-
33
BAB V
PEMAHAMAN DAN PRAKTEK NILAI HIBUA LAMO OLEH MASYARAKAT
DESA DUMA DAN DESA MAMUYA SEBELUM DAN SESUDAH
PERPECAHAN JEMAAT
5.1. Hibua Lamo Sebagai Nilai Kehidupan.
Dalam pembahasan sub bab ini, peneliti akan membahasnya secara
berurutan dalam
empat (4) sub-sub bab, diantaranya: (1) Pemahaman dan Praktek
Nilai Hibua Lamo dalam
Kehidupan Warga Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya; (2) Nilai
Hibua Lamo dalam
Relasi Anak Muda di Desa Duma dan Desa Mamuya; (3) Nilai Hibua
Lamo dalam Relasi
Warga Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya, dan; (4) Hibua Lamo
dalam Relasi Warga
Jemaat dan Pendeta di Desa Duma dan Desa Mamuya.
5.1.1. Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan
Warga
Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya.
Nilai-nilai Hibua Lamo sebagaimana dipahami oleh warga
masyarakat di wilayah
Galela (termasuk Desa Duma dan Desa Mamuya) dapat ditemukan
melalui berbagai tradisi
yang dipraktekan oleh masyarakat setempat. Adapun tradisi saling
hormat-menghormati
adalah salah satunya. Tradisi hormat-menghormati tersebut
dijelaskan oleh Bapak Y. Etha1,
bahwa:
“Ketika orang sedang duduk maupun berjalan. Orang yang sedang
berjalan
diwajibkan memberi salam kepada siapa saja yang sedang duduk di
depan
rumah. Salam yang harus diucapkan adalah: “e ngohi ta ka hoko
si... atau e
ngohi ta ka hie si...” (saya mau ke Selatan ya... atau saya mau
ke Utara ya).
Sedangkan orang yang duduk wajib menyambut dan membalas salam
itu
dengan mengucapkan “tulu kasi, ma suyu kasi, ma moku kasi”
(mampir
sebentar, mari merokok, mari makan pinang)”.2
Tradisi hormat-menghormati ini merupakan ekspresi nyata dari
pemahaman
masyarakat akan nilai O‟Baliara (Pelihara/Peduli) dan O‟Hayangi
(sayang). Makna dari nilai
O‟Baliara yang terekspresikan melalui tradisi tersebut
menandakan adanya “rasa saling
peduli” diantara mereka. Sedangkan nilai O‟Hayangi melalui
tradisi ini merupakan sikap
“saling sayang” yang diwujudkan melalui „tegur sapa, mampir
walaupun hanya duduk
sebentar saja, dan berbagi cerita tentang seputar kehidupan
mereka‟.
1 Almarhum Bpk.Yosafat Etha seorang Tokoh Masyarakat Desa Duma –
diakses dalam bukunya Sefnat
Hontong tentang Eksistensi Pusara Dodara, 2012. 2 Sapan salam
tersebut digunakan dalam bahasa daerah (suku) Galela.
-
34
Tradisi hormat-menghormati ini nampak dalam pola relasi dan
interaksi yang
terbangun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Adapun
tujuannya adalah untuk saling
menguatkan jalinan persaudaraan dan kekeluargaan diantara
mereka, sehingga melalui tradisi
ini, sikap penghormatan dan penghargaan terhadap sesama manusia
mendapatkan tempatnya.
5.1.2. Nilai Hibua Lamo Dalam Relasi Pergaulan Anak Muda di Desa
Duma dan Desa
Mamuya.
Dalam relasi pergaulan anak muda di Desa Duma dan Desa Mamuya.
Pemahaman
dan praktek nilai Hibua Lamo dapat ditemukan melalui
bentuk-bentuk relasi yang terbangun
diantara pertemanan. Konkretnya berbentuk „sapaan atau panggilan
nama‟ yang berbeda dari
pemberian nama asli oleh orang tua. Misalkan saja, sapaan nama
yang diberikan oleh teman-
teman terhadap saya (peneliti), dimana nama asli saya adalah
Roberto, namun dipanggil
dengan sapaan nama, yakni „Boronto‟3. Kebiasaan dengan sapaan
nama yang dilakukan ini
telah terlembaga dalam jalinan pergaulan atau pertemanan yang
terbangun diantara sesama
teman4. Pemberian nama ini pastinya memiliki alasan-alasan,
diantaranya: melihat ciri-ciri
fisik, keunikan diri, dan hal unik lainnya yang dimiliki oleh
seseorang.
Menurut hemat peneliti, kandungan makna yang terkandung dalam
pola interaksi
(relasi) pergaulan anak muda ini merupakan wujud nyata dari
nilai O‟Hayangi (Sayang).
Pemaknaan nilai O‟Hayangi tersebut diwujudkan melalui „sapaan
atau panggilan nama‟ yang
maknanya adalah ungkapan rasa sayang diantara sesama teman. Hal
ini bertujuan untuk
membangun kedekatan emosional dan kebersamaan. Sehingga,
pergaulan anak muda yang
didasarkan oleh sikap saling menyayangi ini semakin memperkuat
relasi-relasi pertemanan,
mengingat ada trust (kepercayaan) yang terbangun didalamnya.
5.1.3. Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan Warga Jemaat di Desa
Duma dan Desa
Mamuya.
Dalam kehidupan warga jemaat di Desa Duma maupun Desa Mamuya,
warga
setempat mengenal suatu tradisi yang namanya „Babilang‟. Adapun
bentuk dan makna dari
tradisi „Babilang‟ sebagaimana yang dijelaskan oleh Bapak J.
Buladja5, bahwa:
3 ‘Boronto‟ bermakna “gendut” – hal ini dikarenakan peneliti
pada usia remaja secara fisik terlihat gendut dari
teman-teman yang lain. 4 Kebiasaan „sapaan nama‟ tersebut pada
umumnya dipraktekan oleh anak muda di Halmahera Utara - telah
terbangun lama (dari orang tua-tua sebelumnya) – waktu
penelitian dilapangan, peneliti juga masih merasakan
pola tersebut ketika peneliti sedang duduk dan bercerita bersama
teman-teman (anak muda). 5 Beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa
Duma, yang diwawancarai pada Jumat, 26 Mei 2017.
-
35
“Torang di wilayah Galela kanal satu tradisi yang biasanya
torang jaga
bilang “Babilang”. Tradisi „Babilang‟ ini biasanya torang lia
kalu ada
orang mati maupun orang kawin. „Babilang‟ itu maknanya torang
saling
baku peduli, saling baku tolong secara sukarela deng torang pe
sesama.
Babilang biasanya kase baras, doi, deng barang-barang yang dong
butuh.
(Masyarakat di wilayah Galela mengenal suatu tradisi yang
dinamakan
dengan tradisi “Babilang” (dalam bahasa Galela). Tradisi
„Babilang‟ ini
biasanya dipraktekan oleh masyarakat pada saat peristiwa
kematian maupun
pada acara pernikahan. Tradisi “Babilang” tersebut maknanya
adalah sikap
kepedulian dan tolong-menolong (gotong royong) secara sukarela
dengan
sesama yang menimpah peristiwa duka maupun suka. Tradisi
“Babilang”
biasanya dilakukan dalam bentuk memberikan beras, uang, maupun
barang-
barang dibutuhkan)”.
Melihat uraian penjelasan dari Bapak J. Buladja di atas,
ditemukan bahwa ada kaitan
erat antara tradisi “babilang” yang dipraktekan oleh sesama
warga jemaat dengan nilai-nilai
Hibua Lamo yang adalah nilai O Hayangi (Sayang), O Baliara
(Pelihara), dan O, Dora
(Kasih). Tradisi ini merupakan bentuk dari sikap kepedulian,
saling menopang atau
menunjang, serta saling melayani dengan tujuan untuk meringankan
beban bagi keluarga
yang menimpa peristiwa kematian (duka cita) maupun keluarga yang
merayakan acara
pernikahan (suka cita). Berdasarkan hasil observasi lapangan dan
wawancara yang dilakukan
oleh peneliti terhadap beberapa informan kunci di dua lokasi
penelitian (Desa Duma dan
Desa Mamuya), ditemukan bahwa tradisi “Babilang” ini masih
sering dipraktekan oleh warga
jemaat yang ada di dua Desa tersebut, mengingat bahwa latar
belakang kesukuan warga
jemaat adalah masyarakat suku Galela.
