Bab ll TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Keselamatan Beralayar Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas, Indonesia hanya memiliki satu undang-undang yang mengatur tentang penggunaan laut. Undang-undang dimaksud adalah UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang disempurnakan dengan UU No 17 Tahun 2008. Undang-Undang tersebut digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua jenis kegiatan di perairan Indonesia. Dalam ketentuan umum UU Pelayaran disebutkan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan Maritim. Kegiatan pelayaran pada umumnya adalah mengangkut barang atau penumpang dari satu lokasi ke lokasi lain atau dari pelabuhan ke pelabuhan lain, keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim dari pencemaran bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal. Kegiatan itulah yang diatur dalam UU Pelayaran. Peraturan atau undang-undang untuk kegiatan lain seperti perikanan, pariwisata, pertambangan migas di lepas pantai, dsb semua mengacu pada UU Pelayaran. Padahal, jenis kegiatan yang dilakukan sangat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Bab ll
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peraturan Keselamatan Beralayar
Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas,
Indonesia hanya memiliki satu undang-undang yang mengatur tentang
penggunaan laut. Undang-undang dimaksud adalah UU No 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran yang disempurnakan dengan UU No 17 Tahun 2008.
Undang-Undang tersebut digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua
jenis kegiatan di perairan Indonesia.
Dalam ketentuan umum UU Pelayaran disebutkan bahwa pelayaran
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan
Maritim. Kegiatan pelayaran pada umumnya adalah mengangkut barang atau
penumpang dari satu lokasi ke lokasi lain atau dari pelabuhan ke pelabuhan
lain, keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim dari
pencemaran bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal. Kegiatan itulah
yang diatur dalam UU Pelayaran.
Peraturan atau undang-undang untuk kegiatan lain seperti perikanan,
pariwisata, pertambangan migas di lepas pantai, dsb semua mengacu pada
UU Pelayaran. Padahal, jenis kegiatan yang dilakukan sangat berbeda dengan
kapal-kapal berlayar antar pelabuhan mengangkut barang atau penumpang.
Contoh masalah keselamatan kapal-kapal ikan diatur tersendiri (IMO
Torremolenous Convention) dan tidak diatur dalam IMO.
Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya bisa memilah-milah
peraturan atau undang-undang yang digunakan mengatur masing-masing
kegiatan yang berbeda di perairan. Namun, sebelum dibahas lebih jauh,
sebaiknya kita mengetahui apa sebenarnya definisi “Kapal” yang dimuat
dalam Ketentuan Umum UU Pelayaran. Ketentuan tersebut senada dengan
yang dimuat dalam IMO Convention yakni:
“Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk jenis tertentu, yang
digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis kendaraan di
bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak
berpindah-pindah”.
Dari definisi tersebut, diketahui bahwa Kapal adalah berbagai jenis
bangunan dan alat apung dengan fungsi dan penggunaan yang berbeda-beda
di perairan dan lepas pantai. Karena perbedaan dari bentuk, fungsi maupun
kegiatan yang dilakukan setiap jenis dan tipe kapal, berbeda satu dengan yang
lain. Dengan demikian kegiatan operasi kapal-kapal yang berbeda jenis dan
kegiatannya seyogyanya tidak diatur dengan satu undang-undang atau
peraturan pemerintah.
Namun, dalam beberapa hal ada kesamaan seperti peraturan
perlindungan lingkungan dan keamanan. Semua jenis kapal harus diregistrasi
oleh pemiliknya (ber-Bendera). Negara Bendera itulah yang bertanggung
jawab atas kelaiklautan kapal itu, dinyatakan dalam bentuk Sertifikat yang
terdiri dari dua jenis.
1. Sertifikat Statutory, diterbitkan oleh Negara Bendera atau Badan
Usaha Profesional yang ditunjuk (diakui) oleh Negara Bendera.
Sertifikat diterbitkan oleh Pemerintah atau Badan yang diberi kuasa,
setelah melalui berbagai jenis persyaratan yang harus dipenuhi,
disurvei oleh petugas Pemerintah (Syahbandar) atau Badan Usaha
professional (umumnya Biro Klasifikasi) yang diakui Pemerintah
kemudian diterbitkan berbagai jenis sertifikat keselamatan, keamanan,
manajemen, perlindungan lingkungan, Lambung Timbul, Surat Ukur
dan sebagainya.
