dan kerja-sama dengan pemeluk agamalain secara hati-hati dan penuh cinta kasih dengan tetap menyatakankeyakinan dan kehidupannya sebagai seorang Kristen demi meme-lihara dan meningkatkan kebaikan moral maupun spiritual yangterdapat pada agama-agama tersebut beserta nilai-nilai masyarakatdan budayanya (Filios suos igitur hortatur, ut cum prudentia et caritateper colloquia et collaborationem cum asseclis aliarum religionum, fidemet vitam christianam testantes, illa bona spiritualia et moralia necnonillos valores socio-culturales, quae apud eos inveniuntur, agnoscant,servent et promoveant). Dari sini juga jelas bahwa dialog dan kerjasamaitu tidak boleh melunturkan apalagi menggugurkan keyakinan aliasakidah yang sudah ada.

Dialog dengan kaum Yahudi dan Muslim konon bertujuan me-ngikis rasa permusuhan serta menumbuhkan sikap saling mema-hami (ad comprehensionem mutuam), saling memaklumi dan salingmenghormati (mutuam utriusque cognitionem et aestimationem).Namun sekali lagi ditegaskan bahwa sikap bersahabat dan non-diskriminatif kepada semua bangsa (“conversationem ... inter genteshabentes bonam” (1 Petrus 2,12) yang mengiringi dialog antaragama,

Page 153: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif150

Jurnal TSAQAFAH

selain dimaksudkan untuk hidup rukun damai dengan sesama (cumomnibus hominibus pacem habeant), pada hakikatnya dan akhirnyaadalah upaya halus agar seluruh manusia menjadi ‘anak-anak TuhanBapak di Sorga’ (ita ut vere sint filii Patris qui in caelis est). Kesim-pulannya, dialog antaragama merupakan paket terbaru Kristenisasiyang dibungkus dalam misi perdamaian, kemanusiaan, danpersaudaraan.

Untuk tujuan tersebut Paus Paulus VI mendirikan Segretariatoper i non-Cristiani pada 1964 yang pada 1988 ditukar namanyamenjadi The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID).Sekretariat ini diberi tugas menyelenggarakan pelbagai forumantaragama, membentuk dan –kalau sudah ada- mendukungindividu maupun organisasi atau lembaga yang mau bekerjasamadan aktif terlibat dalam kegiatan mereka. Melalui Dewan Gereja se-Dunia (The World Council of Churches) telah diadakan secara rutindialog antaragama di berbagai belahan dunia.3 Sekretariat tersebutjuga menerbitkan sebuah buku panduan, khususnya untuk‘berdialog’ dengan kaum Muslim.4

Pada tataran akademik telah diluncurkan pula jurnal ilmiahbernama Islamochristiana (terbitan Pontificio Istituto di Studi Arabie d’Islamistica, Vatikan), jurnal Studies in Interreligious Dialogue (olehThe European Society for Intercultural Theology and InterreligiousStudies bekerjasama dengan penerbit Peeters, Belgia), Bulletin of theRoyal Society for Inter-Faith Studies, dan jurnal Islam and the Christian-Muslim Relations (terbitan Department of Theology and Religion,Universitas Birmingham, Inggris). Misi baru ini didukung olehsejumlah tokoh akademik kelas dunia. Sebutlah diantaranya KarlRahner yang membuat istilah anonymous Christian untuk orang-orang non-Kristen yang tidak menyadari bahwa dirinya Kristen.5

3 Untuk data lengkap secara kronologis serta ulasan detil mengenai masalah-masalahyang dibahas, silakan lihat Jutta Sperber, Christians and Muslims: The Dialogue Activities of theWorld Council of Churches and Their Theological Founda-tion (Berlin dan New York: Walter deGruyter, 2000).

4 Secretariatus Pro Non-Christianis, Guidelines for a Dialogue between Muslims andChristians (Roma: Edizione Ancora, 1971; cetakan pertama 1969).

5 Berikut ini penjelasannya: “We prefer the terminology according to which that man iscalled an ‘anonymous Christian’ who on the one hand has de facto accepted of his freedom thisgracious self-offering on God’s part through faith, hope, and love, while on the other he is absolutelynot yet a Christian at the social level (through baptism and membership of the Church) or in thesense of having consciously objectified his Christianity to himself in his own mind (by explicit

Page 154: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 151

Vol. 6, No. 1, April 2010

Profesor Hans Küng dari Universitas Tübingen yang mengetuai ‘Foun-dation for A Global Ethic’ menekankan pentingnya dialog antaragamakarena perdamaian dunia mustahil tercapai, katanya, selagi konflikantar agama tidak diselesaikan. Sementara itu, Profesor John Hickdari Universitas Birmingham melontarkan gagasan Global Theology(satu teologi bagi semua pemeluk agama sedunia) sebagai kon-sekuensi dari dialog antaragama.6

Dari sini terlihat adanya upaya melunturkan keyakinan agamadengan paham inklusivisme, pluralisme dan relativisme agama. JikaKarl Rahner disebut-sebut sebagai tokoh yang bertanggung jawabmelahirkan gagasan inklusivisme, maka John Hick adalah orangyang paling aktif menyiarkan gagasan pluralisme agama yang ia kon-traskan dengan eksklusivisme dan inklusivisme. Eksklusivismemengajarkan hanya agama tertentu saja yang benar dan itulah satu-satunya jalan menuju Tuhan dan mencapai keselamatan, sepertiseorang Kristen yang mengutip ucapan Yesus dalam Gospel Johanes14:6: “I am the way, the truth and the life; no one comes to the Fatherbut through Me.” Sementara inklusivisme mengajarkan meski agamatertentu itu sudah pasti benar dan baik, namun keselamatan jugabisa diraih oleh penganut agama lain berkat kasih sayang Yesusasalkan mereka baik selama hidupnya. Itulah yang dimaksud dengan‘Kristen tanpa nama’ oleh Karl Rahner.

