BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Situasi Kejadian Kebakaran Hutan/Lahan Situasi kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia tergambarkan oleh dua macam data yaitu data jumlah titik panas (hotspots) dan data luasan kebakaran. Kedua macam data tersebut diperoleh dari Dit. PKH, Kementerian Kehutanan. Data hotspot diperoleh Dit. PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra satelit dari stasiun pemantauan di Kantor Dit. PKH, Gedung Pusat Kementerian Kehutanan Jakarta. Data hotspot lebih sering dijadikan indikator kebakaran hutan/lahan oleh berbagai pihak baik para pengamat dan penulis mengenai kebakaran hutan/lahan maupun pemerintah, karena data tersebut dianggap relatif lebih lengkap dalam serial waktu, tersedia dan dapat diperoleh dengan relatif mudah di berbagai media informasi terutama di internet, dan mencakup data pada lokasi-lokasi yang terpencil. Data kejadian kebakaran hutan/lahan yang faktual dari lapangan sulit diperoleh pada organisasi-organisasi yang seharusnya mengelolanya sesuai dengan kawasan yang dikelolanya. Di tingkat nasional, hanya Dit. PKH yang memiliki data faktual tersebut, sementara di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota data yang diminta tersebut tidak dapat disediakan. Namun demikian, data dari Dit. PKH tersebut juga dinyatakan kurang mewakili kondisi sebenarnya di lapangan. Alasan utamanya adalah tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan ada laporannya. Ketiadaan laporan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain (1) tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan diketahui lokasinya oleh organisasi penanggung jawabnya, (2) tidak setiap kebakaran dilakukan penanganan atau pemadaman, termasuk pengukuran luasannya, (3) belum ada standar pengukuran luasan kebakaran di lapangan sehingga luasan kebakaran yang dilaporkan masih belum jelas apakah mencakup seluruh kawasan yang terbakar sampai api padam ataukah hanya luasan kebakaran yang dipadamkan oleh tim pemadam yang melaporkan. Oleh karena tidak adanya data luasan kebakaran yang
149
Embed
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Situasi Kejadian Kebakaran Hutan/Lahan
Situasi kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia tergambarkan oleh dua
macam data yaitu data jumlah titik panas (hotspots) dan data luasan kebakaran.
Kedua macam data tersebut diperoleh dari Dit. PKH, Kementerian Kehutanan.
Data hotspot diperoleh Dit. PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra
satelit dari stasiun pemantauan di Kantor Dit. PKH, Gedung Pusat Kementerian
Kehutanan Jakarta. Data hotspot lebih sering dijadikan indikator kebakaran
hutan/lahan oleh berbagai pihak baik para pengamat dan penulis mengenai
kebakaran hutan/lahan maupun pemerintah, karena data tersebut dianggap relatif
lebih lengkap dalam serial waktu, tersedia dan dapat diperoleh dengan relatif
mudah di berbagai media informasi terutama di internet, dan mencakup data pada
lokasi-lokasi yang terpencil.
Data kejadian kebakaran hutan/lahan yang faktual dari lapangan sulit
diperoleh pada organisasi-organisasi yang seharusnya mengelolanya sesuai
dengan kawasan yang dikelolanya. Di tingkat nasional, hanya Dit. PKH yang
memiliki data faktual tersebut, sementara di tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota data yang diminta tersebut tidak dapat disediakan. Namun
demikian, data dari Dit. PKH tersebut juga dinyatakan kurang mewakili kondisi
sebenarnya di lapangan. Alasan utamanya adalah tidak setiap kejadian kebakaran
hutan/lahan ada laporannya. Ketiadaan laporan tersebut disebabkan oleh beberapa
hal antara lain (1) tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan diketahui lokasinya
oleh organisasi penanggung jawabnya, (2) tidak setiap kebakaran dilakukan
penanganan atau pemadaman, termasuk pengukuran luasannya, (3) belum ada
standar pengukuran luasan kebakaran di lapangan sehingga luasan kebakaran yang
dilaporkan masih belum jelas apakah mencakup seluruh kawasan yang terbakar
sampai api padam ataukah hanya luasan kebakaran yang dipadamkan oleh tim
pemadam yang melaporkan. Oleh karena tidak adanya data luasan kebakaran yang
76
faktual, data kebakaran hutan/lahan selalu berdasarkan pada jumlah titik panas
(hotspot).
5.1.1. Korelasi antara jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutan/lahan
Jumlah hotspot, seperti disampaikan di atas, selama ini dijadikan sebagai
indikator kebakaran hutan/lahan. Penggunaan hotspot sebagai indikator juga
masih beragam yakni sebagai indikator untuk luasan kebakaran atau indikator
untuk jumlah kejadian kebakaran. Jika memahami makna hotspot yang
sebenarnya, maka penggunaan bagi kedua maksud tersebut sebenarnya masih
kurang tepat, bahkan penggunaan sebagai indikator adanya kebakaran hutan/lahan
pun sebenarnya masih perlu memenuhi beberapa persyaratan.
Keberadaan titik panas (hotspot) tidak selalu berarti adanya kebakaran
hutan/lahan, bergantung pada suhu ambang (threshold temperature) pengukuran
yang ditetapkan, namun untuk kepentingan pencegahan kebakaran, informasi
hotspot dapat menjadi indikator terjadinya kebakaran hutan (Hiroki & Prabowo
2003; Suprayitno & Syaufina 2008). Studi ini menguji kelayakan penggunaan
hotspot sebagai indikator kebakaran hutan/lahan dengan menghitung koefisien
korelasi secara linier antara jumlah akumulasi hotspot dengan luasan kebakaran
hutan/lahan.
Hasil perhitungan statistik berdasarkan data pada kurun waktu 10 tahun
(n=10) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif sebesar 0,53 atau 53% antara
jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia. Hal ini
berarti penggunaan jumlah hotspot sebagai indikator kebakaran hutan/lahan masih
dapat diterima. Data pada Tabel 2 dan diagram pada Gambar 5 memperlihatkan
bahwa trend line dari kedua data tersebut menunjukkan kecenderungan yang
relatif sama.
Namun demikian, koefisien korelasi yang relatif rendah tersebut juga
sekaligus memberikan peringatan untuk tidak serta merta menyatakan bahwa
jumlah hotspot yang tinggi berarti terdapat kebakaran hutan/lahan yang luas.
Jumlah hotspot kurang dapat menggambarkan luasan kebakaran karena sebuah
77
hotspot sebenarnya mewakili sebuah luasan 1,1 km2. Hal ini tidak berarti bahwa
sebuah hotspot kemudian menunjukkan adanya kebakaran hutan/lahan seluas 1,1
km2
Tahun
karena sebuah hotspot muncul atau tertangkap oleh citra satelit ketika suatu
area di permukaan bumi mengalami panas permukaan sampai suatu suhu tertentu
yang sudah ditetapkan pada sensor di satelit. Suhu tersebut dapat dicapai
meskipun luas kebakaran kurang dari 1,1 km dan begitu pula dapat terjadi situasi
Tabel 2 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia
Lahan Titik 97.783 27.826 24.985 30.809 7.610 37.803
% 66,85 73,40 81,61 78,07 77,02 75.39
Jumlah Hotspot 146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 52.827
Sumber: Dit. PKH 2011
82
Persentase keberadaan hotspot yang lebih besar di luar kawasan hutan
tampaknya tidak diimbangi oleh kinerja organisasi-organisasi pemerintah yang
memangku lahan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rata-rata luasan kebakaran
yang ternyata lebih besar untuk kebakaran di kawasan hutan daripada kebakaran
lahan, yakni 57,94 : 42,06 (Tabel 4). Menurut pengamatan langsung dan
penjelasan responden di lapangan, memang instansi yang menangani kehutanan di
tiap tingkatan, baik kabuapten/kota, provinsi maupun nasional, relatif lebih aktif
dalam menangani kebakaran hutan/lahan dan aktivitas tersebut ditunjukkan oleh
lebih tingginya persentase luasan kebakaran yang dicatat instansi-instansi tersebut.
Instansi-instansi pemangku lahan pada umumnya belum memiliki kapasitas untuk
melakukan pengendalian kebakaran. Hasil analisis terhadap kapasitas organisasi
di daerah penelitian akan diuraikan pada sub bab 5.4.
Gambar 7 Grafik jumlah akumulasi hotspot di kawasan hutan dan lahan di luar kawasan hutan seluruh Indonesia tahun 2006 – 2010. (Sumber: Dit. PKH 2011).
Data jumlah titik panas (hotspot), luasan kawasan terbakar dan korelasi-
korelasi tersebut di atas serta kecenderungan jumlah hotspot yang masih
meningkat menurut data sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa
permasalahan kebakaran hutan/lahan ke depan masih ada dan perlu mendapat
83
perhatian lebih serius. Sementara itu, kecenderungan dalam lima tahun terakhir
yang memperlihatkan arah menurun kemungkinan merupakan indikasi adanya
pengaruh positif dari sistem pengorganisasian yang dibentuk di daerah pada lima
tahun terakhir setelah sempat terhenti pada lima tahun pertama awal era
Reformasi. Detail mengenai keterkaitan pembentukan sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut dengan kecenderungan jumlah
hotspot dan luasan kebakaran masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tabel 4 Luas kebakaran di kawasan hutan dan lahan seluruh Indonesia
Peruntukan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata2
Kawasan
Hutan
Ha 5,503 32,199 7,078 6,793 9,791 3,493 10,809
% 40.04 57.27 63.01 42.10 59.48 85.72 57.94
Lahan Ha 8,240 24,020 4,155 9,344 6,671 582 8,835
% 59.96 42.73 36.99 57.90 40.52 14.28 42.06
Jumlah (Ha) 13,742 56,219 11,233 16,137 16,462 4,075
Sumber: Dit.PKH 2011
Hasil kajian tersebut di atas mendukung pendapat yang ada sekarang ini
bahwa faktor alam relatif kurang berpengaruh dan faktor yang sangat berpengaruh
adalah manusia, yaitu orang-orang atau masyarakat yang masih memanfaatkan
pembakaran dalam kegiatan penyiapan lahannya untuk berbagai kepentingan.
Oleh sebab itu, pengendalian kebakaran hutan/lahan perlu diarahkan pada
penghentian atau pengurangan sampai ke titik terendah penggunaan api atau
pembakaran tersebut. Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan hasil penelitian ini memberi kejelasan mengenai organisasi atau
instansi pemerintah yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan
faktor manusia tersebut prioritas pada bidang pencegahan kebakaran, dengan
penguatan kapasitas organisasi di tingkat bawah yang memungkinkan pelaksanaan
secara optimal program-program pengawasan kawasan dan peningkatan kesadaran
masyarakat mengenai kebakaran hutan/lahan.
84
5.2. Posisi dan Peranan Organisasi
Posisi dan peranan organisasi di dalam sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan pada penelitian ini dianalisis dari tiga sisi
yaitu (a) profil organisasi, (b) persepsi dari responden praktisi, dan (c) persepsi
responden pakar.
5.2.1. Posisi dan peranan menurut profil organisasi
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui posisi dan peranan organisasi pada saat
ini dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hasil identifikasi terhadap
organisasi-organisasi di tingkat nasional,tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota menunjukkan bahwa berdasarkan profilnya, organisasi-organisasi
yang secara jelas menyebutkan kebakaran hutan/lahan dalam profilnya adalah
sebagai berikut:
• Tingkat nasional ada tiga organisasi, yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan
BNPB;
• Tingkat provinsi untuk Riau ada tiga organisasi yaitu: Dishut, Disbun, dan
BLHD, sedangkan untuk Kalimantan Barat terdapat hanya 1 (satu) organisasi
yaitu Dishut.
• Tingkat kabupaten/kota tidak ada satupun organisasi di empat kabupaten/kota
yang diamati yang profilnya secara tegas menyebutkan kebakaran hutan/lahan.
Uraian tentang profil masing-masing organisasi tersebut di atas yang
menunjukkan keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah
sebagai berikut.
