225 BAB VII PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016 PADA BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN DALAM PERSPEKTIF PANCASILA Satu periode pelayanan GKPB berdurasi empat tahun. Dalam pelayanan pada periode 2012-2016, GKPB terdiri dari 67 jemaat dan 18 Balai Pembinaan Iman (BPI) 14 ribu jiwa. 1 Seluruh jemaat GKPB itu yang terdiri dari suku Bali, Jawa, Ambon, Timor, Toraja, Menado, Batak, Dayak, Sumba, Sunda, Papua, Tionghoa, Warga Negara Indonesia Keturunan Asing, dan Warga Negara Asing tersebar di delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di provinsi Bali. 2 Daftar jemaat-jemaat dan BPI GKPB beserta dengan lokasinya di provinsi Bali tertera dalam lampiran 3 dari disertasi ini. Pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 ada dalam alur sebagaimana diperlihatkan oleh struktur GKPB periode 2012-2016 seperti tertera dalam lampiran 4 dari disertasi ini. Kemudian dengan maksud agar pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 dapat berjalan mumpuni, GKPB. sebenarnya telah menetapkan arah dari pelayanan itu. Program-program pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 diarahkan: Pertama, oleh visi dan misi GKPB dalam kurun waktu 2008-2028. Kedua, oleh tema GKPB 2012-2016. Visi GKPB untuk kurun waktu 20 tahun, terhitung dari tahun 2008-2028 ialah: “Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera”. Visi ini ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinodenya ke 41 Juni 2008. Melalui visi ini GKPB berupaya menselaraskan cita-cita luhurnya dengan kehendak Sang Transenden agar bumi ini secara keseluruhan ada pada keadaan bersukacita dalam damai sejahtera. Mengenai misi GKPB juga untuk kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 2008-2028 ialah: “Membangun Peradaban Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan”. Misi ini 1 GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 GKPB Tentang Perbendaharaan GKPB(Mangupura : Percetakan MBM,2016),67-69. Laporan Bishop I Nengah Suama, dalam ceramahnya pada pertemuan antara Majelis Sinode Harian GKPB dan mahasiswa teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 29 Juli 2017 di Kantor Sinode GKPB. 2 Ada 35 jemaat dan 2 Balai Pembinaan Iman GKPB yang berlokasi di daerah perkotaan dan di daerah yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Sedangkan 34 jemaat dan 14 Balai Peminaan Iman lainnya berlokasi di daerah pedesaan. Strata sosial dan sumber daya manusia jemaat-jemaat GKPB yang terdiri dari berbagai suku yang ada di indonesia dan juga beberapa orang Warga Negara Asing itu, sangat beragam. Ada pengusaha besar dan pengusaha kecil, ada pejabat tinggi dan pejabat rendah, ada pegawai negeri dan pegawai swasta, ada petani dan peternak, ada buruh dan tukang, ada tentara dan polisi, ada dosen dan ada guru, ada juga yang tidak bekerja karena difabel, lanjut usia dan sakit.
54
Embed
BAB VII PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012 …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13363/7/D_762012001_BAB VII... · setiap kebaktiam umum, kebaktian hari raya gerejawi,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
225
BAB VII
PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016
PADA BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN
DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
Satu periode pelayanan GKPB berdurasi empat tahun. Dalam pelayanan pada periode
2012-2016, GKPB terdiri dari 67 jemaat dan 18 Balai Pembinaan Iman (BPI) 14 ribu jiwa.1
Seluruh jemaat GKPB itu yang terdiri dari suku Bali, Jawa, Ambon, Timor, Toraja, Menado,
Batak, Dayak, Sumba, Sunda, Papua, Tionghoa, Warga Negara Indonesia Keturunan Asing,
dan Warga Negara Asing tersebar di delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di
provinsi Bali.2 Daftar jemaat-jemaat dan BPI GKPB beserta dengan lokasinya di provinsi
Bali tertera dalam lampiran 3 dari disertasi ini. Pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 ada
dalam alur sebagaimana diperlihatkan oleh struktur GKPB periode 2012-2016 seperti tertera
dalam lampiran 4 dari disertasi ini. Kemudian dengan maksud agar pelayanan GKPB pada
periode 2012-2016 dapat berjalan mumpuni, GKPB. sebenarnya telah menetapkan arah dari
pelayanan itu.
Program-program pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 diarahkan: Pertama, oleh
visi dan misi GKPB dalam kurun waktu 2008-2028. Kedua, oleh tema GKPB 2012-2016.
Visi GKPB untuk kurun waktu 20 tahun, terhitung dari tahun 2008-2028 ialah: “Bumi
Bersukacita Dalam Damai Sejahtera”. Visi ini ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang
ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinodenya ke 41 Juni 2008. Melalui visi ini GKPB
berupaya menselaraskan cita-cita luhurnya dengan kehendak Sang Transenden agar bumi ini
secara keseluruhan ada pada keadaan bersukacita dalam damai sejahtera. Mengenai misi
GKPB juga untuk kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 2008-2028 ialah: “Membangun
Peradaban Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan”. Misi ini
1GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 GKPB Tentang
Perbendaharaan GKPB(Mangupura : Percetakan MBM,2016),67-69. Laporan Bishop I Nengah Suama, dalam
ceramahnya pada pertemuan antara Majelis Sinode Harian GKPB dan mahasiswa teologi Universitas Kristen
Satya Wacana, 29 Juli 2017 di Kantor Sinode GKPB. 2Ada 35 jemaat dan 2 Balai Pembinaan Iman GKPB yang berlokasi di daerah perkotaan dan di daerah
yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Sedangkan 34 jemaat dan 14 Balai Peminaan Iman lainnya
berlokasi di daerah pedesaan. Strata sosial dan sumber daya manusia jemaat-jemaat GKPB yang terdiri dari
berbagai suku yang ada di indonesia dan juga beberapa orang Warga Negara Asing itu, sangat beragam. Ada
pengusaha besar dan pengusaha kecil, ada pejabat tinggi dan pejabat rendah, ada pegawai negeri dan pegawai
swasta, ada petani dan peternak, ada buruh dan tukang, ada tentara dan polisi, ada dosen dan ada guru, ada juga
yang tidak bekerja karena difabel, lanjut usia dan sakit.
