-
215
BAB VI
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL
MASYARAKAT ADAT
Gerakan sosial yang terjadi secara global, selalu dimulai
dari
individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial
yang
terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang
hendak
dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa
indikator dan
dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat
diungkap
dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada
api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada
angin‖.
Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional,
ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak
dipicu
oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para
buruh
pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan
hak-
hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas,
para
buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan
kesehatan
buruh.
Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam
suatu
daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit
dengan
demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan,
maka
indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah
terhadap
masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
Mansur Fakih (1966:35) memberi catatan bahwa atas nama
kebebasan demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi
gerakan
sosial di Amerika yang dikenal dengan nama komunitas gerakan
hak-
hak sipil di kalangan kulit hitam. Gerakan mahasiswa di tahun
1960-an
dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian
dan
-
216
gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan di tahun 1970-an
dan
1980-an. Dalam konteks ini, lahirlah berbagai macam pendekatan
dan
teori tentang gerakan sosial.
Masih teringat kuat dalam ingatan umat manusia tentang
gerakan sosial yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal
dengan nama
gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut
untuk pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream
approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara
melalui apa
yang disebut sebagai pembangunan (development).
Pada tahun 1998 Indonesia digemparkan dengan gerakan
reformasi. Gerakan reformasi saat itu tidak mungkin terhapus
dalam
benak setiap anak bangsa, sebab hasil dari gerakan reformasi
mampu
melahirkan sejarah baru yang patut kita catat bersama, bahwa
hanya
melalui gerakan reformasi, riwayat orang kuat di Indonesia
dengan
sebutan ―bapak pembangunan‖ yang terkenal dengan rezim simbol
ORBA berhasil diruntuhkan.
Dari runutan sejarah tersebut, tergambar jelas bahwa gerakan
demonstrasi massa mengatasnamakan rakyat tidak boleh
dipandang
sebelah mata, sebab telah terbukti keampuhannya dalam
mencapai
sebuah cita-cita yang diinginkan. Pada sisi lain, gerakan sosial
tidak
boleh dipandang sebagai ancaman dalam konteks berbangsa dan
bernegara, sebab berdemokrasi yang baik selalu merujuk pada
kebebasan, dan kebebasan merujuk pada terbukanya ruang-ruang
demokrasi bagi setiap warga negara. Dengan kebebasan
berdemokrasi
pula, rakyat bisa menyalurkan apa yang dirasakan kepada
pemerintah,
atau kepada atasan mereka. memahami konteks tersebut
lahirlah
UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM.
Lahirnya Undang Undang ini merupakan syarat bahwa
pemerintah (Pusat-Daerah) memiliki kemampuan mengakomodir
kebebasan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Singkat kata singkat cerita, jangan berikan label haram
terhadap
gerakan sosial, karena melalui gerakan sosial, rakyat secara
bebas dapat
menyuarakan ketidakadilan atas implementasi kebijakan yang
tidak
-
217
berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain, diharapkan rakyat
dapat
menggunakan hak ―kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum‖
secara baik dan tertanggungjawab.
Perlawanan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah
merupakan bagian dari gerakan sosial yang sudah lama terjadi
di
wilayah Papua. Gerakan sosial yang terjadi di Papua jika
dikelompokan
menurut jenis serta tujuan, masing-masing memiliki perbedaan,
namun
yang pasti gerakan sosial terjadi karena adanya indikator
penyebab dan
tujuan yang hendak dicapai.
Sejumlah indikator tersebut tidak hadir begitu saja, jika
dikaji
secara baik, dampak yang ditimbulkan sangat berkaitan dengan
sejumlah implementasi kebijakan yang tidak menjawab
substansi
masalah sosial, sehingga pada akhirnya melahirkan gerakan
perlawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan
gerakan
perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat
lokal
dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dari gerakan pelawanan sosial
tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan
sosial
mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum
migran/pendatang dari luar Papua, terkadang dilakukan tanpa
menggunakan kekerasan (non fisik), tetapi ada pula yang
dilakukan
dengan cara kekerasan (fisik).
Gerakan sosial yang menggunakan kekerasan fisik, bukan
sesuatu
hal yang rahasia. Dari sejumlah gerakan sosial yang terjadi
dalam
wilayah nusantara, oleh pemerintah diistilahkan dengan sebutan
yang
berbeda-beda, misalnya ―gerakan separatis‖, ―gerakan sipil
bersenjata‖, atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Muncul sejumlah
gerakan tersebut tentu memiliki alasan yang berbeda-beda, akan
tetapi yang
pasti bahwa penyebabnya bisa disimpulkan menjadi dua hal,
yaitu;
pertama, unsur ketidakpuasan atas sejumlah kebijakan
pembangunan
yang dianggap tidak merata di bumi nusantara; dan kedua,
terkait
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan tersebut.
-
218
Dari kedua hal tersebut, jika dihubungkan dengan gerakan
perlawanan simbol adat di ―Negeri 1001 Senja‖, maka gerakan
perlawanan dengan menggunakan simbol adat merupakan bagian dari
gerakan sosial. Yang membedakan gerakan ini dengan sejumlah
gerakan sosial yang lain ada pada indikator awal, serta tujuan
yang
hendak mereka capai. Salah satu indikator gerakan perlawanan
simbol
adat di ―Negeri 1001 Senja‖ dilatarbelakangi oleh sejumlah
konsep pembangunan masadepan yang berkaitan dengan konsep-konsep
atau
pesan-pesan leluhur. Pesan-pesan leluhur ini diterima dalam
bentuk
cerita tuturan dan dijadikan barometer terhadap implementasi
kebijakan pemerintah. Yang mengkhawatirkan dari konsep ini
adalah,
ketika implementasi kebijakan tidak merujuk pada konsep
leluhur
mereka, maka konsep kebijakan pemerintah dianggap tidak sejalan
dan
bisa menimbulkan dampak
Tujuan dari sejumlah kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖ adalah, adanya
keinginan yang kuat dari pihak pemerintah untuk menciptakan
pemerataan
pembangunan dari sejumlah kebijakan yang dibuat. Sementara itu
dari
tujuan gerakan perlawanan masyarakat adat menggunakan simbol
dapat diindikasikan memuat sejumlah pesan kepada pemerintah
dan
pihak-pihak lain, bahwa terdapat sejumlah penyimpangan
kebijakan
yang terjadi di atas wilayah otoritas adat.
Membaca artikel jurnal terdahulu khususnya pada artikel
jurnal
volume 4/nomor 1/April 2011 tentang Masalah Sosial: ―Konflik
Masyarakat Adat Papua (Amume dan Kamoro) dengan Freeport pada tahun
1969‖, dapat dipastikan bahwa perlawanan fisik dan non fisik
masyarakat Papua terhadap pemerintah sudah berlangsung cukup
lama.
Dan hal itu terjadi disebabkan pada faktor intimidasi, kekerasan
fisik
dan pemerkosaan terhadap hak dasar OAP.
Keadaan ini terjadi, biasanya mengatasnamakan pembangunan
yang dilakukan pihak pemerintah. Karena itu, pembangunan
tidak
selamanya membawa dampak positif, dampak-dampak negatif pun
selalu terjadi. Pembuktian terhadap dampak negatif atasnama
pembangunan terlihat jelas dari sejumlah kebijakan yang
-
219
mengakibatkan masyarakat lokal terpinggirkan atas nama
pembangunan. Karena itu, terkadang sikap masyarakat lokal
mempertahankan hak-hak, bahkan menolak sejumlah kebijakan
pembangunan karena telah terbukti, pembangunan tidak
selamanya
membawa dampak positif bagi mereka. Dalam konteks ini, tidak
segan-
segan pemerintah melalui aparatur pemerintah (TNI POLRI)
dilibatkan
untuk memuluskan jalannya kebijakan pembangunan atasnama
pembangunan itu sendiri.
Uraian bab ini merupakan kajian analisis yang berkaitan
dengan
temuan penulis selama melaksanakan penelitian di Kabupaten
Kaimana
yang dimuat pada bab empat dan bab lima.
Kebijakan Publik
Masih dalam penekanan soal kebijakan publik. Pada bagian
awal,
penulis telah menguraikan definsi menurut Thomas R. Dye (1995 :
2),
bahwa ―kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan
pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah
kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why do it,
and what diffirence it makes)‖. Dengan demikian, kebijakan publik
adalah ―fakta strategis‖ dari pada ―fakta politis‖ ataupun teknis.
Sebagai ―fakta strategi‖, dalam kebijakan publik sudah terangkum
preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam
proses
kebijakan, khsusnya pada proses perumusan.
Sebagai sebuah ―strategi‖, kebijakan publik tidak saja bersifat
―positif ― namun juga ―negatif‖, dalam arti pilihan keputusan
selalu bersifat ―menerima salah satu‖ dan ―menolak yang lain‖.
Meskipun terdapat ruang bagi ―win-win‖ dan sebuah tuntutan dapat
diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi ―win-win‖ sengat terbatas
sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah ―zero-sum-game‖,
yaitu ―menerima yang ini, dan menolak yang lain‖.
Seorang kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala
pemerintahan merupakan jabatan politik. Akan tetapi jabatan
politik
tidak terjadi begitu saja. Jabatan politik seorang kepala daerah
akan
-
220
sangat ditentukan oleh rakyat dalam konteks demokrasi ―dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat‖. Karena itu, kebijakan
seorang kepala daerah tidak melulu berkiblat pada arah kebijakan
politik. Dalam
kedudukanya sebagai seorang pejabat politik, kebijakan yang
dibuat
harus dipadukan dan disetarakan dengan kebutuhan publik,
sehingga
dalam jabatan politik, seorang kepala daerah dapat melakukan
kebijakan publik yang akan menyentuh persoalan yang dihadapi
masyarakat. Jika kebijakan publik menyentuh kebutuhan publik,
maka
Dye menyebutkan hal itu sebagai kebijakan ―strategi‖ karena
menyentuh kebutuhan publik.
Banyak kebijakan strategis yang telah dibuat pemerintah
daerah,
namun banyak pula yang tidak menjawab kebutuhan publik. Hal
ini
harus diluruskan secara baik, karena untuk mengukur sebuah
kebijakan publik, harus didasarkan pada fakta yang memiliki
kaitan
dengan sejumlah masalah sosial yang dialami publik. Hal ini
penting,
karena dalam implementasi kebijakan publik, terkadang terikut
serta
sejumlah kepentingan politik yang memberi dampak, dan
memengaruhi kebijakan publik. Walaupun dalam implemetasi
kebijakan publik hal itu berjalan secara normal, namun dampak
dari
kebijakan publik yang telah dipolitisir, akan mengalami
permasalahan.
Dengan demikian kebijakan publik yang dibuat dapat
dikategorikan
sebagai ―kebijakan politis‖.