Relasi antara sesama warga jemaat dalam bentuk konkrit juga
ditemukan melalui
proses pembangunan gedung gereja6. Tentunya pembangunan gedung
gereja membutuhkan
kerja sama dari seluruh warga jemaat untuk dapat
menyelesaikannya. Adapun bentuk kerja
sama yang dilakukan oleh warga jemaat ini selalu didasarkan pada
penggabungan beberapa
lingkungan layanan (LIP), dengan pembagian tugasnya
masing-masing. Peneliti
menggambarkannya sebagai berikut:
“Warga jemaat laki-laki (kaum muda maupun kaum bapa) melakukan
kerja,
dengan pembagian kerja, diantaranya:LIP I – LIP III bertanggung
jawab
mengambilbahan-bahan seperti bambu (bulu), kayu-kayu besar,
papan, balok
dan bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan guna membangun tiang
penyangga(tiang uatama) bangunan dari gedung gereja; LIP IV –
LIP VI
6 Bentuk kerja sama ini sering dipraketkan oleh sesama warga
jemaat sebelum adanya perpecahan jemaat.
-
36
melakukancampuran dari bahan semen dan pasir untuk dimasukan
dalam
rangka tiang utama tersebut; LIP VII – LIP X melakukan
kerja-kerja untuk
melanjutkan kerja-kerja dari LIP sebelumnya. Sedangkan warga
jemaat
perempuan (kaum mudi maupun kaum ibu) bertugas untuk
mempersiapkan
makanan yang akan di makan oleh warga jemaat laki-laki yang
sedang
bekerja, baik pada waktu siang hari (waktu makan) tepatnya pada
Pukul 12.00
WIB dan pada waktu sore hari yang berkisar pada pukul 15.00 -
17.00 WIB.
Kerja-kerja ini dilakukan secara rutin sebagaimana ditetapkan
melalui jadwal
kerja dan pembagian tugas-tugas menurut LIP yang disepakati
bersama oleh
warga jemaat hingga pembangunan gedung gereja selesai”.7
Gambaran kerja pembangunan gedung gereja oleh warga jemaat
merupakan bentuk
gotong royong, dimana masyarakat setempat mengnyebutnya „Mabari‟
(dalam bahasa
Galela) atau „Hirono‟ (dalam bahasa Tobelo) yang artinya adalah
suatu ajakan untuk
melakukan pekerjaan secara bersama-sama dalam rangka untuk
bahu-membahu atau
bersama-sama meringankan beban kerja yang ada. Adapun tradisi
Mabari dalam kaitanya
dengan pembangunan gedung gereja merupakan wujud nyata dari
nilai O‟Dora (Kasih) dan
O‟Hayangi (Sayang).
O Dora (Kasih) memiliki makna mendalam sebagai dasar
(foundation) hubungan
saling mengasihi antar sesama. Inilah unsur yang mengikat mereka
ke dalam suatu hubungan
yang arahnya membangun hidup bersama. Tentunya pembangunan
gereja memerlukan
semangat dasar. Semangat O‟Dora merupakan bentuk kecintaan atau
rasa saling memiliki
terhadap gedung gereja tersebut, sehingga O‟Dora ini merupakan
nilai dasar yang melekat
pada semua warga jemaat dalam upaya menyelesaikan kerja-kerja
yang ada.
Sedangkan nilai O Hayangi, maknanya sama dengan kata „Sayang‟
yang artinya
masih dekat pula dengan O Dora. Akan tetapi nilai O Hayangi
lebih dekat maknanya pada
tolong-menolong serta saling menjaga perasaan, dan tidak saling
menyakiti. Sifat tolong
menolong itu nampak saat membangun gedung gereja yang bertujuan
untuk meringankan
beban yang begitu besar; rasa saling menjaga perasaan dan tidak
saling menyakiti
mengindikasikan makna bahwa proses pekerjaan seharusnya
dilakukan secara sungguh-
sungguh serta tidak mengharapkan satu sama lain, mengingat semua
warga jemaat memiliki
tugas masing-masing. Sehingga melalui semangat O‟Hayangi itulah,
beban yang begitu besar
mampu dikerjakan dan dituntaskan.
7 Gambaran kerja sama oleh warga jemaat dalam proses pembangunan
gedung gereja Nita Duma. Hasil
wawancara dengan Bpk. J. Buladja pada tanggal 26 Mei 2017.
-
37
5.1.4. Nilai Hibua Lamo Dalam Relasi Antara Warga Jemaat dan
Pendeta di Desa
Duma dan Desa Mamuya.
Dalam relasi persekutuan yang dilakukan oleh warga jemaat dan
pelayan (pendeta),
ditemui adanya kerja sama dalam bentuk kerja „panen buah kelapa‟
(kopra)8. Proses kerja
sama ini dapat digambarkan sebagai berikut:
“Proses panen buah kelapa dimulai dari beberapa tahapan,
yakni:„ba paras‟
(pembersihan rumput disekitar pohon kelapa); “ba nae‟(tahap
pengambilan
buah kelapa, dengan cara memanjat pohon kelapa serta
menjatuhkan
buahnya); „ba balah‟ dan „ba kore‟ (tahapan membelah buah kelapa
dan
mengeluarkan isinya); „ba fufu‟ (tahapan memasak); sampai pada
tahapan
penjualan kopra (kelapa yang telah matang) ke pembeli
(pengusaha)”.
Bentuk kerja kelapa yang dilakukan oleh warga jemaat dan
pimpinan (pendeta) ini
merupakan tradisi „mabari‟9 (ajakan kerja sama). Melihat kerja
kelapa sebagaimana
digambarkan dalam tahapan-tahapan kerja tersebut, menunjukan
kompleksitas dari pekerjaan
yang ada, yang dimulai dari proses pembersihan rumput pada
sekitaran pohon kelapa sampai
pada tahapan untuk penjualan buah kelapa yang telah matang
(kopra). Bentuk kerja ini
memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak.
Selain membutuhkan tenaga kerja yang banyak, dalam prakteknya
pekerjaan ini
membutuhkan kerja sama yang baik, kompak dan tidak saling
mengharapkan diantara tenaga
kerja yang ada, sehingga tiap-tiap tahapan dari kerja tersebut
dapat terselesaikan dengan baik
dan tepat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan bersama.
Tentunya bentuk kerja sama
ini mengindikasikan terbangunnya relasi yang sifatnya harmonis
antara warga jemaat dan
pimpinan jemaat.
Dalam konteks ini, peneliti melihat ada korelasi antara tradisi
mabari dengan nilai
O‟Hayangi yang maknanya tolong-menolong. Perihal tolong menolong
itu nampak dalam
praktek kerja panen buah kelapa (kopra) anatar warga jemaat dan
pimpinan jemaatnya.
Bentuk kerja ini bertujuan untuk meringankan beban besar yang
dihadapi oleh keluarga yang
bersangkutan. Sehingga melalui semangat O‟Hayangi itulah, beban
yang begitu besar mampu
dikerjakan dan diselesaikan secara bersama-sama.
8 Kopra adalah hasil buah kelapa yang telah matang (masak) –
dalam pengalaman hidup, peneliti pernah terlibat
dalam kerja-kerja seperti ini. 9 Tradisi „Mabari‟ adalah suatu
bentuk kerja sama yang dipraktekan oleh masyarakat suku Galela
(termasuk
Desa Duma dan Desa Mamuya).
-
38
5.2. Implikasi Konflik GMIH Dalam Kehidupan Jemaat di Desa
Duma.