2. Sertifikat Kelas, diterbitkan setelah lulus dari berbagai persyaratan
kekuatan, konstruksi dan perlengkapan, disurvei oleh petugas Biro
Klasifikasi kapal yang diakui oleh Negara Bendera tersebut. Sertifikat
itu antara lain Sertifikat Lambung Kapal, Sertifikat Mesin dan Listrik
dan sertifikat kelengkapan lainnya.
Survei dan Sertifikasi kapal dilakukan terhadap berbagai jenis kapal yang
berbeda konstruksi, jenis muatan, pekerjaan yang akan dilakukan dan jenis
perlengkapan kapal-kapal itu dengan latar belakang pengetahuan yang
berbeda.
2.2 Organisasi Maritim Internasional
Kerumitan akan penggunaan pengelolaan maritim dan penggunaan
berbagai jenis kapal telah diantisipasi oleh PBB, sehingga setelah selesai
Perang Dunia II PBB membentuk organisasi khusus untuk menangani
masalah maritim dengan nama “International Maritime Organization (IMO)”
pada tahun 1948.
Sejak itu secara bertahap IMO membuat berbagai jenis peraturan atau
konvensi mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi kemaritiman
untuk digunakan oleh anggotanya termasuk Indonesia dalam membangun,
mengoperasikan, memelihara dan mengawaki kapal-kapalnya.
Dengan berlakunya UNCLOS (United Nations Convention on the Law
of the Sea) pada tahun1982 Konvensi PBB tentang Hukum Laut, semakin
menegaskan bahwa laut adalah milik umat manusia yang harus dilindungi
bersama dan dicegah dari pengrusakan dan pencemaran oleh siapa saja. Sejak
itu peran IMO semakin penting dalam melahirkan konvensi-konvensi yang
digunakan sebagai standar kelaiklautan kapal-kapal laut (kapal niaga), untuk
bersaing memperebutkan pasar.
Untuk memudahkan persaingan itu dikontrol, PBB/IMO menetapkan
beberapa Negara Kemudahan, dipilih oleh Perusahan Pelayaran untuk
digunakan Benderanya bersaing (Flag of Convenience) bebas dari pengaruh
dan subjektivitas negara-negara maritim besar lainnya. Perusahaan pelayaran
otomatis menjadi perusahaan internasional. Konvensi-Konvensi yang sudah
diratifikasi oleh negara-negara anggota digunakan sebagai standar kapal niaga
untuk digunakan bersaing secara sehat.
Kemudahan seperti itu membuat investor, asuransi kapal dan muatan
tidak lagi ragu-ragu menanamkan modal dan mengasuransikannya karena
kapal dibangun dan dioperasikan berdasarkan IMO Conventions dan diawasi
Sertifikasi Statutory dan Kelas oleh Biro Klasifikasi Internasional anggota
IMO serta terbebas dari kepentingan, subjektivitas negara maju.
Dengan demikan era kapal-kapal niaga, milik Perusahaan Pelayaran
Nasional harus berbendera nasional sudah berakhir. Pemerintah yang menjadi
anggota IMO dan UNCLOS 1982, berkewajiban membantu dan mendorong
perusahaan pelayaran nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
pelayaran milik asing dengan mengizinkan mereka menggunakan Bendera
Negara Kemudahan.
2.3 International Maritime Organization (IMO)
Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan
pelayaran, PBB dalam konferensinya yang dilaksanakan pada tahun 1948
telah menyetujui untuk membentuk suatu badan Internasional yang
khusus menangani masalah-masalah kemaritiman. Badan tersebut
dibentuk pertama kali dengan nama Inter Governmental Maritime
Consultative Organization (IMCO). Sepuluh tahun kemudian,
yakni pada tahun 1958 organisasi tersebut baru diakuisecara
Internasional, lalu kemudian berubah nama menjadi International
Maritime Organization (IMO) sejak tanggal, 22 Mei 1982.
Empat tahun sebelum IMO diberlakukan secara internasional yakni
pada tahun 1954 Marine Pollution Convention (MPC) sudah mulai
diberlakukan tetapi baru pada tahun 1959 secara resmi diadministrasikan
dan disebarluaskan oleh International Maritim Organization (IMO) yang
pada saat itu berkedudukan di London.
