BAB IV TEMUAN, INTERPRETASI, DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Dalam bab ini dibahas tiga bagian penting yang terkait dengan masalah dan pertanyaan penelitian. Pada bagian pertama disajikan temuan penelitian yang terdiri atas: kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang diperoleh melalui studi pendahuluan, desain model pembelajaran yang dikembangkan dan prosedur pelaksanaannya, hasil uji coba model skala terbatas dan lebih luas, dan efektivitas model melajui hasil uji validasi. Selanjutnya, pada bagian kedua diuraikan interpretasi hasil penelitian, dan terakhir, pada bagian ketiga dipaparkan pembahasan hasil penelitian. A. Temuan Penelitian 1. Hasil Studi Pendahuluan Metode penelitian Educational Research and Development mempersyaratkan dilakukan studi pendahuluan sebelum sebuah model pembelajaran dikembangkan. Studi pendahuluan penting dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh data dari sumber-sumber yang telah ditetapkan dalam rancangan penelitian. Selain itu, hasil studi pendahuluan merupakan basis konseptual yang diperoleh dari teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan serta kajian kondisi aktual lapangan untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran. Dalam penelitian ini, dengan dukungan hasil studi pendahuluan diperoleh model pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa kelas V sekolah dasar serta dengan kondisi lingkungan yang tersedia. Untuk memperoleh kondisi aktual lapangan, ada dua sumber data yang digunakan dalam studi pendahuluan, yaitu: siswa kelas V dan guru yang mengajar di kelas V 125
178
Embed
BAB IV TEMUAN, INTERPRETASI, DAN PEMBAHASAN HASIL ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV TEMUAN, INTERPRETASI, DAN PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini dibahas tiga bagian penting yang terkait dengan masalah dan
pertanyaan penelitian. Pada bagian pertama disajikan temuan penelitian yang terdiri atas:
kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar yang diperoleh melalui studi
pendahuluan, desain model pembelajaran yang dikembangkan dan prosedur
pelaksanaannya, hasil uji coba model skala terbatas dan lebih luas, dan efektivitas model
melajui hasil uji validasi. Selanjutnya, pada bagian kedua diuraikan interpretasi hasil
penelitian, dan terakhir, pada bagian ketiga dipaparkan pembahasan hasil penelitian.
A. Temuan Penelitian
1. Hasil Studi Pendahuluan
Metode penelitian Educational Research and Development mempersyaratkan
dilakukan studi pendahuluan sebelum sebuah model pembelajaran dikembangkan. Studi
pendahuluan penting dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh data dari
sumber-sumber yang telah ditetapkan dalam rancangan penelitian. Selain itu, hasil studi
pendahuluan merupakan basis konseptual yang diperoleh dari teori-teori dan hasil
penelitian terdahulu yang relevan serta kajian kondisi aktual lapangan untuk
mengembangkan sebuah model pembelajaran. Dalam penelitian ini, dengan dukungan
hasil studi pendahuluan diperoleh model pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan
dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa kelas V sekolah dasar serta dengan kondisi
lingkungan yang tersedia.
Untuk memperoleh kondisi aktual lapangan, ada dua sumber data yang digunakan
dalam studi pendahuluan, yaitu: siswa kelas V dan guru yang mengajar di kelas V
125
126
Table 4.1 Sumber Data Penelitian dalam Studi Pendahuluan
No. Sekolah Kategori Jumlah Siswa
Kecamatan
1. SDN 1 Kendari Baik 42 orang Kendari 2. SDS Katolik 22 Sedang 40 orang Kendari 3. SDN 3 Baruga Kurang 34 orang Baruga 4. SDN 12 Baruga Baik 42 orang Baruga 5. SDN 1 Baruga Sedang 36 orang Baruga 6. SDN 9 Mandonga Kurang 30 orang Mandonga 7. SDN 12 Kendari Baik 30 orang Kendari 8. SDN 12 Mandonga Sedang 32 orang Mandonga 9. SDN 6 Baruga Kurang 34 orang Mandonga
sekolah dasar yang tersebar dalam wilayah kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Instrumen
yang digunakan adalah pedoman observasi berberituk rating scale ditambah dengan
catatan seperlunya, pedoman wawancara, dan dokumentasi.
Responden yang merupakan sumber data tersebut berupa sampel yang ditentukan
melalaui teknik sample bertujuan (purposive sampling) bagi penentuan daerah kecamatan
dan sample berstrata {stratified sampling) untuk penentuan sekolah dasar dalam setiap
kecamatan. Prosedur penentuan ditempuh dengan memilih tiga dari empat kecamatan
dalam wilayah kota Kendari, Provinsi Sulawsi Tenggara. Langkah berikut adalah
memilih tiga sekolah dasar berkategori baik, tiga berkategori sedang, dan tiga lainnya
berkategori kurang dari ketiga kecamatan terpilih. Kriteria penentuan kategori masing-
masing sekolah dasar terpilih diperoleh dari Ka Subdin PSD Dinas Pendidikan Kota
Kendari dan dari Pengawas TK/SD setempat Untuk lebih jelasnya penyebaran dan
kategori sekolah dasar yang menjadi sumber data pada studi pendahuluan dapat dilihat
pada table 4.1 berikut.
127
Table 4.2 Identitas Responden Guru
Kode Guru Pendidikan Terabir
Pengalaman Mengajar Bhs. Inggris di SD
Pengalaman Mengajar Bhs.
Inggris di Kelas V
A Sarjana Muda IAIN, 8 tahun 6 tahun Tarbiah
B Sarjana Pendidikan 4 tahun 4 tahun Bahasa Inggris
C D3 Pendidikan 5 tahun 4 tahun Bahasa Inggris
D Sarjana Pendidikan 5 tahun 3 tahun Bahasa Inggris
E D3 Pendidikan 5 tahun 5 tahun Bahasa Inggris
F Sarjana Pendidikan 1 tahun 1 tahun Bahasa Inggris
G Sarjana Pendidikan 8 tahun 8 tahun Bahasa Inggris
H D3 Pendidikan 3 tahun 3 tahun Bahasa Inggris
I Sarjana Perikanan 3 tahun 3 tahun
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hanya ada dua orang yang tidak berlatar
belakang pendidikan bahasa Inggris dari sembilan orang guru responden atau 22,22%. Ini
bearti 77,78% adalah guru yang dipandang layak mengajar bahasa Inggris secara formal,
dengan rincian empat orang berkualifikasi SI , dan tiga orang lainnya D3. Untuk lama
mengajar, hanya satu orang yang baru berpengalaman satu tahun, selebihnya cukup
berpengalaman dengan rentang antara tiga sampai delapan tahun. Dengan kenyataan ini
Berikut adalah identitas responden guru khususnya yang terkait dengan
pendidikan terakhir, pengalaman mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar, dan lama
mengajar bahasa Inggris di kelas V sekolah dasar seperti pada table 4.2.
