Top Banner
271 Bab Sembilan Esuriun Orang Bati: Kekuatan Bertahan Hidup (Survival Strategy) dengan Cara- Cara Hidup Sesuai Kebudayaan Analisis temuan penelitian (sintesa) tentang Esuriun 1 Proses integrasi merupakan unsur penting dalam sistem sosial Orang Bati sehingga erdasarkan data empirik bahwa teori AGIL (Adaptation to the environment, Goal attainment, Integration, and Latenty) relevan untuk melakukan analisis fenomena Orang Bati. Dalam teori fungsionalisme Parson dengan konsep “fungsi pokok” (fungtional imperative) menggambarkan empat macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati”. Teori Parsons (dalam Suwarno dan Alvin, 2006 : 10-11) memahami masyarakat tidak ubahnya seperti memahami organ tubuh manusia yaitu ; Pertama, struktur tubuh manusia memiliki bagian yang saling berhubungan satu ) Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk mengungkapkan fenomena Orang Bati yang selama ini terus bertentangan atau paradoks dalam masyarakat. Sampai masa kini Orang Bati dipersepsikan orang luar (Orang Maluku) sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang terbang-terbang, orang misteri, orang yang menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Se- bagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa penuturan mengenai Orang Bati adalah mitos. Analisis kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk menjelaskan integrasi yang dicapai Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group) untuk bertahan hidup (survival strategy). 1) Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran agar Orang Bati saling menjaga dan melindungi hak milik berharga yang meliputi manusia, tanah, hutan, identitas, adat, budaya, dan lainnya untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang dan mewujudkan eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa.
122

Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

May 22, 2019

Download

Documents

LyMinh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

271

Bab Sembilan

Esuriun Orang Bati: Kekuatan Bertahan Hidup (Survival Strategy) dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

Analisis temuan penelitian (sintesa) tentang Esuriun1

Proses integrasi merupakan unsur penting dalam sistem sosial Orang Bati sehingga erdasarkan data empirik bahwa teori AGIL (Adaptation to the environment, Goal attainment, Integration, and Latenty) relevan untuk melakukan analisis fenomena Orang Bati. Dalam teori fungsionalisme Parson dengan konsep “fungsi pokok” (fungtional imperative) menggambarkan empat macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati”. Teori Parsons (dalam Suwarno dan Alvin, 2006 : 10-11) memahami masyarakat tidak ubahnya seperti memahami organ tubuh manusia yaitu ; Pertama, struktur tubuh manusia memiliki bagian yang saling berhubungan satu

) Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk mengungkapkan fenomena Orang Bati yang selama ini terus bertentangan atau paradoks dalam masyarakat. Sampai masa kini Orang Bati dipersepsikan orang luar (Orang Maluku) sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang terbang-terbang, orang misteri, orang yang menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Se-bagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa penuturan mengenai Orang Bati adalah mitos. Analisis kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk menjelaskan integrasi yang dicapai Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group) untuk bertahan hidup (survival strategy).

1)Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran agar Orang Bati saling menjaga dan melindungi hak milik berharga yang meliputi manusia, tanah, hutan, identitas, adat, budaya, dan lainnya untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang dan mewujudkan eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa.

Page 2: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

272

sama lain, artinya masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Untuk menggambarkan koordinasi yang harmonis antar kelembagaan tersebut, Parsons menggunakan konsep “sistem”; Kedua, setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas (spesifik). Demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat, yang dianalogikan se-bagai tubuh manusia sehingga konsep “keseimbangan dinamis-stationer” (homeostatic equilibrium). Menurut Parson satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dalam mencapai keseimbangan baru dan perubahan tidak dapat dilakukan secara cepat karena dapat menggoncangkan fungsi-fungsi dari tubuh manusia itu sendiri.

Beberapa asumsi pokok teori Parson (dalam Kinloch, 2005 : 188-190) digunakan sebagai pintu masuk untuk menganalisis fenomena Orang Bati di Maluku dapat dikemukakan sebagai berikut; (1) Sistem sosial diasumsikan untuk memunculkan sui generis, yaitu masyarakat memiliki realitas indenpenden untuk melintasi eksistensi individu se-bagai sutau sistem interaksi; (2) Struktur sosial atau subsistem masya-rakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang mendasarinya (struktur mewakili fungsi) atau problem sistem yang mendasarinya. Fungsi-fungsi ini terdiri atas integrasi (sistem sosial di dasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui integrasi normatif), pola pertahanan (sistem budaya nilai-nilai dan nilai generalisasi) pencapai tujuan (sistem kepribadian-basis pembedaan), dan adaptasi (organisasi perilaku-basis peran-sistem ekonomi); (3) Sistem sosial sebaiknya terdiri atas empat subsistem yaitu komunitas masyarakat (norma-norma integratif) pola pertahanan (nilai-nilai integratif), bentuk atau proses pemerintahan (diterapkan untuk per-olehan tujuan), dan ekonomi (diterapkan untuk adaptif). Fokus utama sistem sosial ini adalah internal, integrasi normatif. Sementara itu basis masyarakat adalah tingkat kecukupan diri yang relatif bagi lingkungan; (4) Sifat hakiki sistem kehidupan pada semua tingkatan organisasi dan perkembangan evolusioner dengan asumsi yang ada yaitu kelanjutan

Page 3: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

273

sistem kehidupan; (5) Fokus atau landasan sentral masyarakat adalah kecenderungan terhadap equilibriun dan homeostatik.

Proses sentral megenai hubungan empat subsistem aksi yaitu interpenetrasi, internalisasi masyarakat, fenomena budaya ke dalam kepribadian, dan institusionalisasi komponen-komponen normatif se-bagai struktur konstitutif. Sistem sosial ini kemudian dipandang sebagai sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium secara kuat; (6) Sistem tidak dipandang statis dari pada suatu kapasitas yang dimiliki-nya untuk evolusi yang adaptif. Proses sentral perubahan evolusi me-ngandung pembedaan (differentiation) pada (pembagian lebih jauh atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan kebebasan unit-unit sosial dari sumber kekerasan). Analisis temuan penelitian dengan menggunakan teori Parson untuk meng-analisis Esuriun Orang Bati: kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan diawali dengan pencapaian integrasi kultural oleh kelompok Patasiwa dan Patalima yang berbeda untuk mewujudkan integrasi eksistensial guna me-negaskan identitas Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa oleh orang luar (Orang Maluku). Lebih jauh dari itu persepsi dari se-bagian besar Orang Maluku mengenai penuturan tentang Orang Bati dianggap mitos. Ternyata penuturan seperti itu Orang Bati sangat me-mahami keadaan yang berkembang di luar komunitas mereka, sehingga pencapaian integrasi eksistensial dari kelompok sosial yang berbeda di-maksudkan agar Orang Bati dapat menunjukkan pada orang lain me-ngenai jati diri yang sebenarnya. Tetapi selama ini Orang Bati tidak mengetahui cara yang tepat untuk menyatakannya. Utuk itu sampai se-karang Orang Bati dianggap bukan manusia maupun sukubangsa. Pencapaian integrasi eksistensil dari Orang Bati yang dianalisis melalui studi ini diawali dengan kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dapat di-kemukakan lebih lanjut:

Page 4: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

274

Esuriun Orang Bati: Kisah Turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari Hutan dan Gunung (Madudu Atamae Yeisa Tua Ukara)

Ketika menjalani hidup secara bersama pada tempat kediaman

awal di Pulau Seram Bagian Timur yang bernama Samos di sekitar Gunung Bati terdapat dua kelompok sosial yaitu Patasiwa dan Pata-lima. Selama menjalani hidup secara bersama di Samos kelompok Pata-siwa dan Patalima bersepakat (mafakat sinabu) untuk hidup secara damai di atas falsafah saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) di antara sesama Orang Bati. Kehidupan tersebut telah dijalani oleh leluhur Orang Bati di Samos sampai dengan kedatangan kelompok suku Alifuru yang mendiami Soabareta di sekitar Gunung Bati menyatu (terintegrasi) dengan kelompok Alifuru yang mendiami Samos melalui mekanisme adat Esuriun Orang Bati. Secara sosio-kultural, kehidupan dari kedua kelompok sosial tersebut berbeda. Ber-dasarkan sejarah lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati bahwa sejak awal kehidupan di Samos maupun Soabareta terdapat kelompok sosial Patasiwa dan Patalima. Masing-masing kelompok pata mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya yang berbeda-beda. Apabila anak cucu keturunan Alifuru tersebut se-lalu hidup bermusuhan seperti kelompok suku lainnya di Seram di-pastikan bahwa kehidupan mereka terancam dan bisa mengalami ke-punahan. Usaha menyatukan kekuatan untuk bertahan hidup (survive) melalui adat Esuriun Orang Bati, berarti tercipta keseimbangan dalam sistem kehidupan komunitas. Dapat dikatakan bahwa peristiwa Esu-riun Orang Bati merupakan awal dari suatu kesuksesan agar anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati dapat bertahan hidup (survive) dengan lingkungan.

Perwujudan Esuriun Orang Bati sehingga pencapaian integrasi eksistensial telah menjadi dorongan kuat agar keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati melakukan strategi turun dari hutan dan gunungan (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, identitas, tradisi, adat, kebudayaan, sumber daya alam, dan lainnya agar bisa bertahan hidup (survive). Kisah Alifuru Bati atau

Page 5: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

275

Orang Bati turun dari hutan dan gunung berkaitan dengan kosmologi di mana relasi antara alam semesta dan manusia berada dalam suatu siklus yang senantiasa berputar di mana makna tentang “Manusia Batti” sebagai manusia berhati bersih adalah leluhur yang tercipta melalui evolusi daratan Seram, dan tana (tanah) merupakan unsur penting yang berkaitan dengan penciptaan. Tana (tanah) adalah bernyawa sama se-perti manusia, sehingga dalam kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati makna tana (tanah) menjadi sumber kehidupan untuk mewujudkan kelangsungan hidup jangka panjang.

Tana (tanah) memiliki kaitan dengan proses mengeringnya darat-an Seram yang saat itu tergenang oleh air laut. Maka usaha mewujud-kan hidup secara damai di antara sesama anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dengan konsep saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) di antara mereka yaitu berkaitan dengan tanah agar tetap lestari. Untuk itu wilayah kediaman Orang Bati di-namakan Tana (Tanah) Bati. Usaha Orang Bati untuk menjaga dan me-lindungi identitas Bati yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati adalah final, dan terus dilembagakan. Melalui fungsi dan peran dari lembaga adat Esuriun Orang Bati, kemudian Orang Bati melakukan aktivitas turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, gunung, identitas, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya.

Kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (ber-nilai) adalah strategi mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) dilakukan secara damai karena tidak menimbulkan konflik maupun pertikaian dengan orang lain. Dalam lembaga adat Esuriun Orang Bati terdapat nilai dasar (basic value) mengenai “manusia ber-hati bersih” atau “Batti”. Nilai dasar (ngavin) tentang “manusia berhati bersih” terdapat dalam pandangan Alifuru Bati atau Orang Bati tentang kekuatan yang bersifat kesemestaan.

Berdasarkan kosmologi Orang Bati, maka nilai dasar tentang Manusia Batti yang bersifat kesemestaan adalah makrokosmos, se-

Page 6: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

276

dangkan Alifuru Bati atau Orang Bati adalah mikrokosmos, kemudian dihubungkan dengan Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos yang di-implementasikan melalui cara-cara hidup berdasarkan kebudayaan Orang Bati yang dilestarikan dalam kehidupan individu, keluarga, kerabat, dan komunitas sampai saat ini untuk memberi citra bahwa Orang Bati memiliki jati diri (identitas).

Persepsi Orang Bati mengenai nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam ideologi Batti yang bersifat kesemestaan menjadi dasar dalam kisah Esuriun Orang Bati di mana kelompok Patasiwa dan Patalima yang terintegrasi di Tana (Tanah) Bati memiliki baileu di alam terbuka, dan cirinya tidak sama dengan konsep baileu yang terdapat pada ke-lompok Patasiwa dan Patalima pada masyarakat lainnya di Pulau Seram maupun Maluku yaitu berupa bangun fisik (rumah) yang dibuat dan ditempatkan secara khusus pada setiap lingkungan negeri (adat). Baileu merupakan tempat yang sakral, karena itu dimanfaatkan untuk me-menuhi kebutuhan hidup sesuai adat. Tempat yang dijadikan sebagai baileu bagi Orang Bati yang terdapat di alam terbuka adalah tempat yang sangat sakral karena mereka percaya bahwa tempat tersebut senantiasa dijaga dan dilindungi oleh roh para leluhur (Tata Nusu Si) yaitu “Manusia Batti” yang sangat ditakuti, dihargai, dihormati, dan sebagainya oleh generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati.

Apabila kisah Esuriun Orang Bati dipahami sebagai peristiwa nyata yang dilakukan Orang Bati secara sengaja untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik berharga. Kisah kehidupan yang dijalani dalam Esuriun Orang Bati memiliki khasan tertentu, yang dimaknai oleh Betrand dalam Wisadirana (2005 ; 41) bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu sejarah dan sebagian besar produk dari suatu proses evolusioner. Kisah nyata Esuriun Orang Bati apabila dipahami menurut teori Parson, berarti melalui Esuriun Orang Bati tercipta suatu sejarah yang sangat penting bagi keturunan pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Artinya peristiwa yang berkaitan dengan Esuriun Orang Bati adalah bagian dari keseluruhan sistem ke-hidupan Alifuru Bati atau Orang Bati yang telah mengalami proses adaptasi, terintegrasi, mengikuti pola nilai budaya yang dianut secara bersama sebagai orang satu asal untuk pencapaian tujuan hidup yang

Page 7: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

277

diinginkan yaitu hidup secara damai, sehingga keturunan (generasi penerus) tradisi dan kebudaya Bati dapat bertahan hidup pada setiap lingkungan, dan lebih jauh dari itu adalah spesis Orang Bati tidak punah dalam lingkungannya sendiri.

Kisah Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai suatu proses perubahan cara hidup yang khas dari kelompok sosial Patasiwa dan Patalima yang awalnya berbeda-beda kemudian menyatu, kemudian menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati. Artinya perubahan pada unsur apapun dalam suatu sistem ditentukan oleh unsur-unsur lainnya. Demikian pula setiap unsur merupakan unsur determinan unsur lainnya (Berry dalam Wirutomo (2003 ; 15). Mekanisme pe-rubahan yang berlangsung dalam struktur sosial Alifuru Bati atau Orang Bati dilakukan secara sengaja melalui suatu proses yang panjang sehingga tahapan perubahan tersebut telah memperkuat ikatan-ikatan sosial di antara sesama orang satu asal yaitu dari anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina. Dampak perubahan yang berlangsung terut menguatkan aspek kelembagaan adat Esuriun Orang Bati sehingga menjadi mata-rantai kehidupan dalam sistem sosial Orang Bati. Esuriun Orang Bati yang diwujudkan melalui kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara), kemudian mekanisme tersebut dilembagakan dalam adat berarti fungsi kelembagaan pada sistem sosial menjadi hidup. Mekanisme perubahan tersebut oleh Jarvie (dalam Sztompka, 2005 : 260) karena kehidupan sosial memiliki kekhasan kesatuannya, karena mengandung proses dan hubungan timbal-balik dari, dan dibentuk oleh tindakan anggotanya. Seperti itu adalah gambaran tentang cara-cara hidup sesuai kebudayaan yang dimiliki Orang Bati dari waktu ke waktu sehingga melalui Esu-riun Orang Bati sebagai basis nilai untuk bertahan hidup (survival strategy).

Esuriun Orang Bati: Nilai Dasar (Basic Value) untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Berdasarkan kisah Esuriun Orang Bati yang telah dikemukakan

maka nilai dasar (basic value) yang terdapat dalam kosmologi Alifuru

Page 8: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

278

Bati atau Orang Bati tentang “Manusia Batti” atau “manusia berhati bersih” yang bersifat kesemestaan adalah manusia yang sempurna dan hidup sepanjang masa. Makna yang terdapat dalam manusia berhati bersih adalah penguasa jagat raya yang setiap saat menyertai mereka sebagai anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati. Nilai dasar (ngavin) tersebut merupakan simpul pengikat yang kuat, kokoh, dan ulet (berketahanan), sehingga menjadi idealisme dan sekaligus menjadi tujuan hidup bersama dari keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati, maupun orang yang menganut ideologi Batti, dan yakin pada kebenar-an nilai tersebut oleh keturunan Alifuru Seram di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), maupun orang-orang yang mendiami pulau-pulau lainnya di Maluku.

Bersumber pada nilai dasar (ngavin) tentang manusia berhati bersih, maka penganut ideologi Batti sendiri maupun orang luar ber-anggapan bahwa penyebutan nama “Batti” dan “Bati” yang dianggap sama, sehingga tidak boleh digunakan atau disebut secara sembarangan karena pamali (tabu). Nama Batti maupun Bati selama ini oleh orang luar dimaknai sama oleh orang luar (Orang Maluku) dianggap sakral. Untuk itu dilarang keras pada individu, kelompok, komunitas, maupun masyarakat untuk menyebut-nyebut nama Bati tersebut secara sem-barangan. Dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku, sangat diyakini oleh Orang Bati sendiri maupun orang luar (Orang Maluku) bahwa orang yang sengaja menyebut nama “Batti” dan “Bati” secara sem-barangan maka orang yang bersangkutan bisa sakit, disakiti, diculik, dan sebagainya. Dalam interaksi sosial, ternyata wacana mengenai nama “Batti” maupun “Bati” yang selama ini dijadikan oleh orang luar sebagai perlindungan sosial maupun mencegah konflik. Realitas ini dapat dijumpai dalam kehidupan Orang Patasiwa dan Patalima yang mendiami negeri-negeri adat di Maluku Tengah (Ambon, Lease, dan Seram) yang sering terlibat dalam permusuhan, apabila terjadi kasus orang hilang (anak kecil maupun perempuan), penculikan, dan lainnya kemudian nama Bati digunakan sebagai pembenaran dalam kasus seperti itu maka konflik maupun pertikaian di kalangan individu, ke-lompok, komunitas, maupun masyarakat yang mendiami negeri (adat) atau desa yang berpotensi menimbulkan pertikaian, ternyata dapat di-

Page 9: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

279

hindari karena secara tidak sadar simbol Bati telah berperan dalam me-wujudkan perdamaian.

Nama Batti yang melekat pada “Manusia Batti” memberikan ke-yakinan kuat pada keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga menjadi kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan yang dianut Orang Bati. Strategi bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati melalui cara hidup yang sesuai dengan kebudayaan diimplementasikan pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas. Walaupun Orang Bati men-diami lingkungan terisolasi, namun mereka tidak mengalami ke-punahan karena nilai dasar mengenai manusia berhati bersih “Bati” atau “Batti” memberikan kekuatan hidup pada Orang Bati agar memegang kuat falsafah hidup untuk saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (ber-nilai). Falsafah hidup ini memberikan kekuatan bertahan hidup (sur-vival strategy) pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas karena ratusan tahun Orang Bati hidup dalam keadaan terisolasi dan terabaikan tepat tidak mengalami kepunahan. Nilai dasar mengenai manusia berhati bersih atau “Batti” terus dilakukan melalui proses pelembagaan (institusionalisasi). Dalam menjalani hidup ke-seharian sesuai kebudayaan, ternyata basis nilai Batti yang telah ter-lembaga melalui adat Esuriun Orang Bati terus digunakan untuk ber-tahan hidup (survival strategy), terutama mengelola lingkungan sosial dan lingkungan alam (fisik).

Berdasarkan tradisi, adat-istiadat, maupun kebudayaan Orang Bati, maka dalam interaksi sosial tidak semua keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati menggunakan nama Bati. Sesuai adat yang berlaku, maka keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami lokasi kediaman di Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi atau “Bati Garuda” yang boleh menggunakan nama Bati untuk lokasi pemukiman maupun penyebutan terhadap diri mereka. Kesepakatan adat yang di-capai melalui Esuriun Orang Bati bahwa keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yang menggunakan identitas Bati untuk penyebutan diri, kelompok, komunitas, teritorial, dan sebagainya adalah anak cucu ke-turunan Orang Bati yang menjalani kisah langsung turun dari hutan

Page 10: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

280

dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) mengikuti rute per-jalanan “Manusia Batti” sampai di lokasi bernama Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda) atau Bati Awal.

Pemahaman terhadap nilai Esuriun Orang Bati yang sifatnya abstrak apabila dikaitkan dengan pemikiran Clyde Kluckhon berupa suatu konsepsi, eksplisit atau implisit, khusus bagi seseorang atau me-rupakan ciri suatu kelompok yang diinginkan, yang mempengaruhi pemilihan cara, alat dan akhir yang diharapkan dari suatu tindakan (Posser, 1978 : 176). Timbul pertanyaan bahwa nilai itu bersumber dari mana? Dalam tradisi dan kebudayaan Bati, nilai Esuriun Orang Bati bersumber dari hati manusia yang bersih. Makna Batti sebagai ”manusia berhati bersih” senantiasa menjadi penuntun untuk me-munculkan pikiran manusia yang bersih, perilaku hidup individu maupun kelompok yang bersih, dan sebagainya. Nilai dasar tersebut bersumber dari nurani manusia yang bersih karena berisi ”suara ke-baikan” (famumuk ngavin) sehingga menjadi pedoman hidup tertinggi pada Orang Bati.

Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati dipersepsikan benar menurut paradigma Orang Bati dan telah merasuk dalam alam pikiran maupun nurani (hati) atau batin manusia yang bersih (Batti) sehingga menjadi sumber dan sekaligus sebagai penumbuh nilai yang benar untuk menjalani kehidupan dengan lingkungan di mana mereka berada. Dalam pandangan Orang Bati tentang hakikat Esuriun Orang Bati bersifat kesemestaan, menjadi kunci kehidupan yang sangat penting yang dimaknai sebagai “matikan eksistensi alam semesta”. Apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut di-kaitkan dengan pendapat Posser (1978 : 303) karena seseorang me-lakukan tindakan yang tampaknya tidak rasional bagi orang yang tidak menganut sistem nilai yang sama.

Artinya kandungan nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati lahir dari pikiran dan nurani manusia yang bersih untuk masuk ke alam nyata, dan dijalani oleh Orang Bati. Implementasi dari nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut mesti tidak sama dengan nilai yang dianut oleh orang lain karena sistem nilai yang membentuk perilaku Orang Bati sangat berbeda dengan orang lain.

Page 11: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

281

Dalam perspektif Orang Bati, nilai tentang Bati atau manusia berhati bersih senantiasa berisi suara kebaikan, dan suara kebaikan ini muncul dari ”niat” (lamino) dari setiap orang. Niat (lamino) yang baik maupun buruk yang terdapat dalam hati manusia tidak dapat disembunyikan pada Orang Bati. Niat yang baik di mata Orang Bati bukan saja terletak pada pembicaraan seseorang yang indah-indah, tetapi yang terpenting adalah wujud dari perbuatan yang sesuai dengan pembicaraan.

Nilai tentang baik dan buruk setiap saat dapat dipengaruhi oleh kondisi yang bersumber dari dalam diri manusia maupun kelompok, dan juga bisa datang dari luar lingkungan yang berwujud suara ke-baikan (famumuk ngavin) dan suara keburukan (famumuk galotak). Nilai yang dianut oleh individu maupun kelompok dapat saja di-pengaruhi oleh suatu kondisi yang berada di luar maupun dari dalam lingkungan sehingga perlu ada filter (penyaring). Tetapi nilai dasar se-bagai kekuatan bertahan telah memberikan ketahanan diri (self defence) pada Orang Bati. Sebab batas antara pengaruh suara kebaikan dan suara keburukan pada manusia sangat tipis. Untuk itu pada katika (ruang, waktu, kondisi, dan situasi) tertentu yang tepat seseorang mau-pun sekelompok orang dapat melakukan hal yang baik, tetapi dapat juga melakukan hal yang buruk. Hal itu sangat tergantung pada nilai dasar yang dianutnya.

Makna nilai dasar dalam Esuriun Orang Bati seperti dikemuka-kan telah menjadi pedoman hidup bersama Orang Bati dan menjadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) meng-hadapi tekanan (presure) baik yang bersumber dari dalam maupun yang berasal dari luar. Dapat dikatakan bahwa nilai dasar yang ter-dapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi basis untuk mengembangkan kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada teritorial genealogis atau wilayah roina kakal. Nilai dasar tersebut dijadikan sebagai strategi untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, kebudayaan, dan lainnya se-bagai hak milik yang berharga, dan dimaknai sebagai “Dunia Orang Bati” yang sesungguhnya sehingga menjadi simpul pengikat yang tidak lapuk oleh waktu.

Page 12: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

282

Aktualisasi dari nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam konteks Esuriun Orang Bati yaitu diwujudkan melalui “niat” dari orang atau manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas karena fungsi dan peran dari Esuriun Orang Bati berkaitan dengan religi, mitologi Gunung Bati, mitologi Seram Gunung Manusia, maupun kosmologi Orang Bati (Tata Nusu Si-Esuriun-Alifuru Bati) yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survive) sampai saat ini. Persepsi Orang Bati seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat Pursen (1988 : 37) bahwa mitologi itu memberikan arah kepada ke-lakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya ke-kuatan alam. Turut ambil bagian dinamakan partisipasi.

Berdasarkan makna kehidupan nyata yang didambakan melalui Esuriun Orang Bati yang sengaja dilakukan untuk menjaga dan me-lindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap seluruh hak milik yang berharga (bernilai) dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) se-bagai ruang hidup adalah cara memaknai kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bat. Perbedaan makna tersebut oleh Pursen (2006 : 38-39) karena fungsi mitologi untuk menyadarkan manusia bahwa ada ke-kuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos bertalian erat dengan fungsinya yang pertama memberikan jaminan masa kini.

Makna tentang mitos seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai pelabuhan di mana semua kekuatan hidup memiliki tempat berlabuh memiliki kekuatan mengikat. Persoalan mendasar untuk memahami fungsi mitologi se-bagai kekuatan berlabuh untuk penjamin masa kini maupun masa yang akan datang yaitu memberikan pada manusia pengetahuan tentang dunia serta kehidupan mereka di alam nyata seperti dibayangkan dalam alam yang tidak nyata mengenai sesuatu itu ada (kehidupan setelah kematian) manusia. Standar idealnya yaitu pada saat menjalani hidup ini setiap individu, kelompok, maupun komunitas memegang

Page 13: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

283

teguh Esuriun Orang Bati sebagai adat dan kebudayaan Orang Bati yang dihormati dan dijunjung tinggi sehingga norma-norma adat yang telah disepakati secara bersama agar dipatuhi.

Kesepakatan yang berhasil dibangun melalui Esuriun Orang Bati memberikan kekuatan moril atau spirit sehingga dapat dikategorikan sebagai budaya spiritual (spiritual cultur) untuk bertahan hidup (sur-vival strategy) dalam menghadapi tekanan (presure). Konsep kunci tentang “manusia berhati bersih atau Batti” terletak pada “niat” dan katika (saat yang tepat). Paradigma tentang “niat” yang terdapat dalam hati atau nurani manusia sesungguhnya bersih dan berisi suara ke-baikan. Paradigma mengenai katika (saat yang tepat) dalam perspektif Orang Bati merupakaan aspek penting yang berkaitan langsung dengan manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas dalam men-jalani hidup dengan sesama makhluk hidup, lingkungan, dan sebagai-nya. Relasi yang tercipta antara manusia dengan lingkungan yang ber-dasarkan niat dimaksudkan agar manusia yang melakukan hal baik, buruk, dan sebagainya akan tampak nyata melalui “niat” (lamino). Wujud nyata dari niat yang ada pada diri manusia secara individu, ke-lompok, maupun komunitas yaitu tampak melalui sikap dan peri-laku. Niat merupakan hakikat dasar dalam hidup manusia karena niat manusia bersumber dari hati atau nurani manusia yang bersih.

Dalam perspektif Orang Bati, niat baik maupun buruk hanya ada dalam hati manusia sangat dipengaruhi oleh dua suara yang dimaknai sebagai suara kebaikan dan suara keburukan. Jarak antara suara ke-baikan dan keburukan sangat tipis. Kedua suara tersebut senantiasa tarik menarik sehingga pada katika (waktu yang tepat), manusia dapat melakukan kebaikan, tetapi pada katika (saat atau waktu yang tepat) atau saat yang lain manusia dapat melakukan hal yang buruk, sehingga bertentangan dengan nilai. Kondisi tersebut sangat tergantung pada daya yang terdapat pada relasi yang tercipta melalui simpul nilai dasar. Relasi saling tergantung yang ada pada niat manusia ditentukan oleh katika (waktu yang tepat) untuk melakukannya terhadap diri sendiri, orang lain, maupun dengan lingkungan di mana ia berada.

Untuk itu nilai dasar tentang manusia berhati bersih atau Bati sebagai simpul untuk mengikat relasi yang tercipta di antara Orang Bati

Page 14: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

284

dengan alam semesta dan leluhur tidak pernah mati. Suatu hal yang mungkin terjadi yaitu perkembangannya pada katika (waktu atau saat yang tepat) di mana nilai bisa merosot, tetapi pada katika yang lain nilai bisa menjadi marak kembali. Simpul pengikat tersebut memiliki kekuatan yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) dimaksudkan untuk membedakan Orang Bati dengan sukubangsa lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Nilai dasar tentang manusia berhati bersih yang di-wujudkan melalui Esuriun Orang Bati menghubungkan Alifuru Bati atau Orang Bati yang terdiri dari berbagai kelompok sosial (Patasiwa dan Patalima) dapat terintegrasi dengan satu identitas yaitu Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group).

Menguatkan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati terus dilestarikan dalam kehidupan keseharian. Melemah-kan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati di-abaikan oleh pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Esuriun Orang Bati sebagai jati diri atau identitas Orang Bati yang sesungguhnya, di-maksudkan untuk menunjukan pada orang lain bahwa Orang Bati tor-golong sebagai kelompok atau rumpun Patasiwa Putih di Pulau Seram memiliki eksistensi untuk bertahan hidup seperti diwujudkan melalui mekanisme pertahanan diri dan kelompok ketika melakukan upacara adat Esuriun Orang Bati yang sakral. Adat Esuriun Orang Bati di-jadikan sebagai benteng tanpa tembok karena konsep saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) dijadikan sebagai pagar (sirerun), dan bisa dimaknai sebagai strategi membangun benteng tanpa tembok di mana posisi manusia dan adat selalu menyatu. Artinya Orang Bati sengaja menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) melalui strategi menempatkan manusia yang ber-bicara dengan bahasa yang sama berada pada batas wilayah kekuasaan atau watas nakuasa sebagai ruang hidup yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati.

Realitas hidup yang dijalani Orang Bati melalui pemahaman tentang nilai dasar (basic value) tentang “Manusia Batti” atau manusia berhati bersih, memberikan isyarat bahwa siapa saja yang berniat untuk memasuki wilayah Tana (Tanah) Bati berarti perlu melakukan pencucian diri untuk memperoleh jiwa yang bersih, jujur, dan se-

Page 15: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

285

bagainya. Sebab ciri dari manusia berhati bersih ada pada niat (lamino di ngavin). Realitas tersebut apabila dianalisis dengan menggunakan teori Parson dapat dimaknai sebagai suatu sistem budaya tertentu me-miliki basis nilai yang sifatnya generalisasi dan digunakan sebagai pola pertahanan diri (self defence). Contohnya yaitu Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa mampu menahan diri terhadap berbagai stigma (anggapan negatif) dari orang luar terhadap diri mereka di mana identitas Bati dipertaruhkan dalam interaksi, dan Orang Bati sering mendengarnya secara langsung dari mulut orang luar. Namun Orang Bati tidak pernah memberikan reaksi dalam bentuk apapun. Berarti Orang Bati paham sebagai penganut ideologi Batti harus sabar. Ke-sabaran yang sangat mendalam, dan tertanam pada diri,, kerabat, ke-lompok, maupun komunitas merupakan tingkat pemahaman terhadap falsafah yang tertinggi di mana manusia diajarkan untuk mencapai kebahagiaan hidup setelah kematian atau makna tentang kehidupan setelah kematian yang terdapat dalam sistem religi Alifuru Seram.

Esuriun Orang Bati: Implementasi Kosmologi untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Nilai dasar (ngavin) yang terlembaga melalui pemahaman ter-

hadap makna “Batti” sebagai manusia berhati bersih atau Batti ber-kaitan dengan kosmologi yang dianut oleh keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yang bersifat kesemestaan. Dalam perbincangan mengenai kosmologi terdapat dua istilah yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Pandangan Christian Wolft (1728) dalam karyanya Praeliminares de Philosophia in Genere memposisikan kosmologi sebagai salah satu cabang metafisika. Pandangannya mengenai alam semesta diselidiki menurut inti dan hakikatnya yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan maknanya. Titik tolak kosmologi adalah ke-satuan manusia dan alam semesta dengan dunia yang dialami manusia (Siswanto, 2005 : 2-3). Pandangan tersebut di atas apabila digunakan untuk memahami ten-tang nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati ber-dasarkan kosmologi Orang Bati dapat dikatakan bahwa kedudukan dari Manusia Batti atau manusia berhati bersih atau leluhur (Tata Nusu Si )

Page 16: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

286

adalah makrokosmos karena bersifat kesemestaan, dan Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai mikrokosmos. Esuriun Orang Bati merupakan mezokosmos untuk menghubungkan makrokosmos yaitu “Manusia Batti” atau leluhur dan mikrokosmos yaitu Alifuru Bati atau Orang Bati.

Implementasi Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos tampak melalui kisah nyata Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dimaksudkan agar Orang Bati dapat bertahan hidup (survival strategy) sesuai nilai dasar (basic value) yaitu manusia berhati bersih atau Batti agar mereka saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung). Hakikat dari nilai Esuriun Orang Bati telah digunakan untuk menyelenggarakan kehidupan ber-masyarakat seperti pembagian hak milik atas tana atau (tanah) pada masing-masing marga yang dinamakan etar, pengaturan pemeritahan adat oleh mata rumah perintah yang mengikuti garis lurus (garis laki-laki) menurut paham patrilinial, pengaturan mengenai sistem pe-ngelolaan wilayah hutan melalui tanggalasu, tradisi, adat-istiadat, ke-budayaan, norma sosial (tata krama pergaulan), dan sebagainnya. Esu-riun Orang Bati memiliki fungsi dan peran untuk mewujudkan eksis-tensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Esuriun Orang Bati adalah kisah nyata, dan bukan ilang-lang (hilang-hilang) se-bagaimana persepsi orang luar selama ini. Kunci untuk memahami dunia Orang Bati adalah “niat” yang baik dari nurani yang bersih pada diri manusia adalah hakikat tertinggi mengenai ideologi Batti yang ber-sifat kesemestaan.

