BAB IPENDAHULUAN
1. 1. Latar BelakangPenggunan teknologi maju sangat diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara luas, namun tanpa
disertai dengan pengendalian yang tepat akan dapat merugikan
manusia itu sendiri. Penggunaan teknologi tidak dapat di elakan,
terutama pada era industrialisasi yang ditandai adanya proses
mekanisme, elektrifikasi dan modernisasi serta transformasi
globalisasi. Hal tersebut disamping memberikan kemudahan bagi suatu
proses produksi, tentunya efek samping yang tidak dapat dielakan
adalah bertambahnya jumlah dan sumber bahaya bagi pengguna
teknologi itu sendiri. Disamping itu, factor lingkungan yang tidak
memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan kerja, proses kerja tidak
aman, dan system kerja yang semakin komplek dan modern dapat
menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan dan kesehatan kerja.
(Tarwaka,2008)Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang
aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban
jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga
dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak
lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum
terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan
penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa
pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi.
Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang
memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga
tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus
melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan
disekitarnya.Upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang
dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja
dapat dilakukan dengan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
tempat kerja.Secara keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan
penerapan teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3 merupakan kumpulan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.Setiap tahun di dunia terjadi 270
juta kecelakaan kerja, 160 juta pekerja menderita penyakit akibat
kerja, kematian 2.2 juta dan kerugian finansial sebesar 1.25
triliun USD. Sedangkan di Indonesia menurut data PT. Jamsostek
(Persero) dalam periode 2002-2005 terjadi lebih dari 300 ribu
kecelakaan kerja, 5000 kematian, 500 cacat tetap dan konpensasi
lebih dari Rp. 550 milyar. Konpensasi ini adalah sebagian dari
kerugian langsung dan 7.5 juta pekerja sektor formal yang aktif
sebagai peserta Jamsostek. Diperkirakan kerugian tidak langsung
dari seluruh sektor formal lebih dari Rp. 2 triliun, dimana
sebagian besar merupakan kerugian dunia usaha.(DK3N,2007). Melihat
angka-angka tersebut tentu saja bukan suatu hal yang membanggakan,
akan tetapi hendaklah dapat menjadi pemicu bagi dunia usaha dan
kita semua untuk bersama-sama mencegah dan
mengendalikannyaTerjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan
masalah yang besar bagi kelangsungan suatu usaha. Kerugian yang
diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar namun
lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit
jumlahnya.Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan
terhadap tenaga kerja dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu melakukan pekerjaan di
tempat kerja. Dengan dilaksanakannya perlindungan K3, diharapkan
akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan tenaga
kerja yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas
kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar
peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan,
terutama dapat mencegah korban manusia..Dengan demikian untuk
mewujudkan K3 diperusahaan perlu dilaksanakan dengan perencanaan
dan pertimbangan yang tepat, dan salah satu kunci keberhasilannya
terletak pada peran serta pekerja sendiri baik sebagai subyek
maupun obyek perlindungan dimaksud dengan memperhatikan banyaknya
risiko yang diperoleh perusahaan, mulai diterapkan manajemen
risiko, sebagai inti dan cikal bakal SMK3. Penerapan ini sudah
mulai menerapkan pola preventif terhadap kecelakaan kerja yang akan
terjadi.Manajemen risiko menuntut tidak hanya keterlibatan pihak
manajemen tetapi juga komitmen manajemen dan seluruh pihak yang
terkait. Pada konsep ini, bahaya sebagai sumber kecelakaan kerja
harus harus teridentifikasi, kemudian diadakan perhitungan dan
prioritas terhadap risiko dari bahaya tersebut dan terakhir adalah
pengontrolan risiko.Ditahap pengontrolan risiko, peran manajemen
sangat penting karena pengontrolan risiko membutuhkan ketersediaan
semua sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, karena pihak
manajemen yang sanggup memenuhi ketersediaan ini. Semua
konsep-konsep utama tersebut semakin menyadarkan akan pentingnya
kebutuhan pengelolaan K3 dalam bentuk manajemen yang sistematis dan
mendasar agar dapat terintegrasi dengan manajemen perusahaan yang
lain. Integrasi ini diawali dengan kebijakan dari perusahaan untuk
mengelola K3 menerapkan suatu Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3).Salah satu kebijakan K3 Nasional 2007-2010
adalah pemberdayaan pengusaha, tenaga kerja dan pemerintah agar
mampu menerapkan dan meningkatan budaya K3, diantara programnya
berupa pelaksanaan K3 di sektor pemerintahan dengan target 50%
departemen melaksanakan K3 pada tahun 2010.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi Kecelakaan kerjaKecelakaan kerja adalah suatu
kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan sering kali tidak terduga
semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau
property maupun korban jiwa yang terjadi dalam suatu proses kerja
industry atau yang berkaitan dengannya (Tarwaka 2008). Dengan
demikian kecelakaan kerja mengandung unsure unsure sebagai berikut
:a. Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa
kecelakaan tidak dapat unsure kesengajaan dan perencanaan.b. Tidak
diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan
selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental;c. Selalu
menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang kurangnya
menyebabkan gangguan proses kerja.