226
ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinode
ke 41 Juni 2008. Melalui misi ini, GKPB bertekad bersama dengan semua sesamanya
manusia, mewujudkan bumi yang damai sejahtera, dengan jalan menciptakan suatu tata
kehidupan yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.3
Tentang tema GKPB pada periode 2012-2016 yang juga ditetapkan oleh GKPB
berbarengan dengan ditetapkannya visi dan misi, yang berfungsi untuk memandu perjalanan
misi GKPB sepanjang periode 2012-2016, ialah: “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama
Masyarakat”. Melalui tema ini GKPB mengakui bahwa masyarakat bukanlah orang lain,
melainkan kawan seperjalanan sehingga melalui misinya pada periode 2012-2016, GKPB
berupaya untuk menciptakan interaksi antara GKPB dan masyarakat bukan saling
menegasikan tetapi justru saling menumbuhkan. Dengan berpayungkan tema “Menjadi
Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat”, GKPB berharap warganya semakin merasa
menjadi bagian dari satu masyarakat majemuk dan tidak melihat sesamanya manusia yang
berbeda-beda itu, sebagai orang lain yang harus dikotak-kotakan. Sebaliknya agar mereka
menikmati kepelbagian itu sebagai anugerah Tuhan sehingga mereka dimungkinkan untuk
bertumbuh bersama dalam keperbedaan.4
VII.A.Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016
Dalam mengimplementasikan misi GKPB pada periode 2012-2016, GKPB
menuangkan misinya itu melalui program-program pada bidang Persekutuan, Pelayanan dan
Kesaksian. Tentang motif misi GKPB pada periode 2012-2016, diduga terbenam dalam
pemahaman dan cara berpikir GKPB dalam melaksanakan program-program misi itu di
bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Program dan motif misi GKPB periode 2012-
2016 seperti termaksud ialah sebagai berikut:
VII.A.1. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Persekutuan
Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang persekutuan,
majelis sinode GKPB melalui departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB menuangkan
misinya itu ke dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini.
3Gereja Kristen Protestan Di Bali,Buku Visi dan Misi GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7-
15. 4Gereja Kristen Protestan Di Bali,Posisi GKPB Dan Isi Pelayanannya (Mangupura:Percetakan
MBM,2010),10.
227
Yang dibahas di sini, hanya beberapa mata program misi yang motifnya diduga bermasalah
ketika disorot dari perspektif nilai kesatuan, nilai kemanusiaan dan nilai kesetaraan Pancasila.
Beberapa dari mata program termaksud ialah sebagai berikut:
VII.A.1.a. Program Dan Motif Pemantapan Spiritualitas Kristen Bagi Warga Jemaat
Dalam menelisik program pemantapan spiritualitas Kristen bagi warga jemaat, penulis
menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui Departemen Persekutuan dan Pembinaan
mengedukasi jemaat-jemaat GKPB untuk memposisikan Alkitab itu sebagai harta rohani
orang Kristen yang menginspirasi kerohanian orang Kristen. Tidak jarang GKPB menuturkan
warganya bahwa semua buku pada umumnya berisi pengetahuan bukan kebenaran. Hanya
Alkitab yang berisi kebenaran. Hal itu terjadi demikian karena Alkitab adalah firman Allah.
Dalam banyak momen GKPB menuntun warganya untuk senang membaca dan menggali isi
Alkitab karena sebagai firman Allah Alkitab adalah pelita dan suluh yang memantapkan
kehidupan rohani. Dengan maksud untuk menanamkan di hati warga jemaat betapa sucinya
Alkitab itu, warga jemaat sering diajak menyanyikan lagu “baca kitab suci doa tiap hari kalau
mau hidup”.
Pengajaran menanamkan di hati warga jemaat tentang betapa mulianya Alkitab,
sehingga patut dihormati, nampaknya cukup berhasil. Hal itu dikatakan demikian sebab
hampir di seluruh jemaat GKPB ada tindakan-tindakan warga jemaat yang memperlihatkan
betapa Alkitab itu diagungkan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini: Pertama, dalam
setiap kebaktiam umum, kebaktian hari raya gerejawi, dan kebaktian khusus seperti kebaktian
hari ulang tahun gereja, selalu ada prosesi lilin dan Alkitab mengawali ibadah. Lilin dipakai
sebagai simbol Tuhan, dan Alkitab ditempatkan sebagai firman Tuhan. Pada saat prosesi ini,
jemaat berdiri dengan sikap khidmat.
Kedua, dalam setiap kebaktian peneguhan nikah dan peneguhan iman, majelis jemaat
selalu memberikan Alkitab kepada pasangan suami-istri dan kepada para warga yang
diteguhkan imannya dengan ucapan “selamat beriman karena itu tetaplah berpegang pada
Alkitab”. Ketiga, tiga belas tahun belakangan ini menjelang pembacaan teks Alkitab bahan
khotbah, jemaat-jemaat dengan semangat menyanyi lagu “Kusiapkan hatiku Tuhan, tuk
dengar firmanMu saat ini....”. Keempat, beberapa kali juga terjadi dalam kebaktian
penghiburan dan penguburan, pada peti jenasah ditaruh oleh keluarga dari orang yang
meninggal, Alkitab bukan Alkitab baru tetapi Alkitab milik dari orang yang meninggal. Hal
228
itu dilakukan demikian didasarkan pada harapan keluarga dari orang yang meninggal, bahwa
dia yang meninggal itu berjalan bersama firman Tuhan sehingga tenang menuju bumi abadi.
Berdasarkan pada tindakan dari jemaat-jemaat GKPB seperti tersebut di atas, penulis
berinterpretasi bahwa bagi jemaat-jemaat GKPB Alkitab itu adalah segala-galanya.