Sidang Paripurna IMO disebut Assembly melakukan pertemuan
tahunan satu kali dalam selang waktu dua tahun dan biasanya diadakan
pada bulan September atau Oktober. Pertemuan tahunan yang
diadakan yang disebut Council, anggotanya terdiri dari 32 negara yang
dipilih oleh sidang Assembly dan bertindak sebagai badan pelaksana harian
kegiatan IMO.
Menurut Baharuddin (2011), IMO adalah Badan Organisasi yang
menangani masalah teknis dan sebagian besar kegiatannya dilaksanakan
oleh beberapa Komite yang terdiri dari:
a) The Marine Safety Committee (MSC)
Merupakan komite yang paling senior dan khusus menangani pekerjaan
yang berhubungan dengan masalah keselamatan dan teknik.Memiliki
beberapa Sub komite sesuai tugas masing-masing.
b) The Marine Environment Protection Committee (MEPC)
Dibentuk oleh IMO Assembly pada tahun 1973 dengan tugas
mengkoordinir kegiatan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut
yang asalnya dari kapal. Sub komite dari Bulk Chemicals merupakan
juga sub komite dari MEPC kalau menyangkut masalah pencemaran.
c) The Technical Co-Operation Committee
Tugasnya mengkoordinir bantuan teknik dari IMO di bidang
maritim terutama untuk negara berkembang. Komite teknik ini
merupakan komite pertama dalam organisasi PBB yang diakui
sebagai bagian dari konvensi. Badan ini dibentuk tahun 1975 dan
merupakan agen pertama PBB yang membentuk technical cooperation
dalam bentuk struktur organisasi. Tujuannya adalah menyediakan
program bantuan untuk setiap negara terutama negara berkembang untuk
meratifikasi dan kemudian melaksanakan peraturan yang dikeluarkan
oleh IMO.IMO menyediakan tenaga bantuan konsultan di lapangan dan
petunjuk dari Headquarters kepada pemerintah yang memintanya untuk
melakukan training keselamatan kerja maritim dan pencegahan
pencemaran terhadap anak buah kapal bagian deck, mesin dan personil
darat. Melalui Komite ini IMO melakukan seminar dan workshop di
beberapa negara setiap tahun dan sudah mengerjakan banyak proyek
bantuan teknik di seluruh dunia. Proyek ambisius yang dilakukan
Komite ini adalah mendirikan “The World Maritime University” di
Malmo Swedia pada tahun 1983, dengan tujuan untuk mendidik dan
menyediakan tenaga terampil dalam bidang keselamatan dan lingkungan
maritim, dari negara berkembang yang sudah mempunyai latar
belakang pendidikan yang mencukupi di negara masing-masing.
d) Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh ±
300 tenaga dari berbagai negara termasuk para penterjemah ke dalam 6
bahasa yang diakui dapat digunakan berkomunikasi dalam sidang
komite, yakni bahasa Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Arab, China
dan 3 bahasa teknis.
2.3.1 Tugas dan Wewenang IMO
Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan-peraturan keselamatan
kerja di laut termasuk keselamatan pelayaran dan pencegahan serta
penaggulangan pencemaran lingkungan perairan. Secara resmi
SOLAS 74/78 diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dengan
keputusan Presiden No. 65 tahun 1980 dan MARPOL 73/78 dengan
keputusan Presiden No. 46 tahun 1986. Kedua Keputusan Presiden
tersebut sudah tercakup dalam UU No. 21 tahun 1992 tentang
pelayaran.Konvensi-konvensi IMO paling penting yang sudah
dikeluarkan adalah sebagai berikut :
a) Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention 1974/1978
b) Marine Pollution Prevention (MARPOL) Convention 1973/1978
c) Standard of Training Certification and W atchkeeping for
Seafarers (SCTW ) Convention 1978 termasuk beberapa
amandemen dari setiap konven
Dalam ketiga konvensi tersebut digariskan peraturan keselamatan
kerja di laut, pencegahan pencemaran perairan dan persyaratan
pengetahuan dan keterampilan minimum yang harus dipenuhi oleh
awak kapal.