Menurut beberapa ahli definisi kecelakaan kerja sangat beragam.
Berikut ini adalah beberapa definisi dari beberpa sumber :a.
Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak terencana dan terkontrol,
yang disebabkan oleh manusia, situasi/factor lingkungan, atau
kombinasi dari factor tersebut yang mengganggu proses kerja, yang
dapat (ataupun tidak) menimbulkan injury, kesakitan, kematian,
kerusakan property atau kejadian yang tidak diinginkan. (
International labour office 1989)b. Kecelakaan sebagai suatu
kejadian tideneak diinginkan yang menimbulkan kerugian pada
manusia, kerusakan property, ataupun kerugian proses kerja, akibat
dari kontak dengan subtansi atau sumber energy yang melebihi batas
kemampuan tubuh, alat, atau struktur. (frank E. bird dan George L.
germain)c. Menurut undang undang no. 1 tahun 1970, kecelakaan kerja
adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak
dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu
aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian, baik korban manusia atau
harta bendad. Menurut OHSAS 180001 : 2007, incident di definisikan
sebagai kejadian yang terkait pekerjaan, dimana suatu cidera, sakit
(terlepas dari tingkat keparahannya), atau kematian terjadi, atau
mungkin dapat terjadi. Dalam hal ini, yang dimaksud sakit adalah
kondisi kelainan fisik atau mental yang teridentifikasi berasal
dari dan/atau bertambah buruk karena kegiatan kerja dan/atau
situasi yang terkait pekerjaan.Setelah melhat definisi dari
berbagai sumber tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kevelakaan
merupakan kejadian tidak terduga dan tidak diinginkan yang
disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor dan dapat menimbulkan
kerugian pada manusia berupa injury, kesakitan, kematian, kerusakan
properti, ataupun gangguan pada proses kerja. Namun, ada beberapa
hal penting yang perlu dipahami terkait dengan pendefinisian
accident (kecelakaan). Bird dan Germain (1990) mengungkapkan tiga
aspek penting dalam pemahaman accident, yaitu:a. Dampak yang
ditimbulkan kecelakaan tidak hanya cedera, tetapi juga kesakitan,
seperti gangguan mental, saraf, ataupun gangguan sistemik akibat
pajanan.b. Terdapat perbedaan antara definisi injury dan accident,
dimana injury disebabkan oleh accidents, tetapi tidak semua
accident menyebabkan injuryc. Apabila ada kejadian yang
mengakibatkan kerusakan properti atau fasilitas, serta gangguan
proses kerja, tetapi tidak menyebabkan injury, maka kejadian
tersebut tetap dikategorikan sebagai accident.
1.2. Teori kecelakaan kerjaSalah satu teori penyebab kecelakaan
dikembangkan oleh Heinrich pada tahun 1931. Heinrich melakukan
analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di perusahaan dan
mengembangkan teori domino. Hasil dari analisisnya menunjukkan
bahwa sebesar 88% kecelakaan disebabkan oleh tindakan berbahaya.
Berdasarkan pada temuannya, Heinrich mengidentifikasi lima faktor
tahapan kecelakaan. Kelima faktor tersebut adalah lingkungan sosial
dan keturunan, kesalahan manusia, tindakan berbahaya dan atau
kondisi mekanik/ fisik, kecelakaan, dan injury. Kelima faktor yang
diungkapkan Heinrich dalam teorinya dianalogikan sebagai kartu
domino yang posisinya didirikan dan disejajarkan antara satu dengan
lainnya. Apabila salah satu diantaranya terjatuh, maka akan
menyebabkan jatuhnya kartu yang lain. Untuk mengatasi hal ini
Heinrich menghilangkan salah satu kartu yaitu unsafe act (tindakan
berbahaya) dan unsafe condition (kondisi berbahaya) yang merupakan
sentral dari susunan kartu domino tersebut. Dengan menghilangkan
tindakan dan kondisi berbahaya, maka kecelakaan kerja dan kerugian
dapat dihindarkan. Pada dasarnya teori cukup sederhana dan mampu
menjelaskan bagaimana terjadinya kecelakaan sesuai tahapan kejadian
yang diuraikan. Namun, teori ini belum sepenuhnya memberikan banyak
informasi mengapa kecelakaan tersebut dapat terjadi. Loss Causation
Model adalah salah satu teori penyebab kecelakaan yang merupakan
pengembangan dari teori domino yang dikemukakan Heinrich. Tidak
seperti teori-teori penyebab kecelakaan lainnya, model yang
dikembangkan oleh Frank E. Bird ini lebih sederhana sehingga lebih
mudah dipahami oleh pengguna. Selain itu, model ini juga dapat
membantu dalam mengungkapkan fakta-fakta penting untuk
mengendalikan kecelakaan sehingga kerugian yang dapat timbul pada