1. Dit. PKH, Kementerian Kehutanan
Dit PKH sesuai dengan namanya sudah menyebutkan secara eksplisit
keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hal tersebut
secara jelas tertulis di dalam pernyataan visi dan misi, struktur organisasi,
maupun uraian tugas jabatan di dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi
85
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13/Menhut-
II/2005 mencakup empat jabatan eselon III yaitu Subdit Program dan
Evaluasi, Subdit Pencegahan dan Penanganan Pasca, Subdit Tenaga dan
Sarana, dan Subdit Pemadaman, dan sembilan jabatan eselon IV yaitu Seksi
Berdasarkan profil tersebut terlihat bahwa penanganan kebakaran
hutan/lahan di tingkat nasional terpecah di tiga organisasi yakni Kemenhut, KLH,
dan BNPB. Selanjutnya, di antara ketiga organisasi tersebut, Kemenhut memiliki
struktur yang relatif lengkap untuk menangani bidang-bidang pengendalian
kebakaran hutan/lahan yaitu pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-
kebakaran. Hal ini akan menjadi pertimbangan nanti di dalam rancang bangun
sistem pengorganisasian pada akhir bab ini.
Ketiga organisasi di tingkat nasional tersebut ternyata belum berbagi
peranan secara formal, di mana pada saat ini, belum ada sebuah sistem yang
mengoordinaskan peranan-peranan dari ketiga organisasi tersebut. Sistem
pengorganisasian yang berlaku adalah hasil kesepakatan tidak tertulis di antara
organisasi-organisasi di tingkat nasional. Kesepakatan tersebut didasarkan pada
pengaturan yang pernah ada berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup nomor Kep-40/MENLH/09/97 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Nasional Kebakaran Hutan dan Lahan (TKN-KHL), yang membagi posisi dan
peranan organisasi-organisasi pemerintah di tingkat nasional terutama pada
bidang pemadaman. Keputusan tersebut belum dicabut, tetapi juga tidak lagi
menjadi landasan acuan, hanya kandungan aturannya yang tampaknya masih
dipegang sebagai kesepakatan. Kesepakatan tersebut mengatur bahwa pencegahan
dilakukan oleh masing-masing organisasi penanggung jawab kawasan, Kemenhut
bertanggung jawab atas pemadaman pada level bukan bencana, Bakornas PB yang
kemudian menjadi BNPB bertanggung jawab atas pemadaman ketika kebakaran
dinyatakan sebagai bencana, dan KNLH yang menjadi KLH bertanggung jawab
atas penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi, serta departemen-departemen
lainnya sebagai pendukung sesuai dengan bidang tugas dan wewenang yang
dimilikinya. Pengaturan tersebut kemudian diperkuat dengan PP nomor 4 tahun
2001 yang memberi mandat kepada Menteri Kehutanan untuk menangani
pemadaman kebakaran lintas provinsi dan lintas batas negara.
89
Hasil identifikasi peranan organisasi pada tingkat provinsi di Riau dan
Kalimantan Barat berdasarkan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan yang ada terdapat perbedaan, yakni pada departementasi dalam
struktur organisasinya. Departementasi pada Pusdalkarhutla di Riau berdasarkan
pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran yang meliputi bidang
deteksi/peringatan dini, pemantauan dan pencegahan, bidang operasi
penanggulangan dan pemulihan, dan bidang evaluasi dan penegakan hukum,
sedangkan di Kalimantan Barat departementasi disusun menurut sektor-sektor
yaitu kehutanan, perkebunan, pertanian, kehewanan dan peternakan, tenaga kerja
dan kependudukan, dan kesehatan.
Perbedaan departementasi tersebut berimplikasi pada wilayah pertanggung-
jawaban di mana organisasi atau instansi yang ditunjuk sebagai penanggung
jawab bidang di Riau bertanggung jawab atas penyelenggaraan bidang tersebut di
semua status kawasan. Sebaliknya, di Kalimantan Barat, sektor-sektor tersebut
mewakili status kawasan sehingga organisasi atau instansi yang menjadi
penanggung jawab suatu sektor akan bertanggung jawab atas seluruh bidang
pengendalian kebakaran di kawasan sektornya. Sebagai contoh, Dishut Provinsi
Kalimantan Barat bertanggung jawab atas pengendalian kebakaran baik
pencegahan, pemadaman maupun penanganan pasca kebakaran di seluruh
kawasan hutan.
Dalam prakteknya di Kalimantan Barat, meskipun organisasi pemangku
kawasan yang seharusnya bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan
pangkuannya, ternyata ketika terjadi kebakaran, peranan tersebut tidak
dilaksanakan dengan benar. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan organisasi-
organisasi tersebut dengan sumber daya pengendalian kebakarannya.
Ketidaksiapan tersebut karena tidak tersedianya anggaran akibat dari tidak adanya
urusan kebakaran hutan/lahan di dalam struktur organisasinya. Ketersediaan
anggaran sangat ditentukan oleh bidang tugas yang tercermin di dalam struktur
organisasi. Sementara itu, di sisi lain, Pusdalkarhutla tidak juga memiliki
anggaran sendiri karena sesuai dengan mekanisme anggaran, Pusdalkarhutla yang
dianggap bukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tidak dapat mengelola
anggaran sendiri.
90
Untungnya, di Kalimantan Barat telah dibentuk UPTD-PKHL yang
merupakan SKPD sehingga meskipun hanya pada level eselon III yang pembinaan
teknisnya di bawah Dishut Provinsi, organisasi tersebut dapat mengelola anggaran
sendiri. Peranan UPTD tersebut menurut penjelasan Kepala UPTD terutama
adalah pada bidang pemadaman, sedangkan bidang pencegahan ditangani oleh
masing-masing organisasi pemangku kawasannya dan bidang penanganan pasca-
kebakaran, terutama yustisi ditangani oleh pemegang otoritas penegakan hukum
yaitu Polri, kejaksanaan, dan pengadilan, sesuai dengan tugas dan fungsi yang
tercantum di dalam Pusdalkarhutla.
Kondisi tersebut hanya berlaku di tingkat provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten/kota di Kalimantan Barat adalah serupa dengan kondisi yang ada di
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di Riau. Peranan pengendalian
kebakaran hutan/lahan yang ada pada Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla di
di Riau maupun Kalimantan Barat menghadapi problema yang serupa yakni tidak
tersedianya anggaran tersendiri untuk menjalankan peranan tersebut karena alasan
serupa yaitu kedua organisasi tersebut bukan SKPD.
Di samping organisasi-organisasi yang profilnya secara jelas menyebut
kebakaran hutan/lahan, terdapat beberapa organisasi yang selama ini berperan
dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, meskipun profilnya tidak menyatakan
secara eksplisit hal tersebut. Polri dan Kejagung dapat dimasukkan ke dalam
posisi utama dalam peranan yustisi karena tugas dan fungsi pokok kedua
organisasi tersebut memang di bidang yustisi yang mencakup semua jenis
pelanggaran pidana, termasuk pidana pada kebakaran hutan/lahan. Posisi Dit.
PKH dan Asdep PKHL sebagai pendukung dalam yustisi dilakukan baik dalam
penyediaan data dan informasi sebagai bahan dan keterangan (baket) bagi proses
yustisi maupun dalam penyediaan tenaga penyidik, yakni penyidik pegawai negeri
sipil (PPNS) yang mendampingi penyidik Polri dan Kejagung.
Kementerian Kesehatan juga memiliki organisasi yang berkaitan dengan
penanganan keadaan darurat yaitu Pusat Penanggulangan Krisis (PPK). Organisasi
tersebut dapat mendukung kegiatan pengendalian kebakaran, terutama dari segi
penanganan medis. PPK dibentuk dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
91
1575/SK/XI/2005. Tugas utama PPK adalah melaksanakan perumusan kebijakan
teknis penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan oleh Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PPK melaksanakan fungsi: (1) penyusunan rancangan kebijakan umum
penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (2) penyiapan rumusan
kebijakan pelaksanaan dan perumusan kebijakan teknis dalam penanggulangan
krisis dan masalah kesehatan lain, (3) koordinasi pelaksanaan bimbingan dan
pengendalian di bidang pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan
lain, (4) mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan krisis dan masalah
kesehatan lain, (5) mengumpulkan data, menganalisa dan menyajikan informasi
yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (6)
evaluasi pelaksanaan kebijakan, peraturan dan standar dan program yang
berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (7)
pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Berdasarkan tugas dan fungsi
tersebut, PPK dapat mengambil posisi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan
sebagai pendukung dengan peranan sebagai penyedia layanan kesehatan baik bagi
korban kebakaran maupun bagi pelaksana pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Keterlibatan organisasi-organisasi lain pada umumnya adalah juga dalam
operasi pemadaman kebakaran. Kementerian Luar Negeri terlibat sebagai
pendukung terutama dalam fasilitasi keimigrasian ketika terjadi pengerahan
sumber daya pemadaman dari luar negeri dan fasilitasi bagi penyebarluasan
informasi pengendalian kebakaran ke dunia internasional. Kementerian Keuangan
berperan dalam fasilitasi bea dan cukai bagi masuknya barang-barang dalam
mobilisasi bantuan internasional untuk kepentingan operasi pemadaman.
Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) terlibat sebagai pendukung dalam
pencegahan dan pemadaman kebakaran karena adanya Direktorat Manajemen
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana di bawah Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum yang dibentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 130
tahun 2003 dan diperbarui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41
tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Salah
satu sub direktorat menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tanpa
merinci jenis kebakaran yang dimaksud. Uraian tugas sub direktorat tersebut
92
menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak terlibat dalam operasional
pengendalian kebakaran di lapangan melainkan pada perumusan kebijakan,
fasilitasi, pemantauan dan evaluasi.
Posisi dan peranan organisasi-organisasi tersebut di atas tidak dijelaskan
secara eksplisit, tetapi berdasarkan analisis terhadap profil dan bidang kegiatan
yang selama ini biasa dilakukan peranan-peranan tersebut dapat diidentifikasi
seperti pada Tabel 5 berikut. Tabel tersebut hanya menyajikan organisasi-
organisasi yang dianggap memegang posisi utama, sedangkan Tabel yang
memasukkan juga organisasi-organisasi lain yang menjadi pendukung disajikan
pada Lampiran 8.
Tabel 5 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut profil organisasi
Organisasi Peranan Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran
Dit. PKH U U P Asdep PKHL P P U
BNPB - U P Kemkes - U U Polri - P U Kejakgung - - U Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung
Pada tingkat provinsi, di samping organisasi-organisasi yang sudah
disebutkan di atas yang profilnya menyebutkan secara eksplisit kebakaran
hutan/lahan, terdapat pula beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai
organisasi yang berperanan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Seperti di
tingkat nasional, Polda dan Kejaksaan Tinggi di tingkat provinsi serta Polres dan
Kejaksaan Negeri di tingkat kabupaten/kota berada di posisi utama pada peranan
pasca-kebakaran (yustisi). Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di Kalimantan
Barat mempunyai departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan. Oleh sebab
itu, setiap organisasi yang memangku kawasan yang disebutkan di dalam struktur
organisasi Pusdalkarhutla ataupun Satlakdalkarhutla dapat dikatakan menduduki
posisi utama dan berperanan dalam setiap bidang pengendalian kebakaran.
93
Berbeda halnya dengan di Riau, Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan
Satlak-dalkarhutla di tingkat kabupaten/kota memiliki departementasi menurut
bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran, sehingga setiap organisasi yang
ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang dapat dikatakan sebagai pemegang
posisi utama dan berperanan dalam bidang tersebut. Organisasi-organisasi lain
yang dalam Pusdalkarhutla atau Satlak-dalkarhutla baik di Riau maupun di
Kalimantan ditunjuk sebagai anggota dapat disebut sebagai berada pada posisi
pendukung dengan peranan sesuai dengan bidang di mana organisasi tersebut
ditempatkan.