Seorang kepala daerah selalu diperhadapkan dalam dua fakta
terkait dengan pengambilan kebijakan publik. Pertama,
berkaitan
dengan jabatan politik; dan kedua berkaitan dengan
kedudukannya
sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat. Dua sisi yang
berbeda ini
mewajibkan seorang kepala daerah untuk bisa membedakan mana
kebijakan politik dan mana kebijakan publik. Dye
menggambarkan
secara jelas bahwa, dalam ruang kebijakan terdapat cela yang
memungkinkan seseorang untuk membuat kebijakan berdasarkan
konsep ―win-win‖, namun dalam penentuan kebijakan, kedua hal
tersebut harus ada yang lebih diuntungkan. Hal ini berararti
kebijakan
politik dan kebijakan publik tidak bisa direalisasi dalam satu
kebijakan,
-
221
sebab jika hal itu terjadi, maka satu dari dua hal tersebut akan
terkena
dampak atau menjadi korban.
Menghadapi sejumlah permasalahan yang terjadi di Kabupaten
Kaimana, sejumlah kebijakan telah dibuat dengan dalil
kepentingan
dan kebutuhan masyarakat (publik). Dalam penekanan awal
penulis
telah memberi penjelasan, bahwa kebijakan tidak bisa
disalahkan
karena berkaitan dengan hak seorang kepala daerah. Dye
menjelaskan
hal itu sebagai berikut, bahwa: ―kebijakan adalah sikap
pemerintah untuk membuat atau tidak membuat kebijakan‖. Artinya,
untuk membuat kebijakan publik, atau tidak membuat kebijakan, hal
itu
merupakan sikap pemerintah. Namun masyarakat selalu memahami
bahwa kebijakan publik merupakan tindakan riil pemerintah,
yang
berhubugan dengan masalah sosial yang dihadapi oleh
masyarakat.
Pemahaman masyarakat ini bertolak dari sejumlah masalah yang
mereka rasakan, karena itu, jika seorang kepala daerah tidak
membuat
keputusan nyata, hal itu dianggap tidak membuat keputusan.
Pertanyaannya adalah, apa yang membedakan seseorang
dikatakan membuat dan atau tidak membuat kebijakan.
Ilustrasi
berikut ini akan memudahkan kita untuk memahami hal
tersebut:
―jika anda berjalan pada ruas jalan yang berlobang lalu
mempertanyakan kebijakan seorang kepala daerah tentang jalan yang
berlubang tersebut. Pertanyaan anda pasti didasarkan pada kenyataan
bahwa jalan berlubang sangat mengganggu perjalanan, karena anda
tidak bisa melajukan kenderaan dengan kecepatan maksimum. Pada
titik simpulan, anda akan mengatakan, pemerintah tidak membuat
kebijakan untuk memperbaiki jalan tersebut. Tetapi apakah benar
pemerintah tidak membuat kebijakan terhadap kondisi jalan itu?
Ternyata prediksi anda meleset, karena ruas jalan yang berlubang
ketika dibijaki oleh pemerintah setempat, menimbulkan banyak korban
jiwa, karena ruas jalan tersebut seringkali digunakan oleh anak
muda sebagai tempat balapan liar. Bertolak dari konteks tersebut,
maka pemerintah membuat kebijakan untuk tidak memperbaiki ruas
jalan yang berlubang tadi. Karena itu, kebijakan tidak selalu
terlihat riil atas persoalan yang terlihat riil pula‖.
-
222
Contoh ini memberi penjelasan bahwa kebijakan tidak selalu
logis bagi semua pihak. Ada kebijakan yang logis bagi pihak
pembuat
kebijakan, tetapi pada sisi lain, hal itu tidak logis bagi pihak
lain.
Namun inti dari sebuah kebijakan publik haruslah berdampak
positif
bagi semua pihak.
Belajar di negeri der Panzer
Menjalankan roda pemerintahan, kebijakan publik menjadi
sangat penting. Kebijakan publik tidak hanya sebatas memberi
arahan
terhadap sejumlah program kerja yang telah ditetapkan oleh
setiap
SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sebagai eksekutor
kebijakan,
melainkan tujuan dibuatnya kebijakan publik agar setiap SKPD
memiliki kesamaan dan keseragaman visi untuk mewujudkan dan
merealisasikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Penegasan
ini disebut oleh Robert Eyestone secara luas, kebijakan publik
dapat
didefinisikan sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya‖.
Penjelasan Eyestone memberi penekanan pada kebijakan sebagai
relasi dalam sebuah unit kerja. Bisa juga dipahami sebagai
perekat
birokrasi yang memiliki tujuan bersama yaitu melayani
masyarakat.
Kita bisa membayangkan bagaimana jika dalam birokrasi
pemerintahan
yang begitu sibuk dengan sejumlah program kerja, jika tidak
diimbangi
dengan kebijakan publik dari seorang kepala daerah, maka hal itu
akan
menimbulkan kekacauan dalam birokrasi pemerintah. Kebijakan
publik yang dibuat oleh pemerintah daerah Kabupaten Kaimana
misalnya: terkait dengan pendidikan delapan anak asli Kaimana
ke
Jerman.
Setiap kebijakan publik memiliki dampak atau konsekwensi.
Dampak serta konsekwensi tersebut sangat berhubungan dengan
keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan yang
dicapai.
Heidenheimer (1930:1) menjelaskan bahwa kebijakan publik
merupakan sebuah studi tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa
konsekwensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action)
pemerintah‖. Yang ingin ditekankan oleh Heidenheimer adalah soal
studi tentang
―bagaimana‖ merumuskan sebuah kebijakan publik yang bisa
memberi
-
223
jawaban terhadap masalah yang dihadapi publik (masyarakat).
Penekanan ―bagimana‖ juga bertujuan mempertanyakan cara
mendesain dan merancang sebuah kebijakan publik. Misalnya,
untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia di Kabupaten Kaimana,
pemerintah menginginkan anak-anak asli Kaimana harus bersekolah
di
luar negeri. Mengawali konsep ini, Heidenheimer menawarkan
langkah pertama yang harus dilakukan adalah ―bagaimana‖
mendesain konsep menjadi program yang bisa dituangkan dalam sebuah
kebijakan
publik. Untuk mendasain konsep tersebut dibutuhkan figur
atau
individu yang memiliki kecakapan khusus. Selain itu juga,
tindakan
―bagaimana‖ merujuk pada membangun ANT (Aktor Network)-nya, baik
di daerah, pusat hingga di Jerman. Tawaran Heidenheimer ini
sangat penting dilakukan mengawali peluncuran sebuah
kebijakan
publik.
Lebih lanjut Heidenheimer memberi penekanan studi tentang
―mengapa‖ jika dihubungkan dengan kebijakan untuk menyekolahkan
delapan anak asli Kaimana di Jerman, maka alasan mendasarnya
harus
jelas. Penjelasan tentang alasan mendasar pemerintah
menyekolahkan
delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖. Untuk
mengetahui alasan mendasar pemerintah Kabupaten Kaimana
menyekolahkan
delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖, penulis
menemukannya melalui lansiran berita Online Radar Sorong yang
di
unduh pada tanggal 26 Desember 2017, hal itu dijelaskan
sebagai
berikut:
...―tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya,
supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan
anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama
seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan
di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya
ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa
mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini.
Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?‖...
Penjelasan di atas memberi keterangan bahwa tujuan
menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke Jerman karena
pemerintah daerah menginginkan ke depan ada anak asli
Kaimana
-
224
yang bisa memainkan peran pada tingkat provinsi maupun
tingkat
pusat di masa yang akan datang. Jika hal ini yang menjadi
target, maka
apa yang ditawarkan oleh Heidenheimer terkait dengan ―apa
konsekuensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action)
pemerintah‖, bisa terjawab.
Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, ternyata setiap
kebijakan
memiliki dampak dan konsekuensi masing-masing. Itu berarti,
bahwa
tidak ada satu pun kebijakan yang sempurna. Karena itu, lebih
awal
sebelum melakukan sebuah kebijakan publik, pembuat kebijakan
sudah
harus berpikir tentang bagaimana menghadapi konsekuensinya. Hal
ini
penting! Ketika pemerintah berani membuat kebijakan publik,
maka
pemerintah harus memiliki keberanian untuk menerima
kegagalan,
karena suksesnya kebijakan publik yang diimplementasikan
adalah
kebijakan yang mampu meminimalisir konflik, bukan sebaliknya
menghindari konflik.
Untuk meminimalisir konflik, haruslah dimulai dari cara
memahami inti dari konflik yaitu ―bagaimana hubungan masyarakat
dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini,
pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial
yang
tidak dapat dihindari. Selain itu pula, konflik menjadi petunjuk
bahwa
di dalam hubungan atau relasi sosial masyarakat terdapat
dominasi,
kohesi, serta kekuasaan. Lewis A. Coser memandang ―konflik dapat
direkayasa untuk menciptakan kohesi atau keteraturan sosial‖.
Dalam kenyataannya, kebijakan yang dirancang atas nama
kepentingan masa depan daerah terbentur masalah. Hal itu
ditandai
dengan dikembalikannya empat anak dari Jerman ke Indonesia.
Kondisi ini mengakibatkan kemarahan sebagian masyarakat
lokal,
dengan melakukan demonstrasi massa menggunakan simbol adat
untuk
memalang kantor bupati. Selain demonstrasi massa, untuk
melakukan
pemelangan kantor bupati, massa juga menuntut Bupati Kaimana
segera memberi penjelasan terkait kasus dipulangkannya empat
anak
dari Jerman tersebut.
-
225
Sesuai keterangan Bupati Kaimana yang dilansir koran Online
Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 27 Desember 2017
sebagai
berikut:
KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas
kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat
mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari
pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak
mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana,
Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung
kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut
bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang
saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab di Kaimana.
Lebih lanjut dijelaskan: ―Jadi tidak pernah pemerintah daerah
mengirimkan anak-anak asli Kaimana ke luar negeri lalu memulangkan
mereka‖... pernyataan seperti ini menunjukan bahwa pemerintah
sangat konsisten dengan tujuan menyekolahkan delapan anak asli
Kaimana ke Jerman. Sikap ini secara tidak langsung menunjukan
sikap
idealisme dalam sebuah program kerja dan hal itu menjadi
sangat
penting.
Pada sisi lain, fakta dikembalikannya empat orang anak asli
Kaimana dari Jerman ke Indonesia, memberi gambaran jelas
masih
terdapat sejumlah kelemahan dari kebijakan yang dibuat. Karena
itu,
hal yang sangat penting dan yang harus diperhatikan adalah
idealisme
harus realistis. Idealisme yang realistis seharusnya
memperhatikan
semua faktor, lebih khusus pada konteks lapangan yang menjadi
arena
implementasi kebijakan. Hal ini jelas terukur dari penjelasan
Bupati
Kaimana:
...―pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas
kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat
mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari
pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak
mampu lagi bersekolah di Jerman‖...