manusia, properti, dan proses kerja dapat dihindarkan. Berbeda
dengan teori domino, pada model ini tahapan kecelakaan terdiri atas
loss (kerugian akibat kecelakaan), insiden, penyebab langsung,
Berbeda dengan teori domino, pada model ini tahapan kecelakaan
terdiri atas loss (kerugian akibat kecelakaan), insiden, penyebab
langsung, penyebab dasar, serta kurangnya kontrol dari pihak
manajemen. Berikut ini adalah penjelasan dari kelima tahap
terjadinya kecelakaan berdasarkan Loss Causaiion Model. a. Loss
(kerugian)Loss merupakan dampak yang ditimbulkan kecelakaan, yang
mempengaruhi pekerja, properti, ataupun proses kerja. Dalam
kaitannya dengan proses produksi, kerugian yang timbul dapat pula
berupa gangguan proses produksi dan penurunan profit. Sementara
itu, kerugian yang dapat timbul pada manusia dapat berupa injury
maupun kesakitan, seperti gangguan mental, saraf, atau efek
sistemik akibat pajanan (ANSI Z16.2.1962, Rev.1962 dalam Bird dan
Germain (1990)). Kerugian yang timbul sebagai akibat kecelakaan
bervariasi, mulai dari kerugian yang tidak signifikan hingga
kerugian besar yang menimbulkan kematian pekerja. Bird dan Germain
(1990), tipe dan tingkat kerugian yang terjadi tergantung pada
kondisi serta tindakan-tindakan yang telah dilakukan untuk
meminimalisasi kerugian yang timbul. Dalam hal ini, upaya
meminimalisasi kerugian yang dapat dilakukan diantaranya
pertolongan pertama yang memadai dan medical care, upaya pemadaman
kebakaran yang cepat dan efektif, perbaikan perlengkapan dan
fasilitas yang rusak, penanganan keadaan darurat yang efisien,
perlengkapan dan fasilitas yang rusak, penanganan keadaan darurat
yang efisien, baik. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan
meminimalisasi kerugian yang muncul, sangatlah perlu untuk
memperhatikan aspek manusia sebagai pelaku kegiatan produksi di
tempat kerja.b. Incidentinsiden merupakan suatu kejadian dimana
terjadi kontak yang dapat menyebabkan kerugian atau kerusakan.
Ketika terdapat hal-hal yang berpotensi menyebabkan kecelakaan,
maka selalu memungkinkan terjadinya kontak dengan energi yang
melebihi batas kemampuan tubuh manusia atau struktur. Jenis energi
yang dapat menimbulkan kontak, antara lain energi kinetik, energi
listrik, energi thermal, dan energi kimia. Berdasarkan American
Standard Accident Classification Code ANSI Z16.2-1962, Rev. 1969
dalam Bird dan Germain (1990), terdapat beberapa tipe transfer
energi, yaitu: Menabrak sesuatu Ditabrak oleh objek bergerak Jatuh
pada permukaan lebih rendah (termasuk kejatuhan objek) Jatuh pada
permukaan sama (terpeleset) Caught in ( pinch, nip points) Caught
on ( snagged, hung) Caught between ( crushed or amputated) Kontak
dengan listrik, panas, dingin, bahan beracun, dan bising
Overstress/overexertion/overload
c. Immerdiate causesImmediate cause (penyebab langsung)
merupakan segala situasi yang secara langsung dapat menyebabkan
kontak energi. Hal ini mencakup tindakan dan kondisi yang tidak
sesuai standar, dimana dapat menyebabkan terjadinya insiden.
Beberapa bentuk tindakan dan kondisi tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut ini. Tindakan tidak sesuai standarKondisi tidak
sesuai standar
Mengoperasikan peralatan tanpa wewenangPengaman yang tidak
memadai
Gagal memberikan peringatanAPD yang tidak memadai
Gagal mengamankanPeralatan/perlengkapan/material rusak
Tidak menggunakan alat pelindung diriSystem yang tidak
memadai
Menggunakan peralatan yang rusakKondisi lingkungan yang
berbahaya
Menggunakan peralatan yang salahHousekeeping yang buruk
Tidak menggunakan APD dengan benarPaparan bising
Penempatan yang tidak benarPaparan radiasi
Posisi yang salah ketika bertugasPaparan temperature
tinggi/rendah
Melakukan perbaikan mesin pada saat beroperasiPencahayaan yang
kurang/berlebih
Berada dibawah pengaruh alcohol/obatVentilasi yang tidak
memadai
d. Basic causesBasic Causes merupakan penyebab sebenarnya dari
gejala yang timbul dan merupakan alasan mengapa tindakan dan
kondisi berbahaya terjadi. Penyebab dasar ini membantu dalam
menjelaskan mengapa pekerja melakukan tindakan berbahaya serta
mengapa terdapat kondisi berbahaya di lingkungan tempat kerja.
Penyebab dasar terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu faktor
personal dan faktor pekerjaan dengan rincian sesuai dengan tabel di
bawah ini.