Ideologi Batti tentang manusia berhati bersih yang dianut oleh anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati senantiasa mem-berikan arah pada setiap individu, kelompok, maupun komunitas Orang Bati dalam berperilaku, dan dijadikan sebagai pedoman ke-bijaksanaan untuk menjalani hidup dengan lingkungan. Persepsi Orang Bati tentang hakikat ideologi Batti yaitu dunia boleh runtuh, tetapi Gunung Bati tetap berdiri kokoh (dunia eya nabaloan, tapi ukar baitta, tetap nadili utuh). Makna Gunung Bati sebagai tempat asal-usul leluhur Orang Bati adalah gunung-tanah atau tanah kelahiran, tempat asal, dan sebagainya di mana mereka sebagai anak cucu bisa menjalani hidup

Page 17: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

287

bersama dalam konteks orang basudara (roina kakal) yang terintegrasi dalam satu identitas yaitu Orang Bati. Esuriun Orang Bati telah me-nyatukan (mengintegrasikan) kelompok sosial Patasiwa dan Patalima yang berbeda menjadi kesatuan yang erat.

Dalam pandangan Orang Bati, nilai dasar (ngavin) yang ter-kandung dalam Esuriun Orang Bati merupakan suara hati manusia yang bersih (mancia lamino di ngavin), kemudian dijadikan sebagai prinsip hidup utama yang menjadi basis ideologi Batti. Hakikat ter-tinggi mengenai ideologi Batti bersifat kesemestaan atau matikan eksistensi alam semesta. Basis utama dari nilai “Bati” atau “Batti” telah mengalami proses pelembagaan (institusionalisasi) dalam tradisi, adat, dan kebudayaan Orang Bati. Artinya cara Orang Bati menanggapi ling-kungan di mana ia berada, senantiasa menjadi cerminan hati manusia yang bersih karena berisi suara kebaikan, dan dijadikan sebagai pe-doman hidup bersama dalam lingkungan kebudayaan Orang Bati yang tidak pernah berubah. Maknanya yaitu kehidupan Orang Bati sebagai manusia di alam nyata mesti berubah, tetapi kehidupan “Manusia Batti” tidak akan pernah berubah. Sumber nilai tersebut dipegang kuat oleh penganut tradisi dan kebudayaan Bati. Sebagai manusia biasa, Orang Bati memiliki cita-cita seperti itu, tetapi perwujudan sebagai “Manusia Batti” adalah hakikat hidup tertinggi, sehingga dimaknai se-bagai kesemestaan. Persepsi Orang Bati tentang nilai dasar (ngavin) seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat Sutrisno dan Putranto (2005 : 67) yaitu nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup senantiasa ditumbuhkan dan dibatinkan lewat kebudayaan orang itu yang dihayatinya sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta dihayati dalam jagat simbol.

Berarti Esuriun Orang Bati adalah simbol tertinggi dalam jagat makna di mana “manusia berhati bersih atau Batti” merupakan kon-sepsi abstrak yang ideal agar Orang Bati dapat mencapainya ketika menjalani hidup dalam dunia keseharian. Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos merupakan simpul untuk menghubungkan makrokosmos (Manusia Batti) atau manusia berhati bersih dan mikrokosmos yaitu Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga tercipta relasi saling memberi yang bersifat harmoni, dan dimaknai sebagai matikan eksistensi alam

Page 18: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

288

semesta. Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran sentral sebagai mata-rantai untuk mengatur relasi antara manusia dengan Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia, relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam, manusia dengan katika atau waktu, manusia dengan perbuatan atau karya. Hakikat Esuriun Orang Bati digunakan oleh individu, kelompok, maupun komunitas untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survive) dalam menghadapi tekanan (presure) yaitu menegaskan bahwa penganut ideologi Batti mampu bertahan hidup (survive) tanpa campur tangan orang luar. Kondisi ini telah teruji di mana Orang Bati mendiami wilayah yang terisolasi selama ratusan tahun di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi mereka tidak punah. Realitas yang dialami Orang Bati membuktikan bahwa komunitas yang taat dan menjunjung tinggi nilai dasar, adat-istiadat, kebudayaan, dan sebagainya memiliki perkembangan dalam peradaban yang jauh lebih maju karena menghargai nilai kemanusiaan, lingkungan, dan sebagainya.

Untuk itu sejak leluhur Orang Bati melakukan Esuriun Orang Bati pada masa lampau guna menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap seluruh hak milik berharga seperti manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, kebudayaan, dan lainnya me-rupakan upaya nyata dalam mengembangkan strategi bertahan hidup (survival strategy). Esuriun Orang Bati adalah perwujudan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, dan sekaligus me-negaskan bahwa Orang Bati bukan orang atau manusia ilang-ilang (hi-lang-hilang), orang atau manusia terbang-terbang, orang atau manusia jahat, dan sebagainya. Persepsi seperti ini adalah stigma (anggapan negatif) orang luar (Orang Maluku) yang sama sekali tidak mengetahui dan memahami secara benar tentang makna mendasar yang terdapat dalam konsep “Bati’ dan “Batti”. Anggapan negatif (stigma) orang luar (Orang Maluku) adalah mitos yang harus diakhiri. Esuriun Orang Bati dilakukan agar anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati dapat bertahan hidup (survive) dengan lingkungan agar mereka tidak punah. Cara hidup yang dijalani Orang Bati merupakan usaha implementasi nilai dasar yang terdapat dalam ideologi Batti.

Page 19: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

289

Esuriun Orang Bati bersumber dari kebenaran nilai yang harus diwujudkan, dan bukan suatu kebetulan. Artinya Esuriun Orang Bati jadi karena fakta kebenaran, dan bukan suatu kebetulan. Sebab hati manusia yang bersih itu ada pada “batin” setiap orang atau individu maupun kelompok adalah hakikat kebenaran sejati yang harus di-sosialisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam realitasnya, nilai yang melekat pada Esuriun Orang Bati terus ditularkan pada generasi pe-nerus tradisi dan kebudayaan Bati agar mereka dapat mewujudkannya melalui cara berpikir dan bertindak. Hati manusia yang bersih atau “Batti” merupakan sumber dan sekaligus menjadi penumbuh nilai dengan kendali yang sinergi dari pikiran (ratio) atau akal manusia. Hakikat dalam memahami nilai seperti ini apabila dikaitkan dengan teori Parson, maka dimaksudkan adalah pencapaian tujuan di mana sistem kepribadian menjadi basis pembedaan sehingga tampak nyata dengan orang luar yang tidak menganut ideologi Batti.

Esuriun Orang Bati: Simpul Pengikat Kelompok Sosial yang Kokoh untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Dikatakan Esuriun Orang Bati sebagai simpul pengikat karena pengukuhan dilakukan melalui adat. Penguatan melalui adat esuriun dijadikan sebagai "budaya spiritual" pada Orang Bati. Wujud nyata dari Esuriun Orang Bati yang lahir dari latar belakang kehidupan berbagai kelompok sosial yang berbeda (Patasiwa dan Patalima) di Samos (tempat kering pertama yang dijumpai) dan Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai) ketika mengorganisi diri dan kelompok, ke-mudian mereka mencapai kesepakatan (mafakat sinabu) secara bersama untuk turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) guna menguasai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang hidup guna menjaga dan melindungi seluruh hak milik berharga se-perti manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, lingkungan alam, dan lainnya dari serbuan orang luar adalah strategi survive.

Strategi Esuriun Orang Bati mendapat legitimasi kolektif, kemudian diwujudkan melalui adat dalam menyelenggarakan ke-hidupan bersama sebagai orang satu asal yaitu anak cucu keturunan

Page 20: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

290

Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami teritorial genealogis di Pulau Seram Bagian Timur, merupakan strategi bertahan hidup (survive) jangka panjang. Agar Orang Bati tetap memiliki kekuatan bertahan hidup (survival strategy) maka nilai Esuriun Orang Bati dijadikan se-bagai tali pengikat (buas) yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan). Lembaga adat Esuriun Orang Bati menjadi kehormatan tertinggi yang senantiasa dijunjung, dihormati, dihargai oleh generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati.

Simpul pengikat yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati terus mengalami proses sosialisasi pada setiap individu maupun kelompok sehingga proses pelembagaan nilai (institusinalisasi) dalam budaya dan stukur sosial Orang Bati dapat dipelihara dan terus berfungsi sebagai pengikat integrasi yang telah dicapai secara bersama. Wujud nyata untuk bertahan hidup (survival strategy) melalui relasi antara sesama Orang Bati, antara Orang Bati dengan orang lain, lingkungan, dan se-bagainya adalah menegaskan "Eksistensi Orang Bati" sebagai manusia maupun sukubangsa yang memiliki identitas. Untuk itu nilai dasar yang terkandung dalam Esuriun Orang Bati senantiasa dijadikan se-bagai spirit untuk menjalani hidup bermasyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai budaya spiritual (cultural spiritual) di kalangan Orang Bati. Apabila Esuriun Orang Bati dipahami melalui teori Parson, dapat dikatakan bahwa simpul pengikat karena berada dalam suatu sistem sosial atau suatu sistem kehidupan bersama, dan terus dilestarikan maupun dibudidayakan bagi generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati karena memiliki fungsi integrasi yang didasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dan komunitas melalui integrasi normatif, fungsional, dan kultural.

Esuriun Orang Bati: Budaya Spiritual untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Bersumber pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang

Bati merupakan wujud “budaya spiritual” yang dimiliki oleh kelompok maupun komunitas. Dalam prakteknya, nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut dijadikan sebagai penuntun dalam hidup

Page 21: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

291

keseharian mereka yang mendiami wilayah pegunungan, lereng bukit, lembah, dan pesisir pantai. Secara teoritik, makna Esuriun Orang Bati sebagai sistem nilai budaya karena terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena itu, suatu sistem nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatannya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai-budaya itu (Koentjaraningrat, 2002 : 25).

Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual karena etar sebagai teritorial genealogis memberikan penguatan pada usaha membangun benteng tanpa tembok yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk menghadapi perkembangan masa depan guna mewujudkan ke-langsungan hidup (survival strategy) jangka panjang di mana wilayah kediaman Orang Bati sampai sekarang tidak dapat didatangi oleh orang luar sesuka hatinya tanpa restu dan izin dari mereka semua yang men-diami kampung atau dusun (wanuya) yang berada di pesisir pantai, lereng bukit, maupun pegunungan. Budaya spiritual yang muncul dari Esuriun Orang Bati memperoleh penguatan melalui adat sehingga proses integrasi yang berlangsung pada kelompok sosial Patasiwa dan Patalima meliputi 24 marga asli di Tana (Tanah) Bati yaitu 11 marga Patasiwa dan 13 marga Patalima2

Budaya spiritual yang memberikan penguatan pada identitas Orang Bati muncul dalam konsep untuk menamakan wilayah mereka adalah sakral atau wilayah bernyawa merupakan pagar (sirerun) untuk menjaga dan melindungi seluruh kepentingan Orang Bati dari serbuan orang luar. Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual merupakan totalitas, dan merupakan bagian dari sistem nilai-budaya Orang Bati karena segala hal yang berkaitan dengan hidup memiliki hulu dan muara pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati. Arti-nya Orang Bati sangat paham terhadap persoalan tersebut karena ke-

) mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, identitas, dan kebudayaan yang sama.

2)Mengenai susunan dan pembagian marga Patasiwa dan Patalima dapat dilihat pada bab tujun tentang Sistem Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati.

Page 22: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

292

arifan yang mereka miliki sebagai warisan leluhur masih kuat di-pertahankan sampai masa kini.

Kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) melalui Esuriun Orang Bati berada dalam sistem nilai (ideologi) Batti sehingga dijadikan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan ber-sama. Sistem nilai, keyakinan yang mengakar biasanya dianggapa benar oleh pendukungnya. Dalam ideologi, pandang sesorang terhadap dunia yang dianggap sebagai hal penting bagi identitas diri dan gambaran citra dirinya sendiri, walaupun itu tampaknya tidak rasional bagi orang yang tidak menganut sistem nilai yang sama (Boulding, 1964: Posser, 1978; Agusyanto, 2007).

Bertolak dari pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa Esuriun Orang Bati memiliki basis nilai (ideologi) yang telah menyatukan kosmos Orang Bati atau Suku Bati dengan dunia ke-seharian mereka. Bagi orang lain yang tidak memahami dan mendalami dunia Orang Bati atau Suku Bati yang sesungguhnya dapat menganggap hal itu tidak rasional. Bagi Orang Bati atau Suku Bati, cara itu sangat rasional. Sebab cara Orang Bati atau Suku Bati memahami dunia mereka memang berbeda dari orang lain ketika memandang dunia Orang Bati. Esuriun Orang Bati melekat langsung sebagai identitas mereka, sehingga mereka mudah mengidentifikasi diri ketika ber-hadapan dengan orang lain yang tidak menganut tradisi esuriun. Fenomena seperti ini bagi Marguerite G Kraf (dalam Poser, 1978: 4) bahwa cara melihat dunia dan peranan dalam dunia itu sendiri yang mendasari tindakan dan reaksi dalam kelompok dan di luar kelompok, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, sikap seseorang terhadap alam semesta, orientasi pada waktu dan ruang, nilai-nilai dan norma-norma.

Pendapat di atas sesungguhnya telah memperkuat basis nilai yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati sebagai dunia Orang Bati atau Suku Bati yang sesunguhnya. Dunia tersebut adalah nyata, bukan ter-samar atau ilang-ilang (hilang-hilang) seperti persepsi orang luar selama ini. Menguatnya tradisi Esuriun Orang Bati dalam habitat mereka karena tradisi tidak dapat dibayangkan tanpa para penjaganya.

Page 23: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

293

Penjaga memiliki hak istimewa untuk masuk ke dalam kebenaran, dan kebenaran tidak dapat dibuktikan kecuali tampak dalam penafsiran dan praktek para penjaga. Dalam tradisi esuriun, mereka dapat membeda-kan antara “orang dalam dan orang luar”. Realitas tersebut secara teoritis dapat dikemukakan bahwa, partisipasi dalam ritual dan pe-nerimaan terhadap kebenaran formulatif adalah syarat bagi keberadaan tradisi (Giddens, 2003: 47). Teori Giddens yang digunakan untuk menganalisis Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) karena dalam tradisi maupun ritual yang dilakukan Orang Bati setiap saat. Ritual yang berkaitan dengan Esuriun Orang Bati memiliki basis nilai yang berperan dalam kehidupan mereka dan digunakan untuk menjalani hidup keseharian. Dikatakan terdapat nilai sebagai lampu-lampu untuk mengarahkan manusia maupun masya-rakat ke mana dia harus pergi atau mengambil suatu tindakan. Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati seperti kebersamaan, relasi saling memberi, menjaga, melindungi, dan lainnya yang menjadi sumber kekuatan bersama sesuai dengan kosmos mereka, kemudian dijadikan sebagai standar hidup bersama karena memiliki orientasi nilai ke depan seperti terdapat dalam konsep menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) hak milik berharga yang terdapat dalam watas nakuasa maupun etar sebagai ruang hidup.

Basis nilai budaya yang dijadikan sebagai standar dalam me-nentukan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri dan orang lain yang berinteraksi dengannya, mesin yang menghasilkan komoditi yang dibutuhkan, alam di sekitarnya, dan Allah yang dapat membantu untuk mencapai keselamatan (Sitaram,1979 : 163). Dinamika yang ber-langsung sampai saat ini tentang hati manusia yang bersih dan telah mendasari kehidupan ideologi masyarakat Bati apabilai dikaitkan dengan perspektif teoritis oleh Boulding (1964 : 159) karena ideologi adalah sebagian dari imagen mengenai dunia atau cara pandang se-seorang terhadap dunia yang dianggap sebagai hal penting bagi identitas diri, gambaran cita-cita, dan citra diri sendiri. Atau ideologi dapat dipahami sebagai kombinasi gagasan dengan norma atau gagasan yang didukung oleh norma sosial (Bierstedt, 1970 : 162). Artinya

Page 24: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

294

Esuriun Orang Bati sebagai sistem nilai bersama karena berkaitan lang-sung dengan makna hidup Orang Bati sebagai orang satu asal (mancia so si woiso) yang mengandung nilai kebersamaan (solidaritas) dalam diri, kelompok, dan komunitas sebagai penguatan untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang.

Dapat dikatakan bahwa basis nilai budaya Esuriun Orang Bati adalah budaya spiritual (cultural spiritual) yang memiliki kekuatan untuk menempatkan posisi manusia dengan pencipta, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, manusia dengan lingkungan sekitarnya, manusia dengan karya sebagai kesatuan yang erat untuk saling menjaga dan melindungi di antara individu, kelompok, maupun komunitas adalah implementasi budaya spiritual (cultural spiritual) sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) untuk mewujud-kan kelangsungan hidup jangka panjang melalui usaha membangun sistem nilai bersama berdasarkan faham roina kakal atau orang satu asal (mancia so si woiso) dan dimaksudkan dalam teori Parson yaitu fungsi integrasi dalam sistem budaya memiliki basis nilai generalisasi dalam struktur sosial atau sub sistem masyarakat yang mendasarinya. Esuriun Orang Bati: Identitas Bati Terbedakan dari Batti

Untuk itu yang dijalani oleh peneliti bukan suatu kebetulan, tetapi itu adalah kebenaran. Hakikatnya bukan interpertasi dari rekayasa ceritera atau penuturan karena tidak memahami tentang hakikat kebenaran yang terdapat dalam konsep “Bati” dan konsep “Batti”. Makna “Bati” yaitu berkaitan dengan identitas Orang Bati se-bagai manusia maupun sukubangsa. Orang Bati menjalani kehidupan yang sama dengan Orang Ambon-Maluku, sedangkan “Batti” adalah leluhur (Tata Nusu Si) yaitu “Manusia Batti” atau manusia berhati bersih. Artinya bunyi antara sebutan “Bati” dan “Batti” ketika orang luar berkomunikasi boleh saja sama maupun mirip, tetapi sesungguh-nya memiliki makna yang sangat berbeda. Makna yang terdapat dalam konsep “Bati” dan “Batti” sungguh berbeda, sehingga jangan dicampur-adukan. Apabila orang luar mencampuradukan kedua konsep yaitu

Page 25: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

295

“Bati” dan “Batti” karena tidak mengerti, tidak memahami, dan se-bagainya telah menyebabkan ceritera Orang Bati menjadi misteri. Sebagai contoh ibarat rambut yang berada di kepala manusia yaitu hitam warnanya. Pengalaman empirik dari peneliti yaitu makna misteri ada pada cara ceritera (penuturan) dari orang luar mengenai Orang Bati.

Tetapi fenomena yang berkaitan dengan “Manusia Batti” adalah misteri karena berkaitan dengan sistem relegi (kepercayaan) Alifuru Seram yang sangat yakin pada ideologi Batti. Sebagai contoh untuk memahami makna “Bati” dan “Batti” di-kemukakan oleh peneliti dalam suatu ungkapan bahasa yaitu, apabila yang hitam warnanya di atas kepala manusia bernama rambut. Apabila warna hitam ini turun dari posisi kepala ke bawah masih tetap hitam warnaya, tetapi itu bukan bermakna rambut tetapi bernama alis. Apabila alis yang hitam warna-nya turun lagi ke bawah, tatap berwarna hitam, tetapi bukan bernama alis karena itu bernama kumis. Apabila kumis yang hitam warnanya turun lagi ke bawah, masih tetap hitam warnanya, tetapi bukan ber-nama kumis karena itu bernama jenggot, dan seterusnya.

Penggunaan konsep “Bati” dan konsep “Batti” hakikatnya tidak sama. Fenomena ini yang menyebabkan ketidak benaran yang terjadi dalam proses interaksi sosial selama ini di Maluku sehingga fenomena Orang Bati di Maluku terus mengalami paradoks. Perbedaan makna yang selama ini terjadi di kalangan orang luar (Orang Maluku) karena tidak mengetahui, mengerti, dan memahami tentang persoalan Orang Bati menyebabkan eksistensi “Orang Bati” sebagai manusia maupun sukubangsa menjadi terabaikan. Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa menjadi korban karena kesalahan persepsi orang lain. Dalam interaksi sosial, ternyata kedua konsep tersebut di atas yaitu “Bati” dan “Batti” sering disamakan. Hal ini disebabkan karena orang luar tidak memahami makna “Bati” dan “Batti” secara benar.

Bahkan kedua konsep dimaksud seringkali disamakan oleh orang luar (Orang Maluku) ketika berinteraksi, kemudian masing-masing anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku memberikan pe-nafsiran sendiri-sendiri dalam kondisi tidak mengetahui, tidak me-ngerti, dan tidak memahami makna substansialnya. Muara dari in-

Page 26: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

296

teraksi sosial yang kabur oleh sebagian besar orang luar (Orang Maluku) terhadap penggunaan konsep “Bati” dan “Batti” secara tepat kemudian menguatnya stigma (anggapan negatif) orang luar terhadap Orang Bati yang selama ini tidak pernah melakukan kesalahan pada orang luar (Orang Maluku). Studi mengenai Esuriun Orang Bati adalah fenomena nyata dari manusia atau orang atau satu sukubangsa yang mengakui identitas se-bagai anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dan menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) di Kepulauan Maluku-Indonesia. Kesalahan orang luar (Orang Maluku) dalam me-lakukan interpertasi terhadap konsep “Bati” dan “Batti” yang di-gunakan oleh Alifuru Seram sehingga menyebabkan nasib Orang Bati sebagai manusia atau atau sukubangsa di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku menjadi terabaikan sampai masa kini karena mereka tidak memperoleh pengakuan dari masyarakat sehingga Orang Bati meng-hadapi persoalan kemanusiaan yang cukup krusial.

Dalam studi ini yang dianalisi adalah persoslan yang berkaitan dengan penggunaan konsep “Bati” pada Orang Bati atau Suku Bati yang berjuang untuk hidup dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur. Kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati atau Suku Bati yang senantiasa berada dalam tekanan (presure) berada pada Esuriun Orang Bati. Perjuangan Orang Bati atau Suku Bati secara individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas untuk bertahan hidup (survive) tidak disangsikan lagi. Strategi Orang Bati untuk survive dalam stigma untuk mengatasi tekanan yang di-timbulkan oleh fenomena isolasi geografis, alam tidak ramah, sosial, ekonomi, politik, dan lainnya belum dijumpai pada suku lainnya. Untuk itu dalam usaha bertahan hidup (survive) kemudian Orang Bati atau Suku Bati melakukan sakralisasi nama Bati, penamaan wilayah bernyawa, menciptakan integrasi, ketahanan pangan, kedaulatan pangan, dan lainnya dimaksudkan agar generasi pewaris tradisi dan ke-budayaan Bati dapat mewujudkan kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) jangka panjang sehingga mereka tidak punah sebagai spesis yang mendiami lingkungan dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur.

Page 27: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

297

Esuriun Orang Bati menjadikan adat sebagai benteng tanpa tembok memberikan peringatan pada orang luar bahwa adat sebagai aturan main dalam menjalani kehidupan di Tana (Tanah) Bati harus di-taati, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh siapapun yang memasuki wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Pelanggaran terhadap nilai, adat-istiadat, dan lainnya dapat menimbulkan persoalan lain yang jauh lebih krusial. Artinya di mata Orang Bati yang selama ini hidup damai dalam wilayah kediaman mereka secara damai berarti terjadi integrasi teritorial yang dipahaminya sebagai teritorial genealogis atau wilayah roina kakal. Apabila ada usaha pihak luar yang ingin me-nguasai hidup Orang Bati dengan cara yang bertentangan dengan falsafah, nilai, adat-istiadat, identitas, budaya, dan lainnya dapat me-nyebabkan urusan menjadi krusial dengan orang-orang penghuni hutan dan gunung tersebut di atas. Konsep “Bati” yang digunakan dalam studi ini yaitu berkaitan dengan identitas kesukubangsaan yang memiliki kisah nyata melalui Esuriun Orang Bati sebagai strategi me-nempatkan manusia sebagai pagar (sirerun) berarti sejak awal Orang Bati telah berusaha membangun benteng tanpa tembok di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku.

Esuriun Orang Bati: Strategi Menempatkan Manusia Sebagai Pagar (Sirerun) untuk Membangun Benteng Tanpa Tembok

Makna Esuriun Orang Bati merupakan strategi untuk menempat-kan Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai pagar (sirerun) dalam ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas nakuasa) dimaksudkan untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang pada Orang Bati di wilayah Pulau Seram Bagian Timur. Manusia yang berfungsi dan berperan sebagai pagar (sirerun) berarti Orang Bati telah membangun benteng tanpa tembok (tompat eyah napaku rereron tey). Dalam realitasnya, ketika ruang hidup Orang Bati dijaga, dilindungi dengan menciptakan benteng tampa tembok memiliki fungsi untuk menjaga dan melindungi seluruh hak milik mereka yang berharga (bernilai) untuk kelangsungan hidup (survival strategy). Benteng tanpa tembok (tompat eyah napaku rereron tey) yang diciptakan Orang Bati seperti ini ternyata sangat kokoh, kuat, ulet (berketahanan) agar se-

Page 28: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

298

luruh kepentingan Orang Bati dapat terjaga, terlindungi dari serbuan orang luar.

Kisah nyata dari Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) yang jumlahnya ribuan orang guna menjaga, melindungi hak milik untuk menjaga, melindungi hak milik yang berharga (protection for survival strategy) antara lain meliputi manusia, tanah, hutan, gunung, tradisi, adat-istiadat, budaya, identitas, sumber daya alam, dan lainnya agar tidak mudah diserbu orang luar, dapat dikatakan merupakan fenomena umum yang dapat dijumpai pada berbagai sukubangsa, maupun negara di seluruh dunia. Fenomena yang berkaitan dengan strategi menguasai ruang hidup untuk bertahan hidup (survive) dalam ilmu Geografi Politik yang konsisten mempelajari kekuatan suatu negara dilihat dari kepemilikan sumber daya alam, penduduk, pemilihan umum, dan tema lainnya yang di dalamnya terjadi interaksi antar manusia dan lingkungannya dalam kehidupan politik (Hayati dan Yani, 2007 : 2).

Perbedaannya yaitu pada cara implementasi dari strategi me-nguasai ruang hidup yang dipraktekan oleh setiap sukubangsa maupun negara di dunia melakukan menurut cara sendiri-sendiri sehingga ter-dapat perberbedaan dengan Esuriun Orang Bati. Orang Bati me-lakukan strategi untuk menempati etar yang dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) sebagai ruang hidup dilakukan melalui cara damai karena tidak menimbulkan pertentangan (conflict) dan kekerasan (violence) pada orang lain. Strategi untuk menguasai ruang hidup untuk survive yang dilakukan Orang Bati seperti ini dapat dimaknai se-bagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy). Sebenarnya strategi yang dilakukan melalui Esuriun Orang Bati merupakan peri-laku politik yang nyata pada manusia maupun sukubangsa dan me-rupakan perilaku dasar dari kehidupan sosial manusia di muka bumi. Fenomena seperti ini dijumpai pada kehidupan komunitas atau suku terasing dalam mempertahankan klannya yang dilakukan secara politik. Oleh Hayati dan Yani (2007 : 7) yaitu para kepala suku akan mempengaruhi para pemudanya agar bersedia membela kelompoknya walaupun harus ditukar dengan nyawanya.

Page 29: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

299

Proses persuasif kepala suku adalah bagian dari teknik ber-komunikasi tetapi tindakan kepala suku tersebut dapat pula dimaknai bahwa ia telah bertindak politik yaitu melakukan perang dari gangguan suku lain agar ia tetap sebagai kepala suku. Jika kelompok suku kalah dalam berperang maka ia kehilangan kedudukannya. Artinya politik telah hidup sejak manusia eksis di permukaan bumi. Esuriun Orang Bati sebagai pagar berarti mereka sengaja menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) yang memiliki nilai ketahanan (resilience). Untuk itu pendekatan yang perlu dilakukan untuk mem-bangun dan mengembangkan masyarakat seperti Orang Bati yang men-diami geografis wilayah berciri kepulauan membutuhkan pendekatan geopolitik, dan bukan pada pendekatan mengenai konsentrasi pen-duduk. Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai tindakan politik dari sukubangsa penghuni hutan dan gunung untuk bertahan hidup (survival strategy) berarti sejak lama Orang Bati telah memiliki pan-dangan jauh ke depan untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) kepentingan mereka di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku adalah tindakan politik untuk bertahan hidup (survival strategy). Dalam perspektif teori Parson tentang AGIl berarti sistem yang dilakukan Orang Bati mampu menciptakan pola pertahanan yang melalui mekanisme adaptasi karena adanya kemampuan meng-organisasikan diri dan kelompok sehingga sukses menjaga dan me-lindungi seluruh hak milik yang menjadi kepentingan bersama dari Orang Bati.

Esuriun Orang Bati: Tindakan Politik untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy )

Bagaimana Esuriun Orang Bati dimaknai sebagai tindakan politik Orang Bati untuk eksis di bumi Pulau Seram Bagian Timur-Maluku? Jawaban terhadap pertanyaan seperti ini diwujudkan melalui tata ke-lola pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati. Dalam konteks tersebut, adat Esuriun Orang Bati memagang peran penting untuk me-merintah pada saat itu bahkan sampai saat ini. Hal ini berarti Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran dalam mewujudkan ke-

Page 30: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

300

langsungan hidup (survival strategy) jangka panjang bagi keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati. Tindakan politik yang dilakukan Orang Bati untuk menjaga dan melindungi wilayah kekuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang hidup setelah mereka menempati etar masing-masing merupakan wujud perilaku politik yang dilakukan Orang Bati untuk menguasai ruang hidup, bukan praktek politik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Esuriun Orang Bati yang mengisahkan turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dengan jumlah ribuan orang pada masa lampau terus di-lembagakan dalam adat sampai saat ini. Orang Bati berhasil atau sukses dalam mengelola pemerintahan berarti tindakan politik yang nyata untuk menjaga dan melindungi hak milik mereka yang berharga (ber-nilai) dari serbuan orang luar. Pemerintahan tradisional menjamin ke-pentingan Orang Bati untuk bertahan hidup (survive). Hal ini berarti bahwa menguatnya stigma (anggapan negatif) pada Orang Bati me-miliki nilai positif, karena seluruh hak milik berharga (bernilai) atau sumber daya yang terdapat dalam watas nakuasa dapat terjaga, ter-lindungi, sehingga bisa lestari. Nilai positif dari stigma telah digunakan untuk bertahan hidup sampai saat ini. Strategi bertahan hidup (survival strategy) yang dikembangkan Orang Bati dimaknai cakap karena ratus-an tahun Orang Bati mendiami wilayah terisolasi, terasing, dan se-bagainya tetapi mereka dapat bertahan hidup (survive). Nilai negatif dari stigma yaitu belum ada pengakuan masyarakat maupun negara ter-hadap eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Untuk itu nasib Orang Bati yang mendiami wilayah terpencil di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku menjadi terabaikan.

Kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Esuriun Orang Bati karena falsafah hidup yang mereka anut yaitu saling men-jaga dan melindungi terhadap seluruh hak miliki (property) berharga (bernilai) seperti manusia, tanah, hutan, gunung, adat-istiadat, budaya, identitas, dan sumber daya lainnya yang terdapat dalam wilayah ke-kuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang hidup, berarti Orang Bati yang tidak memiliki pendidikan secara layak, tetapi cara berpikir politiknya jauh lebih cakap. Cara bertindak seperti dilakukan Orang Bati me-

Page 31: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

301

rupakan perilaku manusia yang lahir dari mengandalkan berpikir baru berbuat, dan bukan berbuat baru berpikir. Hal ini dimaknai sebagai ke-arifan hidup manusia dan komunitas yang memberi contoh pada orang lain, termasuk negara (state) ketika menggunakan kekuatannya dalam menangani persoalan hidup yang dialami masyarakat lokal, khususnya lingkungan masyarakat adat (indigenous peoples) seperti Orang Bati melakukan Esuriun Orang Bati secara damai karena tidak menimbul-kan konflik dengan orang lain adalah strategi kelangsungan hidup yang cakap untuk bertahan hidup (survival strategy).

Aspek pemerintahan tradisional yang cukup kuat pengaruhnya dalam kehidupan Orang Bati apabila dianalisis menurut teori Parson, dapat dikemukakan bahwa tata kelola pemerintahan berada dalam sistem sosial. Fungsi integrasi yang berada dalam sistem sosial yang di dasarkan pada kesepakatan norma ternyata mampu mengikat individu, kelompok, maupun komunitas Orang Bati sehingga menyatu secara generalisasi. Hal ini menunjukkan kemampuan beradaptasi (organisasi perilaku) dengan basis peran dalam sistem sosial. Kemampuan ber-adaptasi seperti ini oleh Gidens (2010 : 362) yaitu adapatasi dengan alam akan membentuk sebuah teknologi kebudayaan dan secara de-rivatif membentuk komponen sosial dan ideologisnya. Bahkan ber-adaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain bisa membentuk masya-rakat dan ideologi, yang berpengaruh terhadap teknologi dan me-nentukan perjalanan masa depannya. Hasil sempurna dari proses adaptif ini adalah penciptaan totalitas kultural yang terorganisasi, se-buah teknologi, masyarakat, dan ideologi yang terpadu yang me-ngatasi pengaruh selektif ganda alam pada satu sisi dan dampak ke-budayaan asing pada sisi lain.

Makna Esuriun Orang Bati Sebagai Kelangsungan Hidup yang Cakap (Survival Strategy) Jangka Panjang

Makna Esuriun Orang Bati sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) karena Orang Bati melakukan hal ini secara damai dan tidak menimbulkan pertentangan (conflict) maupun ke-kerasan (violence) terhadap orang lain. Esuriun Orang Bati dilakukan

Page 32: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

302

untuk menjaga dan melindungi (mbangat nai tua malindung) terhadap manusia, tanah, hutan, unung, identitas, dan sumber daya lain yang terdapat dalam wilayah mereka agar dapat survive (bertahan hidup). Strategi ini dapat dikategorikan berhasil atau sukses karena sampai saat ini Orang Bati dapat bertahan hidup walaupun mereka mengalami tekanan (presure) yang bersumber dari dalam maupun yang datang dari luar lingkungan.

Esuriun Orang Bati sebagai kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) adalah strategi yang arif karena Orang Bati melakukannya melalui tahapan konsolidasi internal pada semua individu, kerabat, kelompok sosial, maupun komunitas sebagai anak cucu keturunan Suku Alifuru3) Bati atau Orang Bati. Tampak melalui ritual adat di Esuriun Orang Bati di mana mereka memamerkan kekuatan untuk salaing menjaga dan me-lindungi terhadap seluruh hak milik selama ratusan tahun dalam ka-wasan hutan hujan di Samos dan Soabareta di sekitar hulu atau kepala air atu Sungai (Alsul) Masiwang di Pulau Seram Bagian Timur. Kekuatan integrasi dalam Esuriun Orang Bati menunjukkan bahwa kelompok sosial Patasiwa dan Patalima (Lima Bagian)4

Mekanisme adat yang dilakukan untuk menyatukan kekuatan dari keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati yang meng-

) yang berbeda menjadi Siwa-Lima yang menyatu, adalah tipe integrasi kultural yang dicapai oleh Alifuru Bati atau Orang Bati adalah final karena dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati.

