-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Protein Urin Normal
Dinding kapiler glomerulus mempunyai struktur yang khas
untuk
mendukung proses ultrafiltrasi dan menahan hampir semua protein
dalam
plasma. Dinding kapiler terdiri dari lapisan dalam yaitu lapisan
endotel
dengan lubang-lubang (fenestra), pada permukaan dilapisi
hydrated gel
yang mengandung glikoprotein polianionik, diameter 60-79 nm,
lapisan
tengah adalah membrana basalis terdiri dari jaring-jaring fibril
sub-endotel
(lamina rara interna), lamina densa dan jaring-jaring fibril
sub-epitel
(lamina rara eksterna), dan lapisan luar adalah lapisan epitel
yang
menghadap kapsula Bowman yang menempel pada membrana basalis
dan mempunyai tonjolan-tonjolan plasmatik membentuk
celah.(16,17,27)
Hampir seluruh hasil akhir metabolisme difiltrasi melalui
glomerulus
sedangkan kreatinin akan diekskresi melalui tubulus. Protein,
asam-asam
amino dan sebagian besar air beserta ion-ion direabsorpsi di
tubulus
proksimal. Sisa air dan ion-ion direabsorpsi di tubulus distal.
Gangguan
fungsi ginjal sangat tergantung luasnya kerusakan fungsi
glomerulus.
Hosteter dan kawan-kawan menyatakan bahwa filtrasi
berdasarkan
ukuran molekul bukan merupakan penentu karena makromolekul
bermuatan negatif lebih sulit melewati membrana basalis
dibanding
makromolekul bermuatan positif atau netral dengan ukuran yang
sama.
Universitas Sumatera Utara
-
Membrana basalis merupakan glikoprotein bermuatan listrik
yang
menghalangi molekul bermuatan negatif seperti albumin melalui
dinding
kapiler glomerulus.(16,17)
Oleh karena dinding kapiler glomerulus bersifat selektif
terhadap
muatan dan ukuran maka hanya sebagian kecil albumin, globulin
dan
protein plasma lainnya yang dapat melintas. Protein yang ada
dalam urin
pada penyakit ginjal merupakan campuran albumin dengan globulin.
Bila
ada kerusakan pada glomerulus akan dijumpai albumin sebagai
protein
utama.(11,16,17,27,28,29)
2.2 Proteinuria
Proteinuria merupakan suatu petanda adanya kerusakan ginjal,
pada banyak penelitian terbukti bahwa proteinuria mempunyai
peran
sebagai petanda resiko mortalitas kardiovaskular dan
prediktor
progresivitas penyakit ginjal dan jumlah protein yang
dikeluarkan melalui
urine berkorelasi dengan besarnya penurunan laju filtrasi
glomerulus.(20,30)
Protein yang difiltrasi glomerulus bersifat nefrotoksik, dapat
menstimulasi
proses inflamasi, fibrosis jaringan tubulus-interstisialis.
Proses ini semakin
berat dengan semakin banyaknya jumlah protein yang
difiltrasi.
Penurunan fungsi ginjal semakin besar sesuai dengan semakin
banyaknya proteinuria. Proteinuria tidak hanya sekedar
merupakan
petanda adanya proses kerusakan di ginjal, akan tetapi juga
faktor resiko
dari PGK, penurunan laju filtrasi glomerulus atau progresivitas
penyakit.
Universitas Sumatera Utara
-
Proteinuria dapat dipakai untuk mengukur hasil pengobatan dan
dapat
dipakai sebagai target penatalaksanaannya.(20)
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin,
baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin
suatu
bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Adanya protein di
dalam urin
sangatlah penting, dan memerlukan pemikiran lebih lanjut
untuk
menentukan penyebab/penyakit dasarnya. Adapun prevalensi
proteinuria
yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang
sehat
sekitar 3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan
manifestasi kelainan
ginjal.(31)
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di
atas
150 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang
berbeda.
Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin
telah menetap
selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit
di atas
nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein
di urin
melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas
albumin.(31)
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein
yang
cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui
nefron
setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini
disebabkan 2
faktor utama yang berperan yaitu :
1. Filtrasi glomerulus
2. Reabsorbsi protein tubulus(31)
Universitas Sumatera Utara
-
2.2.1 Definisi Proteinuria
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin orang dewasa
yang
melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau
pada anak-
anak lebih dari 140 mg/m2.
Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah
tertentu masih dianggap fungsional. Urin normal mengandung
hanya
sedikit protein, kurang dari 10 mg / dl atau 150 mg/24 jam. Ada
juga
kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih
dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 200 mg/hari pada dewasa
(pada
anak-anak 140 mg/m2).(21,31,32,33,34,35)
2.2.2 Patofisiologi Proteinuria
Pada keadaan normal selektifitas muatan listrik dan ukuran
dari dinding kapiler glomerulus akan mencegah protein ( albumin,
globulin
dan molekul protein plasma yang besar ) melewatinya. Membran
glomerulus mengandung komponen muatan negatif, yang dapat
menyebabkan penurunan filtrasi dari substansi anionik seperti
albumin.
Protein adalah bermuatan negatif dan hampir seluruhnya dihambat
oleh
dinding sel glomeruli. Protein mengalami filtrasi di membran
glomerulus
melalui seleksi perbedaan berat molekul dan muatan
listrik.(18,36)
Proteinuria terjadi karena molekul protein dapat melewati
membran
glomerulus. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan
permeabilitas dinding
kapiler glomeruli, peningkatan tekanan intra glomerular atau
keduanya.
Universitas Sumatera Utara
-
Hiperglikemia merupakan faktor resiko utama terjadinya
proteinuria karena
dapat meningkatkan tekanan intraglomerular.(37) Hiperglikemia
dapat
merubah selektifitas perbedaan muatan listrik pada dinding
kapiler
glomeruli dan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Pada ginjal
yang
sehat 99% albumin yang difiltrasi akan direabsorbsi kembali di
tubulus.
Heparan sulfat merupakan molekul utama di membran glomerulus
yang
bermuatan negatif dan disintesis didalam endotel sel mesangial
dan sel
myomedial. Setelah mengalami sulfasi di dalam alat Golgi,
Heparan Sulfat
Proteoglikan ini akan masuk ke dalam matriks ekstraselular
dari
glomerulus dan arteri besar. Pada glukosa darah tidak terkontrol
terjadi
inhibisi enzim N-deacetylase yang berperan pada sintesa heparan
sulfat
akibat penurunan sintesa heparan sulfat, maka muatan negatif
glomerulus berkurang sehingga protein yang bermuatan negatif
lolos ke
urin.(37,38)
2.3 Protein Urin 24 jam
Melakukan pemeriksaan terhadap kadar yang tepat dari
kandungan urin, itu lebih penting dari pada hanya sekedar
mengetahui
unsur yang terdapat di dalamnya. Perlu kewaspadaan terhadap
masalah
waktu guna untuk mendapatkan hasil kwantitatif yang akurat.
Banyak
substansi yang dihasilkan pada variasi diurnal seperti
katekolamin, 17-
hydroxysteroid dan elektrolit yang mana konsentrasinya menurun
pada
pagi hari dan terjadi peningkatan konsentrasi pada siang hari.