Faktor Personal dan Faktor Pekerjaan
Factor personalFactor pekerjaan
Ketidak mampuan fisik/ fisiologisPengawasan/ supervise tidak
memadai
Ketidakmampuan mental/ psikologisEngineering tidak memadai
Kurangnya pengetahuanPembelian kurang memadai
Kurangnya keterlampilanPemeliharaan tidak memadai
Stress fisik/fisiologisPeralatan/ perlengkapan yang kurang
memadai
Stress mental/psikologiStandar kerja yang kurang memadai
Motivasi yang tidak sesuaiPemakayang dan keausan
penyalahgunaan
e. Lack of control managementPengendalian merupakan salah satu
dari empat fungsi utama manajemen selain merencanakan,
mengorganisasikan, dan memimpin. Tanpa manajemen pengendalian yang
kuat, kecelakaan kerja tidak dapat dicegah. Pengendalian kecelakaan
dan kerugian dapat berjalan efektif apabila manajemen telah
memahami beberapa hal, yaitu program pengendalian yang dibutuhkan,
standar-standar yang digunakan, kemampuan untuk mengajak pekerja
memenuhi standar tersebut, pengukuran terhadap performa kerja,
serta tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
performa tersebut. Bird dan Germain (1990) mengemukakan bahwa
terdapat tiga alasan umum di dalam sebuah organisasi yang tidak
memiliki pengendalian kerugian akibat insiden, yaitu: sistem yang
tidak memadai, standar yang tidak memadai,dan pemenuhan standar
yang tidak memadai. Suatu sistem dapat dikatakan tidak memadai
apabila aktivitas dari sistem tersebut terlalu sedikit dan kurang
tepat. Sementara itu, standar dapat dikatakan tidak memdai apabila
kinerjanya kurang spesifik, kurang jelas, ataupun kurang tinggi.
Standar yang baik harus mampu menunjukkan siapa yang bertanggung
jawab, apa yang dipertanggungjawabkan, serta kapan mereka perlu
melaksanakan tanggung jawab tersebut
1.3. Kerugian akibat kecelakaan kerjaTeori Accident Cost Iceberg
pertama kali dikembangkan oleh Heinrich pada tahun 1937 dan
diperbaharui oleh Frank E. Bird tahun 1974. Teori ini mengungkapkan
bahwa kejadian kecelakaan tidak hanya menimbulkan kerugian berupa
biaya perawatan medis dan kompensasi, tetapi juga mengakibatkan
kerugian lainnya yang kurang mendapat perhatian. Besarnya biaya
yang tersembunyi akibat kecelakaan digambarkan sebagai gunung es
yang hanya terlihat bagian ujung atasnya, sedangkan bagian lainnya
tertutup di bawah laut. Bird (1990), perbandingan antara biaya yang
nampak dengan biaya yang tersembunyi adalah 1 : 5 hingga 1 : 50.
Kerugian yang nampak berupa biaya perawatan medis dan kompensasi
yang diasuransikan. Sedangkan, biaya akibat kecelakaan yang tidak
nampak dan tidak diasuransikan, antara lain: biaya kerusakan
gedung, kerusakan peralatan dan perkakas, kerusakan produk dan
bahan, biaya pengeluaran persediaan dan peralatan darurat, serta
biaya reparasi dan penggantian. Besarnya biaya kerugian tersebut
seharusnya membuat manajemen lebih memperhatikan aspek keselamatan
dan kesehatan kerja dalam setiap proses pekerjaan untuk menghindari
kerugian.
Sumber: Bird dan Germain (1990) Pada tahun 1969 dilakukan studi
kecelakaan di sektor industri dilakukan dengan menganalisis
1,753,498 kasus kecelakaan yang dilaporkan oleh 297 perusahaan yang
mewakili 21 jenis industri berbeda (Bird dan Germain, 1990). Hasil
studi ini mengungkapkan bahwa setiap ada satu kasus kecelakaan yang
mengakibatkan major injury (mengakibatkan kematian, cacat,
hilangnya waktu kerja, atau perawatan medis), terdapat 9.8
kecelakaan yang menyebabkan minor injury (membutuhkan pertolongan
pertama). Lebih lanjut, diungkapkan bahwa 30.2 kasus kecelakaan
yang mengakibatkan kerusakan properti terjadi dan 600 near-miss
setiap satu kasus yang mengakibatkan major injury. Dengan demikian,
didapatkan rasio kecelakaan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan
sesuai dengan gambar di atas. Hal penting yang perlu diingat adalah
rasio tersebut hanya didasarkan pada data kecelakaan yang
dilaporkan, bukan semua kecelakaan yang terjadi di industri. Namun,
rasio tersebut dapat mengungkapkan fakta bahwa kecelakaan yang
menyebabkan major injury jarang terjadi, tetapi upaya pengendalian
kecelakaan justru lebih ditekankan pada jenis kecelakaan tersebut.