Adapun pluralisme mengajarkan bahwa semua agama-agamabesar di dunia ini adalah sama benarnya dan sama baiknya dalamarti semuanya sama-sama dapat mengantarkan pemeluknya kepadaTuhan dan keselamatan, terlepas dari perbedaan-perbedaan formal.Apa bedanya pluralisme dengan toleransi? Pluralisme itu lebih darisekadar toleransi, kata Diana L. Eck.7 Menurutnya, toleransi itu sudidan mampu hidup berdampingan dengan orang dari agama laindengan rukun, damai dan saling menghormati serta menghargai.

Christian faith resulting from having hearkened to the explicit Christian message) We mighttherefore put it as follows: the ‘anonymous Christian’ in our sense of the term is the pagan after thebeginning of the Christian mission, who lives in the state of Christ’s grace through faith, hopeand love, yet who has no explicit knowledge of the fact that his life is orientated in grace-givensalvation to Jesus Christ.” Lihat Karl Rahner, Theological Investigations, terj. David Bourke(London: Darton, Longman & Todd, 1976), vol. 14, h. 283.

6 Lihat ulasannya dalam jurnal Islamia no.3 (2005).7 Lihat tulisannya berjudul “What is pluralism?” di http://pluralism.org/pluralism/

what_is_pluralism.php dan “From Diversity to Pluralism” di http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php.

Page 155: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif152

Jurnal TSAQAFAH

Adapun pluralisme itu mau menerima dan mengakui kebenaran agamalain, meyakini bahwa agamanya benar tetapi agama lain pun benarjuga. Jelaslah pluralisme agama dan relativisme itu setali tiga uang.

Di Indonesia, gerakan dialog antaragama dimulai pada 1970-an. Pionirnya adalah A. Mukti Ali8 (Menteri Agama waktu itu) diiringiAhmad Wahib, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan DjohanEfendi. Kemudian pada 1990-an dialog antaragama digerakkan olehbeberapa tokoh Kristen semacam Th. Sumartana. Beberapa lembaganon-pemerintah lalu didirikan untuk menyebarluaskan gagasan in-klusivisme dan pluralisme agama. Contohnya, Masyarakat DialogAntar-agama (MADIA) yang dirintis oleh Budhy Munawar-Rachman, Bernardia Guhit, Trisno Sutanto, Retnowati, KautsarAzhari Noer dan Komaruddin Hidayat. Adapula yang namanyaDIAN –kependekan dari Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia(Interfidei) Yogyakarta yang sering menggelar pertemuan antarjejaring kelompok agama seperti di Malino dan Banjarmasin.9

Kemudian muncul pula Indonesian Conference on Religion andPeace (ICRP) yang diresmikan oleh Gus Dur (ketika itu masihPresiden RI) dan dimotori oleh orang-orang semacam DjohanEffendi, Siti Musdah Mulia, dan lain-lainnya.

Pada tahun 2000 berdiri pula Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) dimana salah satu mata kuliahnya adalahInter-Religious Dialogue dengan ko-instruktur J.B. Banawiratma,Zainal Abidin Bagir dan Fatimah Husein. Pesan yang acapkalididengungkan adalah bagaimana merayakan perbedaan, mencaripersamaan dan titik-temu untuk membangun kehidupan bersamayang aman, damai dan harmonis. Dalam praktiknya kemudian parapenganjur dan peserta dialog antargama bisa melakukan doa dan‘sembahyang bersama’ (common prayer)10 dan bahkan nikah dengan

8 Mukti Ali sempat menghadiri beberapa forum dialog antaragama pada 1970 dan1972 di Lebanon, dan pada 1974 di Colombo, Srilanka. Berikut makalah-makalahnya:“Dialogue between Muslims and Christians in Indonesia and Its Problems,” dalam Dialoguebetween Men of Living Faiths, ed. Stanley J. Samartha (Geneva, 1973), h. 75-80; “Religions,Nations and the Search for a World Community,” dalam Christian-Muslim Dialogue, ed. StanleyJ. Samartha dan John B. Taylor (Geneva, 1973), 18-23; dan “Cooperation and ResourceMobilization,” dalam Towards World Community, ed. Stanley J. Samartha (Geneva, 1975), h. 78-82.

9 Budhy Munawar-Rachman menerbitkan bukunya, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina,2001), dimana dengan yakin dikutipnya opini Bhagavan Das dalam The Essential Unity of AllReligions (1966).

10 Lihat Jutta Sperber, Christians and Muslims, 109-117. Pernah juga dilaksanakan diSubang Jaya, Kuala Lumpur.

Page 156: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 153

Vol. 6, No. 1, April 2010

orang lain agama, sebagaimana kita saksikan dalam trilogi filmdokumenter produksi CRCS berjudul ‘Uniting the divided’(Menyatukan yang terbelah), ‘Inter-religious marriage’ (Menikahiagama), dan ‘I am a pious kid’ (Aku anak sholeh) yang diluncurkanpada 22 November 2007. Pembenaran atas praktik keliru ini telahdisediakan beberapa tahun sebelumnya oleh Nurcholish Madjid danrekan-rekannya dalam buku Fiqih Lintas Agama: “Semua agama,dalam inti yang paling mendalam adalah sama.”11

Islam dan Hubungan Antaragama

Apabila diteliti dengan seksama, hubungan Islam dan Kristenpada tataran intelektual maupun sosio-kultural serta ekonomi-politikterjadi dalam tiga pola. Pertama, pola polemik-apologetik; kedua,pola konflik-konfrontatif; dan ketiga, pola irenik-persuasif. Polapertama, dari bahasa Yunani kuno ‘polemikos’, artinya suka ber-lawanan atau bermusuhan, dan apologetik (juga dari bahasa Yunanikuno ‘apo’ dan ‘legô’, bicara menjauhi persoalan untuk membeladiri, ditandai dengan perang keyakinan, dimana masing-masingpihak berusaha menjatuhkan pihak lain. Pola kedua berupa aksimiliter dan pertempuran fisik. Adapun pola ketiga menunjukkantoleransi penuh, hidup bersama dengan rukun dan damai (peacefulcoexistence) bersama umat agama lain sebagaimana dipraktikkanselama berabad-abad sejak zaman Rasulullah saw di Madinah dangenerasi sesudahnya.