Interpretasi yang penulis buat ini, menjadi tidak salah sebab semua informan ketika diajak
berdiskusi mengenai hubungan antara Alkitab dan konteks, mempunyai cara berpikir dari
Alkitab ke konteks.5 Maksud mereka Alkitab menjadi norma untuk menerangi dan menilai
konteks. Mereka berpendirian demikian karena pengajaran GKPB sendiri tentang Alkitab
sebagaimana tertuang dalam buku “Inti Pemahaman Iman GKPB” dan buku “Katekesasi
GKPB”, menyatakan bahwa sebagai firman Allah Alkitab itu bersifat mutlak,6 sumber iman
orang Kristen satu-satunya.7Tindakan jemaat-jemaat GKPB terhadap Alkitab seperti
demikian ini, sudah merupakan sebuah sikap penyembahanterhadap Alkitab.
Sebuah sikap penyembahan terhadap Alkitab akan cendrung mengutamakan Alkitab
sebagai sumber kebenaran-kebenaran mutlak yang menafikan eksistensi kitab suci atau
kebenaran-kebenaran keberagamaan lainnya. Sikap yang demikian telah dan akan membuat
jemaat-jemaat GKPB menjadi fanatik. Fanatisme yang berlebihan hanya akan menimbulkan
kebutaan rohani. Kemudian rohani yang buta cendrung mendorong orang bersikap
manipulatif yang pada akhirnya hipokrit dengan dalil agama. Sikap yang demikian ini
mengarah kepada pembekuan keberagamaan yang seharusnya dinamis dan responsif terhadap
konteks masyarakat pluralistik.
VII.A.1.b. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Keluarga Kerajaan Allah
Dalam mengobservasi program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah,
penulis menemukan bahwa dengan berpayung pada Roma 8:29, 1 Korintus 1:9, 8:6, GKPB
dalam pemahaman imannya merumuskan kerajaan Allah yang telah datang dan yang akan
datang itu, sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan menerima karya penyelamatan
5Hasil wawancara dengan Pdt. Pieter Alexander Lestuny, seorang pendeta GKPB yang menjadi
pendeta di jemaat penulis menjadi warga jemaat, dengan Guntur Tateang seorang majelis jemaat GKPB Yudea
Padang Luwih, dengan I Wayan Ruspendi wakil rektor II Universitas Dhyana Pura majelis jemaat GKPB
Legian, dengan I Made Gunawan, seorang guru sekolah minggu di GKPB. wilayah Badung Selatan. 6Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman Iman(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa
tahun),39-40. 7Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran Katakesasi GKPB
(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa tahun),1.
229
Allah dalam Kristus.8 Nampaknya dengan berpayungkan pada dogma ini dan dalam rangka
memantapkan program persekutuan keluarga kerajaan Allah, di jemaat-jemaat GKPB ada
ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah”. Ungkapan ini pada umumnya merupakan suatu sapaan
yang muncul dari para pemimpin kebaktian atau pertemuan dan dialamatkan kepada warga
jemaat. Warga jemaat agaknya tidak hanya suka tetapi juga menerima bahkan membenarkan
ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah” sebagai suatu sapaan yang tepat buat mereka, karena
bagi warga jemaat, kerajaan Allah itu tidak berbeda dengan gereja itu sendiri yang di
dalamnya mereka ada seperti sebuah keluarga. Bagi mereka, seluruh warga gereja menjadi
satu keluarga yaitu keluarga kerajaan Allah.9
Dalam pengamatan penulis hampir di seluruh jemaat-jemaat GKPB, setiap kali
menaikkan doa persembahan kepada Tuhan dalam kebaktian-kebaktian, wargajemaat selalu
memohon agar uang yang telah dikumpulkan berguna untuk pelebaran Kerajaan Allah, tetapi
tidak pernah bersikap kritis walaupun dalam prakteknya uang persembahan itu lebih banyak
digunakan untuk pekerjaan dan kepentingan gereja. Hal ini terjadi demikian adalah karena
ketika warga jemaat mendoakan agar uang persembahan itu berguna untuk pelebaran
Kerajaan Allah, mereka memang maksudkan agar uang persembahan itu berguna bagi
pelebaran dan kepentingan gereja.Dalam hal ini, bagi warga jemaat, sesuatu yang mereka
bawa bagi gereja mereka lihat sebagai sesuatu yang mereka bawa bagi kerajaan Allah.10
Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kata “kerajaan” dalam kalimat yang
berbunyi “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan” (Wahyu 1:6) dan dalam
kalimat yang berbunyi ,”dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan” (Wahyu
5:10), hendak menerangkan bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, warga GKPB
mengatakan ya. Menurut mereka kata “kerajaan” dalam kitab Wahyu 1:6 dan Wahyu 5:10
dikaitkan dengan Allah dan dikaitkan dengan orang-orang yang dibeli atau ditebus oleh
Yesus Kristus bagi Allah. Jadi kerajaan Allah itu adalah gereja karena yang dibeli atau
ditebus oleh Yesus Kristus bagi Allah dari segala bangsa adalah gereja itu sendiri11
.
Menjawab pertanyaan apakah ungkapan “Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan
8Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman . . . , 28,30. Departemen Persekutuan dan
Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran . . . , 97. 9Hasil wawancara dengan I Wayan Murdana, majelis jemaat GKPB. Sabda Bayu Singaraja
10Hasil wawancara dengan I Nyoman Tri Amerta majelis jemaat GKPB. Gunung Muria Gitgit,
Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gusti Putu Sukma Wibawa warga GKPB. Jemaat Yudea Padang Luwih,
Badung. 11
Hasil wawancara dengan I Wayan Agus Wiratama, pendeta GKPB. jemaat Filia Amlapura,
Karangasem, Bali timur. I Wayan Suarta, majelis jemaat GKPB Marga Pakerti Padangtawang, Canggu, Kuta
utara, Badung. Very Mou, majelis jemaat GKPB. Jemaat Yudea, Padang Luwih, Kuta utara, Badung.
230
Allah di bumi tak kalah “(Kidung Jemaat Nomer 247) mau menerangkan dan harus dihayati
bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, semua warga GKPB yang ditanyakan menjawab ya.