-
226
Sangatlah manusiawi, kalau keempat anak meminta kembali ke
Indonesia. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa mereka ―tidak
mampu lagi bersekolah di Jerman‖... dari sejumlah penjelasan ada
hal yang harus dikatahui bahwa, sistem ANT yang dibangun
memiliki
kekurangan dan menyebabkan empat anak tersebut meminta untuk
dikembalikan ke Indonesia, hal itu terekam dari penjelasan
kepala
daerah yang dilansir koran daerah Online Radar Sorong
sebagai
berikut:
―Pihak yang berhak merekomendasikan anak-anak sekolah di Jerman
ini sudah lepas tangan. Akhirnya, keempat anak ini pulang, karena
ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain
sebagainya. Memang ini merupakan program primadona saya, kalau buat
jalan, semua Bupati bisa lakukan, tetapi karena 4 anak ini harus
dipulangkan, maka saya menyerahkan kepada Tuhan saja, mungkin ini
ujian buat kami pemerintah daerah. Tetapi kemarin saya baru
terhibur dengan diterimanya ketiga anak kita yang saat ini masih di
Jerman di Student Collage. Ini sebuah mujizat yang Tuhan beri buat
kami pemerintah daerah, yang bekerja dengan niat yang tulus untuk
membangun negeri ini, tetapi ada pihak-pihak lain yang menilainya
dengan persepsi mereka sendiri,‖ ujar Bupati Mairuma panjang
lebar.
Penjelasan ini menitikberatkan pada sistem ANT yang
digunakan
untuk menangani program studi ke Jerman. Perbedaan sistem ANT
di
Indonesia berbeda dengan sistem yang berlaku di Jerman.
Gambaran
dari penjelasan di atas, bahwa: ...―akhirnya, keempat anak ini
pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan
kolusi dan lain sebagainya‖...
Di Indonesia kita masih bisa menggunakan berbagai indikator
ketika sebuah kebijakan mengalami jalan buntut. Misalnya:
hubungan
kekeluargaan, mayoritas dan minoritas, pribumi dan kaum
pendatang,
warga keturunan dan bukan keturunan, putra daerah dan bukan
putra
daerah. Ternyata, ukuran seperti ini tidak berlaku di Jerman.
Karena
itu penjelasan kepala daerah Kabupaten Kaimana yang
mengatakan
bahwa ...―Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi
dan lain sebagainya‖... pada konteks seperti ini, maka penekanan
Heidenheimer semakin jelas, bahwa kebijakan publik merupakan
studi
tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari
tindakan
-
227
(action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, menjadi sangat
penting untuk diperhatikan, sehingga implementasi kebijakan publik
yang
seringkali menimbulkan gesekan konflik harus diminimalisir
dengan
cara yang ditawarkan Heidenheimer bahwa kebijakan harus
lebih
dahulu diuji; ―mengapa‖ kebijakan dibuat, ―bagaimana‖ harus
dibuat dan ―apa konsekuensi logis dari kebijakan tersebut‖.
Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan publik yang
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kaimana mengalami
masalah.
Hal ini terjadi karena ruang cipta suatu kebijakan berbeda
dengan
ruang implementasi kebijakan. Perbedaan kedua ruang tersebut
dapat
diukur dari tempat masing-masing, ruang cipta kebijakan berada
pada
ruang birokrasi yang tidak bersentuhan dengan kehidupan
sosial.
Sementara pada ruang implementasi kebijakan, di sana terjadi
kontak
dengan sejumlah indikator permasalahan sosial.
Dari perbedaan kedua ruang tersebut, sangatlah wajar jika
kebijakan pada tataran implementasinya muncul sejumlah
permasalahan, karena itu Richard Rose menyarankan agar
kebijakan
publik haruslah dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang
sedikit banyak berhubungan beserta konsekwensi-konsekwensi-nya bagi
mereka yang bersangkutan, ketimbang sebagai suatu keputusan
tersendiri‖. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun berguna
karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan
bukan
sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Artinya, Rose
ingin
menyampaikan bahwa kebijakan publik, merupakan sejumlah
kegiatan
yang memiliki konsekwensi yang berhubungan dengan sejumlah
pihak, karena itu kebijakan/keputusan yang dibuat tidak
berdiri
sendiri.
Pelayanan birokrasi pendidikan dasar dan prilaku gerakan
kolektif
Pelayanan birokrasi menjadi sangat penting, karena tujuan
pelayanan birokrasi merupakan jawaban pemerintah atas
sejumlah
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dari sejumlah
permasalahan yang di hadapi masyarakat di Kabupaten Kaimana,
masalah pendidikan merupakan satu dari sejumlah persoalan
sosial
yang dihadapi masyarakat dan pemerintah.
-
228
Mengatasi masalah pendidikan, pemerintah telah melakukan
sejumlah kebijakan diantaranya, penambahan tenaga guru PNS
yang
dimiliki Pemerintah Kabupaten Kaimana. Kebijakan yang
dilakukan
pemerintah adalah dengan melakukan kontrak tenaga guru, baik
yang
berada dalam wilayah maupun dari luar wilayah Kabupaten
Kaimana.
Selain menambah aparat tenaga guru, pemerintah juga
melakukan
penerimaan pegawai kontrak untuk dipekerjakan pada
dinas-dinas
yang masih sangat membutuhkan. Salah satu SKPD yang menjadi
sasaran penembahan tenaga pegawai kontrak adalah dinas
kesehatan
dan dinas pendidikan Kabupaten Kaimana.
Dampak dari kebijakan penambahan tenaga pegawai kontrak,
khususnya pada dinas kesehatan, maka sebagian masyarakat atas
nama
suku Mairasi melakukan pemalangan terhadap kantor dinas
kesehatan
dan kantor rumah sakit. Sikap pemalangan ini dilakukan
karena
beberapa nama anggota masyarakat dari suku Mairasi tidak
diakomodir
dalam SK (Surat Keputusan) penerimaan pegawai kontrak.
Pemalangan
tersebut sempat melumpuhkan aktifitas pegawai dinas kesehatan
dan
pegawai kesehatan yang bertugas sebagai pagawi di kantor
RSUD
(Rumah Sakit Umum Daerah) Kaimana.
Penerimaan pegawai tidak hanya sebagai peluang bagi para
pencari kerja, sisi lain dari kebijakan pemerintah adalah,
bagaimana
pemerintah bisa menjawab persoalan masyarakat, baik
menyangkut
kuantitas (jumlah) pegawai, maupun kualitas (mutu/hasil)
pelayanan
pemerintah terhadap sejumlah masalah yang dihadapi
pemerintah.
Menghadapi persoalan ini, pemerintah melakukan langkah-
langkah riil, yaitu dengan memprioritaskan anak-anak asli, dan
hal itu
dijelaskan oleh kepala daerah saat menghadiri kegiatan
RAKERSIS
(Rapat Kerja Klasis) Gereja Protestan Indonesia di Papua, tahun
2014 di
Jemaat Imanuel Kensi mengungkapkan hal tersebut sebagai
berikut:
―jika ada anak-anak Tuhan yang mengikuti tes CPNS, khususnya
anak-anak asli Kaimana, kalau kita mengikuti kriteria kelulusan
tes, maka hasil lulus tes CPNS didominasi oleh mereka-mereka yang
datang dari luar, karena itu sebagai Kepala Daerah, saya mencoba
untuk membuat perimbangan, sehingga hasil kelulusan tes CPNS bisa
ada keterwakilan anak-anak negeri juga. Jika saya
-
229
tidak lakukan interfensi, maka sangat kasihan sekali, anak-anak
negeri tidak banyak yang bisa menjadi pegawai negeri sipil‖.
Penjelasan yang disampaikan memberi keterangan terkait sikap
pemerintah daerah dalam melakukan perimbangan penerimaan
tenaga
Pegawai Kontrak dan CPNS. Dalam konsep kebijakan, ―tindakan
kebijakan ―policy‖ digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor
(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga
pemerintah), atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan
tertentu‖. Dengan demikian, apa yang dilakukan pemerintah merupakan
sikap yang sangat tepat mewakili birokrasi pemerintah.
Selain upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan menambah
jumlah PNS dan pegawai kontrak, pada sisi yang lain,
pemerintah
berhadapan dengan sejumlah persoalan terkait dengan
pengabdian
ANS di lingkungan kerja pemerintah daerah Kabupaten Kaimana,
khusus untuk PNS yang melaksanakan fungsi sebagai guru.
Kebiasaan meninggalkan tempat tugas mengakibatkan
masyarakat melakukan pemalangan terhadap gedung sekolah, dan
rumah kepala sekolah.
―masyarakat dorang (mereka) palang sekolah, karena guru-guru
selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan
guru-guru masa sekarang ini paling berbeda dengan guru-guru pada
waktu dulu, waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga guru yang
ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas, bahkan dorang
(mereka) bisa lakukan les pelajaran malam hari di rumah pastori.
Sekarang ini, guru-guru yang dinas pendidikan kasih untuk kitorang
(kita) di kampung-kampung, ada guru pemerintah PNS, guru kontrak,
tapi tidak sama dengan pace-pace1 (bapa-bapa) guru dulu, pace-pace
(bapa-bapa) guru itu mengajar di depan kelas, mereka ajar
masyarakat berkebun, mereka bisa jadi mantri, mereka ajar
masyarakat kerja rumah (tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang
sekarang ini, su tra (sudah tidak) mengajar baik-baik, su tra
(sudah tidak) betah di tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti
tenaga guru itu dorang (mereka) lihat yang pas di kampung baru
kasih tugas, kalau begini-begini sama saja, kitorang pung (kita
punya) anak-anak tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa lihat
ada beberapa
1 Istilah ini digunakan untuk menyapa kaum pria dewasa artinya
bapa.
-
230
keluarga yang sudah bawa turun mereka punya anak di kota untuk
sekolah di sana, karena guru-guru tidak ada, mungkin ada tenaga
honor satu orang dari kampung yang mengajar saja‖.
Hal ini menunjukan kinerja birokrasi pemerintah di lapangan
belum mencapai target yang diharapkan. Kebiasaan guru
meninggalkan
tempat tugas berbulan-bulan, bahkan hingga mencapai satu
tahun
ajaran. Fenomena ini menunjukan betapa lemahnya fungsi
kontrol
pemerintah, khususnya instansi penanggungjawab
penyelenggaraan
pendidikan.
Menghadapi persoalan seperti ini, masyarakat setempat
mengambil langkah-langkah konkrit, menyampaikan laporan
kepada
pihak kepolisian, dalam hal ini POLSEK (Kepolisian Sektor)
terdekat
dan melakukan pemalangan sekolah dan rumah dinas guru kepala
sekolah. Setelah itu, masyarakat menyampaikan tindakan
mereka
kepada dinas terkait (dinas pendidikan) di Kabupaten
Kaimana.