3)Secara akademik, penggunaan sebutan suku dan orang memiliki makna yang berbeda. Namun dalam studi ini penggunaan kedua istlah digunakan secara bergantian karena terkait dengan proses-proses sosial di mana istilah “Orang” merupakan sebutan umum yang dijumpai dalam interaksi sosial dalam kehidupan Orang Maluku, sedangkan istilah suku jarang digunakan dalam interaksi sosial. 4)Patasiwa artinya Sembilan Bagian dan Patalima artinya Lima Bagian, adalah sistem pengelompokan sosial yang khas pada keturunan Alifuru di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Eksistensi dari kedua kelompok sosial ini pada suku-suku lain di Pulau Seram, Ambon, Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut, dan sebagainya) tidak pernah menempati teritorial yang sama. Kondisi seperti ini ternyata berbeda dengan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati atau Atamae Batu yaitu mereka menempati teritori yang sama, menganut adat-istiadat, bahasa, budaya dan lainnya yang sama. Hal ini dapat dilihat pada kosmologi Siwa-Lima yang dianut Orang Bati sebagai keturunan Alifuru Ina di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) pada bab 5.

Page 33: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

303

huni kawasan hutan (esu) berjumlah ribuan (riun) orang, ternyata mereka terdiri dari kelompok sosial yang berbeda. Esuriun Orang Bati berarti muncul kesadaran bersama untuk menyatu sebagai Orang Bati yang percaya bahwa leluhur mereka berasal dari keturunan yang sama dengan suku-suku lainnya di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) maupun Maluku adalah orang satu asal, sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga dan melindungi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) di Tanah Maluku dari serbuan orang luar. Untuk me-wujudkan strategi yang cakap tersebut diperlukan mekanisme adat sehingga melalui keputusan adat berarti Orang Bati dapat melakukan hal itu secara bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui perundingan yang berlangsung dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Batian Timur.

Esuriun Orang Bati yang dilakukan melalui mekanisme adat, diawali dari pertemuan adat (mabuluk) yang dilakkan secara internal terhadap seluruh warga yang mendiami kawasan hutan hujan di Samos dengan pemimpin adat mereka masing-masing, pemimpin kelompok marga (kapitan) atau mata-rumah (it etar), ahli spritual (Maweng), dan seluruh warga untuk menentukan pemimpin atau kapitan Esuriunr, Raja (Raita) yang bergelar adat sebagai “Mata Lean” atau Jou di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu), kemudian melakukan strategi turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi seluruh hak milik (property) yang berharga (bernilai) guna mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) bagi anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati agar tidak punah.

Hasil pertemuan adat yang dilakukan Orang Bati pada saat itu terdapat kesepakatan (mafakat sinabu) agar mereka harus turun dari gunung dan hutan (madudu atamae yeisa tua ukara) melalui upacara adat yang dinamakan Esuriun Orang Bati. Kisah nyata Orang Bati atau Suku Bati yang jumlahnya ribuan orang atau manusia yang turun dari hutan dan gunung melalui esuriun untuk menempati wilayah milik marga (etar) sesuai pembagian (tabagu) yang dilakukan secara adat untuk menguasai ruang hidup atau watas nakuasa (wilayah kekuasaan ) Orang Bati adalah strategi yang cakap. Untuk itu sampai sekarang

Page 34: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

304

dalam upacara adat Esuriun Orang Bati yang senantiasa dilakukan oleh anak cucu pewaris tradisi, adat, dan kebudayaan Bati untuk mengenang kisah turunnya leluhur mereka dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) terus dilembagakan. Orang Bati atau Suku Bati yang menghuni kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur saat ini memiliki jumlah ribuan orang. Mereka selalu tunduk dan taat pada lembaga adat Esuriun Orang Bati, karena lembaga ini memiliki multi fungsi dan peran5

Sebagai contoh dijumpai dalam kehidupan Orang Bati tergolong berbeda dengan masyarakat lainnya. Dalam literatur Antropologi yang

) dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya pada lingkungan lokal. Untuk itu Esuriun Orang Bati dapat dipahami sebagai suatu kesengajaan yang diciptakan Orang Bati untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang sehingga mereka tidak punah.

Fungsi dan peran dari lembaga Esuriun Orang Bati ternyata mampu menciptakan tatanan baru. Tatanan ini terus dijaga dan di-lindungi oleh pewaris tradisi, adat, dan kebudayaan Bati untuk mem-perlancar dinamika interaksi sosial sebagai Orang Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai dalam ikatan teritorial genealogis dengan nama Anak Esuriun. Artinya tatanan baru ketika Orang Bati atau Suku Bati terintegrasi (menyatu), namun tidak menghapus tatanan lama yang telah terbentuk. Warna dari struktur sosial asli sebagai ke-lompok sosial Patasiwa dan Patalima tetap dipelihara sehingga basis nilai roina kakal terus menguat untuk saling menjaga dan melindungi untuk survive sehingga perkawinan yang berlangsung antara kelompok sosial yang memiliki asal usul berbeda tidak dipertentangkan. Bahkan perkawinan diantara roina kakal yang berasal dari marga yang sama adalah syah menurut adat, terutama pada wanita yang hamil sebelum menikah.

5)Salah satu fungsi dari Esuriun Orang Bati yaitu menjaga, melindungi hak milik (property) yang berharga (bernilai) seperti manusia, tanah, hutan, identitas dan sebagainya. Peran dari Esuriun Orang Bati yaitu sebagai perekat integrasi sosial pada kelompok yang berbeda dalam kesatuan berdasarkan nilai orang basudara (roina kakal) yang berasal dari keturunan Alifuru atau Alifuru Ina sebagai penghuni hutan hujan di Seram Timur.

Page 35: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

305

membahas secara khusus mengenai simbolik mengatur perkawinan antar kelompok kekerabatan seperti dalam buku berjudul Les Structures Elementaries de la Parente (1949) mengenai salah satu masalah yang paling pokok dalam khidupan sosial antara kelompok kerabat yaitu pengaturan perkawinan, atau menurut Levi Strauss pengaturan tukar-menukar wanita antara kelompok kerabat, di mana konsepsinya bahwa pranata perkawinan pada dasarnya merupakan tukar-menukar antar kelompok adalah akibat dari konsepsinya me-ngenai asal-mula pantangan inceste yaitu pantangan nikah antara saudara sekandung, yang dalam alam makhluk merupakan gejala hanya ada pada makhluk manusia (Koentjaraningrat, 1987 ; 218-219). Fenomena mengenai perkawinan di kalangan Orang Bati sangat ber-beda karena perkawinan yang berlangsung antara saudara yaitu syah menurut adat. Waktu pelaksanaan pernikahan yaitu mempelai laki-laki duduk bersama dengan orang tua laki-laki (bapak) dari mempelai perempuan. Apabila bapak sudah tidak ada lagi, dapat digantikan oleh saudara laki-laki atau saudara laki-laki dari pihak ibu. Hal ini di-maksudkan yaitu dasar falsafah hidup Orang Bati yaitu saling menjaga dan melindungi, sehingga eksistensi seorang anak yang hendak di-lahirkan oleh seorang ibu harus memiliki seorang bapak (ayah) sebab hal ini dianggap pamali (tabu) kalau seorang anak yang dilahirkan tidak memiliki bapak (ayah).

Walaupun ada kenyataan setelah proses kelahiran anak ke-mudian dilakukan perceraian, namun anak yang telah lahir memiliki seorang bapak (ayah) sebagai tempat berlindung. Dalam adat Esuriun Orang Bati hal ini dapat dilakukan karena tali pengikat integrasi di antara roina kakal memiliki basis nilai untuk kelangsungan hidup (survive). Selain itu juga mekanisme yang digunakan seperti ini untuk menciptakan kondisi keseimbangan dalam menghadapi tekanan (presure) yang berasal dari dalam maupun maupun dari luar. Untuk itu tali pengikat integrasi yang pernah tercipta terus dipelihara secara baik sehingga menjadi perekat untuk menjaga dan melindungi eksistensi Orang Bati agar tidak punah.

Page 36: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

306

Tipe integrasi yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati adalah integrasi kultural (cultural integration), dan hal itu benar-benar men-capai final karena dikukuhkan melalui adat esuriun. Integrasi seperti adalah khas, karena belum ditemukan pada suku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Suatu model integrasi yang benar-benar utuh, sehingga dapat dijadikan sebagai contoh maupun model dalam usaha mengintegrasikan masyarakat yang bercorak majemuk untuk dapat di-jadikan sebagai pedoman dalam mengelola dan membangun secara adil tanpa menimbulkan konflik dan kekerasan. Makna Esuriun Orang Bati sebagai strategi kelangsungan hidup yang cakap karena strategi ini damai dan tidak menimbulkan pertentangan (conflict) maupun ke-kerasan (violence) terhadap orang lain. Strategi ini dikatakan cakap karena dilakukan secara arif sehingga Orang Bati berhasil menjaga dan melindungi seluruh hak milik mereka yang berharga (bernilai) untuk bertahan hidup (survival strategy), dan menurut teori Parson berarti Orang Bati sukses dalam mengelola fungsi utama dalam struktur sosial sehingga problem sistem yang mendasarinya yaitu fungsi integrasi untuk menciptakan keseimbangan dalam sistem benar-benar dijaga dan dilindungi secara baik untuk mewujudkan kelangsungan hidup yang cakap dan dimaknai sebagai survival strategy.

Esuriun Orang Bati: Sukses Melindungi Hak Milik Untuk Bertahan Hidup (Property Protection for Survival Strategy)

Makna berhasil atau sukses yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati sehingga hak milik untuk kelangsungan hidup (property pro-tection for survival strategy) jangka panjang, apabila dikaitkan dengan analisis Suckhurgbh (2008: 9) tentang Survival of The Human Race yang menekankan bahwa sukses dari kelompok manusia untuk survive karena mereka dapat mengorganisir diri, dan distribusi sumber daya yang dimiliki. Teori ini menekankan bahwa kekuatan mengorganisir diri (individu), kelompok, dan komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy) pada manusia berbeda-beda.

Pada lingkungan Orang Bati di mana kehidupan awal yang di-jalani oleh anak cucu keturunan Suku Alifuru Ina atau Alifuru Seram

Page 37: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

307

yang menyebut diri dengan nama Orang Bati ketika berada di Samos, ternyata Orang Bati telah berusaha mengorganisir diri, kelompok, dan komunitas. Lebih jauh dari itu Esuriun Orang Bati dibangun ber-dasarkan komitmen atau majanji yang dilakukan secara adat pada leluhur (Tata Nusu Si), dan juga pada Nusa Ina (Pulau Ibu), dan Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu). Sebagai anak cucu Alifuru atau Alifuru Ina yaitu Alifuru Bati atau Orang Bati memiliki hak dan kewajiban yang sama sehingga mendapat legitimasi secara adat untuk mewujudkannya dalam kehidupan keseharian mereka.

Secara teoritis, strategi bertahan hidup (survive) yang sukses atau berhasil melalui Esuriun Orang Bati karena lembaga adat esuriun memiliki daya tahan jangka panjang guna mewujudkan nilai ke-berlanjutan (sustainable) dalam mengelola sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki secara arif bagi kelangsungan hidup generasi penerus tradisi Bati agar mereka tidak punah. Untuk itu Orang Bati sampai saat ini masih tetap hidup, walaupun kondisi mereka ter-isolasi dan mengalami masalah kemanusiaan cukup krusial karena terabaikan dari masyarakat dan pemerintah (negara).

Orang Bati sukses atau berhasil menjaga dan melindungi seluruh hak milik yang berharga (bernilai) berarti strategi berpikir dan bertindak untuk kelangsungan hidup jangka panjang telah dimiliki sejak dahulu kala melalui upaya mengintegrasikan berbagai kelompok sosial yang berbeda sehingga menghasilkan kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy). Hak milik yang sangat berharga (bernila) untuk dijaga dan dilindungi secara baik adalah manusia dan tanah, sehingga wilayah kediaman Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur dinamakan Tana (Tanah) Bati atau Atamae Batu yang secara fisik harus dapat diintegrasikan secara sosial agar penghuninya memiliki pan-dangan yang sama guna menjalani hidup dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur. Realitas ini berdasarkan perspektif Parson dapat dimaknai sebagai evolusi adaptif, sehingga dalam me-ningkatkan pencapaian tujuan bagi masyarakat secara keseluruhan sesuai dengan peningkatan integrasi internalnya dapat meningkatkan kebebasan unit-unit sosial pada sumbernya yaitu Esuriun Orang Bati

Page 38: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

308

sebagai komitmen bersama yang telah tercipta ketika kehidupan awal di Samos sekitar Gunung Bati.

Esuriun Orang Bati: Kekuatan Integrasi Antar Kelompok Sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati

Proses integrasi yang dicapai Orang Bati setelah Esuriun Orang Bati bersumber dari hubungan-hubungan sosial yang tercipta melalui relasi roina kakal. Proses menyatunya Orang Bati yang terdiri dari kelompok sosial Patasiwa dan Patalima terintegrasi secara kultural maupun teritorial yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati. Terintegrasinya kelompok Patasiwa dan Patalima melalui Esuriun Orang Bati karena awalnya mereka hidup berbedabeda dengan adat-istiadat dan teritorial sendiri-sendiri, kemudian bersepakat untuk hidup bersama sebagai roina kakal yang hidup dalam teritorial genealogis atau etar.

Hal ini berarti dalam Esuriun Orang Bati terdapat mekanisme keseimbangan yang berkembang secara alamiah, kemudian digunakan secara bersama sehingga memunculkan kesadaran bersama untuk saling menjaga dan melindungi diantara mereka satu terhadap yang lain dalam suatu sistem sosial untuk memanfaatkan wilayah roina kakal atau teritorial genealogis seperti etar yang terdapat dalam watas nakuasa. Teritorial genealogis atau wilayah roina kakal untuk me-wujudkan kelangungan hidup (survival strategy) jangka panjang pada genarasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati agar mereka sebagai salah satu spesis yang ada di alam tidak mengalami kepunahan. Semua elemen yang terdapat dalam sistem sosial Orang Bati berdasarkan adat Esuriun Orang Bati ikut berfungsi dan berperan secara baik dalam menciptakan keseimbangan agar sistem tersebut tidak goyah maupun lapuk oleh waktu.

Terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima menjadi Siwa-Lima pada lingkungan Orang Bati memiliki ciri khas tersendiri, karena tidak dijumpai pada kelompok sosial lainnya di wilayah Maluku, seperti suku-suku yang mendiami Pulau Seram, Ambon, Lease

Page 39: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

309

(Saparua, Haruku, Nusa Laut), Kei, Aru, maupun Kepulauan Maluku umumnya. Menyatunya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) melalui Esuriun Orang Bati di dasar-kan pada kesadaran bersama sebagai roina kakal 6

Fenomena sosio-kultural yang berlangsung dalam kehidupan Orang Bati apabila dianalisis dengan menggunakan teori strukturalis-me-fungsional yang dikemukakan Emile Durkheim tentang paradigma fakta sosial di mana dalam sosiologi meliputi struktur sosial dan pranata sosial yang dirinci menjadi kelompok kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peran, nilai-nilai, keluarga, pemerintah, dan se-

) utnuk saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung). Kekuatan integrasi antar kelompok sosial yang berbeda membuat Orang Bati atau Suku Bati sanggup menghadapi dan mengatasi tekanan (presure) yang ber-sumber dari dalam akibat alam yang tidak ramah, isolasi geografi, dan lainnya. Tekanan yang berasal dari luar lingkungan seperti tidak ada bantuan negara, menguatnya stigma, dan lainnya yang mengancam kelangsungan hidup Orang Bati.

Sebagai anak cucu pewaris tradisi Bati, mereka wajib dan terus melestarikan nilai maupun adat Esuriun Orang Bati untuk me-wujudkan kelangsungan hidup jangka panjang, dan hal ini telah teruji sehingga Orang Batin bisa memiliki kekuatan untuk survive pada tingkat individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas, walaupun mereka mengalami tekanan (presure). Esuriun Orang Bati merupakan pengetahuan lokal (local knowledge), yang terimplementasi sebagai kearifan lokal (local wisdom) dari Orang Bati atau Suku Bati, dengan dunia mereka sehari-hari atau berada dalam habitat Orang Bati dalam mengintegrasikan kekuatan untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang.

142)Istilah Roina Kakal sepadan dengan basudara yang terdapat dalam bahasa Melayu-Ambon untuk menyebut relasi sosial dalam pela, gandong, bongso, adik-kaka, ain nin ain, duan lola, laham, dan lainnya yang identik dengan itu. Dalam falsafah Orang Bati sapaan ini memiliki makna genealogis (orang gandong) atau orang yang berasal dari satu kandungan atau rahim ibu. Jadi pelayanan yang diberikan pada seorang ibu ketika melahirkan bayi, adalah orang yang memiliki hubungan keluarga dekat. Dalam tradisi Orang Seram termasuk Orang Bati, maupun Orang Maluku bahwa orang yang membersihkan darah dari seorang ibu yang melahirkan bayi adalah orang yang memiliki hubungan keluarga dekat (gandong) dari pihak ayah atau ibu, atau (kerabat).

Page 40: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

310

bagainya, maka menurut Marcel bahwa fakta sosial dapat bersifat eksternal terhadap individu, artinya terpisah dan mempengaruhi individu. Teori yang tergolong ke dalam paradigma fakta sosial adalah struktural fungsional dan struktur politik. Pandangan struktural fungsional, bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang ter-diri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan terhadap bagian yang lain. Teori ini dimantapkan oleh Parson, sebelumnya dipengaruhi oleh Durkheim, Comte, dan Louis De Bonal dengan asumsi bahwa setiap elemen (struktur) dalam sistem sosial adalah fungsional terhadap lain-nya (Soelaiman, 1998 ; 62-63).

Analisis terhadap kekuatan integrasi yang terdapat di balik Esuriun Orang Bati dengan menggunakan kerangka pikir Parson ten-tang AGIL (adaptation, gool etaitmen, integration, dan latenty), dapat dikatakan bahwa teori ini memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena aktual yang berada di balik Esuriun Orang Bati sebagai ke-kuatan bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang karena sampai saat ini Orang Bati tetap bisa bertahan hidup walupun kondisi nyata dari mereka yang terus mengalami tekanan, dan terabaikan. Tipe integrasi yang dicapai Orang Bati atau Suku Bati seperti ini dalam perspektif sosiologi apabila dibandingkan dengan pendapat Usman (1995: 86) yaitu usaha menciptakan integrasi dalam masyarakat ber-lilitlilit dengan banyak hal. Integrasi sejati tidak dapat dibangun di atas perlakuan yang represif karena berkaitan dengan sosialisasi nilai, dis-tribusi peran serta interdependensi ekonomi. Terciptanya suatu in-tegrasi tidak dapat mendadak, tetapi melalui suatu proses yang panjang terutama karena masyarakat banyak sekali kepentingan.

Pandangan teoritis di atas menekankan bahwa usaha mencipta-kan integrasi ternyata tidak mudah. Ketika kekuatan berbagai ke-lompok sosial yang berbeda di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) men-jadikan Esuriun Orang Bati sebagai perekat integrasi. Untuk itu proses sosialisasi nilai, distribusi peran, dan interdepensi masyarakat sesuai kepentingan yang berbeda mampu dibangun dari bawah. Setelah

Page 41: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

311

terintegrasi, kemudian Orang Bati atau Suku Bati melaksanakan strategi untuk turun dari hutan (esu) dan gunung (ukar) atau (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap hak milik (property) mereka yang berharga (bernilai) dari serbuan orang luar merupakan strategi kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy).

Usaha menelusuri tipe integrasi yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati menjadi relevan karena dalam perkembangannya secara teoritis terdapat berbagai tipe integrasi sosial antara lain integrasi interaksionis yaitu integrasi yang berlangsung melalui simbol-simbol, karena manusia merupakan makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol. Integrasi normatif dapat tercapai apabila unsur-unsur dasar dalam sistem kultural yaitu nilai-nilai umum masyarakat diintitusionalisasi dalam unsur-unsur sistem sosial. Integrasi fungsional yaitu masing-masing bagian membantu keseimbangan jaringan dan fungsional terhadap keseluruhan.

Integrasi ini dicapai jika terdapat saling ketergantungan di antara unit-unit dalam suatu sistem sosial, dan anggotanya menjadi anggota dari kesatuan sosial (cross-cutting affiliations), sehingga konflik yang terjadi di antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan sosial yang lain segera dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) (Turner, 1978; Angel, 1986; Poloma, 1987; Upe, 2010; Nasikun, 2011). Artinya, tipe integrasi yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati adalah integrasi kultural, dan tipe integrasi tersebut jarang ditemukan pada lingkungan komunitas yang memiliki perbedaan kultural. Secara teoritis, integrasi yang harmoni membutuhkan loyalitas ganda (cross-cutting loyalities), dan Usman (1995: 84) menekankan bahwa perlu memperhatikan distribusi peran dalam kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan politik. Mengutamakan prestasi dari prestige, serta struktur kekuasaan organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pe-ngelompokan sosial tidak bersifat elistis.

Page 42: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

312

Terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima7) di Tana (Tanah) Bati telah memunculkan struktur sosial baru di mana proses sosial yang berlangsung dalam sistem sosial Orang Bati atau Suku Bati mampu menciptakan keseimbangan dalam komunitas sehingga muncul berbagai kerjasama yang baik, dan meminimalisir konflik yang ber-potensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat8), bisa mengancam survival strategy secara langsung maupun tidak langsung. Melalui Esuriun Orang Bati yang mampu mengintegrasikan kelompok sosial yang berbeda di Tana (Tanah) Bati dalam implementasinya telah teruji karena ratusan tahun lamanya Orang Bati me-ngalami kondisi isolasi dan terasing dari lingkungan sekitarnya, tetapi mereka bisa bertahan hidup (survive) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan Bati sampai sekarang. Dikatakan bahwa kekuatan yang dimiliki Orang Bati untuk survive ada pada lembaga Esuriun Orang Bati adalah benteng9

7)Fakta yang dijumpai yaitu di Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah) terdapat marga Siasaun (kelompok Patasiwa) menempati teritorial secara bersama dengan marga Walima (kelompok Patalima). Fenomena seperti ini dapat dijumpai pada berbagai dusun atau kampung (wanuya) lainnya di Tanah Bati (Atamae Batu). 8)Dalam tradisi Alifuru Seram pada masa lampau yang masih kuat mempertahankan Heka Leka (perang dulu baru damai), maka konflik dan permusuhan antara kelompok Patasiwa dan Patalima sering terjadi. Untuk itu kelompok Pata Siwa dan Pata Lima di tempat-tempat lainnya tidak pernah mendiami lokasi kediaman secara bersama, tetapi mereka mendiami daerah kekuasaan (petuanan) sendiri-sendiri. Bandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Bartles 1977 dalam pembahasan tantang munculnya pesekutuan pela pada masyarakat adat di Maluku. Walaupun Bartles lebih menekankan tentang munculnya persekutuan pela lebih pada aras genealogis teritorial, tetapi pemikirannya bisa digunakan untuk memahami potret kehidupan keturunan Alifuru Seram pada masa lampau. Hal ini mengandung makna bahwa studi yang dilakukan Bartles belum menunjukkan perspektif utuh mengenai kehidupan Alifuru Seram. Studi mengenai Esuriun Orang Bati dapat dikatakan berbeda, karena anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami Tanah Bati (Atamae Batu) yaitu Orang Bati yang terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima dapat terintegrasi melalui Esuriun Orang Bati sehingga relasi sosial yang tercipta yaitu berdasarkan teritorial genealogis atau wilayah orang basudara karena mereka menganggap dirinya adalah orang basudara (roina kakal). 9)Maksud dari benteng ada pada diri manusia karena menurut pemaknaan yang diberikan Orang Bati bahwa kerajaan Bati itu ada di dalam kepala manusia (otak), dan hati (nurani) manusia yang bersih atau Batti sehingga menjadi pagar (sirerun) untuk menjaga, melindungi dan membentengi manusia. Benteng tanpa tembok ini ini tidak tampak, tetapi sudah teruji karena kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk mewujudkan kelangsungan hidup jangka panjang (survival strategy).

) yang bersandar pada diri manusia (Orang Bati) sehingga nama Bati dianggap sakral oleh orang luar maupun mereka sebagai Orang Bati sendiri.

Page 43: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

313

Kisah Esuriun Orang Bati menjadi bagi penting dalam Dunia Orang Bati atau Suku Bati dan sampai saat ini terus dilestarikan oleh generasi penerus kebudayaan Bati. Esuriun Orang Bati menciptakan model integrasi yang berlangsung secara sukarela berdasarkan inisyatif sendiri dari Orang Bati sehingga tipe integrasi yang muncul bukan karena paksaan dari penguasa. Terintegrasinya Orang Bati atau Suku Bati melalui Esuriun Orang Bati dapat dijadikan sebagai model mem-bangun integrasi dari bawah. Melalui cara konsolidasi internal, pada tahap berikutnya mereka berusaha mengorganisir diri (individu), ke-lompok, dan komunitas secara baik melalui perundingan adat (mabuk) yang diikuti oleh seluruh warga dengan melibatkan semua pemimpin di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu), dan seluruh warga melalui mekanisme socio-cultural yang telah melahirkan kesepakatan (mafakat sinabi) meliputi; (1) Pembagian (tabagu) wilayah untuk masing-masing marga atau mata rumah (it etar) sebagai hak milik; (2) Strategi untuk mengawasi (mengontrol) wilayah kekuasaan (watas nakuasa); (3) Strategi untuk melindungi manusia, tanah, identitas, dan seluruh hak milik (property) yang berharga (bernilai); (4) Strategi penyebaran Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung; (5) Pelaksanaan Esuriun Orang Bati dalam formasi adat sesuai tradisi Alifuru Seram.

Strategi untuk turun gunung (madudu atamae yaisa tua ukara) dilakukan secara bersama dan serentak melalui peristiwa adat sehingga anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati dapat menempati lokasi masing-masing dalam wilayah adat Weulartafela di Kian Darat, Kelbarin di Waru, dan Kwairumaratu di Kelimuri. Informasi yang di-peroleh melalui sejarah lisan (oral story) Orang Bati diketahui bahwa Esuriun Orang Bati dilakukan secara sengaja, dan terkoordinasi secara baik. Pada saat itu formasi dalam upacara adat Esuriun Orang Bati yaitu setiap kelompok dipimpin oleh masing-masing kapitan (pemimpin) perang dalam kelompok dan berada di bawa komando Kapitan Esuriun Orang Bati. Formasi kelompok yang berada terdepan adalah kapitan (pemimpin) yang menggunakan parang (peda) dan perisai (salawaku), kelompok berikutnya menggunakan tombak (lubur) dan parang (peda),

Page 44: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

314

sedangkan kelompok yang berada di sisi kiri dan kanan barisan ter-dapat orang-orang yang menggunakan panah (oika) dan parang (peda) dan bertugas untuk melindungi kelompok yang menggunakan parang dan perisai (salawaku) dan diringi dengan lagu adat yang berjudul mai loka mai (mari sudah-mari sudah). Peralatan lain yang digunakan dalam upacara adat Esuriun Orang Bati yaitu tifa (tiwal) dan kulit siput (tauila). Dalam tradisi, adat-istiadat Orang Bati, ritual yang berkaitan dengan upacara adat Esuriun Orang Bati tersebut dinamakan formasi Lidi atau esuriun berjalan. Orang yang melakukan formasi Lidi dalam barisan Esuriun Orang Bati yaitu berjalan sambil melakukan tarian cakalele (dobol) yaitu sejenis tarian perang. Formasi bagian kepala di-namakan dobol bon, bagian ekor dobol muru, dan bagian tengah dobol nasungut. Bagian kepala dipimpin oleh kapitan yang berasal dari marga Siasaun. Bagian ekor dipimpin oleh marga Rumbou, sedangkan marga-marga lainnya berada di bagian tengah.

Barisan Alifuru Bati atau Orang Bati dengan kekuatan yang sangat besar yaitu ribuan (riun) orang turun dari hutan (esu) dan gunung (ukar) melalui esuriun pada hakikatnya yaitu mereka me-nunjukkan eksistensi sebagai manusia atau sukubangsa yang solid dan kokoh, tangguh, dan perkasa pada orang lain sebagai tanda bahwa hati-hati menghadapi Orang Bati atau Suku Bati, karena penghuni Kepala Air atau hulu Sungai (Alsul) Masiwang telah mengingatkan atau mem-berikan peringatan pada orang luar bahwa hati-hati di gunung ada orang (maksudnya di gunung ada Orang Bati). Untuk itu peneliti me-ngatakan bahwa Orang Bati adalah benteng terakhir Orang-Orang Seram yang tidak mudah ditebus oleh orang luar dari waktu ke waktu, karena itu eksistensi mereka tidak boleh diabaikan.

Pandangan ini cukup beralasan karena Esuriun Orang Bati dikenal oleh orang luar (orang-orang pesisir pantai timur Pulau Seram) sebagai peristiwa adat yang menyeramkan atau menakutkan. Tetapi hakikat esuriun dilakukan secara damai tanpa menimbulkan konflik maupun kekerasan pada orang lain. Pada masa lampau ketika di-lakukan Esuriun Orang Bati, semua orang luar yang mendiami wilayah pesisir pantai timur Pulau Seram merasa takut untuk berhadapan

Page 45: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

315

dengan Orang Bati atau Suku Bati yang jumlahnya ribuan (riun) orang, karena orang luar yang mendiami wilayah pantai tidak menyangka bahwa di Gunung Bati terdapat banyak sekali keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati. Ketika mereka semua turun dari hutan dan gunung, ternyata semua orang luar yang mendiami wilayah pesisir pantai me-larikan diri ke pulau-pulau lain di sekitarnya atau tempat-tempat yang dianggap aman, dan tidak pernah kembali maupun berpindah.

Esuriun Orang Bati sampai sekarang masih dilakukan untuk me-ngenang kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari Samos di se-kitar Gunung Bati pada masa lampau. Esuriun Orang Bati menegaskan eksistensi Suku Bati yang kuat, kokoh dengan pendirian tidak mudah tergoyahkan. Terintegrasinya Orang Bati secara kultural dan teritorial membuat hubungan-hubungan sosial yang berlangsung di antara mereka makin solit, sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan Orang Bati adalah benteng terakhir Orang Seram yang sulit ditembus dari waktu ke waktu oleh orang luar. Kondisi yang tercipta seperti ini menunjukkan bahwa strategi pertahanan diri, kelompok, maupun komunitas yang berdiri kokoh di atas falsafah saling menjaga dan me-lindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap manusia, tanah, hutan, identitas, tradisi, adat, kebudayaan dan lainnya memberikan ke-percayaan diri, kelompok, maupun komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang. Integrasi yang dicapai Orang Bati untuk menyatukan kelompok sosial Pata Siwa dan Pata Lima yang ber-beda melalui adat Esuriun Orang Bati adalah tipe integrasi kultural karena hakikatnya adalah final.

Persoalan hidup yang sementara ini dihadapi Orang Bati sebagai fenomena kemanusiaan yang serius akibat menguatnya stigma atau anggapan negatif dari orang luar yang mempersepsikan Orang Bati se-bagai orang ilang-ilang (hilang-hilang), manusia misteri, dan sebagai-nya sehingga kehidupan mereka terabaikan. Stigma seperti ini telah memunculkan kearifan pada Orang Bati sebagai salah satu sukubangsa di Seram-Maluku untuk bertahan hidup (survive) walaupun kondisi Orang Bati sampai sekarang terabaikan. Secara teoritis dapat di-kemukakan bahwa Esuriun Orang Bati mencapai sukses atau berhasil

Page 46: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

316

karena memiliki kekuatan integrasi kultural pada kelompok sosial yang berbeda yaitu kelompok Patasiwa (sembilan bagian) dan Patalima (lima bagian). Menyatunya Siwa-Lima di Tana (Tanah) Bati yang dilakukan secara adat, tumbuh berdasarkan kesadaran bersama (kolektif) sesuai kosmologi Orang Bati tentang Siwa-Lima. Esuriun Orang Bati sebagai strategi bertahan hidup (survival strategy) memiliki nilai keberlanjutan (sustainable) untuk mencegah kepunahan pada generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati.

Untuk menganalisis Esuriun Orang Bati yang dimaknai sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek kelembagaan, tradisi, adat, ke-budayaan, identitas, dan lainnya. Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran untuk mewujudkan strategi bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang pada Orang Bati atau Suku Bati. Esuriun menjadi perekat integrasi socio-cultural karena Orang Bati menyatu dalam menjalani kehidupan bersama sebagai roina kakal. Walaupun pada awal kehidupan Alifuru Bati atau Orang Bati berbeda-beda dari segi sosial, budaya, dan lainnya tetapi melalui Esuriun Orang Bati mereka dapat menyatu (terintegrasi) secara baik.

Pola integrasi yang dicapai Orang Bati untuk menyatukan berbagai kelompok sosial yang berbeda dapat tercipta secara haromoni karena “setiap kelompok dapat melakukan mekanisme kontrol sosial sehingga hakikat paling dasar dari kesungguhan untuk saling menjaga dan melindungi kepentingan bersama sebagai komitmen ternyata mampu menciptakan keseimbangan dalam sistem sosial, sehingga konflik-konflik yang sifatnya melemahkan kerja maupun membahaya-kan sistem sosial yang sementara dibangun dapat diatasi sampai titik terendah, bahkan ditiadakan”. Pada tataran integrasi kultural yang di-capai melalui Esuriun Orang Bati adalah final karena dilakukan melalui adat. Pola integrasi kultural yang dicapai Orang Bati terkait dengan dinamika yang berlangsung dalam kehidupan kelompok Patasiwa dan Patalima yang awalnya berbeda kemudian diikat oleh nilai dasar (ngavin) menjadi kesatuan yang kuat. Kesatuan kelompok sosial di Tana (Tanah) Bati berlangsung secara dinamis karena interaksi sosial

Page 47: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

317

yang berlangsung antar anggota kelompok yang menghasilkan energi untuk mencapai tujuan bersama yaitu mereka saling menjaga dan me-lindungi (mabangat nai tua malindung). Secara teoritis, fenomena yang berkaitan dengan dinamika kelompok oleh Soetarno (dalam Huraerah dan Purwanto, 2010 : 6-8) yaitu ; (1) Adanya motif yang sama. Kelompok sosial terbentuk karena anggota-anggotanya mempunyai motif yang sama. Motif yang sama ini merupakan pengikat sehingga setiap anggota kelompok tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan be-kerja bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu; (2) Adanya sikap ingroup dan out-group. Jika ada sekelompok manusia yang mempunyai tugas yang sulit atau yang mengalami kepahitan hidup bersama, mereka akan menunjukkan tingkah laku yang khusus; (3) Adanya solidaritas. Solidaritas adalah kesetiakawanan antar anggota kelompok sosial. Terdapatnya solidaritas yang tinggi di dalam kelompok ter-gantung kepada kepercayaan setiap anggota akan ke-mampuan anggota lain untuk melaksanakan tugas dengan baik; (4) Adanya struktur ke-lompok. Struktur kelompok adalah suatu sistem mengenai relasi antara anggota-anggota kelompok berdasarkan peranan dan status mereka serta sumbangan masing-masing dalam interaksi kelompok untuk men-capai suatu tujuan tertentu; (5) Adanya norma kelompok. Norma-norma kelompok di sini adalah pedoman yang mengatur tingkah laku individu dalam kelompok. Pedoman ini sesuai dengan rumusan tingkah laku yang patut dilakukan anggota kelompok apabila terjadi se-suatu yang bersangkut paut dengan kehidupan kelompok tersebut. Jadi norma di sini mengandung arti ideal, bukan real.