128
kualitas belajar mengajar lebih mudah ditingkatkan karena tingkat pendidikan guru yang
memadai untuk mengajar di sekolah dasar.
Dalam studi pendahuluan, diperoleh kondisi pembelajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar yang dilakukan melalui studi dokumentasi, observasi kelas, dan
wawancara. Dari studi dokumentasi dan observasi kelas diperoleh data yang terkait
dengan komponen pembelajaran dengan rincian: tujuan dan rencana pembelajaran, bahan
ajar dan metode penyampaian, proses dan interaksi pembelajaran, dan evaluasi proses
dan hasil belajar. Selain itu melalui interview dengan responden guru dan siswa
diperoleh data tentang: bagaimana guru mengembangkan kompetensi komunikatif; dan
bagaimana siswa memperoleh pembelajaran bahasa Inggris. Melalui angket terbuka dan
interview tak berstruktur, dijaring data tentang motivasi dan sikap siswa kelas V sekolah
dasar terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
a. Kondisi pembelajaran di sekolah dasar
Tujuan dan Rencana Pembelajaran
Sembilan orang guru yang menjadi responden penelitian ini terbagi dua kelompok
dalam memandang dan memperlakukan tujuan dan rencana pembelajaran. Tiga orang
yang menyiapkan rencana pembelajaran (33,33%), enam orang lainnya (66,67%)
mengajar tanpa rencana tertulis atau hanya mengikuti alur kegiatan dalam buku sumber
dengan sedikit modifikasi urutan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Kelompok pertama menganggap perlu membuat catatan khusus (rencana
pembelajaran) yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengalaman
belajar kepada siswa melalui rumusan kompetensi dasar, tujuan, dan indikator
ketercapaian kompetensi dasar. Hal itu dimaksudkan agar mereka tidak keluar dari
129
rencana pemberian pengalaman belajar yang telah ditetapkan atas pertimbangan tugas
dan latihan berbahasa Inggris yang realistis dan pedagogis. Dari pendapat itu jelas
terlihat kemampuan guru yang sangat memadai untuk dikembangkan lebih jauh agar
dapat memfasilitasi dan membimbing siswa belajar.
Kelompok kedua lebih bergantung pada buku sumber dengan hanya sedikit
memperhatikan kesesuaian bahan ajar dan tugas serta latihan yang diberikan. Kelompok
itu memandang buku sumber sebagai acuan setiap kegiatan belajar bahasa Inggris
sehingga cenderung mengikuti metode yang disarankan penulis dalam urutan
penyampaian, dan cara mengerjakan tugas dan latihan, tanpa memperhatikan jumlah
waktu (pace) yang sesuai berdasarkan tujuan pengembangan kompetensi terkait.
Akibatnya, pembelajaran cenderung kaku dan monoton karena didikte oleh penulis yang
jauh dari pemahaman kondisi kelas tempat buku itu digunakan. Berikut beberapa hal
yang dapat d [kemukakan dari kedua kelompok di atas:
Karena tidak memiliki silabus kurikulum muatan lokal, guru cenderung tidak
merumuskan kompetensi dasar, tujuan, dan indikator. Rumusan kompetesi dasar secara
umum dipetik atau diadaptasi dari Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Inggris SMP
atau dari buku sumber tanpa memperhatikan penekanan pengalaman belajar yang
menjadi fokus. Kompetensi dasar dan indikator secara umum belum sesuai dengan tugas
dan latihan yang diberikan. Tugas dan latihan tersebut masih ada yang kurang bermakna
dan relevan dengan perkembangan siswa khususnya yang berkaitan dengan faktor
Sebagian besar guru terpaku pada materi, tugas dan latihan dalam satu buku
sumber tertentu tanpa memperhatikan faktor processing capacify bahasa siswa dalam
menyelesaikan tugas dan latihan tersebut. Mereka belum menyesuaikan materi, tugas dan
latihan dengan tingkat kemampuan siswa.Variasi materi, tugas dan latihan lebih banyak
bergantung pada buku acuan guru. Sebagian besar guru hanya mengikuti irama penulis
yang menuangkan materi, tugas dan latihan berdasarkan variabilitas yang tidak
meperhitungkan kebutuhan ril siswa secara spesifik. Karena itu pembelajaran cenderung
terpaku pada pemberian pengalaman berbahasa yang kurang komunikatif dengan
dominasi tugas dan latihan pedagogis dengan format jawaban 'benar/salah'. Tidak
memberi peluang kepada siswa berpikir divergen.
Semua guru telah memberi pengalaman baru bagi siswa, walaupun kurang
memperhatikan realitas tentang dimana, kapan, dan kepada siapa sebuah ujaran sesuai
digunakan. Selain itu, mereka juga belum mampu membedakan kompleksitas tuntutan
kognitif yang dikandung oleh tugas dan latihan tersebut sehingga urutan sering tidak
mengikuti prinsip dari yang mudah ke yang sulit atau dari yang konkret ke yang abstrak.
Guru masih kurang memahami bagaimana: memfasilitasi siswa agar mampu
mengungkapkan dirinya sendiri melalui kegiatan komunikatif, menyajikan kosa kata dan
ujaran baru sesuai tingkat perkembangan siswa, mengarahkan siswa agar mampu
menggunakan bahasa lisan atau tulis yang bermakna dan mengalir secara alami
berdasarkan topik dan hubungan interpersonal antar pemakai bahasa, dan menyajikan
bahasa yang bermakna dalam konteks budaya penutur asli.
131
Metode Penyampaian
Sebagian besar guru belum memahami pentingnya kegiatan pendahuluan untuk
mengantar siswa memasuki pengalaman baru. Mereka membuka pelajaran dengan
mengajukan pertanyaan tentang apa yang dipelajari siswa sebelumnya. Jika pertanyaan
tidak dijawab benar, maka guru menjelaskan kembali materi tersebut. Kemudian
memberi penjelasan tentang apa yang akan dipelajari saat itu.
Pada kegiatan inti guru telah memfasilitasi rekonstruksi pengalaman baru,
namun sebatas hanya dengan mengerjakan tugas/latihan yang ada dalam buku teks.
Sebelum siswa mengerjakan tugas/latihan, guru terlebih dahulu memberi contoh
penyelesaian soal. Kemuadian ia memberi waktu kepada siswa untuk menyelesaikan
soal-soal itu baik secara individu maupun kelompok. Setelah siswa selesai, guru lalu
mengecek jawaban dan menjelaskan kembali jawaban yang salah. Pada kegiatan
penutup, guru memberi pekerjaan rumah yang dipetik dari soal-soal yang ada dalam
buku teks, yang belum sempat diselesaikan siswa pada saat kegiatan inti berlangsung.
