-
73
BAB V
KEPEMIMPINAN PETANI:
INOVASI DAN STRATEGI PETANI MENYIASATI
MUSIM
Pengantar
Bentuk penyiasatan petani dalam menghadapi puncak hujan
yang dilakukan dengan menggeser waktu tanam merupakan upaya
petani dalam beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Menggeser waktu tanam pada musim tanam pertama bertujuan
untuk
menghindari genangan air (banjir) puncak hujan yang terjadi
pada
bulan Januari-Pebruari. Kemampuan petani melalui upaya
menggeser
waktu tanam tersebut berpengaruh terhadap pranata sosial
untuk
memastikan bahwa petani memiliki modal simbolik yang melekat
dan disertai modal ekonomi maupun modal sosial dalam
membangun
tindakan kolektif.
Bab ini merupakan analisa dari gambaran tanggapan dan
kebutuhan petani dalam beradaptasi menghadapi risiko iklim
dan
bencana banjir yang selama ini memengaruhi sumber
penghidupan
petani Desa Baturejo.
Pengetahuan Petani
Petani Desa Baturejo sudah tidak menggunakan pranata mangsa
sebagai pedoman dalam pengelolaan lahan pertanian karena ada
perubahan lingkungan yang telah bergeser seperti musim tanam
yang diatur oleh pemerintah yang sudah menyesuaikan dengan
turunnya curah hujan karena sudah tidak tepat lagi
dipergunakan
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
74
sebagai dalam pedoman dalam menentukan musim tanam.1 Sebelum
tahun 2001, Sumono, salah seorang petani 2 menggunakan pranata
mangsa tetapi gagal karena hanya areal miliknya saja yang dipakai
dalam menanam padi pada musim tanam pertama karena habis
dimakan oleh hama tikus atau Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) lainnya.
Tidak ada Sekolah Lapangan Iklim yang dikembangkan
Departemen Pertanian di wilayah ini. Ketergantungan petani
terhadap sistem irigasi pompa menjadikan petani tidak
merasakan
perbedaan iklim dalam pengelolaan lahan pertanian karena
kebutuhan air dalam memulai musim tanam dapat dipasok dari
pintu
air Klambu Kanan dan sumber air dari pegunungan Kendeng yang
masuk di Sungai Tus dan dipompa oleh petani untuk digunakan
dalam pengelolaan lahan pertaniannya.
Sebelum tahun 2007, petani memiliki pedoman bahwa bahwa
banjir besar bulan Desember-Januari-Pebruari dan memiliki siklus
8
tahunan. Pedoman tersebut digunakan petani untuk
mengantisipasi
kegagalan panen sehingga kerugian panen dapat diminimalisir.
Tetapi
pada 2 tahun terakhir petani merasakan perbedaan intensitas
banjir
karena pada banjir yang terjadi di musim tersebut terjadi lebih
awal
dan lebih lama surutnya. Banjir juga terjadi beberapa kali dalam
satu
kurun waktu (Desember-Pebruari) sehingga kegagalan panen
petani
sangat tinggi. Meskipun petani memiliki pengetahuan bencana
banjir
dengan membaca siklus delapan (8) tahunan, enam belas (16)
tahunan terjadi bencana bencana yang besar, apalagi jika
tahun
Muharam (1 Sura) jatuh pada hari Jumat Wage (Penanggalan
Jawa)
1 Pengetahuan peralihan musim penghujan ke musim kemarau
ditandai dengan berbunganya pohon randu atau posisi matahari
bergeser ke utara tetapi memasuki musim penghujan petani merasakan
angin kencang atau angin besar. Sedangkan bergesernya musim
penghujan dengan siklus 8 tahunan atau 12 tahunan ditandai dengan
bertelurnya ikan bethik (mujair) pada musim kemarau atau anakan
pohon bambu melengkung seperti pancing (bungcut, dalam bahasa jawa)
2 Menurut penuturan Tanto Pursidi, Sumono adalah anggota Kelompok
Tani Sido Makmur yang memiliki pekerjaan sebagai TNI di Koramil
Sukolilo dan pernah mengajak bentrok karena rebutan air.