Berdasarkan analisis tersebut maka posisi dan peranan organisasi-organisasi
di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di kedua lokasi penelitian (Riau
dan Kalimantan Barat) yang berada di posisi utama dapat dirangkum seperti pada
Tabel 6. Hasil identifikasi selengkapnya terhadap seluruh organisasi disajikan
pada Lampiran 8. Adapun keterkaitan masing-masing organisasi tersebut dengan
pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dilihat dari kedudukan masing-masing
organisasi tersebut di dalam struktur organisasi Pusdalkarhutla seperti pada
Gambar 8 dan Gambar 9. Setiap penanggung jawab sektor, kecuali sektor
kesehatan dan sekretariat, mempunyai tugas yang serupa yaitu: pembinaan
terhadap badan usaha di sektornya, pemantauan, pengarahan, dukungan sumber
daya, dan koordinasi dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran di areal/kawasan
yang berada di bawah tanggung jawabnya.
1. Kota Dumai, Provinsi Riau
Tingkat Kabupaten/Kota
Organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota yang menangani kebakaran
hutan/lahan relatif sama dengan organisasi-organisasi di tingkat provinsi baik di
Riau maupun Kalimantan Barat. Organisasi-organisasi tersebut adalah yang
menangani lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, dan perkebunan.
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan lahan di Kota Dumai
berbentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
94
(Satlakdalkarhutla) Kota Dumai yang dibentuk dengan Peraturan Walikota
Dumai nomor 01 Tahun 2006. Susunan organisasi Satlakdalkarhutla Kota
Dumai ditetapkan dengan Keputusan Walikota Dumai nomor
334/PEREKO/2006. Satlakdalkarhutla dipimpin oleh Wakil Walikota. Dinas
Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kota Dumai menduduki
posisi utama dengan menjadi Sekretariat Satlak dan Kepala Distanbunhut Kota
bertindak sebagai Ketua Pelaksana Harian Satlak.
Tabel 6 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota menurut profil organisasi
No. Organisasi Peranan
Sekretariat Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran
A. Riau 1. Dishut Prov. Riau - P U P 2. Disbun Prov. Riau - U P P 3. BLHD Prov. Riau U - P P 4. Polda Riau - - P U
B. Kalimantan Barat 1. Dishut Prov. Kalbar - U U P 2. Disbun Prov. Kalbar - U U P 3. Distan Prov. Kalbar - U U P 4. Distamben Prov. Kalbar - U U P 5. BLHD Prov.Kalbar U - - P 6. Polda Kalbar - - P U
C. Kota Dumai 1. DistanbunhutKota Dumai U P U P 2. Dinas KPLH Kota Dumai - U P - 3. Polresta Dumai - - P U
D. Kab. Inderagiri Hulu 1. BLHD Kab. Inhu U - - P 2. Dishutbun Kab. Inhu - U U P 3. Polres Inhu - - P U
E. Kab. Ketapang 1. Dishut Kab. Ketapang - U U P 2. Disbun Kab. Ketapang - U U P 3. BLHD Kab. Ketapang U - - P 4. Polres Ketapang - - P U
F. Kab. Kubu Raya 1. BLHD Kab.Kubu Raya U - - P 2. Dishutbun - U U P 3. Polres Pontianak - - P U
Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung
95
Gambar 8 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Riau (Sumber: Peraturan Gubernur Riau nomor 6 tahun 2006).
Di samping itu, Kepala Bidang Kehutanan sebagai Sekretaris dan
Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Koordinator
Bidang Penanggulangan dan Wakil Koordinator Bidang Monitoring dan
Pencegahan. Namun demikian, profil organisasi Distanbunhut Kota Dumai sesuai
dengan Peraturan Daerah Kota Dumai nomor 13 tahun 2005 yang merupakan
dasar pembentukan instansi tersebut baik dalam struktur organisasi maupun uraian
tugas jabatan-jabatannya sama sekali tidak menyebutkan tentang kebakaran
96
hutan/lahan. Urusan kebakaran ditangani di tingkat eselon IV yaitu Seksi
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada Bidang Kehutanan.
Gambar 9 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Kalimantan Barat (Sumber: Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 164 tahun 2002).
97
2. Kabupaten Inderagiri Hulu, Provinsi Riau
Kabupaten Inderagiri Hulu belum memiliki sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Meskipun termasuk daerah rawan
kebakaran, sejak era Reformasi di tahun 1999 kabupaten ini belum
membangun kembali sistem pengendalian kebakarannya. Sistem yang berlaku
adalah Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
(Satlakdalkarhutla) sebagai bagian dari Pusdalkarhutlada yang dibangun
sebelum era Reformasi tersebut. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)
yang sebelumnya bernama Bapedalda Kabupaten bertindak sebagai Sekretariat
dan Dinas Kehutanan Kabupaten Inderagiri Hulu sebagai Ketua Pelaksana
Harian, sementara sebagai koordinator pelaksana pemadaman kebakaran sejak
tahun 2003 ditunjuk Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) Rengat.
3. Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat
Pengendalian kebakaran hutan/lahan di Kabupaten Ketapang seperti halnya di
tingkat provinsi ditangani oleh masing-masing sektor. Pengorganisasian
pengendalian kebakaran masih menggunakan organisasi masa Orde Baru yaitu
Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran hutan/lahan di mana bupati sebagai
penanggung jawab. Penunjukan instansi-instansi yang bertanggung jawab atas
masing-masing sektor dikaitkan dengan struktur organisasi dan uraian tugas
instansi-instansi yang bersangkutan menurut Peraturan Daerah nomor 11
tahun 2008 secara singkat disampaikan sebagai berikut.
Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang bertanggung jawab atas
kebakaran di kawasan hutan, tetapi di dalam struktur organisasinya tidak
terdapat bidang atau seksi yang khusus menangani kebakaran hutan. Dinas
Perkebunan Kabupaten yang bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan
kebun memiliki seksi yang menangani kebakaran lahan/kebun. Dinas
Pertambangan Kabupaten dan Dinas Pertanian dan Peternakan yang masing-
masing menangani sektor pertambangan dan sektor pertanian dan peternakan
juga tidak memiliki bagian di dalam struktur organisasinya yang menangani
kebakaran. Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten, yang dulunya adalah
98
Bapedalda Kabupaten, yang sebelumnya bertindak sebagai Sekretariat
Satlakdalkarhutla Kabupaten juga tidak memiliki unsur yang menangani
kebakaran, bahkan dengan diturunkannya level jabatan dari eselon II (badan)
menjadi eselon III (kantor) menurut Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang
nomor 12 tahun 2008, posisi KLH Kabupaten hanya sebagai pendukung.
4. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat
Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten baru, hasil dari pemekaran
Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2007.
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan belum terbentuk, tetapi
sementara ditangani oleh Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Transmigrasi
(Dishutbuntrans) Kabupaten. Pelaksanaan operasional dilakukan bersama
dengan Manggala Agni Daerah Operasi Pontianak yang bermarkas di Rasau
Jaya yang berada di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Dishutbuntrans
Kabupaten Kubu Raya memang berada di posisi utama dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan tetapi tidak ada unsur di dalam struktur organisasi
maupun uraian tugas jabatan-jabatan di organisasinya yang secara jelas
menyebutkan kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi lain di
pemerintahan kabupaten juga tidak ada yang secara jelas menyebutkan hal
tersebut.
Hasil pengamatan terhadap profil organisasi tersebut memperlihatkan bahwa
peranan organisasi dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan
telah secara formal didefinisikan pada tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota, tetapi justru belum terjadi di tingkat nasional. Pada tingkat
nasional, Kementerian Kehutanan yang menurut PP nomor 4 tahun 2001 Pasal 23
bertanggung jawab atau berperan dalam penanggulangan kebakaran hutan/lahan
jika dampaknya telah melintas batas provinsi dan/atau batas negara, tetapi
menurut PP nomor 45 tahun 2004 yang menjadi landasan utamanya justru
membatasi diri pada penanganan kebakaran hutan saja.
Hal tersebut di atas menunjukkan adanya diskrepansi peranan (Brown &
Harvey 2006) karena Kemenhut diharapkan menangani kebakaran tidak hanya di
kawasan hutan melainkan juga di lahan. Peranan yang diberikan oleh PP nomor 4
99
tahun 2001 seharusnya diterima oleh Kemenhut dengan penuh tanggung jawab
karena di setiap peranan ada harapan dan tanggung jawab (Martin & MacNeil,
2007) dan peranan tersebut diberikan karena adanya kepercayaan (Wehmeyer et
al. 2001) bahwa Kemenhut memiliki kapabilitas untuk menjalankannya.
Kepercayaan (trust) dalam hubungan antar organisasi, apapun organisasinya baik
bisnis maupun pemerintahan, merupakan sesuatu yang biasanya diperjuangkan
dengan sangat keras karena menurut berbagai literatur yang dikutip Wehmeyer et
al (2001) kepercayaan merupakan sebuah faktor yang sangat krusial bagi operasi
jejaring yang efisien. Kepercayaan serupa diberikan juga kepada organisasi yang
menangani kehutanan di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota seperti
terungkap pada hasil angket maupun wawancara.
Asdep PKHL yang secara tegas menyebutkan keterlibatannya pada
kebakaran hutan/lahan pada kenyataannya mengambil peranan lebih pada
penanganan pasca kebakaran yakni berhubungan dengan dampak kebakaran
hutan/lahan. Di sisi lain, BNPB juga belum secara tegas mengambil semua
peranan seperti yang diamanatkan oleh UU nomor 24 tahun 2007. Ketentuan di
masa lalu ketika masih bernama Bakornas PB, organisasi tersebut terlibat dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan, khususnya dalam operasi pemadaman jika
kondisi kebakaran dianggap telah menjadi bencana. UU tersebut kemudian
memberikan peranan penuh kepada BNPB untuk menangani bencana kebakaran
hutan/lahan. Namun demikian, sampai saat ini kriteria bencana kebakaran
hutan/lahan belum ditetapkan sehingga peranan BNPB tersebut masih belum jelas.
Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa di tingkat nasional,
pembagian peranan memang belum ada kesepakatan di antara organisasi-
organisasi yang terlibat. Situasi yang terjadi masih menunjukkan adanya apa yang
disebut oleh Brown dan Harvey (2006) sebagai role ambiguity maupun role
conflict. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang belum jelas dan utuh dari
masing-masing organisasi tentang posisi dan peranannya, karena memang belum
ada kesepakatan formal mengenai hal tersebut. Suatu sistem pengorganisasian
harus segera dibangun dengan memberikan kejelasan mengenai posisi dan
peranan dari masing-masing unsur di dalam sistem tersebut. Jika melibatkan
100
berbagai organisasi, maka posisi dan peranan dari masing-masing organisasi yang
dilibatkan juga harus jelas.
5.2.2. Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden praktisi
Posisi dan peranan organisasi selain dianalisis berdasarkan profil organisasi
juga dianalisis berdasarkan hasil pengisian angket penelitian dan wawancara
dengan para responden dari organisasi-organisasi yang diamati. Hasil pengujian
terhadap validitas dan reliabilitas angket penelitian memperoleh angka validitas
75% dan reliabilitas 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa angket tersebut layak
untuk digunakan. Jumlah angket yang diterima dalam keadaan terisi lengkap
sebanyak 72% dari jumlah angket yang dibagikan kepada responden dari
organisasi yang diamati di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Persentase dari jumlah angket yang kembali tersebut sebenarnya telah
diperkirakan sebesar sekitar 75%. Pencapaian 100% sulit dicapai karena beberapa
alasan antara lain yaitu:
1. rendahnya perhatian responden terhadap penelitian tersebut, terutama dari para
responden yang jabatannya tidak pernah berkaitan dengan pengendalian
kebakaran atau secara pribadi responden yang bersangkutan tidak memiliki
perhatian ataupun terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan;
2. responden tidak berada di tempat tugas selama penelitian dilaksanakan,
sehingga meskipun angket penelitian telah diserahkan, responden tersebut
tidak mengetahuinya;
Hasil pengisian angket penelitian oleh responden di dalam organisasi-
organisasi yang diamati menunjukkan pemahaman responden terhadap posisi dan
peranan organisasinya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat disajikan
secara ringkas di bawah ini.
1.
Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran
Identifikasi terhadap keterlibatan organisasi-organisasi di tingkat nasional
dalam dalkarhutla boleh dikatakan tepat sesuai dengan hasil pengisian angket
101
penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan
organisasinya terlibat atau berperan dalam dalkarhutla (Gambar 10). Hampir
separuh (41,67%) dari jumlah responden bahkan sangat yakin mengenai hal
tersebut. Jika dilihat dari asal organisasinya, semua organisasi yang diamati
terdapat respondennya yang menjawab setuju atau sangat setuju bahwa
organisasinya terlibat dalam dalkarhutla.
Gambar 10 Keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam dalkarhutla
Para responden adalah pejabat di organisasi-organisasi tersebut yang
tentunya mengetahui dan memahami dengan baik mengenai terlibat tidaknya
organisasinya dalam dalkarhutla. Beberapa responden yang ragu-ragu adalah
mereka yang masih baru di organisasinya tersebut atau jabatannya memang tidak
berkaitan sama sekali dengan dalkarhutla. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan
para pejabat tersebut secara pribadi dalam dalkarhutla. Gambar 11 menunjukkan
bahwa hampir sepertiga responden menyatakan tidak pernah terlibat dalam
kegiatan dalkarhutla dan bila ditambahkan dengan yang ragu-ragu maka hampir
separuh responden menyatakan hal tersebut.
Jika dikaitkan dengan profil organisasi pada sub bab tersebut di atas, hal ini
dapat menggambarkan bahwa keterlibatan organisasi dalam dalkarhutla lebih
disebabkan oleh kepedulian pejabatnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan
102
dalkarhutla. Menurut pengamatan penulis selama bertugas di bidang dalkarhutla,
banyak organisasi yang menurut profilnya tidak berperanan dalam dalkarhutla,
pada periode pejabat tertentu hampir selalu terlibat dalam dalkarhutla dalam
berbagai bentuk seperti menghadiri rapat-rapat di tingkat nasional maupun tingkat
provinsi dan internasional. Namun, pada periode yang lain dengan pejabat yang
lain, organisasi tersebut seringkali sulit untuk dilibatkan karena kurangnya
perhatian dari pejabatnya.
Keinginan organisasi-organisasi untuk berperan dalam dalkarhutla
sebenarnya juga dinyatakan oleh para responden di mana lebih dari 80%
responden menyatakan bahwa dalkarhutla perlu melibatkan banyak organisasi dan
lebih dari 80% pula menyatakan bahwa organisasinya perlu terlibat dalam
dalkarhutla. Namun demikian alasannya tidak terkait dengan apa yang disebut
dalam teori peranan organisasi sebagai motivasi pelayanan publik atau public
service motivation atau PSM yakni keinginan atau motivasi untuk melayani
26 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban
Tabel 8 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi menurut pendapat responden praktisi
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa A. Riau
17 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran;
112
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa Pulih = pemulihan korban
Tabel 9 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat kabupaten/kota menurut pendapat responden praktisi
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa A. Kota Dumai
7 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban
organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Hal ini selanjutnya bersama dengan hasil analisis posisi dan peranan menurut
profil organisasi dan pendapat praktisi dari organisasi-organisasi tersebut di atas
dipergunakan dalam merancang bangun sistem pengorganisasian. Para pakar
tersebut terdiri atas tiga orang pakar di bidang kebakaran hutan yaitu seorang
praktisi dari Kementerian Kehutanan dan dua orang akademisi dari Fakultas
Kehutanan IPB, seorang pakar di bidang kelembagaan dari Fakultas Kehutanan
IPB, serta seorang pakar di bidang bencana alam dari BNPB.
113
Pengolahan data dengan perangkat analisis Interpretive Structural Modeling
(ISM) memperoleh gambaran mengenai posisi dari organisasi-organisasi yang
diamati dalam setiap aspek dari pengendalian kebakaran hutan/lahan. Posisi
organisasi yang penting sebagai key element (Eriyatno 2003) adalah organisasi
yang menduduki peringkat pertama yaitu yang di dalam diagram model struktur
berada di level terbawah. Level ini menggambarkan bahwa elemen atau dalam hal
ini organisasi tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang terbesar
dengan tingkat ketergantungan (dependence) terendah. Hasil dari analisis ISM ini
dapat ditafsirkan bahwa organisasi atau organisasi-organisasi yang berada di level
terbawah tersebut menduduki posisi terpenting (kunci) dalam aspek yang diamati.
Adapun aspek-aspek yang diamati yaitu: (1) perumusan kebijakan, (2) sistem
peringatan dan deteksi kebakaran, (3) pencegahan kebakaran, (4) pemadaman
kebakaran, (5) rehabilitasi kawasan bekas kebakaran, dan (6) yustisi kebakaran.
Posisi juga dibedakan tingkatannya menurut tingkatan pemerintahan yaitu tingkat
nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.
a. Posisi dan peranan dalam perumusan kebijakan
Hasil identifikasi terhadap organisasi-organisasi di tingkat nasional
menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam tiga posisi yang ditunjukkan pada Matriks DP-D yaitu independent
(kwadran IV), dependent (kwadran II) dan autonomus (kwadran I). Organisasi
yang berada pada posisi independent, yaitu Dit. PKH, Dit. TD-BNPB, Dit.
Linbun, dan Bappenas (Gambar 16.a) memiliki pengaruh kuat terhadap
organisasi-organisasi lain dalam merumuskan kebijakan pengendalian kebakaran
hutan/lahan. Organisasi-organisasi inilah yang diharapkan berperan utama dalam
perumusan kebijakan tersebut.
Sementara itu, tidak ada satupun organisasi yang berada pada posisi linkage
(kwadran III). Posisi ini menggambarkan pengaruh yang kuat tetapi tingkat
keterkaitannya dengan organisasi lain juga tinggi. Sedangkan organisasi yang
berada di kwadran II adalah organisasi yang bergantung pada organisasi lain.
Dengan demikian, perumusan kebijakan akan lebih ditentukan oleh keempat
114
organisasi yang tersebut di atas. Selanjutnya, berdasarkan struktur hirarkinya
(Gambar 16.b) Dit. PKH merupakan organisasi yang berada di posisi utama, yang
harus berperan dalam menyiapkan rumusan dan memimpin dalam pembuatan
kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional.
Situasi tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penggambaran bahwa
organisasi-oganisasi tersebut sebenarnya membawa atau mewakili masing-masing
kepentingan utama di dalam perumusan kebijakan. Dit. PKH (1)
merepresentasikan kepentingan Kehutanan, Dit. Linbun (2) mewakili kepentingan
Pertanian, atau dapat pula dianggap sebagai mewakili lahan, BNPB (6) dari sisi
kepentingan penanganan bencana, dan Bappenas (7) pada sisi pendukung
terutama dalam hal koordinasi perencanaan dan penganggaran.
Gambar 16 Posisi organisasi di tingkat nasional dalam perumusan kebijakan. (a) Matrik DP-D menunjukkan posisi relatif organisasi terhadap organisasi lain; (b) Diagram ISM menunjukkan struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan.
1
2
3, 13
4
5
6
7
8, 12, 16
910
1114
15
17
18
19, 20
21, 22
0123456789
10111213141516171819202122
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
3 5 9 10 13 15 21 22
11 14 18 19 20
4 8 12 16
17
7
2
6
1
DRIVER POWER
DEPENDENCE
I II
III IV
115
Bappenas dan Depkeu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
mengoordinasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Koordinasi dalam perumusan
kebijakan sangat penting agar tercipta kebijakan yang komprehensif dan
pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Kondisi demikian mengisyaratkan
perlunya kemampuan tinggi dari Bappenas untuk menjalankan peranan sebagai
koordinator. Jika tidak, maka kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan
menjadi kurang terpadu dan lebih bersifat sektoral.
Perumusan kebijakan di tingkat provinsi, menurut matriks DP-D, akan
diarahkan oleh Dishut dan BLHD. Kedua organisasi tersebut berada di kwadaran
yang sama yang memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi. Diagram ISM pada
Gambar 17 memperlihatkan bahwa Dishut Provinsi dan Bapedalda (BLHD)
merupakan organisasi kunci dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran
hutan/lahan di tingkat provinsi.
Pada tingkat kabupaten/kota, sesuai dengan Diagram ISM pada Gambar 18,
Dishut, Disbun dan BLHD berada pada satu level tertinggi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pada tingkat terbawah yang berhubungan langsung dengan
Gambar 23 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi yang terlibat pada pencegahan kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota.
d. Pemadaman kebakaran
Hasil identifikasi terhadap posisi organisasi untuk urusan pemadaman
kebakaran menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan
penggerak (DP) tinggi pada tingkat nasional (Gambar 24) yaitu Dit. PKH (1),
BNPB (6), dan Basarnas (9), sedangkan di tingkat provinsi (Gambar 25) dan
tingkat kabupaten/kota (Gambar 26) adalah Dishut (1) dan Disbun (2). Di tingkat
nasional ketiga organisasi berada dalam satu kwadran yakni Kwadran IV dan
menurut diagram ISM ketiganya independen dengan Dit. PKH pada posisi
tertinggi, disusul BNPB. Posisi tersebut tampaknya sejalan dengan anggapan dan
kondisi faktual sekarang bahwa untuk pemadaman kebakaran hutan/lahan,
organisasi yang telah memiliki sumber daya pemadaman adalah Kemenhut.
Keberadaan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni yang berada
di berbagai daerah di bawah kendali Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemenhut
tampaknya turut mempengaruhi penempatan Dit. PKH di posisi utama tersebut.
3 4 5 7 8 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22
2 16
9
6
1
126
Sementara itu, di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, Dishut (1)
dan Disbun (2) dipandang sebagai organisasi yang bertanggung jawab terhadap
pemadaman kebakaran. Hal ini mungkin karena kebakaran banyak terjadi di
kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawab kedua
organisasi tersebut. Dikaitkan dengan profil organisasi yang disajikan di bagian
awal bab ini, di Provinsi Riau dan Provinsi Kalbar memang kedua organisasi
tersebut yang diberi mandat baik melalui keputusan atau peraturan gubernur atau
bupati/walikota untuk menjadi koordinator pemadaman kebakaran hutan/lahan.
Salah satu kelemahan dalam manajemen pengendalian kebakaran
hutan/lahan adalah masih lemahnya aturan-aturan dan oleh sebab itu untuk
membangun manajemen pengendalian kebakaran yang baik diperlukan penguatan
aturan-aturan. Aturan-aturan, menurut Jenssen (2005), dibuat, dipilih, disimpan,
ditegakkan, diubah, dan dihapuskan, untuk itu penguatan aturan-aturan
pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dimaksud haruslah mencakup
kapabilitas untuk membuat, memilih, menyimpan, menegakkan, mengubah, dan
menghapus aturan-aturan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi kebakaran
hutan/lahan. Keberhasilan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan tersebut
bergantung pada modal sosial (social capital), yang terdiri antara lain hubungan-
hubungan kepercayaan (relations of trust), hubungan timbal-balik (reciprocity),
aturan-aturan, norma-norma dan sanksi-sanksi, dan keterkaitan (connectedness) di
dalam institusi (Pretty 2001 diacu dalam Jenssen 2005).
Kondisi saling mengenal di antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut dapat menggambarkan kondisi
tentang masih sulitnya menjalankan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan
dalam pengendalian kebakaran. Perencanaan atau agenda setting bersama
tampaknya masih sulit dikarena hubungan antar orang-orang dari organisasi-
organisasi tersebut belum akrab, bahkan banyak yang belum saling mengenal.
Alasan yang mungkin dari kondisi tersebut antara lain adalah frekuensi pertemuan
dan/atau komunikasi antar organisasi tersebut kemungkinan besar masih sangat
kurang, dan belum adanya penunjukan orang-orang tertentu dari masing-masing
organisasi sebagai kontak (contact persons) yang tetap. Kondisi hubungan antar
152
organisasi seperti ini pula yang tampaknya membuat penanganan kebakaran
hutan/lahan di semua tingkatan masih belum optimal.