Guru telah memberi bantuan baik secara klasikal maupun individual bila siswa
menemukan kesulitan. Satu hal esensial yang belum dilakukan adalah memberikan
bimbingan dan mengarahkan siswa secara bertahap menemukan oleh diri sendiri fakta,
pengetahuan dan keterampilan yang menjadi tujuan pembelajaran.
Ternyata semua guru tidak melakukan umpan balik melalui pertanyaan terarah.
Siswa belum diberi kesempatan menyadari pengalaman yang baru diperoleh agar dapat
membandingkannya dengan pengetahuan dan keterampilan sebelumnya. Namun, mereka
memberi penguatan positif berupa pujian bagi siswa yang telah berhasil menjawab
dengan benar. Hal berbeda adalah frekuensi pemberian pujian. Ada yang memberi pujian
132
terlalu sering sehingga cenderung dimaknai sebagai ungkapan yang biasa saja dilakukan
guru, artinya tidak memberi makna apa-apa yang dapat memotivasi belajar.
Kegiatan pembelajaran belum memfasilitasi penerapan fakta, pengetahuan, dan
keterampilan yang baru diperoleh dalam memecahkan persoalan-persoalan pedagogi k
atau autentik. Tugas dan latihan yang diberikan guru terpaku pada kegiatan inti, yang di
dalamnya siswa diperhadapkan lebih bayak pada penyelesaian persoalan pedagogik dari
buku sumber. Penggunaan media belum dapat mempermudah siswa memahami konsep-
konsep bahasa karena tidak disertai dengan konteks yang jelas. Guru juga belum
menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Misalnya pemanfaatan diri sendiri dan
lingkungan sekitar siswa untuk memperkenalkan kosa kata baru dan kegiatan-kegiatan
komunikatif seperti menulis atau berbicara tentang sebuah topik.
Semua guru belum menyajikan drill bermakna {meaningful drill) Mereka
menyajikan drill mekanis, siswa mengulangi ujaran yang diucapkan guru dengan
penekanan pada bunyi bahasa dan intonasi yang dianggap tepat. Prosedur yang ditempuh
mulai dari pengulangan secara klasikal, separuh kelas, dan akhirnya secara individual.
Demikian seterusnya sampai siswa mampu melafalkan bunyi-bunyi bahasa dan intonasi
kalimat yang berterima. Guru selalu mngeroksi kesalahan siswa. Namun, belum semua
guru mampu melaksanakan koreksi kesalahan siswa dengan cara yang lebih santun.
Misalnya melalui parafrase atau mengulangi kalimat yang sama dalam bentuk dan
pengucapan yang benar sambil memberi kesan melalui tatapan atau dengan nada dan
mimik tertentu.
Proses/Interaksi Pembelajaran L ^
Proses Pembelajaran \ • SlV^-S* ,
Guru menyajikan materi dengan lancar karena telah mempelajariny^sefeehffif^
masuk kelas bahkan ada di antara mereka membawa catatan kecil untuk mengatur urutan
penyajian dengan sedikit modifikasi dari buku sumber. Modifikasi urutan penyajian
dilakukan berdasarkan urutan logis yang diperkirakan sesuai dengan materi yang relevan
dengan topik tertentu. Namun, pengaturan waktu kegiatan sering diabaikan sehingga
penyelesaian tugas dan latihan sering ditentukan oleh cepat-lambatnya siswa. Hal itu
terjadi karena mereka belum memiliki pengetahuan berapa waktu yang tepat bagi anak
untuk menyelesaikan tugas dan latihan sesuai tuntutan kognitif yang melekat di dalam
tugas tersebut.
Penjelasan guru pada setiap pelaksanaan tugas sangat bervariasi. Ada yang
menjelaskan setelah yakin siswa siap menerima penjelasan. Sebagian menjelaskan tanpa
memperhatikan apakah semua siswa sudah siap atau belum. Lainnya memberi penjelasan
sambil mengecek pemahaman siswa melalui pertanyaan atau menyuruh salah seorang
menjelaskan kembali cara mengerjakan tugas dan latihan tersebut
Hanya sebagian kegiatan pembelajaran yang dipantau memperlihatkan bahwa
siswa cenderung lebih aktif daripada guru dalam menyelesaikan tugas dan latihan. Dalam
hal ini, siswa mengajukan pertanyaan bila menemukan masalah yang belum dapat
dipecahkan sendiri. Cara guru menjawab pertanyaan siswa bervariasi. Ada yang
menjawab sambil menuliskannya di papan tulis. Sebagian menjawab sambil menyuruh
siswa memperhatikan buku sumber kemudian menjelaskan dengan panjang lebar. Yang
lainnya menjawab setelah memastikan tak ada siswa lain yang dapat membantu.
134
Pada umumnya guru memberi bantuan sesuai kebutuhan, yang berbeda adalah
caranya- Sebagian berkeliling kelas memantau siswa dalam mengerjakan tugas dan
latihan sambil memberi penjelasan singkat bila menemukan siswa dalam kesulitan, yang
lain hanya menunggu pertanyaan dari siswa sambil memantau kegiatan dari depan kelas,
bantuan biasanya diberikan dalam bentuk penjelasan keseluruh kelas.
Guru memiliki kesungguhan menyajikan pelajaran. Hal itu dibuktikan dengan
suara yang lantang cukup terdengar ke seluruh kelas, mimik yang menampakkan
kesungguhan dan air muka yang berseri-seri, serta perlakuan kepada siswa yang baik.
Semua guru membangun hubungan baik (rappori) dengan siswa yang memfasilitasi
proses belajar yang tidak mencekam (non-threatening atmosphere). Guru dan siswa
memahami peran dan tugas masing-masing sehingga tidak terjadi salah komunikasi
ketika melaksanakan tugas dan peran tersebut, walaupun guru sesekali menggunakan
bahasa Inggris.
Dalam hai berbahasa Inggris, semua guru masih membutuhkan peningkatan
kelancaran (fluency) dan ketepatan (accwacy) yang lebih baik, baik menyangkut tata
bahasa dan pemilihan kata maupun pengucapan dan aksen yang tepat (register) untuk
mengungkapkan ide dan gagasan. Guru kurang kreatif menggunakan the teacher 's meta-
language, sehingga terkesan hanya ungkapan itu-itu saja yang dapat dikatakan, misalnya
good morning, openyour book dan lain-lain.