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
75
pasti pada tahun masehi tersebut akan terjadi bencana banjir
yang
cukup besar, tetapi sudah mengabaikan pengetahuan tersebut
karena
sejak dua (2) tahun terakhir, sudah berulang kali banjir
besar
menenggelamkan lahan pertanian dan merusak hasil pertanian
mereka (Tanto Pursidi, Gunretno dan Samidjan).
Pengetahuan pranata mangsa sudah tidak bisa digunakan
kembali karena menurut penuturan Tanto Pursidi, iklim udah
tidak
bisa dikenali.
“…..saiki angel niteni kapan mulai wayah ketigo opo wayah
penghujan….mbiyen petani iso niteni mergo sifat udan isih podo
terus …lah saiki angel…..wayahe wis kacau tenan…”
(“....sekarang sulit mencermati kapam dimulaini musim kemarau
atau musim penghujan...dulu petani bisa mencermati akrena sifat
hujan masih selalu sama...kalau sekarang sulit....musim sudah
benar-benar kacau...”) (Tanto Pursidi)
Kekacauan musim atau ketidakpastian musim tersebut
mengakibatkan petani tidak bisa menggunakan pedoman
pengetahuan tradisional dalam menentukan musim tanam tetapi
karakteristik hujan meskipun berubah, petani bisa memastikan
bahwa pada tahun baru china yang jatuh pada bulan pebruari,
hamparan pertanian Desa Baturejo mengalami genangan air yang
cukup tinggi karena puncak hujan terjadi pada bulan
tersebut.
Kekacauan musim juga sering terjadi meskipun petani bisa
memastikan pada bulan Pebruari terjadi genangan air pada
puncak
hujan, karena terkadang sifat dan intensitas hujan yang
berubah-ubah
selama akhir Desember sampai Maret, seperti yang dialami
oleh
Kelompok Tani Sido Rukun pada awal tahun 2014.
Pengetahuan petani menggunakan pengetahuan lokal (titen) atas
pengaruh genangan air pada puncak hujan yang terjadi pasa awal
tahun (Januari-Maret) dan mengenal sistem pompa untuk
mendapatkan pasokan air dari Sungai Tus, menggantikan sistem
irigasi dan curah hujan yang selalu gagal karena genangan air
pada
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
76
waktu padi sudah mulai dipanen. Seperti pernyataan Karno
(2014),
menyebutkan:
“…..koyo awal tahun wingi (2014), bengi mbeleh pithik dienggo
syukuran arep panen, esuk parine wis ora iso dipanen kerono keleb
banyu….”
(“...seperti tahun kemarin (2014), malam memotong ayam untuk
syukuran panen padi, paginya padi sudah tidak bisa dipanen karena
tergenang air (banjir...”)(Karno)
Petani bergantung pada sistem pengarian irigasi yang
dibangun dari sistem irigasi Klambu Kanan yang mengambil
jaringan
dari Bendungan Wegil. Tetapi air tersebut tidak bisa dinikmati
pada
hamparan pertanian Desa Baturejo karena pasokan air yang
kurang
dan selalu terlambat. Keterlambatan tersebut, menyebabkan
petani
berhadapan dengan OPT terutama tikus dan genangan air pada
puncak hujan ketika padi sudah mulai atau akan dipanen.
Kondisi
tersebut berulang sehingga petani beralih menggunakan air
yang
berasal dari JU II yang dikenal sebagai Sungai Tus aau sungai
buangan. Sungi tus ini juga mendapatkan pasokan air dari
beberapa
mata air di Pegunungan Kendeng (kawasan karst) yang saat ini
terancam oleh rencana penambangan dan pembangunan pabrik
semen yng dilakukan oleh PT. Semen Gresik Tbk., maupun PT.
Indocement.
Pemimpin sebagai Aktor Utama Perubahan
Dalam menggeser musim tanam pertama seperti yang
dilakukan oleh Kelompok Tani Sido Makmur pada awal tahun
2007,
pengaruh pemimpin dalam menyiasati genangan air pada puncak
hujan menjadi penting. Kepercayaan yang diberikan anggota
kelompok pada pemimpin untuk mampu menyiasati musim tanam
pertama merupakan modal sosial keanggotaan petani yang
terikat
oleh hamparan dari sistem irigasi yang ada. Tidak hanya
pengetahuan
saja tetapi inovasi dan jaringan antar kelompok tani, posisi
tawar
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
77
dengan PPL dan dinas pertanian Peternakan, serta kemampuan
mengorganisir petani.