Sebaliknya, tindakan pencegahan untuk kasus kecelakaan yang
menyebabkan minor injury ataupun near-miss kurang mendapat
perhatian. Upaya pencegahan kecelakaan yang dilakukan perusahaan
seharusnya juga mempertimbangkan kecelakaan minor injury dan
near-miss yang memilki potensi kerugian tinggi. Heinrich dalam ILO
(1989) menyusun daftar kerugian terselubung sebagai akibat
terjadinya kecelakaan, antara lain: a. Kerugian akibat hilangnya
waktu karyawan yang luka; b. Kerugian akibat hilangnya waktu
karyawan lain yang terhenti bekerja karena rasa ingin tahu, rasa
simpati, membantu karyawan yang terlukac. Kerugian akibat hilangnya
waktu bagi para mandor, penyelia, atau para pimpinan lainnya antara
lain sebagai berikut: Membantu karyawan yang terluka Menyelidiki
penyebab kecelakaan Mengatur agar proses produksi tetap berlangsung
Memilih dan melatih karyawan baru Menyiapkan laporan peristiwa
kecelakaan
d. Kerugian akibat penggunaan waktu dari petugas pemberi
pertolongan pertama dan staf departemen rumah sakit, apabila
pembiayaan ini tidak ditanggung oleh perusahaan asuransi; e.
Kerugian akibat rusaknya mesin, perkakas, atau peralatan lainnya
atau oleh karena tercemarnya bahan baku/material; f. Kerugian
insidental akibat terganggunya produksi, kegagalan memenuhi pesanan
pada waktunya, kehilangan bonus, pembayaran denda, dll;g. Kerugian
akibat pelaksanaan sistem kesejahteraan dan maslahat bagi karyawan
h. Kerugian akibat keharusan untuk meneruskan pembayaran upah penuh
bagi karyawan yang terluka setelah mereka kembali bekerja, walaupun
mereka hanya menghasilkan separuh dari kemampuan pada saat
normal;i. Kerugian akibat hilangnya kesempatan memperoleh laba dari
produktivitas karyawan yang luka dan akibat dari mesin yang
menganggur;j. Kerugian yang timbul akibat ketegangan ataupun
menurunnya moral kerja karena kecelakaan tersebut. k. Kerugian
biaya umum per karyawan yang luka, misalnya biaya penerangan,
pemanasan, sewa, dan hal lain yang serupa yang terus berlangsung
semasa karyawan yang terluka tidak produktif
1.4. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Heinrich (1986)
mendefinisikan pencegahan kecelakaan sebagai suatu program
terintegrasi dengan sejumlah aktivitas yang dikoordinasikan
berdasarkan pengetahuan, sikap, dan kemampuan, dimana bertujuan
untuk mengendalikan tindakan dan kondisi berbahaya. Pencegahan
kecelakaan tersebut dapat berupa pendekatan langsung dan tidak
langsung. Pendekatan langsung mencakup pengendalian yang dilakukan
terhadap performa personal dan lingkungan. Sementara itu,
pendekatan tidak langsung bersifat jangka panjang, seperti
instruksi kerja, serta pendidikan dan pelatihan pekerja. Pencegahan
kecelakaan yang diungkapkan oleh Heinrich menekankan pada hal-hal
yang dapat mempengaruhi sikap pekerja. Pengembangan pencatatan
kecelakaan sangat berperan dalam mengeliminasi penyebab kecelakaan.
Apabila hal ini dilakukan, maka diharapkan dapat memberikan efek
yang menguntungkan dalam perilaku pekerja. Adanya pencatatan
kecelakaan dapat membantu dalam memperoleh informasi tentang
tindakan berbahaya dan faktor personal yang berperan sebagai
penyebab kecelakaan, sehingga tindakan perbaikan terkait perilaku
pekerja dapat dilakukan untuk mewujudkan perilaku pekerja yang aman
selama bekerja. International Labour Office (1989) mengungkapkan
beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan keselamatan
kerja di dalam sektor industri, antara lain:
a. Pemenuhan peraturan-peraturan terkait dengan keselamatan
kerja, seperti pengawasan, kewajiban pengusaha dan pekerja,
pelatihan, pertolongan pertama, dan pemeriksaan kesehatan; b.
Penetapan standardisasi, baik resmi, setengah resmi, maupun tidak
resmi, misalnya mengenai alat pengamanan perorangan; c. Melakukan
riset teknis terkait dengan kegiatan perusahaan untuk
meminimalisasi bahaya yang ada; d. Melakukan riset medis untuk
mengetahui dampak fungsiologis dan patologis dari faktor
lingkungan, fisik, dan teknologi yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan di tempat kerja; e. Melakukan riset psikologis untuk
mengetahui pola psikologis yang menjadi penyebab kecelakaan; f.