Guru juga kurang kreatif dalam mengorganisasi kelas, proses pembelajaran
cenderung monoton. Mereka mengatur siswa bekerja secara individual, sesekali
berpasangan dalam praktik bercakap dengan membaca dialog dari buku sumber.
Demikian juga dalam kegiatan memberi bimbingan dan menyelesaikan tugas dan latihan,
135
serta menentukan alat bantu pembelajaran. Sebagian besar guru hanya menggunakan alat
bantu dengan memanfaatkan gambar dalam buku sumber, yang lain membuat sendiri
sesuai dengan kebutuhan topik pembelajaran.
Inisiatif guru terlihat dari seberapa sering dan variatifnya mendorong siswa agar
belajar lebih tekun ketika menemukan siswa yang memerlukan bantuan menyelesaikan
tugas dan latihan. Tidak semua guru mampu melakukan inisiasi yang tepat untuk
menstimulasi (memotivasi) siswa agar menyelesaikan tugas dan latihan dengan baik.
Interaksi pembelajaran.
Pada umumnya guru belum secara optimal mendorong semua siswa agar
berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan. Siswa belum sepenuhnya diberi kesempatan
mengambil peran dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok melalui diskusi dan
mengambil kesimpulan. Hanya sebagian kecil siswa (terkesan orang-orang yang sama)
yang mendominasi dan terlibat aktif dalam tanya jawab.
Siswa belum memperoleh kesempatan luas untuk bertanya dan berpendapat. Guru
membatasi waktu bertanya, lebih senang menjelaskan seiagi siswa mendengar dengan
tertib. Pada umumnya guru belum mampu menciptakan suasana yang mendorong siswa
mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat Belum semua siswa penuh
perhatian dan terlibat dalam setiap kegiatan. Mereka cenderung pasif dan menunggu
sampai guru turun tangan membantu. Kira-kira 25%-35% yang lain cenderung lebih
memperhatikan, lebih aktif dan berinisiatif melibatkan diri dalam setiap kegiatan.
Suasana kelas cukup kondusif. Siswa tidak merasa cemas kecuali pada pembelajaran
'tata bahasa' ketika siswa diperhadapkan pada jawaban benar atau salah.
]36
Evaluasi
Semua guru belum melakukan evaluasi proses, apalagi menggunakan alat
evaluasi seperti daftar check, penilaian kinerja, dan penilaian kemajuan belajar siswa
lainnya. Guru belum melakukan evaluasi formatif secara formal karena alasan tidak
cukup waktu. Untuk mengetahui keberhasilan siswa, guru mengecek pekerjaan secara
klasikal dengan mengajukan pertanyaan "benar" atau "salah" pada setiap butir soal. Guru
kemudian memperkirakan berapa persen siswa menjawab benar dan salah. Mereka belum
memahami bahwa evaluasi proses penting untuk memantau kemajuan belajar siswa
sehingga tidak mempersiapkannya dari awal.
Guru tidak menyiapkan evaluasi hasil belajar dengan baik, belum membuat kisi-
kisi tes. Butir-butir tes tidak mewakili empat keterampilan bahasa dan unsur-unsur
bahasa, bahkan cenderung fokus pada testing the language areas saja dalam bentuk
discrete Hem tesi. Sebagian besar guru hanya memetik kembali soal-soal dari tugas dan
latihan dari buku sumber yang telah diselesaikan siswa sebelumnya. Melalui analisis
dokumen, ditemukan kurang lebih 83,33% dari 30 butir soal yang menguji kemampuan
siswa terhadap kosa kata dan tata bahasa. Selebihnya 16,67% menguji kemampuan
membaca pemahaman.
b. Pengembangan kemampuan komunikatif
Dalam wawancara dengan guru, diajukan empat butir pertanyaan pokok, yaitu:
(1) Apa yang Anda ketahui tentang kemampuan komunikatif?; (2) Bagaimana Anda
mengembangkan kemampuan komunikatif?; (3) Adakah pola tertentu yang Anda ikuti?;
dan (4) Bagaimana Anda mengevaluasi kemampuan komunikatif siswa? Berikut adalah
137
uraian hasil wawancara dengan guru yang telah dikalimatkan kembali namun tidak
menyimpang dari maksudnya:
1) Keyakinan guru tentang kemampuan komunikatif
Pemahaman guru terhadap kemampuan komunikatif beragam walaupun hampir
separuh dari mereka sarjana (SI) pendidikan bahasa Inggris dan dua di antaranya D3
pendidikan bahasa Inggris. Ada yang memahami sebagai kemampuan menyampaikan
dan menerima pesan baik lisan maupun tertulis. Tingkat kemampuan menyampaikan dan
menerima pesan bergantung atas pengetahuan bahasa sebagai media komunikasi yang
digunakan. Menurutnya, semakin luas pengetahuan gramatikal dan unsur-unsur bahasa
lainnya serta pengetahuan tentang situasi kapan dan dimana sebuah ujaran sesuai
digunakan, semakin lancar seseorang menuangkan dan atau memaknai pesan.
Sebagian memahaminya sebagai kemampuan berkomunikasi lisan (tindak tutur
bahasa) yang diajarkan kepada siswa agar mampu dan terampil berkomunikasi dalam
bahasa Inggris di mana dan kapan diperlukan. Kelompok kecil ini menganggap
kemampuan komunikatif sebagai bahan pembelajaran bahasa Inggris baik pada tingkat
sekolah dasar mau pun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Agar memiliki
kemampuan itu, siswa diberi latihan bercakap-cakap secara berpasangan melalui teks
berbentuk dialog dari buku sumber. Selain itu, siswa dilatih mengucapkan bunyi secara
tepat dengan drill, dan menerjemahan kata-kata sulit.
Seorang guru menjelaskan kemampuan komunikatif sebagai kemampuan yang
dimiliki pemakai bahasa untuk mengekspresikan dan menangkap ide, pikiran, perasaan,
dan gagasan. Menurutnya, ada esensi yang terkait dengan kemampuan (kompetensi)
seperti pengetahuan 'tentang bahasa' dan keterampilan menggunakan bahasa sebagai
138
media komunikasi. Pengetahuan mencakup kemampuan merangkai kata dan kalimat
sesuai kaidah tata bahasa yang tepat mewakili pesan yang disampaikan. Pengetahuan saja
tidak cukup, tapi harus disertai dengan keterampilan mengucapkan bunyi bahasa yang
tepat, memilih kata dan kalimat yang sesuai dengan topik serta kepada siapa pembicaraan
ditujukan.
2) Bagaimana Anda mengembangkan kemampuan komunikatif?