Pertarungan Intelektual

Pola polemik-apologetik kita temukan akar-akarnya di dalamkitab suci al-Qur’an. Terdapat cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yangmengkritik dan mengecam akidah orang Kristen yang hakikatnyaadalah koreksi langsung dari Allah SWT. Namun sayangnya, bagimereka yang kafir kepada Nabi Muhammad SAW, semua tegurandan koreksi tersebut dianggap sekadar opini pribadi beliau.12 Halini tidak mengejutkan, mengingat sejak awal pun mereka sudah

11 Nurcholish Madjid et al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), 88.12 Seperti tulisan Ignaz Goldziher, “�ber Muhammedanische Polemik gegen Ahl

al-kitab,” dalam Zeitschrift der deutschen Morgenldndischen Gesellschaft (ZDMG) vol. 32 (1878),341-87; dicetak ulang dalam Gesammelte Schriften, 2:1-47.

Page 157: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif154

Jurnal TSAQAFAH

mengingkari kenabian dan kerasulannya, sehingga kitab suci al-Qur’an mereka pikir cuma karangan Nabi Muhammad SAW–argumen tipikal orang kafir sebagaimana disitir dalam surah al-Muddatstsir ayat 25: “Ini kan cuma perkataan manusia” (in hadhailla > qawlu al-basyar). Rasulullah SAW juga dilarang berkompromidalam perkara akidah maupun ibadah, sebagaimana ditegaskandalam surah al-Kafirun: “Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, akutidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak me-nyembah apa yang kusembah. Dan aku bukan penyembah apa yangkamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang kusembah.Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” Ayat-ayat suci ini tidakmenyuruh perang dan tidak pula menganjurkan permusuhan. Apayang diperintahkan di sini adalah orang Islam mesti bersikap tegasdan kukuh dengan keyakinan dan kebenaran agamanya.

Sudah barang tentu polemik tersebut berlangsung cukupseru. Dari pihak Kristen terkenal Yahya ad-Dimasyqi alias JohannesDamascenus (hidup sekitar 655-750 Masehi) yang pertama kalimenulis karya berjudul Peri Haireseôn. Dituduhnya agama Islam itusesat dan menyeleweng karena mengajarkan fatalisme danbermacam-macam tuduhan lain.13 Upayanya itu diteruskan olehgenerasi berikutnya. Kaisar Byzantium Leo III konon pernah me-ngirim surat polemik kepada Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz diDamaskus. Sementara itu Theodore Abu Qurrah (w. 820), ‘Abd al-Masih al-Kindi (fl. 830), dan ‘Ammar al-Basri (fl. 850) pun aktifmembuat tulisan-tulisan polemik-apologetik sebagai pembelaanterhadap doktrin-doktrin Kristen. Di abad kesepuluh, Yahya ibn ‘Adi(w. 974) membuat karya serupa dalam bahasa Arab untuk menangkisserangan al-Kindi. Selanjutnya Petrus Venerabilis (w. 1156), Ricoldode Monte Croce (w. 1320), Nicolaus Cusanus (w. 1464) dan MartinLuther (w. 1546) usaha keras mencipta imej buruk mengenai Islamdan Nabi Muhammad SAW dalam karya tulis mereka. Di zamanmodern muncul intelektual semacam Voltaire (w. 1778) danorientalis-misionaris seperti Aloys Sprenger (1893) dan William Muir(w. 1905) beserta rekan-rekannya yang melakukan pelecehanserupa.14 Mereka gambarkan Nabi Muhammad itu seolah-olah ‘sakit

13 Lihat Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: ‘The Heresy of the Ishmaelites’(Leiden: E.J. Brill, 1972).

14 Lihat Moritz Steinschneider, Polemische und apologetische Literatur in arabischerSprache zwischen Muslimen, Christen, und Juden, Abhandlungen für die Kunde desMorgenlandes, vi., No. 3 (Leipzig, 1877); E. Moutet, La Propagande Chrétienne et Ses

Page 158: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 155

Vol. 6, No. 1, April 2010

jiwa’, ‘penganjur sektarianisme’, ‘padri pembelot’, ‘pengobar pepe-rangan’, ‘penggemar wanita’ dan sebagainya.15

Sementara itu, dari pihak Islam dikenal sejumlah tokoh-tokohulama dan cendekiawan yang aktif dalam polemik dan meninggal-kan karya tulis. Menurut catatan Ibn an-Nadim dalam kitab al-Fihrist, hampir semua ‘pentolan’ Mu‘tazilah pernah menulis karyapolemik terhadap Kristen, mulai dari Abu ’l-Hudzayl al-‘Allaf danal-Jahizh16 hingga al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar.17 Ulama Syi‘ah pun takketinggalan. Tokoh Syi‘ah Zaydiyyah di Yaman bernama al-Qasimibn Ibrahim al-Hasani al-Rassi (w. 246/899) dikenal dengan kitabnyaal-Radd ‘ala al-Nas }ârâ.18 Bahkan cendekiawan liberal seperti al-Warraq pun menyerang doktrin-doktrin Kristen.19 Dari kalanganAhlus Sunnah tercatat nama-nama Ibn Sahnun (w. 256/870) yangmenulis kitab al-H }ujjah ‘ala al-Nas }ârâ, Abu l-Qasim al-Balkhi (w.319/931) yang mengulas ajaran Kristen secara kritis dalam kitabnya:Awâ’il al-Adillah.20 Di abad sesudahnya ada Imam al-Juwayni (w.478/1085) yang menulis kitab Syifâ’ al-‘Alil fi al-Radd ‘ala manbaddala al-Taurat wa al-Injil21 dan murid beliau Imam al-Ghazali(w. 505/1111) dengan kitabnya yang berjudul al-Radd al-Jami >l liIlâhiyyati ‘Isa bi-s }arih } al-Injil.22

Adversaires Musulmanes (Paris, 1890); Adel T. Khoury, Polémique byzantine contre l’Islam,edisi kedua (Leiden, 1972).