Dalam sub bab ini, peneliti membaginya (klasifikasi) dalam empat
(4) sub-sub bab,
yang akan dibahas secara berurutan, diantaranya: (1) Jemaat yang
retak dan Pecah di Desa
Duma; (2) Posisi Hibua Lamo dalam Perpecahan Jemaat (Relasi
Antar Warga dan Pimpinan
Jemaat); (3) Hibua Lamo Menguat Melalui Basis Kekeluargaan;
serta (4) Sentimen
Kelompok (jemaat) Menguat Melalui Klaim Aset Gereja.
5.2.1. Jemaat yang Retak dan Pecah di Desa Duma.
Jemaat Nita Duma yang adalah tonggak awal dari perjalanan
sejarah Kekristenan di
Halmahera diperhadapkan dengan perpecahan jemaat akibat imbas
dari adanya konflik
kepentingan BPHS Sinode GMIH. Adapun kronologis perpecahan
jemaat Di Desa Duma,
dapat digambarkan oleh Bpk. Y.Sumtaki10
, diantaranya bahwa:
“Awalnya konflik internal elit GMIH (Sinode) terasa tegang dan
memanas.
Maka pada saat itu dilakukanlah rapat jemaat11
pada tahun 2013. Hasil dari
rapat jemaat adalah sebagian besar warga jemaat Nita Duma
berpihak
(mendukung) Sinode (GMIH) Pembaharuan. Sehingga muncul
ketidak
puasan dari sebagian kelompok warga jemaat yang tidak mendukung
tersebut
memilih berada pada status quo12
. Akhirnya kelompok yang pro status quo
tersebut memilih untuk membentuk jemaat dengan nama Hendrik
van
Dijken13
dan melakukan aktivitas persekutuan ibadah di lapangan Desa
Duma. Terjasi saling curiga, fitnah, gosip, serta
gesekan-gesekan fisik yang
dilakukan antara warga jemaat yang telah berbeda tersebut.
Pemerintah Desa
(Pemdes) melihat kondisi inidapat memunculkan resiko-resiko
sosial.
Sehingga pada Februari 2014, Pemdes menginisiasi dan
memfasilitasi dalam
bentuk suatu pertemuan bersama yang melibatkan berbagai
pihak
diantaranya: kedua pihak jemaat di Desa Duma, Tokoh Masyarakat
Desa
Duma, Tokoh Pemuda Desa Duma, Tokoh Perempuan, Komandan
Rayon
Militer (Danramil) Galela, Kepala Kepolisian Sektor(Kapolsek)
Galela, dan
Camat. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bersama bahwa
kedua
jemaat mengambil sikap netral, yakni tidak memihak ke Sinode
Lama
maupun Sinode Baru. Namun berlangsungnya persekutuan ibadah oleh
warga
jemaat yang mengambil sikap netral tersebut hanya bertahan dalam
waktu
dua minggu saja. Kelompok yang sebelumnya memisahkan diri,
tetap
mengambil sikap untuk berpihak kembali ke status quo (pro
terhadap BPHS
GMIH Lama). Begitu pula bagi sebagian warga jemaat yang
memutuskan
10
Beliau adalah Kepala Desa Duma – di wawancarai pada 22 Juni
2017. 11
Rapat jemaat dihadiri oleh warga jemaat dan pimpinan jemaat
dengan agenda untuk mengambil sikap dalam
menghadapi dualisme BPHS Sinode GMIH pada waktu itu. 12
Status quo berarti keadaan tetap – tetap pada Sinode Lama (SSD).
13
Jemaat Hendrik van Dijken adalah jemaat pro GMIH Lama (SSD).
-
39
untuk kembali berpihak pada BPHS Sinode GMIH Pembaharuan. Hal
ini
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar – kondisi internal
Sinode yang
sementara dilanda dualisme kepemimpinan”.
Mencermati konten wawancara ini, awalnya peneliti mengapresiasi
sikap bijak dari
warga dan pimpinan jemaat di Desa Duma yang mengadakan forum
bersama (rapat jemaat)
untuk membicarakan masalah yang ada. Hal ini menandakan bahwa
ada kepedulian warga
jemaat untuk turut menggumuli permasalahan yang terjadi dalam
tubuh sinode GMIH.
Adapun yang disayangkan oleh peneliti adalah kenapa warga jemaat
di Desa Duma
bisa terpecah melalui sikap dan dukungan terhadap salah satu
BPHS Sinode yang ada?
Mengapa warga jemaat tidak mengambil sikap untuk berada pada
posisi netral? Mengingat
bahwa warga jemaat Nita Duma sebagai jemaat „mula-mula‟ yang
bisa dikatakan dewasa
dalam ke-Iman-an terhadap Kekristenan. Pertanyaan diatas
tentunya sejalan dengan asumsi
peneliti, bahwa konteks permasalahan yang ada, warga jemaat
seharusnya mampu
memposisikan dirinya secara netral dan tidak terkontaminasi oleh
konflik kepentingan atau
dualisme BPHS sinode GMIH. Tentunya, asumsi dari peneliti ini
bertolak belakang dengan
realitas yang terjadi, dimana fondasi jemaat mula-mula yang
terbangun telah lama tersebut
akhirnya juga mengalami keretakan dan pecah akibat ganasnya
hantaman gelombang konflik
kepentingan yang terjadi ditubuh elit sinodal.
Berselang waktu setahun, warga jemaat yang sebelumnya terpecah
kemudian
menyatakan sikap untuk kembali bersatu dengan posisi netral
tanpa berpihak pada salah satu
Sinode. Keputusan ini dihasilkan melalui forum (pertemuan) yang
dimediasi oleh Pemerintah
Desa (Pemdes) pada Februari 2014. Pernyataan sikap untuk kembali
utuh menjadi satu
jemaat merupakan kesepakatan yang manis dan membawa angin segar
dalam kehidupan
berjemaat di Desa Duma. Namun, potret dari penggalan kalimaat
„cerai, kawin dan cerai lagi‟
merupakan realitas yang mewarnai kehidupan berjemaat di Desa
Duma, dimana berselang
hanya dalam waktu dua minggu, masing-masing jemaat tersebut
bercerai lagi dengan
menyatakan dukungan terhadap masing-masing BPHS Sinode GMIH.
Bagi peneliti, perpecahan jemaat ini kemungkinannya disebabkan
oleh kalimat
terakhir dari hasil wawancara bersama Bpk. Y. Sumtaki, yakni
adanya pengaruh-pengaruh
dari luar. Menurut hemat peneliti, penggalan kalimat terakhir
dari hasil wawancara diatas,
yakni ”pengaruh dari luar”, ditujukan kepada pihak elit gereja
(Sinode) yang sementara
dilanda oleh dualisme kepemimpinan sinode GMIH, yang
masing-masingnya berupaya untuk
-
40
mencari basis dan dukungan dari jemaat-jemaat di wilayah GMIH,
termasuk jemaat di Desa
Duma.
Perpecahan jemaat di Desa Duma tidak berhenti sampai disitu
saja, tepatnya pada Mei
2017 terbentuk lagi jemaat ketiga14
hasil pemisahan diri dari jemaat Nita Duma (GMIH
Pembaharuan) dengan nama jemaat yang sama, yakni jemaat “Nita
Duma” (GMIH Lama).
Adanya empat (4)15
orang Majelis, diantaranya; Bpk. Halen Tamera, Delfis Etha,
Heryanda
Imlalay, dan Nelman Tamera serta 47 jumlah kepala keluarga (KK)
yang ada dalam jemaat
ini. Berdasarkan observasi dilapangan, ditemukan sebuah
Baliho16
yang telah terpasang
(tertanam) tepatnya didepan rumahnya Bapak Halen Tamera,
Sekretariat jemaat berada
tepatnya dirumah Bapak Nelman Tamera, serta aktivitas
persekutuan Ibadah Minggu Pagi
biasanya dilakukan di rumah Bapak Indres Etha.
Sikap dari sebagian kelompok untuk membentuk jemaat ketiga
tersebut mendapatkan
respon dari kedua kelompok warga jemaat yang sebelumnya telah
terpecah. Adapun respon
warga jemaat lainya diantaranya; ada yang mendukung, ada pula
yang tidak mendukung
dengan menimbulkan sikap sinis, marah, perasaan negatif terhadap
kelompok tersebut.