Esuriun Orang Bati dilakukan karena kelompok memiliki motif yang sama yaitu paham orang satu asal (anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina). Adanya kepahitan hidup bersama seperti stigma (anggapan negatif) orang luar sehingga Orang Bati memperlihatkan perilaku khusus untuk menjaga dan melindungi kepentingan mereka semua, sehingga solidaritas yang muncul sebagai kesetiakawanan antar anggota kelompok sosial memperkuat sikap saling percaya pada setiap anggota kelompok maupun komunitas. Struktur sosial yang tercipta dalam kelompok menunjukkan suatu sistem relasi antara anggota ber-dasarkan peranan dan status masing-masing individu, kelompok,

Page 48: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

318

maupun komunitas untuk mencapai tujuan hidup bersama. Norma yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati dijadikan sebagai pedoman untuk mengatur tingkah laku individu dalam kelompok sebagai nilai yang ideal, dan turut berfungsi dan berperan pada tataran realistik karena berkaitan dengan adat untuk memperkokoh ikatan kelompok sehingga membentuk benteng sosial yang kokoh.

Pencapaian integrasi tersebut adalah final karena dikukuhkan melalui adat Esuriun Orang Bati di mana sistem pengelompokan sosial dengan penamaan Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai atau Bati Rei dan Bati Lau berada dalam teritorial genealogis atau wilayah roina kakal dan hakikat dari nilai tentang saling menjaga, melindungi yang terdapat dalam tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan Bati terus dilestarikan. Pandangan mengenai sistem pengelompokan sosial yang berbeda pada awalnya di Bumi Pulau Seram sesuai tradisi Alifuru Seram membuat Orang Bati harus menentukan ciri khas ke-lompoknya sendiri yang berbeda dari kelompok lainnya di Pulau Seram. Orang Bati sebagai rumpun Patasiwa Putih tampak melalui tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan sebagai keturunan Alifuru Seram di mana berdasarkan sistem pembagian kelompok Patasiwa yang terdiri dari Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) dan Patasiwa Putih. Kehidupan awal dari setiap kelompok Pata (bagian) berbeda-beda dan mereka hidup dengan teritorial dan menganut adat-istiadat masing-masing. Dapat dikemukakan bahwa rumpun Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) menempati teritorial atau wilayah adat di Pulau Seram Bagian Barat, sedangkan kelompok Patasiwa Putih menguasai wilayah adat di Pulau Seram Tengah Bagian Selatan. Orang Bati sebagai rumpun Patasiwa Putih menguasai wilayah adat di Pulau Seram Bagian Timur.

Dalam tradisi kelompok Patasiwa Hitam mereka terus me-melihara kakehan10

10)Salah satu nilai yang hidup dalam tradisi kakehan pada tempatnya yang bernama Pou Nusa sebagai rumah kakehan yaitu paham tentang “Kehidupan Setelah Kematian”. Sebagai contoh, agar Baileu (rumah adat) terus hidup, maka manusia harus mati. Untuk itu serangan rahasia untuk pemenggalan kepala manusia yang dilakukan oleh kakehan dimaksudkan agar menjaga eksistensi Baileu tetap hidup.

) (organisasi rahasia Seram) yang berfungsi dan ber-peran untuk mendidik pemuda Seram mengenai heroisme untuk men-

Page 49: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

319

jaga dan melindungi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) dari ser-buan orang luar. Tetapi cara hidup orang-orang kakehan pada masa lampau dapat menyebabkan penduduk tidak bertambah karena setiap waktu terjadi kematian, dan konflik antar kelompok terus berlanjut. Orang-Orang Patasiwa Putih memilih tradisi yang tidak mengorban-kan manusia untuk kepentingan ritual dalam adat seperti kakehan. Walaupun pada kenyataannya tradisi tersebut mengalami pertentangan bathin dalam kehidupan kelompok tetapi pilihan untuk tidak me-melihara kakehan pada kelompok Patasiwa Putih merupakan strategi untuk menghindari kemerosotan penduduk dan menghindari per-tikaian yang dikenal dalam tradisi Alifuru Seram yaitu Heka Leka (perang dulu baru damai), dan melihat relasi antar roina kakal lebih penting untuk diwujudkan dari segala-galanya dan memiliki basis nilai yang penting untuk kelangsungan hidup.

Artinya konsep roina kakal dalam perspektif Orang Bati di-maknai sebagai orang yang berasal dari satu rahim ibu (nina) berarti memiliki pertalian darah yang kuat. Darah manusia yang kotor harus dibersihkan agar manusia tetap sehat untuk berpikir, berperilaku, ber-tindak, dan sebagainya. Sebab yang menjadikan manusia itu tidak sehat dan menimbulkan sakit-sakit karena disebabkan oleh darah yang kotor. Makna roina kakal memiliki nilai dasar yang melekat dengan paradigma darah manusia yang kotor dan perlu dibersihkan. Untuk itu fungsi dan peran dari orang terdekat yang disapa dengan istilah pela, gandong, bongso, ain nin ain, duan lola, laham, Waliu, dan sebagainya menjadi sangat penting untuk mewujudkan keberlangsungan hidup dari anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang lebih damai di Tanah Maluku apabila paradigma roina kakal benar-benar dipahami dalam konteks membangun integrasi yang lebih harmoni, berarti ke-hidupan yang damai dapat diciptakan dalam berbagai aspek kehidupan nyata.

Melalui studi ini diketahui bahwa Orang Bati terdiri dari rumpun Patasiwa Putih dan Patalima tidak memelihara tradisi kakehan. Realitas tersebut sudah tampak ketika leluhur Orang Bati menjalani ke-hidupan awal di Samos dan Soabareta sekitar Gunung Bati di mana rumah kakehan tidak ada. Pada saat menjalani kehidupan awal di se-

Page 50: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

320

kitar Gunung Bati kemudian mereka melakukan konsolidasi internal pada setiap mata rumah (nini etar), maupun kelompok. Hasil per-undingan (mabuk) yang dilakukan secara bersama kemudian mencapai kesepakatan (mafakat sinabu) bahwa diperlukan nilai dasar sebagai simpul pengikat untuk menata kehidupan Orang Bati sebagai orang satu asal. Munculnya Esuriun Orang Bati karena di dalamnya terdapat nilai dasar (ngavin) yang menjadi hakikat hidup tertinggi sejak awal manusia penghuni hutan dan gunung tersebut menjalani kehidupan bersama di Samos.

Kesepakatan yang diwujudkan melalui Esuriun Orang Bati yaitu mereka semua harus turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) secara bersama dan serentak untuk menjaga dan me-lindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang ber-harga (bernilai). Makna menjaga dan melindungi yaitu tidak me-ngabaikan hak milik orang lain sebagai hak mereka masing-masing yang diakui menurut sistem pembagian (tabagu) terhadap wilayah ke-kuasaan milik marga (etar) yang terdapat dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Cara mengklaim nilai seperti ini oleh pen-dukungnya cenderung menimbulkan pertentangan (conflict) dengan orang lain. Namun bagi Orang Bati nilai dasar itu adalah benar. Dalam realitasnya adat Esuriun Orang Bati benar-benar berperan sebagai benteng tanpa tembok tetapi kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk bertahan hidup (survival strategy).

Berdasarkan teori Parson dikemukakan bahwa terintegrasinya kelompok sosial (Patasiwa dan Patalima) di Tana (Tanah) Bati yang awalnya hidup berbeda-beda karena mereka berusaha membangun sistem sosial yang di dasarkan pada norma (esuriun) yang mengikat individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas menjadi satu identitas yang dinamakan Orang Bati. Ikatan sosial dengan identitas Bati telah berlangsung melalui suatu proses yang cukup panjang karena dimulai dari tahapan konsolodasi internal yang dilakukan pada mata rumah (it etar) sebagai dasar pembentukan struktur sosial Orang Bati di mana setiap individu maupun kelompok senantiasa berusaha untuk saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap se-luruh hak milik berharga merupakan pengakuan terhadap apa yang

Page 51: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

321

menjadi hak milik (ini hakka) pada setiap individu, kelompok, maupun komunitas merupakan hak milik dari masing-masing yang seantiasa berada dalam mata-rantai kehidupan untuk saling melengkapi, meng-hidupi, menguatkan dan sebagainya, tetapi hal ini juga harus di-waspadai karena dapat melemahkan kondisi sosial apabila ber-langsungnya perubahan. Dalam perspektif teori Parson yang di-maksudkan adalah nilai-nilai integratif yang berada dalam sistem sosial yang dicapai secara normatif untuk menuju pada aspek kultural guna mewujudkan integrasi eksistensial di kalangan Orang Bati sehingga keberadaan sebagai manusia maupu sukubangsa diterima oleh berbagai pihak.

Esuriun Orang Bati: Adat Sebagai Benteng Tanpa Tembok

Esuriun Orang Bati menjadikan Adat Sebagai Benteng tanpa tembok (adat eya oy tua ne rereron). Benteng tidak bertembok, tetapi sangat kuat, kokoh, ulet (berketahanan). Dalam implementasinya telah teruji bahwa melalui Esuriun Orang Bati ternyata tidak memberi ruang pada orang luar, termasuk state (negara) untuk masuk secara leluasa dalam watas nakasa (wilayah kekuasaan) untuk melakukan eksploitasi sumber daya. Adat Esuriun Orang Bati yang dijadikan sebagai benteng yang tidak dilingkari dengan kawat duri (tompat aya oy dafutar tua kawat duri aotey) ternyata sangat kokoh, kuat, dan berketahanan karena selama ini telah berfungsi dan berperan untuk menjaga dan me-lindungi seluruh kepentingan Orang Bati. Esuriun Orang Bati yang di-maknai sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) untuk menguasai ruang hidup cukup beralasan karena ratusan tahun Orang Bati mendiami Pulau Seram Bagian Timur dalam kondisi ter-isolasi, terasing, namun mereka mampi bertahan hidup (survive) dengan kekuatan sendiri.

Kekuatan Esuriun Orang Bati yang mengandalkan adat sebagai benteng (adat eya oy tua ne rereron) memiliki makna sebagai pagar (sirerun) untuk melindungi hak milik yang berharga agar Orang Bati dapat bertahan hidup (survive). Strategi ini sengaja diciptakan oleh leluhur Orang Bati pada masa lampau agar kehidupan mereka tidak

Page 52: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

322

mengalami kepunahan dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) atau ruang hidup mereka sendiri. Pemahaman Orang Bati untuk me-ngembangkan strategi bertahan hidup (survive) agar tidak punah ke-mudian memunculkan kearifan tentang Esuriun Orang Bati sebagai strategi kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy).

Esuriun Orang Bati sebagai lembaga (adat) memiliki kedudukan dan peran yang strategis karena memperoleh legitimasi secara adat. Lembaga Esuriun Orang Bati telah berperan dalam menyelenggarakan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Lembaga ini men-jadi mata-rantai penting untuk menghubungkan individu, maupun ke-luarga (marga). Melalui Esuriun Orang Bati, kehidupan mereka yang awalnya berbeda-beda dapat terintegrasi secara baik. Proses integrasi yang dicapai Orang Bati melalui Esuriun Orang Bati adalah final karena dikukuhkan secara adat. Implementasi dari Esuriun Orang Bati untuk mencegah ancaman terhadap kelangsungan hidup (survival strategy) pada tingkat individu, kelompok, maupun komunitas sehingga melalui studi ini dapat dikemukakan bahwa lingkungan Orang Bati adalah suatu lingkungan masyarakat adat karena selama ini adat Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan secara baik dalam struktur sosial sehingga kehidupan bermasyarakat dapat berlangsung menurut tatanan adat yang disepakti bersama.

Realitas tersebut secara teoritis dapat dikemukakan bahwa de-wasa ini wacana masyarakat adat yang berjalan seiring dengan sejarah kolonialisme modern sekitar abad enam belas silam. Sejak waktu itu-lah, mereka yang mendiami wilayah yang kemudian dikuasai dan di-jajah oleh kaum kolonialis itu disebut sebagai indigenous, native, atau aboriginal. Dewasa ini term indigenous mengacu lebih luas lagi pada pewaris yang menghuni wilayah itu jauh sebelum dijajah atau dikuasai oleh bangsa asing yang sekarang didominasi oleh orang lain baik bangsa asing maupun suku lain. Dalam diskursus politik dan gerakan hak asasi manusia mereka ini bisa disebut indigenous peoples, dan me-nurut Anaya, mengacu pada rumusan PBB, mereka disebut indigenous karena akar turun-temurun kehidupan mereka menjadi kesatuan tak terpisahkan dengan tanah dan wilayah di mana mereka huni, atau akan

Page 53: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

323

huni (dalam arti kembali ke wilayah tersebut setelah mengalami pe-minggiran atau pengusiran paksa). Mereka juga disebut peoples dalam arti mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas mereka yang berkelanjutan secara turun-temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku, atau bangsa dari sejarah masa lampaunya (Anaya dalam Bosko, 2006 ; 5-6).

Hal ini berarti Esuriun Orang Bati sebagai strategi Alifuru Bati atau Orang Bati untuk menjaga, melindungi hak milik yang berharga (bernilai) di mana manusia, tanah, dan wilayah yang dibentengi diri dan, komunitas, dan wilayah berserta sumber daya yang dimiliki dan dilakukan secara rapih. Untuk itu dapat ditegaskan bahwa eksistensi Orang Bati sebagai manusia, sukubangsa adalah indigenous peoples (masyarakat adat) sehingga posisi mereka sebagai warga negara yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu memperoleh pengakuan untuk mengatasi persoalan kemanusiaan yang selama ini mereka alami. Jika tidak, negara dapat dikatakan membuat pelanggaran terhadap hak asasi manusia pada penduduk atau warga negara karena kondisi mereka terabaikan selama ini di Pulau Seram Bagian Timur. Pengakuan bukan berarti negara harus campur tangan secara langsung, tetapi negara (pemerintah) dapat memberi ruang yang lebih leluasa pada Orang Bati untuk terus membangun diri dan komunitas dalam ikatan roina kakal sehingga mereka tetap memiliki kekuatan membangun secara mandiri. Memahami adat sebagai benteng tanpa tembok berarti basis nilai menjadi penting. Dalam pandangan Parson berarti terdapat penguatan pada pola pertahanan (sistem budaya, nilai-nilai, dan nilai generalisasi) pada Esuriun Orang Bati, dan nilai-nilai tersebut telah berfungsi dan berperan sebagai nilai-nilai integratif untuk menyatukan kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada tingkat individu, kelompok, maupun komunitas.

Esuriun Orang Bati: Membangun Relasi Sosial Antar Roina Kakal

Secara internal, Esuriun Orang Bati berperan dalam membangun relasi saling memberi, menghormati, tolong-menolong (bobaiti),

Page 54: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

324

masohi, menghormati tata krama dalam pergaulan, dan sebagainya. Walaupun nilai-nilai dasar tersebut tidak tertulis, tetapi melalui legitimasi adat, seluruh potensi dan sumber daya lokal yang terdapat dalam wilayah milik marga (etar) maupun wilayah milik bersama (watas nakuasa) Orang Bati atau Suku Bati agar dapat dijaga dan di-lindungi, dipelihara, dikelola, dan dirawat secara baik sehingga tetap lestari. Esuriun Orang Bati mampu membentuk perilaku sosial, men-ciptakan relasi yang seimbang antara manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lainnya pada lingkungan lokal.

Secara eksternal, Esuriun Orang Bati menunjukkan pada orang luar bahwa mereka memiliki eksistensi yang kuat sebagai manusia maupun sukubangsa yang dijuluki sebagai benteng terakhir Orang Seram yang sulit ditembus dari waktu ke waktu. Esuriun Orang Bati di mata orang luar sangat menakutkan karena ritual adat di Tanah Bati (Atamae Batu) yang dilakukan Orang Bati untuk mengenang peristiwa turunnya Alifuru Bati dari Samos11

Walaupun sampai saat ini eksis-tensi Orang Bati atau Suku Bati belum diketahui secara benar oleh orang luar atau dunia luar, tetapi melalui temuan ini ditegaskan pada publik bahwa sesungguhnya Orang Bati atau Suku Bati itu ada dalam kenyataan dan mereka memiliki identitas kesukubangsaan. Orang Bati bukan orang ilang-ilang (hilang-hilang) sebagaimana persepsi orang luar terhadap Orang Bati selama ini. Esuriun Orang Bati adalah pembentuk tradisi Bati karena di-lakukan berdasarkan kesepakatan adat. Tradisi tidak dapat terbentuk secara revolusioner, tetapi fenomena ini perlu dilakukan secara evolusioner sehingga sekat-sekat yang menjadi pemisah dalam sistem sosial dapat dirapatkan, kemudian diikat melalui simpul yang kuat. Artinya pada tataran awal yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati adalah integrasi normatif, sehingga keberhasilan (sukses) dalam men-

). Esuriun Orang Bati yang di-maknai sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) adalah khas, karena strategi ini tidak terdapat pada suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun di wilayah Maluku.

11)Samos artinya “Tempat Kering Pertama” yang dijumpai oleh keturunan Alifuru di Pulau Seram Bagian Timur ketika leluhur mereka datang pertama kali untuk mendiami lokasi kediaman sesuai pembagian.

Page 55: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

325

ciptakan integrasi normatif menjadi dasar untuk mencapai tujuan akhir yaitu mewujudkan integrasi kultural maupun integrasi eksistensil, dan tidak mengabaikan integrasi teritorial.

Esuriun Orang Bati: Pembentuk Tradisi Bati

Artinya, hakikat dari Esuriun Orang Bati telah membentuk tradisi Bati sebagai medium untuk penguatan identitas, dan kehangatan dalam hidup Orang Bati dengan habitatnya. Dalam perspektif Giddens (2003: 47-50) identitas mengasumsikan makna, mengasumsikan proses konstan dari rekapitulasi dan reinterpertasi. Identitas adalah pencipta-an konstansi dalam perjalanan waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Dalam semua masyarakat, pemeliharaan identitas pribadi, dan hubungannya dengan identitas sosial yang lebih luas, ada-lah persyaratan utama keamanan ontologis. Tradisi menyediakan se-buah pelabuhan bagi ”kepercayaan dasar” yang begitu sentral bagi ke-berlanjutan identitas. Tradisi juga merupakan mekanisme pem-bimbing bagi hubungan kepercayaan yang lain.

Pendapat Giddens sesungguhnya mempertegas bahwa tradisi esuriun yang terus mengakar kuat dalam habitat (lingkungan hidup) Orang Bati merupakan arena di mana mereka bisa mengekspresikan citra diri yang sesunguhnya untuk menghadapi setiap perkembangan serta perubahan yang terjadi. Apabila tradisi Esuriun Orang Bati di-kaitkan dengan analisis Bourdieu tentang habitus, dapat dikemukakan bahwa Esuriun Orang Bati merupakan suatu arena yang diciptakan untuk berekspresi, dan arena dimaksud adalah konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tidak mau menyebabkan perubahan struktur arena.

Rumusan tentang arena dengan meminjam istilah dari Bourdieu tentang cassirer, cara berpikir relasional tentang produksi kulutral. Cara berpikir ini mengisyaratkan pemisahan diri dari persepsi umum atau substansialistik mengenai dunia sosial, karena dia melihat setiap elemen berdasarkan relasinya dengan semua elemen tersebut men-dapatkan makna dan fungsinya. Dalam arena apa pun, agen-agen yang

Page 56: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

326

menempati berbagai macam posisi yang tersedia untuk kompetisi memperebutkan posisi-posisi baru, memperebutkan kontrol kepenting-an atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan.

Dalam bidang ekonomi misalnya, agen-agen bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi dengan mengguna-kan akumlasi modal ekonomi. Dalam arena kultural, kompetisi sering-kali berkaitan dengan otoritas yang inheren di dalam pengakuan, kon-sekrasi dan prestise. Hal ini disebut sebagai sub-arena produksi terbatas (the sub-field of restricted produktion), yaitu produksi yang tidak di-maksudkan untuk mencapai pasar skala besar (Bourdieu, 2010: xviii-xix). Teori tersebut di atas ternyata turut memperkuat realitas yang di-temui mengenai arena yang terbentuk dalam habitat Esurium Orang Bati telah memberikan penguatan pada jaringan, norma, dan ke-percayaan di antara mereka sebagai orang basudara (roina kakal) se-hingga memberikan penguatan dalam membangun relasi sosial sebagai anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) sebagai kekuatan in-tergrasi dan menjadi modal sosial yang solid dalam komunitas Orang Bati untuk bertahan hidup (survival strategy).

Suasana upacara adat Esuriun Orang Bati di mata orang luar tergolong menakutkan atau manyeramkan sehingga bersumber dari istilah menakutkan atau menyeramkan ini kemudian berkembang nama Seram pada pulau terbesar di Kepulauan Maluku. Penamaan Alifuru Seram atau Orang Seram, selanjutnya dipopulerkan oleh orang luar antara lain orang yang mendiami Pulau Geser atau Orang Geser. Pada masa lampau Orang Geser sering melakukan aktivitas berdagang (barter) dengan penduduk yang mendiami Pulau Ambon, Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut), serta pulau-pulau lain yang bisa dijangkau dengan perahu layar bernama Jungku atau Jungk. Nama Seram makin populer ke mana-mana, sehingga Orang Bati sebagai Orang Seram atau Alifuru Seram ditakuti oleh orang luar sampai saat ini. Kekuatan Esuriun Orang Bati apabila dikaitkan dengan teori survival strategy yang dikemukakan oleh Charles Darwin tentang “survival of the fittest” di mana awal kemunculan teori ini memiliki kata kunci adalah organise, yang artinya setiap spesis termasuk manusia

Page 57: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

327

yang mampu mengorganisir diri secara baik dapat bertahan hidup (Suckhurgbh, 2008: 1).

Untuk itu dapat dikemukakan bahwa makna organise dalam teori Darwin yang digunakan untuk menganalisis kekuatan Esuriun Orang Bati untuk bertahan hidup (survival strategy) ternyata mampu menciptakan keberhasilan atau sukses. Artinya melalui Esuriun Orang Bati, mereka bisa memiliki kekuatan bersama sehingga mampu untuk mengontrol diri (individu), kelompok, maupun komunitas pada posisi mereka masing-masing dalam struktur sosial yang rapih atas dasar saling menjaga, dan saling melindungi. Strategi ini dapat dikategorikan sebagai sukses, dan dimaknai sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) sehingga melalui Esuriun Orang Bati menjadi modal sosial dan kultural yang solid dalam komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy). Esuriun Orang Bati sebagai basis pembentukan tradisi Bati dalam dalam pandangan Parson berarti masyarakat di-pahami sama bagi sistem biologi dan natural. Asumsi dasarnya yaitu fokus atau landasan sentral masyarakat adalah kecenderungan terhadap equilibriun dan homeostatik. Proses-proses sentral dalam ke-cenderungan ini adalah beberapa hal antar hubungan empat subsistem aksi yaitu interpenetrasi-internalisasi masyarakat-fenomena budaya ke dalam kepribadian-institusionalisasi komponen-komponen normatif sebagai struktur konstitutif. Sistem sosial yang tercipta melalui Esuriun Orang Bati dapat dipandang sebagai sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium secara kuat karena di dasarkan pada pandangan sama dari Orang Bati sebagai orang satu asal sehingga makna roina kakal memiliki nilai yang melintasi segala-galanya untuk bertahan hidup (survive) pada suatu lingkungan.

Esuriun Orang Bati: Modal Sosial dan Kultural yang Solid dalam Komunitas untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Terciptanya modal sosial (social capital) yang solid dalam komu-nitas membutuhkan suatu proses yang panjang. Modal sosial tidak muncul secara revolusioner, tetapi secara perlahan-lahan (gradual).

Page 58: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

328

Esuriun Orang Bati merupakan Modal sosial (social capital) yang solid dalam komunitas Orang Bati terbentuk melalui waktu yang panjang, dan secara perlahan-lahan (gradual). Proses lahir atau kemunculan, tumbuh, dan berkembangnya yaitu dari aras bawah. Modal sosial yang solid dalam komunitas tidak dapat terjadi secara cepat (revolusioner). Oleh Arsyad dan Satriawan, et al (2011: 61) modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah (bottom-up phenomenon) yang berasal dari sekumpulan individu yang membentuk pola jalinan sosial (social network) yang didasarkan atas prinsip saling mempercayai (trust), resiprositas sosial, norma dalam berperilaku, serta aksi kolektif. Esuriun Orang Bati membentuk jaringan, ada relasi saling percaya yang kuat, dan memiliki norma sebagai aturan main yang disepakati secara bersama. Proses terbentuknya modal sosial yang solid pada Orang Bati yaitu tumbuh dari bawah, dan bukan dari atas. Prinsip-prinsip yang mendasari modal sosial yang solid dalam komunitas Orang Bati me-miliki tipe jaringan, saling percaya, dan norma yang khusus karena berkaitan dengan sejarah asal-usul leluhur. Esuriun Orang Bati sebagai modal sosial yang solid dalam komunitas karena ikatan ini meng-hubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial (Agusyanto, 2007: 13).

Penghubungan antara satu titik dengan titik yang lain dalam Esuriun Orang Bati kemudian membentuk mata-rantai untuk terus menyatukan Orang Bati dalam bertahan hidup (survival strategy) me-nunjukan bahwa bownding social capital dikalangan Orang Bati sangat kuat, sedangkan bridgin social capital dengan orang luar sangat lemah. Modal sosial yang solida dalam komunitas Orang Bati digunakan untuk menghadapi kondisi lingkungan pada level individu, kelompok, mau-pun komunitas sehingga sistem sosial Orang Bati menjadi elastis. Strategi Esuriun Orang Bati yang dijadikan sebagai modal sosial apabila mengikuti analisis Suckhurgbh (2008: 2) dimaknai sebagai perjuangan manusia yang meliputi berbagai aspek kehidupan, karena manusia ada-lah pencipta kodratnya sendiri dan pembentuk kehancuran sendiri. Seleksi alam pasti ada, tetapi tidak banyak akibat tekanan dari manusia.

Page 59: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

329

Teori yang dikemukakan di atas bermakna untuk meletakan pe-mahaman yang benar pada Esuriun Orang Bati sebaga hasil ciptaan atau karya Orang Bati sebagai yang telah menjadi basis kelangsungan hidup yang cakap, dan memiliki nilai “ketahanan” (kuat, ulet, tangguh) untuk memperjuangkan identitas Bati sebagai manusia maupun suku-bangsa penghuni hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur untuk me-masuki trend yang dramatis berupa perubahan. Model strategi ber-tahan hidup (survival strategy) melalui modal sosial yang solid dalam komunitas ini oleh Suckhurgbh (2008: 9) yaitu secara dramatis untuk memperluas ingatan bersama dari masyarakat, mungkin pengetahuan dari kelangsungan hidup suatu komunitas dalam melakukan transmisi pengetahuan perlu dilihat sebagai warisan budaya yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup.

Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa transmisi pengetahuan pada setiap anggota komunitas menjadi bagian penting dalam men-jalani kehidupan bersama. Esuriun Orang Bati merupakan media di mana terjadi transmisi pengetahuan berbasis budaya untuk me-wujudkan kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) pada generasi pewaris tradisi Bati. Modal sosial dalam Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi untuk kepentingan distribusi fungsi dan peran dari setiap individu, marga, kelompok sosial, maupun komunitas di-anggap sebagai kebenaran oleh penjaganya. Sebab nilai dan norma senantiasa dipercaya dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, baik langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kualitas hidup dari individu dan ke-berlangsungan komunitas maupun masyarakat (Rinandari, 2003: 6).

Apabila dikaitkan dengan hakikat Esuriun Orang Bati dapat di-kemukakan bahwa kepercayaan yang kuat pada norma yang di-sepakati bersama telah membentuk perilaku sosial Orang Bati yang taat pada adat. Apabila hakikat Esuriun Orang Bati dikaitkan dengan analisis Bourdieu tentang kekuatan yang erat dan tahan lama ikatan tersebut sama vitalnya dengan modal sosial yang merepresentasikan agregat sumber daya aktual atau potensial yang dikaitkan dengan kepemilikan jaringan yang bertahan lama. Oleh Fukuyama kepercaya-

Page 60: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

330

an itu sendiri sebagai unsur dasar modal sosial, sedangkan Dasagupta (Boudieu dalam Field, 2010: 103) dengan sendirinya jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah dari pada dalam jaringan dengan kepercayaan rendah. Namun kepercayaan tidak hanya didasarkan atas hubungan tatap muka antara dua orang atau lebih. Kepercayaan bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan seringkali didasarkan atas reputasi dan di-perantarai oleh pihak ketiga.

Apabila modal sosial, hakikatnya menyangkut persoalan yang berkaitan dengan hubungan atau relasi yang terdapat dalam komunitas maupun masyarakat, dapat dikemukakan bahwa Orang Bati memiliki jaringan sosial di antara mereka sendiri yang sangat kuat untuk me-ngatasi tekanan maupun fenomena kemiskinan yang dialaminya. Menurut Hermanto de Soto (2000) masyarakat miskin dianggap miskin bukan karena mereka kekurangan asset-asset mereka menjadi modal produktif dan mampu secara optimal menggunakan modal semacam itu. Memahami bagaimana modal sosial terjadi dan digunakan dalam masyarakat menjadi kepentingan sangat besar dalam menilai kapasitas untuk pengembangan kemandirian. Bagaimana orang membuat, meng-adaptasi dan menggunakan modal sosial untuk survival selama lebih dari satu dekade konflik kekerasan di Liberia dan potensial dari modal semacam itu dalam menyumbang pada pembangunan perdamaian dan pengaturan diri pasca konflik (Sawyer, 2004: 1).

Oleh Woolcock ada tiga tipe modal sosial (social capital) yang perlu dipahami yaitu social bonding, adalah tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan (nilai, kultur, persepsi, tradisi) antara lain suatu suku, keagamaan, atau kelompok sosial ekonomi. Social bridgin, merupakan suatu ikatan yang timbul sebagai reaksi berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya sehingga mereka memutuskan untuk membangun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada, berupa institusi maupun mekanisme. Social linking, merupakan hubungan sosial yang dikarakteristik dengan adanya hubungan sosial antara beberapa level

Page 61: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

331

dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat (Rinandari, 2003: 26).

Penekanan terhadap modal sosial (social capital) untuk me-mahami status dan kedudukan Orang Bati atau Suku Bati dalam deret-an suku-suku di Seram Timur yang berada dalam wilayan adat Weulartafela berarti pengakuan diri sebagai Orang Kian Darat, Orang Rumbou, Rumoga, Kilusi, dan sebagainya adalah proses adaptasi yang dilakukan Orang Bati untuk memasuki dunia (habitat) di mana Orang Bati berada diantara orang lain. Ketika Orang Bati menyebut diri se-bagai Orang Seram Timur berarti mereka bermaksud untuk me- lindungi atau membentengi diri (individu), kelompok, maupun ko-munitas dalam wilayah adat Weulartafela sebagai basis genealogis teritorial yang dipahami sebagai orang satu asal karena memiliki asal-usul leluhur yang sama atau berasal dari rahim ibu (ina atau nina) yang sama yaitu Alifuru Ina (Manusia Awal Perempuan atau Ibu). Apabila pemahaman terhadap modal sosial pada Esuriun Orang Bati ini dikait-kan dengan pendapat Francis Fukuyama, karena modal sosial sebagai kapabilitas muncul dari kepercayaan abadi di tengah masyarakat atau pada bagian tertentu dari masyarakat.

Kepercayaan itu sendiri sebagai unsur dasar modal sosial (Field, 2010: 102), sedangkan jaringan dengan kepercayaan tinggi akan ber-fungsi lebih baik dan lebih mudah dari pada dalam jaringan dengan ke-percayaan rendah. Namun kepercayaan tidak hanya didasarkan atas hubungan tatap muka antara dua orang atau lebih. Kepercayaan bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan sering-kali didasarkan atas reputasi dan diperantarai oleh pihak ketiga (Dasagupta dalam Field, 2010: 103). Jaringan seperti ini penting untuk memperkuat modal sosial, sehingga Orang Bati ketika bermigrasi ke luar wilayah mereka tetap mementingkan relasi orang basudara (roina kakal) sebagai pintu masuk yang dianggap aman agar identitas mereka tidak diketahui oleh orang lain. Dinamika modal sosial yang kuat pada Orang Bati dan terbina melalui jaringan, norma, dan kepercayaan, oleh Hermanto de Soto (2000) karena digunakan dalam masyarakat menjadi kepentingan sangat besar untuk menilai kapasitas pengembangan ke-

Page 62: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

332

mandirian. Bagaimana orang membuat, adaptasi dan menggunakan modal sosial untuk survival selama lebih dari satu dekade konflik ke-kerasan di Liberia, potensial dari modal semacam itu dalam me-nyumbang pada pembangunan perdamaian dan pengaturan diri pasca konflik (Sawyer, 2004: 1).

Artinya jaringan sebagai modal sosial yang solid pada Orang Bati sebagai roina kakal terus dipelihara untuk bertahan hidup (survive) di suatu lingkungan dapat dianggap benar, dan memiliki relevansi dengan persepsi mereka sebagai Anak Esuriun karena mereka memiliki jaring-an dari berbagai kelompok yang sama anggotanya, mengikuti pola kultural yang sama dan berbicara dengan bahasa yang sama pula (Sanderson, 1993: 86). Teori ini telah menegaskan bahwa modal sosial (social capital) yang solid dalam komunitas merupakan mata-rantai untuk menghubungkan semua anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang berasal dari Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) berada dalam ikatan roina kakal yang makin kuat karena perekatnya ada pada Esuriun Orang Bati sebagai pembentuk identitas, maupun cara me-masuki dunia Orang Bati yang sesungguhnya.