Menanggapi laporan masyarakat, pihak dinas pendidikan
melakukan mutasi terhadap kepala sekolah yang selalu
meninggalkan
tempat tugas. Kebijakan ini menurut Charles O. Jones.
merupakan
sikap yang memiliki hubungan dan kesamaan dengan tujuan (goals),
program, keputusan, (decision), standard, proposal, dan grand
design. Pada sisi lain, pemerintah telah memenuhi hak-hak pegawai
(guru),
hak-hak tersebut diuraikan sebagai berikut:
―untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan memperhatikan
lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah. Untuk mereka-mereka
yang bertugas di daerah terpencil atau terisolir, selain gaji kami
berikan insentif zona yang lumayan besar, tidak saja itu, ada uang
lauk pauk dan masih ada tambahan-tambahan pengasilan yang lain.
Tujuan dari semuanya itu, kita berharap tidak ada alasan yang
dibuat-buat untuk tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung‖.
Terlepas dari konteks penataan sejumlah PNS yang berprofesi
sebagai guru, pemerintah juga melakukan pergeseran pada
sejumlah
kepala distrik. Tepatnya pada tahun 2009, suhu politik di
Kabupaten
Kaimana mulai mencapai titik panas terkait dengan pemilihan
kepala
daerah.
-
231
Pemilihan kepala daerah merupakan pesta rakyat di tingkat
daerah. Menghadapi pelaksanaan pesta demokrasi pemelihan
kepala
daerah, rakyat secara bebas ingin menyatakan pilihan mereka
kepada
kandidat yang dipercaya rakyat, maka dampak yang muncul di
atas
permukaan adalah terjadinya pengkotak-kotakan. Realitas seperti
ini
sangatlah logis, karena setiap individu memiliki kebebasan
dan
menggunakan kebebasan secara individu untuk memilih figur
kepala
daerah.
Tidak saja rakyat, ternyata pengaruh pemilihan kepala daerah
memengaruhi kebijakan politik pemerintah. Menjelang akhir
periode
pertama 2005-2010, kepala daerah Kabupaten Kaimana membuat
kebijakan memutasikan beberapa kepala distrik. Kabijakan ini
di
pandang sebagai kebijakan politik dalam rangka untuk
menjawab
kepentingan sang petahana untuk periode berikut 2010-2015.
Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah Kabupaten
Kaimana,
pemenang pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana periode
2010-
2015 dimenangkan oleh wakil bupati periode 2005-2010.
Sebagai
pemenang, berbagai kebijakan pun dilakukan. Dari sejumlah
kebijakan
yang dibuat, mutasi/pergeseran Kepala Distrik Teluk Arguni
mendapat
sorotan hangat dari masyarakat lokal. Sikap masyarakat
tersebut,
dinampakkan dengan cara menandatangi surat penolakan oleh
sejumlah kepala kampung, disertai dengan sikap pemalangan
Kantor
Distrik Teluk Arguni menggunakan simbol adat ―kakur-utie
ro‖.
Sikap penolakan masyarakat adat terhadap mutasi/pergeseran
kepala Distrik Teluk Arguni merupakan sebuah gerakan sosial
masyarakat adat yang disebut oleh Sidney Tarrow (1998)
merupakan
―prilaku kolektif‖. Tarrow memberi pandangannya dengan menyebut
―prilaku kolektif‖ dengan mengkaitkan dampak negatif Revolusi
Prancis yang berhubungan dengan kemarahan massa pada periode
abad
pencerahan sebagai akar perkembangan teori gerakan sosial.
Kemudian
teori ini menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari
fenomena
gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Gustave Le
Bon
(1895) perintis utama teori prilaku kolektif
menginterpretasikan
-
232
kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku
kolektif yang menyerupai emosi binatang.
Sangatlah benar, bahwa dampak demonstrasi massa selalu
dinilai
sebagai bentuk awal sebuah kegiatan yang berdampak pada
KAMTIBMAS, pengerusakan sejumlah infrastruktur pemerintah.
Wajah demonstrasi massa dengan sikap arogan inilah, maka Le
Bon
menyamakan hal tersebut sebagai prilaku kolektif menyerupai
emosi
binatang. Namun fakta yang digunakan Le Bon untuk membangun
teori gerakan sosial didasarkan pada fakta gerakan Revolusi
Prancis.
Karena itu, ketika melakukan perbandingan dengan gerakan sosial
di
Indonesia, khususnya gerakan sosial menggunakan simbol adat
di
Kabupaten Kaimana tentu memiliki perbedaan.
Penulis melihat perbedaan tersebut didasarkan pada
fakta-fakta
empiris sebagai berikut: pertama, secara kultur, masyarakat
Prancis
berbeda dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat,
khususnya
masyarakat adat delapan suku besar di Kaimana. Perbedaan kultur
ini
menjadi landasan kuat ketika dijadikan sebagai dasar
membangun
sebuah teori gerakan sosial; kedua, bentuk kesamaan gerakan
sosial
yang terjadi di Prancis dan di Kabupaten Kaimana hanya berada
pada
kerumunan massa, sementara yang membedakan kedua gerakan
sosial
ada pada ANT (Aktor Network)-nya; dan ketiga, gerakan sosial
yang
terjadi di Kabupaten Kaimana tidak bersifat menghancurkan
infrastruktur, perebutaan kekuasaan dan atau penggulingan
rezim.
Karena substansi dari gerakan sosial di Kabupaten Kaimana
adalah
upaya menunjukan identitas dan pemerataan keadilan dari
prespektif
kultur masyarakat adat.
Jika dirunut kronologis gerakan sosial di Kabupaten Kaimana,
maka gerakan perlawanan yang menggunakan simbol adat
memenuhi
regulasi yang telah ditetapkan, misalnya: izin pihak
keamanan.
Tahapan memperoleh izin untuk melakukan demonstrasi massa
merupakan tahapan pembuktian diri, bahwa gerakan demonstrasi
massa atau gerakan perlawanan simbol adat adalah bagian dari
hak
konstitusi warga negara. Sejalan dengan hal tersebut, maka
gerakan
demonstrasi massa atau gerakan perlawanan simbol masyarakat adat
di
-
233
Kabupaten Kaimana tidak bisa disamakan dengan ―gerakan kolektif‖
yang terjadi pada saat Revolusi Prancis.
―waktu itu kami hanya disuruh untuk tanda tangan surat oleh pace
distrik, tetapi pace (bapak) distrik tidak kasih jelaskan kalau
untuk tolak kepala distrik yang baru, pace (bapak) distrik hanya
bilang karena para petugas tidak melaksanakan tugas di
kampung-kampung dengan baik jadi bapa dong tanda tangan supaya
bapak Bupati bisa perhatikan apa yang bapa-bapa sampaikan‖.
Ajakan ini menggambarkan ada upaya dari pihak pemerintah
(kepala distrik) untuk mengajak masyarakat adat terlibat dalam
pusaran
masalah yang dia hadapinya, terkait dengan kebijakan mutasi
terhadap
yang bersangkutan. Konteks inilah yang menjadi substansi
yang
membedakan gerakan sosial di Prancis pada abad pencerahan
dengan
gerakan pelawanan sosial di Kabupaten Kaimana.
Perbedaan Gerakan Revolusi Prancis dan Gerakan Perlawanan
Simbol Adat di Kaibupaten Kaimana haruslah diukur dari
indikator
pemicu serta dampak yang ditimbulkan. Indikator pemicu
Gerakan
Revolusi Prancis, dipicu oleh sistem kepemimpinan Monarki
(Kerajaan) yang dipimpin oleh raja yang berlaku tidak adil
dalam
mengatur kerajaan Prancis saat itu, seperti: ―kekuasaan raja
tidak terbatas; kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh
undang-undang; kekuasaan raja tidak diawasi oleh parlemen; raja
menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga tidak pernah salah;
raja memerintah secara turun temurun; raja bertindak
sewenang-wenang‖. Konteks ini menjadi wajah yang memicu ―gerakan
kolektif‖ Revolusi Prancis.
Konteks ini bisa saja terjadi, karena prilaku kolektif
merupakan
respon terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan
dan
tidak terstruktur. Yang dimaksud dengan struktur sosial
sangat
berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan
pemerintah
dan lembaga formal dan non formal, David Popenoe (1977:259).
Karena itu, pemicu Gerakan Revormasi Prancis itu sendiri
terjadi
dalam konteks yang disebut dengan ―kekuasaan raja tidak diatur
dan tidak dibatasi oleh undang-undang‖.
-
234
Ketika kekuasaan raja tidak lagi terbatasi oleh
undang-undang,
maka menurut Blumer, ―masyarakat terdiri dari individu-individu
yang memiliki kedirian sendiri-sendiri, sehingga ―tindakan
kolektif‖ adalah tindakan yang didahului dari penafsiran pribadi
atas situasi sosial yang mereka alami‖ (Irving Zetlin, 1995:332).
Dalam konteks ini, sesungguhnya lembaga-lembaga sosial dalam
kehadirannya, sudah
harus memberi perhatian atas situasi sosial yang tidak seimbang
(situasi
yang memberi dampak keuntungan bagi penguasa sementara
rakyat
berada dalam situasi yang sangat menderita). Namun, dalam
kenyataan
tersebut lembaga-lembaga sosial tidak bisa berbuat banyak. Di
sinilah
letak titik lemah kehadiran sejumlah lembaga-lembaga sosial,
Neil
Smelser (1962), Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999:
4).
Mungkin saja kehadiran lembaga-lembaga sosial, keagamaan,
mahasiswa tidak mampu berbuat banyak karena dampak tekanan
penguasa, akan tetapi ―perilaku kolektif‖ tidak akan pernah
berhenti, Ralph H. Tuner dan Lewis M.Killian (1972) dalam (Popenoe
1977:404).
Ibadah haji di antara kebijakan dan religious symbols
Kebijakan pemerintah untuk mengirim CJH asal Kaimana
menunaikan rukun Islam ke lima merupakan program rutin
pemerintah setiap tahun. Sejak berdirinya Kabupaten Kaimana
tahun
2005, pemerintah daerah membuat kebijakan mengirim
masyarakat
Kaimana yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik ke kota-kota
suci,
Mekah dan Yerusalem.
Kebijakan yang mengantar manusia untuk memenuhi rukun
Islam yang ke lima di tahun 2012, ternyata terbentur dengan
masalah
ketika tiba di Jakarta. Dari tiga puluh sembilan CJH yang
diberangkatkan ke Mekah, hanya delapan belas CJH yang
memiliki
kelengkapan dokumen, dua puluh satu CJH lainnya tidak
memiliki
kelengkapan dokumen. Mereka lalu bersepakatan bersama untuk
tidak
melakukan perjalanan haji alias batal berangkat.
Dari dilansir berita surat kabar Online Radar Sorong, Selasa
23
Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan hal tersebut sebagai
berikut:
-
235
―KAIMANA - Ratusan warga asli Kaimana melakukan aksi unjuk rasa
ke Kantor Bupati Kaimana, sekitar pukul 11.00 WIT siang kemarin
(22/10). Aksi itu dilakukan menyusul pembatalan keberangkatan 39
calon jemaah haji asal Kaimana, yang diprogramkan oleh pemerintah
daerah selama dua tahun anggaran dan dibiayai APBD tahun 2011 dan
2012. Saat ini, ke-39 CJH asal Kaimana yang batal berangkat, masih
berada di Wisma Sayidah Inn, Kompleks Universitas Islam Negeri,
Ciputat Jakarta Selatan. Menurut rencana, mereka akan kembali ke
Kaimana, Rabu (24/10) mendatang. Ke-39 warga Kaimana batal
berangkat karena 18 calon jemaah haji tidak memiliki visa‖.