Melakukan riset statistik untuk mengetahui jenis kecelakaan yang
terjadi, frekuensi kecelakaan, pekerja yang terlibat, serta
penyebab kecelakaan; h. g. Melakukan pendidikan dan pelatihan
mengenai keselamatan kerja untuk pekerja, khususnya bagi pekerja
baru; h. Penerapan berbagai metode persuasi untuk meningkatkan
kesadaran pekerja mengenai keselamatan di tempat kerja; i. Asuransi
dengan cara penyediaan dana untuk meningkatkan upaya pencegahan
kecelakaan; j. Tindakan pengamanan yang dilakukan oleh
masing-masing pekerja;
1.5. Kerangka konsep Teori Loss Causation Model dikembangkan
oleh International Loss Control Institute. Teori ini merupakan
pengembangan dari teori domino klasik yang dikembangkan oleh
Heinrich. Teori ini mencoba mencari loss (kerugian) akibat
kecelakaan kerja yang diawali dengan lack of control (kurangnya
kontrol dari pihak menajemen) yang menyebabkan timbulnya basic
cause (penyebab dasar) dan immediate cause (penyebab langsung),
sehingga timbul kecelakaan dan berakhir dengan kerugian pada
people, property, dan process.
Lack
ofControlInadequateProgramInadequateProgramStandardsCompliance
toStandardsPenyebabLangsungindakanBerbahayaKondisiBerbahayaPenyebab
DasarFaktorPribadiFaktorPekerjaanLossPeoplePropertyprocess
kecelakaan
DepartemenJabatanUsiaLama kerja
Kerangka Teori terjadinya kecelakaan menurut heinrich
Poor management safety policy dan decitionsPersonal
factorEnvironmental factorUnsafe actUnsafe conditionIndirect
caseUnplanned release of energy and / or hazardous
materialaccidentThe three basic case
BAB IIITINJAUAN KASUS
3.1. Kasus kecelakaan kerjaAlat Pelindung Diri pada dasarnya
merupakan alat yang sangat penting, sebab alat tersebut adalah
upaya terakhir dalam usaha melindungi pekerja setelah upaya
rekayasa (engineering) dan administratif oleh perusahaan (alat
pelindung diri, 2008). Hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi
maupun mengurangi tingkat kecelakaan kerja yang kerap terjadi
akibat tindakan pencegahan melalui rekayasa (engineering) seperti
perbaikan alat atau mesin kerja yang sudah tidak bisa dilakukan
oleh perusahaan. APD sendiri memiliki bermacam-macam jenis, hal
tersebut tergantung pada resiko yang akan dihadapi di lingkungan
kerja. Macam-macam jenisnya yaitusafety helmet, sabuk keselamatan
dan tali pengaman (safety beltdanharness), sepatu karet
(sepatuboot), sepatu pelindung (safety shoes), sarung tangan,
penutup telinga (ear Plug / ear Muff), kaca mata pengaman (safety
glasses), masker (respirator), pelindung wajah (Face Shield), jas
hujan (rain coat) (Alat pelindung diri 2012). Peristiwa kecelakaan
kerja di Indonesia sering terjadi bila dibandingkan dengan negara
lain akibat kurang memahami pentingnya penggunaan APD. Berdasarkan
data PT JAMSOSTEK (2010), dari Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans) bahwa sepanjang tahun 2009 saja telah
terjadi 54.395 kasus kecelakaan. Jika diasumsikan 264 hari kerja
dalam setahun, maka rata-rata ada 17 tenaga kerja mengalami cacat
fungsi akibat kecelakaan kerja setiap hari.Beberapa kejadian
kecelakaan kerja di Indonesia disebabkan oleh pekerja yang tidak
menerapkan standarsafetyyang lengkap seperti penggunaan APD. Hal
tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus kecelakaan yang pernah
terjadi dan penyebab kecelakaan dari tahun ke tahun selalu
berulang-ulang dan terkesan tiap kasus kecelakaan kerja yang pernah
terjadi tidak dilakukan evalusi dan perbaikan oleh perusahaan
maupun pekerja di Indonesia agar tidak terjadi lagi kedepannya.
Jadi, sampai saat ini yang menjadi penyebab kecelakaan masih sama
yaitu tanpa standar keamanan yang lengkap seperti penggunaan APD.
Hal tesebut juga tidak hanya terjadi pada satu bidang saja, akan
tetapi terjadi di semua bidang pekerjaan. Ini adalah salah satu
contoh kasus kecelakaan kerja :Kasus kecelakaan yang terjadi pada
16 Mei 2011, Seorang pekerja meninggal secara tragis setelah
terjatuh dari lantai 6 hotel Amaris di Jalan Raya Pajajaran Bogor
Tengah Kota Bogor dengan luka parah di kepala dan tulang belakang.
Korban terjatuh karena terpeleset di area yang licin akibat turun
hujan deras dan juga korban tidak memakai tidak
menggunakanhelmpengaman dansafety belt(Pos kota 2011).