Walaupun keyakinan tentang kemampuan komunikatif beragam, cara guru
mengembangkannya cenderung sama. Mereka berangkat dari buku-buku sumber yang
tersedia. Ada yang memilih materi dari beberapa sumber dan ada pula yang memilih dari
satu buku tertentu. Kegiatan yang diberikan sudah mengarah pada pengembangan
kemampuan komunikatif, walaupun tidak jelas fokus pengembangannya. Empat
keterampilan bahasa (language skills) dan unsur-unsur bahasa {language components)
tidak disajikan secara terintegrasi.
Menyimak belum dipersiapkan khusus sebagai pembelajaran. Ketika guru
mengarahkan siswa untuk mengerjakan tugas, siswa biasanya menyimak penjelasan guru
yang disajikan dalam bahasa Inggris. Siswa memahami maksudnya karena penjelasan
diulangi dalam bahasa Indonesia. Membaca kata dan kalimat dilakukan dengan suara
nyaring, dan biasanya menjadi menu utama kegiatan pembelajaran. Berbicara dilakukan
siswa melalui dialog tertulis dari buku sumber tanpa memahami situasi kapan, dimana,
dan kepada siapa ujaran ditujukan. Menulis cenderung merupakan latihan menulis ejaan
(kosa kata) dan kalimat-kalimat lepas, tidak utuh dari konteks sosial dimana sebuah
bentuk bahasa dan ujaran sesuai digunakan.
139
Pada pengembangan unsur-unsur bahasa, guru memberikan tugas dan latihan
kepada siswa sesuai dengan buku sumber. Pada umumnya guru menyajikan tugas dan
latihan kosa kata melalui gambar. Siswa menjawab dengan menuliskan kosa kata
berdasarkan gambar yang disajikan. Kegiatan monoton karena guru tidak mengambil
contoh dari lingkungan siswa, seperti benda-benda yang ada di kelas atau di lingkungan
sekolah. Tak satu orang guru pun yang memperkenalkan kosa kata melalui kegiatan yang
lebih bermakna, misalnya menyuruh siswa melakukan sesuatu yang direspon dengan
melakukan perintah itu.
Untuk mengembangkan kompetensi gramatikal, guru menjelaskan tata bahasa
dengan contoh kalimat dari buku sumber. Siswa mendengar penjelasan guru,
memperhatikan contoh yang diberikan kemudian mengerjakan soal-soal. Setelah itu
pekerjaan siswa dicek dengan menyuruh siswa menulis jawaban di papan tulis. Banyak
waktu yang terbuang dalam kegiatan itu. Guru tidak memperhatikan berapa waktu yang
sesuai untuk peralihan tugas dari kegiatan satu ke yang lain. Latihan pengucapan
dilakukan melalui drill—siswa mengulangi kalimat-kalimat yang diucapkan guru, meniru
pengucapan dan intonasi sebagai model. Drill dilakukan secara klasikal, separuh kelas,
dalam jumlah siswa tertentu, dan secara individual.
3) Adakah pola tertentu yang Anda ikuti?
Semua guru bereaksi sama menanggapi pertanyaan ini. Mereka mengenal
prosedur dengan tiga tahapan pembelajaran: Pendahuluan (mereka sebut apersepsi);
Kegiatan inti; dan Kegiatan penutup.
Pada kegiatan pendahuluan, guru mengajukan pertanyaan yang terkait dengan
materi pembelajaran sebelumnya. Siswa menjawab secara klasikal, biasanya serentak
beberapa orang. Ketika siswa menjawab kurang tepat, guru menjelaskan kembali tanpa
140
memperhatiakan waktu yang tersedia. Setelah semua jelas, guru kemudian
memperkenalkan materi pembelajaran berikutnya melalui penjelasan pengantar.
Memasuki tahap kegiatan inti, guru menyuruh siswa membuka buku sumber, dan
memperkenalkan topik babasan. Penjelasan tentang cara mengerjakan tugas dan latihan
pada umumnya mengawali kegiatan ini. Siswa mendengar penjelasan guru dengan
seksama sambil memperhatikan contoh di papan tulis. Sebagian guru mengecek apakah
siswa mengerti atau tidak dengan menyuruh salah seorang mengulangi atau menjelaskan
kembali apa yang harus dilakukan dan cara melakukannya. Setelah guru yakin, siswa pun
disuruh mengerjakan tugas dan latihan. Guru memonitor dan memberi bantuan kepada
siswa yang mengalami kesulitan. Kegiatan berikut, guru mengecek hasil pekerjaan siswa
secara lisan atau tertulis di papan tulis.
Tahap akhir dari prosedur pembelajaran adalah penutup. Kegiatan pada tahap ini
cenderung dimaknai sebagai kegiatan evaluasi formatif. Evaluasi formatif sering tidak
dilakukan secara formal, akan tetapi hanya dengan pengamatan keberhasilan siswa
mengerjakan tugas dan latihan pada kegiatan inti. Guru mengetahui taraf serap materi
melalui pengamatan dan perkiraan hasil belajar secara klasikal. Selain evaluasi formatif,
kegiatan penutup sering juga mencakup pemberian pekerjaan rumah.
4) Bagaimana Anda mengevaluasi kemampuan komunikatif siswa?
Untuk pertanyaan ini, guru pada umumnya menjawab singkat, 'mengevaluasi
materi yang telah diajarkan'. Alat evaluasi berbentuk tes pilihan ganda (paper andpencil
tesi). Mereka tidak menerapkan evaluasi proses belajar yang dilakukan dengan alat
penilaian kemajuan belajar.
141
c Tanggapan siswa terhadap cara guru mengembangkan kemampuan komunikatif.
Untuk memperoleh tanggapan siswa tentang cara guru mengembangkan
kemampuan komunikatif, diajukan pertanyaan berkisar pada bagaimana guru mengelola
pembelajaran. Wawancara fokus pada langkah-langkah pembelajaran, bagaimana guru
membantu siswa dalam kesulitan, bagaimana siswa belajar menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis serta belajar kata-kata bahasa Inggris yang difasilitasi guru.
Jumlah responden 40 orang sampel yang diambil secara acak dari empat sekolah yang
berbeda. Hal itu dimaksudkan agar bisa mewakili siswa lain karena karakteristik yang
sama. Tanggapan siswa dikemukakan sebagai berikut:
Pada umumnya siswa mengemukakan bahwa guru mulai pelajaran dengan salam,
mengabsen siswa, kemudian menanyakan pelajaran yang lalu atau jawaban pekerjaan
rumah yang ditugaskan sebelumnya. Setelah itu barulah guru menyuruh membuka buku
sumber pada halaman tertentu. Guru menunjuk bacaan atau soal-soal dalam buku itu,
menjelaskan dan memberi contoh tertulis tentang bagaimana menyelesaikan soal-soal itu.