Mereka berpendapat demikian karena menurut mereka dalam lagu itu disebutkan bahwa
Yesus yang adalah kepala gereja dilantik menjadi kepala kerajaan Allah. Jadi ungkapan
“Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan Allah di bumi tak kalah” menunjuk kepada
gereja.12
Kepada beberapa warganya yang malas bergereja dan yang kebetulan banyak
mengalami penderitaan, dan dengan maksud supaya mereka menjadi warga yang rajin
bergereja, kebanyakan para pendeta dan majelis jemaatGKPB sering merujukpada Matius
6:33 yang mengatakan : “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan KebenaranNya, maka semuanya
akan ditambahkan kepadamu, sebagai nasihat. Hal itu dilakukan karena mereka
berpandangan bahwa kerajaan Allah dan kebenaranNya harus dicari di gereja dan dengan
jalan bergereja. Gereja itulah kerajaan Allah dan di luar gereja tidak ada kerajaan
Allah.13
Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kerajaan sorga sama dengan sorga,
warga GKPB mengatakan bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan sorga. Menurut mereka
kerajaan sorga adalah sebuah lembaga Allah yang ada di dunia. Sedangkan sorga dipahami
sebagai tempat dimana Allah dan orang kudus yang telah meninggal dunia bersemayam.14
Pada waktu ditanyakan apakah kerajaan sorga sama dengan kerajaan- kerajaan dunia,
dijawab bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan kerajaan-kerajaan dunia. Kerajaan sorga
dimengerti sebagai lembaga Allah yang dipimpin oleh Allah, yang masih ada di dunia tetapi
berasal dari Allah.Sedangkan kerajaan-kerajaan dunia dimengerti sebagai kerajaan-kerajaan
yang tidak hanya berada di dunia tapi juga berasal dari dunia.15
Dalam menjawab pertanyaan
apakah kerajaan Allah sama dengan semua agama yang ada di dunia, dikatakatan bahwa
kerajaan Allahsesuai dengan kesaksian Alkitab dan dogma gereja, tidak sama dengan semua
agama yang ada di dunia. Kerajaan Allah adalah gereja itu sendiri, yaitu lembaga dimana
Allah di dalam Yesus Kristus menjadi rajanya dan orang-orang yang percaya kepadaNya
12
Hasil wawancara dengan I Nengah Jebolyasa, majelis jemaat GKPB. Katung, Bangli, Bali Timur.
I Ketut Sarjana, warga GKPB. jemaat Filia, Amlapura, Karangasem, Bali timur. I Gusti Putu Sukma Wibawa,
warga GKPB Jemaat Yudea Padang luwih, Kuta utara, Badung. Ni Ketut Lipur, warga GKPB jemaat
Blimbingsari di Salatiga 13
Hasil wawancara dengan Ni Gusti Ayu Negari, warga GKPB.Jemaat Mandira Santi Negara,
Jembrana, Bali barat. I Dewa Nyoman Sudarta, majelis jemaat GKPB Belatungan, Tabanan 14
Hasil wawancara dengan Obed Dartha, warga GKPB. Jemaat Mandira Santi Negara, Jembrana,
Bali barat. 15
Hasil wawancara dengan Hematang Jermias, warga GKPB.Jemaat Mandira Negara, Jembrana,
Bali barat
231
menjadi warganya.Sedangkan semua agama yang ada di dunia, selain agama Kristen (gereja)
dipahami bukan sebagai keluarga kerajaan Allah, sebab agama-agama tersebut tidak dipimpin
oleh Yesus Kristus dan penganut-penganutnya tidak percaya kepadaNya sebagai juru selamat
dunia.16
Pada waktu ditanyakan apakah berbuat sesuatu bagi gereja tidak berbeda dengan
berbuat sesuatu bagi kerajaan Allah, dan apakah memberitakan gereja tidak berbeda dengan
memberitakan kerajaan Allah, warga GKPB menjawab tidak, dengan alasan karena kerajaan
Allah dan gereja itu tidak berbeda. Bagi mereka apa yang kita buat bagi gereja kita buat bagi
kerajaan Allah. Memberitakan kerajaan Allah adalah memberitakan gereja.17
Ketika
ditanyakan apakah para pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa
kerajaan Allah itu sama saja dengan kerajaan dunia, dijawab tidak.Menurut mereka para
pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa kerajaanAllah adalah
pemerintahan Allah, sedangkan kerajaan dunia adalah pemerintahan dunia. Oleh karena itu
keluarga kerajaan Allah adalah orang-orang yang telah ada dalam pemerintahan Allah dalam
Kristus yaitu gereja. Orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus yang adalah juru
selamat dan kepala gereja, belum masuk sebagai keluarga kerajaan Allah dan masih berada di
dalam kerajaan dunia. Demikian juga orang-orang yang meninggalkan imannya kepada
Kristus sebab menikah dengan orang yang tidak seiman, tidak lagi menjadi keluarga kerajaan
Allah.18
Dengan mengamati perkataan, tindak tanduk warga GKPB, penulis menemukan bahwa
dalam rangka memantapkan persekutuan keluarga kerajaan Allah di bawah terang dogma
gereja dimana gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan oleh Kristus,
banyak warga GKPB menasehati anak-anaknya untuk hati-hati dan pilih-pilih kawan dalam
pergaulan agar jangan sampai menikah dengan orang lain atau orang luar yaitu orang yang
berbeda agama. Kalau ada warga jemaat yang meninggalkan imannya karena menikah,
keluarga besar dari warga tersebut sangat sedih dan sebagian besar jemaat menilai pernikahan
itu sebagai suatu kemalangan. Sebaliknya bila ada warga jemaat yang karena melalui
pernikahannya bisa membawa pasangannya menjadi warga gereja, keluarga besar dan seluruh
warga jemaat sangat bersukacita, sebab pernikahan yang demikian itu dinilai sebagai suatu
16
Hasil Wawancara dengan I Wayan Yohanes, majelis jemaat GKPB.Selabih, Tabanan, Bali. 17
Hasil wawancara dengan I Wayan Murtiyasa majelis jemaat GKPB. Blimbingsari, Melaya,
Jembrana. 18
Hasil wawancara dengan I Gusti Ketut Sudiatmika, warga GKPB, Jemaat Gunung Muria, Gitgit,
Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gede Sudigda, warga GKPB. jemaat Blimbingsari, Melaya, Jembrana.