Esuriun Orang Bati memberi penguatan dalam kebudayaan Orang Bati karena ditunjang oleh proses belajar. Proses belajar yaitu meliputi nilai, norma, tata kelakuan, kebudayaan, dan lainnya yang diwujudkan melalui keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koentjaraningrat, 2002: 9). Esuriun Orang Bati merupakan karya nyata dari leluhur Orang Bati yang diwariskan pada generasi penerus tradisi Bati agar terus membiasakan hal ini dalam kehidupan mereka. Proses belajar dari kearifan leluhur Orang Bati be-rupa pengetahuan lokal (local knowledge) yang berharga (bernilai) telah berfungsi sebagai modal kultural untuk mendukung modal sosial yang solid dalam komunitas sehingga bermakna untuk bertahan hidup (survival strategy). Analisis Bourdieu (2010) tentang dua modal sangat penting dalam arena produksi kultural yaitu; 1) Modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan

Page 63: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

333

(connaissance) dan pengenalan (reconnaissance); 2) Modal kultural menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan kultural, kompetisi-kompetisi atau disposisi-disposisi tertentu. Di dalam distintion, terdapat konsep kultural sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap apresiasi terhadap atau kompetisi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural (Bourdieu, 2010: xix).

Teori di atas turut menguatkan mekanisme kultural dalam Esuriun Orang untuk menguatkan mata-rantai socio-cultural untuk menyebut eksistensi Manusia Gunung atau Orang Gunung yang me-nyebut diri dengan nama Bati Rei, atau silimaya (orang dari dara) mau-pun Bati Lau pada saudara-saudara mereka (Orang Bati) yang men-diami perkampungan daerah pantai senantiasa berada dalam jaringan kekerabatan yang kental karena saling mengenal, percaya, taat pada norma, dan ada relasi saling percaya (trust) yang sangat kuat. Perekat lainnya yaitu bahasa lokal (bahasa Minakyesu atau Minakesi) sehingga terbentuk warna yang sama untuk bertindak, karena mereka memiliki jaringan dari berbagai kelompok yang sama anggotanya, mengikuti pola kultural yang sama dan berbicara dengan bahasa yang sama pula (Sanderson, 1993: 86).

Bertolak dari teori yang dikemukakan untuk membedah pers-pektif mikro tentang Esuriun Orang Bati sebagai basis kultural telah memberikan penguatan pada modal sosial (social capital) yang solid dalam komunitas yaitu pemahaman terhada; 1) Relasi face to face atau perjumpaan dalam kehidupan sosial keseharian; 2) Pelaku yang kreatif, intelek, dan berwawasan luas; 3) Keteraturan sosial muncul sebagai buah kemampuan pelaku-pelaku yang dapat mengelola setiap hubung-an perjumpaan sehingga membuat semua itu dapat diprediksi, berhasil, dan dapat dipahami; 4) Untuk memahami cara kerja masyarakat, di-butuhkan metodologi yang bisa menangkap definisi tentang situasi (Sutrisno dan Putranto, 2005: 75). Hal itu berarti bahwa Esuriun Orang Bati turut menciptakan ketahanan identitas melalui hidden identity untuk bertahan hidup (survival strategy). Dalam analisis Parsoan me-ngenai integrasi normatif dalam sustau sistem sosial, dapat di-

Page 64: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

334

kemukakan bahwa melalui Esuriun Orang Bati terdapat penguatan pada modal sosial karena pencapaian integrasi normatif. Norma sosial merupakan salah satu unsur penting dalam modal sosial untuk me-nyumbang pada pembentukan jaringan interaksi serta tumbuhnya kepercayaan, sedangkan nilai generalisasi merupakan modal kultural yang memberikan penguatan pada proses pembentukan perilaku individu, kelompok, maupun komunitas agar selalu taat pada adat se-bagai tali pengikat integrasi eksistensial dengan identitas Bati yang telah dicapai melalui mekanisme Esuriun Orang Bati.

Esuriun Orang Bati: Melindungi Identitas Bati Melalui Hidden Identity untuk Bertahan Hidup (Survive)

Apabila teori di atas digunakan untuk membedah realitas Esuriun Orang Bati yang tampak bahwa Esuriun Orang Bati telah men-ciptakan ketahanan diri (self defence) dan ketahanan kelompok (group defence), maupun ketahanan komunitas (comunity defence) untuk me-ngatasi tekanan lingkungan yang menimbulkan isolasi dan keterasing-an pada Orang Orang. Fenomena Orang Bati apabila dibandingkan dengan fenomena Orang Dayak, dapat dikategorikan mirip karena identitas Dayak dipersepsikan negatif, terutama pada masa Orde Baru, nama Dayak direpresentasikan secara beragam yakni sebagai ke-lompok terbelakang dan membutuhkan pemberadaban, sekaligus eksotik dan layak di jual. Apa yang dilakukan oleh Orang Dayak ke-mudian yaitu manipulasi terhadap identitas Dayak yang bermotivasi politik. Hal ini tidak hanya berasal dari atas, tetapi juga dari dalam barisan Orang-Orang Dayak sendiri, dalam bentuk Orang Dayak baru yang seluruhnya terdiri dari orang-orang yang berpendidikan, licin, dan pintar di dunia usaha, dan juga para pegawai negeri serta kalangan akademisi (Maunati, 2006: 364-365).

Walaupun fenomena Orang Bati berbeda dengan fenomena Orang Dayak, tetapi menguatnya stigma (anggapan negatif) orang luar pada orang yang mengalami nasib terabaikan. Orang Bati berusaha me-nyembunyikan identitas ketika berinteraksi dengan orang tidak ber-orientasi politik, tetapi yang lebih penting adalah pengakuan terhadap esksistensi mereka sebagai manusia maupun sukubangsa, dan cara

Page 65: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

335

adaptasi melalui upaya menyembunyikan identitas (hidden identity) menjadi penting untuk dipahami sebagai strategi bertahan hidup (survival strategy).

Upaya menyembunyikan identitas (hidden identity) pada Orang Bati ketika mereka berinteraksi dengan orang luar merupakan strategi bertahan hidup (survival strategy) agar keberadaannya tidak diketahui. Hal ini dilakukan Orang Bati sesungguhnya merupakan cara arif untuk menghindari stigma (anggapan negatif) yang ditujukan pada mereka selama ini. Sebab terdapat asumsi kuat bahwa, identitas Bati berkaitan dengan identitas kesukubangsaan atau kelompok etnik (ethnic group) menjadi penting dan mendasar karena identitas etnis cukup sulit untuk diubah oleh individu karena etnisitas didasarkan pada mitos nenek moyang yang bersifat kolektif dan biasanya merujuk pada kepercayaan sebagai pembawaan lahir, tetapi perubahan kadang-kadang memang terjadi (Horowitz, 1985: 40-54).

Makna yang terkandung dalam teori di atas yaitu ketika Orang Bati melakukan upaya menyembunyikan identitas (hidden identity), terdapat dua alasan kuat pada mereka bahwa; (1) Orang Bati senantiasa melindungi nama Bati dalam interaksi dengan orang luar karena nama Bati sendiri oleh mereka adalah sakral; (2) Cara menyembunyikan identitas Bati yang dilakukan selama ini oleh Orang Bati untuk meng-hindari stigma, dimaksudkan agar cara bertahan hidup (survival strategy) yang dilakukan Orang Bati pada lingkungan tertentu agar ke-beradaan mereka tidak menimbulkan suasana yang menakutkan pada orang lain.

Orang Bati yang telah ditemui dalam penelitian ini adalah manusia maupun sukubangsa atau sub kelompok etnik (ethnic group) dalam medium interaksi (kontak dan interaksi) maka identitas etnik sering memberikan makna tentang pribadi seseorang, dan lebih jauh memberikan ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakangi orang itu, karena ciri khas itulah kita mungkin dapat mengungkapkan ke-beradaan seseorang. Pengertian identitas (etnik) pada tataran hu-bungan antar manusia akan mengantar kita untuk memahami sesuatu yang lebih konseptual, yakni bagaimana meletakkan seseorang ke-

Page 66: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

336

tempat orang lain (komunikasi yang empati), atau sekurang-kurang berbagi (to share) perasaan, masalah, ras simpatik (empati), dan lain-lain dalam sebuah proses komunikasi antar budaya (Liliweri, 2009: 39-40).

Teori di atas sebenarnya menegaskan bahwa identitas etnik men-jadi penting untuk menjelaskan perannya dalam masyarakat karena status yang dimiliki lebih nyata. Identitas yang dimiliki oleh suku-bangsa atau kelompok etnik (ethnic group) tidak dapat diubah karena hal ini berkaitan dengan mitos, kepercayaan, dan lainnya. Identitas Orang Bati memiliki kaitan langsung dengan asal-usul leluhur. Identitas terdapat status dan peran setiap orang ketika berinteraksi dengan orang lain yang bukan berasal dari leluhur yang sama, me-nempati tanah asal yang sama, dan sebagainya, termasuk identitas Orang Bati. Untuk itu identitas sangat sulit berubah. Dalam melakukan migrasi, orang yang sama sekali belum diketahui identitas asli dapat se-cara sengaja berusaha menembunyikan identitas asalnya sehingga tidak diketahui oleh orang lain.

Fenomena tersebut menjadi relevan karena cara atau strategi bertahan hidup (survival strategy) yang dilakukan Orang Bati melalui upaya menyembunyikan identitas Bati ketika mereka berinteraksi de-ngan orang luar tergolong arif dan cakap. Artinya strategi yang di-lakukan Orang Bati yaitu cara mereka tidak menimbulkan gejolak pada lingkungan masyarakat lain di mana Orang Bati berada. Untuk itu migrasi yang dilakukan Orang Bati baik sengaja maupun tidak sengaja tetap berada dalam makna kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy). Pembentukan identitas Bati dalam pandangan Parson karena terjadi proses adaptasi alamiah dan kultural sehingga sistem organisasi perilaku menjadi basis pembedaan tetapi terintegrasi dalam satu komunitas. Penekanan terhadap identitas Orang Bati atau sukubangsa Bati menjadi penting karena memperkuat identitas dapat menjadi sumber kesejahteraan dan kehangatan (Sen, 2007 : 7). Implementasi dari makna migrasi diwujudkan melalui strategi hidden identity berarti kearifan manusia dengan lingkungan berkembang secara posisitf karena ratio (akal) dan nurani yang bersih (Batti) dijadikan sebagai

Page 67: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

337

tempat bernaung untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman ke-tika berinteraksi, sehingga strategi untuk mengsakralisasi nama Bati di-lakukan untuk bertahan hidup (survival strategy), walaupun identitas Bati dipertentangkan oleh orang luar.

Sakralisasi Nama Bati untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Sakralisa nama Bati sebenarnya memiliki makna untuk me-wujudkan strategi bertahan hidup (survival strategy) agar orang luar tidak diberi kesempatan untuk masuk maupun melakukan eksploitasi dalam kawasan hutan di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) secara leluasa. Sebab itu dipahami sebagai dunia mereka yang sudah menjadi komit-men bersama Orang Bati untuk menjaga dan melindungi hak milik (property) yang berharga (bernilai). Cara yang dilakukan seperti ini memiliki makna agar ruang hidup tetap terlindungi. Usaha Orang Bati untuk mengsakralisasi nama Bati terkait dengan kepercayaan (religi) pada leluhur atau Tata Nusu Si bahwa roh para leluhur yang menjadi penghubung antara dunia manusia (Orang Bati) dengan Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia adalah ”Manusia Batti” yang diyakini tidak pernah meninggal dunia.

Selama ini Orang Bati percaya bahwa kekuasaan Bati berada pada pikiran. Pikiran itu ada di kepala manusia yang dipahaminya sebagai ”Kerajaan Bati”. Jadi di mana Orang Bati berada, di situ kerajaan Bati berada. Hal ini membuat Orang Bati senantiasa berhati-hati menyebut atau menggunakan nama Bati untuk hal-hal yang tidak dipandang penting. Bagi Orang Bati menyebut nama Bati secara sembarangan ada-lah pamali (tabu), sebab Oyang Bati adalah dewa. Ketika Orang Bati menghadapi hal yang sulit, baru nama Batti itu disebut. Sebagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa menyebut nama Batti secara sem-barangan adalah pamali (tabu), dan hal ini terpelihara dari dahulu sampai saat ini, sehingga pensakralan nama Bati.

Persepsi semacam sudah berkembang cukup lama pada lingkung-an Orang Bati maupun di luar lingkungan Orang Bati. Adanya larangan untuk menyebut nama ”Bati” secara sembarangan ternyata turut mem-

Page 68: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

338

perkuat identitas Bati, sehingga sakralisasi nama ”Batti”12

Apabila persoalan identitas Bati dipandang untuk memperkuat kebersamaan diantara sesama Orang Bati, maka Robert Putnam (dalam Sen, 2007: 4-5) menunjukkan secara jelas bagaimana kesamaan identitas dalam suatu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas tersebut berjalan jauh lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya layak-nya modal. Upaya memperkuat identitas Bati dalam kajian tentang politik identitas dapat dikemukakan bahwa untuk menghadapi kondisi lingkungan di mana masyarakat berciri plural seperti Indonesia, di-khawatirkan bahwa ledakan pluralisme dari luar dapat mengancam tarikan nafas ideologi multikulturalisme, dan bisa merusak tatanan identitas, karena pada abad-abad terakhir, orang kepulauan dan se-bagainya mengalami kekuatan multikulturalisme, dan yang ada adalah plural mono kulturalisme, yang kemudian mengandung bibit persoalan

). Sebagai anak cucu pewaris tradisi Bati, mereka percaya bahwa Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) adalah wilayah bernyawa, karena leluhur (Tata Nusu Si) dari Orang Bati yaitu “Manusia Batti” tidak pernah mati, dan ia senantiasa berada dengan mereka sampai saat ini. Penamaan Bati untuk memperkuat identitas Bati adalah syah karena berdasarkan totem Orang Bati yaitu leluhur mereka yang mendiami Gunung Bati berupa Burung Garuda (Lusi) atau identik dengan burung Rajawali yang perkasa telah menurunkan nama Bati Kilusi sebagai Bati Awal di mana tempat ini leluhur Orang Bati menjalani Esuriun Orang Bati sehingga dianggap oleh mereka sebagai wilayah yang sakral sehingga turut memperkuat identitas Bati sampai saat ini.

12)Dalam interaksi sosial pada lingkungan Orang Maluku telah terjadi kesalahan pemahaman maupun interpertasi sehingga penyebutan nama “Bati” dan “Batti”. Kedua konsep yang makna sangat berbeda telah dicampuradukan sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda. Nama Orang Bati adalah manusia maupun sukubangsa. Orang Bati adalah penduduk Pulau Seram yang ditemukan oleh peneliti dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur, sedangkan nama “Batti” adalah leluhur (Tata Nusu Si) adalah Manusia Batti atau manusia berhati bersih yang bersifat kesemestaan dan terdapat dalam sistem religi (kepercayaan) Alifuru Seram, termasuk Alifuru Bati atau Orang Bati. Untuk itu dalam studi ini penulis menyebut Esuriun Orang Bati. Mengenai perbedaan makna antara Bati dan Batti dapat dilihat lebih rinci pada sub bab 6 tentang Kosmologi Orang Bati.

Page 69: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

339

ketika ada ledakan-ledakan pluralisme dari luar (Latif dalam Setyanto dan Pulungan, 2009: 35).

Teori ini belum dapat dibuktikan kebenarannya kareka realitas kehidupan yang dijalani oleh orang kepulauan sejak awal sudah ter-segregasi berdasarkan geografis, sosial, budaya, dan lainnya. Artinya sekat ini telah membentuk masing-masing orang atau sukubangsa de-ngan teritori dan identitas mereka masing-masing yang dianggap penting untuk dijaga dan dilindungi. Sebab identitas diri demikian pentingnya, karena tanpa dia sukar bahkan mustahil ditiadakan komunikasi. Hal ini oleh Daeng, (2008: 41-42) karena identitas men-definisikan status dan peran seseorang baik secara fisik maupun sosial budaya. Tana (Tanah) Bati (Atamae Bati) dipersepsikan sebagai wilayah bernyawa artinya wilayah yang hidup, dan telah memberikan ke-hidupan pada anak cucu keturunan Orang Bati sampai saat ini.

Berdasarkan pandangan ini terdapat konsep yang sangat men-dasar yaitu adanya ”relasi saling memberi dan menghidupi”, termasuk semua mahkluk hidup. Makna relasi saling menghidupi, artinya hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi berkaitan dengan hidup pada makhluk lain. Implementasi dari konsep saling menghidupi yaitu; (1) Kehidupan yang dijalani oleh masing-masing individu; (2) Kehidupan yang dijalani oleh individu dengan alam semesta di mana ia berada; (3) Kehidupan yang dijalani oleh individu dengan Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia, melalui perantaraan leluhur (Tata Nusu Si) dianggapnya tidak pernah mati, sehingga wilayah kediaman Orang Bati yang di-namakan Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) adalah wilayah bernyawa. Strategi untuk sakralisasi nama ”Batti” dan ”Bati” berdasarkan teori Parson berarti Orang Bati menciptakan pola pertahanan (sistem budaya dan nilai generalisasi) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap individu, kelompok, maupun komunitas dan wilayah bagi kelangsungan hidup (survive) jangka panjang.

Page 70: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

340

Migrasi untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Migrasi untuk bertahan hidup (survival strategy) dilakukan Orang Bati melalui cara ”menyembunyikan identitas” (hidden identity) dimaksudkan agar migrasi yang dilakukan oleh mereka dapat berhasil atau sukses secara baik untuk mewujudkan strategi bertahan hidup (survival strategy). Namun cara yang Orang Bati selama ini yaitu me-nyembunyikan identitas Bati ketika mereka bermigrasi ternyata tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh mereka sendiri se-lama ini. Terminologi mayoritas dan minoritas yang digunakan selama ini dipandang berbahaya dan dapat mengancam kelangsungan hidup identitas Bati yang melekat pada diri (individu), kelompok, maupun komunitas. Identitas kelompok tertentu yang sengaja disembunyikan dapat berakibat buruk karena pada suatu waktu tertentu akibat migrasi dan terjadi perkawinan dengan orang lain di luar kelompok bisa me-nyebabkan identitas asal sulit untuk dilacak.

Sorotan terhadap termilogi mayoritas dan minoritas dalam studi ini dimaksudkan bahwa, terdapat kekhawatiran pada masa depan di mana posisi Orang Bati dalam deretan suku-suku di Maluku, maupun Indonesia sama sekali belum diketahui secara benar dapat terancam, dan identitas Bati dapat punah, kemudian tinggal dalam bentuk ce-ritera atau penuturan oleh masyarakat. Sebab posisi Orang Bati di mata orang luar sebagai kelompok minoritas, bahkan eksistensi kesuku-bangsaan Bati masih mengalami paradoks (pertentangan) sampai saat ini di kalangan orang luar Orang Maluku).

Akibat kesalahan yang terpelihara dapat berakibat negatif hi-langnya makna kesukubangsaan pada Orang Bati, dan itu berarti salah satu suku asli atau orang asli Pulau Seram yang berasal dari keturunan Alifuru hanya tinggal berupa nama yang sulit untuk dibuktikan ke-benarannya. Untuk itu Esuriun Orang Bati harus disosialisasikan oleh Orang Bati ketika bermigrasi. Sebab akibat negatif yang timbul ke-mudian dalam terminologi minoritas yang ditujukan pada Orang Bati sebagai kelompok yang kurang beruntung karena mereka menjadi se-buah anggota organisasi, sebab mereka secara fisik dan kultural me-rupakan subjek yang diperlakukan tidak seimbang dari kelompok

Page 71: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

341

dominan dalam perlakuan diskriminasi sering diberikan pada mereka (Liliweri, 2009: 112).

Teori yang digunakan tersebut menjadi penting untuk menjelas-kan eksistensi Orang Bati sebagai kelompok minoritas yang senantiasa berhadapan dengan kelompok mayoritas yang memiliki kebudayaan jauh lebih maju. Kondisi yang dialami Orang Bati seperti ini tidak me-nguntungkan eksistensi mereka sendiri apabila berhadapan dengan orang luar. Untuk itu hakikat Esuriun Orang Bati sebagai bentuk ke-beranian yang telah dilakukan oleh leluhur Orang Bati pada masa lampau untuk menyatakan secara terang-terangan mengenai eksistensi mereka sebagai Manusia Gunung atau Orang Gunung di Seram Timur perlu dipertegas sehingga menghindari supremasi dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Ketika bermigrasi, identitas harus dinyatakan karena tidak ada alasan untuk menghindari stigma (anggapan negatif) dan memilih untuk menyembunyikan identitas Bati. Sebab cara ini bukan menjadi pilihan satu-satunya dalam interaksi. Walaupun disadari bahwa nama Bati sendiri adalah sakral (keramat), namun anak cucu keturunan Orang Bati atau Suku Bati butuh kehidupan, pelayanan, dan sebagainya secara layak dari pemerintah (negara) maupun masyarakat sehingga tidak berada terus dalam kondisi yang terabaikan. Sakralisasi nama Bati juga merupakan strategi bertahan hidup (survival strategy) karena Orang Bati tidak memberikan ruang untuk orang luar masuk ke wilayah mereka secara leluasa karena itu wilayah Tana (Tanah) Bati dikonsepkan sebagai wilayah bernyawa untuk bertahan hidup (survival strategy).

Penamaan Wilayah Bernyawa untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Orang Bati mengkonsepsikan Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) sebagai wilayah bernyawa dipahami sebagai raising collective aware-ness (usaha membangun kesadaran kolektif) pada diri setiap orang (individu) maupun kelompok melalui lembaga Esuriun Orang Bati

Page 72: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

342

sebagai basis nilai kolektif sehingga memberikan daya tahan sosial ter-hadap perkembangan yang berasal dari luar. Wilayah Tana (Tanah) Bati bukan benda mati, tetapi merupakan wilayah bernyawa sehingga perlu dikelola, rawat, maupun lestarikan untuk kelangsungan hidup generasi penerus. Orang Bati sangat berhati-hati mengelola wilayah mereka karena kerusakan terhadap wilayah hutan (esu) maupun alam.

Sebab alam dipahami sebagai tubuh manusia karena mereka percaya bahwa Manusia Bati lahir dengan evolusi daratan Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Merusak wilayah hutan, gunung, dan lainnya se-cara fisik, berarti usaha merusak tubuh manusia sendiri. Orang Bati mewarisi tanah kepada anak cucu mereka dapat dipahami sebagai habitat di mana strategi survive yang dilakukan oleh leluhur Orang Bati pada masa lampau melalui Esuriun Orang Bati menjadi kenyataan bahwa tanah dan manusia berada dalam mata-rantai kehidupan yang saling menunjang, mempengaruhi, dan menghidupi.

Kelangsungan hidup dalam habitat Orang Bati apabila dipahami melalui terminologi habitus yang digunakan oleh Bourdieu yaitu, apa yang dilakukan individu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ke-hidupan sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai agregat perilaku individu. Dia juga tidak menerima bahwa praksis dapat di-pahami secara terpisah dalam hal pengambilan keputusan individu, di suatu sisi, atau sebagai sesuatu yang ditentukan oleh struktur supra individual, sebagaimana dilakukan metafisika objektivisme, di sisi lain. Penghalusan dan pemakaiannya atas istilah habitus merupakan latihan membangun jembatan yang melintasi jurang eksplanatori antara kedua ekstrem tersebut, yang merupakan perangkat penting lain untuk me-ngatasi sterilitas oposisi antara subjektivisme dan objektivisme (Jenkins, 2010: 106-108).

Artinya, habitus mengacu pada kondisi penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh. Hal ini mengandung makna bahwa habitus pada Orang Bati berkaitan dengan ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas nakuasa) yang mengikuti sistem skema generatif yang didapatkan dan disesuaikan secara objektif dengan kondisi khas di mana ia bangun. Bourdieu mempertahankan beberapa

Page 73: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

343

makna asli konsep ini dalam hubungan antara tubuh dan habitus. Disposisi dan skema klasifikatori generatif yang merupakan esensi dari habitus tersimbolkan dalam hakikat manusia sejati. Untuk itu dapat di-kemukakan bahwa Esuriun Orang Bati identik dengan makna habitus yang dikemukakan Bourdieu, karena Esuriun Orang Bati adalah Dunia Orang Bati yang sesungguhnya.

Terdapat tiga makna oleh Bourdieu yaitu; Pertama, dalam nalar yang sepele, habitus hanya ada selama ia ada di dalam kepala aktor (dan kepala adalah bagian dari tubuh); Kedua, habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungan yang melingkupinya meliputi cara berbicara, cara bergerak, cara membuat sesuatu, atau apapun. Dalam hal ini, habitus secara empatis bukanlah suatu konsep abstrak dan idealis, yang termanifestasi dalam perilaku, namun merupakan suatu bagian integral darinya (dan sebaliknya); Ketiga, taksonomi praktis yang dibicarakan pada inti skema generatif habitus, berakar di dalam tubuh. Laki-laki-perempuan, depan-belakang, atas-bawah, panas-dingin, hal-hal ter-sebut dapat diakses pancaindera dalam hal menalarkan dan berakar dalam pengalaman sensoris dari cara pandang seseorang yang di-simbolkan.

Wilayah hutan (esu) di Tana (Tanah) Bati dipersepsikan sebagai “wilayah bernyawa” karena merupakan habitat utama atau Dunia Orang Bati yang untuk bertahan hidup (survival strategy), dan habitat ini telah menyediakan sumber daya alam seperti sagu, hewan buruan, ubi-ubian, sayur-sayuran, dan sebagainya untuk menopang kehidupan utama bagi Orang Bati sebagai individu, keluarga, kerabat, kelompok, dan komunitas. Kunci kehidupan yang mereka pegang kuat adalah sikap hidup yang taat nilai dan adat, sehingga upaya mensakralkan ber-bagai tempat seperti hutan (esu), gunung (ukar), dan sebagainya adalah arena di mana mereka senantiasa menyambung nyawa (mencari makan untuk bertahan hidup).

Sikap malas untuk bekerja menyambung nyawa berarti menggi-ring mereka pada kepunahan. Pengelolaan hutan menurut mekanisme kerja Orang Bati apabila dikaitkan dengan Tata Pengelolaan Hutan

Page 74: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

344

Desa Adat Tenganan Pegringsingan-Bali, Nurjana (2008: 108) menge-mukakan bahwa hutan mempunyai beberapa fungsi penting dalam ke-hidupan manusia, yaitu melindungi tata air, mencegah terjadinya erosi tanah dan erosi sumber daya genetis, serta menjaga kesinambungan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen untuk kelangsungan hidup manusia, karena itu manusia harus melindungi dan menjaga ke-lestarian hutan serta mengelolanya secara bijaksana dan bertanggung jawab, agar dapat terus mendukung kehidupan Orang Bati sehingga sumber makanan (hutan) atau esu dijadikan sebagai basis untuk ber-tahan hidup (survive) guna mencegah kepunahan.

Sumber Makanan (Hutan) atau Esu untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Kehidupan Orang Bati yang menggantungkan hidup pada wi-layah hutan (esu) sebagai sumber bahan makanan telah menciptakan kedaulatan pangan di kalangan komunitas karena mereka tidak meng-gantungkan hidup pada orang lain. Bahan makanan yang tersedia dalam wilayah hutan (esu) berupa sagu (suat) adalah sumber daya yang memiliki nilai. Kawasan hutan sagu (yesu kiya) yang terdapat dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati, maupun dalam wilayah kekuasaan miliki marga (etar) cukup luas dan dikelola secara baik. Diskusi ini menjadi penting untuk menjelaskan mekanisme lokal yang digunakan Orang Bati untuk mengatasi krisis pangan. Mengacu pada analisis Andrew Pratice tentang the evolutionary timescale of famines (dalam Shuckburgh, 2008: 154) yang mengemukakan bahwa dalam pemikiran umum, pemburu-pengumpul memiliki jangka pendek ke-laparan, dan tidak akan mungkin menderita kelaparan karena mereka mampu. Mereka hidup dalam kelompok kecil dan bisa menahan ke-laparan kemudain bisa bergerak cepat ketika sumber daya lokal men-jadi habis.

Bersumber dari pemikiran umum bahwa masyarakat pemburu-peramu memiliki jangka waktu yang pendek dalam menghadapi ke-laparan, tetapi tidak mungkin untuk menderita kelaparan yang panjang. Orang Bati yang mengalami tekanan fisik, sosial, dan lainnya.

Page 75: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

345

Mereka tidak pernah mengalami kelaparan atau busung lapar karena memiliki kearifan dalam mengelola sumber daya makan yang terdapat pada lingkungan lokal. Strategi yang arif seperti ini perlu dipelihara secara baik sehingga tidak menciptakan ketergantungan pada sumber bahan makanan di luar kebiasaan dari mereka dalam mengkonsumsi makanan lokal seperti sagu (suat) sebagai makanan pokok yang secara turun-temurun menjadi andalan bagi kehidupan komunitas tersebut.

Cara pemanfaatan makanan lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup secara nyata maupun terselubung telah menyumbang pada usaha menciptakan ketahanan pangan pada sakala lokal, dan telah me-nyumbang pada penyediaan makanan ditingkat nasional melalui cara pengurangan beban konsumsi dari masyarakat untuk memenuhi ke-butuhan ekonomi lokal. Untuk itu hutan dan kehidupan Orang Bati senantiasa menyatu dalam kesatuan. Hutan (esu) adalah tempat di mana Orang Bati berasal dari sana (lumai yeisa tua ukara, ka tua aku le mai yoi), sehingga men-jadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survive) bagi Orang Bati bersama keturunannya.

Makna Hutan (Esu) sebagai Sumber Kekuatan untuk Bertahan Hidup (Survive) pada Orang Bati

Makna hutan (esu) bagi Orang Bati berdasarkan pemahaman bahwa asal-usul leluhur Orang Bati yaitu dari hutan. Berikut ini dikemukakan aspek penting yang berkaitan dengan hutan (esu) yaitu:

Hutan (Esu) Menciptakan Ketahanan Pangan Hutan (esu) pada awalnya kami berasal dari sana. Makna hutan

(esu) bagi Orang Bati diungkapkan bahwa hutan memberi kehidupan pada masa damai, dan menjadi tempat berlindung di masa perang (yeisa nangguan nai kita nini hiduppa kila minggilu tua sanang, yeisa tua ukar oi le dadi kekuatan nai kita bo mai masa paranga). Untuk sumber daya yang terdapat dalam hutan (esu) merupakan sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survive) pada lingkungan Orang Bati karena hutan

Page 76: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

346

(esu) juga dimaknai sebagai sumber kehidupan di masa damai, dan menjadi benteng tempat berlindung di masa perang. Pandangan ter-sebut memberikan makna bahwa wilayah hutan di Tana (Tanah) Bati tidak dapat dimasuki oleh orang luar sesuka hatinya. Hutan (esu) di Tana (Tanah) Bati senantiasa diawasi secara ketat oleh Orang Bati se-hingga orang luar dilarang masuk ke wilayah hutan (esu) tanpa izin pemeliknya.

Analisis terhadap hakikat hutan (esu) pada lingkungan Orang Bati apabila dilihat dari perspektif strategi bertahan hidup (survival strategy) dimaksudkan untuk mengatasi bahaya kelaparan pada setiap kelompok manusia yang diperlukan adalah mekanisme kerja. Berawal dari kehidupan sebagai pemburu-peramu, ternyata sepanjang waktu Orang Bati mengkonsumsi sagu (suat) sebagai makan pokok yang ter-dapat di alam bebas, tetapi mereka berusaha mengelola hutan sagu (yesu kiya), menanam sehingga bahaya kelaparan bisa dihindari. Kemampan Orang Bati mengelola hutan sagu (suat) secara mandiri tanpa campur tangan pihak luar telah menciptakan kedaulatan pangan dalam komunitas Orang Bati untuk survive (bertahan hidup) sampai masa kini dipahami sebagai kearifan.

Sebab, sumber daya alam berupa sagu (suat) selain memiliki nilai ekonomi, tetapi lebih jauh dari itu adalah nilai socio-cultural yang lahir dari falsafah serat sagu (suat) yang putih bersih sebagai lambang ke-sucian yang terdapat dalam hati manusia perempuan untuk meng-hidupi anak cucu. Secara umum, kemampuan Orang Bati mengelola, merawat, melestarikan, menjaga, dan memelihara hutan, dan secara khusus hutan sagu (yesu kiya) berarti upaya menjaga ketersediaan sumber daya alam (air) secara alami agar tetap tersedia dalam jumlah yang cukup, bahkan berkelimpahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara individu maupun kelompok.

Kawasan hutan sagu (yesu kiya) umumnya menyediakan air ke-hidupan yang penting bagi sagu (suat) maupun Orang Bati. Untuk itu hutan sagu (yesu kiya) di Tana (Tanah) Bati Pulau Seram harus dijaga dan dilindungi. Usaha melindungi kawasan hutan sagu (yesu kiya) di

Page 77: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

347

Pulau Seram perlu dilakukan melalui penetapan peraturan pemerintah seperti Peraturan Daerah (Perda) sehingga eksistensi masyarakat adat yang mengatur tata pengelolaan kawasan hutan dapat dikendalikan secara baik dan tidak mengancaam ekosistem lingkungan dan manusia. Melalui peraturan daerah maka fungsi tanah, hutan, dan manusia yang berada di sekitarnya dapat melakukan fungsi dan peran secara baik guna kepentingan kelestarian.

Sebaliknya pemusnahan terhadap hutan sagu (yesu kiya) berarti memusnahkan kehidupan Orang Bati. Sagu (suat) bagi Orang Bati me-miliki nilai yang abadi dalam menjalani hidup sehingga usaha merawat wilayah hutan (esu) secara umum, dan hutan sagu (yesu kiya) secara khusus dimaksudkan untuk melestarikan makanan pokok Orang Bati sebagai Orang Maluku13

Sebab hutan sagu (yesu kiya) maupun sagu (suat) identik dengan kehidupan Orang Maluku, di mana Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram merupakan tempat asal keturunan Alifuru. Penghuni wilayah Kepulauan Maluku dan manusianya yang dinamakan Alifuru sebenar-nya sudah sangat lama dikenal orang luar. Oleh Amal (2010 : 1) me-ngemukakan bahwa penelitian arkeologis yang dilakukan Australian National University seperti dikemukakan Matthew Spring dalam tulisannya Recent Advances in Our Knowledge of Mollucca’s Earliest History mengungkapkan bahwa Maluku telah didiami manusia sejak zaman es (Kala Pleistosen), sekurang-kurangnya 30.000 tahun lalu. Ketika itu Maluku merupakan kawasan kritis yang menjadi mata rantai penghubung antara kawasan Pasifik dan Asia Tenggara. Kawasan ini memliki peran penting dalam masa prasejarah karena merupakan

), merupakan komitmen bersama Orang Bati sejak leluhur mereka mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur maka wilayah hutan (esu) terus dilestarikan dan dibudayakan melalui Esuriun Orang Bati melalui strategi tanggalasu (tempat penyimpanan makanan secara alami).

13)Perhatikan makna sagu (suat) dan Orang Maluku dalam perspektif Orang Bati yang berasal dari kata Taluku, artinya Tunduk Muka ke Bawah dan ketika Mengangkat Muka yang tampak yaitu Maluku hanya satau adalah satu asal dari keturunan Alifuru dari Nusa Ina, satu makanan pokok yaitu Sagu atau Suat.

Page 78: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

348

daerah lintas strategis bagi perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Melanesia dan Mikronesia.