2.4 Keadaan Darurat (Emergency)
Keadaan Darurat ialah keadaan yang lain dari keadaan normal yang
mempunyai kecenderungan atau potensi membahayakan, baik bagi
keselamatan manusia, harta benda maupun lingkungan. Prosedur Keadaan
Darurat ialah tata cara / pedoman kerja dalam menanggulangi suatu keadaan
darurat, dengan maksud untuk mencegah atau mengurangi kerugian lebih
lanjut atau semakin besar. Kecelakaan pada kapal dapat terjadi setiap saat
dalam pelayaran, baik sedang berlabuh maupun sedang melakukan kegitan
bongkar muat di pelabuhan meskipun sudah dilakukan upaya untuk
menghindarinya. Untuk melindungi para pelaut dan mencegah resiko dalam
suatu aktifitas di atas kapal, setiap pihak harus memperhatikan ketentuan yang
diatur dalam Health and Safety Work Act tahun 1974, terutama yang
menyangkut kesehatan dan keselamatan kerja, baik dalam keadaan normal
maupun darurat.
2.4.1 Jenis-jenis Keadaan Darurat
Kapal laut sebagai bangunan terapung yang bergerak dengan daya
dorong pada kecepatan bervariasi melintasi berbagai daerah pelayaran
dalam kurun waktu tertentu, akan mengalami berbagai problematika yang
dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti cuaca, keadaan alur
pelayaran, manusia, kapal dan lain-lain yang belum dapat diduga oleh
kemampuan manusia dan pada akhirnya menimbulkan gangguan
pelayaran dari kapal.
Gangguan pelayaran pada dasarnya dapat berupa gangguan yang
dapat langsung diatasi, bahkan perlu mendapat bantuan langsung dari
pihak tertentu, atau gangguan yang mengakibatkan Nakhoda dan seluruh
anak buah kapal harus terlibat baik untuk mengatasi gangguan tersebut
atau untuk hares meninggalkan kapal.
Keadaan darurat di kapal dapat merugikan Nakhoda dan anak buah
kapal serta pemilik kapal maupun Iingkungan taut bahkan juga dapat
menyebabkan terganggunya 'ekosistem' dasar taut, sehingga perlu untuk
memahami kondisi keadaan darurat itu sebaik mungkin guna memiliki
kemampuan dasar untuk dapat mengindentifikasi tanda-tanda keadaan
darurat agar situasi tersebut dapat diatasi oleh Nakhoda dan anak buah
kapal maupun kerjasama dengan pihak yang terkait.
Keadaan gangguan pelayaran tersebut sesuai situasi dapat
dikelompokkan menjadi keadaan darurat yang didasarkan pada jenis
kejadian itu sendiri, sehingga keadaan darurat ini dapat disusun sebagai
berikut :
1. Tubrukan
Yaitu Keadaan darurat karena tubrukan kapal dengan kapal atau kapal
dengan dermaga maupun dengan benda tertentu akan mungkin
terdapat situasi kerusakan pada kapal, korban manusia, tumpahan
minyak ke laut (kapal tangki), pencemaran dan kebakaran. Situasi
Iainnya adalah kepanikan atau ketakutan petugas di kapal yang justru
memperlambat tindakan, pengamanan, penyelamatan dan
penanggulangan keadaan darurat tersebut.
2. Kebakaran / ledakan
Dapat terjadi di berbagai lokasi yang rawan terhadap kebakaran,
misalnya di kamar mesin, ruang muatan, gudang penyimpanan
perlengkapan kapal, instalasi listrik dan tempat akomodasi Nakhoda
dan anak buah kapal.Sedangkan ledakan dapat terjadi karena
kebakaran atau sebaliknya kebakaran terjadi karena ledakan, yang
pasti kedua-duanya dapat menimbulkan situasi darurat serta perlu
untuk diatasi.Keadaan darurat pada situasi kebakaran dan ledakan
tentu sangat berbeda dengan keadaan darurat karena tubrukan, sebab
pada situasi yang demikian terdapat kondisi yang panas dan ruang
gerak terbatas dan kadang-kadang kepanikan atau ketidaksiapan
petugas untuk bertindak mengatasi keadaan maupun peralatan yang
digunakan sudah tidak layak atau tempat penyimpanan telah berubah.