Siswa pada umumnya bekerja secara individual, sementara guru memantau dari depan
kelas. Setelah siswa selesai mengerjakan soal-soal, mereka pun disuruh menuliskannya di
papan tulis, satu persatu siswa ditunjuk untuk mendapat giliran ke depan. Sebagai
kegiatan akhir, guru menutup pelajaran dengan memberi pekerjaan rumah.
Bila guru menemukan siswa dalam kesulitan menyelesaikan soal-soal, mereka
memberi bantuan dengan menjelaskan kembali materi bersangkutan. Sering juga guru
berkeliling mengamati pekerjaan siswa sambil memberi jawaban atau menunjukkan cara
menjawabnya.
142
Pada umumnya siswa menyatakan bahwa mereka tidak pernah diberi pelajaran
menyimak, tapi sering mendengar guru berbahasa Inggris saat memberi salam dan ketika
memberi instruksi kepada siswa untuk mengerjakan latihan. Misalnya: "Openyow book,
page ."
Pada pelajaran membaca, terutama membaca pemahaman, guru mulai dengan
menerjemahkan kata-kata sulit, sementara siswa menyalin ke dalam buku catatan.
Setelah itu siswa disuruh menjawab pertanyaan secara individual. Langkah akhir dari
pelajaran membaca pemahaman adalah guru mengecek jawaban dengan menyuruh siswa
menuliskannya di papan tulis. Selain membaca pemahaman, siswa juga di suruh
membaca nyaring kata atau kalimat tertentu, meniru model pengucapan guru yang
dianggap benar.
Pada pelajaran berbicara, siswa ditugasi membaca dialog dalam buku sumber.
Guru memberi contoh terlebih dahulu tentang bagaimana percakapan dilakukan.
Selanjutnya guru menerjemahkan percakapan tersebut secara lisan untuk dicatat oleh
siswa. Langkah berikut siswa membaca dialog secara berpasangan. Guru memperbaiki
pengucapan siswa yang kurang tepat yang diikuti oleh siswa bersangkutan atau secara
klasikal.
Sama halnya dengan membaca, menulis dilakukan dengan mengerjakan soal-soal
dan latihan dalam buku sumber. Sering menulis kata yang relevan dengan gambar, atau
menulis suatu kalimat yang sesuai dengan kalimat pemicunya. Dengan perkataan iain,
menulis dilakukan dengan mengisi kata pada kalimat-kalimat rumpang.
143
d. Motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris
Untuk memperoleh data tentang motivasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran
bahasa Inggris, diberikan angket terbuka melalui sebuah pertanyaan: "Bagaimana
pengalaman anda dalam belajar bahasa Inggris selama ini? Jawaban diuraikan secara
tertulis dalam bentuk esai. Selain angket terbuka dilakukan juga wawancara pada siswa
(responden) yang sama, dengan maksud untuk menggali lebih jauh informasi yang belum
jelas dari angket.
Dari empat puluh orang responden, diperoleh data deskriptif dalam empat
kategori yang berbeda sebagai berikut.
1). Tertarik belajar bahasa Inggris karena sadar akan pentingnya bahasa Inggris.
Siswa dalam kelompok ini mengaku bahwa mereka belajar bahasa Inggris karena
senang dan atas kemauan sendiri walaupun juga atas dukungan, orang tua. Motivasi
belajar timbul karena ingin (mampu) berkomunikasi dengan orang asing, bekerja di
kantor perusahaan asing, dan karena meyakini penguasaan bahasa Inggris akan
membantu dalam memperoleh pengetahuan. Informasi tentang manfaat belajar bahasa
Inggris kebanyakan diperoleh dari orang tua dan guru. Kondisi pendidikan dan ekonomi
orang tua siswa dalam kelompok ini umumnya tergolong baik, mampu memberikan
kontribusi terhadap kemajuan belajar anak. Kelompok ini sering mengikuti les bahasa
Inggris baik yang dilakukan gurunya sendiri mau pun dari kursus-kursus resmi. Mereka
memiliki dorongan yang kuat baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Dari pernyataan
suka atau senang bahasa Inggris walaupun sulit, dapat dikemukakan bahwa siswa dalam
kelompok ini memiliki sikap positif terhadap pelajaran bahasa Inggris.
144
2). Tertarik belajar bahasa Inggris karena dipelajari di sekolah.
Kelompok siswa ini mengaku tidak banyak informasi tentang pentingnya belajar
bahasa Inggris yang diperoleh dari orang tua. Namun, mereka mengaku senang belajar
walaupun sulit menulis dan mengucapkan kata-kata bahasa Inggris. Mereka menyukai
pelajaran bahasa Inggris karena gurunya baik, suka membantu kalau salah dalam
menjawab soal-soal. Mereka juga mengakui mulai menyenangi bahasa Inggris setelah
guru memperkenalkan kata-kata melalui gambar, bacaan dan lagu. Kondisi pendidikan
dan ekonomi orang tua siswa dalam kelompok ini bervariasi dari tingkat SMA sampai
perguruan tinggi, pegawai negeri atau pun swasta. Jumlah siswa responden dalam
kelompok ini lebih banyak daripada kelompok responden pada kategori lain. Dari
pernyataan tertulis atau lisan yang diberikan, ditemukan bahwa rata-rata mereka
memiliki motivasi belajar dan cenderung memiliki sikap positif terhadap pembelajaran
bahasa Inggris.
3). Belajar bahasa Inggris karena ingin memperoleh nilai yang bagus.
Kelompok siswa ketiga adalah mereka yang ingin belajar bahasa Inggris karena
ganjaran yang diberikan guru berupa nilai yang tinggi. Mereka mengaku orang tua
mereka senang bila memperoleh nilai tinggi termasuk juga dalam pelajaran bahasa
Inggris. Mereka mengaku bahwa kadang-kadang pelajaran bahasa Inggris sulit dan
kadang-kadang juga mudah. Senang belajar membaca dan menulis (menyalin kata atau
kalimat) tapi ragu-ragu bila disuruh bercakap-cakap oleh guru—cenderung gugup kalau
disuruh mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang. Kondisi pendidikan dan ekonomi
orang tua siswa dalam kategori ini juga bervariasi. Dari pernyataan tertulis dan lisan yang
diberikan, dikemukakan bahwa siswa dalam kategori ini rata-rata memiliki motivasi
145
tinggi untuk belajar bahasa Inggris (mungkin juga untuk pelajaran lain) karena pengaruh
orang tua agar mereka berprestasi di sekolah.
4). Kurang tertarik belajar bahasa Inggris.