Penentuan pola tanam diinisiasi ditentukan oleh Pengurus
Kelompok Tani 3 yang sekaligus mengelola pompa. Mekanisme
penentuan pola tanam pada musim tanam pertama ditandai
dengan
pembasahan lahan dengan melalui pengoperasian mesin pompa
melalui irigasi4. Pengurus Pengelola pompa5 memiliki
kewenangan
dalam menentukan dimulainya jadwal tanam dengan membasahi
lahan. Pengelola pompa dipilih oleh anggota kelompok tani
melalui
rapat anggota dengan agenda pemilihan kepengurusan selama 1
periode (3 tahun). Sehingga penentuan dimulainya musim tanam
sangat dipengaruhi oleh Pengelola Pompa sebagai pemimpin
atau
tokoh dalam kelompok tani.
Pengalaman Tanto Pursidi ketika menjadi Ketua Kelompok
Tani SidoMakmur tahun 2004-2007, mekanisme pengambilan
keputusan yang dilakukan pada pertengahan atau akhir bulan
agustus
3 Kelompok Tani dibentuk pertama kali oleh pemerintah
berdasarkan hamparannya kemudian berkembang menjadi kelompok pompa
dimana pengurus kelompok tani juga menjadi kelompok pompa yang
memfasilitasi sarana produksi padi (saprodi) anggota kelompoknya.
Selanjutnya peran kelompok tani tersebut langsung berhubungan
dengan Petuga Penyuluh Lapangan untuk mendapatkan akses informasi
atau program pemerintah, sedangkan dalam memberikan penyuluhan
tentang pengelolaan pertanian petani tidak percaya pada penyuluh
lapangan karena mengalami kegagalan sehingga PPL diperankan untuk
melegitimasi bantuan/proyek pemerintah ke patni seperti penyaluran
pupuk, bibit, kredit, informasi tentang dibukanya pintu air Klambu
Kanan dan lain sebagaimnya. 4 Pengurus kelompok tani yang sekaligus
pengelola pompa mendapatkan keuntungan dari hasil panen pada setiap
musim tananm karena operasional dan infrastruktur irigasi dan jalan
diinisiasi oleh pengelola pompa yang mendapatkan keuntungan dari
bagi hasil panen padi yang disepakati dalam rapat anggota kelompok
tani. 5 Tahun 1999 sampai Juli 2009, Pengurus Kelompok Tani
merupakan Pengelola pompa tetapi pada bulan Agustus 2009 akan
diberlakukan pengelola pompa akan diberikan pada pihak swasta
melalui pelelangan lahan pengairan sehingga kepengurusan kelompok
tani terpisah dengan pengelola pompa. Lelang air yang sudah
dipersiapkan oleh Kelompok Tani Sido Makmur pada masa kepengurusan
Tanto Pursidi gagal menawarkan tawaran draft Peraturan Desa terkait
tata kelola air tersebut sehingga pada masa kepengurusan Kuraji
(1999-saat ini) kepengurusan hamparan dan pompa tetap menjadi satu
dengan kelompok tani yang sama dengan pengurus kelompok pompa.
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
78
merupakan tanda bahwa petani akan memulai musim tanam dengan
pembasahan lahan. Hal tersebut dilakukan melalui rapat
anggota
kelompok yang bertujuan agar petani sebagai anggota memiliki
persiapan dalam memulai musim tanam namun tidak semua
mekanisme tersebut dilakukan dengan model rapat anggota
melainkan inisiatif langsung pengurus pengelola pompa.
Tetapi
strategi memajukan musim tanam tersebut tidak dilanjutkan
tahun
2007 karena terjadi pergantian kepengurusan sehingga pada
tahun
2007 sampai sekarang (tahun 2009), petani Desa Baturejo
mengalami
kegagalan karena banjir pada bulan Januari-Pebruari. Pilihan
tanaman padi merupakan pilihan ekonomi karena memberikan
hasil
pertanian yang relatif berdampak pada peningkatan ekonomi
bagi
petani meskipun ongkos yang dibutuhkan dalam pengelolaan
lahan
pertanian pada musim tanam pertama dan kedua sangat tinggi.