Ditemukan juga letupan-letupan fisik yang ditimbulkan antara
warga jemaat. Berdasarkan
observasi dilapangan, ditemukan bahwa sebagian besar warga
jemaat yang tidak mendukung
adanya jemaat ketiga ini adalah kelompok warga jemaat Nita Duma
(GMIH Pembaharuan).
Berdasarkan kondisi dari dinamika kehidupan bergereja yang ada
di Desa Duma,
peneliti hendak mempertanyakan kepada pihak Pemerintah Desa
dalam satu konten
pertanyaan, yakni: “apa peran yang pernah dilakukan oleh
Pemerintah Desa dalam upaya
untuk meredam resiko-resiko sosial yang mungkin saja akan
terjadi? Adapun respon dari
Bapak Y. Sumtaki saat diwawancarai adalah sebagai berikut:
“Munculnya jemaat ketiga ini tercipta sekat baru, dan
menimbulkan potensi
gesekan (konflik) baru, terlebih khususnya antara warga jemaat
Nita Duma
(GMIH Baru) dan jemaat Nita Duma (GMIH Lama). Gesekan ini baru
saja
14
Jemaat ini terbentuk saat peneliti sedang melakukan penelitian.
Anggota/warga jemaat adalah warga jemaat
Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap keluar dan
mengorganisir dirinya dalam satu jemaat.
Penggunaan nama jemaat yang sama memiliki alasan-alasan
substansi yang nantinya akan dibahas dalam bab
pembahasan selanjutnya. 15
(4) orang Majelis di jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Lama)
awalnya bertugas juga sebagai Majelis di
Jemaat sebelumnya – jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan)
16
Diatas Baliho tersebut bertuliskan; “Dirgahayu GMIH yang ke-68
Tahun, Pimpinan dan Majelis serta Warga
Jemaat GMIH Nita Duma”. Sedangkan dibawah tulisan tersebut
terpampang foto ke-4 anggota Majelis tersebut,
dan ditengahnya adalah Ibu Pdt. S. E. Lasano, sebagai Pimpinan
Jemaat sementara. – Di dokumentasikan pada
22 Juni 2017.
-
41
terjadi, yang menimbulkan perkelahian antara Bapak Ilu Watileo
(warga
jemaat Nita Duma GMIH Pembaharuan) dan Delfis Etha (Majelis
Jemaat
Nita Duma GMIH Lama – Jln. Kemakmuran), pada minggu 18 Juni
2017.
Kami (Pemdes) memediasi penyelesaian masalah tersebut,
dengan
dilakukannya pola pendekatan secara kekeluargaan (adat), karena
memang
tidak ada pendekatan lain. Nah...ternyata mereka (kedua pihak)
bukanlah
orang lain, karena dari sisi adat mereka menyandang status papa
mantu dan
anak mantu yang telah diikat oleh ikatan adat, sehingga keduanya
mengambil
sikap untuk berdamai”.
Melihat realitas kehidupan bergereja yang ada di Desa Duma,
ditemukan bahwa
kondisi masyarakat tidak selalu berada dalam keadaan tetap
(statis), melainkan berada dalam
arus gonjang-ganjing seputar dinamika hidup bergereja. Sampai
sekarang dinamika bergereja
masih berlangsung, dimana klaim kebenaran terjadi diantara
kelompok jemaat yang telah
berbeda tersebut, sehingga pola relasi yang terbangun antara
warga jemaat pun terkesan kaku,
dengan adanya sentimen-sentimen hidup bergereja. Kondisi semacam
ini sangat
mempengaruhi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Potret
dari dinamika kehidupan
bergereja seperti ini akan lebih menambah resiko kerusakan
tatanan sosial yang ada, jika
tidak dibendung oleh nilai-nilai kekeluargaan yang telah
terbangun lama tersebut.
5.2.2. Posisi Hibua Lamo Dalam Perpecahan Jemaat di Desa
Duma.
Tentunya, perpecahan yang terjadi pada jemaat di Desa Duma turut
serta meretakan
dan merusak relasi-relasi sosial. Hal ini dapat dilihat melalui
pola relasi dan interaksi yang
terbangun tidak lagi berjalan secara harmonis; diantaranya
muncul sensitifitas antara sesama
warga jemaat melalui rasa curiga yang mendalam, saling
memfitnah, sehingga dalam hal ini
posisi Hibua Lamo sebagai institusi sosial sebagai basis jalinan
kekeluargaan juga
diperhadapkan dengan keretakan-keretakan. Kondisi keretakan
sosial yang terjadi pada warga
masyarakat di Desa Duma digambarkan oleh Bapak S.P.
Sumtaki17
, yang pada intinya
mengatakan bahwa:
“Kami selaku warga jemaat dan juga selaku tokoh adat sangat
menyesalkan
kenapa perpecahan ini bisa terjadi. Pada waktu awal perpecahan,
hubungan-
hubungan kekeluargaan mulai tercemar akibat adanya perbedaan
jemaat ini.
Hubungan saudara-bersaudara sudah tidak lagi baik seperti
sebelumnya,
muncul rasa saling curiga, rasa saling tidak percaya antara
sesama keluarga
mulai memudar karena alasan berbeda gereja. Waktu awal
perpecahan pun
17
Beliau adalah Tokoh Adat – juga menjadi bagian dari warga jemaat
Nita Duma pro BPHS Sinode GMIH
Pembaharuan.
-
42
ada tindakan-tindakan kekerasan yang pernah terjadi. Namun yang
terpenting
bagi saya, walaupun kita sudah berbeda jemaat (gereja), kita
tetap
mempertahankan yang namanya jalinan kekeluargaan18
, karena torang (kita)
samua yang tinggal di Desa Duma ini adalah keluarga”.
Melihat konten wawancara pada kalimat kedua dan ketiga di atas,
Hibua Lamo yang
memuat nilai-nilai hidup bersama juga mengalami keretakan bahkan
pecah akibat hantaman
konflik internal gereja (jemaat) tersebut. Hubungan-hubugan
kekeluargaan yang mulai
tercemar merupakan indikasi dari retak dan rusaknya bangunan
nilai Hibua Lamo. Pola relasi
yang tidak lagi harmonis bahkan terjadinya gesekan-gesekan fisik
(kekerasan) sangat bertolak
belakang dengan nilai-nilai Hibua Lamo yang menyimpan makna
tentang indahnya hidup
dalam rasa persaudaraan dan keluargaan.
Sedangkan kalimat terkahir dari Bapak S.P. Sumtaki merupakan
suatu bentuk
ungkapan hati, dimana terdapat harapan besar bagi warga
masyarakat di Desa Duma untuk
tetap hidup dan mempertahankan jalinan kekeluargaan guna
dipersatukan dalam kondisi
kekeluargaan yang damai, sebagaimana sebelumnya. Namun, harapan
untuk hidup dan
dipersatukan dalam kondisi yang damai itu telah diceraikan
dengan sikap keberpihakan
warga jemaat terhadap salah satu BPHS GMIH yang dilanda dualisme
kepemimpinan
tersebut. Misalkan, Bapak S.P. Sumtaki sebagai tokoh adat Desa
Duma mampu
memposisikan diri sebagai warga masyarakat Duma, namun pada sisi
yang lain Bapak S.P.
Sumtaki juga merupakan bagian dari warga jemaat Nita Duma (GMIH
Pembaharuan).
Konteks perbedaan jemaat inilah yang dimaksudkan oleh peneliti
sebagai bentuk keretakan
dan perceraian sosial yang terjadi antara sesama warga
masyarakat di Desa Duma.
Adapun perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perpecahan
jemaat dalam
kehidupan sosial di Desa Duma digambarkan oleh Bapak Y. Sumtaki,
yakni bahwa:
“Ia memang sebelum dan setelah adanya persoalan gereja ini
berbeda, walapun
ini persolan agama tetapi punya dampak terhadap
hubungan-hubungan sosial.