Kelompok siswa keempat adalah mereka yang kurang tertarik belajar bahasa
Inggris. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, yaitu sulit mengerjakan PR karena
orang tua tidak bisa membantu, nilai yang diberikan guru selalu rendah, sulit membaca
dan menulis karena lain huruf lain bacanya, tidak suka kata-kata bahasa Inggris, dan
sebagainya. Kondisi pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dalam kategori ini
sebagian besar agak rendah. Jumlah siswa dalam kategori ini paling sedikit di antara
jumlah siswa pada kategori lain. Dari jawaban tertulis dan lisan yang diberikan,
ditemukan bahwa siswa dalam kelompok ini rendah motivasinya dan sikapnya cenderung
negatif terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
e. Ikhtisar hasil studi pendahuluan
Terlepas dari beberapa hal yang sudah baik, ada beberapa yang perlu diperhatikan
dari informasi yang berhasil dikumpulkan, yaitu:
1) Sebagian besar guru belum menyiapkan tujuan dan rencana pembelajaran,
kegiatan dilakukan dengan mengikuti alur dalam buku sumber.
2) Penyajian materi pembelajaran cenderung terpaku pada buku sumber pegangan
guru, lingkungan belum dimanfaatkan sebagai media dan sumber belajar yang
akrab dengan keadaan siswa.
3) Sebagian besar guru belum memahami pentingnya kegiatan lead-in untuk
mengantar siswa memasuki pengalaman baru.
146
4) Kesempatan untuk mengkonstruksi (reconstruction) sendiri pengalaman baru
yang difasilitasi dan dibimbing guru melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan
pengetahuan dan keterampilan baru melalui tugas dan latihan yang direncanakan
belum dimanfaatkan secara optimal.
5) Kesempatan menerapkan fakta, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ke
dalam situasi dan konteks baru (production) belum tersedia.
6) Bagaimana memfasilitasi siswa agar mampu mengungkapkan dirinya sendiri
melalui kegiatan komunikatif belum dilakukan.
7) Umpan balik (feedback) agar siswa menyadari pengalaman yang baru diperoleh
belum mendapat perhatian.
8) Siswa belum diantar pada pemecahan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan
terbimbing (leading questions) untuk menemukan sendiri pemecahan masalah
yang dibutuhkan.
9) Pada umumnya siswa menyelesaikan tugas dan latihan secara individual.
10)EvaIuasi proses, apalagi menggunakan alat evaluasi tertentu, seperti dañar check,
penilaian kinerja, dan penilaian kemajuan belajar siswa lainnya belum dilakukan.
Il)Belum ada pola tertentu yang diikuti dalam mengembangkan kompetensi
komunikatif siswa.
12) Masih ada siswa yang memiliki motivasi rendah dan sikap terhadap pembelajaran
bahasa Inggris yang kurang mendukung.
Ke 12 butir temuan di atas dapat direduksi menjadi, butir: 1 terkait dengan
dokumen rencana pembelajaran; 2, 6 berkenaan dengan bahan ajar/tugas dan sistem
penunjang/media pembelajaran; 3, 4, 5, dan 11 menyangkut prosedur atau langkah-
langkah pembelajaran; 7, 8, dan 9 adalah perihal proses pembelajaran; 10 berkenam;>>* j z
dengan model evaluasi proses dan hasil belajar; dan 12 terkait dengan motivasi.dan MjpB'SSr A /
siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
2. Pengembangan Draft Awal Model Pembelajaran
Kurikulum mata pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam sistem
pendidikan di Indonesia khususnya bagi pendidikan dasar dan menengah menganut
model kompetensi komunikatif, dan model bahasa sebagai sistem semiotik sosial. Kedua
model ini berimplikasi pada perlunya model pembelajaran bahasa Inggris yang sesuai dan
dapat mengakomodasi karakteristik pelajaran bahasa Inggris. Misalnya, model
kompetensi komunikatif mengisyaratkan penguasaan kompetensi wacana yang didukung
oleh kompetensi yang lain agar seseorang mampu menggunakan bahasa sebagai alat
untuk menyatakan makna dalam sebuah interaksi. Demikian pula dalam model bahasa
sebagai sistem semiotik sosial, pembelajaran dikemas dalam tiga aspek penting—yang
tidak terlepas dari makna—konteks, teks, dan sistem bahasa.
Model pembelajaran bermakna mengakomodasi kedua model di atas untuk
memenuhi kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa sekolah dasar khususnya
kelas V. Model pembelajaran bermakna juga mempertimbangkan kesesuaian dengan
karakteristik siswa sebagai pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam sistem
pendidikan di Indonesia. Telah disebutkan pada bab H, bahwa siswa memiliki ciri khas
(karakteristik) tersendiri yang dalam berbagai hal berbeda dengan pembelajar bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua. Siswa memiliki pengalaman kognitif sebagai entry
behaviour, dari lingkungan sosiokultural yang beragam, berkomunikasi dalam dua atau
lebih bahasa sebelum belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing, dan jarak budaya
148
penutur asli dengan budaya siswa sendiri, serta jarak linguistik antara bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia.
Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan sehingga mode! pembelajaran
bermakna dianggap paling sesuai. Model pembelajaran bermakna meyakini bahwa esensi
tujuan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar adalah agar siswa mau dan
menghargai (appreciate) belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, maka: (1) materi,
sumber dan media belajar disesuaikan dengan dunia nyata dan lingkungan sosial anak.
(2) kompleksitas tugasAatihan berbahasa dan kebahasaan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan intelektual siswa (concrete operation), (3) tugas/latihan akan bermakna
bagi anak bila bahasa Inggris disajikan dalam bentuk keseluruhan dan dalam konteks
dunia nyata, (4) pembicaraan mengenai tata bahasa yang abstrak dilakukan dengan cara
yang bijaksana, (5) mengoptimalkan panca indra anak dalam bermain sambil belajar
bahasa Inggris, dan (6) membantu siswa berkembang dan memperoleh pengalaman yang
bermakna, serta (7) memanfaatkan usia optimal dalam memperoleh bahasa.
Draf awal model pembelajaran dikembangkan dari dua sumber utama, yakni: ( I )
hasil kajian teori-teori belajar, dan (2) Model "The 4Mat System" hasil adaptasi oleh
lembaga penelitian Arlington Public Schools, ESOL/HILT Program, dan Center for
Applied Linguistics. Selain itu, pengembangan draf awal model didasarkan pada
pemenuhan kondisi yang dibutuhkan oleh pembelajaran bahasa Inggris dewasa ini.
Model menganut Comparative Summaries dengan prinsip eclecticism—sebuah
model pembelajaran yang merupakan kombinasi tiga teori belajar utama yang jamak
dikenal sebagai model behavioris, kognitif, dan konstruktif. Selain itu, model juga
dipengaruhi oleh the 4Mat System—Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman oleh
149
McCarthy (1980) hasil adaptasi. Dengan perkataan lain, draft yang dikembangkan
disesuaikan dengan kondisi ril kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar
yang diperoleh melalui studi pendahuluan.