Strategi memajukan musim tanam pertama pada pertengahan
bulan Agustus sudah tidak dilakukan sejak tahun 2007 karena
terjadi
perubahan struktur organisasi pada kelompok tani yang
memengaruhi strategi memajukan musim tanam pertama sehingga
petani sering mengalami kerugian pada musim tanam pertama.
Pada
musim tanam pertama tidak ada petani yang berbeda dalam
menanam jenis tanaman yang berbeda selain padi. Tetapi pada
musim
tanam kedua, pada tanah nggenengan (zona I dan II) terdapat
petani menanam palawija khususnya pada lahan yang sulit dialiri air
dari
irigasi pompa tetapi masih mendapatkan „rembesan air‟ yang
berdekatan pada areal tanaman padi dan terletak lebih tinggi
dibandingkan lahan pertanian (Gambar 5.1) 6.
6 Tanah buangan normalisasi Sungai Tus (Juwana)
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
79
Gambar 5.1. Lahan pertanian yang terletak lebih tinggi menanam
palawija
pada awal musim tanam kedua.
Berbeda dengan kelompok Tani Sido Rukun (2014) 7 ,
mendasarkan genangan air yang terjadi pada awal tahun 2014 (MT
I
2014) maka disepakati oleh Kelompok Pompa Sido Rukun untuk
memulai lebih awal pada MT I yaitu pada bulan Agustus untuk
mulai
pembasahan lahan dan mulai musim tanam pada awal bulan
September.
7 Kelompok tani ini mengganti nama hamparan pangkalan I dengan
Sido Rukun karena dianggap tidak memberikna kemajuan pada anggota
kelompok tani dan desa terkait dengan kemajuan desa.
Pengambilalihan Kelompok Tani Pangkalan I ini dilakukan oleh petani
muda (sebagian besar adalah Sedulur Sikep) karena mengajukan
gagasan „lelang air‟ untuk dapat melakukan reorganisasi kelompok
pompa yang sebelumnya dikelola oleh Kelompok pangkalan I yang
diketuai oleh Subardi.
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
80
Ketersediaan bahan bakar untuk memompa air dan
mengantisipasi serangan tikus (OPT) merupakan persoalan
utama
bagi kelompok ini. Pada awalnya, kebutuhan keuangan menjadi
persoalan utama dalam memulai musim tanam pertama tahun 2014
untuk menjamin ketersediaan bahan bakar dan menyepakati
antisipasi serangan tikus karena hamparan disekitar Sido Rukun
(Sido
Makmur, Sido Rukun) belum memulai msim tanam pertamanya.
Diperkirakan serangan tikus menjadi lebih tinggi karena tikus
akan
menyerang hamparan sido rukun karena hamparan ini telah
tertanami. Anggota Kelompok Tani Sido Makmur menyekati
melakukan antisipasi serangan tikus dengan menggunakan
„pagar
seng‟ pada setiap hamparan pertanian yang dimilikinya.
Pengetahuan
antisipasi tikus dengan pagar seng didapatkan dari petani di
daerah
Tambakromo ketika beberapa petani menjadi buruh tani panen
padi
(ngedhos) di wilayah tersebut. Penggunaan pagar seng ini pertama
dikali dilakukan oleh petani pada hamparan Sido Rukun meskipun
diakui bahwa penggunaan pagar seng membutuhkan biaya yang
cukup besar. Menurut penuturan Karno, menyebutkan bahwa:
“…butuh kurang luweh 14-15 gulungan seng ukuran lebar 80 cm nang
lahan sak hektar. Nek sak gulung seng ukuran semono kui regane
sewelas satus…..tinggal ngepingke wae mas…..”
(“....butuh kurang lebih 14-15 gulung seng dengan ukuran lebar
80 cma pada lahan satu hektar. Satu gulung yang ukuran tersebut
harganya satu juta seratus...tinggal mengalikan saja mas....”)
(Karno)
Artinya dalam satu (1) hektar lahan kebutuhan modal awal
yang dimiliki oleh petani minimal 17,2 juta untuk
mengantisipasi
serangan tikus pada awal musim pertama. Pagar seng bisa
digunakan
pada musim berikutnya jika tidak mengalami kerusakan seperti
keropos pada bagian bawah karena tergenang air selama kurang
lebih
3 bulan atau hal lain. Inovasi untuk antisipasi keluar masuknya
air
juga telah dimilki oleh petani dengan membuat lubang dengan
perangkap tikus yang coba memasuki lahan pertanian dan juga
untuk
keluar masuknya air.