Analisis kecelakaan kerja :Untuk menganalisis dan mengjasi kasus
kecelakaan tersebut saya akan memakai teori heinrich yaitu teori
domino. Yang akan di kaji yaitu dari tiga aspek, yang pertama dari
aspek unsafe act, unsafe condition, kelemahan system
management.Yang pertama dilihat dari unsafe act, pekerja yang
mengalami kecelakaan tersebut tidak memakai helm, safety shoes, dan
safety belt sehingga dari hal tersebut pekerja memiliki resiko
untuk terjadinya kecelakaanYang kedua dilihat dari unsafe
condition, kondisi tempat kejadian kecelakaan di hotel amaris
tersebut yaitu bekerja di ketinggian, area yang licin, dan sedang
turun hujan yang deras. Dengan adanya unsafe condition tersebut
terjadinya resiko kecelakaan akan sangat besar, dikarenakan bekerja
di ketinggian dengan area yang licin dan turun hujan yang
deras.Yang ketiga dilihat dari kelemahan system management, disini
sangat jelas terlihat untuk system management sangat lah buruk
dikarenakan tidak ada control dan pengawasan dari management untuk
memonitoring para pekerja yang tidak menggunakan APDSetelah
mengkaji dari ketiga aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa
terjadinya kecelakaan seperti disebutkan dalam teori domino,
kecelakaan terjadi karena para pekerja tidak memakai alat pelindung
diri seperti helm, safety belt, dan safety shoes. Di tambah dengan
kondisi tempat kerja basah dan licin akibat di guyur hujan, dan
bekerja di tempat ketinggian semua itu merupakan sebuah resiko
terjadinya kecelakaan. Dari segi management merupakan kartu domino
yang terahir untuk mencegah terjadinya suatu kecelakaan, terlihat
kasus di atas tidak adanya monitoring kepada para pegawai dari
pihak management. Jadi, sudah tidak bisa di hindarkan lagi setelah
semua ketiga aspek itu tidak berjalan dengan baik maka akan
terjadilah kecelakan. Sesuai dengan teori heinrich 88% terjadi
kecelakaan apabila ketiga aspek tersebut sudah terjatuh seperti
karu domino.Dapat disimpulkan Berdasarkan kejadian kecelakaan
diatas, bahwa ada perilaku pekerja Indonesia yang kurang baik dalam
memahami resiko kecelakaan yang mungkin terjadi seperti kejadian
sebelumnya dan juga tidak memahami betapa pentingnya
peralatansafetyuntuk digunakan di lingkungan yang memiliki resiko
kecelakaan sebagai keamanan dirinya. Hal tersebut juga
menggambarkan perilaku pekerja kurang peka akan pentingnya
keselamatan bagi dirinya. Perilaku pekerja terutama di Indonesia
yang mengabaikan penggunaan peralatansafety(APD) dikarenakan
beberapa alasan baik disengaja maupun tidak disengaja. Berdasarkan
hasilsurveyada 5 alasan yang paling sering di kemukakan bagi
pekerja yang tidak menggunakan APD (tanpa APD 2010), sebagai
berikut :
a. Lupa karena terburu-buruAlasan tersebut bisa disebabkan
karena : Pekerja datang terlambat saat bekerja. Pekerja lupa
peralatansafetyapa saja yang harus akan dipakainya pada kondisi
lingkungan kerja yang akan dihadapinya.Solusinya : Terapkan sangsi
bagi pekerja yang terlambat sehingga tidak memakai APD dan pekerja
selalu diingatkan untuk memakainya. Beri informasi standar prosedur
penggunaan APD. Misalnya di tempel gambar penggunaan macam-macam
APD dan di lingkungan mana saja menggunakan alat-alat tersebut.
Informasi tersebut dapat ditempel di area atau lingkungan yang
berhaya bagi pekerja atau bisa juga di tempat sekitar area dimana
APD tersebut diletakkan.
b. Tidak nyaman untuk di pakaiAlasan tersebut bisa disebabkan
karena : Merasa risih karena tidak terbiasa memakainya. Merasa malu
karena bentuk dari APD terkesan aneh bagi pekerja yang belum pernah
melihat dan memakai sebelumnya. Ukurannya tidak sesuai dengan
ukuran tubuh tiap pekerja. Beratnya APD menambah beban tubuh saat
bekerja.Solusinya : Memberikan penjelasan akan pentingnya APD serta
membiasakan mereka selalu memakainya dalam kondisi apapun.