15 Lihat Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford:Oneworld Publications, 1993), 100-129. Cf. William Thompson, “Muhammad: His Life andPerson,” dalam The Muslim World 34/2 (1994), khususnya h. 126-7.

16 Al-Jahiz}, al-Radd ‘ala al-Nashara dalam Tsalats Rasa’il, ed. J. Finkel (Cairo, 1382), 10-38; cf. “A Risala of al-Jahiz,” dalam Journal of the American Oriental Society 47 (1927), h. 311-34.

17 Lihat Gabriel Said Reynolds, A Muslim Theologian in the Sectarian Milieu: ‘Abd al-Jabbar and the Critique of Christian Origins (Leiden, 2004).

18 Lihat I. di Matteo, “Confutazione contro i Christiani dello zaydita al-Qasim b.Ibrahim,” dalam Rivista degli Studi Orientali 9 (1921-2), 301-64; cf. W. Madelung, Der Imamal-Qasim ibn Ibrahim und die Glaubenslehre der Zaiditen (Berlin, 1965), h. 89.

19 Abu ‘Isa al-Warraq, al-Radd ‘alâ Tsalâts Firaq min al-Nas }ârâ, dimuat dalam Le livrepour la refutation des trois sectes chrétiennes, ed. Armand Abel (Brussels, 1949).

20 Sebagaimana direkam oleh ‘Isa ibn Ishaq ibn Zur‘ah dalam Vingt traités philosophiqueset apologetiques d’auteurs arabes chrétiens, ed. P. Sbath (Cairo, 1929), h. 52-68.

21 Diedit oleh Ahmad as-Saqa, cetakan ar-Ri’asah al-‘Ammah li ’l-Buhuts al-‘Ilmiyyah,Riyadh 1404/1984; . Pada abad yang sama di Andalusia (Spanyol), Ibn Hazm (w. 456/1064)memberikan ulasan kritisnya atas doktrin-doktrin Kristen dalam kitab beliau, al-Fishal fi ’l-Milal wa n-Nihal wa ’l-Ahwa’ wa n-Nihal, Kairo, 1319/1901.

22 Teks dan terjemahan Perancis oleh Robert Chidiac, Réfutation excellente de ladivinité‚ de Jésus-Christ d’après les Evangiles (Paris, 1939); versi Jerman oleh Franz-ElmarWilms, al-Ghazali’s Schrift wider die Gottheit Jesu (Leiden : Brill, 1966); edisi lain olehMuhammad ‘Abdullah as-Syarqawi (Riyadh: Dar Umayyah, 1403/1983).

Page 159: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif156

Jurnal TSAQAFAH

Karya-karya polemik terus bermunculan, seperti ditunjukkanImam Fakhruddin ar-Razi (w. 606/1209) dalam Munz}arah fi al-Radd‘alâ l-Yahu >d wa al-Nas }ârâ.23 Disamping beliau, ada dua lagi tokohpenting yang juga aktif berpolemik di abad ke-7 hijriah ini. Merekaadalah Najmuddin az-Zahidi (658/1260), penulis al-Risa>lah al-Nas}i>riyyah,dan Syihabuddin al-Qarafi (w. 684/1285) yang menulis al-Ajwibat al-Fakhirah ‘an al-As’ilat al-Fajirah.24 Abad berikutnya menyaksikan IbnTaymiyyah (w. 728/1328) dengan kitabnya yang berjudul al-Jawâb al-S }ahih} li-man baddala Di >n al-Masih },25 disambung murid setia beliau,Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350) dengan risalahnya, Hidâyat al-H}ayârâ fi Ajwibat al-Yahu>d wa an-Nas }ârâ.26 Generasi sesudahnya puntak kalah hebat. Abdullah at-Tarjuman (ca. 823/1420) menulis Tuh }fatal-Arib fi al-Radd ‘ala Ahli al-S}alib,27 manakala Abu’l-Fadhl al-Malikias-Su‘udi (ca. 942/1535) menerbitkan al-Muntakhab al-Jalil min Takhjilman h}arrafa al-Injil.28 Perlu diingat bahwa abad ini adalah permulaanapa yang kemudian disebut sebagai Zaman Modern, dimana orang-orang Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda) mulai berlayar keluarke Asia, Afrika, dan Amerika dengan tujuan mencari mangsa. Di antarakarya-karya polemik yang ditulis di zaman modern adalah kitab Iz}hâr al-Haqq oleh Syaikh Rahmatullah (w. 1310/1891) dari India, kitab Muh}âd}arahfi al-Nas}râniyyah oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah (w. 1393/ 1973)dari Mesir, dan The Choice oleh Ahmed Deedat (w. 1426/2005).29

23 Diedit oleh ‘Abd al-Majid an-Najjar dan diterbitkan oleh Dar al-Gharb al-Islami,Beirut 1406/1986.

24 Najmuddin az-Zahidi (658/1260), al-Risâlah an-Nas}iriyyah, ed. Muhammad al-Mishri (Kuwait : Markaz al-Makhthuthat wa t-Turats wa l-Watsa’iq, 1414/1994) danSyihabuddin Ahmad ibn Idris al-Qarafi (w. 684/1285), al-Ajwibat al-Fakhirah ‘an al-As’ilatal-Fajirah, (Kairo, 1320/1902); edisi kedua oleh Majdi Muhammad as-Syihawi (Kairo:Maktabat al-Qur’an, 1992).

25 Pertama kali dicetak di Kairo 1323/1905. Sebagiannya telah diterjemahkan olehThomas F. Michel, Ibn Taymiyya: A Muslim Theologian’s Response to Christianity (Delmar,NY: Caravan Books, 1984).

26 Cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut 1407/1987; cetakan pertama berjudulIrsyâd al-H }ayârâ min al-Yahu >d wal-Nas }ârâ, Kairo, 1320/1902.

27 Pertama kali dicetak di Kairo pada 1895; diterjemahkan oleh Jean Spiro, “LePrésent de l’Homme Lettré pour refuter les Partisans de la Croix,” dalam Revue de l’Histoiredes Religions, xii. 68-89, 179-201, 278-301

28 Diterjemahkan oleh F. T. van den Ham dengan judul Disputatio pro ReligioneMohammedanorum Adversus Christianos (Leiden, 1890).