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
81
Berbeda dengan Kelompok Tani Sido Makmur. Awal musim
tanam pertama tahun 2014 mereka tidak memajukan musim tanam
seperti pada Kelompok Tani Sido Rukun karena petani pada
hamparan Sido Rukun tidak menggunakan pagar seng dalam
antisipasi serangan tikus, selain kebutuhan modal yang cukup
besar
untuk memenuhi ketersediaan bahan bakar pompa.
Pola tanam dipengaruhi oleh pengurus kelompok tani karena
mereka banyak berkomunikasi dengan pihak luar seperti
pemerintah,
kelompok diuar wilayah hamparan, lembaga swadaya masyarakat
maupun pedagang Sarana Produksi Padi (SAPRODI), seperti:
pengetahuan dan pengalaman model tanam Jajar Legowo, SRI,
Sistem
41, bantuan program untuk petani dan berbagai bentuk subsidi
pemerintah yang diberikan melalui struktur pemerintahan yang
ada.
Meskipun penerapannya tidak dipengaruhi oleh informasi
pemerintah tetapi lebih dipengaruhi oleh „buruh tanam‟ yang
berasal
dari wilayah lainnya.
Petani Desa Baturejo khususnya Kelompok Tani Sido
Makmur, masih berharap untuk memajukan musim tanam lebih
awal
(September) pada MT I karena ketersediaan air dirasakan
cukup
dalam pembasahan lahan sebagai tahap awal dalam persemaian
pada
MT I. Petani tidak memiliki rencana atau inisiatif mengganti
jenis
tanaman untuk mengantisipasi banjir maupun kekeringan karena
wilayah pertanian Desa Baturejo merupakan lahan rawa yang
rentan
terhadap banjir. Selain itu, padi masih merupakan komoditas
yang
menjanjikan bagi petani dalam mendukung kehidupannya.
Transfer pengetahuan petani didapat ketika petani tersebut
menjadi buruh tani di wilayah lainnya atau buruh tani yang
bekerja
dilahannya. Jarang sekali petani mendapatkan pengetahuan
yang
digunakan dri PPL setempat selain informasi air dibuka dari
Bendung
Kedung Ombo, Bendung Klambu Kanan dan Bendung Wegil untuk
memastikan air tersedia di Sungai Tus yang kemudian dipompa.
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
82
Kelembagaan Petani dan Tindakan Kolektif
Hamparan pertanian yang merupakan satu kawasan agro
ekologis telah membentuk (memaksa) petani saling
berkomunikasi
dan memastikan tindakan „berbagi‟ dalam mendistribusikan
sistem
pengaliran airnya. Kawasan agroekologi ini juga awal
terbentuknya
sistem kelembagaan petani dalam memastikan produksi
pertanian
menjadi tumpuan sumber kehidupan.
Kelembagaan berbasis hamparan tersebut mendorong
terbentuknya kelembagaan petani formal untuk memastikan
upaya
pemberdayaan petani oleh pemerintah dapat dioptimalkan.
Meskipun
petani terkesan hanya menggunakan kelembagaan tersebut untuk
memperoleh „bantuan‟ atau „utang‟ dari proyek-proyek
pemerintah
yang tidak tepat sasaran atau menyelesaiakn persoalan petani.
Seperti
yang dinyatakan oleh Tanto Pursidi
“ …ora kabeh petani teko nang penyuluhan soko dinas neng ndeso
opo nang kutho. Petani gelem teko nek tergantung kepentingane
petani….misale ono kredit opo bantuan sing sifate nguntungke
petani, koyo tho : bantuan benih, pestisida…lan sak
panunggalane..”