Dari lansiran berita tersebut, ditemukan beberapa catatan
penting, antara lain; bahwa program keberangkatan menunaikan
ibadah haji yang diikuti oleh tiga puluh sembilan CJH
merupakan
bagian dari program tahun 2011 dan 2012, maka diperkirakan
setiap
tahun pemerintah Kabupaten Kaimana mengirim kurang lebih
delapan
belas hingga sembilan belas CJH, biaya perjalanan CJH bersumber
dari
APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Dari lansiran berita koran Rada Sorong, ditemukan titik
lemah
kebijakan yang berdampak pada gagal berangkat CJH ke tanah
suci
disebabkan pada masalah kelengkapan dokumen visa, itu berarti,
titik
lemah kebijakan tersebut sangat berkaitan dengan jaringan ANT
yang
digunakan oleh pemerintah Kabupaten Kimana. Kondisi ini tidak
saja
menggambarkan kegagalan sebuah kebijakan, melainkan terkesan
jajaran birokrasi tidak memahami secara baik regulasi, baik
dalam
bentuk kebijakan maupun undang-undang ibadah haji.
Keterkaitan
dengan ―kebijakan itu sendiri merupakan suatu arahan atau usulan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah untuk
digunakan mencapai tujuan‖... Carl Friedrik.
Dalam implementasi kebijakan, seharusnya yang diperhatikan
adalah proses. Karena setiap proses telah ada regulasi yang
mengatur
dan regulasi selalu merujuk pada undang-undang yang berlaku.
Misalnya, terkait kebijakan memberangkatkan CJH dari
Kabupaten
Kaimana, regulasinya telah diatur berdasarkan kewenangan
pemerintah (pusat hingga daerah). Hal itu tercermin jelas
dari
UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG
-
236
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENJADI UNDANG-
UNDANG. Pada bagian kedua, tentang ―KEWAJIBAN PEMERINTAH‖
bahwa:
Pasal 6
―Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi,
bimbingan
ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan,
keamanan,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji‖. Bagian
Ketiga
―Hak Jemaah Haji‖ dan:
Pasal 7
Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi:
(a)
pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah
air,
di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (b) pelayanan
akomodasi,
konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai,
baik
di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
(c)
perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia; (d) penggunaan
Paspor
Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan
Ibadah
Haji; dan (e) pemberian kenyamanan Transportasi dan
pemondokan
selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah
air.
Jika dijelaskan bahwa CJH asal Kabupaten Kaimana mengalami
masalah (gagal berangkat) disebabkan karena ketiadaan
dokumen,
maka berdasarkan uraian regulasi undang-undang yang berlaku,
kegagalan berangkat telah menyalahi ketentuan pada pasal enam
dan
pasal tujuh, UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009.
Merujuk pada pasal enam dan pasal tujuh tentang ―KEWAJIBAN
PEMERINTAH‖, jhal sangat memiliki kaitan dengan hak-hak warga
negara, lihat pasal tujuh. Karena itu, ketika pemerintah lalai
menjalankan ―kewajiban pemerintah‖, maka terkesan pemerintah
mengabaikan hak-hak dasar CJH yang akan melaksanakan rukun
Islam
-
237
ke lima. Dampak dari kelalaian tersebut akhirya
mengakibatkan
demonstrasi massa terhadap kebijakan yang dibuat. Seperti yang
lansir
oleh koran daerah Radar Sorong bahwa:
―massa yang berjumlah ratusan orang datang dengan konvoi
kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai di Kantor Bupati,
massa yang membawa ―KERANDA MAYAT‖ dan meletakannya di loby ruang
tunggu Bupati dan Wakil Bupati. Aparat keamanan dari Polres Kaimana
dan Satpol PP tidak bisa berbuat banyak. Usai meletakan KERANDA
MAYAT, massa menyegel ruang kerja Bupati Kaimana, Drs. Matias
Mairuma. Massa juga menyegel ruang kerja wakil Bupati, Burhanudin
Ombaier, S.Sos, dan Assisten I Setda Kaimana, Rita Teurupun, S.Sos.
Setelah melakukan aksi pemalangan ruang kerja Bupati, Wakil Bupati
dan Asisten I Setdakab Kaimana, sebagian besar massa keluar
menggelar orasi di halaman Kantor Bupati, sementara sejumlah warga
lainnya bergerak menyegel tiap-tiap ruang kerja di Kantor Bupati
Kaimana ini. Aksi itu menyebabkan sejumlah PNS yang sedang berada
di dalam ruangan, langsung berhamburan keluar dan memilih untuk
berada di luar ruangan. Selain menyegel kantor Bupati Kaimana,
massa yang kecewa ini juga menyegel ruang Gedung DPRD Kaimana dan
ruang Setwan. Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di
depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan
pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan
terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana
yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji. Kami minta
DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal permasalahan
ini. Warga asli Kaimana mempertanyakan mengapa pemerintah melakukan
hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak
berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji,• tegasnya. Rusli
Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil
Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka
DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk menidaklanjuti
persoalan ini hingga tuntas,• tukasnya2.
2 Sumber
http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-
Bupati-dan-DPRD, diunduh pada tanggal 14 November 2017
http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-Bupati-dan-DPRDhttp://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-Bupati-dan-DPRD
-
238
Sikap masa seperti ini merupakan bagian dari kekecewaan
terhadap keberangkatan CJH yang tidak bisa menjalankan Rukun
Isalam ke lima di Tanah Suci.
Berbeda dengan sikap massa yang melakukan pemalangan
terhadap infrastruktur dengan menggunakan simbol adat.
Kemarahan
massa terkait gagal berangkat CJH ke tanah suci, tidak
menampakkan
kekecewaan mereka dengan menggunakan simbol adat, massa
lebih
memilih menggunakan simbol yang memiliki nilai relijius.
Ada pesan penting dari penggunaan simbol relijius tersebut,
bahwa sebenarnya demonstrasi massa yang mereka lakukan tidak
memiliki kaitan dengan sejumlah demonstrasi massa yang
menggunakan simbol adat, selain itu pula, fungsi simbol reliji
(keranda
mayat) yang berhubungan dengan fungsinya (tempat mengusung
mayat), memberi pengertian tentang ketidakberdayaan
pemerintah
dalam mengurusi perjalanan CJH ke Tanah Suci. Dalam konteks
ini,
rakyat berada pada posisi sebagai pihak yang menyampaikan
keluhan
mereka terhadap pemerintah.
Ditinjau dari sisi teori gerakan sosial, demonstrasi massa
merupakan bagian dari sikap keluhan masyarakat kepada
pemerintah
atas berbagai persoalan sosial yang mereka hadapi. Dalam teori
keluhan
yang besumber dari ―The Manifesto of the Communist Party, Karl
Marx dan Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap
perkembangan peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat
ini,
tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains,
2000:
31).
Jika menghubungkan substansi masalah CJH dengan teori
perlawanan kelas yang dipelopori oleh Karl Marx, maka yang di
lihat
orang adalah bentuk perlawanan kaum jelata terhadap kaum
borjuis
(kaum kelas atas). Namun haruslah dipahami, bahwa dampak
dari
prilaku kaum borjuis-lah yang mengakibatkan munculnya
gerakan
perlawanan kaum jelata terhadap kaum borjuis. Perilaku kaum
borjuis
(kaum kelas atas) yang berindak semenah-menah terhadap kaum
jelata
pada akhirnya menimbulkan keluhan dan akibat dari keluhan
tersebut
muncul gerakan perlawanan.
-
239
Dalam kaitannya dengan substansi pokok bahasan ini, maka
demonstrasi massa terhadap gagal berangkat tiga puluh sembilan
CJH
merupakan bagian dari sikap kekesalan dan keluhan massa yang
mengakibatkan munculnya gerakan perlawanan menggunakan
simbol
―keranda mayat‖. Gerakan demonstrasi ini tidak mewakili struktur
kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.
Penggunaan simbol menurut R. M. Maclver bahwa simbol
―keranda mayat‖ melambangkan ―Kesatuan sebuah kelompok...
sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian dan sarana komunikasi,
sebagai landasan pemahaman bersama... penggunaan simbol ―keranda
mayat‖ pada prespektif Edmund Leach (1950:340), hal itu dilihat
sebagai ―tindakan-tindakan ekspresif‖ yang bisa menimbulkan
presepsi yang berbeda, bisa berhubungan dengan ―tatanan dunia
sebagaimana adanya, atau ―bermaksud untuk mengubah tatanan itu
secara metaforis‖.
Inti dari penggunaan simbol ―keranda mayat‖, merupakan simbol
reliji yang menggambarkan ketidakpekaan pemerintah terhadap
kaum
yang menunaikan ibadahnya.
Penggunaan Simbol dalam Kehidupan Manusia
Manusia dalam aktifitas kesehariannya selalu ditampilkan
dengan menggunakan simbol, karena itu manusia disebut
sebagai
makhluk simbolik. Perhatikan dalam kehidupan keluarga, entah
status
sosialnya terpadang, atau tidak terpandang, setidaknya dalam
rumah
masing-masing pasti terdapat sejumlah simbol yang digunakan,
walau
mereka tidak merasakan bahwa mereka sementara hidup dengan
menggunakan simbol. Jika mereka menyadari akan hal itu,
dengan
jujur mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup
tanpa
simbol.
Contoh sederhana yang mungkin tidak mereka sadari, ketika
anda masuk di rumah seorang kristen yang cukup kaya
(terpandang),
ditemukan pada pintu depan terpasang indah sebuah simbol salib,
tidak
jauh dari rumahnya, ada keluarga kristen sederhana (tidak
terpandang),
-
240
pada bagian depan pintu rumahnya juga terpasang simbol salib
yang
sama. Kedua keluarga yang berbeda status sosial ini,
sama-sama
memiliki kendaraan, yang kaya menggunakan roda empat,
sementra
yang sederhana menggunakan roda tiga (becak). Pada bagian
depan
kendaraan, masing-masing memasang simbol salib, dan yang
tidak
kalah penting dibagian leher kedua orang tersebut melingkar
rantai
dengan simbol salib. Perbedaannya, yang kaya menggunakan
simbol
salib dengan bahan dasar logam mulia (emas), sementara yang
sederhana menggunakan simbol salib dari bahan dasar kayu.
Ternyata, antara kaya dan miskin, keduanya memiliki
ketergantungan yang sama terhadap simbol yang digunakan.
Tidak
peduli asal-usul bahan dasar simbol yang mereka gunakan,
yang
penting bagi mereka adalah simbol berbentuk salib. Sepertinya
ada rasa
aman yang mereka temukan di balik penggunaan simbol
tersebut,
karena itu ketika simbol itu diambil orang, sikap kegelisaan
akan
mereka nampakkan dan mulai berpikir negatif, pasti sesuatu
yang
buruk akan terjadi pada diri mereka.