Selain
Universitas Sumatera Utara
-
perubahan konsentrasi yang terjadi oleh karena variasi diurnal,
ada juga
perubahan akibat aktifitas sehari-hari seperti exercise, makanan
(proteins
intake) dan metabolisme tubuh, oleh karena itulah pemeriksaan
urin 24
jam merupakan gold standard.(18,21)
Untuk mendapatkan hasil spesimen yang akurat, pasien harus
memulai dan mengakhiri periode pengumpulan urin dengan
kandung
kemih yang kosong. Sebelumnya pasien harus diberitahu untuk
memulai
mengumpulkan urin pada waktu atau jam yang telah ditetapkan
dengan
membuang urin pertamanya lebih dulu ke toilet dan kemudian
menampung semua urin yang dikemihkan untuk dikumpulkan sampai
24
jam kemudian, sampai tepat pada jam yang sama sejak
dikumpulkan.(21)
Perlu mempersiapkan pasien dengan instruksi tertulis dan
menjelaskan prosedur pengumpulan urin, dengan menyiapkan
wadah
yang tepat.(21)
Semua spesimen harus didinginkan pada suhu 2-8C selama
periode pengumpulan.(39) Dan juga memerlukan penambahan
bahan
pengawet kimia. Pengawet dipilih harus tidak beracun kepada
pasien dan
tidak boleh mengganggu pengujian yang akan dilakukan. Setibanya
di
laboratorium, spesimen 24 jam dicampur secara menyeluruh dan
volume
diukur dan dicatat.(21)
Universitas Sumatera Utara
-
2.4 Kreatinin
Kreatinin adalah produk katabolisme dari keratin fosfat yang ada
di
dalam otot. Hasil katabolisme tersebut memiliki nilai yang
konstan dalam
tiap individu setiap harinya. Kreatinin sangat bergantung dari
massa otot.
Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin.
Biosintesis
kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin.
Pemindahan
gugus guanidino dari arginin kepada glisin, yang membentuk
senyawa
guanidoasetat (glikosiamina), berlangsung di dalam ginjal dan
tidak terjadi
di hati atau otot jantung. Sintesis kreatin diselesaikan lewat
reaksi metilasi
guanidoasetat oleh senyawa S-adenosilmetionin di hati.
Kreatinin
dikeluarkan peredarannya dari darah oleh ginjal. Hampir tidak
ada sama
sekali reabsorpsi kreatinin yang dilakukan ginjal. Jika filtrasi
yang
dilakukan glomerulus berkurang maka kadarnya di darah akan
tinggi.
Sehingga kadar kreatinin di darah dan urin dapat dipakai
untuk
menghitung creatinine clearance, sekaligus GFR (Glomerulus
Filtration
Rate).(40)
Kreatinin dalam urin berasal dari filtrasi glomerulus dan
sekresi
oleh tubulus proksimal ginjal. Berat molekulnya kecil sehingga
dapat
secara bebas masuk dalam filtrat glomerulus. Kreatinin yang
diekskresi
dalam urin terutama berasal dari metabolisme kreatinin dalam
otot
sehingga jumlah kreatinin dalam urin mencerminkan massa otot
tubuh dan
relatif stabil pada individu sehat (Levey,2003; Remer et al .
2002; Henry, 2001).
Kreatin terutama ditemukan di jaringan otot (sampai dengan 94%).
Kreatin
dari otot diambil dari darah karena otot sendiri tidak mampu
mensintesis
Universitas Sumatera Utara
-
kreatin. Kreatin darah berasal dari makanan dan biosintesis
yang
melibatkan berbagai organ terutama hati. Proses awal biosintesis
kreatin
berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan
glisin.
Menurut salah satu penelitian in vitro kreatin secara hampir
konstan akan
diubah menjadi kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Kreatinin
yang
terbentuk ini kemudian akan berdifusi keluar sel otot untuk
kemudian
diekskresi dalam urin. Pembentukan kreatinin dari kreatin
berlangsung
secara konstan dan tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh,
sehingga
sebagian besar kreatinin yang terbentuk dari otot diekskresi
lewat ginjal
sehingga ekskresi kreatinin dapat digunakan untuk
menggambarkan
filtrasi glomerulus walaupun tidak 100% sama dengan ekskresi
inulin yang
merupakan baku emas pemeriksaan laju filtrasi glomerulus.