Kalau dulunya dalam relasi sosial itu terjalin dengan baik,
artinya tidak ada
sekat-sekat, ketika adanya persoalan gereja seakan-akan ada
tembok pemisah
dalam hal ini semacam sentimen-sentimen organisasi yang
terbangun sehingga
terjadi pengelompokan-pengelompokan berdasarkan atribut
organisasi,
misalnya; klaim kebenaran „saya lama‟ dan „ngana (kamu) baru‟,
saya yang
paling benar dan ngana salah. Dengan sendirinya masyarakat ini
saling
menghakimi; bahwa kelompok kalian salah dan kelompok kami
benar.
18
Jalinan keluarga dalam konteks ini dapat dilihat sistem marga
yang ada di Desa Duma (Lihat bab 4.2.1).
-
43
Ahh...disinilah hubungan-hubungan kekeluargaan mulai renggang.
Jadi
perbedaannya sangat signifikan sebelum dan sesudah persoalan ini
terjadi.
Adapun pengaruhnya ketika saling klaim kebenaran oleh
masing-masing kubu
tersebut, berpengaruh pada proses sehar-hari, yakni sering
terjadi saling
menyinggung, saling memprovokasi. Akibat sentimen tersebut,
meledaklah
resiko sosial dalam bentuk saling memfitnah, baku mumake (saling
memaki
dengan kata-kata kotor), bahkan saling baku pukul (berkelahi).
Dengan
sendirinya laporan ke pihak Pemerintah Desa juga meningkat
terkait dengan
persoalan-persolan sosial ini, oleh karena persoalan gereja,
sehingga persoalan
sosial ini secara statistik terus mengalami peningkatan”.
Gambaran dari kondisi sebelum dan sesudah perpecahan gereja
(jemaat) di Desa
Duma memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Permasalahan
yang terjadi dalam ranah
gereja (agama) telah merambat dan melibas pada hubungan-hubungan
sosial kemasyarakatan.
Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan internal gereja mampu
mempengaruhi serta
melampaui batas-batas dimensi bidang sosial budaya yang
mengakibatkan teretaknya jalinan
kebersamaan dan kekeluargaan yang sudah terbangun sejak lama.
Ditengah-tengah
permasalahan ini, Hibua Lamo yang memuat nilai-nilai ideal yang
arahnya menciptakan
keharmonisan hidup bersosial seakan-akan tidak bermakna lagi.
Terkesan adanya tembok
pemisah, dikarenakan adanya egoistik kelembagaan gereja yang
terbangun diantara kelompok
jemaat tersebut.
5.2.3. Hibua Lamo Menguat Melalui Basis Kekeluargaan (Adat).
Berjalannya waktu, relasi sosial antara kedua kelompok jemaat
yang awalnya
renggang bahkan retak tersebut mulai menemukan titik terangnya.
Hal ini ditandai dengan
terbangunnya kembali pola relasi diantara kedua pimpinan jemaat
(pendeta), seperti yang
diungkapkan oleh Pdt. R. Tukang19
, bahwa:
“Berjalannya waktu 3 tahun perpecahan jemaat ini, saya masuk,
dan saya
berupaya supaya kehadiran saya disini bisa mengubah kondisi ini.
Kita
berupaya supaya keadaan ini bisa kembali seperti semula, seperti
sebelum
perpecahan ini terjadi. Sekalipun kondisi perbaikan ini belum
100 % namun
itu dalam upaya saya, sekalipun telah terbentuk dua bahka tiga
jemaat
(gereja), akan tetapi hubungan sebagai masyarakat itu harus
menjadi baik”.
Adapun komunikasi yang pernah kami lakukan bersama Pdt. M.
Bahagia
selaku pimpinan jemaat Nita Duma, baik itu di rumah sakit waktu
beliau sakit
dan juga pertemuan waktu itu dikantor camat. Bentuk lainnya
ketika ada
19
Beliau adalah Pimpinan Jemaat Hendrik van Dijken (GMIH Lama)
yang mulai bertugas pasca perpecahan
jemaat – diwawancarai pada Minggu 25 Juni 2017.
-
44
peristiwa kematian, kami saling melayat, sama-sama menaruh krans
bunga di
makam/pekuburan sebagai bukti kepedulian diantara kami,
selanjutnya acara
perkawinan kami juga sama-sama hadir. Jadi sepertinya kalau saya
melihat
hubungan komunikasi ini semakin mempererat relasi kami selaku
pimpinan
jemaat dan tentunya ini adalah pertanda semakin membawa hasil
baik dalam
kehidupan berjemaat di Desa Duma ini.”
Hal yang sama juga disampaikan oleh Pdt. M. Bahagia20
yang diwawancarai oleh
peneliti pada tanggal 24 Juni 2017. Beliau menggambarkan
diantaranya adalah:
“Walaupun kami bertugas disini dalam kondisi jemaat telah pecah,
namun
selama kami disini melihat kondisi persekutuan budaya, misalnya
persekutuan
masyarakat saat orang kawin (nikah) atau orang mati (meninggal)
sangat luar
biasa. Orang kawin (menikah) misalnya, masing-masing torang
(kami)
membawa „babilang‟ dalam bentuk finansial”. Memang kondisi
awal
perpecahan tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan pastinya
renggang dan
berpengaruh pada hubungan persekutuan. Namun berselangnya waktu,
kami
yang mulai bertugas juga sudah membangun komunikasi dengan warga
jemaat
maupun pimpinan jemaat Hendrik van Dijken; yakni, baku maso
(saling
bertemu), duduk bersama, dan melakukan aktivitas persekutuan
secara
bersama-sama. Contohnya pada waktu kami merayakan acara
pernikahan anak
kami yang bernama Nona, justru dari jemaat van Dijken juga
datang untuk
babilang dengan memberikan sumbangan. Jadi, memang nilai-nilai
kehidupan
budaya ditemukan mulai membaik, sekalipun kondisi gereja sudah
seperti ini”.
Mencermati hasil wawancara dengan kedua pimpinan jemaat di Desa
Duma tersebut,
dipandang bahwa kondisi sosial masyarakat pasca perpecahan
jemaat bisa dikatakan mulai
membaik kembali yang tergambarkan melalui bentuk perjumpaan
serta pola komunikasi yang
intens dilakukan oleh kedua pimpinan jemaat tersebut. Hal ini
mengindikasikan adanya
keterbukaan antara kedua pimpinan jemaat untuk saling menerima
dan melayani warga
jemaat tanpa memandang latar belakang jemaat yang telah
terpecah. Pola relasi seperti ini
patut untuk diapresiasi dan dipertahankan sehingga dapat
dijadikan contoh oleh warga
jemaat.
Tentunya relasi yang mulai terbangun membaik diantara kedua
pimpinan jemaat
tersebut berpengaruh pula pada membaiknya relasi diantara warga
jemaatnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa nilai-nilai Hibua Lamo masih tetap hidup,
eksis serta posisinya
mulai menguat dalam relasi-relasi sosial pasca perpecahan
jemaat. Jika dikaitkan dengan
perspektif nilai Hibua Lamo, maka pola relasi sebagaimana
tergambarkan melalui hasil
20
Beliau mulai bertugas pada bulan Juli 2015 sebagai Pimpinan
Jemaat (Pendeta) Nita Duma (GMIH
Pembaharuan).
-
45
wawancara oleh kedua pimpinan jemaat tersebut memiliki korelasi
baik dengan nilai O‟Dora
(Kasih) dan O‟Baliara (Pelihara/Peduli).
Dalam konteks ini, nilai O‟Dora yang artinya „Kasih‟ terhadap
sesama manusia
dipraktekan oleh kedua pimpinan jemaat tanpa mengenal perbedaan
latar belakang
jemaatnya. Nilai O‟Dora diwujudkan melalui tradisi babilang,
dimana saat peristiwa
kematian keduanya saling melayat; sama-sama menaruh krans bunga
di makam/pekuburan.
Adapun perjumpaan-perjumpaan serta pola komunikasi yang
terbangun merupakan
keterpanggilan akan sikap saling melayani diantara kedua
pimpinan jemaat tersebut.