Mengenai nama Maluku sendiri menurut asal-usulnya oleh Amal (2010 : 5-7) dikemukakan bahwa menurut van Fraassen sembari me-ngutip Pigeaud mengemukakan bahwa nama Maluku telah dicatat dalam Negarakartagama (1365) sebagai “Maloko”. Diduga bahwa penulis Negarakartagama telah mengadopsi nama itu dari kebanyakan pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara. Dalam hikayat Dinasti Tang (618-906) disebutkan eksistensi suatu kawasan yang digunakan untuk menentukan arah daerah Holing (Kaling) yang terletak di sebelah baratnya. Kawasan ini bernama “Mi-li-ki” yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis-penulis Cina dari zaman Dinasti Tang, yang menyebut sebagai “Mi-li-ku” tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang di-tunjuk dengan nama tersebut. Pada masa kemudian barulah diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan “Mi-li-ku” itu adalah gugusan Pulau-Pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti.

Apa sebenarnya yang membuat Orang Bati mampu bertahan hidup dalam kondisi terisolasi dan terasing dari lingkungan sekitarnya di Pulau Seram Bgaian Timur-Maluku? Orang Bati bisa bertahan hidup (survive), bukan saja manusia harus makan, minum, dan lainnya. Ke-arifan Orang Bati melestarikan budaya esuriun telah menciptakan ke-daulatan pangan sehingga mereka bisa bertahan hidup (survive) dengan mengelola kawasan hutan sagu (yesu kiya) sehingga mampu me-nyediakan sumber bahan makanan untuk kelangsungan hidup generasi penerus. Untuk itu hutan (esu) dan hutan sagu (yesu kiya) harus dijaga, dilindungi, dilestarikan, dan terus dibudidayakan agar kelangsungan hidup anak cucu keturunan Alifuru di Pulau Seram atau Pulau Ibu (Nusa Ina) maupun Maluku tidak mengalami krisis pangan. Kawasan hutan (esu) secara umum jangan dirusak oleh orang yang tidak ber-tanggung jawab, karena di situ ada mata-rantai untuk meng-hubungkan kehidupan anak cucu Alifuru atau Alifuru Ina, dan khususnya keturunan Alifuru Orang Bati atau Orang Bati dengan ling-

Page 79: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

349

kungan alam di mana mereka berada untuk bertahan hidup (survive) jangka panjang.

Hutan (esu) dan hutan sagu (yesu kiya) merupakan mata-rantai yang mengikat Orang Bati sehingga dilakukannya Esuriun Orang Bati sebagai kisah nyata untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga. Kisah hidup Orang Bati sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu) yang turun dari hutan (esu) melalui esuriun kemudian melakukan adapatasi dengan lingkungan. Proses adaptasi lingkungan yang dilakukan oleh Orang Bati dengan wilayah hutan sagu (yesu kiya) dan sagu (suat) sebagai makan pokok memiliki basis nilai yang sangat penting bagi kelangsungan hidup, sehingga upaya menjaga kesakralan wilayah hutan sagu (yesu kiya) yang terdapat di atas tanah milik marga (etar) atau tanah miliki Orang Bati (watas nakuasa) mampu memberikan ketahanan pangan secara alami, karena hutan (esu) dan sagu (suat) dapat dimanfaatkan setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu, keluarga, kerabat, maupun komunitas Orang Bati sehingga menciptakan ke-tahanan pangang untuk menghadapi masa paceklik atau musim susah (pinakuta danggu).

Makna tentang menciptakan ketahanan pangan antara lain kuat untuk menghadapi dan mengatasi tantangan dari luar maupun dari dalam yang dapat mengancam kelangsungan hidup Orang Bati. Ulet menunjukkan bahwa, Orang Bati yang mengalami isolasi dan terasing bisa survive karena terdpat kearifan dalam melindungi dan menjaga hak milik. Tangguh menunjukkan bahwa dalam kondisi yang terbatas, Orang Bati dapat survive karena mereka memiliki percaya diri, solodaritas sosial yang kuat dikalangan individu maupun kelompok untuk berusaha mewujudkan kedaulatan pangan karena selama ini sagu (suat) menjadi sumber bahan makanan pokok yang befungsi untuk menopang hidup secara individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas Orang Bati.

Page 80: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

350

Hutan (Esu) Menciptakan Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan pada Orang Bati mememiliki makna bahwa, biarlah Orang Bati terus mengandalkan sagu (suat) sebagai sumber bahan makanan utama dalam kehidupan mereka. Jangan pernah meru-bah tradisi mengkonsumsi sagu yang arif dari Orang Bati melalui inter-vensi kebijakan agar mereka mengkonsumsi makanan pokok yang lain dari sagu (suat). Sebab mekanisme lokal yang arif dari Orang Bati dapat mengurangi beban masyarakat dan negara untuk pengadaan suber daya (bahan makanan) pada di tingkat lokal yang tidak adaptif. Kedaulatan pangan dapat dipahami sebagai kekuasaan mutlak, tertinggi, dan tidak tergantung pada pihak lain, termasuk negara. Dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya lokal (sagu atau suat) dan lainnya berupa basis ekonomi kerakyatan yang dijiwai oleh kedaulatan pangan. Artinya, selama ini tampak bahwa tidak ada campurtangan pihak luar.

Pertanyaan yang muncul kemudian yaitu bagaimana kedaulatan pangan ini terlembaga. Secara normatif, melalui kesepakatan yang dilembagakan melalui adat di mana kawasan yang memiliki sumber daya pangan utama yaitu sagu, hewan buruan, dan lainnya dilindungi dalam wilayah yang dinamakan tanggalasu (tempat menyimpan makanan secara alami) boleh dikatakan sebagai wilayah yang sakral untuk tidak dieksploitasi ketika Orang Bati berada dalam musim te-nang. Tampak bahwa kedaulatan pangan ini terlembaga secara ke dalam, yang berarti bahwa selama ini yang nyata yaitu Orang Bati tidak tergantung pada kebutuhan pangan dari pihak yang mempunyai wewenang lebih tinggi, dan masalah apa saja dapat menjadi penentuan sendiri. Kedaulatan pangan secara ke luar, berarti tidak ada pihak luar dari Orang Bati yang berhak mengatur dan mengelola sumberdaya pangan dalam wilayah. Untuk itu kesewenang-wenangan orang luar dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan bisa mengancam keutuhan sistem pada tataran lokal. Dalam kenyataannya, ruang ini sama sekali tidak dimiliki oleh pihak luar selama ini, sehingga ke-daulatan pangan di kalangan Orang Bati benar-benar terpelihara, dan tumbuh secara baik pada musim susah maupun musim di mana mereka bisa berakses.

Page 81: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

351

Kearifan Orang Bati dalam mengelola sumber daya lokal (sagu atau suat) sebagai bahan makanan yang dapat diperoleh dari hutan (baik dalam etar maupun di alam bebas) dan bisa mereka konsumsi untuk bertahan hidup (survive). Apakah hal ini dapat menjadi basis untuk menciptakan kedaulatan pangan Orang Bati Walaupun perta-nyaan seperti ini dianggap sulit memperoleh jawaban tunggal, namun paling tidak kedua hal ini signifikan dalam basis nilai dan ada korelasi positif. Kehidupan Orang Bati yang masih berciri tradisional, namun kuat dalam kehidupan kolektif mampu bertahan hidup ketika wilayah mereka mengalami masa terisolasi. Wilayah kampung (wanuya) di mana Tana atau Tanah mampu menyediakan sumberdaya pangan, mampu memberikan keseimbangan hidup secara sosial dengan ekologi hutan yang tidak dijamah orang luar untuk melakukan eksploitasi sumber daya sehingga kedaulatan pangan memberikan ruang yang makin luas bagi Orang Bati untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai saat ini.

Mekanisme kerja diorganisir oleh individu maupun kelompok kerabat untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan akarnya ada pada etos kerja dari setiap orang atau individu ketika mereka mengelola dan memanfaatkan berbagai hasil hutan, dan tanaman produksi pertanian secara mandiri. Hal ini menunjukan bahwa Orang Bati memiliki ke-daulatan pangan dalam mengurus hak milik marga sebagai sumber kehidupan kolektif. Kehidupan nyata Orang Bati sebagai Manusia Gunung atau Orang Gunung (Mancia Atayesu) terpatri melalui prinsip-prinsip hidup yang saling menghormati, saling menghargai sehingga satu merasa susah yang lainnya ikut merasakan susah berada dalam kekuatan batin manusia atau Orang Bati dan pewarisannya bersifat turun-temurun.

Maknanya yaitu, sejak dahulu sampai sekarang anak cucu Orang Bati bisa hidup karena kawasan hutan, dan khususnya hutan sagu (yesu kiya) mampu menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan untuk makan (konsumtif) telah mengalami proses adaptasi dengan ling-kungan kehidupan Orang Bati. Untuk itu yang diperlukan yakni men-jaga hubungan adaptasi dengan ekosistem mereka agar bisa bertahan

Page 82: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

352

hidup (survive). Hal ini menurut Keesing (1981: 146) karena mereka mencapai adaptasi melalui medium budaya, prosesnya sangat ber-gantung pada hukum-hukum yang sama dari seleksi alam yang me-ngatur adaptasi biologis.

Proses adaptasi yang dijalani Orang Bati dengan hutan (esu) maupun sagu (suat) sebagai makanan pokok, maka secara teoritis dapat dipa-hami bahwa, konsep adaptasi dalam pendekatan ekologi-budaya, adalah proses kemunculan, pemeliharaan, dan transformasi berbagai konfigurasi budaya. Pada hakikatnya terdapat dua konsep sentral yakni lingkungan (enviroment) dan adaptasi (adaptation). Lingkungan disama -artikan dengan ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami seperti cuaca, flora dan fauna, tanah, pola hujan, bahkan ada mi-neral di bawahnya. Ekologi-budaya mendukung suatu pandangan yang disebut ”posibelisme lingkungan” (enviromental posibelism).

Pandangan ini memperhatikan ciri-ciri habitat alami, bukan se-bagai penyandang peran, melainkan peran memberi kemungkinan atau pemberi batas. Ciri habitat alami memberikan peluang terbuka untuk menempuh arah tertentu sambil ”melarang” menempuh arah lain. Lingkungan bukan seperangkat benda alami, ia merupakan seperangkat pemahaman, suatu produk kebudayaan. Hubungan antara suatu masya-rakat dengan lingkungannya hanya dapat dipahami bila menyimak cara pengorganisasian lingkungan itu dalam kategori-kategori verbal yang disusun oleh mereka yang menggunakannya. Hal ini oleh Julian Steward Julian Steward dalam cultural ecology untuk Encyclopedia of The social Sciences edisi 1968 bahwa llingkungan itu adalah produk budaya, maka upaya untuk menjelaskan budaya se-hubungan dengan lingkungan bersifat tautologis (Kaplan, 1999: 101-104).

Pandangan tersebut di atas apabila dikatakan dengan proses adaptasi yang dilakukan Orang Bati dalam wilayah hutan sagu untuk melakukan pengolahan sagu (suat) untuk dikonsumsi oleh keluarga maupun dijual ke pasar lokal pada penduduk kampung atau dusun-dusun, maupun di desa-desa atau negeri tetangga di Seram Timur, tetapi hal ini belum dapat dilakukan oleh Orang Bati secara optimal karena mereka mengalami hambatan sarana transportasi lokal. Namun

Page 83: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

353

suatu hal yang pasti bahwa, kemampuan beradaptasi Orang Bati se-panjang waktu untuk mengkonsumsi sagu (suat) sebagai makanan pokok ternyata mampu menciptakan ketahanan pangan bagi mereka dalam menghadapi kondisi dan situasi krisis atau paceklik atau musum susah (pinakuta danggu) yang panjang.

Potensi sagu (suat) yang selama ini dijadikan sebagai makanan pokok Orang Bati mampu menciptakan ketahanan pangan dikalangan mereka. Kondisi ini terbukti ketika Orang Bati menghadapi musim susah (pinakuta danggu) atau musim paceklik yang panjang setiap tahun sehingga mereka mengalami isolasi, sebagai akibat keadaan alam yang tidak ramah. Tampak bahwa, potensi sagu yang terdapat dalam kawasan hutan sagu dikelola Orang Bati melalui mekanisme kerja dari masing-masing individu maupun kelompok.

Orang Bati mengolah sagu untuk mengambil sari sagu dilakukan masing-masing keluarga. Sebab sagu merupakan makanan pokok untuk dikonsumsi oleh Orang Bati sepanjang waktu. Selama ini Orang Bati mengolah sagu menggunakan cara-cara tradisional yang diperoleh dari pendahulu mereka, yang dimulai dari mengamati pohon sagu, mem-bersihkan rumput yang terdapat disekitar pohon sagu, menebang pohon sagu, memotong, membelah, menumbuk serat sagu (pukul sagu atau dadamu), pemerasan sari sagu, mengolah sari sagu untuk menjadi bahan makanan yang bisa dikonsumsi secara bersama oleh anggota ke-luarga maupun kerabat.

Potensi pohon sagu yang terdapat dalam kawasan hutan milik Orang Bati tersedia cukup banyak, baik itu dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati, maupun wilayah milik marga (etar). Ketika melakukan pengolahan sagu, Orang Bati senantiasa mem-perhatikan keseimbangan populasi sagu pada setiap tempat. Artinya, sagu yang siap untuk ditebang adalah jenis pohon sagu yang benar-benar memenuhi syarat seperti sudah ke luar bunga (won) pada bagian pucuk pohon sagu agar serat sagu yang ditumbuk (dipukul), kemudian diperas serat sagu tersebut untuk mengambil sari sagu benar-benar memiliki kualitas (mutu) yang baik. Pohon sagu yang memiliki ke-tinggian 20 sampai dengan 30 meter, dan memiliki diameter 60 sampai

Page 84: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

354

dengan 75 Cm, dan telah berusia sekitar 10 sampai dengan 15 tahun dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga yang terdiri dari 5 orang anggota dalam jangka wktu 6 sampai dengan 8 bulan14

Sebab melakukan perubahan kebijakan untuk pengadaan pangan bagi masyarakat yang kurang adaptif, dapat mengancam kelangsungan hidup Orang Bati yang kuat memegang tradisi. Untuk itu perubahan yang terpenting dan dikehendaki oleh Wilson dan Wilson (1945) dalam bukunya The Analysis of Social Change Based on Observation in Central Africa yaitu perubahan dari suatu masyarakat tradisional ke masyarakat masa kini tidak perlu menyebabkan hilangnya keseimbang-an sehingga timbul konflik-konflik yang merusak, asalkan perubahan itu berlangsung dengan lambat dan terarah (Koentjaraningrat, 1990 :

). Sagu yang diolah Orang Bati untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, tetapi ada juga yang dijual kepada konsumen yaitu penduduk pesisir pantai di Pulau Seram Bagian Timur, Pulau Geser, maupun ke Ambon.

Kearifan Orang Bati mengolah sagu untuk dikonsumsi sendiri oleh anggota keluarga maupun untuk dijual pada konsumen senantiasa mereka memperkirakan kondisi pohon sagu dalam kawasan hutan sagu sehingga tiba musim susah (pinakuta danggu) atau musim paceklik yang panjang persediaan sagu tetap mencukupi kebutuhan konsumtif. Arti-nya Orang Bati memiliki ketahanan pangan cukup baik karena usaha memenuhi kebutuhan hidup secara individu maupun kelompok yang bersifat konsumtif, ternyata mereka tidak menggantungkan diri pada pihak lain. Dalam jangka waktu yang panjang, ternyata sagu (suat) dapat diandalkan untuk mengatasi krisis ekonomi rumah tangga pada lingkungan Orang Bati, sehingga jangan mengabaikan kawasan hutan sagu (yesu kiya) maupun merubah pola konsumsi sagu (suat) pada ling-kungan masyarakat lokal seperti Orang Bati yang terdapat dalam wilayah tanggalasu maupun watas nakuasa, serta di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) karena dampaknya yaitu terjadi beban pangan yang berat disediakan pemerintah atau negara kepada masyarakt.

14)Ketika berdiskusi dengan bapak SeSa dan bapak SaRum di Dusun Rumbou pada tanggal 23 Desember 2009, mereka mengemukakan bahwa, kamu cuma kakofanga yang bomai memamam siki roina tata nusi si. Artinya, kami Orang Bati hanya mengkonsumsi apa yang dimiliki oleh leluhur kami sampai sekarang.

Page 85: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

355

91). Orang Bati terus merawat kawasan hutan yang dinamakan tanggalasu (tempat menyimpan makanan secara alami) agar tidak mudah dirusak oleh tangan manusia yang tidak bertanggungjawab sehingga sagu (suat) selalu tersedia bagi mereka dan keturunnya. Mekanisme lokal untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati melalui cara menyimpan bahan makanan (sagu, ubi-ubian, pisang, sayur-sayur, hewan liar, dan lainnya) di alam bebas dalam kawasan hutan yang disediakan secara khusus dan dinamakan tanggalasu yang terdapat dalam kawasan milik marga (etar). Sumber daya yang terdapat dalam kawasan tersebut baru dimanfaatkan untuk memenuhi ke-butuhan hidup ketika Orang Bati berada pada “musim susah” (pinakuta danggu) atau musim paceklik yang panjang akibat kondisi alam yang tidak ramah.

Artinya, sumber bahan makanan seperti sagu (suat), ubi-ubian, sayur-sayuran, hewan buruan, dan lainnya yang terdapat dalam wilayah tanggalasu baru dieksploitasi ketika Orang Bati berada pada musim susah (pinakuta dangu), atau dimaknai sebagai musim paceklik yang berlangsung selama jangka waktu sembilan bulan dalam satu tahun yaitu pada bulan Desember sampai dengan bulan Agustus. Kawasan ini mengalami masa pemulihan atau tidak dieksploitasi se-lama tiga bulan setiap tahun yaitu pada bulan September, Oktober, dan November di mana kawasan ini mengalami masa tenang atau alam lebih ramah dengan manusia.

Generasi Orang Bati dapat bertahan hidup (survive) walaupun wilayah mereka mengalami isolasi geografi. Tetapi mekanisme pe-ngelolaan, pemanfaatan, serta melindungi sumber bahan makanan untuk menopang kehidupan secara individu maupun keluarga di-lakukan secara baik. Kearifan Orang Bati untuk mengolah hutan (esu) tempat menyimpan makanan secara alami pada wilayah hutan yang di-namakan tanggalasu sebagai teritorial genealogis atau wilayah roina kakal telah dilakukan turun-temurun sehingga membuat individu, ke-luarga, dan komunitas Orang Bati mampu bertahan hidup (survive) sampai saat ini.

Page 86: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

356

Tanggalasu berisi hutan sagu (yesu kiya), ubi-ubian, sayur-sayuran, dan arena berburu hewan liar seperti rusa (menjangan), kus-kus, kasuari, ayam hutan, dan lainnya tetap lestari, sebab berburu hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Kawasan hutan (esu) yang dinamakan tanggalasu berisi sumber bahan makanan yang dapat dieksploitasi atau dimanfaatkan selama sembilan bulan yaitu dari bulan Desember sampai dengan bulan Agustus setiap tahun. Pada saat ini Orang Bati sama sekali tidak memiliki akses untuk ke luar dari wilayah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk itu wilayah hutan (esu) dijaga dan dilindungi secara baik karena memiliki nilai kelangsungan hidup. Dalam pandangan Orang Bati, apabila hutan menjadi rusak berarti kehidupan manusia menjadi punah (yeisa kalu paku tei, berarti kita mancia eya pakutei wak).

Untuk itu wilayah hutan di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) se-nantiasa melekat dengan jiwa Orang Bati. Mereka sangat sadar bahwa kerusakan terhadap wilayah hutan berarti sama saja dengan kerusakan pada tubuh manusia. Apabila tubuh manusia mengalami kerusakan, di-pastikan bahwa lambat atau cepat nyawa manusia mesti terancam dan kehidupan mereka sebagai Orang Bati bisa menjadi punah. Ke-mampuan Orang Bati untuk mengelola, merawat, dan melestarikan wilayah hutan berarti penyediaan pangan untuk kebutuhan hidup konsumtif senantiasa terpenuhi.

Dapat kemukakan bahwa, tanggalasu merupakan salah satu mekanisme lokal yang arif dimiliki Orang Bati untuk melakukan pe-ngelolaan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan hidup. Se-bagai contoh, sagu (suat) dalam wilayah tanggalasu baru dikelola atau dimanfaatkan Orang Bati ketika mereka berada pada musim susah (pinakuta danggu). Pada saat musim tenang selama tiga bulan yaitu pada bulan september, oktober, dan november, maka wilayah tanggalasu tidak boleh dieksploitasi atau tidak boleh dimanfaatkan atau mengambil hasil apapun dalam wilayah ini. Sebab dalam tradisi Bati, wilayah tanggalasu diberikan kesempatan untuk “pemulihan” sehingga

Page 87: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

357

wilayah tersebut siap dimanfaatkan ketika datangnya musim paceklik atau musim susah (pinakuta danggu) pada tahun berikutnya15

Sebab Orang Bati hanya mengandalkan sumber daya lokal untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Tanpa menggunakan cara ini mereka sudah punah atau lenyap sejak dahulu kala. Keadaan lingkung-an tempat kediaman mereka yang mengalami isolasi akibat faktor alam yang tidak ramah, sehingga melahirkan kearifan yang dapat dikatakan sebagai strategi bertahan hidup dalam wilayah pulau kecil, di mana laut sedang berombak besar sehingga Orang Bati tidak memiliki akses ke luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan

).

16

Usaha mengembangkan jenis tanaman pertanian atau jenis tanaman umur panjang seperti cengkih, pala, dan kelapa dilakukan pada lokasi yang tetap yaitu kebun (tanai) dan tidak berpindah-pindah tempat. Hasil produksi dari jenis tanaman perdagangan ini tidak berada di luar wilayah tanggalasu, namun tidak dapat dipasarkan dengan baik karena Orang Bati memiliki keterbatasan sarana transportasi darat maupun laut, sehingga produksinya lebih didominasi oleh ekonomi modern

), tanpa mengabaikan usaha mengembangkan jenis tanaman perdagangan seperti cengkih, pala, dan kelapa untuk bertahan hidup (survive).

Tanaman Perdagangan

17

15)Orang Bati menyebut fanga tutuea tawei bomai nini fanga biasa. Artinya selama ini sumber bahan makanan hanya diandalkan dari alam. 16)Wawancara dengan bapak SaRum di Dusun Rumbou pada tanggal 22 Desember 2009 diungkapkan bahwa, katur mamofanga kamu cuma kalangal bomai damu-damu oi sae, me suata (produksi hanya mengandalkan sumber daya lokal, misalnya sagu atau suat). Mamofanga yang kawei eiya hanya kamu kako setiap hari bomai kamufun, apalagi kamu kamau katanak yang gavin (semua yang diproduksikan oleh Orang Bati hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri). 17)Wawancara dengan bapak SeSa dan bapak SaRum di Dusun Rumbou pada tanggal 23 Desember 2009 dikemukakan bahwa, mamu hasil usaha tana cukup wian, tapi kamu katanak daite bomai cara pelayanan ni sa’te. Artinya, hasil usaha dari kebun cukup banyak, tetapi tidak dapat dijual kerena jauh dari jangkauan dan pelayanan.

). Realitas yang dialami oleh Orang Bati menunjukkan bahwa, keadaan mereka senantiasa berada di bawah tekanan masyarakat lain yang memiliki modal usaha lebih kuat sehingga situasi

Page 88: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

358

sosial-ekonomi rumah tangga dari Orang Bati terus miskin, dan tidak berdaya untuk menghadapi kelompok lain yang lebih kuat.

Orang Bati sangat menyadari bahwa hambatan dalam bidang pendidikan formal18

Akibat berkembangnya sistem utang dengan penduduk pesisir pantai maupun tengkulak, maka Orang Bati tidak bisa menikmati hasil usaha mereka sendiri secara baik, dan hasil usaha tanaman perdagang-an tersebut lebih dinikmati oleh tengkulak. Hasil pengamatan lapangan menunjukan bahwa mereka yang bergerak sebagai tengkulak untuk membeli hasil bumi di wilayah Seram Timur adalah penduduk pesisir pantai yang sudah lama mendiami wilayah Seram Timur, tetapi ada juga penduduk pesisir pantai yang berasal dari luar seperti Orang Arab yang mendiami pesisir pantai di Pulau Seram Bagian Timur (Tanah Besar), dan Orang Arab yang mendiami Pulau Geser. Selain itu juga Orang Bati sering menggadaikan pohon cengkih dan pohon pala yang

), menyebabkan penguasaan mereka tentang ilmu pengetahuan yang sangat rendah karena tidak menikmati pendidikan formal secara layak. Kondisi ini membuat Orang Bati tidak bisa ber-saing dengan orang luar. Sebagai contoh, dapat dilihat pada mata-rantai pemasaran hasil produksi tanaman perdagangan seperti cengkih, pala, dan kelapa yang dominan dikuasai oleh tengkulak yang mendiami desa pan dusun di pesisir pantai di Pulau Seram Bagian Timur (Tanah Besar), maupun tengkulak yang berada di Pulau Geser dan Kota Bula dalam mata-rantai pemasaran dan Orang Bati manfaatkan mereka untuk memenuhi keperluan hidup. Rantai pemasaran hasil tanaman umur panjang seperti cengkih, pala, dan kelapa hanya sampai di tangan tengkulak. Persoalan yang membuat Orang Bati tidak bisa berkembang yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara konsumtif bagi in-dividu maupun keluarga mereka sering berutang atau meminjam uang maupun barang-barang kebutuhan hidup pada penduduk pesisir, ter-utama pada tengkulak. Cara membayar atau melunasi utang berupa uang yaitu pada saat ketika mereka menjual hasil kebun.

18)Wawancara dengan bapak KaKel di Dusun Kelsaur pada tanggal 19 Desember 2009 dikemukakan bahwa, karena selama eya nini sekolah oi datotoke, daharap nai te. Artinya, selama ini benar-benar pendidikan formal di Tanah Bati diabaikan sehingga keadaan mereka terus begini saja.

Page 89: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

359

terdapat dalam etar (wilayah milik marga) pada Orang Cina yang ber-ada di Pulau Geser maupun Kota Bula.

Informasi yang diperoleh yaitu, Orang Bati yang meminjam uang pada Orang Cina sekitar Rp 2.000.000 sampai dengan Rp 3.000.000, atau ada diantara mereka yang meminjam uang sekitar Rp 5.000.000 dengan menggadaikan tanaman cengkih sekitar 50 pohon yang berusia rata-rata 20 sampai dengan 30 tahun pada Orang Cina. Jangka waktu untuk menggadaikan pohon cengkih yaitu 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun19

Orang Bati yang memiliki usaha tanaman cengkih dan pala umumnya terlibat dalam uang pada tengkulak. Utang uang pada teng-kulak digunakan memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat konsumtif. Orang Bati tidak pernah utang uang untuk mengembangkan usaha pro-duktif. Persoalan utang uang pada tengkulak merupakan mata-rantai yang selama ini melilit kehidupan Orang Bati sehingga mereka tidak bisa mengembangkan ekonomi rumah tangga maupun masyarakatnya secara lebih baik dan maju, karena semua dimanfaatkan untuk me-menuhi kebutuhan konsumtif berupa makan dan minum setiap hari, hajatan, dan lainnya yang bersifat konsumtif. Kondisi tersebut mem-

). Setelah itu dapat dilanjutkan kembali apabila masa gadai pohon cengkih sudah selesai, tetapi mereka membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Hal yang sama juga terjadi pada jenis tanaman pala yang seringkali digadai kepada tengkulak. Cara ini telah berlangsung cukup lama sehingga hasil panen cengkih setiap tahun tidak dinikmati oleh Orang Bati sebagai pemilik pohon cengkih, tetapi dinikmati oleh tengkulak. Begitu juga pohon pala yang meng-hasilkan buah selama tiga kali panen dalam satu tahun sehingga hasil panen pala tidak pernah dinikmati secara baik oleh Orang Bati. Walau-pun tidak semua Orang Bati melakukan hal ini karena mereka tidak memiliki usaha yang sama untuk mengembangkan tanaman cengkih dan pala.

19)Persoalan ini diungkapkan oleh Orang Bati ketika melakukan FDG dengan mereka yang mendiami kawasan pesisir pantai di Dusun Watu-Watu, Negeri Kian Darat, Kecamatan Seram Timur pada 5 November 2009, dikemukakan bahwa mata-rantai yang melilit mereka memiliki simpul yang sangat kuat dan sulit dilepaskan dalam jangka waktu yang singkat.

Page 90: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

360

buat Orang Bati terus mengalami kemiskinan ekonomi, karena mereka memiliki pendapatan yang sangat rendah sehingga kondisi tersebut menyebabkan orang tua mengalami kesulitan, bahkan tidak berdaya untuk menyekolahkan anak-anak pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari SMP.

Walaupun pada saat ini sudah ada anak-anak dari Tana (Tanah) Bati yang dapat mengikuti pendidikan tinggi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Seram Timur (STAIS) maupun maupun di IAIN Ambon, Universitas Darusalam Ambon, dan Universitas Pattimura, umumnya adalah Orang Bati yang mendiami daerah pesisir pantai di mana orang tua mereka sudah memiliki usaha lebih baik sebagai petani, maupun sebagai guru pada sekolahsekolah swasta seperti Madrasa, Sanawia atau yang sederajat dengan SD, SMP, SMU negeri di Seram Timur. Mereka umumnya sudah berpemikiran lebih maju, apabila dibandingkan dengan Orang Bati yang mendiami lereng-lereng bukit dan pe-gunungan yang kemampuan berpikir belum maju.

Bagi Orang Bati yang telah berpemikiran maju, terutama yang mendiami wilayah pesisir pantai ternyata ada diantara mereka yang sering melakukan migrasi ke luar dari wilayah Tanah Bati untuk me-ngikuti saudara-saudara mereka yang telah bermigrasi lebih awal dan telah menjadi penduduk di daerah baru yang mereka datangi seperti di Bula, Ambon, Sorong, Fak-Fak, Saparua, dan lainnya, sedangkan Orang Bati yang mendiami lereng-lereng bukit dan pegunungan sewaktu-waktu bermigrasi ke Pulau Geser atau Kota Bula, kemudian kembali lagi ke Tana (Tanah) Bati. Pada umumnya anak-anak mereka belum dapat menikmati pendidikan yang layak karena penghasilan yang di-peroleh rumah tangga hanya diperuntukan untuk memenuhi ke-butuhan hidup konsumtif. Sebab kehidupan ekonomi rumah tangga masih bersifat subsisten. Persoalan hidup yang dialami Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur cukup kompleks. Salah satu persoalan yang dapat mengancam survival strategy adalah isolasi geografi yang me-nyebabkan fenomena isolasi Orang Bati.

Page 91: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

361

Isolasi Orang Bati Sebagai Ancaman Survival Strategy

Fenomena isolasi Orang Bati karena tekanan (presure) dari ling-kungan fisik yaitu alam yang tidak ramah. Orang Bati mendiami wilayah Pulau Seram Bagian Timur yang dikelilingi oleh Laut Seram dan Laut Banda yang berhubungan dengan Samudera Hindia (Indo-nesia) di bagian selatan, dan Samudera Pasifik di bagian utara. Secara fisik geografis, wilayah kediaman Orang Bati terbuka dari berbagai arah sehingga potensi menghadapi angin laut yang bertiup sangat ken-cang. Kondisi tersebut memiliki potensi terjadi ombak laut yang besar dan arus laut yang sangat kuat terjadi di Selat Keving (antara Pulau Seram dan Pulau Kevin), Selat Geser (antara Pulau Kevin dan Pulau Geser), dan Selat Masiwang (antar Tanjung Masiwang di Pulau Seram Bagian Timur dengan Pulau Varan). Angin kencang yang bertiup di kawasan ini sering berubah-ubah setiap saat, dan menimbulkan ge-lombang laut yang besar menghantam kawasan tersebut pada bulan Desember sampai dengan Agustus setiap tahun.

Hambatan sarana transportasi laut menyebabkan Orang Bati mengalami hambatan interaksi dengan orang lain, usaha memenuhi keperluan hidup, menemui sanak saudara, dan lainnya. Peristiwa yang berlangsung setiap tahun oleh Orang Bati dinamakan “musim susah” (pinakuta danggu) atau musim paceklik yang panjang. Faktor utama yang mempengaruhi kondisi di daerah ini adalah perubahan iklim yang tidak menentu. Fenomena perubahan iklim yang berlangsung saat ini oleh Diana Liverman ketika membahas tentang survival into the future in the face of elimate change (dalam Shuckburgh, 2008 : 205) yaitu perubahan iklim memberikan salah satu tantangan besar bagi ke-langsungan hidup (survival) orang dan ekosistem dalam dan di luar abad ini.

Pendapat tersebut di atas telah mengingatkan bahwa untuk menjalani hidup pada masa depan, ternyata fenomena perubahan iklim yang berlangsung saat ini memberikan salah satu tantangan besar bagi kelangsungan hidup manusia atau orang dan ekosistem, dan hal ini bukan untuk kemanusiaan atau planet ini secara keseluruhan, tetapi untuk sejumlah besar orang yang rentan dan ekosistem. Artinya, kon-

Page 92: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

362

disi yang terjadi seperti ini dalam perspektif Orang Maluku di-ungkapkan bahwa wilayah Seram Timur menjadi tertutup kabut putih tebal akibat penguapan air laut. Faktor perubahan iklim memiliki dampak langsung pada daratan Seram Timur.

Fenomena alam seperti ini sebenarnya telah berlangsung cukup lama, dan lokasi di mana Orang Bati bermukim sering menghadapi per-soalan tersebut sepanjang tahun. Apabila terjadi gelombang besar di wilayah ini ternyata daratan Seram Timur menjadi ilang-ilang (hilang-hilang)20

Umumnya sarana transportasi masih tradisional seperti motor tempel, perahu layar (bot atau jungk), wona

). Artinya, orang luar mempersepsikan bahwa kampung atau dusun (wanuya) yang ditempati oleh Orang Bati tidak kelihatan secara jelas melalui pandangan mata. Wilayah kediaman Orang Bati menjadi ilang-ilang (hilang-hilang). Ungkapan lokal yaitu, dong tinggal di negri ilang-ilang (mereka mendiami negeri hilang-hilang). Makna dong yaitu ditujukan pada Orang Bati. Kata tinggal di negri yaitu Orang Bati men-diami lokasi kediaman yang ilang-ilang atau mirip dengan “tersamar”. Alam yang tidak ramah menyebabkan Orang Bati tidak memiliki akses untuk ke luar dari wilayah tersebut, dan orang luar juga sulit untuk datang ke wilayah Seram Timur secara leluasa. Mobilitas penduduk antar pulau menjadi terhalang karena sarana transportasi lokal yang digunakan tidak memadai.