Memberikan penjelasan tentang APD dan memberi macam-macam bentuknya
serta manfaat kegunaannya. Selain itu juga, perusahaan perlu
memberikan informasi kepada pekerja bahwa sudah banyak orang
memakai APD di semua bidang pekerjaan. Jadikan penggunaan APD
sebagai budaya perusahaan dan juga sebagai suatu filosofi bahwa
berada di tempat kerja harus pakai APD. Selalu menanyakan apakah
ada masalah terhadap ukurannya maupun beratnya. Hal ini dimaksudkan
agar perusahaan menyediakan yang sesuai atau memikirkan alternatif
lain agar pekerja tetap aman. Memberikan contoh cara penggunaan
yang benar, sehingga bila dipakai terasa nyaman.c. Kurang paham
kapan saat memakainyaAlasan tersebut bisa disebabkan karena : Tidak
adatrainingyang dilakukan oleh perusahaan tentang pemahaman kapan
pekerja harus menggunakannya. Pekerja sudah dapat materitraining,
tetapi belum memahaminya.Solusinya : Sebaiknya perusahaan selalu
mengadakan training tentang APD. Hal tersebut akan membuat pekerja
paham kapan mereka memakainya, serta memahami dalam kondisi atau
lingkungan yang bagaimana harus menggunakannya. Setelah dapat
materitraining, pekerja harus memberikan keterangan tertulis kepada
perusahaan apabila mereka sudah paham. Hal tersebut dilakukan agar
pekerja tidak memberikan alasan seperti sebelumnya yaitu kurang
paham tentang waktu penggunaannya jika terjadi kesalahan tidak
memakai APD.d. Tidak ada/ tidak punya waktu untuk memakaiAlasan
tersebut bisa disebabkan karena : Jarak antara waktu kedatangan
pekerja dengan waktu di mulainya pekerjaan sangat sedikit. Jadi,
pekerja datang langsung melakukan aktifitas pekerjaan sehingga
tidak sempat menggunakan APD. Tidak ada jeda waktu saat pekejaan di
area lingkungan yang satu dengan berlanjut ke area yang lain.
Misalnya pekerja mula-mula bekerja diarea yang mengharuskan
menggunakansafety helmet, kemudian dia langsung melanjutkan
pekerjaan yang lain di area yang diharuskan menggunakansafety
beltdan tali pengaman tanpa ada waktu jeda sehingga pekerja tidak
menyempatkan diri untuk memakainya.Solusinya : Terapkan disiplin
pada karyawan saat datang di perusahaan. Misalnya menerapkan aturan
bahwa pekerja harus datang 30 menit sebelum di mulainya pekerjaan.
Apabila pekerjaan yang satu kemudian berlanjut ke pekerjaan yang
lain, sebaiknya diberi waktu jeda beberapa menit agar pekerja dapat
menggunakan APD jenis lain sesuai dengan resiko dari lingkungan
tersebut. Hal tersebut perlu dilakukan jika memang pekerja harus
memakai APD yang berbeda dari sebelumnya.e. Merasa Tidak akan
celakaAlasan tersebut bisa disebabkan karena : Pekerja merasa
sangat yakin bahwa tanpa APD akan tetap aman. Hal tersebut karena
beranggapan bahwa apa yang akan dilakukannya aman dan tidak
menimbulkan resiko kecelakaan. Akibat perilaku sebelumnya, dimana
saat tidak menggunakan APD ternyata aman. Jadi, hal tersebut
membuat pekerja berasumsi bahwa saat ini juga pasti aman seperti
sebelumnya.Solusinya : Perlu dilakukan suatu forum diskusi atau
seminar tentang pentingnya memahami situasi yang menggambarkan
kemungkinan resiko kecelakaan. Dalam hal ini, pembicara dari korban
kecelakaan yang sebelumnya merasa yakin tidak akan celaka saat
bekerja. Hal ini untuk memberikan penjelasan bahwa kecelakaan
kemungkinan terjadi, sehingga pekerja harus selalu pakai APD
walaupun merasa tidak akan celaka. Melakukan komunikasi dengan
pekerja dengan cara mendatangkan seorang psikolog. Dalam Hal ini,
psikolog bertujuan merubah pandangan pekerja misalnya berpandangan
bahwa kemarin aman berarti sekarang aman dirubah persepsinya yaitu
sekarang aman, besok belum tentu aman. Selain itu juga, memberikan
suatu penjelasan tentang pentingnya suatu kehidupan bagi pekerja.
Jika pekerja sudah paham akan pentingnya suatu kehidupan pasti akan
selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan, sehingga
menyadari bahwa APD penting untuk digunakan saat bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Higine perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes), dari DR.
sumamur P.K., Msc, yang diterbitkan Sagung Seto, 2009Kesehatan
kerja, dari J. M. Harrington & F. S. Gill, yang diterbitkan
EGC, 2005Manajemen resiko, dari Ramli Soehatman, yang diterbitkan,
Dian Rakya, 2010System manajemen keselamatan & kesehatan kerja,
dari Ramli Soehatman, yang diterbitkan Dian Rakyat, 2010Alat
pelindung diri 2012, artikel wiki, 11 April 2012, diakses 27
oktober 2014
Alat Pelindung Diri, Balai K3 Bandung, weblog, 4 April 2008, di
akses 27 oktober 2014,
Tak Pakai Safety Belt & Helm Diduga Sebabkan 2 Kuli Tewas,
berita detikcom, 9 Agustus 2007, diakses 27 oktober 2014,
Tak Pakai Pengaman, Pekerja Tewas Jatuh dari Lantai 6, berita
pos kota, 17 mei 2011, diakses 27 oktober 2014,
Pekerja tewas terjatuh di cibinong square, beritaokezone.com, 29
April 2012, diakses 27 oktober 2014,
Tanpa APD, 2010, wblog, 22 April 2010, diakses 27 oktober
2014
26