3. Kandas
Kapal kandas pada umumnya didahului dengan tanda-tanda putaran
baling-baling terasa berat, asap di cerobong mendadak menghitam,
badan kapal bergetar dan kecepatan kapal berubah kemudian berhenti
mendadak.Pada saat kapal kandas tidak bergerak, posisi kapal akan
sangat tergantung pada permukaan dasar taut atau sungai dan situasi di
dalam kapal tentu akan tergantung juga pada keadaan kapal
tersebut.Pada kapal kandas terdapat kemungkinan kapal bocor dan
menimbulkan pencemaran atau bahaya tenggelam kalau air yang
masuk ke dalam kapal tidak dapat diatasi, sedangkan bahaya
kebakaran tentu akan dapat saja terjadi apabila bahan bakar atau
minyak terkondisi dengan jaringan listrik yang rusak menimbulkan
nyala api dan tidak terdeteksi sehingga menimbulkan
kebakaran.Kemungkinan kecelakaan manusia akibat kapal kandas
dapat saja terjadi karena situasi yang tidak terduga atau terjatuh saat
terjadi perubahan posisi kapal.Kapal kandas sifatnya dapat permanen
dan dapat pula bersifat sementara tergantung pada posisi permukaan
dasar laut atau sungai, ataupun cara mengatasinya sehingga keadaan
darurat seperti ini akan membuat situasi di lingkungan kapal akan
terjadi rumit.
4. Kebocoran/Tenggelam
Kebocoran pada kapal dapat terjadi karena kapal kandas, tetapi dapat
juga terjadi karena tubrukan maupun kebakaran serta kerusakan kulit
pelat kapal karena korosi, sehingga kalau tidak segera diatasi kapal
akan segera tenggelam.Air yang masuk dengan cepat sementara
kemampuan mengatasi kebocoran terbatas, bahkan kapal menjadi
miring membuat situasi sulit diatasi. Keadaan darurat ini akan menjadi
rumit apabila pengambilan keputusan dan pelaksanaannya tidak
didukung sepenuhnya oleh seluruh anak buah kapal, karena upaya
untuk mengatasi keadaan tidak didasarkan pada azas keselamatan dan
kebersamaan.
5. Orang jatuh ke laut ( Man Over Board )
Merupakan salah satu bentuk kecelakaan yang membuat situasi
menjadi darurat dalam upaya melakukan penyelamatan.Pertolongan
yang diberikan tidak dengan mudah dilakukan karena akan sangat
tergantung pada keadaan cuaca saat itu serta kemampuan yang akan
memberi pertolongan, maupun fasilitas yang tersedia.
6. Pencemaran laut
Dapat terjadi karena buangan sampah dan tumpahan minyak saat
bunkering, buangan limbah muatan kapal tangki, buangan limbah
kamar mesin yang melebihi ambang 15 ppm dan karena muatan kapal
tangki yang tertumpah akibat tubrukan atau kebocoran.Upaya untuk
mengatasi pencemaran yang terjadi merupakan hal yang sulit karena
untuk mengatasi pencemaran yang terjadi memerlukan peralatan,
tenaga manusia yang terlatih dan kemungkinan-kemungkinan resiko
yang harus ditanggung oleh pihak yang melanggar ketentuan tentang
pencegahan pencemaran.
2.4.2 Jenis-jenis prosedur keadaan darurat
Terdapat dua jenis prosedur gawat darurat, yaitu:
1) Prosedur Intern (Lokal)
Prosedur local merupakan pedoman pelaksanaan untuk
masing-masing bagian/departemen, dengan pengertian
keadaan darurat yang terjadi masih dapat diatasi oleh bagian-
bagian yang bersangkutan, tanpa melibatkan kapal-kapal atau
usaha pelabuhan setempat.
2) Prosedur Umum (Utama)
Merupakan pedoman perusahaan secara keseluruhan dan telah
menyangkut keadaan darurat yang cukup besar atau paling
tidak dapat membahayakan kapal-kapal lain atau
dermaga/terminal. Keadaan darurat diatas kapal dapat
merugikan semua pihak, untuk itu diperlukan pemahaman
kondisi keadaan darurat dengan sebaik-baiknya. Gangguan
pelayaran yang terjadi pada kapal selama dalam pelayaran, pada
dasarnya dapat terjadi kapan dan dimana saja. Gangguan
pelayaran sesuai dengan situasi dan kondisi dikelompokan
sebagai berikut:
a) Tubrukan
b) Kebakaran/ledakan
c) Kandas
d) Kebocoran/tenggelam
e) Orang jatuh ke laut
f) Pencemaran
g) Ledakan
h) Reaksi dari muatan berbahaya
i) Pergeseran muatan
j) Kerusakan mesin
k) Cuaca buruk
l) Perang / pembajakan.