Meskipun
demikian, sebagian(16%) dari kreatinin yang terbentuk dalam otot
akan
mengalami degradasi dan diubah kembali menjadi kreatin.
Sebagian
kreatinin juga dibuang lewat jalur intestinal dan mengalami
degradasi lebih
lanjut oleh kreatininase bakteri usus. Kreatininase bakteri akan
mengubah
kreatinin menjadi kreatin yang kemudian akan masuk kembali ke
darah
(enteric cycling ). Produk degradasi kreatinin lainnya ialah
1-
metilhidantoin, sarkosin, urea, metilamin, glioksilat, glikolat,
dan
metilguanidin. .(41,42,43)
Metabolisme kreatinin dalam tubuh ini menyebabkan ekskresi
kreatinin tidak benar-benar konstan dan mencerminkan filtrasi
glomerulus,
walaupun pada orang sehat tanpa gangguan fungsi ginjal,
besarnya
degradasi dan ekskresi ekstrarenal kreatinin ini minimal dan
dapat
diabaikan. (44)
Universitas Sumatera Utara
-
Metode pemeriksaan kreatinin urin adalah Enzimatic
colorimetric.
Referens interval : ekskresi kreatinin urin normal adalah 14-26
mg / kg /
hari atau ( 124-230 umol / kg / hari ) pada laki-laki, dan 11-20
mg / kg /
hari atau ( 97-177 umol / kg / hari ) pada wanita. (27)
2.5 Protein Creatinine Ratio (PCR) Urin
Belakangan ini beberapa laporan penelitian telah menulis
tentang
pemeriksaan ekskresi protein urin dengan memakai sampel urin
sewaktu
dengan melakukan pengukuran antara protein dengan
konsentrasi
kreatinin dan membandingkan sampel urin 24 jam sebagai gold
standard.
Adapun alasan digunakan format PCR untuk memperbaiki masalah
variabilitas volume dan konsentrasi urin. National Kidney
Foundation
Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-K/DOQI)
merekomendasikan pemeriksaan penunjang ratio protein
terhadap
kreatinin dengan urin pertama pada pagi hari atau urin sewaktu
pada
semua pasien PGK.(19,23,45)
Format PCR merupakan hasil bagi antara protein urin dengan
kreatinin urin dengan satuan mg/gr kreatinin. Protein dirasiokan
dengan
kreatinin adalah selain untuk mengurangi masalah variabilitas
volume dan
konsentrasi urin, protein dan kreatinin mencerminkan fungsi
ekskresi ginjal
dan kadar kreatinin relatif stabil diekskresikan walaupun jumlah
urin sedikit
atau banyak.(2,46)
Universitas Sumatera Utara
-
Roger A. Rodby,MD dkk dari George Washington University,
Washington, DC tahun 1995 melakukan penelitian, bahwa
pengukuran
PCR dapat digunakan untuk memprediksi proteinuria pada pasien
ND.(24)
Ayman M. Wahbeh dkk dari University of Jordan tahun 2009
telah
membuktikan adanya korelasi yang baik antara PCR dan ekskresi
protein
urin 24 jam pada pasien ND.(25)
Derhaschnig dkk tahun 2002 melakukan penelitian terhadap
pasien hipertensi, ditemukan PCR dengan sensitivitas 87.8%,
spesifisitas
89.3%, positif prediktif value (PPV) 29.3% dan negatif prediktif
value
(NPV) 96.2%.(26)
Nahid Shahbazian dkk dari Imam Khomeini Hospital, University
of
Medical Sciences, Ahwaz, Iran tahun 2008 melaporkan bahwa
adanya
korelasi yang significant antara spot urin PCR dan protein urin
24 jam
pada wanita dengan preeclampsia (P< 0.001).(47)
Leanos-Miranda dkk tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat
korelasi yang tinggi antara spot urin PCR dan protein urin 24
jam pada
pasien wanita hamil dengan hipertensi. (P < 0.001).(48)
BK Yadav dkk dari Purbanchal University, Kathmandu, Nepal
tahun 2010 melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat baik
antara
spot PCR dengan protein urin 24 jam pada pasien Nefropati
Diabetik
dengan sensitivitas 96.65% dan spesifisitas 74,4%.(49)
Universitas Sumatera Utara
-
2.6 Nefropati Diabetik
Penyakit ginjal diabetik atau yang lebih dikenal sebagai
Nefropati
Diabetik adalah merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan
adanya
mikroalbuminuria persisten, proteinuria, peningkatan tekanan
darah dan
penurunan laju filtrasi glomerulus. Keadaan ini dialami hampir
sepertiga
pasien diabetes dan terjadinya secara kronik tapi progresif. Hal
ini akan
berhubungan dengan meningkatnya resiko kardiovaskular,
retinopati dan
neuropati. Kejadian ini berlangsung bertahun sesudah
seseorang
menderita diabetes dan gagal ginjal akan terjadi sesudah 20-30
tahun.(6)
Kecenderungan menjadi Nefropati Diabetik dipengaruhi oleh
faktor
genetik, etnik, gender dan usia pada onset diabetes.(6,50)
2.6.1 Definisi Nefropati Diabetik
Pada umumnya Nefropati Diabetik didefinisikan sebagai
sindrom
klinis pada pasien Diabetes Mellitus yang ditandai dengan
albuminuria
menetap ( >300 mg/24 jam ) pada minimal dua kali pemeriksaan
dalam
kurun waktu 3 sampai 6 bulan.(50)
Nefropati Diabetik adalah salah satu komplikasi
mikroangiopati
(retinopati dan neuropati) pada Diabetes Melitus tipe1 dan tipe
2.(51,52)
Dengan demikian perjalanan alamiah (natural history) ND
didahului
oleh satu fase yang disebut mikroalbuminuria yang merupakan
gambaran
dari perubahan fisiologi dan patogeni ginjal sebelum ND
bermanifestasi.
Universitas Sumatera Utara
-
2.6.2 Proteinuria pada Nefropati Diabetik
Walaupun proteinuria mempunyai peranan sebagai petanda
adanya kerusakan akibat penyakit ginjal, akan tetapi sebenarnya
lebih dari
itu, akibat peran proteinuria yang nefrotoksik. Pada banyak
penelitian
terbukti bahwa proteinuria mempunyai peran sebagai petanda
dan
prediktor progresivitas gagal ginjal pada DM. Banyaknya
proteinuria
berkorelasi dengan besarnya penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG).
Pada penelitian Modified Diet in Renal Disease (MDRD)
didapatkan
bahwa ekskresi protein yang semakin meningkat sesuai dengan
meningkatnya penurunan LFG.(20)
Proteinuria asimtomatis merupakan tanda permulaan dari
Nefropati
Diabetik, timbulnya intermiten selama beberapa tahun dan
akhirnya
menetap disertai proteinuria massif. Pada stadium permulaan,
proteinuria
ringan dari Nefropati Diabetik ini sulit dibedakan dengan
proteinuria
karena glomerulonefritis membranous karena sebab lain. Bila
terjadi
proteinuria massif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh
gambaran
klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi. Proteinuria pada
Nefropati
Diabetik mempunyai karakteristik tersendiri, bersifat non
selektif (bukan
albumin). Proteinuria ini masih merupakan tanda yang dapat
dipercaya
sebagai indikator untuk Nefropati Diabetik asal dapat
dikesampingkan
penyebab lainnya seperti gagal jantung kongestif,
ketoasidosis,
pielonefritis termasuk keadaan fisiologis dan ortostatik. Pada
Nefropati
Diabetik, gejala proteinuria ini selalu disertai kelainan
mikroangiopati dari
Universitas Sumatera Utara
-
organ lain misalnya mikroaneurismata dari pembuluh darah
retina,
neuropati dan lain-lain.(51)
Kapan kelainan ginjal (nefropati) ini muncul pada seorang
pasien
diabetes mellitus? Penelitian epidemiologi klinik menunjukkan,
nefropati
baru terjadi setelah 20 tahun menderita intoleransi glukosa pada
diabetes
mellitus tipe dewasa dan 14 tahun pada tipe yuvenil.(51)
2.6.3 Patogenesis Nefropati Diabetik
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal
dari
mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian
Brenner
dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron
mengalami
pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron
yang
masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi.
Hiperfiltrasi
yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan
menyebabkan
sklerosis dari nefron tersebut.(50)
Patogenesis terjadinya Nefropati Diabetik ditentukan oleh
faktor
genetik, metabolik dan hemodinamik yang berkaitan satu sama
lainnya.
Patogenesis Nefropati Diabetik lebih mudah dipahami dengan
meninjau
perubahan struktural dan hemodinamik yang terjadi. Walaupun
patogenesis DM tipe 1 dan 2 berbeda, namun patofisiologi
komplikasi
mikrovaskular yang bertanggungjawab terhadap tingginya angka
mortalitas dan morbiditas adalah sama.(6)
Universitas Sumatera Utara
-
Patogenesis terjadinya Nefropati Diabetik sebenarnya sangat
kompleks, akan tetapi dapat dikelompokkan dalam 3 faktor utama
yang
memegang peranan penting dan saling interaksi satu sama lainnya,
yaitu
faktor genetik, metabolik dan hemodinamik.(6)
Gambar 1. Patogenesis Nefropati Diabetik. (Disadur dari Cooper
ME, Gilbert RE :
Pathogenesis, Prevention and Treatment of Diabetic Nephropathy,
2003)
2.6.4 Tahapan Nefropati Diabetik
Sequen perjalanan klinik alamiah ND oleh Mogensen meliputi 5
tahapan gangguan fungsi ginjal dimulai dengan hiperfiltrasi dan
hipertropi,
mikroalbuminuria (nefropati insipien). proteinuria (overt
nefropati) dan
gagal ginjal. Perjalanan klinik dan keterlibatan ginjal pada DM,
lebih jelas
diterangkan pada tipe 1 dari pada tipe 2.
Metabolik Genetik Hemodinamik
Glukosa
Advanced glycation
Protein Kinase C b2
Hormon-hormon vasoaktif (mis. Angiotensin II, endotelin)
Aliran/ tekanan
Sitokin Transformin Vascular Growth Endothelial Factor Growth
Factor
Extracellular matrix (ECM) cross-linking
ECM Permeabilitas pembuluh darah
Penimbunan ECM Proteinuria
Universitas Sumatera Utara
-
Tahap 1 : Fase awal terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi ginjal.
LFG dan laju
ekskresi albumin dalam urin meningkat.
Tahap 2 : Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti,
berlangsung
5-15 tahun. LFG tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin
dan
tekanan darah normal. Mulai terjadi perubahan histologi awal
berupa
penebalan membrana basalis yang tidak spesifik dan peningkatan
matriks
mesangial.
Tahap 3 : Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau
nefropati
insipien. LFG meningkat atau dapat menurun sampai derajat
normal. Laju
ekskresi albumin dalam urin (Urine Albumin Excretion Rate =
UAER) 30-
300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologis,
didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus.
Tahap 4 : Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt
nephropathy). Perubahan histologis makin jelas, juga timbul
hipertensi
pada sebagian besar pasien. Proteinuria meningkat. Sindroma
nefrotik
sering ditemukan pada tahap ini LFG menurun sekitar 10
ml/menit/tahun
dan kecepatan penurunan ini berkorelasi dengan tingginya tekanan
darah.
Tahap 5 : Tahap ini disebut juga End Stage Renal Disease (ESRD)
atau
tahap terjadinya gagal ginjal terminal, rata-rata 7 tahun
sesudah
proteinuria persisten.(6,53,54)
Universitas Sumatera Utara