Analisis terhadap pola hubungan antar organisasi berdasarkan dari ketiga
aspek tersebut di atas dapat memperoleh kesimpulan sementara bahwa integrative
coordination (Bolland & Wilson 1994) belum terpenuhi. Di sisi lain, integrasi
kebijakan (Meijers & Stead 2004) masih sulit dibangun karena konsep
keterpaduan (integrated) atau “kemenyeluruhan” (comprehensiveness) belum
menjadi acuan bagi organisasi-organisasi yang terlibat tersebut. Putusnya
hubungan antar tingkatan di hampir seluruh dari ketiga aspek hubungan antar
organisasi tersebut di atas masih menjadi kendala dalam penanganan pengendalian
kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
5.3.2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap mekanisme hubungan
antar organisasi
Hasil analisis terhadap angket penelitian tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar responden dari organisasi-organisasi yang diamati di tingkat
nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya telah mengetahui adanya
mekanisme hubungan internal organisasinya. Mekanisme hubungan internal
tersebut telah ditetapkan dalam bentuk tata hubungan kerja (tahubja) yang
mengikuti struktur dari organisasi yang bersangkutan. Sebagian besar organisasi,
terutama di tingkat nasional dan provinsi, pada umumnya telah relatif
berkembang, dalam arti bahwa aktivitas-aktivitas di dalam organisasi telah
direncanakan dengan baik, telah mengembangkan suatu mekanisme dalam bentuk
prosedur-prosedur yang mengatur aliran tugas, tanggung jawab, informasi, dan
lain-lain dari satu bagian ke bagian lain (Brown & Harvey 2006). Sebaliknya,
oganisasi-organisasi yang belum memiliki mekanisme hubungan internal terutama
adalah di tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum
mantapnya organisasi dalam menetapkan visi dan misi, struktur organisasi,
sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarana di dalam organisasi.
Organisasi-organisasi tersebut baru dibentuk mengikuti terbentuknya
kabupaten/kota baru hasil pemekaran dan/atau struktur pemerintahan baru yang
153
otonom, seperti di Kota Dumai, Riau dan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan
Barat. Penggabungan tiga organisasi pemerintah daerah di Kota Dumai yaitu
Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan menjadi satu yaitu
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan telah mengubah mekanisme
hubungan antar ketiga organisasi yang sebelumnya bersifat eksternal untuk
mencapai visi yang berbeda-beda menjadi hubungan internal untuk mencapai satu
visi bersama. Sementara itu, di Kubu Raya yang merupakan pemekaran dari
Kabupaten Pontianak, pada saat penelitian ini dilakukan pemerintah daerahnya
masih disibukkan oleh penataan elemen-elemen organisasi, terutama sumber daya
manusia dan sarana dan prasarana organisasi.
Pada tingkat nasional, hanya sekitar separuh dari jumlah responden yang
menyatakan bahwa organisasinya telah memiliki mekanisme hubungan antar
organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, dan seperempat dari
jumlah responden masih meragukan adanya mekanisme tersebut (Gambar 39).
Ketika hal tersebut dikonfirmasi dengan hasil wawancara terhadap beberapa
responden, semuanya menyatakan bahwa mekanisme hubungan tersebut masih
berupa suatu kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi tersebut.
Hampir semua responden yang menyatakan telah adanya mekanisme hubungan
tersebut adalah berasal dari organisasi-organisasi yang memang aktif terlibat
dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan
Ditlinbun.
Keragu-raguan dan ketidaksetujuan responden mengenai sudah adanya
mekanisme hubungan antar organisasi di tingkat nasional tersebut beralasan
karena ternyata pada tingkat nasional belum terbentuk secara formal sistem
pengorganisasian untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan. Sistem
pengorganisasian yang berlaku sekarang hanyalah merupakan kesepakatan tidak
tertulis untuk menjalankan sistem pengorganisasian yang pernah ada yaitu berupa
organisasi yang bernama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional
(Pusdalkarhutnas). Organisasi tersebut dibentuk dengan Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 188/Kpts-II/1995 dan berlaku di jajaran Departemen
Kehutanan, sedangkan sistem pengorganisasian yang melibatkan organisasi-
organisasi pemerintah lainnya di tingkat nasional adalah Tim Koordinasi Nasional
154
Penanggulangan Kebakaran Hutan/lahan (TKN-PKHL) yang dibentuk oleh
Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995. Kedua organisasi tersebut
tidak pernah dibubarkan tetapi juga dianggap sudah tidak berlaku lagi sejak era
reformasi tahun 1998/1999.
Mekanisme hubungan di tingkat nasional yang belum tertulis tersebut
tampaknya yang membuat para responden di tingkat provinsi baik di Riau
maupun Kalimantan Barat menyatakan ketidaktahuan mereka mengenai adanya
mekanisme tersebut. Namun mereka di tingkat kabupaten/kota di kedua provinsi
tersebut sebagian besar menjawab setuju mengenai sudah adanya mekanisme
tersebut di tingkat nasional. Hasil wawancara terhadap beberapa responden di
tingkat kabupaten/kota mengenai hal tersebut memperoleh gambaran tentang
keyakinan mereka bahwa di tingkat nasional pasti sudah ada mekanisme tersebut
karena selama ini instansi pemerintah pusat (nasional) dianggap cepat dalam
merespon laporan kejadian kebakaran dari kabupaten/kota.
Para responden di tingkat provinsi sendiri sebagian besar juga menyatakan
bahwa provinsinya belum memiliki mekanisme hubungan antar organisasi dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Gambar 40 merupakan contoh proporsi
jumlah responden di Provinsi Riau dan gambaran serupa bagi Kalimantan Barat
Gambar 39 Pendapat responden di tingkat nasional tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional.
155
dengan 16,67% menyatakan sangat tidak setuju dan 50% tidak setuju bahwa
provinsinya telah memiliki mekanisme tersebut.
Gambar 40 Pendapat responden di Provinsi Riau tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Pendapat responden dari kabupaten/kota di kedua provinsi terhadap
mekanisme hubungan antar organisasi tersebut di tingkat provinsi sama dengan
pendapat mereka untuk tingkat nasional. Mereka percaya bahwa mekanisme
tersebut telah ada dengan alasan yang sama yaitu dapat mengalirnya respon dari
tingkat nasional ke kabupaten/kota melalui provinsi karena sudah adanya
mekanisme di tingkat provinsi. Pada kenyataannya, mekanisme yang baku di
masing-masing level maupun antar level belum terbentuk secara formal.
Ketiadaan mekanisme tersebut jelas menghambat proses pengerahan sumber daya
untuk pengendalian kebakaran, terutama terkait dengan penyediaan anggaran
untuk penanganan kejadian kebakaran.
Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut
lebih dari separuh responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun
di tingkat kabupaten/kota bukan hanya kalau dibutuhkan melainkan sudah
melekat di dalam bidang tugas. Persentase jumlah responden yang menyatakan hal
tersebut pada tingkat nasional adalah sekitar 66% (Gambar 41), di Provinsi Riau
dan Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing 70% dan 88%, dan di tingkat
kabupaten/kota di Riau dan Kalimantan Barat masing-masing 67% dan 70%
(Gambar 42). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan banyaknya responden yang
memiliki pengetahuan mengenai adanya prosedur tetap kerja sama dalam
156
pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkatannya masing-masing yakni
sebanyak 68% responden di tingkat nasional, 90% di Provinsi Riau, 93% di
Provinsi Kalimantan Barat, 66% di kedua kabupaten dan kota di Riau dan 58% di
kedua kabupaten di Kalimantan Barat.
Gambar 41 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Gambar 42 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat provinsi dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Hasil wawancara memperoleh gambaran bahwa para responden tersebut
sekadar mengetahui adanya dokumen yang mengatur tentang kerja sama berbagai
organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, tetapi mereka
tidak mengetahui rincian tentang bagaimana mekanisme hubungan kerja sama
tersebut. Responden mengetahui tentang hubungan kerja sama tersebut juga hanya
pada tingkatan di mana organisasi mereka berada dan antar tingkatan (nasional,
157
provinsi, dan kabupaten/kota), sedangkan mengenai hubungan dengan organisasi
internasional sebagian besar (60%) menyatakan belum tahu.
Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut
sebagian besar responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota ditentukan oleh ketersediaan sumber daya, terutama
ketersediaan sarana dan prasarana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh
organisasi yang bersangkutan (Gambar 41 dan Gambar 42 ). Ketersediaan dana
atau anggaran dari organisasi sendiri menjadi pertimbangan berikutnya. Hal ini
berarti bahwa organisasi akan terlibat atau mengirimkan bantuan dalam
pengendalian kebakaran, terutama dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan jika
mereka memiliki peralatan dan personil. Namun demikian, pengerahan bantuan
yang sebenarnya, akan terjadi jika organisasi tersebut memiliki cukup dana untuk
itu, sedangkan ketersediaan dana dari luar organisasi kurang menjadi
pertimbangan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan organisasi-organisasi
tersebut tidak segera bertindak mengerahkan sumber dayanya ketika ada
kebakaran karena ternyata anggaran atau dana yang ada pada organisasinya
sendiri tidak ada atau sangat sedikit sedangkan dana dari luar organisasi juga
belum jelas mekanismenya.
Mekanisme baku mengenai perbantuan sumber daya antar organisasi sejauh
ini belum ada. Upaya untuk membangun kesepakatan antar organisasi untuk
menciptakan mekanisme tersebut juga belum ada. Kekosongan mekanisme
perbantuan sumber daya antar organisasi tersebut belum menjadi agenda dalam
pengorganisasian pengendalian kebakaran baik di tingkat nasional, provinsi
maupun kabupaten/kota, sehingga penanganan pengendalian kebakaran
hutan/lahan berjalan sendiri-sendiri oleh masing-masing organisasi.
Keterlibatan dalam pengendalian kebakaran juga dipengaruhi oleh
keterkaitan dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar,
sebagaimana dinyatakan oleh 62,50% responden di tingkat nasional, 85,71% di
tingkat provinsi Riau, 55,50% di tingkat provinsi Kalimantan Barat, 54,55% di
Kota Dumai, 44,40% di Kabupaten Inderagiri Hulu, 76,47% di Kabupaten
Ketapang, dan 52,50% di Kabupaten Kubu Raya. Hal ini berarti bahwa
158
keterlibatan organisasi dalam operasi pengendalian kebakaran, baik dalam bidang
pencegahan, penanganan pasca-kebakaran, maupun terutama pemadaman
kebakaran, sangat ditentukan oleh lokasi di mana kegiatan dilaksanakan. Dishut,
misalnya, akan dengan segera merespon permintaan bantuan jika kebakaran
terjadi di kawasan hutan. Demikian pula halnya dengan Disbun yang akan
memberikan prioritas respon kepada permintaan bantuan untuk penanganan
kebakaran di kawasan perkebunan.
Kedekatan hubungan antara organisasi yang meminta bantuan dengan
organisasi yang dimintai bantuan turut menjadi pertimbangan juga. Di tingkat
nasional, komposisi antara sangat tidak setuju dan tidak setuju dengan setuju dan
sangat setuju adalah 29,16% dengan 41,67%, dan 29,17% ragu-ragu, yang berarti
organisasi akan mengirimkan bantuan jika organisasi yang memintanya dianggap
dekat secara psikologis. Di Provinsi Riau, komposisinya relatif serupa yaitu
57,14% setuju dan 23,81% tidak setuju, sementara di Provinsi Kalimantan Barat
terjadi sebaliknya yaitu 50% tidak setuju dan 23, 20% setuju. Hal tersebut
kemungkinan berkaitan dengan departementasi pada struktur organisasi
Pusdalkarhutlada di mana di Riau pembagian tugas berdasarkan pada bidang-
bidang pengendalian kebakaran sehingga batas-batas kawasan pemangkuan
kurang menjadi perhatian, sementara di Kalimantan Barat pembagian tugas
berdasarkan tanggung jawab pada kawasan sehingga apapun yang terjadi di
kawasan yang menjadi tanggung jawabnya adalah benar-benar menjadi tugas dan
tanggung jawabnya dengan kurang mengharapkan bantuan dari organisasi lain
yang sudah memiliki tanggung jawab di kawasannya sendiri.