29 Rahmatullah ibn Khalil al-Kayranawi, Izhar al-Haqq, ed. Dr Muhammad AhmadMalkawi, 2 jilid (Riyadh: Ri’asah Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa l-Ifta’, 1414/1994); MuhammadAbu Zahrah, Muh}âd}arah fi al-Nas}râniyyah (Kairo: Mathba ‘at al-‘Ulum, 1942); Ahmed Deedat,The Choice (Riyadh, 1994).

Page 160: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 157

Vol. 6, No. 1, April 2010

Pertarungan Bersenjata

Pola kedua adalah hubungan konfrontasi fisik dan konflikbersenjata. Sejarah mencatat hal ini adakalanya sukar dielakkan.Musuh-musuh agama ada pada setiap zaman, aktif bergentayangandan patah tumbuh hilang berganti. Serangkaian Perang Salib yangberlangsung sejak abad ke-11 hingga abad ke-13 Masehi, pem-bantaian massal dan pengusiran orang Islam secara besar-besarandari Andalusia (jazirah Iberia yang sekarang menjadi Portugis danSpanyol) serta kolonisasi negeri-negeri Islam di seluruh dunia (TimurTengah, Asia dan Afrika), semuanya adalah fakta keras yang me-nunjukkan bahwa konfrontasi fisik dengan para kolonialis-imperialisdan misionaris memang tak dapat dihindari. Pada bulan Maret tahun1095 Kaisar Alexius I minta bantuan Sidang Gereja untuk meng-hadang pergerakan tentara Turki Usmani yang berhasil menguasaiAnatolia dan berencana merebut Konstantinopel. Paus Urbanus IImenulis surat kepada raja-raja Eropa supaya mengirim tentara dansukarelawan perang dengan iming-iming sorga dan penghapusandosa. Sekitar 40,000 orang berkumpul di Konstantinopel untukmemulai perjalanan panjang melawan pasukan Turki dan merebutJerusalem dari tangan orang Islam.

Setelah berhasil mengusai Antioch, Syria, tentara salib bergerakmenuju Jerusalem. Tanpa perlawanan yang berarti, Baitul Muqaddisjatuh ke tangan mereka pada hari Jum’at, 5 Juli 1099. Ribuan orangIslam dan Yahudi dibantai. Kaum Muslim tidak serta mertamenyerang Jerusalem, akan tetapi mengadakan perjanjian damaiyang ditandatangani oleh Shalahudin al-Ayyubi dan Raja BaldwinIV, penguasa Jerusalem waktu itu. Peperangan baru meletus akibatulah Reynald Chatillon, seorang pembesar Perancis yang sangatmembenci Islam dan sengaja menyerang kafilah-kafilah Islam semasaperjanjian damai. Terjadilah Perang Hittin dan Acre yangdimenangkan oleh pasukan Islam. Wilayah Palestina dari Gazahingga Jubayl berhasil dikuasai pada awal September 1187. Sebulankemudian, tepatnya pada hari Juma‘t, 2 Oktober 1187, SultanShalahudin membebaskan Jerusalem dari tentara salib.30

30 Lihat Jonathan Riley-Smith, The First Crusaders, 1095-1131 (Cambridge: CambridgeUniversity Press, 1998) dan id., The Oxford History of the Crusades (New York: OxfordUniversity Press, 1999). Cf. Andrew Wheatcroft, Infidels. A History of the Conflict betweenChristendom and Islam (London: Penguin Books, 2004).

Page 161: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif158

Jurnal TSAQAFAH

Jika hubungan antara Umat Islam dan penganut Kristenterlihat banyak diwarnai ketegangan dan konflik maka hal itu dikare-nakan beberapa faktor. Pertama, agama Islam dan Kristen sama-sama berwatak misionaris-ekspansionis, dalam arti menghendakipemeluknya supaya berdakwah kepada orang lain sehinggabenturan kepentingan acapkali terjadi. Kedua, perang salib (crusades)selama beberapa abad meninggalkan seribu satu kesan yang sulitdilupakan. Ketiga, penjajahan dan penjarahan terhadap negeri-negeriorang Islam oleh bangsa-bangsa Kristen Eropa juga masih segardalam ingatan. Lantas pada tataran intelektual-akademik, perangpemikiran semakin gencar dimainkan oleh para orientalis. Nah,semua faktor ini punya andil besar merusak keharmonisan hubung-an Islam-Kristen. Bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa bukansekadar untuk berdagang, akan tetapi bertujuan menjajah, menjarahdan menyiarkan agama Kristen (proselytizing) adalah fakta yang tidakbisa dibantah. Orang Inggris memasukkan Kristen ke negeri-negerijajahan mereka (India, Afrika, dan kepulauan Melanesia, sebagai-mana orang Spanyol mengkristenkan orang-orang Moro dikepulauan Philippines dan orang Belanda membaptis orang-orangdi Jawa, Sumatra dan lain-lain. Siapakah yang mendirikan gereja diJepang dan Cina kalau bukan orang-orang Eropa?

Toleransi dan Harmoni

Adapun corak ketiga dari hubungan orang Islam dengan orangnon Islam adalah toleransi penuh, hidup bersama dengan rukundan damai (peaceful coexistence) bersama umat agama lain sebagai-mana dipraktikkan selama berabad-abad sejak zaman Rasulullah diMadinah, di Baghdad dan di Andalusia serta negeri-negeri lain.31

Dalam hal ini menarik kita simak kesimpulan Bernard Lewis, pakarsejarah dari Universitas Princeton:

“In considering the long record of Muslim rule over non-Muslims, akey question is that of perception and attitudes. How did Muslimsview their dhimmi subjects? ... One important point should be maderight away. There is little sign of any deep-rooted emotional hostilitydirected against Jews-or for that matter any other group-such as the

31 Leonard Patrick Harvey, Islamic Spain, 1250-1500 (Chicago: University of ChicagoPress, 1990) dan id., Muslims in Spain 1500-1614 (Chicago: The University of ChicagoPress, 2005).