2.4.3 Penanggulangan Keadaan Darurat
Penanggulangan keadaan darurat didasarkan pada suatu pola
terpadu yang mampu mengintegrasikan aktivitas atau upaya.
Penanggulangan keadaan darurat tersebut secara cepat, tepat dan
terkendali atas dukungan dari instansi terkait dan sumber daya manusia
serta fasilitas yang tersedia.
Dengan memahami pola penanggulangan keadaan darurat ini dapat
diperoleh manfaat :
a. Mencegah (menghilangkan) kemungkinan kerusakan akibat
meluasnya kejadian darurat itu.
b. Memperkecil kerusakan-kerusakan pada lingkungan.
c. Dapat menguasai keadaan (Under control).
2.4.4 Untuk menanggulangi keadaan darurat diperlukan beberapa tindakan,
yaitu :
a) Pendataan
Dalam menghadapi setiap keadaan darurat dikenal selalu
diputuskan tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi
peristiwa tersebut maka perlu dilakukan pendataan sejauh mana
keadaan darurat tersebut dapat membahayakan manusia (pelayar),
kapal dan lingkungannya serta bagaimana cara mengatasinya
disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang tersedia.
b) Peralatan
Sarana dan prasarana yang akan digunakan disesuaikan dengan
keadaan darurat yang dialami dengan memperhatikan kemampuan
kapal dan manusia untuk melepaskan diri dari keadaan darurat
tersebut hingga kondisi normal kembali.Petugas atau anak buah
kapal yang terlibat dalam operasi mengatasi keadaan darurat ini
seharusnya mampu untuk bekerjasama dengan pihak lain bila mana
diperlukan (dermaga, kapal lain/team SAR).Ada pun peralatan
yang digunakan dalam keadaan darurat, yaitu :
Breathing Apparatus – Alarm
Fireman Out Fit – Tandu
Alat Komunikasi
dan lain-lain disesuaikan dengan keadaan daruratnya
2.4.5 Sesuai peraturan Internasional isyarat-isyarat bahaya dapat digunakan
secara umum untuk kapal laut adalah sebagai berikut:
Suatu I isyarat letusan yang diperdengarkan dengan selang waktu
kira-kira 1 (satu) menit.
Bunyi yang diperdengarkan secara terus-menerus oleh pesawat
pemberi isyarat kabut (smoke signal )
Cerawat – cerawat atau peluru-peluru cahaya yang memancarkan
bintang-bintang memerah yang ditembakkan satu demi satu
dengan selang waktu yang pendek.
Isyarat yang dibuat oleh radio telegrafi atau sistim pengisyaratan
lain yang terdiri atas kelompok SOS dari kode morse.
Isyarat yang dipancarkan dengan menggunakan pesawat radio
telepon yang terdiri atas kata yang diucapkan "Mede" (mayday )
Kode isyarat bahaya internasional yang ditujukan dengan NC.
Isyarat yang terdiri atas sehelai bendera segi empat yang di atas
atau sesuatu yang menyerupai bola.
Nyala api di kapal (misalnya yang berasal dari sebuah tong
minyak dan sebagainya, yang sedang menyala).
Cerawat payung atau cerawat tangan yang memancarkan cahaya
merah.
Isyarat asap yang menyebarkan sejumlah asa jingga (orange).
Menaik-turunkan lengan-lengan yang terentang kesamping secara
perlahan-lahan dan berulang- ulang.
Isyarat alarm radio telegrafi
Isyarat yang dipancarkan oleh rambu-rambu radio petunjuk posisi
darurat.
2.4.6 Sesuai dengan kemungkinan terjadinya situasi darurat di kapal,isyarat
bahaya yang umumnya dapat terjadi adalah :
a) Isyarat kebakaran
Apabila terjadi kebakaran di atas kapal maka setia orang di atas
kapal yang pertama kali melihat adanya kebakaran wajib
melaporkan kejadian tersebut pada mualim jaga di
anjungan.Mualim jaga akan terus memantau perkembangan upaya
pemadaman kebakaran dan apabila kebakaran tersebut tidak dapat
di atasi dengan alat-alat pemadam portable dan dipandang perlu
untuk menggunakan peralatan pemadam kebakaran tetap serta
membutuhkan peran seluruh anak buah kapal, maka atas
keputusan dan perintah Nakhoda isyarat kebakaran wajib
dibunyikan dengan kode suling atau bel satu pendek dan satu