(“...tidak semua petani datang ke penyuluhan dari dinas di desa
atau du kota. Petani mau datang tergantung kepentingannya..misalnya
ada kredit atau bantuan yang menguntungkan petani seperti bantuan
benih, pestisida.... atau yang lainnya...”) (Tanto Pursidi)
Jika pemerintah kabupaten memiliki kepentingan dalam
memberikan informasi tentang kondisi air waduk, hama, maupun
bantuan, petani diundang melalui perwakilan kelompok tani ke
kecamatan Sukolilo. Tetapi jika inisiatif pertemuan berasal dari
petani
maka pertemuan tersebut dilaksanakan di desa atau kelompok
tani
wilayah tersebut. Karena petani memiliki kepentingan pada
masalah
pertanian khususnya OPT yang sifatnya konsultatif atau
proyek
bantuan pemerintah seperti bantuan benih, obat-obatan
pengendalian hama, peningkatan kapasitas dalam bentuk
Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) atau dalam bentuk
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
83
fisik seperti Pengelolaan Lahan dan Air (PLA). Artinya
keterlibatan
aktif petani sangat diharapkan oleh pemerintah melalui
Petugas
Penyuluh Lapang Dinas Pertanian Kabupaten Pati.
Kelembagaan petani yang ada saat ini terjadi karena sifat
hamparan yang berada dalam satu wilayah ekologi yang
membentuk
keterikatan antar petani pemilik atau pengelola lahan
pertanian.
Petani memahami kelembagan dalam kebiasaan bertani tidak
bersifat
formal seperti kelembagaan formal yang dibentuk oleh atuarn
hukum
atau aturan sosial tertentu tetapi kelembagaan yang terjadi,
terbentuk
dari nilai sosial dan ekologi petani itu sendiri. Seperti
terbentuknya
kelompok tani di Desa Baturejo, kelompok tani yang ada
merupakan
kelompok tani yang berada dalam satu hamparan ekologi yang
dipisahkan oleh sistem pengairan. Petani berbagi pengetahuan
dan
informasi ketika berada pada hamparannya khususnya dalam
pengelolaan air sehingga keputusan dilakukan dihamparannya
bukan
pada pertemuan formal seperti rapat yang mengumpulkan
seluruh
petani pada setiap hamparan atau kelompok tani. Jika petani
membutuhkan informasi atau kepentingan lainnya terkait
dengan
pengelolaan lahan dan air, petani atau pengelola lahan
mendatangi ke
rumah di luar waktu pengelolaan lahan karena terkadang petani
tidak
bertemu ketika di lahannya, seperti: meminjam tenaga, kapan
memluai membasahi lahan karena salah satu atau beberapa
petani
atau pengelola lahan membtuhkan air untuk memulai musim
tanam,
kebutuhan pupuk atau pestisida, antisipasi serangan OPT, dan
yang
lainnya.
Keberadaan kelompok pompa sebagai bentuk baru
kelembagaan kelompok tani mendorong tindakan kolektif antar
aktor
dan jejaringnya yang dibangun dalam sistem hamparan agro
ekologi
dalam memastikan tata kelola pertaniannya. Dimulainya musim
tanam yang ditandai oleh dimulainya pembasahan lahan oleh
pengurus kelompok pompa merupakan tanda bagi petani dalam
hamparan untuk mempersiapkan lahan dan kebutuhan lainnya.
Petani memperhitungkan risiko serangan OPT, kebutuhan OPT
dan
kebutuhan pupuk untuk memastikan pertumbuhan padi dapat
dijaga
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
84
dan dijamin untuk menghasilkan padi yang “siap panen”.
Risiko
genangan air pada puncak hujan tidak selalu diperhitungkan
karena
petani sudah tidak menggunakan kalender musim sebagai
patokan
(siklus bencana banjir) tetapi hanya memperhitungkan
bagaimana
mengantisipasi serangan OPT ketika kelompok pompa memutuskan
memajukan musim tanam baik ekstrim maupun tidak terlalu
ekstrim.
Petani bertindak kolektif dalam ketika tanda dimulainya
musim
tanam dilakukan dan secara kolektif mengantisipasi serangan
OPT
untuk menghindari genangan air pada puncak hujan.
Munculnya kelompok pompa sebagai alternatif petani Desa
Baturejo dalam mengelola pertaniannya merupakan bentuk baru
kelembagaan petani pada hamparan ini. Kelompok pompa
berbasis
hamparan merupakan terobosan pengetahuan petani dalam
menyiasati musim dan kelangkaan air serta menghindari
genangan
air pada puncak hujan dalam mempertahankan sumper
penghidupannya.