232
keberhasilan, membawa seseorang dari gelap kepada terang. Berdasarkan pada penemuan ini,
penulis menafsirkan bahwa program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah GKPB
adalah sebuah pemujaan dogma gereja. Dalam memperilah dogma gereja senyatanya GKPB
tertuntun untuk memandang sesamanya manusia yang hanya karena berbeda agama, sebagai
orang lain. Dogmalatry mendiskriminasi manusia bukan menyatukan. Pemujaan terhadap
dogma gereja membentuk persekutuan gerejawi yang eksklusif dan mendominasi bukan
persekutuan gerejawi yang inklusif dan transformatif.
VII.A.1.c. Program Dan Motif Pemantapan Kekudusan Dan Ketertiban Gereja
Dalam menelisik program pemantapan kekudusan dan ketertiban gereja, penulis
menemukan bahwa GKPB menetapkan tata gereja dan peraturan gereja dimana beberapa
pasal darinya merupakan hukum gereja yang berpotensi dijadikan instrumen untuk memenuhi
hasrat pribadi warga gereja untuk mendishumanisasi dan menstigmatisasi warga gereja.19
Majelis sinode dan majelis jemaat menerapkan beberapa pasal tata gereja dan peraturan
gereja dengan sangat keras kepada beberapa pekerja, pejabat dan warga gereja tertentu.
Kepada beberapa pekerja dan pejabat gereja yang secara resmi sampai dibahas ditetapkan
melakukan pelanggaran terhadap tata gereja dan peraturan gereja, dijatuhi masa pendisiplinan
berupa tidak boleh menerima sakramen perjamuan kudus dan dibebastugaskan, dan tidak
diperbolehkan menjadi pejabat gereja dalam waktu tertentu. Kepada beberapa warga gereja
yang tidak menghadiri dan tidak menerima kegiatan-kegiatan gerejawi secara berturut-turut
dalam kurun waktu setahun diposisikan dan didaftar sebagai warga gereja tidak aktif.
Mencermati perkataan, bahasa tubuh, dan sikap majelis sinode, majelis jemaat dan
warga jemaat; baik dari pihak yang menjatuhi pendisiplinan maupun dari pihak mereka yang
dijatuhi pendisiplinan, baik dari mereka yang menyebut sesamanya sebagai warga gereja non
aktif maupun dari mereka yang ditulis namanya dalam buku induk sebagai warga gereja tidak
aktif, penulis berinterpretasi bahwa masa pendisplinan dan penertiban itu sekalipun dalam
tata gereja dan peraturan gereja disebut sebagai masa gereja melakukan pembinaan,20
namun
dalam penerapannya adalah lebih banyak ditungngangi oleh mens rea warga gereja, untuk
menghakimi, meremehkan, melukai bahkan menghancurkan sesamanya yang dikenakan
pendisiplinan.
19
Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7. Lihat
juga Gereja Kristen Protestan di Bali,Peraturan GKPB (Mangupura: Percetakan MBM,2007),12-14. 20
Ibid.,7.
233
Analisa penulis mendapat pembenaran ketika atas pertanyaan penulis bagaimana
pelaksanaan pendisiplinan dijalankan di GKPB, beberapa pekerja dan warga GKPB
mengatakan bahwa penerapan pendisiplinan di GKPB tidak banyak berupa pengembalaan,
tetapi justru lebih banyak bersifat dan berbentuk pendishumanisasian dan penstigmatisasian
sesama manusia yang ditetapkan bersalah sebagai orang yang harus dijauhi dan dilepaskan
dari gereja. Oleh karena begitu rupa dan praktek pendisiplinan, maka tidak sedikit pekerja,
pejabat dan warga gereja yang setelah mendapat perlakukan seperti itu dari gereja dalam
menjalani masa pendisiplinan, bukan menjadi warga yang mendekatkan diri ke gereja malah
menjauhkan diri dari gereja.21
VII.A.1.d. Program Dan Motif Penerapan Fungsi Jabatan Gerejawi
GKPB menetapkan lima jabatan gerejawi yang berfungsi untuk mengatur kehidupan
gereja yaitu: bishop, pendeta, penatua, diaken dan penginjil.22
Dalam meneliti program
penerapan fungsi jabatan gerejawi, penulis menemukan bahwa dalam setiap upacara
gerejawi, warga gereja yang berjabatan gerejawi mengenakan pakaian dan atribut yang
khusus serta duduk atau berdiri di tempat yang khusus pula. Warga gereja yang berjabatan
bishop memegang tongkat, mengenakan jubah yang berbeda dengan jubah pendeta dan
berkalung salib emas lagi besar, sementara pendeta berkalung salib dari perak dan dalam
ukuran lebih kecil. Pada waktu ada warga jemaat biasa meninggal dunia, ia dikubur oleh
pendeta setempat. Tetapi ketika ada warga jemaat dari keluarga pendeta yang meninggal, ia
dikubur oleh bishop. Upacara pernikahan warga jemaat biasa dilayankan oleh pendeta
setempat, sedangkan upacara pernikahan pendeta atau vikaris dilayankan oleh bishop. Pada
waktu ada upacara-upacara seperti pemakaman pendeta dan pentahbisan vikaris ke dalam
jabatan pendeta, selalu ada prosesi para pendeta dengan mengenakan pakaian seragam,
berkalungkan salib dan mereka juga duduk berpisah dari warga jemaat lain yang disebutnya
warga jemaat biasa.
Berdasar pada realita tersebut di atas, penulis berinterpretasi bahwa program penerapan
fungsi jabatan gerejawi di GKPB membuat warga gereja: Pertama, memandang spiritualitas
gerejawi itu lebih sebagai upacara yang bersifat ritualistik daripada sebuah perilaku dan
kinerja yang bersifat humanis. Kedua, membentuk warga gereja melihat organisasi gerejawi
21
Hasil wawancara dengan I Wayan Yasa, Hengki Henkrisliono, I Wayan Gari Viryadama. 22
Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja Pasal 78 ayat 2(Mangupura:Percetakan
MBM,2006),12.