Hal serupa terjadi pada tingkat kabupaten/kota, di mana di kabupaten/kota
di Riau persentase responden yang tidak setuju dengan yang setuju adalah sama
yaitu 44,44, sedangkan di kedua kabupaten di Kalimantan Barat komposisinya
adalah 58,82% tidak setuju dan 29,41 setuju. Alasan untuk hal tersebut juga
tampaknya serupa karena pembagian tugas pada Pusdalkarhutlada di tingkat
provinsi dan Satlakdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota di provinsi yang sama
juga serupa.
159
Hasil analisis data menunjukkan bahwa kurang dari separuh jumlah
responden menjawab pertanyaan di bagian tersebut. Hal ini ketika dikonfirmasi
kepada beberapa responden yang tidak menjawab angket tersebut diperoleh dua
alasan pokok. Pertama, responden merasa tidak mengetahui atau kurang yakin
mengenai hubungan organisasinya dengan organisasi-organisasi lain yang ada di
dalam daftar angket tersebut dalam hal-hal yang dipertanyakan. Sebagai contoh,
mengenai pertukaran bantuan, responden merasa kurang yakin mengenai adanya
saling memberi dan menerima bantuan antara organisasinya dengan organisasi
lain. Bantuan yang dimaksud sebenarnya tidak terbatas pada bantuan dalam
konteks pengendalian kebakaran hutan/lahan saja melainkan bantuan dalam
berbagai bidang. Hal ini memang tidak dijelaskan di dalam angket penelitian dan
peneliti juga tidak memberikan penjelasan ketika melakukan wawancara dan
konfirmasi tersebut karena peneliti beranggapan bahwa responden adalah pejabat
atau pimpinan organisasi yang dianggap telah mampu memahami makna yang
tersurat maupun tersirat dari kalimat-kalimat di dalam angket penelitian. Namun
demikian, hal tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa responden yang terdiri
dari para pimpinan organisasi tersebut pada dasarnya belum memahami hubungan
atau keterkaitan antara organisasinya dengan organisasi-organisasi lain di
berbagai hal. Kekurangpahaman responden mengenai bantuan layanan yang
diberikan organisasinya ataupun yang diterima oleh organisasinya juga dapat
mengindikasikan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih lebih banyak bekerja
atau berjalan secara sendiri-sendiri dan masih kurang bekerja sama baik dalam
bentuk koordinasi ataupun kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain.
Kedua, responden merasa bahwa angket tersebut terlalu rumit dan sulit
mengisinya karena kurangnya petunjuk pengisian. Kerumitan dan kesulitan dalam
pengisian angket tersebut ternyata berkaitan dengan alasan pertama setelah
peneliti mengonfirmasi alasan kedua tersebut. Peneliti tidak melakukan perubahan
terhadap angket tersebut karena angket tersebut merupakan satu bentuk adaptasi
metode yang sedang diujicobakan melalui penelitian ini. Di samping itu, peneliti
melihat alasan utama tampaknya adalah keengganan responden untuk mengisi
semua pertanyaan dalam angket karena dari pemantauan peneliti terhadap
beberapa responden, mereka sepertinya sengaja melewatkan bagian dari angket
160
yang memerlukan perhatian lebih serius dan yang mengharuskan responden
menuliskan jawaban, bukan sekadar mencontreng. Hal ini dapat menjadi
pertimbangan bagi peneliti sendiri maupun para peneliti lain ketika membuat
angket penelitian serupa agar dapat memperoleh tingkat yang lebih tinggi dalam
pengisian angket yang disebarkan.
Kondisi seperti itu dapat terjadi antara lain karena kurang jelas dan rincinya
prosedur atau mekanisme hubungan antar organisasi di dalam dokumen
pembentukan organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut. Di tingkat
nasional, hubungan dalam bentuk perbantuan antar organisasi belum didefinisikan
dengan jelas. Salah satu landasan hukum yang menjelaskan hubungan antar
organisasi adalah Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang di dalamnya mengamanatkan adanya unsur pengarah yang
melibatkan berbagai instansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2).
Aturan tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden nomor
8 tahun 2008 di mana unsur pengarah tersebut melibatkan 10 (sepuluh) organisasi
Pemerintah. Peraturan Presiden tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut peranan
dari masing-masing organisasi tersebut yang seharusnya menjadi alasan
dilibatkannya mereka dalam BNPB. Ketiadaan uraian tentang peranan, tugas,
fungsi, dan tanggung jawab dari masing-masing organisasi tersebut serta tidak
adanya kejelasan mekanisme perbantuan dari dan oleh organisasi-organisasi
tersebut dapat membuat penanganan bencana menjadi tidak optimal.
Hal serupa juga terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di mana
dokumen pembentukan Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla juga tidak
menguraikan dengan jelas bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan oleh
masing-masing organisasi yang terlibat serta mekanisme penyediaan dan
penerimaan layanan-layanan tersebut. Seharusnya, masing-masing organisasi
tersebut didefinisikan bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan dan yang
diterima sehingga ketika diperlukan, organisasi-organisasi tersebut dengan
sendirinya dapat segera menyediakan layanan-layanan sesuai dengan
kewajibannya.
161
Jika mengacu pada hasil angket penelitian, dari jawaban yang diberikan
responden terlihat komposisi perbantuan layanan terbagi atas empat situasi, yaitu:
(1) situasi di mana responden tidak mendefinisikan bentuk perbantuan layanan
atau menganggap bahwa organisasinya tidak ada hubungan perbantuan layanan
dengan organisasi-organisasi lain, yang dalam hal ini digambarkan dengan
susunan (0,0);
(2) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan
bantuan layanan kepada organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan (1,0);
(3) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya menerima
bantuan layanan dari organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan (0,1); dan
(4) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan
kepada dan juga menerima bantuan layanan dari organisasi lain, yang
digambarkan dengan susunan (1,1).
Jawaban dari responden secara ringkas dapat direkapitulasi seperti pada
Gambar 43. Responden memilih susunan (0,0) sebanyak 90,51%, susunan (1,0)
sebanyak 2,44%, susunan (0,1) sebanyak 3,27%, dan susunan (1,1) sebanyak
3,78% dari seluruh susunan yang ada. Hal ini dapat menggambarkan bahwa
sebagian besar responden masih menganggap bahwa organisasinya tidak memiliki
hubungan dengan organisasi lain dalam hal bantuan layanan. Di samping itu, jika
ada hubungan tersebut, responden menyatakan bahwa organisasinya lebih banyak
Gambar 43 Hubungan bantuan layanan menurut pendapat responden.
162
menerima (0,1) daripada memberikan (1,0) bantuan. Angket penelitian memang
tidak merinci pendapat responden sebagai gambaran kondisi yang sebenarnya
ataukah kondisi yang diinginkan responden saat penelitian. Namun demikian dari
wawancara dapat diketahui bahwa hal tersebut lebih merupakan keinginan
responden yang dilatari oleh kenyataan pada sekarang ini bahwa organisasi
mereka memiliki sumber daya yang sangat terbatas sehingga mereka berkeinginan
untuk memperoleh bantuan sumber daya, terutama dana, khususnya untuk
keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Permasalahan di dalam hubungan antar organisasi terutama dalam
perbantuan dan transaksi sumber daya baik dalam satu tingkatan maupun terutama
antar tingkatan terkait dengan persoalan-persoalan yang ada dalam penerapan
kebijakan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian
pembahasan rancang bangun sistem pengorganisasian di bagian akhir bab ini.
5.4. Kapasitas Organisasi
Kedua sub bab tersebut di atas telah menguraikan aspek-aspek dalam sistem
pengorganisasian dari sisi keterkaitan antara organisasi yang terlibat dalam sistem
tersebut. Sub bab ini menganalisis kondisi internal dari setiap organisasi yang
terlibat langsung dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Analisis dilakukan
terhadap efektivitas masing-masing organisasi dan terhadap komponen-komponen
dalam organisasi yang menunjukkan kapasitas organisasi-organisasi tersebut.
Sebagaimana diuraikan di dalam Bab II, penelitian ini membedakan antara
efektivitas dengan kinerja, di mana efektivitas organisasi digunakan untuk
menggambarkan kapasitas organisasi sedangkan kinerja organisasi adalah untuk
menggambarkan hasil yang dicapai oleh organisasi. Pengukuran efektivitas
organisasi dalam penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan untuk
mengukur efektivitas organisasi yang dikemukakan Kreitner dan Kinicki (1992)
yakni pendekatan sistem-sistem yang sehat (healthy system). Pendekatan ini
meminta ukuran-ukuran efektivitas berupa antara lain adanya aliran informasi
yang baik, loyalitas pegawai, komitmen, kepuasan kerja dan kepercayaan.
163
Studi ini mencoba memberikan interpretasi terhadap pendekatan tersebut
karena tidak adanya arahan rinci mengenai hal tersebt. Penerapannya di dalam
penelitian ini adalah dengan membuat ukuran obyektif dan ukuran subyektif
(Young Lee & Whitford 2008). Ukuran obyektif dibangun dari catatan-catatan
atau arsip-arsip, yaitu dokumen-dokumen organisasi yang menunjukkan
komponen-komponen pengukuran efektivitas, seperti tertuang dalam prosedur
pengukuran efektivitas organisasi pada Lampiran 7. Sebagai contoh, Daftar Urut
Kepangkatan (DUK) digunakan untuk menilai kapasitas sumber daya manusia
(SDM) organisasi dari segi tingkat pendidikan dan keikutsertaan dalam pelatihan-
pelatihan yang berhubungan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan. Ukuran
subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari anggota organisasi.
Studi ini menggunakan komponen-komponen efektivitas organisasi dalam
melihat kapasitas organisasi untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam
pengendalian kebakaran. Komponen-komponen yang dimaksud, yang dirangkum
dari Philbin dan Mikhus (2008) dan standar dari good governance (OPM dan
CIPFA 2004) meliputi: (1) visi dan misi, (2) struktur organisasi, (3) sumber daya
manusia, (4) sarana dan prasarana, dan (5) mekanisme kerja. Formula untuk
mengukur efektivitas organisasi pemerintah, terutama dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan belum ditemukan sampai dilaksanakannya studi ini. Studi
ini membuat formula sederhana dengan menjumlahkan skor dari kelima
komponen tersebut di atas.
Hasil analisis dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) terhadap hasil
pengisian angket penelitian oleh para pakar mendapatkan nilai bobot untuk
masing-masing dari kelima komponen kapasitas organisasi tersebut dan
selanjutnya nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam rumus efektivitas organisasi
(EO) sehingga diperoleh rumus pengukuran efektivitas sebagai berikut:
di mana:
V = skor visi dan misi
S = skor struktur organisasi
EO = 0,285V + 0,238S + 0,243D + 0,089P + 0,145M
164
D = skor sumber daya manusia
P = skor sarana dan prasarana
M = skor mekanisme kerja
Nilai-nilai V, S, D, Pdan M diperoleh dari penilaian terhadap kondisi di
lapangan yakni profil organisasi, keberadaan dokumen bukti dari komponen-
komponen tersebut, dan hasil pengisian kuisioner. Penentuan tingkat efektivitas
dilakukan dengan menggunakan rumus tersebut dan memasukkan jumlah skor
minimum dan skor maksimum yang dapat diperoleh organisasi yang diamati.
Jumlah skor minimum adalah 0 (nol), sedangkan jumlah skor maksimum adalah
43. Penilaian efektivitas organisasi dilakukan dengan menempatkan EO hasil
pengamatan terhadap organisasi yang bersangkutan ke dalam daftar kisaran pada
Tabel 12.
Tabel 12 Kisaran untuk penilaian efektivitas organisasi
Tingkat Efektivitas Skor Total Tidak efektif 0 s/d 10,75
Pengukuran efektivitas organisasi dengan menggunakan tabel tersebut
menghasilkan kondisi efektivitas dari organisasi-organisasi yang di amati di tiap
tingkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 13 untuk tingkat nasional, Tabel 14
untuk tingkat provinsi dan Tabel 15 untuk tingkat kabupaten/kota.