21) atau perahu, maupun katinting22

20)Orang luar (Orang Maluku) mempersepsikan bahwa daratan Seram Timur menjadi ilang-ilang (hilang-hilang). Maknanya yaitu, wilayah tersebut ada, tetapi tidak keli-hatan secara jelas oleh pandangan mata, karena wilayah ini tertutup oleh kabut yang disebabkan oleh penguapan air laut yang berasal dari hamparan ombak laut yang besar membentur dinding batu karang yang keras di pesisir pantai. 21)Alat angkutan laut tradisional berupa perahu (sampan) yang menggunakan motor tempel dan terbuat dari kayu bulat dan tidak menggunakan naju dan semang untuk penahan bodi perahu. 22)Alat angkutan laut tradisional berupa perahu (sampan) yang menggunakan motor tempel dan terbuat dari kayu bulat, tetapi menggunakan naju dan semang untuk penahan bodi perahu.

) (motor tempel) yang terbuat dari kayu berukuran kecil. Orang Bati tidak memiliki sarana transportasi lokal yang berukuran besar, bukan karena bahan dasar untuk membuat perahu tidak tersedia,

Page 93: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

363

tetapi mereka tidak memiliki peralatan kerja yang memadai untuk mengerjakan perahu berukuran besar. Persoalan yang dihadapi Orang Bati akibat alam yang tidak ramah berbeda dengan Orang Mandar yang terkenal sebagai pelaut-pelaut yang handal. Saat ini juga Orang Mandar tengah mengalami kesulitan untuk membuat perahu yang besar karena sumber daya alam yaitu kayu tidak tersedia. Untuk itu dapat di-kemukakan bahwa menghadapi perkembangan ternyata Orang Mandar harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi karena membuat perahu yang besar (sande) ternyata kayunya sudah jarang dan pe-masaran hampir tidak ada (Alimuddin, 2005: 145-1480).

Orang Bati bukan orang atau manusia seperti tipe Orang Mandar yang terkenal sebagai pelaut ulung karena orientasi hidupnya di laut sehingga begitu penting artinya laut bagi kehidupan Orang Mandar secara turun-temurun. Bagi keturunan Orang Mandar yang tidak bisa melaut berarti ia tidak bisa bertahan hidup. Orang Bati adalah Manusia Gunung (Mancia Atayesu) yang mengandalkan hutan sebagai sumber kehidupan utama untuk bertahan hidup (survive). Persoalan hidup yang dihadapi Orang Bati yaitu wilayah kediaman mereka di Pulau Seram Bagian Timur termasuk kategori orang yang hidup di pulau kecil yang dikelilingi oleh laut yang luas. Akses Orang Bati untuk bertahan hidup adalah memanfaatkan laut sebagai sarana interaksi antar pulau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Keunggulan Orang Bati tidak di laut, tetapi di wilayah daratan sehingga kondisi mereka sangat berbeda dengan Orang Mandar yang sangat menggantungkan hidup di laut. Tetapi Orang Bati bertahan hidup (survive) dengan lingkungan laut yang tidak ramah akibat gelombang besar, pusaran arus laut yang kuat, dan lainnya karena laut berfungsi sebagai penghubung antara pulau yang satu dengan pulau yang lainnya sehingga di dalam memanfaatkan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu, keluarga, kerabat, maupun komuni-tas merupakan fenomena klasik karena hal ini telah berlangsung ratusan tahun namun sampai saat ini belum ada perhatian dari pihak terkait, terutama pemerintah dan swasta untuk mengatasi persoalan tersebut secara baik. Kondisi yang dialami Orang Bati seperti ini me-

Page 94: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

364

nyebabkan kehidupan mereka secara individu maupun kelompok tidak mengalami perubahan yang sigifikan karena keadaan alam yang tidak ramah di sekitar wilayah mereka menyebabkan kehidupan Orang Bati mengalami isolasi geografi. Hal ini tampak dari infra struktur per-hubungan laut yang tidak layak, maupun sarana transportasi laut yang masih bersifat tradisional. Fenomena Orang Bati yang selama ini ter-golong krusial yaitu menguatnya stigma (anggapan negatif) orang luar terhadap Orang Bati.

Fenomena umum lainnya yang menyebabkan Orang Bati me-ngalami isolasi yaitu menguatnya stigma (anggapan negatif). Hasil indentifikasi terhadap anggapan negatif (stigma) orang luar (Orang Maluku) yang mendiami negeri-negeri adat tertentu di Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Seram, dan lainnya dijumpai bahwa Orang Bati dipersepsikan sebagai manusia atau orang ilang-ilang (hilang-hilang)23

Akibat menguatnya stigma (anggapan negatif) orang luar yang ditujukan pada Orang Bati menyebabkan eksistensi mereka sebagai manusia maupun sukubangsa di Maluku terus dipertentangkan. Studi ini menyatakan secara tegas pada orang luar bahwa Orang Bati itu ada dalam kenyataan. Orang Bati adalah manusia maupun sukubangsa yang telah menjalani kehidupan bermasyarakat dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur sejak ratusan tahun yang lampau. Orang Bati memiliki pemimpin, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, identitas, peradaban, telah menganut Agama Islam

), manusia atau orang terbang-terbang, manusia atau orang yang berilmu hitam (black magic), manusia atau orang suanggi, dan lainnya. Persepsi seperti ini walaupun diucapkan oleh orang luar dengan nada bahasa yang santun, namun hakikatnya ada stigma (anggapan negatif).

24

23)Makna dari anggapan umum Orang Maluku mengenai manusia atau orang ilang-ilang (hilang-hilang) artinya, mereka (Orang Bati) itu ada disekitar kita, tetapi keberadaan mereka tidak terlihat oleh pandangan mata orang lain.

), dan lainnya. Mengenai

24)Informasi yang diperoleh dari lapangan bahwa Orang Bati menganut Agama Islam sudah cukup lama ketika Imam Banda sebagai penyiar Agama Islam datang ke wilayah Seram Timur. Pada saat peneliti melakukan verifikasi data lapangan pada keturunan Imam Banda di Negeri Banda Eli Kepulauan Kei Besar-Maluku Tenggara informasi

Page 95: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

365

Agama Isalam masuk di Maluku oleh Yatim (1993 : 199) dikemukakan bahwa pengaruh Islam masuk ke Indonesia bagian timur, khususnya Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang pada pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke 14 M, Islam datang ke daerah Maluku. Raja Ternate yang keduabelas, Molomatea (1350-1357 M) bersahabat karib dengan Orang Arab yang memberi petunjuk dalam pembuatan kapal-kapal, tetapi agaknya bukan dalam ke-percayaan. Hal ini menunjukkan bahwa di Ternate sudah ada masyarakat Islam sebelum rajanya masuk Islam. Hal ini juga terjadi di Banda, Hitu, Makyan, dan Bacan. Fraasen (1978) dalam bahasannya tentang Types of Sociopolitical Structure in North Halmahera me-ngemukakan bahwa The inland people or refresed to embrace islam, but in the second half of the 19 th century and in the first half of the 20 th century finally most of them embraced christianity. Within the category of the inland-people we have several ethnic groups, mostly differing from each other by having their own name and their own language (Masinambow, 1978 : 90).

Orang-orang di kepulauan Maluku, antara lain orang pedalaman pada mulanya menolak untuk memeluk Islam, tetapi di sekitar abad ke sembilan belas dan paruh abad ke dua puluh, akhirnya sebagian dari mereka memeluk Agama Kristen. Dalam kategori orang pedalaman, kita dapatkan adanya beberapa kelompok suku yang sangat berbeda karena mereka memiliki nama dan bahasa sendiri. Persolan yang di-alami oleh penduduk di kepulauan Maluku Utara, terutama di Halmahera dialami juga oleh Alifuru Seram atau Orang Seram, se-hingga kebanyak orang pedalaman di Pulau Seram kemudian memeluk Agama Kristen ketika Portugis maupun Belanda menempati posisi strategis dan makin kuat dalam percaturan politik di wilayah Maluku

tersebut dibenarkan oleh Imam Mesjid Banda Eli yaitu bapak S. Jokosalamon bahwa gelar Imam Banda yang menyiarkan Agama Islam di Seram Timur bernama Budiman Jokosalamon. Imam Budiman Jokosalamon datang ke Pulau Geser di Seram Timur sekitar tahun 1621 atau permulaan abad XVII ketika Pulau Banda mengalami musibah bencana alam gunung berapi yang menyebab tsunami. Pada saat itu orang-orang di sekitar Seram Timur mulai menganut Agama Islam karena misi pengajaran Agama Islam oleh Imam Banda.

Page 96: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

366

pada masa lampau. Penduduk asli Pulau Seram yang mendiami ka-wasan Pulau Seram Bagian Utara dan Seram Bagian Timur adalah mayoritas pemeluk Agama Islam, karena wilayah ini pada masa lampau berada di bawah pengaruh kekuasaan Ternate dan Tidore. Hal ini berarti bahwa Agama Islam berkembang di wilayah ini lebih dahulu dari masuknya bangsa Portugis dan Belanda ke wilayah Maluku, dan pengaruhnya tidak tidak kuat karena kedudukan wilayah tersebut bukan menjadi lalu lintas perdagangan rempah-rempah yang penting pada saat itu.

Selain itu juga dikemukakan oleh Piris (dalam Yatim, 1993 : 199-200) orang masuk Islam di Maluku kiran-kira tahun 1460-1465 M. Hal ini sejalan dengan berita Antonio Galvao. Orang-orang Islam datang ke Maluku tidak menghadapi kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami perpecahan sebagaimana halnya di Jawa. Mereka datang dan me-nyebarkan Agama Islam melalui perdagangan, dakwah, dan per-kawinan. Studi yang dilakukan tentang perkembangan Islam di Seram Utara dan Seram Timur yaitu kedatangan Orang-Orang Arab dari Hadra Maut (Irak-Bagdad) di Timur Tengah ke Wahai melalui jalur selatan. Mereka datang dengan kapal Iskandar Sukarnain sekitar per-mulaan abad ke XVI atau 1516. Kapal Iskandar Zukarnain yang mem-bawa Orang-Orang Hadra Maut singgah pertama kali di Malaka, singgah kedua kali di Labuang Raja yang terdapat di Nusaniwe-Pulau Ambon, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Jazirah Huamual di Seram Barat dan mengambil arah ke wilayah Seram Utara. Kapal Iskandar Zulkarnain menghadapi gelombang laut yang besar sehingga karam pada tempat bernama Marau Kusi Mara (pandangan dari gunung ke laut biru) yaitu sekitar Seram Utara. Tempat ini pada masa sekarang disebut oleh penduduk Seram Utara dengan nama Hatusupu yang artinya batu putih, atau juga disbeut Hatui. Orang-Orang Hadra Maut ditolong oleh Orang Marawali Itu atau Marawali Hitu dan diberikan tempat tinggal sementara di sekitar Marau Kusi Mara. Mereka mendiami tempat tersebut tidak lama, kemudian berpindah ke lokasi permukiman baru di sekitar wilayah Wahai sekarang. Tempat pertama di sekitar Wahai sebagai lokasi pemberian Orang Marawali Itu atau Marawali Hitu yaitu bernama Wahairama. Daerah sekitar wilayah

Page 97: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

367

Wahairama ini terdapat suatu teluk yang dijadikan sebagai pelabuhan laut, yang diberi nama Pelabuhan Hatilen (labuang Hatilen). Tempat kediaman dari keturunan Orang-Orang Hadra Maut di Wahai-Seram Utara pada masa lampau sampai saat ini dinamakan ”Kampung Arab”.

Kedatanagn Orang-Orang Hadra Maut untuk menyiarkan ajaran Agama Islam ke wilayah timur dan sekaligus berdagang. Dalam kapal Iskandar Zulkarnain terdapat dua kelompok yaitu kelompok Rolatu (kelompok raja) dan Rupesi (kelompok rakyat jelata). Alifuru Seram yang menolong Orang-Orang Hadra Maut adalah mereka yang turun dari Nunusaku dan menyebut diri sebagai Orang-Orang Marawali Itu atau Marawali Hitu yaitu terdiri dari tujuh mata-rumah. Dalam per-kembangan berikutnya yaitu terjadi perkawinan campur antara pen-duduk yang datang dari Hadra Maut dengan penduduk asli, kemudian penduduk pendatang yang telah menganut Agama Islam lebih ber-peran sebagai Imam Masjid yang mengajarkan Agama Islam, kemudian oleh masyarakat setempat diangkat menjadi Raja yang berkuasa di Wahai-Seram Utara. Raja pertama di daerah ini adalah Junus Makatita, dan saudara kandungnya yang bernama Najirun Makatita ditugaskan oleh Raja sebagai Imam Masjid di Negeri Salemang dan Sawai, se-dangkan dan Zura Makatita berpindah ke Waegeo di Kepulauan Raja Ampat dan menjadi Imam Masjid di sana.

Perkembangan ini terus berlangsung sampai kedatanagn bangsa-bangsa Eropa (Portugis dan Belanda) di Maluku. Najirun Makatita ber-tugas sebagai Imam besar untuk memimpin penganut Agama Islam di Seram Utara sehingga pengaruhnya cukup kuat, kemudian ditunjuk oleh Raja Junus Makatita agar Najirun Makatita menjadi raja di Negeri Saleman dan Sawai dan dilantik oleh Raja Junus Makatita. Pada saat itu masyarakat di Negeri Saleman dan Sawai masih mendiami wilayah pegunungan. Saudara kandung lainnya dari Raja Junus Makatita yaitu Zura Makatita, karena tidak senang dengan kehadirian Tansi Militer Belanda di Seram Utara, kemudian memilih untuk berpindah ke Waegeo di Pulau Misol sekitar wilayah Kepulauan Raja Ampat. Sebagai seorang imam yang menyiarkan Agama Islam di daerah ini, Sura Makatita mempunyai pengaruhnya sangat besar. Perkembangan se-

Page 98: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

368

lanjutnya sesuai dengan kesepakatan bersama dari warga, maka Sura Makatita diangkat menjadi raja untuk memimpin masyarakat di daerah tersebut.

Berdasarkan informasi yang diperoeh mengenai penyebaran Islam ke wilayah Maluku, dan khususnya di Pulau Seram Bagian Utara sampai sebagian wilayah Seram Bagian Timur yang secara geografis letaknya berdekatan, dapat dikemukakan bahwa: (1) Islam masuk ke Maluku sebagai ajaran melalui jalur selatan. Peristiwa ini telah ber-langsung jauh sebelum abad XIV M; (2) Islam masuk ke Maluku se-bagai institusi yaitu sekitar pertengahan abad XV di mana Kerajaan Ternate dan Tidore makin exit menanamkan pengaruh kekuasaan untuk menguasai wilayah suku dan agama, serta merebut dan me-ngamankan jalur laut yang strategis dalam perdagangan rempah-rempah (cengkih dan pala) di Maluku. Komuditi tersebut sangat ter-kenal dan dibutuhkan oleh bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika pada zaman tersebut sebelum ditemukakannya listrik.

Pembahasan tentang persoalan hidup yang dihadapi Orang Bati yang selama ini dianggap mitos, tetapi terdapat kenyataan bahwa dewasa ini Orang Bati ada yang menganut Agama Islam. Berarti Orang Bati itu adalah manusia maupun sukubangsa dan Orang Bati bukan orang ilang-ilang (hilang-hilang) seperti stigma orang luar (Orang Maluku) pada mereka selama ini. Menguatnya stigma dari sebagian besar Orang Maluku terhadap Orang Bati menyebabkan kehidupan mereka menjadi terabaikan oleh masyarakat maupun pemerintah (negara) dalam memberikan pengakuan serta pelayanan untuk me-ngatasi masalah kemanusiaan yang dialaminya. Stigma ini telah me-nimbulkan pertentangan di kalangan Orang Maluku sendiri mengenai eksistensi Orang Bati yaitu; (1) Orang Bati itu ada dan Orang Bati tidak ada dalam kenyataan; (2) Orang Bati memiliki lokasi kediaman (per-kampungan) dan Orang Bati tidak memiliki lokasi kediaman (per-kampungan); (3) Orang Bati dapat ditemui maupun Orang Bati tidak dapat ditemui, dan sebagainya.

Akibat menguatnya stigma (anggapan negatif) terhadap Orang Bati sehingga dimata orang luar mereka dianggap tidak ada sehingga

Page 99: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

369

sampai saat ini Orang Bati tidak memperoleh pengakuan dari masyarakat maupun institusi terkait. Kondisi yang dialami Orang Bati akibat stigma, isolasi geografi, keterbatasan infrastruktur perhubungan darat dan laut, komunikasi, dan lainnya sehingga mereka berusaha untuk bertahan hidup (survive) dengan cara-cara hidup sendiri. Cara hidup tersebut berkaitan dengan kebudayaan Orang Bati sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu) di Pulau Seram. Kondisi seperti ini oleh Paul Kennedy (dalam Suckhurgbh, 2008: 9) bahwa strategi ber-tahan hidup (survival strategy) untuk melawan penyakit, kelaparan, bencana alam, dan perubahan iklim adalah suatu contoh bahwa me-lalui tiga strategi yang berada di hati mereka ternyata secara bijaksana mampu bertahan hidup (survive). Orang Bati adalah komunitas yang berusaha untuk bertahan hidup atau survive dalam stigma.

Orang Bati berusaha untuk survive dalam stigma karena mereka bermaksud untuk menjaga dan melindungi seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, bahasa, budaya, dan lainnya. Fenomena Orang Bati karena belum ada pe-ngakuan masyarakat dan tidak ada bantuan negara. Tampak bahwa semua dusun atau kampung (wanuya) yang terdapat disekitar pe-gunungan dan lereng bukit mengalami keterbelakangan dalam ber-bagai aspek kehidupan. Wilayah ini jarang dikunjungi oleh petugas pemerintah sehingga mereka tidak mengetahui kondisi Orang Bati yang sesungguhnya. Dalam kondisi terabaikan, tetapi Orang Bati me-miliki kekuatan untuk bertahan hidup (survive) yang berada di balik Esuriun Orang Bati. Strategi bertahan hidup (survive) seperti ini belum dijumpai pada suku lainnya di Pulau Seram maupun Kepulauan Maluku.

Studi yang dilakukan para ahli tentang survival strategy pada manusia, masyarakat, sukubangsa, negara dan lainnya cukup banyak seperti Emily Shuckburgh (2008) tentang Survival of the human race; Paul Kenedy (2008) Survival of empires; Edit Hall (2008) Survival of culture; Peter Austin (2008) Survival of language; Richard Hard dan Olivor Sabot (2008) Surviving disense; James Jackson (2008) Surviving natural disasters ; Andrew Prentice (2008) Surviving famine; Chyntia

Page 100: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

370

Kenyon dan Claire Cockcroft (2008) Surviving longer; Diana Liverman (2008) Survival into the future; Anamitra Anurag Danda (2007) Surviving in the Sundarbans : Threts and Responses, An analytical desciption of life in an Indian riparing commons.

Melalui studi ini dapat dikemukakan bahwa Orang Bati adalah tipe manusia atau orang yang memiliki kekuatan untuk melakukan usaha bertahan hidup (survive). Tipe Orang Bati melakukan usaha ber-tahan hidup (survive) berbeda dengan studi yang dilakukan para ahli tentang survival strategy. Untuk itu dapat dikemukakan bahwa survive dalam stigama (anggapan negatif) adalah tepat pada Orang Bati. Survival strategy pada fenomena Orang Bati di Maluku sehingga ke-beradaan mereka tidak diketahui orang luar adalah cakap. Makna survive dalam stigma karena cakap pada Orang Bati merupakan pe-ngetahuan lokal (local knowledge) yang dimiliki leluhur Orang Bati, kemudian secara turun-temurun dipelajari oleh generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati.

Persoalan lain yang penting untuk dikemukakan melalui studi ini yaitu terjadi kesalahan interpertasi dari orang luar (Orang Maluku) mengenai penggunaan konsep “Bati”, yang dicampuradukan dengan konsep “Batti” ketika berlangsungnya interaksi sosial. Bati memiliki makna yaitu manusia berhati berih, sedangkan “Batti” adalah salah satu dari sistem religi Alifuru Seram. Dunia Orang Bati adalah nyata, se-dangkan dunia “Batti” sampai saat ini masih diliputi dengan misteri karena hal ini hanya dapat dipahami oleh orang tertentu yang masih kuat memegang sistem religi (kepercayaan) asli pada roh para leluhur sesuai tradisi Alifuru Seram.

Berbagai contoh kasus yang dialami oleh sebagian besar Orang Maluku seperti kehilangan anak kecil, orang perempuan, dan lainnya kemudian menyebut pelakunya adalah Orang Bati adalah salah. Sebab di dalam kehidupan nyata Orang Bati sendiri, fenomena seperti ini juga dialami oleh mereka yang mendiami Tana (Tanah) Bati di Pulau Seram Bagian Timur. Namun Orang Bati percaya bahwa hal ini sudah menjadi takdir pada setiap orang yang mengalami nasib seperti itu karena orang

Page 101: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

371

yang bersangkutan diinginkan oleh leluhur Alifuru Seram sehingga orang yang diambil secara diam-diam tanpa diketahui orang lain adalah realita umum yang sampai saat ini menjadi fenomena misteri dalam kehidupan Orang Maluku.

Akibat menguatnya stigma pada Orang Bati, sehingga ada kejadi seperti ini Orang Maluku senantiasa menuduh Orang Bati. Selama ini Orang Bati tidak pernah memberikan tanggapan balik apabila mereka mendengar secara langsung informasi yang disampaikan orang luar berkaitan dengan nama Bati. Untuk itu yang terpenting adalah me-mahami secara benar antara makna dari konsep “Bati” dan konsep “Batti” tersebut sehingga terjadi permasalahan baik anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku tidak saling menyalahkan, menuduh, fitnah, dan sebagainya kemudian membuat rekayasa ceritera atau pe-nuturan yang sama sekali jauh dari kebenaran dan bertentangan de-ngan realita apa adanya.

Sebab yang tampak sampai saat ini dalam interaksi sosial di kalangan Orang Maluku yaitu rekayasa ceritera atau penuturan me-ngenai Orang Bati sesuai dengan apa maunya penutur. Kedua konsep tersebut (Bati dan Batti) benar-benar mengalami pengkaburan dalam kehidupan Orang Maluku sehingga akibat paling nyata sampai saat ini yaitu Orang Bati sebagai manusia yang identitasnya sama dengan Orang Maluku mengalami nasib terabaikan karena dianggap sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia misteri, dan berbagai stigma (anggapan negatif) lainnya yang ditujukan pada Orang Bati.

Dalam menghadapi persoalan tersebut, Orang Bati sebagai Orang Maluku yang mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur senantiasa memilih untuk diam dan tidak pernah memberikan tanggapan balik apabila mereka mendengar orang luar berceritera atau menutur ten-tang masalah tersebut. Orang Bati beranggapan bahwa memberikan respons balik dapat menimbulkan persoalan baru yang jauh lebih krusial. Untuk itu Orang Bati senantiasa memilih diam. Cara yang di-lakukan Orang Bati selama ini oleh peneliti dikategorikan sebagai

Page 102: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

372

strategi bertahan hidup (survive) yang cakap dalam menghadapi stigma (anggapan negatif), itulah Orang Bati (Mancia Batu) yang menyatu me-lalui Esuriun Orang Bati untuk pengembangan masyarakat karena ke-arifan lokal yang dimiliki untuk membangun diri, kelompok, dan ko-munitas dapat dijadikan sebagai contoh untuk pemberdayaan masya-rakat lokal yang memiliki fungsi dan peran dari institusi untuk me-numbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Esuriun Orang Bati untuk Pengembangan Masyarakat

Gum Mae Tawotu Tana Wanuwe (kumpul bersama membangun manusia dan kampung) adalah falsafah hidup Orang Bati yang di-gunakan selama ini digunakan untuk membangun diri dan komunitas. Pengembangan masyarakat maupun pembangunan masyarakat me-miliki makna yang identik. Menurut Rakhmat dalam Huraerah (2011 : 11-12) sebetulnya perkara yang paling banyak kita rencanakan dan kita bicarakan adalah pembangunan (development). Development adalah proses sosial yang direncanakan atau direkayasa. Development adalah sebuah kata yang intinya merupakan perubahan sosial yang di-rencanakan atau sejenis rekayasa sosial. Rekayasa sosial model pem-bangunan ini memang terjadi besar-besaran di negara-negara Dunia Ketiga setelah tahun 1970-an.

Oleh Budiman dalam Huraerah (2011 : 12) di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masya-rakat dan warganya. Dalam konteks bahasa Inggris, kata pem-bangunan selaras dengan kata development yang berasal dari kata kerja to develop yang artinya menumbuhkan, mengembangkan, meningkat-kan atau mengubah secara bertahan (to change gradualy). Dengan demikian pembangunan dapat diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara te-rencana dan berkesinambungan (Conyers dan Hils dalam Huraerah, 2011 : 12).

Salah satu persoalan yang tergolong krusial dalam melaksanakan pembangunan yaitu penggunaan pendekatan. Beberapa pendekatan

Page 103: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

373

pembangunan yang digunakan selama ini di Indonesia menurut Huraerah (2011 : 13-20) antara lain pendekatan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada laju pertumbuhan GNP (Gross National Product) per kapita yang cepat, pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yang banyak menarik perhatian, pembangunan ber-kelanjutan yang lahir dari sebuah proses evolusi di mana lingkungan hidup global menjadi isu pembangunan berkelanjutan, pendekatan pembangunan sosial yang tidak terkait dengan individu, baik dalam bentuk pemberian bantuan dan pelayanan, penyembuhan ataupun rehabilitasi, melainkan memfokuskan pada komunitas atau masyarakat serta pada proses dan struktur sosial secara luas.

Dalam kenyataannya, masih terdapat berbagai masalah sosial yang muncul dalam masyarakat berkaitan dengan penggunaan pen-dekatan pembangunan yang dilakukan selama ini belum melihat pada aspek geopolitik di mana setiap negara yang terdiri dari wilayah ke-pulauan mempunyai kebutuhan berbeda-beda. Masyarakat lokal yang mendiami wilayah kepulauan (pulau-pulau kecil) memiliki potensi dan kendala berbeda-beda ketika berhadapan dengan masalah pem-bangunan. Pengaruh kondisi struktur sosial merupakan persoalan yang tidak dapat diabaikan apabila melaksanakan pembangunan, dan selain itu juga fungsi dan peran dari institusi lokal menjadi penting karena selama ini masyarakat telah menggunakannya untuk membangun diri dan komunitas. Misalnya kasus Orang Bati di Maluku yang selama ini jauh dari sentuhan pembangunan tetapi mereka bisa bertahan hidup melalui cara memberdayakan institusi lokal yang dinamakan Esuriun Orang Bati.

Pengembangan yang berbasis kekuatan masyarakat lokal merupakan dapat dipandangan sebagai paradigma baru ketika imple-mentasi program pembangunan mulai mengalami benturan, hambatan, maupun kegagalan suatu program pembangunan yang mengabaikan kekuatan yang dimiliki masyarakat lokal. Usaha pembangunan melalui cara pembentukan institusi baru yang tidak adaptif telah mengabaikan potensi lokal karena tempat di mana masyarakat lokal bisa bertahan menjadi rapuh. Fenomena yang sementara ini dialami Orang Bati

Page 104: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

374

dalam membangun yang senantiasa berusaha membiayai diri sendiri dan komunitas adalah contoh yang baik di mana mata-rantai roina kakal menjadi simpul integrasi yang solid.

Melalui ikatan-ikatan sosial yang kuat telah memberikan semangat (spirit) untuk menjadikan pembangunan bukan suatu ke-inginan tetapi merupakan suatu kebutuhan. Sebagai rujukan yang dapat disampaikan melalui studi ini kepada pemerintah dan pemerintah daerah yaitu usaha membangun berdasarkan kekuatan institusi lokal dapat memberikan dorongan kuat yang berasal dari bawah di mana basis nilai tolong-menolong (bobaiti) berupa tenaga ganti tenaga yang terdapat di Tana (Tanah) Bati maupun masohi (kerja sama) tenaga dapat diganti dengan uang untuk me-lakukan suatu pekerjaan dalam hidup keseharian agar dapat bertahan hidup (survive). Tolong-menolong (bobaiti) yang berbasis nilai roina kakal di-jadikan sebagai faktor pengimban untuk mencegah kondisi dis-integrasi yang disebabkan karena pembangunan tidak dilakukan secara adil dan merata untuk semua kawasan, dan masyarakat. Untuk itu usaha pem-bangunan melalui cara memperkuat infra struktur perhubungan, transportasi, dan komunikasi di kawasan Pulau Seram Bagian Timur dan wilayah Kepulauan Maluku dapat mengatasi keterisolasi dan keterasingan masyarakat dan wilayah sehingga memberikan akses yang lebih besar kepada setiap individu, kelompok, mau-pun komunitas untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Sebab Pulau Seram dimaknai sebagai Nusa Ina (Pulau Ibu) oleh Orang Seram maupun Orang Maluku menyimpan berbagai rahasia yang belum diketahui secara benar. Sebagian besar Orang Maluku ber-anggapan bahwa tempat asal anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dari Pulau Seram. Membangun Maluku tanpa membangun Seram maka pembangunan tidak ada artinya. Orang Bati sebagai Orang Seram menyebutkan bahwa Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) me-rupakan tempat asal Ale deng Beta (ka tua aku) atau kamu dan saya. Nusa Ina (Pulau Ibu) telah memunculkan Seram karena peristiwa alam yang dasyat, sehingga saat ini Ale dengan Beta atau kamu dengan saya (ka tua aku) tinggal sama-sama di tengah talaga (laut yang luas) agar

Page 105: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

375

datang bobaiti untuk membangun Tanah Maluku yang lebih maju. Orang Bati sebagai penjaga Pulau Seram menyebutkan bahwa dari Dofa-Manggaian dapat lia (lihat) dorang (kalian) semua yang ada tinggal di tengah talaga (danau). Maknanya yaitu, Maluku adalah wilayah kepulauan yang luas. Kita semua ini berdiam di kampung halaman yang dikelilingi oleh laut yang luas. Keyakinan tersebut diungkapkan Orang Bati pada peneliti sejak 15 Agustus 2008 ketika pertama kali memasuki wilayah Tana (Tanah) Bati yang sakral melalui bahasa lokal yaitu Tana Eya Naforu Tata Anak Alifuru Si Damul (Nusa Ina panggil pulang anak cucu Alifuru) untuk datang membangun Tanah Seram di Maluku. Makna lebih dalam dari ungkapan dimaksud yaitu, Orang Bati dan Seram selalu dipandang sebelah mata. Tetapi sejarah kehidupan Orang Maluku berawal dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Membangun Maluku tanpa membangun Seram sama sekali tidak ada artinya. Membangun Seram harus dilakukan dengan hati yang bersih (Bati) kalau tidak keturunanmu tidak akan diampungi. Leluhur Alifuru Seram tidak pernah mati (meninggal), dan setiap waktu mereka selalu mengamati gerak-gerik siapa saja ketika me-masuki Pulau Seram sebagai “Pulau Suci Berkelimpahan” (Nusa Hula Wano).

Secara umum dinamika pembangunan yang berlangsung dalam kehidupan suku-suku di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), ter-masuk Orang Bati atau Suku Bati termasuk sangat lambat. Kebanyak-an dari suku-suku yang mendiami wilayah pegunungan, lereng bukit, maupun lembah atau orang-orang pedalaman mengalami nasib yang terabaikan dari perhatian dan pembangunan. Tetapi keyakinan kuat dari Orang Bati bahwa dalam jangka waktu yang tidak lama akan ter-jadi perubahan besar di Pulau Seram. Saat atau katika itu akan datang dengan sendirinya. Dinamika pembangunan di Maluku, khususnya di Pulau Seram sampai saat ini dapat dikemukakan bahwa, secara sosio-logis kehidupan manusia secara individu, kelompok, komunitas, masyarakat, maupun bangsa tidak ada yang permanen, kecuali pe-rubahan. Untuk itu perubahan yang direncanakan perlu diarahkan pada pencapaian kemajuan (progres), dan menghindari seminimal mungkin akibat yang timbul sehingga terjadi kemunduran (regres).

Page 106: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

376

Membangun manusia maupun masyarakat di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) butuh kearifan dan nurani yang bersih dari berbagai pihak terkait.

Falsafah membangun di kalangan Orang Bati yaitu Gumu Mae Tawotu Tana Wanuwea (kumpul bersama membangun kampung atau negeri) memiliki kekuatan integreted untuk menggagas pembangunan yang berasal dari bawah, dan bukan pembangunan dari atas seperti mo-bilisasi kekuatan yang dilakukan selama ini. Paradigma membangun dari bawah memiliki makna partisipatif yang jauh lebih ampuh karena terdapat spirit, kerelaan, dan lainnya pada mata-rantai kekerabatan maupun kelompok yang terbeban rasa malu terhadap kerabat maupun kelompok lainnya apabila program pembangunan yang dipercayakan mengalami hambatan atau benturan. Sebenarnya hulu sekaligus muara untuk melakukan pembangunan berbasis lokal pada Orang Seram maupun Orang Maluku ada pada mata-rantai kekerabatan yang di-namakan rumahtau (lumatau), soa, hena, Aman, dan uli atau uri , dan pata.

Namun kekuatan lokal yang tercermin dalam lembaga-lembaga sosial terabaikan sama sekali ketika gagasan tentang pembangunan ber-basis lokal dicanangkan maupun dilaksanakan. Lembaga-lembaga sosial yang berbasis lokal tergeser dan digantikan dengan lembaga-lembaga baru yang tidak adaptif. Lembaga seperti di atas dapat dijumpai dalam struktur sosial Orang Maluku. Pada di lingkungan Orang Bati lembaga sosial pada tataran lokal tersebut masih tetap solid, dan selama ini mereka gunakan untuk membangun sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing, berdasarkan orientasi nilai yang telah diwariskan oleh leluhur mereka sebagai manusia penghuni hutan dan gunung.

Untuk merubah paradigma tentang orientasi nilai tersebut mem-butuhkan waktu yang sangat lama, tidak semudah membalik telapak tangan. Pengetahuan dasar seperti ini belum dimiliki oleh pengambil kebijakan pada tingkat pusat maupun daerah sehingga terdapat kesan kuat bahwa usaha pembangunan yang dilakukan selama ini lebih ber-sifat sporadis, sehingga kenyataan bahwa yang penting hal itu di-laksanakan lebih dahulu, dan hasil yang diperoleh seperti apa menjadi

Page 107: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

377

urusan dari belakang. Banyak contoh menunjukkan bahwa pem-bangunan yang mengabaikan kearifan masyarakat lokal, keseimbang-an lingkungan, dan tidak bermakna berkelanjutan (sustainable) telah menimbulkan benturan, bahkan terjadi kegagalan di masyarakat, ke-mudian saling menyalahkan sehingga menimbulkan pertentangan (conflict) yang menjurus pada kekerasan (violence). Untuk itu program pengembangan masyarakat lokal ke depan perlu memperhatikan ke-arifan lokal karena lingkungan masyarakat adat yang kuat mem-pertahankan tradisi, adat, budaya, dan lainnya seperti Orang Bati atau Suku Bati di Maluku mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah (negara) dan masyarakat secara serius untuk mengatasi persoalan kemanusiaan yang selama ini mereka alami, karena mereka sadar akan kewajibannya tehadap negara dan mengakui diri sebagai warga negara Indonesia sehingga jangan mengabaikan ke-hidupan Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa.