234
itu lebih sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur hirarkhis daripada sebagai lembaga
keagamaan yang bersifat egaliter. Dalam interpretasi penulis, program penerapan fungsi
jabatan gerejawi di GKPB menuntun warga GKPB untuk melihat keberagamaan itu sebagai
kegiatan yang bersifat formalistik, ornamental dan show off, sehingga lebih mementingkan
uniformity ketimbang unity; dan organisasi gerejawi itu sebagai lembaga keagamaan yang
berstruktur hirarkis dari pada sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur non hirarkis,
sehingga sangat mendiskriminasi warga gereja dan bukan mensederajatkannya.
Interpretasi penulis menampak tervalidasi ketika terhadap pertanyaan penulis, untuk
siapa kira-kira para warga gereja yang berjabatan gerejawi dengan segala seragam dan atribut
jabatannya melayankan dan terlibat dalam upacara-upacara gerejawi, beberapa warga gereja
mengatakan bahwa itu semua dilakukan bukan sebagai sebuah tindakan kemanusiaan, tetapi
sebagai sebuah tindakan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Sebagai contoh, demikian
kata para informan, pada waktu koleganya masih hidup, tidak jarang ia mendapat perlakuan
yang melukai batinnya justru dari para koleganya. Pada waktu kawan sekerjanya jatuh sakit
sampai masuk rumah sakit berulangkali, mereka tidak mengunjungi apalagi memberi
bantuan. Tetapi ketika koleganya telah menjadi jenasah, mereka datang dengan pakaian
seragam dan bermuka duram durja, seolah-olah mereka sangat sayang kepada koleganya,
padahal motif mereka berbuat demikian, sebatas hanya untuk menunjukkan kepada publik
bahwa mereka kaum rohaniwan-rohaniwati yang mempunyai solidaritas.23
VII.A.1.e. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Dengan Gereja-Gereja Di Bali
Dalam meneliti program pemantapan persekutuan warga GKPB dengan gereja-
gereja yang ada di Bali, penulis menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui
departemen persekutuan dan pembinaan GKPB senantiasa mempelopori dan mengajak
jemaat-jemaat GKPB untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan oleh lembaga persekutuan gereja-gereja Protestan yang ada di daerah
provinsi Bali, yang bernama Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG),24
yaitu sebuah
lembaga yang nampaknya memang dikehendaki oleh kementrian agama,25
baik di tingkat
23
Hasil wawancara dengan Dwi Adnyana, Anik Yuesti, I Nyoman Rubin, I Nyoman Sukarya, I Made
Sukariata, Ni Komang Ester, Ni Gusti Ratna. 24
MPAG,Pedoman Dasar Musyawarah Pelayanan Antar Gereja Propinsi Bali (Denpasar:tanpa
penerbit,2010),1. 25
Sebagai bukti MPAG lembaga yang dikehendaki oleh pemerintah, ia melalui kementrian agama
kantor wilayah provinsi Bali mendaftarkan MPAG sebagai lembaga resmi keagamaan umat Kristen Protestan
235
provinsi maupun tingkat kabupaten dan kodya. Sebagaimana terbaca dalam buku “Pedoman
Dasar MPAG Provinsi Bali”, penulis juga menduga bahwa seluruh gereja-gereja anggota
MPAG menyadari bahwa: Pertama, mereka adalah orang-orang yang dipanggil oleh satu juru
selamat yaitu Yesus Kristus, sehingga mereka bertekad untuk merealisasikan tri panggilan
gereja bersekutu, melayani dan bersaksi secara bersama-sama. Kedua, mereka menyadari
bahwa ia bukan saja warga-warga kerajaan Allah tetapi juga adalah warga Indonesia yang
berazaskan Pancasila, sehingga mereka juga bertekad untuk mewujudkan tri kerukunan umat
beragama.26
Dalam mengamati perjalanan pimpinan GKPB dan jemaat-jemaat GKPB dalam
mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh MPAG seperti rapat pengurus
MPAG untuk mencari solusi bersama atas masalah-masalah gerejawi yang mereka hadapi,
kebaktian Natal bersama dan kebaktian kebangunan rohani, dan berdasarkan informasi dari
beberapa informan,27
penulis mendapat kesan bahwa konten dari partisipasi GKPB dalam
kegiatan-kegiatan MPAG yang dimaksudkan sebagai pemantapan persekutuan GKPB dengan
gereja-gereja Protestan, baru sebatas upaya untuk saling mengenal akan keberadaan masing-
masing gereja. Kegiatan-kegiatan dengan konten seperti itu, dalam perkiraan penulis banyak
menguras tenaga dan waktu gereja-gereja anggota MPAG, untuk mendisain acara-acara dan
liturgi yang merepresentasikan dan mengakomodir tradisi masing-masing gereja. Penulis
berkira demikian, karena dalam pengamatan penulis, masing-masing gereja anggota MPAG
dalam setiap kegiatan MPAG, memiliki kepentingan yang bersifat denominasi sentris, berupa
keperluan untuk diterima dan diakui keberadaannya.
Mencermati kegiatan persekutuan gerejawi yang GKPB ikuti dalam MPAG seperti
terurai di atas, kualifikasi dari program pemantapan persekutuan GKPB dengan gereja-gereja
di Bali dalam interpretasi penulis, justru adalah sebuah partisipasi GKPB yang mendukung
kepentingan gereja-gereja melalui lembaga MPAG untuk mendapat pengakuan dan legitimasi
sebagai gereja dari sesama komunitas Kristiani, masyarakat dan pemerintah. Dalam
keadaannya yang demikian, GKPB belum mempunyai upaya, daya dan jalan konkrit untuk
mengajak gereja-gereja dalam wadah MPAG Bali mengembangkan makna persekutuan
gereja-gereja MPAG dalam perspektif Pancasila, yaitu persekutuan gereja-gereja MPAG
dan kadang-kadang melalui Pembimas Kristen Protestan memfasilitasi kegiatan-kegiatan MPAG. Pada tahun
2016 ada 55 gereja (denominasi)Protestan di Bali yang menjadi anggota MPAG Bali. 26
MPAG,Pedoman Dasar . . . , pengantar. 27
I Ketut Suyaga Ayub, I Nengah Ripa, I Nyoman Sukaya, I Made Putra Wibawa, I Wayan
Damyana, Pieter Lestuny.