Tabel 13 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat nasional
No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO 1 Dit. PKH 8.917 5.678 6.275 1.761 3.553 26.184 E 2 Dit. Linbun 7.441 5.210 5.725 1.404 3.625 23.405 E 3 Dit. Lintan 5.288 6.214 6.318 1.859 4.189 23.868 E 4 Dit. TD 6.270 7.164 6.641 2.035 4.205 26.315 E 5 Asdep PKHL 7.553 5.950 6.500 1.780 3.625 25.408 E
VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; ST = skor total; EO = efektivitas organisasi; E = efektif
165
Tabel 14 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat provinsi
No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO Provinsi Riau 1 Dishut Prov 6.555 5.474 5.832 1.780 3.335 22.976 E
2 Disbun Prov 5.914 4.701 5.346 1.424 2.900 20.285 KE 3 BLH Prov 7.533 5.543 5.623 1.131 3.128 22.958 E 4 BBKSDA Riau 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E Provinsi Kalimantan Barat 1 Dishut Prov 7.233 5.743 5.621 1.424 3.566 23.587 E 2 Disbun Prov 6.726 5.284 6.075 1.355 3.321 22.761 E 3 BLHD Prov 7.664 6.267 6.371 1.711 3.496 25.509 E 4 BKSDA Kalbar 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E
Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif
Tabel 15 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat kabupaten/kota
No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO
Kota Dumai 1 Distanbunhut 5.606 5.077 6.318 1.484 2.900 21.385 KE 2 KLH 5.415 4.284 5.711 1.113 2.828 19.351 KE
Kab. Inhu 1 Dishutbun 5.358 4.950 5.881 1.355 3.031 20.575 KE 2 BLHD 5.415 4.205 5.183 1.217 3.093 19.113 KE
Kab. Kubu Raya 1 Dishutbun 5.448 4.705 5.772 1.300 3.047 20.272 KE 2 BLHD Kab 5.015 3.975 5.303 1.273 3.185 18.751 KE
Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif; KE = kurang efektif
Hasil tersebut menunjukkan bahwa organisasi-organisasi di tingkat nasional
dan provinsi tersebut sudah efektif, sedangkan yang di tingkat kabupaten/kota
masih kurang efektif. Jika dilihat dari besarnya skor yang diperoleh, yang lebih
dekat kepada batas bawah pada tingkat efektif, maka dapat dikatakan bahwa
organisasi-organisasi di tingkat provinsi sudah berada pada tingkat efektif tetapi
166
relatif masih rendah, sedangkan di tingkat kabupaten/kota, hasil pengukuran
menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih belum efektif.
Efektivitas yang masih relatif rendah atau bahkan belum efektif pada
organisasi-organisasi tersebut dapat menunjukkan masih belum terpenuhinya
komponen-komponen prasyarat bagi organisasi yang efektif. Seberapa jauh
masing-masing organisasi tersebut telah memenuhi komponen-komponen tersebut
dapat dilihat dari persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per
komponennya, seperti ditunjukkan untuk organisasi-organisasi di tingkat nasional
pada Tabel 16 berikut. Persentase tersebut juga menggambarkan kapasitas dari
organisasi yang bersangkutan.
Persentase tersebut dihitung dari skor yang diperoleh masing-masing
organisasi pada komponen tersebut dibagi dengan skor maksimum (kontrol) pada
komponen tersebut. Persentase tersebut menunjukkan bahwa semua organisasi
yang diukur pada umumnya telah mencapai lebih dari 50% dari tingkat efektivitas
maksimum, tetapi masih di bawah 75%. Persentase tertinggi yang dicapai Dit.
PKH pada komponen visi dan misi yakni 74,49 % wajar karena hanya organisasi
tersebut yang memang visi dan misinya secara eksplisit menyebutkan unsur-unsur
dari pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Tabel 16 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat nasional
hutan/lahannya dan permintaan bantuan sumber daya untuk mendukung
pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi kekurangan sumber daya
setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah dimobilisasi.
7. Urusan penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi kebakaran hutan/lahan,
diserahkan sepenuhnya kepada organisasi penegak hukum (Polri, Kejaksaan,
dan Pengadilan) di setiap tingkatan. Pusdalkarhutnas dan UPT-PKHL di
207
masing-masing tingkatan hanya berperan memantau dan memberikan
dukungan yang diperlukan oleh organisasi penegak hukum. Keterlibatan
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hanya bersifat membantu dan
mendukung, terutama ketika pelanggaran hukum terjadi di wilayah kerjanya,
serta tetap dalam komando penyidik Polri.
8. Sistem pengorganisasian yang dirancang juga memerlukan penyesuaian status
pengelolaan sumber daya pengendalian kebakaran. Pada saat ini, Kementerian
Kehutanan telah memiliki sebuah brigade pengendalian kebakaran hutan yang
diberi nama Manggala Agni. Nama tersebut disarankan untuk tetap digunakan
untuk semua jajaran pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia karena
nama tersebut sudah cukup dikenal di dunia sebagai organisasi pengendalian
kebakaran hutan/lahan Indonesia. Di dalam sistem pengorganisasian yang
dirancang oleh penelitian ini, keberadaan Manggala Agni tersebut tetap
diperhatikan, tetapi kedudukannya mengalami sedikit perubahan.
Sekarang Manggala Agni berada di bawah UPT-PHKA (Balai/Balai
Besar KSDA atau Taman Nasional) dengan garis komando dari tingkat
terbawah pada Daerah Operasi (Daops) di kabupaten/kota, ke atas di tingkat
provinsi pada UPT-PHKA dan ke tingkat nasional pada Menteri Kehutanan
melalui Direktur Jenderal PHKA. Penunjukan Kementerian Kehutanan
sebagai organisasi penanggung jawab pengendaian kebakaran hutan/lahan
secara otomatis menjadikan Manggala Agni yang sudah ada sebagai modal
dasar.
Di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, integrasi dan koordinasi
Manggala Agni terhadap sistem pengorganisasian tersebut memiliki tiga
alternatif, yaitu:
(a) Manggala Agni tetap dalam komando dan tanggung jawab Kementerian
Kehutanan dengan status penempatan atau kepegawaian pada UPT-PHKA
dengan tanggung jawab utama pada kawasan konservasi. Jika diperlukan
untuk operasi pengendalian kebakaran hutan/lahan, pada tingkat
kabupaten/kota, UPT-PKHL Kab/Kota atas perintah bupati/walikota dapat
meminta langsung kepada Daops Manggala Agni terdekat dan pada tingkat
provinsi, UPT-PKHL Provinsi atas perintah gubernur dapat meminta
208
langsung kepada UPT-PHKA setempat atau terdekat sumber daya
Manggala Agni tersebut. Selanjutnya, sumber daya Manggala Agni
tersebut di bawah kendali operasi (BKO) UPT-PKHL tersebut dengan
tanggung jawab pembiayaan operasional oleh Kementerian Kehutanan
melalui Pusdalkarhutnas kepada UPT-PKHL.
(b) Penempatan sumber daya Manggala Agni dan status kepegawaiannya, yang
mencakup pembinaan karir, gaji/upah, dan berbagai pembiayaan rutin lainnya
tetap di bawah Kementerian Kehutanan melalui UPT-PHKA, tetapi komando
operasional dan seluruh pembiayaan operasional ditanggung oleh anggaran
APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota di bawah Dinas Kehutanan atau
instansi yang ditunjuk gubernur dan bupati/walikota (UPT-PKHL).
(c) Semua sumber daya Manggala Agni ditempatkan dan di bawah komando
serta tanggung jawab UPT-PKHL, termasuk status kepegawaian, pembinaan
karir, gaji/upah dan seluruh pembiayaan operasionalnya. UPT-PKHL Provinsi
bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni di tingkat provinsi dan
UPT-PKHL Kab/Kota bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni
di Daops.
Pada alternatif (c), Manggala Agni yang sumber dayanya ada di Daops
di tingkat kabupaten/kota diserahkan kepada UPT-PKHL Kab/Kota, dan
dengan demikian status kepegawaiannya serta operasionalnya diserahkan
kepada UPT-PKHL Kab/Kota. Alternatif (c) tersebut memberi UPT-PKHL
modal awal berupa sumber daya dari Manggala Agni sehingga langkah ke
depannya tinggal meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya untuk mencapai
tingkat sesuai dengan kebutuhan setempat, sedangkan alternatif (a) dan (b)
akan memaksa UPT-PKHL, terutama di kabupaten/kota untuk memulai
membangun kapasitas sumber dayanya sendiri, karena Manggala Agni
tersebut tidak berada di bawah komando langsungnya. Alternatif (a) akan
tetap memberikan beban kepada Pemerintah Pusat, alternatif (b) akan
membagi beban antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian
Kehutanan dan Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), sedangkan
alternatif (c) akan memberikan beban pengelolaan sumber daya pengendalian
kebakaran hutan/lahan pada pemerintah provinsi dan pemerintah
209
kabupaten/kota, terutama dalam hal manajemen sumber daya manusia seperti
gaji/upah, dan manajemen sarana dan prasarana seperti pengadaan,
operasional dan pemeliharaan. Pemilihan alternatif tersebut masih
memerlukan kajian lebih lanjut, sambil menunggu terbitnya undang-undang
tentang kepegawaian sebagai revisi terhadap UU nomor 43 tahun 1999, yang
dianggap masih sentralistik dan tidak sesuai lagi dengan semangat dan tujuan
desentralisasi (Dwiyono 2011).
Sumber daya pengendalian kebakaran juga telah dimiliki oleh
organisasi-organisasi pemerintah lainnya baik di tingkat nasional, tingkat
provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Status kepemilikan sumber daya
tersebut, baik SDM maupun peralatan pengendalian kebakaran menghadapi
tiga alternatif yang serupa dengan yang ada pada Manggala Agni. Sistem
pengorganisasian dirancang untuk tetap memberikan tanggung jawab
pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan pada instansi pemangku
kawasan hutan/lahan. Oleh sebab itu, instansi-instansi tersebut tetap harus
memiliki dan mengelola sumber daya untuk pengendalian kebakaran di
kawasan pemangkuannya. Rancangan sistem pengorganisasian ini
memberikan penegasan mengenai keharusan adanya mekanisme tertulis yang
disepakati berupa rencana mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran
yang mengatur pengerahan sumber daya yang ada di instansi-instansi tersebut
di bawah komando Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL pada setiap
tingkatannya.
Di samping itu, keberadaan instansi atau organisasi yang sekarang
menangani pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu UPTD-PKHL, seperti di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang merupakan SKPD dan
Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang merupakan organisasi tersendiri
dan bukan SKPD di setiap provinsi dan kabupaten/kota, dalam rancangan
sistem pengorganisasian ini harus dilebur ke dalam UPT-PKHL yang berada
di dalam instansi yang ditunjuk gubernur dan bupati/walikota di setiap
provinsi dan kabupaten/kota. Peleburan tersebut mencakup sumber daya yang
ada di organisasi atau instansi tersebut seperti SDM, sarana dan prasarananya
210
maupun anggaran yang statusnya dipindahkan atau dimutasi kepada UPT-
PKHL.