Sebenarnya Orang Bati tidak merasa senang apabila ada petugas pemerintah yang berkunjung di dusun atau perkampungan (wanuya) mereka. Selain itu juga pemimpin mereka yang berada di negeri atau desa (Pemerintah Negeri atau Desa), Pemerintah Kecamatan, maupun Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah sebelum pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur, tidak peduli untuk memajukan mereka melalui pembangunan. Contoh nyata bahwa, lingkungan sosial menjadi ter-lantar. Kasus seperti ini, Purba (2005: 20-28) yaitu dalam rangka pe-ngelolaan lingkungan sosial sesuai konsep pembangunan berkelanjut-an, maka titik berat perhatian adalah pada kesinambungan dari interaksi-interaksi di dalam lingkungan sosial itu sendiri dan dengan lingkungan yang lain. Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidaknya terdapat enam komponen yang perlu di-perhatikan adalah pengelompokan sosial (social grouping), media sosial (social media), pranata sosial (social institution), pengendalian sosial (social control), penataan sosial (social alignment), dan kebutuhan sosial (social needs).

Kemandirian Orang Bati dalam pengembangan masyarakat pada tingkat paling dasar adalah usaha menjaga dan melindungi diri, ke-

Page 108: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

378

lompok, dan komunitas sesuai hakikat Esuriun Orang Bati mampu ber-tahan hidup dalam kondisi yang sederhana. Potret nyata mengenai rumah kediaman Orang Bati yaitu terbuat dari tiang dari jenis kayu fakula. Dinding rumah terbuat dari pelepah sagu (kuata), papan (vavana), dan ada juga dinding rumah dari batu (waita) dan kapur (afula). Atap rumah dari daun sagu atau rumbia (balema), dan berlantai tanah maupun papan. Pada umumnya rumah tempat kediaman Orang Bati di pegunungan dan lereng bukit yaitu terdiri dari jenis rumah gantung (luma loiloya) yang berlantai papan (vavana), berlantai bambu (karawatu fangan), kulit pohon sagu (balila), maupun batang pohon pinang (buak). Rumah yang dibangun Orang Bati bersumber dari biayai sendiri. Ada juga rumah Orang Bati yang berlantai tanah (luma waita).

Berdasarkan analisis temuan penelitian tentang Esuriun Orang Bati sebagai kisah nyata Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menempati etar (wilayah kekuasaan milik marga) maupun wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati sebagai ruang hidup dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi seluruh hak miliki untuk bertahan hidup (property protection for suvival strategy). Hak milik berharga (bernilai) antara lain manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, dan lain-nya. Strategi Esuriun Orang Bati dengan menempatkan manusia se-bagai pagar (sirerun) di mana terdapat manusia yang berbicara dalam bahasa yang sama berarti itu merupakan batas wilayah kekuasaan atau ruang hidup yang patut dijaga dan dilindungi (mabangat nai tua malindung).

Ketika Esuriun Orang Bati dilakukan secara bersama dan se-rentak, berarti Orang Bati secara sengaja telah menciptakan dan mem-bangun rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) yang kokoh, kuat, ulet atau berketahanan (resilience) untuk mewujudkan survival strategy jangka panjang bagi keturunan mereka agar tidak punah dalam menghadapi tekanan (presure) dari dalam maupun dari luar. Kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) yang dimaknai sebagai kelangsungan

Page 109: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

379

hidup yang cakap (survival strategy) karena Orang Bati melakukannya secara damai, tidak menimbulkan pertentangan (conflict) maupun ke-kerasan (violence) terhadap orang lain. Orang Bati adalah manusia, sukubangsa, dan termasuk indigenous peoples (masyarakat adat) yang perlu mendapatkan pengakuan masyarakat dan pemerintah (nagara) untuk mengatasi persoalan kemanusiaan yang dialami.

Strategi cakap yang dilakukan Orang Bati untuk menguasai ruang hidup (watas nakuasa) telah menjadikan adat esuriun sebagai benteng tanpa tembok yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) sehingga tidak memberi ruang pada orang luar melakukan eksploitasi sumber daya secara leluasa. Lembaga adat Esuriun Orang Bati telah berfungsi dan berperan untuk mengintegrasikan kekuatan, dan menciptakan ke-tahanan pangan dan kedaulatan pangan, menjadi modal sosial yang solid dalam kelompok dan komunitas untuk mengatasi tekanan (presure) akibat alam yang tidak ramah, isolasi, stigma, dan lainnya melalui cara sakralisasi nama Bati dan wilayah bernyawa untuk me-wujudkan kelangsungan hidup jangka panjang (survival stratey) dalam membangun diri dan komunitas (Gumu Mae Tawotu Tana Wanuwea).

Kisah Esuriun Orang Bati yang dimaknai sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) melalui cara menjaga dan me-lindungi (protection) atau mbangat nai tua malindung terhadap semua hak milik (property) agar kelangsungan hidup anak cucu pewaris tradisi, adat, dan kebudayaan Bati tidak punah dalam lingkungan mereka sendiri. Esuriun Orang Bati diawali dengan konsolidasi inter-nal, kemudian Orang Bati berusaha mengorganisir diri (individu), ke-rabat, kelompok, maupun komunitas secara baik di atas berbagai kepentingan untuk mewujudkan kelangsungan hidup jangka panjang.

Basis nilai budaya yang mengakar dalam Esuriun Orang Bati telah melahirkan pengetahuan, jaringan, kepercayaan, pembentukan perilaku, dan norma dijadikan sebagai modal kultural untuk bertahan hidup (survive) melalui mekanisme arif dalam mengelola wilayah tanggalesu (tempat menyimpan makanan secara alami) yang tedapat dalam hutan (esu) milik marga (etar), maupun dalam wilayah kekuasa-an (watas nakuasa) Orang Bati sebagai teritorial genealogis atau wi-

Page 110: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

380

layah roina kakal guna memenuhi kebutuhan hidup jangka panjang (survive) yang dimaknai sebagai strategi untuk menciptakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan pada lingkungan Orang Bati agar mereka dapat bertahan hidup (survive) melalui pengelolaan wilayah hutan yang dinamakan tanggalasu. Strategi bertahan hidup (survive) Orang Bati ampuh menghadapi fenomena isolasi akibat alam yang tidak ramah, tidak ada bantuan negara, dan survive dalam stigma me-lalui cara menyembunyikan identitas (hidden identity) ketika ber-interaksi merupakan pengetahuan lokal yang dipelajari dari leluhur untuk menghadapi orang luar.

Esuriun Orang Bati merupakan modal sosial yang solid dalm komunitas karena terdapat relasi saling percaya, jaringan sosial yang mapan, norma yang berperan mengatur kehidupan sosial dalam ko-munitas Orang Bati sebagai orang satu asal maupun roina kakal. Modal sosial di atas telah digunakan Orang Bati untuk melakukan migrasi ke luar wilayah, tetapi eksistensi mereka tidak diketahui orang lain. Kesakralan nama Bati dan wilayah bernyawa, ternyata telah mem-perkuat identitas Bati maupun nama Bati yang digunakan sebagai politik identitas dan sekaligus implementasi strategi untuk menjaga dan melindungi ruang hidup agar orang luar tidak dapat masuk secara leluasa untuk melakukan eksploitasi sumber daya yang terdapat dalam wilayah kekuasaan atau watas nakuasa Orang Bati.

Esuriun Orang Bati sebagai strategi bertahan hidup (survival strategy) yang menguat dari dalam lingkungan kebudayaan Orang Bati membuat sukubangsa Bati memiliki peradaban untuk mengelola sum-ber makanan yang terdapat dalam wilayah mereka guna mewujudkan kedaulatan pangan, ketahanan pangan, memanfaatkan mata rantai pe-masaraan hasil produksi dari hutan berupa tanaman perdagangan seperti cengkih, pala, dan kelapa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kehidupan ekonomi rumah di kalangan Orang Bati tergolong sub-sisten, karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup konsumtif. Menghadapi kondisi sperti ini Orang Bati senantiasa ber-usaha dengan kekuatan sendiri untuk bertahan hidup (survive) dalam menghadapi tekanan fisik, sosial, dan lainnya dan membiaya diri sen-

Page 111: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

381

diri untuk hidup dan membangun. Perspektif ini tidak disangsikan karena Orang Bati telah menjalani hal ini ratusan tahun dalam ka-wasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur yang mengalami kon-disi isolasi geografi, terasing, dan terabaikan dari perhatian dan pe-layanan umum oleh negara dan masyarakat.

Usaha bertahanan hidup (survive) pada Orang Bati melalui bekal kearifan lokal (local wisdom) yang dipelajari dari leluhur mereka be-rupa pengetahuan lokal (local knowledge) untuk mengelola, me-manfaat wilayah hutan yang dinamakan tanggalasu sebagai teritorial genealogis atau wilayah roina kakal, maka di situlah keturunan Orang Bati bertahan hidup (survive) mulai dari kawasan pesisir pantai, hutan, lereng bukit, pengungan, maupun rawa-rawa di mana hutan sagu (yesu kiya) dari setiap marga yang terbaring kaku di kawasan Pulau Seram Bagian Timur. Generasi anak cucu Orang Bati dapat bertahan hidup (survive) dan tidak punah di lingkungan mereka sendiri karena falsafah saling menjaga dan melindungi di antara mereka senantiasa memberi penguatan (spirit) pada individu maupun kelompok, dan komunitas.

Realitas yang dialami seperti ini sehingga peneliti berani mengatakan bahwa eksistensi manusia maupun sukubangsa pada Orang Bati sebagai benteng terakhir Orang-Orang Seram yang sulit ditembusi dari waktu ke waktu melakukan usaha bertahan hidup (survive) dalam menghadapai tekanan (presure). Orang Bati mampu bertahan hidup (survive) dalam stigma (anggapan negatif) adalah salah satu ciri unik dan spesifik untuk mengungkap makna dalam pengembangan teori tentang survival strategy pada manusia. Dalam penelitian ini di-temukan bahwa stigma memiliki dampak negatif tetapi juga positif. Dampak negatif yaitu nasib Orang Bati menjadi terabaikan oleh pemerintah (negara) karena tidak memperoleh pelayanan umum dan pembangunan, tetapi Orang Bati terus survive. Dampak positif yaitu orang luar merasa takut untuk masuk ke wilayah Orang Bati untuk eksploitasi sumber daya. Kekuatan bertahan hidup (survive) dalam stigma pada Orang Bati merupakan modal spiritual yang terdapat dalam diri masing-masing individu dengan sumber nilai yang ada pada pemaknaan Bati yaitu hati manusia yang bersih.

Page 112: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

382

Usaha mengungkap sisi kehidupan Orang Bati yang terabaikan sebagai umat manusia yang mengalami persoalan kemanusiaan cukup krusial sebagai suatu kenyataan, berarti sekaligus mematahkan mitos tentang orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) yang ditujukan pada individu, kelompok, maupun komutitas Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku. Mitos Orang Bati sebagai manusia atau orang ilang-ilang (hilang-hilang) harus diakhir dengan memunculkan kesadaran baru pada orang luar (Orang Maluku) dan lainnya harus menerima Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa yang me-miliki jati diri dan eksistensi sebagai kelompok etnik (ethnic group) di Maluku, Indonesia, maupun dunia karena mereka memenuhi syarat yaitu memiliki teritorial, kebudayaan, peradaban, pemerintah, pe-nganut agama, dan lainnya.

Esuriun Orang Bati: Wujudkan Integrasi Eksistensial Sukubangsa Bati Untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)

Orang Bati adalah manusia maupun sukubangsa yang menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati yaitu anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Alifuru Ina di Pulau Seram. Akibat penuturan mengenai Orang Bati dianggap mitos, serta menguatnya stigma (anggapan negatif) orang luar (Orang Maluku) terhadap Orang Bati sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia terbang-terbang, orang atau manusia jahat, dan sebagainya menyebabkan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun suku-bangsa terus dipertentangkan. Esuriun Orang Bati merupakan strategi untuk mewujudkan integrasi eksistensial Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa di Seram-Maluku.

Anggapan umum yang negatif atau Stigma dari orang luar (Orang Maluku) maupun titos Orang Bati harus diakhiri karena sesungguhnya tidak sesuai dengan kenyataan. Orang Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa karena mereka memiliki sejarah asal-usul leluhur yang sama dengan suku-suku lainnya di Seram-Maluku yaitu Suku Alifuru. Orang Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun

Page 113: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

383

sukubangsa karena mereka memiliki tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, identitas, teritorial, peradaban, penganut agama, dan lainnya yang identik dengan suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Kenyataan bahwa Orang Bati menjalani kehidupan bermasyarakat sejak ratusan tahun dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur.

Dikatakan bahwa Orang Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa karena berdasarkan teori eksistensi yang menjelaskan tentang manusia sebagai eksistensi yaitu;

Aku sebagai eksistensi adalah aku yang dilihat manusia sejauh dilihat sebagai yang berada di dunia dengan manusia lain. Bagaimana manusia berada? Ia berinteraksi sebagai aku dalam hubungannya dengan orang lain, dalam sebuah komunikasi intersubjektifitas. Dalam komunikasi itu manusia menhayati hidupnya dan mengolah dunia bersama-sama dengan yang lain hingga menjadi “lebenswelt” (dunia yang biasa, pantas didiami). Ternyata ia tidak sednirian, tetapi berada bersama dengan aku-aku yang lain. Inilah “mitwel” atau “ada bersama” dari manusia-manusia. Dalam kehidupan bersama dengan yang lain ternyata aku mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan yang lain lewat bahasa. Yang lain di sini berada dalam hubungan “aku-engkau, aku-ia, dan aku-yang lain. Engkau dalam hubungan aku-engkau adalah aku yang lain. Dalam hubungan aku-ia, ia adalah aku yang berhadapan dengan aku-engkau, sedang dalam hubung-an aku dengan yang lain, yang lain”itu ialah sesuatu yang men-transendir (mengatasi) aku. Yang lain di sini nanti puncaknya adalah ia yang lalu kita sebut sebagai Tuhan” (Sutrisno dan Putranto, 2005 : 360).

Makna teori eksistensi yang digunakan untuk menjelaskan ten-tang eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa karena Orang Bati sesungguhnya ada dalam kenyataan, dan hakikatnya sama seperti manusia maupun sukubangsa lain di Pulau Seram maupun Maluku. Orang Bati sama sekali bukan orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang). Orang Bati mempunyai tradisi, adat-istiadat, bahasa,

Page 114: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

384

kebudayaan, pemimpin, telah menganut agama, memiliki teritorial yang dinamakan watas nakuasa di Pulau Seram Bagian Timur, telah melakukan kontak dan interaksi dengan orang luar, dan sebagainya sehingga eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa tidak diragukan, karena Orang Bati benar-benar ada dalam kenyataan.

Orang Bati mempunyai lembaga adat yang solid dan dinamakan lembaga Esuriun Orang Bati. Wujud nyata dari budaya material yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati adalah cara nyata menegaskan eksistensi kesukubangsaan Bati sebagai manusia maupun sukubangsa terhadap orang luar. Sebab fenomena yang terjadi selama ini dalam ke-hidupan bermasyarakat di Maluku yaitu kesalahan interpretasi ter-hadap konsep Bati dan konsep Batti dalam interaksi sosial di kalangan Orang Maluku sejak masa lampau maupun sampai masa kini dengan menyebut Orang Bati sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang) adalah mitos. Kenyataan bahwa Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur bukan orang ilang-ilang (hilang-hilang) karena telah ditemukan sendiri oleh peneliti.

Tidak perlu diragukan pernyataan ilmiah yang dikemukakan oleh peneliti mengenai eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group) atau kelompok etnik karena Orang Bati mempunyai teritorial yang dinamakan etar dan watas nakuasa sebagai ruang hidup, identitas, adat, kebudayaan, dan sebagainya. Anggapan negatif atau stigma orang luar (Orang Maluku) terhadap Orang Bati sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang jahar, orang atau manusia yang menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya harus dihentikan karena hal ini tidak sesuai dengan kenyataan, dan tidak menyenangkan di hati dan pikiran Orang Bati. Anggapan umum seperti ini dapat mengancam relasi antar etnik yang berciri majemuk. Integrasi yang harmoni dapat tercipta pada lingkungan masyarakat majemuk (plural society) apabila kelompok-kelompok yang berbeda dapat menjaga dan melindungi eksistensi masing-masing, agar tumbuh kesadaran untuk menciptakan keseimbangan dalam sistem sosial. Perspektif empirik untuk memahami makna tentang kondisi manusia, sukubangsa yang berbeda adalah ciri khas asli dan sifatnya alami sejak

Page 115: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

385

awal Penciptaan Alam Semesta dan Manusia oleh Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia. Keragaman (diversity) yang terdapat dalam kehidupan manusia maupun sukubangsa hanya dapat tercipta se-cara harmoni apabila masing-masing individu, kelompok, komunitas, dan sebagainya dapat menjalani hidup untuk saling menjaga, me-lindungi, mengisi, memberi, melengkapai, dan lainnya untuk me-wujudkan tatanan hidup bermasyarakat yang memiliki hakikat hidup dari manusia yang lebih manusiawi (humanis).

Bayangkan saja kalau seluruh manusia di muka bumi ini menjadi petani untuk menghasilkan sagu maupun beras, dan tidak ada nelayan yang mencari dan menyediakan ikan. Kehidupan ini menjadi rumit. Manusia tidak dapat makan sagu, maupun beras (nasi) untuk hidup. Sagu, maupun beras (nasi) harus dilengkapi dengan lainnya sehingga enak dikonsumsi, dan bisa memberikan kekuatan pada manusia untuk hidup. Kesulitan utama yang dihadapi sampai saat ini yaitu manusia tidak arif dalam mengelola keanekaragaman sebagai kekuatan untuk saling menghidupi. Bahkan keragaman dijadikan sebagai penyebab timbulnya pertentangan maupun kekerasan.

Perbedaan harus dipahami dan dimaknai sebagai hukum penciptaan yang awalnya sudah berciri demikian. Segala sesuatu yang berbeda apabila terintegrasi, berarti dapat menghasilkan yang lebih sempurna. Persoalan utamanya terletak pada cara pengelolaan dan sistem yang digunakan. Perbedaan yang terdapat dalam kehidupan manusia ini menjadi rusak karena sistem yang digunakan untuk me-ngelola perbedaan tidak tepat. Belajar pada masyarakat lokal yang sudah lama menggunakan cara arif tersebut untuk mengelola ke-hidupan mereka untuk bertahan hidup (survive) karena hasilnya dapat menciptakan keseimbangan dalam sistem yang telah disepakati ber-sama atau mafakat sinabu dalam terminologi Orang Bati sehingga relasi saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) yang satu terhadap yang lain merupakan mekanisme pengelolaan perbedaan untuk menghasilkan survival strategy pada manusia. Makna sepakat yaitu tunduk, taat, dan setia menjalani komitmen yang telah dicapai se-cara bersama sebagai orang satu asal. Komitmen merupakan tali pe-

Page 116: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

386

ngikat integrasi kultural yang sangat ampuh untuk mewujudkan integrasi eksistensial sebagai Orang Bati.

Untuk itu perlu dikemukan bahwa baik saat ini maupun masa yang akan datang Orang Bati perlu mendapat pembinan secara layak sehingga bentuk kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang berbeda kemudian dapat terintegrasi secara baik merupakan kearifan yang dapat disumbangkan untuk pembinaan ke-hidupan bermasyarakat secara lebih baik. Orang Bati yang telah men-jalani kehidupan bermasyarakat sejak ratusan tahun dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur tetapi sampai masa kini di-persepsikan oleh orang luar (Orang Maluku) sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) merupakan stigma (anggapan negatif). Hal ini mengandung makna bahwa stigma (anggapan negatif) orang luar mengenai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) adalah mitos yang harus diakhiri karena tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam realitasnya Orang Bati bukan orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang). Secara eksistensi, Orang Bati itu ada dalam kenyataan. Orang Bati dapat dijumpai karena kondisi mereka tidak berbeda dari Orang Maluku.

Dewasa ini kehidupan Orang Bati yang sangat teguh memegang adat-istiadat telah menjalani kehidupan bermasyarakat sama seperti Orang Maluku lainnya. Orang Bati memiliki pemimpin formal, me-miliki peradaban, kebudayaan, identitas, teritorial dan lainnya se-hingga dapat dikategorikan sebagai sukubangsa atau kelompok etnik (ethnic group). Kehidupan Orang Bati saat ini merupakan lingkungan masyarakat adat (indigenous people) di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku, maupun Indonesia. Esuriun Orang Bati benar-benar berfungi dan berperan sebagai nilai dasar (basic value) dan terus dilembagakan melalui adat untuk membentengi Orang Bati agar dapat bertahan hidup (survival strategy).

Melalui Esuriun Orang Bati berarti ada upaya nyata untuk menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) pada lingkungan Orang Bati yang memiliki basis nilai ketahanan (resilience) untuk kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang. Strategi

Page 117: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

387

yang dilakukan Orang Bati dalam menciptakan rintangan tidak terkalahkan apabila dianalisis dengan menggunakan teori Parson ber-arti dalah struktur sosial atau subsistem masyarakat yang meng-gambarkan sejumlah fungsi utama mendasari pola pertahanan (sistem budaya dan nilai generalisasi) melalui pencapaian integrasi kultural untuk mengokohkan integrasi eksistensial. Pola pertahanan (nilai-nilai integratif) meliputi bentuk dan proses pemerintahan (adat) yang di-terapkan untuk mecapai tujuan, dan ekonomi diterapkan untuk adaptif dengan basis utama adalah tingkat kecukupan diri yang relatif bagi lingkungan menurut teori Parson, berarti kemampuan untuk mem-perkirakan kondisi masa depan yang baik maupun buruk sebagai akibat perkembangan telah dimiliki Orang Bati.

Mekanisme adat yang ditempuh untuk mewujudkan integrasi keultural karena awalnya yaitu penyatuan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima yang berbeda dalam sistem sosial telah dilakukan melalui seleksi alam berdasarkan pengalaman atau cara-cara hidup sesuai kebudayaan. Proses terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima yang memiliki basis kultural berbeda, kemudian melahirkan kultur baru melalui Esuriun Orang Bati, maka terbentuk identitas “Bati” yang terbedakan dari “Batti” berdasarkan pandangan kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati dan selama ini digunakan untuk bertahan hidup (survive).

Benang merah dari studi ini adalah pencapaian integrasi eksistensial yang diperkuat melalui integrasi kultural. Dapat dikatakan bahwa Orang Bati yang berada dalam wilayah studi ini memiliki eksistensi sebagai “manusia” maupun “sukubangsa” di Seram-Maluku-Indonesia. Temuan penelitian ini memiliki dasar yang kuat untuk me-nyatakan identitas Orang Bati yang awalnya berasal dari kelompok sosial Patasiwa dan Patalima, tetapi melalui Esuriun Orang Bati tampak pada saat ini yaitu kelompok sosial Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai menjadi kesatuan yang erat. Pencapaian integrasi eksistensil yang pada Alifuru Bati atau Orang Bati tidak meninggalkan ciri khas Orang Bati sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu),

Page 118: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

388

merupakan model integrasi eksistensial yang dibangun dari aras bawah karena tidak terdapat unsur paksaan.

Mekanisme yang digunakan Orang Bati untuk mengintegrasikan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) sehingga menyatu atau terintegrasi tanpa unsur paksaan menjadi identitas tunggal dengan sebutan Alifuru Bati atau Orang Bati yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati dimaksudkan untuk menegaskan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa yang memiliki identitas atau jati diri yang harus diakui oleh orang lain. Orang Bati dan dunia mereka saat ini sesungguhnya lahir dan tercipta melalui budaya Esuriun Orang Bati dimaksudkan bahwa Orang Bati menyatakan bahwa ale deng beta atau kamu dengan saya atau “Ka tua Aku” atau “Kita Lotu” adalah sama, yaitu berasal dari keturunan Suku Alifuru di Seram-Maluku. Kamu dan saya (Orang Bati dan Orang Maluku) memiliki asal-usul leluhur yang sama yaitu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram berarti penyangkalan terhadap eksistensi Orang Bati berarti menyangkal terhadap saudara sendiri. Pencapaian integrasi eksistensial pada Orang Bati adalah final karena dikukuhkan melalui adat Esuriun Orang Bati. Keberhasilan yang dicapai Orang Bati untuk mewujudkan integrasi eksistensial tumbuh dari nurani manusia yang bersih atau “Bati” atau “Batti”. Namun perlu disadari bahwa sampai saat ini Orang Bati belum mengetahui cara yang tepat untuk menyampaikan maupun menyata-kan pada orang lain bahwa kami ini adalah manusia maupun suku-bangsa yang memiliki derajad sama dengan manusia maupun suku-bangsa lain di Maluku, maupun Indonesia.

Dalam kenyataannya tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan lain-nya sebagai bentuk kehidupan nyata yang dianut Orang Bati apabila dibandingkan dengan kehidupan Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri adat tertentu, mesti dijumpai ciri khas dari kebudayaan Alifuru Seram. Beberapa aspek kehidupan nyata yang teridentifikasi dan dijumpai secara umum dalam kebudayaan khas suku Alifuru Seram seperti tarian adat cakalele, rumat adat (baileu), sistem pengelompokan sosial Patasiwa dan Patalima, bentuk rumah, sistem bermukim, cara

Page 119: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

389

membuat perahu, bentuk parang, panah, tombak, tempat siri dan pinang, dan lainnya menunjukkan bahwa Ale deng Beta atau Ka Tua Aku atau Kita Lotu yang maknanya yaitu “kamu dan saya” berasal dari satu tempat yaitu Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram, berarti pe-nyangkalan terhadap Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa bermakna sama dengan penyangkalan terhadap “basudara” atau roina kakal sendiri. Untuk itu yang perlu diingatkan peneliti yaitu, akhirilah stigma maupun mitos Orang Bati, karena sesungguhnya Orang Bati itu ada dalam kenyataan.

Basis nilai budaya yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati men-jadi perekat untuk mengkokohkan integrasi eksistensial yang dicapai Orang Bati, kemudian digunakan untuk menata sistem sosial untuk mewujudkan kelangsungan hidup berdasarkan norma-norma dasar yang disepakati bersama melalui adat Esuriun Orang Bati, dan selama ini digunakan sebagai strategi untuk menjaga dan melindungi manusia, hutan, identitas, dan berbagai sumber daya lainnya untuk bertahan hidup (survival strategy) menurut cara-cara hidup sesuai kebudayaan Bati meliputi mitologi, kosmologi, sakralisasi nama Bati, wilayah bernyawa, pengelompokan sosial, pemerintahan, interaksi sosial, mata pencaharian hidup, ketahanan pangan, pengelolaan hutan (esu) terutama hutan sagu (yesu kiya), dan lainnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan survival strategy jangka panjang.

Strategi ini dapat dikategorikan berhasil atau sukses di-lakukan Orang Bati karena pada tahapan awal integrasi kultural dicapai atas dasar kesadaran bersama atau kesadaran kolektif dari kelompok sosial Patasiwa dan Patalima berdasarkan pengalaman hidup yang dijalani oleh kedua kelompok pata tersebut di tempat lain yang selalu hidup bermusuhan karena kepentingan memenuhi tradisi mengayau. Secara teoritis, yang dimaksudkan dengan integrasi kultural dapat dicapai apabila kelompok-kelompok sosial yang berbeda senantiasa memegang kuat komitmen (kesepakatan) yang telah berhasil diciptakan dan di-bangun secara bersama sebagai nilai untuk mewujudkan kelangsungan hidup. Merubah komitmen atau kesepatan itu sama saja dengan me-rubah tujuan hidup ke arah yang tidak jelas. Komitmen Orang Bati

Page 120: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

390

untuk mengkokohkan integrasi kultural yang berbasiskan nilai tentang manusia berhati bersih dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi eksistensial sebagai tujuan akhir dimaksudkan agar orang lain mem-berikan pengakuan bahwa Orang Bati sebenarnya adalah manusia maupun sukubangsa sebagai penganut nilai solidaritas sosial yang kuat ada pada sebagai orang satu asal.

Pencapaian integrasi eksistensial pada Orang Bati dalam teori eksisten manusia yaitu dimaknai sebagai keadaan manusia sebagai kesadaran biasa dikenal sebagai eksistensi, artinya sebuah keadaan yang berkat keasadarannya, manusia mampu melampaui situasi-situasi yang melingkarinya, mampu mengatasi apa yang fakum dan datum lingkup-nya dalam proses yang disebut “transendensi” melampaui pagar-pagar yang membatasi alam yang mengungkungnya (Kaplan, 2005 : 355). Dinamika yang berlangsung dalam kehidupan Orang Bati dalam pen-capaian integrasi eksistensial merupakan pencapaian final sehingga konsep riil mengenai “Bati” adalah “Orang Bati” sebagai manusia maupun sukubangsa memiliki makna yang sangat berbeda dengan “Batti” atau “Manusia Batti” yang memiliki jagat makna sebagai leluhur (Tata Nusu Si). Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa makna dari integrasi eksistensial dapat tercipta apabila individu maupun kelompok yang berbeda-beda saling memahami keberadaan untuk menjalin kehidupan bersama melalui niat, tekad, serta kesadaran bersama dan menemukan jati diri (identitas) untuk saling menjaga dan melindungi eksistensi atau keberadaan.

Pencapai final tertinggi yaitu integrasi eksistensial diwujudkan melalui cara Orang Bati membangun diri, komunitas, dan kampung (wilayah) berdasarkan falsafah Gum Mae Tawotu Tana Wanuwea sehingga generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati tidak me-ngalami kepunahan. Sebenarnya survival strategy yang dilakukan Orang Bati yang mendiami daerah terpencil dan terisolasi tidak di-maksudkan bersifat eksklusif atau memisahkan diri dari keramaian dengan dunia luar, tetapi fenomena ini lebih disebabkan karena me-nguatanya stigma (anggapan negatif) orang luar yang ditujukan pada Orang Bati. Namun dapat dikemukakan bahwa strategi eksklusifitas

Page 121: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan

391

yang secara sengaja dilakukan Orang Bati karena ada kekhawatiran apabila masuknya orang luar dengan niat dan tujuan yang tidak jelas ke wilayah kekuasaan Orang Bati bisa berpotensi mengancam, bahkan sangat mungkin menghancurkan kehidupan Orang Bati secara individu maupun komunitas beserta lingkungannya.

Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) yang dilakukan dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan Orang Bati dimaksudkan agar setiap individu, kelompok, maupun komunitas agar dapat menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (bernilai) meliputi manusia, hutan, gunung, identitas, tradisi, adat-istiadat, budaya dan sumber daya alam lainnya agar tidak mengalami kepunahan karena diserbu orang luar yang memiliki kekuatan lebih besar dan bisa mengancam kelangsungan hidup (survival strategy) Orang Bati pada jangka panjang.

Berdasarkan konsep Ale deng Beta atau Ka Tua Aku atau Kita Lotu atau kamu dengan saya, berarti eksistensi Orang Bati dengan suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku memiliki daerah asal yang sama yaitu Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram adalah anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina. Orang Bati atau Suku Bati sebagai anak cucu keturunan Suku Alifuru atau Alifuru Ina di Seram-Maluku dijuluki sebagai penjaga dan pelindung Pulau Seram, Tana (Tanah) Bati, dan Tanah Maluku yang selama ini tidak dipahami secara benar oleh orang luar (Orang Maluku). Berdasarkan sejarah lisan (oral story) dari Tana (Tanah) Bati diketahui bahwa, pada masa lampau ke luarnya para kapitan dari keturunan Alifuru Seram ke Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Banda, Buru dan lainnya dengan mem-bawa serta simbol parang (peda) dan salawaku (perisai) sebenarnya mempunyai misi untuk menjaga dan melindungi eksistensi anak cucu Alifuru dan Nusa Ina atau Pulau Seram dari serbuan pihak luar.

Walaupun terdapat perbedaan persepsi mengenai ke luarnya Alifuru Seram pada masa lampau dalam bentuk migrasi karena terjadi pergolakan, namun jauh sebelumnya proses ini telah berlangsung sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain ke wilayah Kepulauan Maluku.

Page 122: Bab Sembilan - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/10/D_902008103_BAB IX.pdf · atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan

Esuriun Orang Bati

392

Perspektif dari Tana (Tanah) Bati memiliki versi yang berbeda, tetapi peneliti sangat percaya bahwa ekspedisi kora-kora yang dilakukan oleh Alifuru Seram untuk menjelajahi wilayah perairan di Kepulauan Maluku maupun wilayah lainnya dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi mereka pada orang luar bahwa Seram itu menakutkan maupun menyeramkan adalah strategi mengamankan Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram dan manusianya dari serbuan orang luar.

Jadi pemaknaan Seram yaitu menakutkan dan menyeramkan dapat dipahami sebagai strategi untuk mematahkan moril orang luar yang ingin menguasai Seram dan manusianya. Alifuru Seram ternyata memiliki kearifan dalam berpikir baru bertindak. Apabila mereka menyebut Seram adalah Pulau Suci Berkelimpahan (Nusa Hula Wano), bisa saja wilayah ini telah hancur dan musnah karena dieksploitasi orang luar yang memiliki kekuatan lebih besar pada masa lampau maupun saat ini. Tampak bahwa Seram yang dimaknai sebagai me-nyeramkan dan menakutkan maupun wacana tentang Orang Bati telah menciptakan rasa takut pada orang luar untuk memasuki Pulau Seram. Selain itu juga wacana Orang Bati telah berperan sebagai peredam konflik maupun menciptakan damai apabila terjadi kasus-kasus ter-tentu dalam masyarakat seperti penculikan, pembunuhan terhadap warga tertentu yang tidak diketahui pelaku, dan sebagainya. Apabila terjadi hal seperti ini dan masyarakat menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah perlakuan Orang Bati, maka secara diam-diam isu ter-sebut menjadi reda, bahkan hilang tanpa bekas. Untuk itu integrasi eksistensial yang dicapai Orang Bati memiliki makna yaitu Ale deng Beta atau Ka Tua Aku atau Kita Lotu atau kamu dengan saya memiliki asal-usul leluhur yang sama yaitu Alifuru. Penyangkalan terhadap Orang Bati sebagai Orang Maluku berarti penyangkalan terhadap Alifuru sebagai leluhur. Orang Bati menyebut bahwa so go utana kita abus-abus tako utana, so go suatta kita abus-abus tako suata. Sei balwaitta, ale waitta nabesati. Makna kalimat ini sama dengan bahasa tanah yang digunakan Orang Patasiwa Putih yaitu sei hale hatu, hatu lisa pei, sei lisa sou, sou lisa ei (satu makan sayur, semua makan sayur. Satu makan sagu semua makan sagu. Siapa bale (balik) batu, batu akan gepe (tindis) atau menimpa yang bersangkutan.