Kompetisi antar kelompok pompa juga menarik untuk
diperhatikan dalam menyiasati musim dan mengantisipasi
serangan
OPT. ketakutan memulai musim pertama oleh kelompok pompa dan
anggotanya karena serangan tikus. Jika pada awal musim
pertama
dimulai lebih dahulu maka dapatidpastikan serangan tikus
menyerang siapa yang menanam terdahulu. Sehingga kelompok
pompa dengan petani pada satu hamparaanya harus bersepakat
untuk
berani menanggung risiko gagal karena serangan tikus. Di
antara
kelompok tani juga tidak ada komunikasi secara khusus untuk
segera
memulai musim tanam pertamanya, hanya komunikasi lewat sms
atau ketika ketemu dijalan saja mereka memastikan siapa yang
memulai lebih dahulu. Kelmpok pompa merasa ketakutan jika
hamparaanya mengalami kegagalan karena biaya pompa
ditanggung
sepenhnya oleh kelompok pompa bukan oleh petani yang berada
dihamparanya.
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
85
Kelompok Pompa dalam Sistem Lelang Air
Keuntungan dan kerugian kelompok pompa merupakan
bentuk baru kelembagaan ekonomi baru petani berbasis pda
inovasi
dan transfer pengetahuan di jejaring petani dalam satu
hamparan.
Ketersediaan air merupakan prasyarat utama dalam memastikan
kelompok pompa dapat menjalankan fungsinya dalam memulai
musim tanam pertama. Besarnya kebutuhan air dan modal serta
pengetahuan untuk memastikan kecilnya risiko gagal panen
menjadi
dinamika sendiri bagi pengurus kelompok pompa. Dengan
pembagian
1/8 di Kelomok Sido Makmur dan sepersembilan (1/9) di
Kelompok
Sido Rukun dapat dipastikan keuntungan dalam musim tanam
pertama mencapai 100-300 juta rupiah setelah dipotong BBM.
Upaya
yang dilakukan oleh kelompok pompa ini tidak sebanding
dengan
pembangunan desa khususnya infrasturktur desa, seperti jalan
desa,
jembatan dan lain sebagainya. Perbaikan infrastruktur sering
dilakukan oleh pemerintah melalui Alokasi Dana Desa (ADD)
dan
proyek lainnnya tidak mencukupi untuk memperbaiki
infrastruktur
desa yang rusak karena transportasi dari proses produksi
padi.
Gagasan lelang air merupakan alternatif untuk menghubung-kan
relasi kepentingan desa dengan petani khsuusnya kelompok
pompa dan memaksa untuk melakukan reorganisasi pada kelompok
pompa. Kesepakatan yang dibangun oleh pihak desa dengan
memulai
menggunakan sistem lelang air dimana desa menyepakati batas
alokasi pajak air untuk perbaikan infrastruktur desa sebesar 35
juta
yang digunakan untuk perbaikan infrastruktur desa selama 3
tahun
masa kerja organisasi kelompok pompa tersebut. Sistem lelang air
ini
relatif baru dimulai tahun 2013 dan diterapkan pada semua
kelompok
pompa. Uang lelang dikelola langusng oleh desa untuk
perbaikan
jalan desa sedangkan kelompok tani pengganti kelompok pompa
yang
lama juga mengganti harga mesin pompa sesuai dengan umur
teknis
dan harga perbaikannya. Sistem lelang air ini diterima oleh
semua
pihak Desa Baturejo karena ada tanggung jawab petani
khususnya
kelompok pompa yang selalu diuntungkan untuk ikut
berpartisipasi
dalam perbaikan dan pengelolaan infrastruktur desa.
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
86
Risiko Kegagalan
Petani sudah tidak bisa berbuat apa-apa jika prediksi cuaca
pada akhir musim tanam pertama meleset dari perkiraan.