Page 162: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 159

Vol. 6, No. 1, April 2010

anti-Semitism of the Christian world. … On the whole, in contrast toChristian anti-Semitism, the Muslim attitude toward non-Muslimsis one not of hate or fear or envy but simply contempt [for those whohad been given the opportunity to accept the truth and who willfullychose to persist in their disbelief]”.32

Jadi, kaum Yahudi sendiri mengakui bahwa berabad-abadlamanya mereka hidup di bawah naungan orang Islam dalam ke-adaan selamat dan aman, sehingga mereka pun berpeluang membuatkarya-karya yang menyumbang bagi kegemilangan peradabanIslam. Umat Islam tidak menunjukkan rasa kebencian ataupermusuhan terhadap kaum Yahudi atas dasar etnik atau rasnya.Kaum Yahudi tidak ditindas, tidak diteror dan tidak dirampas hak-haknya sebagai manusia. Mereka diberi hak untuk hidup sesuaidengan ajaran agama dan bidang profesinya. Mereka hanya dikecamlantaran menolak kebenaran dan lebih memilih kafir daripada masukIslam meski mereka sudah diberi penjelasan dan kesempatan untukitu. Beda halnya dengan pengalaman mereka hidup di bawah peme-rintahan raja-raja Kristen di Eropa, dimana mereka dipandang dandiperlakukan dengan sangat buruk bahkan dihalau dari Englandpada tahun 1290, dari Perancis pada tahun 1391, dari Austria padatahun 1421, kemudian dari Spanyol dan Portugis pada tahun 1492.Di Russia dan sekitarnya kaum Yahudi sejak 1881 secara rutinmenjadi mangsa kerusuhan alias pogrom, yang mencapai klimaksnyapada pembunuhan masal (holocaust) di kamp-kamp konsentrasi olehNazi Jerman di abad keduapuluh.

Pro-kontra Dialog Antaragama

Gagasan dan kegiatan dialog antaragama terbilang baru, sebabtak satu ayat pun kita temukan dalam kitab suci al-Qur’an yangmenganjurkan dialog. Sebagaimana telah diuraikan di atas, istilahdan konsep dialog antaragama dicetuskan oleh Gereja pada konsiliVatikan II karena dan untuk tujuan tertentu.33 Inilah sebabnya

32 Bernard Lewis, The Jews of Islam (London: Routledge & Kegan Paul, 1984), 32-3.33 Lihat misalnya: Francesco Gioia (ed.), Il dialogo interreligioso nel magistero pontificio

(Documenti 1963-1993) (Vatican: Libreria Citta’ del Vaticano, 1994) = Interreligious Dialogue:The Official Teaching of the Catholic Church from the Second Vatican Council to John Paul II,1963-2005 (Boston: Pauline Books, 2006 ; edisi pertama 1997) = Le dialogue interreligieuxdans l’enseignement de l’Eglise Catholique (1963-1997) (Paris : �ditions de Solesmes,1998); Francis Cardinal Arinze, Meeting Other Believers: The Risks and Rewards of Interreligious

Page 163: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif160

Jurnal TSAQAFAH

mengapa tokoh-tokoh Muslim kontemporer berselisih pendapatdalam persoalan ini. Mereka yang setuju dan melibatkan diri dalamdialog antaragama antara lain alm. Profesor Isma‘il Raji al-Faruqidan Profesor Mahmoud Ayoub,34 sementara alm. Profesor FazlurRahman dan Profesor Naquib al-Attas termasuk yang tidak merestuidialog semacam itu. Mereka yang pro dialog kerap mengutarakanalasan sebagai berikut: dialog bertujuan mengenyahkan salah paham,prejudices, dan kebencian antara satu sama lain; dialog adalah upayamenjalin tali persahabatan dengan pemeluk agama lain, mengendur-kan ketegangan, mendorong kerjasama, saling hormat dan salingmengerti. Semua ini penting dilakukan terutama oleh kaum Muslimyang hidup di negara-negara Barat sebagai kelompok minoritas agartidak dibenci, dimusuhi, dan ditindas.

Adapun mereka yang kontra dialog melihat aktivis dialogantaragama umumnya tidak menyadari bahwa dialog semacam itusecara halus menggiring mereka kepada confusion, kompromisme,sinkretisme, relativisme dan pluralisme agama, sehingga terbentang-lah jalan bagi pemurtadan (proselytization). Di mata mereka, dialogantaragama itu bagaikan ‘kuda Troy’ dari Vatikan. Alkisah ketikameletus perang Peloponesos, ratusan prajurit Yunani bersembunyidi dalam patung kuda raksasa dari kayu yang konon dibuat untukpersembahan kepada dewa laut Poseidon. Para petinggi Troy meng-anggapnya tak berbahaya sehingga patung kayu tersebut merekaizinkan masuk ke dalam benteng kota Troy yang selama ini tidakpernah berhasil ditembus musuh sejak 10 tahun berperang. Padamalam harinya, pasukan Yunani keluar dari perut kuda kayu ter-sebut dan akhirnya berhasil menguasai kota Troy.

Di sini penting digarisbawahi bahwa dialog antaragamamengandung beberapa harapan. Pertama, setiap peserta hendaknyamenganggap semua partisipan sama statusnya. Kedua, peserta dialogsejak awal beranggapan bahwa keyakinan agama lain belum tentusalah. Dengan kata lain, partisipan sadar atau tanpa sadar disuntikkanpaham relativisme, bahwa semua agama boleh jadi benar. Ketiga,peserta dialog biasanya dimohon mengesampingkan masalah-masalah pokok yang menjadi titik-sengketa, seraya mengedepankan

Dialogue (Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Inc., 1998); Monique Aebisher-Crettol,Vers un oecuménisme interreligieux - Jalons pour un théologie chrétienne du pluralisme religieux(Paris, Du Cerf, 2001).

Page 164: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 161

Vol. 6, No. 1, April 2010

34 Isma‘il Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths (edisi ke-4, AmanaPublications, 1995) dan Mahmoud Ayoub, “Christian-Muslim Dialogue: Goals andObstacles,” dalam The Muslim World 94/3 (2004), 313-319; cf. Mahmoud Ayoub, A MuslimView of Christianity: Essays on Dialogue, ed. Irfan A. Omar (New York: Orbis Books, 2007).