236
yang mencintai dan merawat keindonesiaan, padahal lembaga ini menyatakan bahwa ia
berazaskan Pancasila. Interpretasi penulis dibenarkan oleh pendeta GKPB Januar Togatorop
Simatupang yang menjadi Pembimas KristenProtestan pada Kantor Kementrian Agama
Wilayah Provinsi Bali. Dengan merujuk buku Pedoman Dasar MPAG Bali,28
dia mengatakan
setiap gereja anggota MPAG Bali tidak terkecuali GKPB memang hanya dipanggil untuk
mengakui, menerima dan menghormati perbedaan doktrin dan keberadaan masing-masing
gereja. Lebih jauh dia mengatakan, pengurus MPAG pun tidak diperbolehkan sehingga tidak
dibenarkan mencampuri urusan rumah tangga masing-masing gereja.29
VII.A.1.f. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Masyarakat
Dalam menelisik program pemantapan relasi gereja dengan masyarakat, penulis
menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan pembinaan GKPB
dan para pendeta GKPB selalu mengedukasi dan mengajak jemaat-jemaat untuk membangun
relasi yang baik dengan masyarakat melalui etika gerejayang baik. Dengan maksud untuk
menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, tidak sedikit jemaat-jemaat GKPB
melakukan kunjungan rumah dan membawa dana aksi sosial (uang diakonia) kepada warga
masyarakat yang tengah menderita sebagaimana mereka perbuat kepada warga jemaat. Masih
terkait dengan upaya menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, hampir semua jemaat-
jemaat GKPB melakukan kunjungan pelayatan dan membawa “uang tali kasih” atau
“bingkisan belasungkawa” kepada anggota masyarakat yang berduka atas kematian sanak
saudaranya, seperti yang mereka lakukan kepada anggota jemaat.
Dalam mencermati apa yang dikatakan, gerak-gerik dan mimik, serta tindakan yang
dilakukan oleh jemaat-jemaat GKPB ketika melakukan kedua jenis kegiatan yang
dimaksudkan untuk pemantapan hubungan baik jemaat dengan masyarakat seperti tersebut di
atas, penulis berasumsi bahwa dalam membangun relasi harmonis gereja dengan masyarakat,
ternyata hubungan jemaat dengan masyarakat substansinya sangat berbeda dengan relasi
jemaat dengan sesama warga jemaat. Bertolak dari data yang faktual ini, penulis menafsirkan
bahwa walaupun dalam program pemantapan hubungan jemaat dengan masyarakat,etika
28
Januar Togatorop Simatupang merujuk Pedoman Dasar MPAG Bali BAB III Saling Mengakui Dan
Saling Menghormati, pada pasal 7 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menghormati
doktrin setiap anggotanya”, pada pasal 9 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menerima
keberadaan dan perbedaan masing-masing anggota. Dan pada pasal 11 yang mengatakan: “MPAG tidak
mencampuri urusan rumah tangga masing-masing anggotanya”. 29
Hasil wawancara dengan Januar Togatorop Simatupang pada hari Senin 12 Desember 2016.
237
jemaat-jemaat GKPB ternyata diskriminatif. Mereka melihat dan memperlakukan antara
warga gereja dengan warga masyarakat sebagai saudara-saudara yang berbeda.
Interpretasi penulis seperti termaksud di atas, tidak keliru setelah mendengar jawaban
beberapa orang atas pertanyaan yang penulis kemukakan. Ketika penulis menanyakan apakah
kunjungan dan pemberian uang diakonia yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap
anggota masyarakat, substansinya sama dengan kunjungan dan pemberian diakonia yang
jemaat-jemaat lakukan kepada anggota gereja, semua informan sejumlah 8 orang dari
masing-masing majelis wilayah menjawab hal itu tidak sama. Menurut mereka, kunjungan
dan pemberian uang diakonia ke warga jemaat dilakukan sebagai tanda persaudaraan di
dalam Tuhan. Sedangkan kunjungan dan pemberian uang diakonia kepada anggota
masyarakat dilakukan untuk memperkenalkan kasih Yesus kepada masyarakat.30
Selanjutnya dalam menjawab pertanyaan apakah pelayatan dan pemberian “uang tali
kasih” yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap sesama warga jemaat itu, sama
substansinya dengan yang diperbuat jemaat untuk warga masyarakat, semua informan
sejumlah 8 orang perempuan dari masing-masing wilayah pelayanan GKPB menjawab bahwa
hal itu berbeda. Menurut mereka pelayatan ke warga jemaat adalah pelayatan dimana warga
jemaat berperan sebagai tuan rumah yakni menyambut dan melayani para pelayat,
mengusahakan dan menyediakan segala yang diperlu sebagai tanda jemaat satu saudara
dengan keluarga yang berduka. Sedangkan dalam pelayatan dan pemberian “uang tali kasih”
kepada warga masyarakat dikatakan oleh mereka bahwa dalam pelayatan itu jemaat hanya
berperan sebagai hadirin saja, dan “bingkisan belasungkawa” yang diberikannya itu sebagai
tanda empati semata.31
30
Hasil Wawancara dengan I Gusti Ngurah Suryawan(Wilayah Buleleng),I Made Suarna (Wilayah
Jembrana), I Wayan Ardana (Wilayah Tabanan), I Made Widiadana (Wilayah Badung utara), I Nyoman Subaga
(Wilayah Badung Selatan), I Nyoman Jefri Sutarsa (Wilayah Kota Denpasar), I Wayan Sutarja (Wilayah Bali
timur laut), I Nyoman Wira Saputra(Wilayah Bali timur ). 31
Hasil wawancara dengan: Ni Luh Mastri (Wilayah Badung selatan),Rai Suryawati (Wilayah
Badung utara), Sri Rejeki (Wilayah kota Denpasar), Ni Luh Susanti (Wilayah Tabanan ),Ni Luh Mudrasih
(Wilayah Buleleng), Ni Wayan Sumarni (Wilayah Jembrana), Endang Pasaribu (Wilayah Bali timur laut),
Yanik Yasmini ( Wilayah Bali timur ).