Sehingga, dalam konteks yang demikian kedua jemaat melalui
pimpinan jemaatnya diikat
dalam suatu jalinan hubungan yang bisa dikatakan harmonis.
Nilai O‟Baliara diartikan sebagai sikap tolong-menolong yang
bertujuan untuk
meringankan beban orang lain. Adapun perwujudan dari nilai
O‟Baliara dapat ditemui
melalui tradisi babilang, dimana warga jemaat jemaat Hendrik van
Dijken juga turut
mendukung dan meringankan beban dalam perayaan pernikahan
seorang anak perempuan
dari Pimpinan Jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Sehingga
melalui tradisi babilang
inilah semua warga jemaat di Desa Duma yang telah berbeda jemaat
(gereja) dapat
dipertemukan dan dipersatukan.
Selama melakukan observasi dilapangan, peneliti melihat bahwa
pola relasi dan
interaksi yang terbangun melalui tradisi babilang dalam
peristiwa kematian maupun
pernikahan oleh keluarga tertentu bisa dikatakan cukup harmonis,
dimana perjumpaan-
perjumpaan yang melibatkan dua kelompok jemaat tersebut semacam
tidak ada persoalan
atau gesekan yang sebelumnya pernah terjadi.21
5.2.4. Sentimen Kelompok (Jemaat) Menguat Melalui Basis Aset
Gereja.
Relasi sosial warga jemaat yang semakin menguat sebagaimana
terjelaskan dalam sub
bab (5.2.3), tentunya tidak selalu berada dalam keadaan tetap
(statis). Dinamika kehidupan
bergereja kembali memanas dengan adanya aksi tuntutan yang
dilakukan oleh jemaat
Hendrik van Dijken. Aksi tuntutan tersebut berlokasi didepan
gereja miliki jemaat Hendrik
van Dijekan, tepatnya pada tanggal 13 Mei 2017. Adapun tuntutan
dari warga jemaat adalah
menuntut kepemilikan aset gereja (GMIH) di Desa Duma,
diantaranya adalah Gedung Gereja
Nita Duma dan Tanjung Wisata Duma yang sekarang ini digunakan
dan dikelola oleh jemaat
21
Hasil observasi lapangan – peneliti melihat aktifitas (interaksi
dan relasi) masyarakat yang berbeda jemaat saat
peristiwa kematian maupun pernikahan.
-
46
Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Situasi aksi kelompok (jemaat)
pada saat itu bisa
digambarkan oleh peneliti, diantaranya:
“Ketika mendengar suara keributan dengan nada yang lantang dan
keras,
peneliti keluar dari rumah dan mendekatkan diri pada sumber
suara keributan
tersebut. Jarak dari rumah peneliti ke lokasi aksi kelompok
tersebut berjarak
sekitar 100 Meter. Peneliti mulai berjalan dan mendapatkan massa
(warga
jemaat) yang kelihatannya cukup banyak sedang berkumpul ramai
dalam
badan jalan tepatnya didepan gereja Hendrik van Dijken dengan
posisi
menghadap ke arah Selatan Desa Duma atau menghadap ke arah
gedung
gereja jemaat Nita Duma. Adapun yang dilihat peneliti saat aksi
berlangsung
adalah, warga jemaat mengelilingi Bapak Lodewik Sumtaki yang
sedang
berorasi dalam posisi berdiri didalam mobil “open cap” disertai
dengan
memegang sebuah “Mic” dan “TOA” sebagai alat pengeras suara.
Adapun 4
orang (ibu-ibu) yang sedang memegang bendera Merah Putih berdiri
di
samping kanannya Bapak L. Sumtaki yang sangat lantang
menyuarakan
tuntutan yang ada. Adapun pihak aparat keamanan (Tentara dan
Polisi)
berada didepan para kelompok aksit tersebut. Peneliti dengan
serius
mendengar tuntuan yang disampaikan melalui orasi dari para
kelompok aksi
tersebut. Namun yang terdengar sepintas ditelinga peneliti
adalah: „pemilik
sah aset, yakni gedung gereja Nita Duma dan Tanjung Wisata
adalah jemaat
Hendrik vann Dijken‟. Tuntutan tersebut disuarakan dan
diteriakan kepada
pihak jemaat Nita Duma (Pembaharuan), disertai dengan
ungkapan-ungkapan
akan melakukan tindakan penyegelan gedung gereja Nita Duma,
sebagaimana yang di klaim oleh kelompok aksi tersebut.
Pengklaiman akan
aset gereja tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa jemaat Nita
Duma
yang secara organisatoris berada dibawah payung Sinode GMIH
Pembaharuan (BPHS GMIH Hasil SSI) telah „kalah‟ dan dinyatakan
ilegal,
sehingga yang pantas (sah) menggunakan aset GMIH adalah jemaat
Hendrik
van Dijken selaku jemaat yang sah dibawah payung Sinode GMIH
Jalan
Kemakmuran – Tobelo”.
Melihat kondisi aksi tuntutan kelompok (jemaat) tersebut, maka
Bapak Y. Sumtaki
selaku Kepala Desa dalam responnya mengatakan bahwa:
“Kelompok jemaat Hendrik van Dijken yang melakukan aksi tuntutan
pada
waktu itu di inisiasi oleh Bapak L. Sumtaki, dengan rencana atau
maksud untuk
mengambil alih gereja Nita Duma dan Tanjung Wisata sebagai aset
GMIH atas
dasar keputusan Pengadilan Negeri Tobelo. Aksi ini kan pake TOA
jadi nada-
nadanya ini banyak menyinggung. Dalam hal ini, memang ada
orang-orang
tertentu yang masih berkeingingan untk merusak tatanan sosial
yang mulai
terjalin kembali”.
-
47
Sebagaimana ungkapan Bapak Y. Sumtaki, aksi kelompok (jemaat)
tersebut
didasarkan pada keputusan Pengadilan Negeri Tobelo, dimana
menurut kelompok aksi,
bahwa yang sah menggunakan dan mengelola aset-aset GMIH adalah
Sinode GMIH Lama –
Jln. Kemakmuran Tobelo, yang dalam hal ini adalah jemaat Hendrik
van Dijken. Bagi
peneliti, terlepas dari benar atau tidaknya tuntutan tersebut,
siapa yang pantas atau tidaknya
menggunakan aset GMIH yang ada, bahwa aspirasi (tuntutan) ada
baiknya jika ditempatkan
dan disampaikan melalui suatu wadah yang sifatnya lebih etis
lagi. Misalkan saja, melalui
“pertemuan bersama” dimana pihak Pemerintah Desa sebagai
mediator dengan melibatkan
pihak penuntut dan pihak yang dituntut. Sehingga aspirasi
tersebut tidak melebar dan
menimbulkan bias tafsiran oleh pihak yang menjadi sasaran aksi
ini, mengingat ada muatan
kata-kata yang kurang enak didengar dalam seruan orasi
tersebut.
Menjadi pertanyaan adalah apa makna gedung Gereja dan Tanjung
Wisata bagi warga
jemaat di Desa Duma? sehingga melalui aset tersebut menimbulkan
sentimen-sentimen yang
kemudian meledak dalam bentuk aksi tuntutan oleh kelompok warga
jemaat Hendrik van
Dijken. Bagi peneliti, terlepas dari aspek legalitas terkait
siapa yang berhak menggunakan
dan mengelola aset GMIH di Desa Duma, „gedung gereja dan tanjung
wisata‟ memiliki
makna tersendiri bagi kehidupan warga jemaat di Desa Duma.