35 Lihat Muhammad Shafiq dan Mohammed Abu-Nimer, Interfaith Dialogue: A Guidefor Muslims (Herndon: IIIT, 2007), 24-27. Literatur seputar dialog model begini terbit bakjamur di musim hujan. Contohnya: M. Arkoun, “New Perspectives for a Jewish-Christian-Muslim Dialogue,” dalam Journal of Ecumenical Studies 26 (1989), 523-9; Saad Ghrab, “Islamand Christianity: From Opposition to Dialogue,” Islamochristiana 13 (1987), 99-111;Mohamed Talbi, “Dialogue interreligieux ou conflireligieux: Pour une dialogue detémoignage, d’émulation et de convergence,” dalam Revue des Etudes Andalouses 14 (1995),5-33; Osman Bakar, The Qur’an on Interfaith and Inter-civilization Dialog (Kuala Lumpur:IIITM & ISUGU, 2006); Fatmir Mehdi Shehu, Nostra Aetate and the Islamic perspective of Inter-religious Dialogue (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2008).

36 Tentang konsistensi sikap Gereja dalam soal keselamatan dan misi kristenisasi,lihat Adian Husaini, Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council (PhD diss.ISTAC-IIUM, Kuala Lumpur, 2009).

masalah remeh-temeh yang mereka anggap sebagai titik-temuagama-agama. Apa yang ingin dicapai dari dialog? Selesai dialogdiharapkan para peserta tidak hanya saling memahami tetapi juga‘saling mengakui’ dan mau meyakini kebenaran agama lain! Bagiorang Islam yang menyertai dialog semacam ini diharapkan supayamembuang jauh-jauh keyakinan kepada Islam sebagai satu-satunyaagama yang benar.35 Padahal, andaikata semua agama itu benar, nis-caya Gereja Vatikan sudah lama bubar. Maka dialog antaragama padaintinya akan menguntungkan misi Gereja untuk mengkristenkan dunia.36

Kesimpulan dan Penutup

Fakta sejarah maupun bukti tekstual menunjukkan bahwayang dilakukan Umat Islam sejak abad pertama Hijriah adalah satudari atau kombinasi pelbagai strategi berikut ini: (i) dakwah secarabijak, rasional dan persuasif (da‘wah bi h}ikmah wa al-mau‘iz}ah al-h}asanah), yakni mengajak orang agama lain untuk masuk Islam,karena mereka yakin bahwa Islamlah agama yang benar. Berbedadengan ‘dialog’ yang menganggap semua agama sama benarnya,‘dakwah’ berangkat dari kesadaran penuh dan keyakinan kokohsang juru dakwah bahwa agama selain Islam itu keliru dan sesat.Dakwah tidak bertolak dari relativisme atau pluralisme agama.Strategi kedua (ii) adalah debat secara santun dan tegas (jidal billatihiya ah }san) yakni menjawab argumentasi orang Kristen dalamberbagai forum dan media, menyanggah mereka dengan argumen-

Page 165: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif162

Jurnal TSAQAFAH

tasi yang logis rasional, secara lisan maupun tulisan. Jalan terakhir(iii) adalah aksi militer alias perang, apabila semua jalan tersebut diatas buntu, ditutup atau disekat, sesuai dengan petunjuk al-Qur’andan Sunnah Rasulullah SAW. Adapun dialog antaragama seperti yangdigagas dan dipraktikkan oleh kalangan tertentu belakangan ini taklain dan tak bukan bertujuan menggeser posisi keyakinan kita supayalebih atau makin dekat lagi pada kekufuran. Apabila orang Islamsudah mengakui dan meyakini bahwa agama-agama itu sama benardan sama intinya, maka kemurtadan hanya tinggal selangkah. Wamin dhâlika na‘ûdhu billâh.[]

Daftar Pustaka

Agustinus, St., De Baptismo contra Donatistas, Liber IV, dalam SanctiAurelii Augustini Hipponensis Episcopi Opera Omnia, Tomus IX(Paris, 1837)

Al-Faruqi, Isma‘il Raji, Trialogue of the Abrahamic Faiths, (USA:Amana Publications, 1995)

Ali, Mukti, “Cooperation and Resource Mobilization,” dalam TowardsWorld Community, ed. Stanley J. Samartha (Geneva, 1975)

_______, “Dialogue between Muslims and Christians in Indonesiaand Its Problems,” dalam Dialogue between Men of Living Faiths,ed. Stanley J. Samartha (Geneva, 1973)

_______, “Religions, Nations and the Search for a World Commu-nity,” dalam Christian-Muslim Dialogue, ed. Stanley J. Samarthadan John B. Taylor (Geneva, 1973)

Al-Jahizh, “A Risala of al-Jahiz,” dalam Journal of the American OrientalSociety 47 (1927)

_______, al-Radd ‘ala al-Nas }ârâ dalam Tsalats Rasa’il, ed. J. Finkel(Cairo: 1382)

Al-Kayranawi, Rahmatullah ibn Khalil, Iz }har al-Haqq, ed. DrMuhammad Ahmad Malkawi, 2 jilid (Riyadh: Ri’asah Idaratal-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa l-Ifta’, 1414/1994)

Al-Qarafi, Syihabuddin Ahmad ibn Idris, al-Ajwibat al-Fakhirah ‘anal-As’ilat al-Fajirah, (Kairo : 1320/1902)

Al-Warraq, Abu ‘Isa, al-Radd ‘ala Tsalats Firaq min al-Nas }ârâ, dimuatdalam Le livre pour la refutation des trois sectes chrétiennes, ed.