Meskipun
segala upaya yang sudah dilakukan kelompok tani dan anggota
kelompok tani dalam menyiasati musim dan serangan OPT telah
dilakukan namun mereka pasrah ketika pada akhir musim tanam
pertama, puncak musim hujan tidak terprediksi. Seperti
kejadian
musim tanam pertama pada awal tahun 2014 di hamparan Sido
Rukun. Naiknya genangan air secara tiba-tiba menyebabkan
tenggelamnya lahan pertanian siap panen karena hujan dalam
waktu
semalam dengan intensitas yang tinggi. Kekacauan cuaca yang
demikian berlangsung beberapa tahun sebelumnya sehingga
petani
tidak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, serangan tikus atau
OPT
lainnya juga mempengarhui hasil panen padi tetapi masih bisa
ditanggulangi oleh mereka. Jika rugi pun tidak sebesar ketika
padi
siap panen tergenang air ketika atau menjelang puncak hujan
karena
tidak mungkin mampu menyelematkan hamparan pertanian yang
dikelolanya.
Kepemimpinan dan Kepengikutan
Kelompok pompa merupakan sekumpulan petani yang padat
modal dalam penyelenggarakan sistem pertanian padi di Desa
Baturejo. Kemampuan bertani, ketersediaan modal, pengetahuan
dan
jaringan yang cukup memengaruhi siapa yang memimpin kelompok
pompa. Kepengikutan dalam kelompok pompa itu pun tidak saja
komitmen tetapi juga diharapkan memiliki modal yang relatif
cukup
untuk saling iuran dalam penyediakan pembelian BBM.
Kepemimpinan menjadi tolak ukur dalam menilai
keberhasilan kelompok pompa dalam memastikan ketersediaan
air
bagi anggota kelompok tani berbasis hamparan dan
terhindarnya
hamparan pertanian dari genangan air pada puncak hujan.
-
Kepemimpinan Petani: Inovasi dan Strategi Petani Menyiasati
Musim
87
Keberhasilan tersebut akan mendorong kepercayaan petani
pengelola dan anggota kelompok pompa terhadap pengelolaan
lahan
pertanian karena dampak lain dari menggeser waktu tanam
(memajukan) adalah selisuh harga penjualan gabah atas pasar
ketika
semua petani belum panen. Kepercayaan anggota kelompok pompa
dan petani juga tidak didasarkan pada pengetahuan,
ketrampilan
(inovasi) tetapi juga kemampuan menggalang modal awal dalam
mempersiapkan musim tanam awal.
Faktor lain yang memengaruhi pemimpin kelompok tani
adalah keberanian menanggung risiko terhadap kegagalan.
Serangan
tikus (OPT), ketersediaan pupuk, dan pestisida memengaruhi
kepercayaan petani penggarap dan anggota kelompok tani
meskipun
terjadi penerimaan keputusan karena ketergantungan pada
hamparan
dan modal dalam sistem kelola lahan pertanian berbasis pada
kawasan
ekologinya.
Catatan Penutup
Tanggapan petani terhadap pola tanam dipengaruhi oleh
keputusan yang diambil oleh kelompok pompa. Ketergantungan
petani penggarap terhadap kelompok pompa sangat tinggi
karena
kebutuhan air dipasok dari kelompok pompa. Sedangkan
keputusan
kelompok pompa dipengaruhi oleh kepemimpinan kelompok pompa
dalam inovasi, ketersediaan modal dan ketergantungan
ketersediaan
air.
Pengetahuan petani terhadap pola tanam merupakan modal
simbolik yang dimiliki oleh petani dan jejaringnya.
Pengetahuan
yang berdampak pada inovasi dipengaruhi oleh informasi yang
didapat dari kemampuan petani dan buruh tani yang saling
memekerjakan. Jejaring petani dan buruh tani merupakan
bentuk
simbiosis mutualisme dalam memastikan pengetahuan dan
inovasi
dapat dipraktikan untuk mengantisipasi kegagalan panen
akibat
kekacauan musim dan serangan OPT.
-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan
Air Pada Puncak Hujan
88
Ketergantungan keputusan tanam oleh pemimpin kelompok
pompa dan anggotanya oleh petani penggarap lainnya merupakan
bentuk kepercayaan dengan memastikan kapandimulainya musim
tanam pertama. Kepercayaan petani penggarap tersebut
dipengaruhi
oleh kemampuan inovasi dalam pengambilan keputusan
dimulainya
musim tanam pertama, ketersediaan modal, jaringan internal
dan
eksternal petani untuk mendapatkan akses bagi petani,
keberanian
mengambil risiko kegagalan panen dan yang tidak kalah
penting
adalah ketersediaan air yang mencukupi untuk menggeser waktu
tanam.