Gedung Gereja Nita Duma merupakan bangunan yang penting bagi
warga jemaat di
Desa Duma. Mengingat bahwa sebelum perpecahan jemaat, semua
warga jemaat terorganisir
dalam satu jemaat, yaitu jemaat Nita Duma. Seluruh bentuk
aktivitas persekutuan ibadah
dilaksanakan dalam gedung gereja Nita Duma ini. Proses
pembangunan gedung gereja Nita
Duma, yang mulai dibangun pada saat „pemulangan‟22
sampai ditahbiskannya (diresmikan)
pada tanggal 19 Juni 201323
adalah hasil upaya kerja sama dan tanggung jawab oleh
seluruh
warga jemaat pada saat itu. Adapun tanggung jawab finansial
(uang)24
yang dibebankan
kepada setiap kepala keluarga (KK) serta adanya sistem pembagian
kerja berdasarkan
lingkungan pelayanan (LIP) pada waktu itu25
. Gedung gereja Nita Duma adalah buah dari
upaya dan kerja keras seluruh warga jemaat di Desa Duma,
sehingga bisa dikatakan bahwa
melalui aksi tuntutan kelompok (jemaat) tersebut, terselip suatu
sikap bahwa gedung gereja
Nita Duma adalah “milik kita bersama”.
22
Pemulangan adalah kembalinya warga jemaat Nita Duma dari tempat
pengungsian di Tobelo pasca konflik
Agama (Islam-Kristen), yakni pada oktober 2003. 23
Tanggal 19 Juni merupakan moment peringatan Pekabaran Injil oleh
Hendrik van Dijken pada tahun 1866. 24
Tanggung jawab Finansial (uang) dilaksanakan dalam 6 tahap.
Besaran uang dari masing-masing KK
berbeda-beda tergantung dari latar belakang ekonomi – PNS,
pemiliki lahan (inikator besar atau kecil), dll. 25
Hasil wawancara bersama Ibu H. Djodjaga melalui via Hand Phone -
pada 20 Juli 2017, pukul 14.00 WIB
-
48
Sedangkan tanjung wisata memiliki nilai sejarah yang sifatnya
penting bagi
masyarakat setempat, dimana pada lokasi ini terdapat beberapa
pohon mangga yang
merupakan bentuk peninggalam sejarah yang ditanam langsung oleh
Hendrik van Dijken
pada tahun 1866. Pada sisi lainnya, tanjung wisata Duma
merupakan salah satu tempat
wisata di Halmahera Utara, yang cukup ramai dikunjungi oleh para
wisatawan, baik
wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Sehingga tanjung
wisata Duma merupakan
tempat yang strategis sekaligus potensial bagi masyarakat di
Desa Duma. Bertolak dari hal
itulah, maka tanjung wisata Duma merupakan suatu “basis aset”
yang menimbulkan
sentimen-sentimen antara kelompok (jemaat) tersebut.
Gambar 5.2.4.
Aksi Tuntutan kelompok (Jemaat) Hendrik van Dijken
Dokumentasi foto oleh peneliti pada 13 Mei 2017
5.3. Implikasi Konflik GMIH Pada Kehidupan Jemaat di Desa
Mamuya.
Dalam sub bab ini, peneliti membaginya dalam tiga (3) sub-sub
bab, yang akan
dibahas secara berurutan, diantaranya: (1) Realitas Konflik di
Mamuya; (2) Posisi Hibua
Lamo dalam Konflik Jemaat Imanuel Mamuya; Sentimen Agama
(Gereja) Menguat
Menghancurkan Nilai „Rumah Bersama‟, serta; (3) Eksodus sebagian
Warga Jemaat.
5.3.1. Realitas Perpecahan Jemaat di Desa Mamuya.
Konflik kepentingan dan perpecahan pada tubuh BPHS GMIH berimbas
pula pada
terpecahnya kehidupan berjemaat (bergereja) di Desa Mamuya.
Indikasi dari perpecahan
-
49
jemaat ini ditandai dengan adanya dua jemaat, yaitu jemaat
“Imanuel Mamuya” (pro BPHS
GMIH Lama) dan jemaat “Imanuel Baru Mamuya” (pro BPHS GMIH
Pembaharuan).
Adapun perbandingan kondisi sebelum dan sesudah adanya
perpecahan jemaat di Desa
Mamuya tersebut dapat digambarkan oleh Bpk. Kalvin Kololi26
, bahwa:
“Berbicara tentang kondisi sebelum dan sesudah perpecahan,
secara
kekeluargaan dulunya memang luar biasa sangat akrab sekali,
ketika terjadi
perpecahan soal gereja ini justru perbedaanya sangat jauh.
Kondisinya tidak
seperti dulu lagi. Saya bisa katakan bahwa perpecahan gereja
yang parah itu
ada di Mamuya ini. Sekian lama kondisi seperti ini tidak pernah
terjadi dan
kondisinya tidak seburuk seperti ini”.
Perpecahan jemaat ini tentunya mencerai-beraikan kehidupan warga
jemaat yang
sebelumnya tergabung dalam satu jemaat (gereja). Perceraian pada
ruang lingkup bergereja
turut menyumbang (berdampak) pada retaknya hubungan-hubungan
sosial yang tidak lagi
harmonis seperti sebelumnya. Adapun bentuk kekerasan fisik,
pengrusakan rumah dan
indikasi pembakaran satu rumah milik warga jemaat Imanuel Baru
merupakan hal yang tidak
dihindarkan dari adanya perpecahan jemaat di Desa Mamuya.
Kondisi ini lebih jelasnya akan
dibahas secara mendalam pada sub bab berikutnya.
Gambar 5.3.1.
Salah Satu Rumah Rusak di Desa Mamuya.
Dokumentasi foto oleh peneliti pada 4 Mei 2017
26
Beliau adalah tokoh adat Desa Mamuya, dan juga sebagai warga
jemaat Imanuel Mamuya –diwawancarai
pada tanggal 3 Mei 2017.
-
50
5.3.2. Posisi Hibua Lamo Dalam Konflik Jemaat di Desa Mamuya
Kondisi perpecahan jemaat turut meretakan dan merusak jalinan
relasi antara warga
jemaat serta saudara-bersaudara di Desa Mamuya. Jalinan
relasi-relasi yang retak dan rusak
tersebut digambarkan oleh Bapak Kalvin Kololi, bahwa:
”Persoalan ini membuat hubungan antara orang tua dan anak sudah
kurang
baik; baik itu papa (ayah) dengan anak , mama (Ibu) dengan anak
sudah tidak
mengenal lagi; Baku pukul (Saling berkelahi), baku dusu (kejar
mengejar)
dengan menggunakan parang. Ada juga tindakan-tindakan
pengrusakan dan
pembakaran rumah. Setelah konflik mereka (warga jemaat Imanuel
Baru
Mamuya) melaporkan diri untuk keluar dari masyarakat Desa
Mamuya, dan
sekarang menetap di wilayah Desa Wari”.
Dalam konteks perpecahan jemaat yang menimbulkan bentuk-bentuk
kekerasan
antara warga jemaat, posisi nilai „hidup bersama‟ (Hibua Lamo)
melalui jalinan “orang
bersaudara” atau “kekeluargaan” di Desa Mamuya juga mengalami
goncangan, bahkan
mengalami kerusakan akibat ganasnya hantaman konflik gereja
(jemaat) tersebut. Adapun
rusaknya jalinan kekeluargaan dapat dilihat pada tidak ada lagi
sikap saling menghargai dan
menghormati antara anak dan orang tua.
Pada posisi ini slogan Ngone O Ria de O Nongoru yang artinya
„kita semua
bersaudara‟ seakan-akan tidak bermakna lagi. Eksodusnya sebagian
warga masyarakat yang
tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya ke wilayah (desa)
lain menandakan bahwa
jalinan kekeluargaan di Desa Mamuya diperhadapkan dengan kondisi
yang fatal dan
memprihatinkan. Hal ini lebih jelasnya akan dibahas dalam sub
bab berikutnya.