Sikap ini sudah ada jauh sebelum simbol salib hadir dalam
kehidupan manusia, perhatikan ungkapan ini:
―sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3 cukup
banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang
digunakan oleh beberapa suku yang lain. Nama marga memiliki tujuan
masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan
penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan
untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur
masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita
menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya
gunakan seperti marga ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya
berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua
orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai
di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan
tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak
menguasai hak milik orang lain atau suku lain.
3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di
Kabupaten Kaimana. Irarutu berasal dua kata yaitu Iraru =
bahasa/bicara tuturan, dan Tu = benar, sesungguhnya dengan
demikian, kata Irarutu mengandung pengertian bahasa yang benar,
bicara yang benar
-
241
Informasi yang disampaikan hendak memberi kejelasan bahwa
penggunaan simbol memiliki hubungan dengan leluhur dan alam.
Karena itu terkait kebijakan pemerintah yang menjadi sasaran
gerakan
perlawanan simbol, maka tujuan gerakan perlawanan tersebut
pada
satu sisi memiliki kaitan dengan gerakan perlawanan yang
memiliki
kemiripan dengan gerakan sosial berbasis etnis, namun pada sisi
lain,
gerakan perlawanan simbol adat bertujuan untuk mengingatkan
pemerintah bahwa perlawanan yang dilakukan memiliki hubungan
dengan konteks masa lalu. Gerakan perlawanan simbol
merupakan
gerakan kolektif yang tidak hanya melihat pada masa depan yang
akan
lebih baik, tetapi pada prinsip tertentu, gerakan perlawanan
simbol
ingin menunjukan keterikatan mereka dengan para leluhur.
Munculnya gerakan kolektif seperti gerakan perlawanan simbol
adat yang berbasis pada kekuatan simbol masyarakat adat, hal
itu
merupakan sebuah gerakan yang tidak mengarah pada upaya
melawan
pemerintah (menurunkan pemerintahan yang sah), dan tidak
bisa
disamakan dengan gerakan sosial kelas bawah. Sebab yang
ingin
ditunjukan dari penggunaan simbol adat adalah otoritas
masyarakat
adat, mereka ingin menyampaikan pesan-pesan kultur kepada
pihak
pemerintah bahwa mereka adalah pemilik alam.
Disaat yang sama, melalui simbol adat yang digunakan oleh
masyarakat adat, masyarakat lokal secara tidak langsung telah
memberi
garis beda antara institusi adat dengan institusi pemerintah,
bahwa
sebenarnya sejak awal keduanya memang beda. Namun perbedaan
itu
tidak berkaitan dengan konteks kelas dalam kehidupan sosial
seperti
teorinya Karl Marx.
Menggunakan simbol adat sebagai tameng
Cara memainkan simbol adat oleh masyarakat lokal memiliki
tujuan untuk menata keteraturan hidup secara internal dan
eksternal.
Secara internal simbol adat digunakan untuk setiap upacara
ritual
(upacara perkawinan, kelahiran, kematian dll). Sementara
untuk
kegunaannya secara eksternal, simbol adat digunakan untuk
mempertahankan keberadaan komunitas mereka dari berbagai
ancaman yang datang dari luar komunitas mereka (perang antar
suku,
-
242
gangguan alam gaib). Pertanyaannya adalah: kapan
simbol-simbol
masyarakat adat terbentuk dan mulai digunakan.
Hadirnya simbol adat dan penggunaannya dalam diri manusia,
dimulai dari setiap individu berkeinginan hidup bergabung
menjadi
satu komunitas. Karena terjadi penggabungan setiap individu,
dan
jumlah manusia semakin bertambah melalui perkawinan, maka
untuk
menjaga dan mengatur manusia, mereka membutuhkan sejumlah
aturan dalam rangka mengatur ketertiban dalam komunitas
mereka.
Untuk tujuan tersebut, maka aturan-aturan diciptakan hanya
bersifat
simbol dan tanda-tanda. Saat itu, manusia belum bisa
menciptakan
huruf, saat itu yang bisa dilakukan manusia hanya sebatas
simbol.
Dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖, C. A. van Peursen
menguraikan pengertian dan proses terwujudnya simbol atau
lambang
dalam kebudayaan manusia antara lain: Tanda mempunyai
pertalian
tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap,
di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Namun
menurutnya, antara tanda dan apa yang ditandai, tak ada lagi suatu
pertalian
alamiah. Api hanya bisa diketahui kalau ada asap, keduanya
berbeda
secara natural tetapi saling berhubungan satu dengan yang
lain.
Untuk menandai sesuatu yang dilarang, masyarakat adat di
Kabupaten Kaimana menggunakan beragam simbol seperti ―utie
ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖. Simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol
―nggama‖ secara fisik diambil dari beberapa jenis pohon seperti
―utie ro - kakur‖ diambil dari daun sagu dan bambu, sedangkan
simbol ―nggama‖ diambil dari janur kelapa. Kedua jenis simbol ini
hanya boleh digunakan untuk menandai sesuatu yang berhubungan
dengan
kepemilikan hak ulayat masyarakat lokal. Misalnya, pada
lokasi/tempat
tertentu yang memiliki potensi alam, terkadang karena
kecerobohan
dan sifat tamak manusia, alam digarap hingga menimbulkan
kerusakan
bahkan berpotensi menghancurkan alam sekitar sehingga
berdampak
punahnya habitat di sekitar lingkungan masyarakat, untuk
menjaga
kepunahan alam tersebut, maka masyarakat menggunakan simbol
adat
untuk menandai lokasi tersebut. Wilayah tersebut akan diolah
jika
dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan masyarakat adat,
maka
-
243
simbol adat kembali dilepaskan. Pada saat itulah potensi alam
bisa
digarap kembali. Kebiasaan ini biasanya masyarakat lokal
menyebutnya
dengan istilah ―sasi nggama‖.
Secara alamiah, antara simbol ―nggama‖ dengan apa yang
―dilarang/ditandai‖ tidak memiliki hubungan alamiah. Keterhubungan
keduanya hanya saling menerangkan satu dengan yang lain. ―Jadi
simbol yang terlihat hanya berfungsi menerangkan sesuatu yang tidak
sama dengan dirinya sendiri‖. Hal ini sejalan dengan pernyataan R.
M. Maclver, ia menjelaskan bahwa: ―Kesatuan sebuah kelompok,
seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud
simbol... pengungkapan simbol tidak hanya bertujuan memberi
keterangan
tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, ―simbol sekaligus
merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu‖, simbol dijadikan
sebagai pusat perhatian tergantung pada makna dan tujuan
penggunaannya, selain
untuk melesteraikan alam, tetapi juga sebagai sumber kehidupan
dari
apa yang mereka tandai. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa
simbol
sebagai ―sebuah sarana komunikasi‖.
Alasan simbol sebagai sarana komunikasi karena simbol yang
digunakan merupakan wujud kesepakatan bahasa bersama.
Kesepakatan bahasa bersama sudah mencakup komunikasi, yang
oleh
Maclver memperjelasnya sebagai ―landasan pemahaman bersama‖...
simbol pada sisi yang lain, digunakan dan dilihat sebagai bentuk
dan
cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitar dengan
menggunakan media yang berada di alam sekita seperti simbol
―nggama‖, maka ―setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang
lain, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana selalu ―menggunakan
simbol-simbol, sebab ―masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa
simbol-simbol‖.
Karena itu, kegunaan simbol adat ―nggama‖ dimanfaatkan sebagai
alat komunikasi dan informasi antara kelompok atau individu,
baik yang berada dalam satu wilayah, maupun yang berada di
wilayah
yang berbeda. Namun dalam penggunaana simbol adat, mereka
dapat
disatukan. Hal tersebut oleh Hartoko dan Rakhmanto
(1998:133)
memahaminya dari sisi etimologi, dalam bahasa Yunani
―sym-ballein‖,
-
244
yang berarti: ―melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan),
yang berhubungan dengan ide.
Dalam kehidupan manusia, ide seringkali dihubungkan dengan
konsep-konsep. Sejumlah konsep tersebut melebur dalam diri
manusia
secara individu, dan disebut kekuatan atau potensi. Potensi
atau
kekuatan dalam diri manusia, lalu dituangkan menjadi buah-buah
pikir
manusia dalam bentuk simbol-simbol.
Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan tuangan ide-
ide masa lalu dengan tuangan ide-ide masa sekarang. Pada masa
lalu
ide-ide dibuat dalam bentuk simbol-simbol, karena pada zamaan
itu
manusia belum mengenal huruf serta membaca dan menulis, maka
ide-
ide hanya dilahirkan dari pikiran mereka sebatas berbentuk
simbol.
Melalui sejumlah simbol masyarakat adat, manusia dapat
membaca maksud-maksud tertentu yang tertuang dalam simbol.
Pada
masa sekarang, simbol didesain lebih modern dan mengalami
perubahan bentuk sesuai zaman. Manusia mulai mendesain
simbol
yang dikenal dengan sebutan abjad (a-z), dan dari desain
simbol
berbentuk abjad, maka untuk menandai sesuatu lokasi yang
dianggap
terlarang, cukup dengan menulis seperti begini: ―dilarang
menebang pohon di kawasan hutan lindung‖.
Sesungguhnya tujuan menggunakan simbol adat secara fisik, dan
merangkain tulisan larangan, keduanya memiliki tujuan yang
sama, yaitu ―dilarangan menebang pohon‖. Yang membedakan kedua
hal tersebut adalah: pertama, simbol adat dalam bentuk apapun
penggunaannya hanya sebatas pada komunitas tertentu dan tidak
bersifat universal, sementara untuk simbol bahasa seperti
―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖, berlakunya
universal; kedua, secara fisik simbol adat seperti simbol ―nggama‖,
sangat mudah ditiru pihak lain, maka simbol adat tidak berlaku
universal. Sementara
simbol bahasa berlaku universal, sebab abjad (huruf) memiliki
sifat
universal dan siapa saja boleh menggunakan simbol abjad
(huruf).
Karena sifat universalnya tidak mengganggu dan mengurangi
fisik
simbol bahasa tersebut.
-
245
Kebebasan berbahasa dan simbol kuasa dalam bahasa
Berbahasa yang baik haruslah dimulai dari niat mempelajari
bahasa. Tidak ada orang yang bisa berbahasa tanpa dimulai dari
niat
mempelajari bahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai
alat
komunikasi antar manusia, dalam penggunaan bahasa, manusia
dapat
menggunakannya untuk berkomunikasi dengan alam dan makhluk
hidup yang berada di sekitar manusia, termasuk berkomunikasi
dengan
alam gaib.