Page 166: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 163

Vol. 6, No. 1, April 2010

Armand Abel (Brussels: 1949)

Arkoun, M., “New Perspectives for a Jewish-Christian-MuslimDialogue,” dalam Journal of Ecumenical Studies 26 (1989)

Ayoub, Mahmoud, “Christian-Muslim Dialogue: Goals andObstacles,” dalam The Muslim World 94/3 (2004)

_______, A Muslim View of Christianity: Essays on Dialogue, ed. IrfanA. Omar (New York: Orbis Books, 2007)

az-Zahidi, Najmuddin, al-Risalah al-Nas}iriyyah, ed. Muhammad al-Mishri (Kuwait: Markaz al-Makhthuthat wa t-Turats wa l-Watsa’iq, 1414/1994)

Bakar, Osman, The Qur’an on Interfaith and Inter-civilization Dialog(Kuala Lumpur: IIITM & ISUGU, 2006)

Chidiac, Robert, Réfutation excellente de la divinité‚ de Jésus-Christd’après les Evangiles (Paris: 1939)

Daniel, Norman, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford:Oneworld Publications, 1993)

Ghrab, Saad, “Islam and Christianity: From Opposition to Dialogue,”Islamochristiana 13 (1987)

Gioia, Francesco. (ed.), Il dialogo interreligioso nel magistero pontificio(Documenti 1963-1993) (Vatican: Libreria Citta’ del Vaticano,1994)

Goldziher, Ignaz, “�ber Muhammedanische Polemik gegen Ahl al-kitab,” dalam Zeitschrift der deutschen MorgenldndischenGesellschaft (ZDMG) vol. 32 (1878)

Ham, F. T. van den, Disputatio pro Religione MohammedanorumAdversus Christianos (Leiden, 1890)

Harvey, Leonard Patrick, Islamic Spain, 1250-1500 (Chicago:University of Chicago Press, 1990)

_______, Muslims in Spain 1500-1614 (Chicago: The University ofChicago Press, 2005)

Hazm, Ibn., al-Fis }al fi al-Milal wa al-Nih}al wa al-Ahwa’ wa al-Nih}al,Kairo: 1319/1901.

Husaini, Adian, Exclusivism and Evangelism in the Second VaticanCouncil (PhD diss. ISTAC-IIUM, Kuala Lumpur, 2009)

Page 167: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

Syamsuddin Arif164

Jurnal TSAQAFAH

Lewis, Bernard, The Jews of Islam (London: Routledge & Kegan Paul,1984)

Madelung, W., Der Imam al-Qasim ibn Ibrahim und die Glaubenslehreder Zaiditen (Berlin, 1965)

Madjid, Nurcholish,. et al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina,2004)

Matteo, “Confutazione contro i Christiani dello zaydita al-Qasim b.Ibrahim,” dalam Rivista degli Studi Orientali 9 (1921-2)

Michel, Thomas F., Ibn Taymiyya: A Muslim Theologian’s Response toChristianity (Delmar, NY: Caravan Books, 1984)

Moutet, E., La Propagande Chrétienne et Ses Adversaires Musulmanes(Paris, 1890); Adel T. Khoury, Polémique byzantine contre l’Islam,edisi kedua (Leiden, 1972)

Rachman, Budhy Munawar-, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina,2001)

Rahner, Karl, Theological Investigations, terj. David Bourke (London:Darton, Longman & Todd, 1976), vol. 14.

Reynolds, Gabriel Said, A Muslim Theologian in the Sectarian Milieu:‘Abd al-Jabbar and the Critique of Christian Origins (Leiden,2004)

Sahas, Daniel J., John of Damascus on Islam: ‘The Heresy of theIshmaelites’ (Leiden: E.J. Brill, 1972)

Secretariatus Pro Non-Christianis, Guidelines for a Dialogue betweenMuslims and Christians (Roma: Edizione Ancora, 1971; cetakanpertama 1969)

Shafiq, Muhammad dan Mohammed Abu-Nimer, InterfaithDialogue: A Guide for Muslims (Herndon: IIIT, 2007)

Shehu, Fatmir Mehdi, Nostra Aetate and the Islamic perspective ofInter-religious Dialogue (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2008)

Smith, Jonathan Riley-, The First Crusaders, 1095-1131 (Cambridge:Cambridge University Press, 1998)

_______, The Oxford History of the Crusades (New York: OxfordUniversity Press, 1999)

Page 168: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca

‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam 165

Vol. 6, No. 1, April 2010

Sperber, Jutta, Christians and Muslims: The Dialogue Activities of theWorld Council of Churches and Their Theological Founda-tion(Berlin dan New York: Walter de Gruyter, 2000)

Spiro, Jean, “Le Présent de l’Homme Lettré pour refuter les Partisansde la Croix,” dalam Revue de l’Histoire des Religions, xii. 68-89.

Steinschneider, Moritz, Polemische und apologetische Literatur inarabischer Sprache zwischen Muslimen, Christen, und Juden,Abhandlungen für die Kunde des Morgenlandes, vi., No. 3(Leipzig, 1877)

Talbi, Mohamed, “Dialogue interreligieux ou conflireligieux: Pourune dialogue de témoignage, d’émulation et de convergence,”dalam Revue des Etudes Andalouses 14 (1995)

Thompson, William, “Muhammad: His Life and Person,” dalam TheMuslim World 34/2 (1994)

Wheatcroft, Andrew, Infidels. A History of the Conflict betweenChristendom and Islam (London: Penguin Books, 2004)

Wilms, Franz-Elmar, al-Ghazali’s Schrift wider die Gottheit Jesu(Leiden: Brill, 1966)

Zahrah, Muhammad Abu, Muhad }arah fi al-Nas }raniyyah (Kairo:Mathba ‘at al-‘Ulum, 1942); Ahmed Deedat, The Choice (Riyadh,1994)

http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php

http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_decl_19651028_nostra-aetate_lt.html.

Page 169: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 170: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 171: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 172: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 173: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 174: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 175: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 176: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 177: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 178: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 179: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 180: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 181: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 182: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 183: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 184: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 185: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 186: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 187: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 188: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 189: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 190: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 191: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 192: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 193: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 194: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 195: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 196: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 197: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 198: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 199: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 200: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 201: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 202: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 203: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 204: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 205: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 206: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 207: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 208: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 209: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 210: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 211: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 212: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 213: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca
Page 214: Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur'an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca