Alan F Koropitan | Babak Baru (Sains) Perikanan Dunia Copyright Alan Koropitan [email protected] http://alan.staff.ipb.ac.id/2012/07/23/babak-baru-sains-perikanan-dunia/ Babak Baru (Sains) Perikanan Dunia http://cetak.kompas.com/read/2012/07/21/02160353/babak.baru.sains.perikanan.du nia Sabtu, 21 Juli 2012 Babak Baru (Sains) Perikanan Dunia Oleh: Alan F. Koropitan Uraian Arif Satria tentang “Babak Baru Perikanan Dunia” yang dimuat Kompas (8 Juni 2012) sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Babak baru perikanan dunia menurut Arif Satria adalah berdasarkan kesadaran China, yang nota bene adalah produsen ikan terbesar di dunia,untuk mengendalikan laju pertumbuhan perikanan tangkap. Kesadaran China terlihat melalui upaya mengurangi jumlah kapal ikan (termasuk Jepang di dalamnya). Namun, Arif Satria tidak mengungkapkan bahwa baik China maupun Jepang justru mengalami peningkatan konsumsi energi untuk mesin kapal ikan, seperti yang diungkapkan oleh laporan yang sama (FAO, 2010). Jadi, dalam hal ini memang terjadi penurunan jumlah kapal ikan, tetapi jumlah hari layar mengalami peningkatan. Data FAO (2010) memperlihatkan bahwa produksi perikanan tangkap China meningkat dari 12,4 juta ton (2004) menjadi 12,7 juta ton (2009). Akhirnya, Uni Eropa mencoba mengatasi hal ini dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan usaha (effort) penangkapan dengan mempertimbangkan jumlah kapal (ukuran tonase), total konsumsi energi dan jumlah hari layar yang berlaku bagi negara-negara Eropa. Fakta lain terkait dengan perikanan tangkap adalah kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catchability) yang sangat ditentukan oleh faktor sains dan teknologi. Hal ini terlihat pada bervariasinya kapasitas produksi tahunan oleh setiap orang yang bekerja di bidang perikanan. Menurut FAO (2010), rata-rata produksi ikan tahunan per orang di Asia hanya 2,4 ton, sementara Eropa hampir 24 ton dan Amerika Utara sebesar 18 ton. Pentingnya Sains untuk keberlanjutan Pemahaman akan sains untuk perikanan sudah menjadi keharusan dan sangat diprioritaskan oleh banyak negara-negara kelautan dan menjadi dasar bagi pengembangan teknologi. Kemajuan sains dan teknologi di Eropa dan Amerika Utara memang sudah berkembang lama sehingga menjadi modal kuat dalam pengelolaan perikanan. Ini disadari betul oleh Jepang dan selanjutnya China, sehingga berbagai upaya mengejar ketertinggalan tersebut dilakukan antara lain melalui dibukanya berbagai lembaga riset perikanan baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada tingkat nasional, Jepang dan China masing-masing mendirikan Universitas Ilmu dan Teknologi Kelautan di Tokyo dan Qing Dao. Pada tingkat internasional dan regional, IGBP ( International Geosphere-Biosphere Programme) mengkoordinasikan salah satu proyek intinya yang dikenal dengan GLOBEC (Global Ocean Ecosystem Dynamic ). Ada lima aspek yang dikaji dalam riset GLOBEC, yaitu variabilitas iklim dan pemanasan global yang berdampak pada ekosistem laut, dinamika jaringan rantai makanan di laut, proses biogeokimiawi, sintesis dan prediksi, serta dampak aktifitas manusia. Interaksi kelima aspek tersebut membawa banyak pemahaman baru, seperti pola pertumbuhan, habitat, migrasi, stok serta kebijakan jumlah ikan yang dapat ditangkap pada periode dan lokasi tertentu. Namun sayang, sampai berakhirnya GLOBEC pada 2010, tidak ada partisipasi aktif Indonesia untuk mengadopsi riset GLOBEC. Pada pertemuan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) tahun 2010 di Bangka, seorang pembicara tamu dari Institut Oseanografi, page 1 / 2