238
VII.A.1.g. Program Dan Motif Penciptaan Upacara-Upacara Gerejawi Yang Kreatif
Membaca Buku Arah Pelayanan GKPB periode 2012-2016,32
penulis menemukan
bahwa program penciptaan upacara-upacara gerejawi kreatif dicanangkan oleh GKPB
dengan tujuan agar ibadah-ibadah yang diselenggarakan oleh jemaat-jemaat menjadi berkat
bagi masyarakat, menarik, kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi dimana upacara itu
dilayankan.Tujuan yang demikian ini dipandang sangat relevan karena beberapa jenis
upacara gerejawi seperti ibadah peneguhan nikah, ibadah memasuki rumah baru dan ibadah
pemakaman, tidak hanya dihadiri oleh umat kristiani saja, tetapi juga oleh umat beragama
lain dan pada umumnya dalam jumlah yang tidak sedikit.
Menelisik empat kali upacara peneguhan nikah dan mengobservasi dua kali kebaktian
pemakaman di jemaat-jemaat GKPB dalam kurun waktu tujuh bulan terhitung dari 5 Agustus
2016 sampai dengan 24 Pebruari 2017, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama,
warga jemaat duduk berkelompok dengan sesama warga jemaat. Kedua, semua warga jemaat
memegang buku liturgi beserta lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah, sedangkan
sebagian besar umat beragama lain tidak diberi liturgi. Ketiga, warga jemaat menyanyi
dengan suara keras karena mereka sudah terbiasa menyanyikan lagu-lagu yang tersedia. Umat
beragama lain diam karena tidak mengenal lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat. Keempat,
pendeta berkhotbah dengan sangat semangat tentang “kebahagiaan hidup orang percaya
kepada Kristus”. Kelima, kebanyakan umat beragama lain menampakkan wajah kebingungan
karena merasa asing dan karena sama sekali tidak bisa menikmati isi ibadah. Berdasarkan
pada temuan-temuan seperti tersebut di atas, penulis menafsir bahwa GKPB sekalipun
berpayungkan pada tema bertumbuh bersama masyarakat, dan walaupun berprogram supaya
upacara-upacara gerejawi itu kontekstual, ternyata ibadah GKPB sangat bercorak eksklusif
dan menginjili, sehingga memisahkan dan menggurui, bukan merangkul apalagi
mempersekutukan antara warga jemaat dan warga masyarakat.
Interpretasi penulis sebagaimana tergambar di atas, menampak tidak salah ketika dua
pendeta dan satu orang majelis jemaat atas pertanyaan penulis kenapa gereja dalam
kebaktian-kebaktian yang dihadiri oleh banyak umat beragama lain, tidak membuat liturgi
yang berkarakter humanis saja, mengatakan bahwa justru ketika banyak orang dari umat
beragama lain hadir dalam kebaktian Kristen, gereja harus memakai kesempatan itu untuk
32
Gereja Kristen Protestan Di Bali, Arah Pelayanan GKPB Periode 2012-2016,
(Mangupura:Percetakan MBM,2012), 3-4.
239
mengkumandangkan keunikan dan keunggulan ajaran-ajaran Kristen lewat lagu-lagu, doa dan
khotbah, supaya mereka boleh mendengar dan menjadi percaya.33
Jemaat-jemaat GKPB dan
masyarakat Bali sebenarnya memiliki banyak lagu dan ceritera daerah yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Bila saja jemaat-jemaat GKPB mengkomposisi semua itu dalam
ibadah-ibadah mereka yang dihadiri oleh umat beragama lain, sangat bisa jadi ibadah jemaat
itu akan menjadi ibadah bersama yang sangat mempersekutukan masyarakat.
VII.A.1.h. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama
Lain
Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama
lain, penulis menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan
pembinaan GKPB mengkondisikan para pendeta yang bekerja di tingkat sinode menjadi
pengurus Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) tingkat provinsi, dan para
pendeta yang menjadi pengurus wilayah menjadi pengurus Komunikasi Antar Umat
Beragama tingkat kabupaten. FKUB Bali adalah wadah yang dibentuk pemerintah Bali
melalui kementerian agama republik Indonesia kantor wilayah provinsi Bali dengan
menempatkan lima orang dari masing-masing agama duduk sebagai pengurusnya. Sebagai
hasil bentukan pemerintah yang mendapat sambutan dari agama-agama, kegiatan FKUB
difasilitasi dan diarahkan tujuannya oleh pemerintah, yakni untuk membantu pemerintah
menciptakan masyarakat beragama yang hidup berdampingan rukun. Sesuai dengan nama
dan peruntukannya, FKUB selalu menjadi jalan bagi pemerintah berkomunikasi dan
membuat masing-masing agama melalui perwakilannya saling berdialog dalam sebuah
forum, untuk membahas peristiwa yang akan terjadi dan masalah yang telah terjadi, guna
untuk menciptakan adanya harmoni di antara umat beragama.
Mengamati model dialog FKUB provinsi dan kabupaten/kodya yang ada di Bali,
berupa diskusi berbagi pemahaman terhadap suatu topik dari sudut pandang masing-masing
agama, dan mencermati beberapa materi dialog yang disampaikan oleh para pendeta GKPB
di tingkat provinsi dan kabupaten/kodya, penulis menafsirkan bahwa dalam dialog-dialog
FKUB, GKPB yang berprogram untuk memantapkan hubungan baik dengan agama-agama
lain, ternyata hanya mengulang atau menegaskan apa yang sesungguhnya telah merupakan
ketetapan atau kebenaran konstitusional yaitu kebhinneka tunggal ikaan agama-agama
33
I Made Sukarta, pendeta GKPB. jemaat Kaba-Kaba, Tabanan. Pieter Lestuny, pendeta GKPB.jemaat