Karena itu, dengan mempelajari bahasa, seseorang dapat
menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berbagai maksud,
bisa
untuk hal-hal yang postif tetapi ada orang yang mempelajari
bahasa
untuk tujuan negatif. Hal ini disebabkan karena bahasa
mengandung
unsur kekuatan. Dengan bahasa setiap individu bisa saling
berkomunikasi dan berinteraksi dalam nilai-nilai yang
positif,
sementara dalam nilainya yang negatif, bahasa bisa digunakan
untuk
menghancurkan orang lain. Hal-hal yang mungkin tidak kita
sadari
dengan bahasa yang digunakan, orang bisa saja memuji dan
menghina
orang lain, dengan bahasa pula manusia bisa membangun dan
meruntuhkan sebuah kekuatan. Pernakah kita bayangkan
bagaimana
jika pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan bahasa.
Kisah
pembangunan menara babel oleh desainer terkenal bernama
Nimrod
hancur berantakan hanya karena kekacauan bahasa.
Tidak bisa disangkal, bahwa untuk memulai proses
pembangunan, bahasa sangat memainkan peran utama. Tanpa
bahasa,
komunikasi untuk memulai pembangunan tidak akan pernah
berjalan.
Dengan kesadaran itulah, maka sebelum republik ini terbentuk,
pada
tahun 1928 para pemuda dengan kesadaran nasionalis, mereka
meletakan bahasa sebagai dasar utama.
Di antara simbol-simbol negara yang dimiliki bangsa
Indonesia,
kita lebih mengedepankan Simbol Pancasila sebagai unsur
kekuatan
negara, dan mengabaikan peran Bahasa Indonesia sebagai salah
satu
unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa, padahal Simbol
Pancasila bisa dipahami dengan baik, karena menggunakan
Bahasa
Indonesia, perhatikan ke lima sila yang memuat falsafa
bangsa,
-
246
bayangkan saja jika ke lima sila tidak menggunakan Bahasa
Indonesia,
maka saya sangat yakin, kita tidak pernah memahami secara benar
apa
maksud dan tujuan dari ke lima sila tersebut. Ke lima sila
memiliki
kekuatan dikarenakan menggunakan Bahasa Indonesia.
Republik ini terbentuk dari beragam suku bangsa dan bangsa.
Menyadari kemajemukan suku bangsa dan bahasa, maka sangat
tepat
jika keberagaman bangsa bisa diikat menjadi satu kekuatan.
Untuk
maksud tersebut, cetusan ikrar ―sumpah pemuda‖, tentang
―berbahasa satu bahasa Indonesia‖, sangatlah tepat jika simbol
bahasa Indonesia dijadikan wadah pemersatu perekat keberagaman
dalam melaksanakan
pembangunan.
Indonesia menjadi bangsa yang besar karena dalam sejarah
bangsa, Indonesia mampu mengukir sejumlah sejarah yang besar.
Tidak
ada dalam sejarah sebuah bangsa yang besar menghadirkan
catatan
sejarah sederhana. Tentu masih teringat dalam sejarah bangsa
Indonesia, bagaimana bangsa ini hadir dengan tahapan-tahapan
orde
dengan bahasa simbol yang sangat memengaruhi masyarakat. Pada
era
ORLA, kita mengenal berbagai bahasa simbol seperti NASAKOM,
bapak Proklamator dll. Pada era ORBA, kita juga mengenal
bahasa
simbol yang digunakan seperti bapak pembangunan, REPELITA
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan era Reformasi masa
SBY-JK
(Susilo Bambang Yudoyono–Yusuf Kalla) mereka berdua tampil
dengan
bahasa simbol ―good governance‖ dan ―katakan tidak pada
korupsi‖, tidak ketinggalan era JOKOWI (Joko Widodo) dan JK (Jusuf
Kalla),
keduanya menggunakan bahasa simbol ―kerja, kerja, kerja‖.
Dalam skala daerah, penggunaan bahasa simbol hampir tak
terhitung jumlahnya. Simbol-simbol tersebut diciptakan dan
digunakan berdasarkan kebutuhan, misalnya ketika mengawali
masa
kampanye pemelihan kepala daerah (provinsi dan
kabupaten/kota).
Ada yang menggunakan istilah seperti: ―penyambung lidah rakyat‖,
―putra daerah‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖, ―pemimpin yang
merakyat‖, dan ―bersama rakyat kita bisa‖, ―membangun dari
kampung‖.
-
247
Sepintas kedengaran indah, keren dan masuk akal. Rakyat
seakan
melayang-layang mendengar sejuta istilah tersebut, tetapi yang
utama
dari sejumlah bahasa simbol seperti ini, perancang dan
penggunanya
sementara membangun relasi kekuatan dan kekuasaan melalui
bahasa
itu sendiri, John B. Thompson menyebutnya sebagai ―As competent
speakers we are aware of the many ways in which linguistic
exchanges can express relation of power‖... karena itu, dalam
penggunaan bahasa simbol, tidak secara lengsung menerangkan
hubungan komunikasi
antara kelompok politik dengan masyarakat, tetapi di
dalamnya
terkandung makna berbeda yang mengarah pada tujuan membangun
relasi kekuasaan.
Di Tanah Papua, provinsi hingga daerah-daerah
kabupaten/kota,
berbagai istilah bahasa simbol dilahirkan atas nama rakyat.
Beberapa
istilah yang sangat indah digunakan, misalnya ―OAP‖, ―putra
daerah‖, dan ―menjadi tuan di negeri sendiri‖. Penggunaan bahasa
simbol seperti ini, ditujukan kepada masyarakat Papua, dengan
tujuan untuk
mengingatkan mereka sebagai pemilik atau tuan tanah di atas
tanah
mereka. Selain itu, bahasa simbol seperti ini memberi gambaran
jelas
bahwa rakyat sangat diutamakan dalam pembangunan. Namun hal
itu
menurut Thompson hanyalah ―We are sensitive to the variation in
accent, intonation and vocabulary which reflect different positions
in the social hierarchy‖.
Peranan bahasa dalam kehidupan manusia, khsusnya bahasa
Indonesia sangat penting. Boleh jadi kita dapat menyebutnya
sebagai
bahasa pembangunan, karena kegiatan pembangunan yang
berlangsung
di Indonesia secara menyeluruh menggunakan bahasa Indonesia.
Hal
itu tercermin dari sistem operasioanl pelayanan pemerintah dan
sistem
pelaporan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan selalu
menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi ada dua hal yang
diperhatikan,
Thompson menjelaskannya sebagai berikut: Bahasa seringkali
menjadi
―aparatus hegemoni‖ dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua
cara; pertama, ketika ia (bahasa) tidak memberi ruang hidup bagi
bahasa-
bahasa lain (yang plural), karena dianggap sebagai ancaman; dan
kedua,
-
248
ketika ia (bahasa) digunakan untuk menyampaikan informasi
(atau
versi informasi), yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.
Dari pendapat Thompson, dipahami bahwa pada saat para
pemuda mencetuskan sumpah pemuda, maka di saat itulah
bahasa-
bahasa lokal terancam. Ancaman terhadap bahasa-bahasa daerah
yang
dimiliki suku bangsa dan bahasa di nusantara, bisa terlihat
ketika
bahasa lokal tidak diakomodir dalam sistem pendidikaan
nasional.
Keadaan ini terkesan menempatkan bahasa lokal menjadi bahasa
nomor dua di negerinya sendiri. Jika kita menjadi tuan di
negeri
sendiri, maka bahasapun harus menjadi tuan di negeri-nya
juga.
Kekuasaan bahasa tidak selalu positif, dan juga tidak
selamanya
negatif, karena kekuasaan bahasa tidak tampil dalam bentuk
fisik.
Dalam tampilannya yang tidak berwujud fisik, maka terkadang
kekuasaan bahasa sulit untuk dideteksi, sejauh mana dampak yang
akan
ditimbulkan.
Salah satu bentuk kehadiran kekuasaan bahasa tanpa fisik,
selalu
menyerupai simbol yang kehadirannya terkadang menggunakan
bahasa
slogan yang berkiblat kepada rakyat, misalnya; ―bersama rakya
kita bisa‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖ dll. Bahasa simbol seperti
ini merupakan bahasa pengagungan semu kepada masyarakat, rakyat
seakan diberi legalitas, ―seolah-olah tanpa rakyat mereka tidak
bisa buat apa-apa‖ bahkan ―suara rakyat diberi pengakuan adalah
suara Tuhan‖, sesungguhnya ada alasan dibalik pengagungan semu
tersebut, karena rakyat sebagai pemegang mandat dalam sistem
demokrasi, maka
penggunaan bahasa simbol bertujuan untuk menarik simpati
rakyat.
Ada saja cara yang dibuat oleh manusia untuk menghadirkan
dirinya di tengah-tengah rakyat sebagai penguasa. Jelmaannya
didesain
sedemikian rupa melalui bahasa simbol dan ditaburi jutaan makna,
hal
ini dilakukan dengan harapan agar hati masyarakat bisa
direbuat.
Pada sisi lain, desain simbol bahasa menunjukan bahwa
manusia
memang makhluk pencipta simbol. Cara manusia mendesain
simbol-
simbol untuk mencapai tujuan yang diharapkan memang patut
diberi
apresiasi. Perhatikan saja, walaupun makhluk manusia itu
belum
-
249
pernah bertemu dengan Allah, namun dengan daya imajinasi
yang
dimiliki, makhluk manusia mampu mendesain wajah dan nama
Allah
yang jauh di luar batas kemampuan manusia. Hal ini
menunjukan
betapa hebat makhluk yang satu ini. Bourdieu menyebutkan
bahwa
―what creates the power of words and slogans, a power capable of
maintaining or subverting the social order, is the belief in the
legitimacy of words and of those who utter them‖.
Begitu kuatnya bahasa simbol dalam berbagai bentuk slogan,
tatanan sosial masyarakat yang begitu kuat mampu diobrak abrik
untuk
mendapat simpati mereka. Perhatikan bagaimana penjual obat di
pasar,
dengan bahasa dan berbahasa yang dia gunakan untuk
menawarkan
hasil prodaknya yang tidak berlabel SNI (Standar Nasional
Indonesia),
bahkan tidak memiliki nomor registrasi dari BPOM (Badan
pengawas
Obat dan Makanan), apalagi sertifikat halal dari MUI (Majelis
Ulama
Indonesia), tetapi dari kekuatan bahasa, semua orang mampu
didoktrin, bahkan mungkin saja dokterpun bisa terbuai membeli
obat
yang dijualnya. Itulah kreatifitas manusia dalam
menghadirkan
beragam simbol bahasa yang dia ciptakan. Dan itulah manusia
sebagai
makhluk pencipta simbol.
Gunakan Manusia Dalam Membangun Jangan Gunakan
Janji
Mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam mengawali sebuah
proses pembangunan, janji harus diikutsertakan dalam proses
itu.
Karena itu, rasanya kalau janji tidak diikutertakan maka
proses
pembangunan akan terasa hambar. Benarkah demikian? Mungkin
iya!
bagi mereka yang suka memberi janji kepada rakyat, sementara
pada
pihak lain, janji selalu dikonotasikan sama dengan utang dari
pihak
yang menerima janji kepada pihak yang memberi janji. Walau
demikian, orang masih suka memulai proses pembangunan
didahului
dengan menyampaikan sejumlah janji-janji kepada masyarakat.