9. Peranan para pihak non-pemerintah dalam pengendalian kebakaran
hutan/lahan diintegrasikan di dalam sistem pengorganisasian. Hal ini terutama
untuk alasan-alasan antara lain:
(a) Meningkatkan akuntabilitas sosial dalam penyelenggaraan pengendalian
kebakaran. Keterlibatan masyarakat akan mendorong perbaikan kinerja
pemerintah (Antlov & Watterberg 2010).8
(b) Mewujudkan hubungan yang lebih baik antara negara dengan masyarakat
(state-society relation). Sebelumnya masyarakat kurang mendapat tempat
dalam pembuatan kebijakan atau keputusan dan lebih berposisi sebagai obyek
dari kebijakan atau keputusan pemerintah, termasuk dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan. Di era Reformasi hubungan semacam itu bergeser di
mana masyarakat mengambil peranan cukup signifikan sebagai bagian dari
pembuat kebijakan atau keputusan (Hidayat 2010). Keterlibatan masyarakat
yang demikian ini akan membuat mereka ikut merasa bertanggung jawab atas
keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan dirancang
untuk memberikan peluang bagi keterlibatan masyarakat yang lebih jelas. Peranan
utama memang masih dipegang oleh pemerintah dan keterlibatan masyarakat dan
lembaga non-pemerintah tidak tergambarkan secara eksplisit di dalam struktur
organisasi yang ditawarkan, tetapi sebenarnya masyarakat dengan berbagai
disiplin ilmu dan tingkat kapasitas dan kapabilitasnya merupakan bagian dari
unsur pendukung di tiap tingkatan. Keterlibatan masyarakat tertampung di dalam
Forum PKHL di tingkat nasional maupun UPT-PKHL di setiap tingkatan yang
harus memberikan ruang kepada tenaga ahli dan wakil-wakil masyarakat untuk
berperan serta di dalam perumusan kebijakan. Di samping itu, masyarakat dan
lembaga non-pemerintah berperanan memberikan pemantauan dan pengawasan
kepada pemerintah melalui berbagai mekanisme yang ada, baik secara moral
maupun secara yuridis. 8 Akuntabilitas sosial adalah kewajiban pemerintah dan DPRD (yang diberi kuasa oleh warga) untuk menyajikan pertanggungjawaban dan jawaban atas pelaksanaan tanggung jawab kepada mereka yang memberi amanah, yaitu masyarakat.
211
Posisi dan peranan masyarakat sangat penting pada tingkatan di bawah
kabupaten/kota, terutama di tingkat desa. Prinsip uniformitas struktur yang
menyamakan struktur organisasi pemerintahan desa sekarang sudah ditinggalkan
dan dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
desa diberikan kebebasan untuk menyusun struktur organisasi pemerintahannya
sendiri sesuai dengan kebutuhan (Rasyid 2009). Langkah-langkah pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup berupa pembentukan kelompok-kelompok masyarakat peduli api (MPA)
harus lebih ditingkatkan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Australia yang
lebih menitikberatkan kekuatan sumber daya pengendalian kebakarannya pada
para relawan yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam rancangan
ini, MPA menjadi bagian dari struktur Pusdalkarhutla pada sumber daya manusia.
Sangat diharapkan bahwa MPA dapat menjadi bagian dari struktur pemerintahan
desa atau setidaknya menjadi bagian dari uraian tugas salah satu bagian dari
struktur pemerintahan desa tersebut.
5.5.4. Prasyarat Bagi Sistem Pengorganisasian
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang
diusulkan penelitian ini akan dapat berjalan dengan baik jika dan hanya jika
memenuhi beberapa prasyarat seperti diuraikan di bawah ini.
(1) Pemahaman dan persepsi yang tepat tentang desentralisasi dan otonomi
daerah
Sistem pengorganisasian tersebut di atas memberlakukan hubungan
koordinatif antara tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten/kota karena sistem
yang diterapkan dalam desentralisasi dan otonomi daerah tidak memungkinkan
lagi diterapkannya komando dari atas ke bawah. Namun demikian, prinsip
kesatuan komando tetap harus dipegang untuk menghindarkan kesimpangsiuran.
Prinsip tersebut menghendaki kesamaan persepsi bahwa meskipun masing-masing
tingkatan diberikan kebebasan menetapkan strategi dan taktik pengelolaan
kebakarannya, bukan berarti bahwa masing-masing kemudian bebas
melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan di atasnya. Keberadaan Forum
212
PKHL diharapkan dapat menjadi ajang diskusi untuk mempertemukan
kepentingan dari masing-masing tingkatan. Kekhawatiran sementara pimpinan
organisasi di provinsi dan kabupaten/kota tentang sentralisasi yang membatalkan
prinsip-prinsip otonomi daerah, seperti terungkap dalam wawancara, dapat
dibicarakan di dalam forum tersebut.
Sistem pengorganisasian yang akan dibangun dari hasil penelitian ini tidak
akan menentang prinsip-prinsip otonomi di negara kesatuan, yang menurut
Hidayat (2010) terutama adalah berupa pembagian wewenang. Hal ini bermakna
bahwa rantai komando tetap sesuai dengan prinsip otonomi dan sifat hubungannya
adalah hubungan sinergistik. Hubungan sinergistik adalah hubungan kegiatan
kooperatif subsistem-subsistem semi independen yang bersama-sama
menghasilkan keluaran (output ) total yang lebih besar dibandingkan dengan
jumlah output mereka masing-masing disatukan secara independen (Winardi
2005).
Kesatuan komando dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan ini tidak berarti bahwa setiap organisasi di level atas dapat seenaknya
memerintahkan organisasi-organisasi di level bawahnya, melainkan tetap
menghormati hirarki pertanggungjawaban. Sebagai contoh, Direktur PKH di
tingkat nasional tidak dapat mengomando langsung Kepala Dinas di provinsi,
Dinas Kehutanan sekalipun, apalagi Kepala Dinas di kabupaten/kota.
Pemahaman bahwa otonomi daerah sebagai pemisahan atau pemberian
kewenangan penuh kepada daerah dan pemerintah di atasnya tidak boleh campur
tangan kepada pemerintah daerah di bawahnya juga harus diluruskan. Padahal
menurut landasan konsepsi mengenai hubungan pusat dan daerah dinyatakan
bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah harus melakukan supervisi,
monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building)
terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah
kabupaten/kota tersebut bisa berjalan secara optimal (Suwandi 2009). Jika hal
tersebut dipahami dan dipersepsi dengan tepat, rancangan sistem pengorganisasi
ini pada dasarnya menganut prinsip kesatuan komando dari tingkat nasional
213
sampai kabupaten/kota, tetapi memberikan kebebasan kepada provinsi dan
kabupaten/kota untuk implementasi komando tersebut.
Pemahaman dan persepsi yang tepat mengenai prinsip-prinsip otonomi
daerah dan berbagai peraturan yang bersangkutan dapat dibangun melalui
penyiapan para calon pimpinan dan staf pemerintahan, hal yang tampaknya
terlupakan di era Reformasi ini. Penyiapan yang dimaksud adalah adanya
persyaratan yang ketat untuk rekrutmen di mana pemahaman dan persepsi yang
tepat tersebut menjadi salah satunya, dan sistem pendidikan dan pelatihan yang
mampu membekali mereka dengan pemahaman dan persepsi yang tepat tersebut.
Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim) dari berbagai tingkat sampai
dengan kursus Lemhanas yang memberikan materi berisi berbagai aspek dari
desentralisasi dan otonomi daerah harus diberlakukan tidak hanya bagi para calon
pimpinan organisasi-organisasi SKPD melainkan juga bagi para calon pimpinan
organisasi di tingkat nasional dan para calon kepala daerah sebelum pemilukada.
(2) Landasan yang kuat bagi pembangunan sistem pengorganisasian
Kelemahan utama sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan sekarang ini adalah belum adanya landasan pembentukan
pengorganisasian yang terpadu untuk semua tingkatan. Di tingkat nasional sampai
saat ini belum jelas pengorganisasiannya karena memang belum dilakukan
pembentukan. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pengorganisasian dibentuk
dengan landasan yang sama di masing-masing tingkatan, yaitu peraturan gubernur
di provinsi dan peraturan bupati/walikota di kabupaten/kota.
Peraturan gubernur maupun peraturan bupati/walikota tersebut ternyata
tidak memiliki kekuatan untuk menjadikan organisasi yang dibentuk tersebut
sebagai SKPD. Untuk itu, penempatan organisasi pengendalian kebakaran
hutan/lahan sebagai bagian dari struktur SKPD yang ada secara otomatis
menjadikan organisasi tersebut sebagai bagian dari SKPD, sehingga anggaran
belanja organisasi dapat disediakan melalui APBD maupun sumber-sumber lain
yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
Landasan hukum yang kuat juga perlu diberikan kepada organisasi yang
diberi wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator di tiap tingkatan agar
214
dapat bergerak bebas dalam pengendalian kebakaran di semua fungsi kawasan
hutan dan lahan. Selama ini, instansi kehutanan, baik unit pelaksana teknis (UPT)
Kemenhut yakni Balai Besar/Balai KSDA atau TN maupun dinas kehutanan
provinsi dan kabupaten berperan lebih besar daripada organisasi pemerintah
lainnya dalam pengendalian kebakaran. Hal ini tampak pada persentase kejadian
kebakaran yang relatif lebih rendah di kawasan hutan daripada di lahan.
Organisasi-organisasi tersebut telah memperoleh kepercayaan dari organisasi
pemerintah yang lain maupun masyarakat untuk menangani kebakaran tidak
hanya di kawasan hutan, melainkan juga di lahan, tetapi organisasi kehutanan
tersebut tidak memiliki landasan hukum untuk secara langsung melakukan
pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. Keterlibatan
organisasi-organisasi tersebut dalam pengendalian kebakaran di luar kawasan
hutan biasanya karena permintaan bantuan oleh instansi pemangku lahan atau
karena instuksi gubernur atau bupati/walikota. Oleh sebab itu, sistem
pengorganisasian yang diusulkan perlu memberikan landasan hukum yang
mengijinkan organisasi yang ditunjuk dan diberi wewenang dan tanggung jawab
sebagai koordinator untuk dapat “memasuki” semua fungsi kawasan hutan dan
lahan.
(3) Komitmen yang kuat untuk pengembangan organisasi
Organisasi di masa kini harus mampu menghadapi perubahan yang begitu
cepat kondisi lingkungannya, oleh sebab itu organisasi perlu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan (pasar) yang berubah-ubah dan pada saat yang sama perlu
mengatasinya dengan pembaruan dan bukan sekadar reaktif (Brown & Harvey
2006). Organisasi terus-menerus berinteraksi dengan lingkungannya, bukan hanya
lingkungan setempat melainkan sampai pada lingkungan global. Kebakaran
hutan/lahan telah menjadi masalah nasional dan global. Hal ini harus dipahami
dan disadari oleh setiap pembuat kebijakan di setiap tingkatan.
Para pembuat kebijakan perlu berkomitmen kuat bahwa masalah kebakaran
hutan/lahan harus ditangani bersama oleh semua tingkatan. Mereka harus
memiliki komitmen untuk mengubah orientasi organisasinya kepada orientasi
nasional dan global, mengubah dari sentimen kedaerahannya menjadi sentimen
215
nasional dan global. Oleh sebab itu, agar rancangan sistem pengorganisasian
tersebut dapat diterapkan diperlukan kemauan para pembuat kebijakan, termasuk
para pimpinan organisasi-organisasi yang terkait di semua tingkatan untuk mau
mengubah organisasinya dari organisasi yang berjalan biasa-biasa saja menjadi
organisasi yang berjalan sesuai dengan kebutuhan lingkungannya, sehat dan
efektif.
Salah satu wujud dari komitmen tersebut adalah kemauan para pembuat
kebijakan untuk melakukan perubahan yang terkait dengan kebutuhan vital
organisasi yaitu anggaran. Mereka harus menciptakan suatu mekanisme
penyediaan dan penggunaan serta pertanggungjawaban anggaran yang menjamin
tersedianya dana dengan cepat pada waktu diperlukan untuk pengendalian
kebakaran. Penulis dalam kunjungan ke Markas NIFC di Boise, Idaho, Amerika
Serikat pada tahun 1997 memperoleh penjelasan bahwa NIFC memiliki
mekanisme penyediaan anggaran yang menjamin tersedianya dana pemadaman
kebakaran siap dalam satu-dua jam, sehari, dan beberapa hari ke depan sesuai
dengan kebutuhan dan dapat dikeluarkan dengan persetujuan Direktur NIFC.
Komitmen lain yang diperlukan dari para pembuat kebijakan, terutama para
pembuat peraturan baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan-
peraturan teknis, untuk mau membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan-
peraturan yang rinci. Kebijakan dan peraturan yang akan menjadi landasan kerja
organisasi harus dibuat cukup rinci dan jelas, termasuk tafsirannya, sehingga
setiap pihak yang berkepentingan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan,
terutama yang menjalankan organisasi, masing-masing mengetahui dengan jelas