5.3.3. Eksodus Sebagian Warga Jemaat Imanuel Mamuya
Adanya perpecahan dan tindakan-tindakan kekerasan fisik antara
kelompok (jemaat)
membuat sebagian warga masyarakat di Desa Mamuya yang tergabung
dalam jemaat
Imanuel Baru Mamuya memutuskan untuk keluar dan berdomisili di
salah satu wilayah RT –
Desa Wari. Adapun yang menjadi alasan kelompok jemaat tersebut
adalah sebagaimana yang
di jelaskan oleh Bapak. Cornelius Jai27
, sebagai berikut:
“Kami yang meminta sendiri kepada pihak Kepala Desa selaku
Pemerintah
Desa. Alasannya bahwa mereka (warga jemaat Imanuel Mamuya)
tidak
menginjinkan kami membangun gereja di Desa Mamuya; dapat aturan
dari
27
Beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa Mamuya dan juga warga jemaat
Imanuel Baru Mamuya – Sekarang
ditugaskan sebagai Ketua RT. Diwawancarai pada 4 Mei 2017.
-
51
mana sehingga kami tidak bisa membangun gereja di wilayah Desa
Mamuya?
Ini yang kitorang (kami) tidak suka sekali. Pemerintah Desa pun
dilematis
terhadap hal ini. Maka dari itu, kami tidak senang, dan kami
tetap
mempertahankan sikap kami untuk tidak mau lagi bergabung dengan
saudara-
saudara kita disana dalam satu gereja. Yang namanya prinsip
tetaplah prinsip,
jangan mengekor dan lain sebagainya. Maka pada akhirnya kami
sudah
tinggal disini, dan kami sudah berdomisili disini. Sekarang kami
disini
menjadi satu RT sebagai bagian dari wilayah administratif Desa
Wari. Kami
disini sekitar 52 KK28
. Harapan dan rencana kedepan kami, kami akan
berupaya untuk membentuk satu Desa defenitif”.
Adapun alasan-alasan lainnya yang membuat sebagian warga jemaat
Imanuel
Mamuya tidak mau kembali lagi untuk tinggal di wilayah Desa
Mamuya disampaikan oleh
Bapak M. Selong,29
adalah sebagai berikut:
“Saya salah satunya korban dari peristiwa ini. Rumah saya
hancur; kaca-kaca
rumah habis, seng rumah juga „tatarabe” (robek) akibat
dihantam
menggunakan batu-batu besar. Dan rumah itu sudah saya jual
kepada saudara
saya. „Hati sakit‟ kalau tinggal dibawah (Desa Mamuya) deng
lia-lia (dengn
melihat kondisi rumah yang ada). Jadi memang niat untuk tinggal
di Mamuya
itu so tarada sudah (sudah tidak ada). „Kasihan...kitorang lihat
anak-anak
sekolah kong kamari ancam pa torang, ngoni tra inga so jadi
orang itu kalau
sapa kong? Yang urus kamu kalau bukan torang ini?‟
(kasihan...saya lihat
anak-anak sekolah datang dan ancam sama kami, kalian tidak ingat
siapa yang
membuat kalian sampai sukses sekarang ini? Yang mengurusi kalian
kalau
bukan kami ini?) Hanya karena masalah gereja kita harus
begini?.”
Mencermati alasan-alasan yang di sampaikan oleh Bpk. C. Jai dan
Bpk. M. Selong di
atas, bahwa perpecahan dan tindakan kekerasan fisik yang terjadi
diantara kedua warga
jemaat merupakan peristiwa pahit yang sangat dirasakan oleh
warga jemaat Imanuel Baru
Mamuya. Munculnya ungkapan rasa sakit hati serta trauma tersebut
merupakan potret dari
kekecewaan mereka atas semua tindakan-tindakan kekerasan yang
dialami. Selain itu, alasan
tidak diberikan restu oleh warga jemaat Imanuel Mamuya untuk
dibangunnya gedung gereja
milik jemaat Imanuel Baru Mamuya memperkuat sikap mereka untuk
tidak berkeinginan
kembali, sehinga memilih tinggal dan berdomisili ditempat
lain.
Berdasarkan observasi lokasi tempat tinggal dari warga jemaat
Imanuel Baru
Mamuya, peneliti melihat sudah dibangunnya rumah-rumah warga,
adanya sarana dan
28
Jumlah 52 KK tersebut sudah ditambahkan dengan beberapa KK dari
jemaat Desa Ruko yang mengalami
kasus yang sama. 29
Beliau adalah seorang Guru dan juga warga jemaat Imanuel Baru
Mamuya – di wawancarai pada tanggal 4
Mei 2017.
-
52
prasarana umum; diantaranya berupa 1 gedung Sekolah Dasar (SD)
darurat, 1 gedung gereja
darurat Imanuel Baru Mamuya, serta sementara berlangsungnya
pembangunan 1 gedung
Gereja jemaat Imanuel Baru Mamuya.
Gambar 5.3.3.
Bangunan Gereja Darurat, Bangunan SD Darurat, dan Proses
Pembangunan Gedung Gereja
Milik Jemaat Imanuel Mamuya
Dokumentasi oleh peneliti pada 4 Mei 2017
Bapak Sefnat Dawile selaku Kepala Desa Mamuya yang diwawancarai
pada tanggal 4
Mey 2017 juga memberikan informasi seputar warganya yang
memutuskan untuk tidak lagi
berkeinginan pulang ke Desa Mamuya, diantaranya sebagai
berikut:
“Berkaitan dengan hal itu adalah pilihan dan hak sebagai
masyarakat untuk
tinggal dimana saja, dan itu pilihan mereka dan sudah ada
permintaan
pemutasian penduduk secara kolektif. Jadi kami sudah
mengeluarkan surat
mutasi penduduk, dan kurang lebih 40 KK sudah masuk di Desa
Wari. Dan
„terus terang‟ ini sebuah kerugian, kerugian besar untuk kami.
Hal ini
berpengaruh terhadap hubungan saudara-bersaudara, dimana
saudara-saudara
kami meninggalkan rumah dan kampung (desa) ini. Alasan lainnya,
mereka
trauma dan sakit hati, karena ada 10 rumah milik warga jemaat
Imanuel Baru
Mamuya yang hancur dan 1 rumah terbakar pasca 1 tahun perpecahan
itu
terjadi. Penyebab rumah terbakar itu kami tidak tahu, karena
waktu itu lampu
mati dan tidak orang didalamnya, serta tidak ada titik api yang
coslet akibat
-
53
listrik karena kan lampu mati, namun kecurigaannya dibakar,
tetapi
pelakunya kami tidak tahu sampai sekarang ini. Awalnya ada 67 KK
yang
keluar, dan yang kembali hampir 20 KK, sisanya ada sekitar 40-an
lebih KK
masih tetap bertahan. Tetapi sekarang hubungan sudah mulai
membaik,
dimana ada acara malam penghiburan bagi keluarga yang lagi
berduka itu
sudah mulai saling „baku maso‟ (bertemu). Namun kami tetap
memiliki
kerinduan besar kalau saudara-saudara kami bisa kembali, kami
terima
sebagai keluarga dan masyarakat, karena mutasi penduduk ini kan
tidak
mutlak mereka menetap seumur hidup ditempat itu. Jika suatu saat
kalau
mereka menginginkan untuk mutasi penduduk di desa tersebut, dan
kembali
bersama kami, kami tetap menerima mereka, karena mereka adalah
keluarga
kami, dan juga rumah mereka masih ada disini”.
Adapun upaya-upaya yang pernah dilakukan, baik oleh Pemerintah
Desa melalui
pertemuan, serta pendekatan oleh sesama keluarga dari jemaat
Imanuel Mamuya (GMIH
Lama) dengan maksud untuk bernegosiasi memulangkan mereka.
Hasilnya, ada yang mau
kembali dengan jumlah sedikit, namun dalam jumlah yang besar,
yakni sekitar 40-an KK
mengambil sikap untuk tidak mau kembali lagi ke Mamuya.
Sikap untuk tidak berkeinginann kembali lagi di Desa Mamuya
didasarkan karena
rasa trauma dan sakit hati yang menimpa mereka. Adapun tidak di
izinkan membangun
rumah ibadah (gereja) merupakan alasan lainnya yang turut
memperkuat sikap mereka untuk
tidak berkeingingan kembali lagi. Tentunya, eksodusnya sebagian
warga masyarakat Desa
Mamuya merupakan tingkat kefatalan yang tinggi akibat konflik
dan perpecahan jemaat di
Desa Mamuya tersebut.