Masyarakat memang terkadang dibuai dengan janji-janji manis
berupa tawaran-tawaran yang berasal dari pihak-pihak yang
memiliki
-
250
kepentingan, baik dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi,
sosial,
dan pendidikan dll, mereka berusaha mendapatkan dukungan
serta
simpati masyarakat, maka solusi yang ditempuh dengan cara
memberi
harapan berupa janji kepada masyarakat.
Membangun masyarakat dengan janji merupakan solusi di luar
logika (nir-logis), masyarakat merupakan fakta pembangunan,
masyarakat itu merupakan makhluk sosial yang bisa di lihat,
diraba,
diajak berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, sementara
janji
merupakan daya imajinatif manusia, alat pembujuk yang tidak
berwujud. Kedua hal ini menjadi sangat tidak logis jika janji
(nir-logis)
digunakan untuk membangun yang logis (masuk akal) seperti
manusia.
Apa yang dijanjikan mungkin bagi anda masuk akal, mungkin
juga bagi anda dan dia masuk akal, tetapi sebaiknya yang logis
adalah
masuk akan untuk kau, aku dan mereka. Pada bagian ini, penulis
akan
menggambarkan hasil temuan penulis terkait dengan dampak
pembangunan yang selalu dimulai dari janji. Bagaimana hal
itu
berdampak dalam kehidupan masyarakat lokal dan pembangunan
terhadap Orang Asli Papua di Kabupaten Kaimana.
Bilang kitong (kita) sekolah supaya jadi tuan di negeri sendiri
terus kalau tidak sekolah?
―walaupun saya staf Distrik Teluk Arguni, namun sebagai anak
negeri saya tidak setuju dengan cara-cara seperti ini. Memang
Kepala
Distrik yang diganti itu lawan politik, tetapi pesta rakyat ini
sudah
selesai, mengapa pemerintah masih dendam trus lakukan
pergantian.
Sebagai anak negeri, kami lihat selama ini belum ada anak asli
yang
memimpin Distrik Teluk Arguni, hanya orang-orang luar saja
yang
menduduki jabatan kepala Distrik. Trus pemerintah bilang ―kita
harus menjadi tuan di negeri sendiri‖, tetapi orang lain yang
datang lalu jadi tuan di negeri kita, dan kita hanya sebagai
penonton saja. Memang
kepala distrik baru juga anak Kaimana dari kampung ini juga,
tetapi
dalam dirinya sudah mengalir dua macam darah, ada darah Papua
dan
darah Cina, jadi sebenarnya yang harus diutamakan adalah
mereka
yang asli dulu barulah anak-anak Papua yang peranakan.
Karena
Bupati Kaimana sudah buat keputusan maka kami anak negeri
buat
-
251
sikap penolakan dan kantor distrik kami palang menggunakan
simbol
adat‖.
Bahasa sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan
manusia, karena itu dalam menggunakan bahasa, manusia dapat
berinteraksi dengan sesamanya. Begitu kuatnya peranan bahasa
dalam
kehidupan manusia, sampai-sampai manusia lupa kalau bahasa
dapat
membuat dirinya terjerat dalam berbagai masalah.
Menghadapi persoalan pembangunan di Papua, khususnya
pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖, faktor utama yang dihadapi
adalah manusia. Karena yang dihadapi adalah manusia, maka yang
harus dilakukan adalah pembinaan terhadap manusia, sebab
manusia
merupakan indikator utama dalam pembangunan.
Terkadang tanpa sadar dalam melaksanakan pembinaan, terjadi
kesalahan-kesalahan dalam pembentukan karakter manusia.
Kesalahan
tersebut erat kaitannya dengan bahasa yang digunakan saat
melakukan
komunikasi.
Penjelasan responden pada paragrap pertama, terindikasi
terjadi
kesalahan dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Tanpa
sadar, dalam melaksanakan pembangunan pada bidang
pemberdayaan
masyarakat atau peningkatan kualitas hidup masyarakat,
sejumlah
pihak yang bertanggung jawab dalam program-program tersebut,
entah
sadar atau tidak, mereka mendesain cara berkomunikasi dengan
cara
seperti misalnya: ―kamu harus sekolah supaya bisa menjadi tuan
di negeri sendiri‖. Pesan bahasa simbol yang disampaikan dengan
cara seperti ini, tidak sebatas sebagai bahasa spirit/penyemengat
semata.
Seharusnya disadari bahwa suatu saat masyarakat akan meminta
pertanggungjawaban atas apa yang kita sampaikan kepada
mereka.
Fakta yang sangat jelas bisa dilihat dari aksi pemalangan
Kantor
Distrik Teluk Arguni atas kebijakan pemerintah untuk
melakukan
mutasi terhadap kepala distrik. Sikap masyarakat adat dengan
melakukan pemalangan terhadap kantor distrik menunjukan
bahwa
masyarakat meminta pertanggungjawaban atas pesan bahasa
simbol
yang pernah mereka terima dari pihak pemerintah, atau dari
pihak-
-
252
pihak lain. Mungkin saja pemerintahan saat ini bisa saja
membantah
bahwa kami tidak memberi janji dan harapan seperti itu, namun
satu
hal yang pasti, bahwa pemerintahan saat ini adalah juga bagian
dari
pemerintahan masa lalu, yang berhadapan dengan konteks yang
sama.
Karena itu sikap masyarakat jelas. John B. Thompson
menjelaskan
bahwa:
―bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup
sekumpulan kata-kata bermakna dalam sebuah proses pemahaman. Ia
juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi
semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah
satu ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai
kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas
guna menanamkan otoritas‖.
Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem
kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang
hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural) karena dianggap
sebagai
ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi
yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan
simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi
nama
yang diakui secara resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia
sosial,
dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain.
Dalam
pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi
dengan
tujuan akhir memperoleh kekuasaan.
Dari teori ini, dapat dipahami bahwa pesan-pesan berupa
dorongan terthadap masyarakat lokal di Papua ―kamu sekolah
supaya bisa jadi tuan di negeri sendiri‖, pada satu sisi sangatlah
tepat karena memberi motifasi terhadap masyarakat, namun pada sisi
lain tersirat
sikap pemerintah bahwa ―selama kamu tidak mau sekolah, kamu
tidak akan bisa menjadi tuan di negerimu sendiri‖.
Pendidikan selalu menjadi faktor penentu masa depan
seseorang
untuk menjadi tuan di atas tanah-nya sendiri. Karena itu, jika
tidak
berpendidikan, maka jangan berharap menjadi tuan di negeri
sendiri.
Steitmen ini perlu dievaluasi kembali, karena konotasi dari
bahasa
simbol ini seakan memberi keleluasaan kepada siapa saja, dari
dunia
mana saja, suku mana saja untuk bisa menjadi tuan di negeri
orang lain,
-
253
asalkan dia berpendidikan. Jika berangkat dari konteks seperti
ini,
maka sampai kapanpun, OAP di ―Negeri 1001 Senja‖, tidak akan
pernah mendapat kesempatan menjadi tuan di atas negerinya
sendiri,
karena pendidikan dijadikan syarat utama.
Jika pendidikan menjadi syarat untuk menjadi tuan di atas
tanah
mereka sendiri, maka masyarakat diperhadapkan dengan pilihan
yang
amat berat. Pilihan jalur pendidikan menjadi sebuah syarat
utama
mungkin bagi pihak lain yang memiliki kemapanan ekonomi hal
itu
tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi masyarakat kecil,
menempuh
pendidikan tinggi bukan persoalan mudah bagi mereka hidup di
kampung-kampung terpencil di Papua khususnya di Kabupaten
Kaimana.
Jika pendidikan itu semudah aktifitas masyarakat seperti
memancing, pangkur sagu dan berburu hewan hutan, maka hal
itu
tidak masalah. Tidak disuruhpun mereka langsung
melakukannya.
Tingkat kesulitan pelaksanan pendidikan di Kabupaten Kaimana
sangat
jelas dari cerita responden yang satu ini:
―pendidikan yang berlangsung di negeri ini, tidak bisa kita
samaratakan, sebab ada wilayah-wilayah tertentu yang boleh
dikatakan pendidikannya sudah agak membaik, tetapi ada pula di
wilayah-wilayah tertentu yang masih perlu diberi perhatian ekstra
oleh pemerintah. Mengapa saya katakan demikian, karena dari
sejumlah usul saran yang kami terima saat MUSDIS (Musyawarah
Distrik) di setiap distrik, setiap usul saran berbeda satu dengan
yang lain. Misalnya, pada wilayah tertentu, kalau tidak ada guru,
mereka langsung temui instansi terkait dan melaporkan situasi
terkini, bahwa guru-guru tidak ada di kampung. Melalui laporan
masyarakat, pemerintah langsung mengambil langkah-langkah, itu
konteks pertama. Yang kedua, walaupun pemerintah telah hadirkan
guru, tetapi orang tuanya datang dan mengambil anak-anak mereka
disekolah untuk dibawa masuk hutan berminggu-minggu bahkan bisa
berbulan-bulan. Konteks ini yang saya katakan tadi bahwa tidak bisa
kita ukur standar rata-rata pendidikan di Kabupaten Kaimana, sebab
masalah pendidikan yang dialami sangat berbeda-beda, jadi, kalau
kita memberi perhatian pada satu wilayah untuk mendongkrak
pendidikan dasar di wilayah tersebut untuk bisa
-
254
sama dengan wilayah yang satu, nanti ada masyarakat di wilayah
lain cemburu dan mengatakan bahwa pemerintah tidak adil‖.
Dari tingkat kesulitan seperti ini, maka dapat dipastikan
bahwa
kriteria menjadi tuan di negeri sendiri seharusnya dievaluasi
kembali.
Penekanan terhadap ―diveluasi kembali‖ tidak berarti mengabaikan
jalur pendidikan. Sebab pendidikan sudah menjadi keputusan dan
janji
para pendiri bangsa bahwa ―mencerdaskan kehiduan bangsa‖ sudah
menjadi tugas pemerintah terhadap masyaraktanya (lihat baid
keempat
UUD 1945).
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam konteks nasional, biaya
pendidikan masih teramat mahal dan sulit dijangkau oleh kaum
papah
di wilayah terpencil. Dalam skala daerah, ada
kebijakan-kebijakan
pemerintah daerah yang sudah menggratiskan biaya pendidikan
namun
masih sebatas SMU/SMK sederajat. Bahkan di Tanah Papua
hak-hak
pendidikan OAP sangat jelas tersalur dalam Undang-Undang
Otonomi
Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Tetapi dalam faktanya, biaya
pendidikan yang tersalur dari UU OTSUS Papua, belum bisa
membiayai seluruh OAP yang mengikuti pendidikan tinggi. Karena
itu,
motifasi terhadap OAP untuk mengikuti pendidikan agar ―bisa
menjadi tuan di negeri sendi