Berapa besar sumbangan teori-teori belajar terhadap model yang dikembangkan
diuraikan sebagai berikut
a. Pengaruh teori-teori belajar
Secara teoretis, pengembangan model pembelajaran dalam kajian ini diilhami
pandangan dan keyakinan Piaget yang masih bertahan sampai kini, yakni the constructive
nature of the learning process, keyakinan yang menekankan hakikat konstruktif dalam
proses belajar. Menurut Piaget
the main underlying assumption of constructivism is that individuals are actively involved right from birth in constructing personal meaning, that is their own personal understanding, from their experiences. In other words, everyone makes their own sense of the world and the experiences that surround them. ... the learner is brought into central focus in learning theory (William dan Burden, 1997: 21).
Kutipan ini mengisyaratkan setiap siswa secara aktif sejak lahir telah membangun
apa yang disebut sebagai personal meaning, melalui pemaknaan dan pemahaman sendiri
tentang dunia (yang secara tipikal berbeda dengan orang lain) yang diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman. Setiap orang pada dasarnya mengkonstruksi dunianya sendiri
dan pengalaman-pengalamannya yang diperoleh melalui aktivitas sekitar mereka. Oleh
karena itu, Piaget menempatkan siswa sebagai pusat dalam teori belajar.
Dari konsep ini muncul sebuah pertanyaan: "Bagaimana memfasilitasi siswa agar
mampu merekonstruksi pengetahuan dan keterampilan berdasarkan pengalaman belajar
bahasa Inggris bermakna yang dimediasi guru di dalam kelas?" Jawaban pertanyaan ini
mengacu pada peran dan hubungan guru dan siswa yang membentuk sistem sosial
150
(social system) dengan karakteristik yang tipikal untuk sebuah interaksi di kelas. Jika
demikian, perlu dikembangkan sebuah desain model pembelajaran yang menawarkan
seperangkat langkah (syntax) yang mengakomodasi sistem sosial di atas dengan segala
kegiatan, perilaku, dan nilai yang diinginkan, sistem penunjang (support system), dan
evaluasi kemajuan belajar siswa Agar memperoleh kekuatan konseptual, ketiga hal itu
harus memiliki landasan filosofis dan psikologis yang sesuai.
Pengembangan model ini berlandaskan atas keyakinan konstruktivis seperti yang
dikemukakan Piaget di atas. Walau demikian, perlu juga dicatat bahwa dari sudut
pandang 'pengajaran* (teaching)—terpisah dari 'pembelajaran', konstruktivisme
sebenarnya tidak menganjurkan satu cara mengajar yang paling tepat bagi guru. Menurut
Glasersfeld (Williams dan Burden, 1997: 51) cara yang baik adalah yang bermanfaat dan
bermakna menurut situasi sendiri..
Tujuan model pembelajaran ini adalah untuk melatih siswa mengembangkan
sikap sebagai 'a language researcher'. Menurut Hatch dan Hawkins (1987) dalam Celce-
Murcia (1991: 347) 'a teaching model which trains learner to develop a "language
researcher" attitude is most consistent with research findings'. Oleh karena itu, model
yang dikembangkan mengarahkan proses, meningkatkan sistem penyampaian dan mutu
pembelajaran agar siswa memiliki kompetensi komunikatif dalam bahasa Inggris yang
memadai (mastery of subject matter) dan keterampilan sosial.
Dalam posisi kurikulum (Miller dan Seiler, 1985: 197), model ini mengikuti
kriteria 'transformasi' dalam arti pada model: dipentingkan hubungan antara pengalaman
luar (outer) dan struktur dalam (inner atau skemata) pembelajar, ada fase penyadaran
akan perubahan yang dimiliki siswa setelah pembelajaran, menekankan strategi berpikir
151
divergen (divergent thinking process), dan dalam belajar dimungkinkan pengaktifan baik
otak kiri maupun otak kanan melalui kegiatan yang direncanakan.
Model pembelajaran berangkat dari perspektif konstruktivisme yang memandang
bahwa (1) siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman
baru berdasarkan pada pengalaman awal, (2) pengalaman yang mendalam dikembangkan
melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna, (3) siswa memperoleh pengetahuan
secara asimilatif dan akomodatif, dan (4) pengetahuan baru sama dengan gabungan dari
pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Perspektif/konsep itu menjadi titik
berangkat dikembangkannya asumsi kunci (lihat Bab n) yang mendasari pengembangan
model pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Perspektif dan asumsi kunci
mendorong perlunya suatu keadaan dan atau peristiwa dalam model pembelajaran
dimana siswa memperoleh kesempatan membangun pemahaman tentang dunia
sekitarnya, menafsirkan kenyataan dan pengalaman yang berbeda agar mampu mengatasi
masalah dalam kehidupan nyata melalui pengalaman belajar yang difasilitasi dan
dimediasi.
Namun, konsepsi sebuah model tidak dapat secara utuh menganut satu teori
tertentu dengan mengabaikan teori-teori lainnya Kombinasi teori dapat saling
melengkapi dan saling menguatkan, karena masing-masing teori memiliki kekuatan dan
kelemahan. Ryder (2006: 1) mengemukakan ringkasan model desain pembelajaran dalam
tiga model, yaitu "Model Petunjuk/Resep (Prescriptive Models), Model Penomenologi
(Phenomenological Models), dan Model Komparasi (Comparative Models)".
Masing-masing model mengadopsi dan merupakan kombinasi dari teori-teori
belajar tertentu. Khusus yang tersebut terahir, model itu menganut kombinasi model
152
behavioris, kognitif, dan konstruktif dalam satu kerangka pemikiran. Model komparasi
tidak mengkolak-kotakkan secara tegas untuk kemudian memilih salah satu secara
terpisah, tapi menentukan kombinasi yang tepat untuk aplikasi yang sesuai dengan
keadaan dan konteks pembelajaran (Yulaelawati, 2004: 56).
Kombinasi teori-teori tersebut dalam model pembelajaran yang dikembangkan
pada hakekatnya saling melengkapi, tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai entitas yang
berbeda dan memiliki garis pemisah. Dengan maksud memperjelas peran dan sumbangan
relatif dari masing-masing teori, hal itu dapat diuraikan sebagai berikut.
1). Sumbangan nisbi teori behavioris
Teori belajar behavioris, yang fokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati
dan diukur, masih tetap dapat digunakan terutama untuk mengamati perubahan perilaku
yang jelas. Perubahan perilaku dapat diketahui jika tujuan pembelajaran, kompetensi dan
indikator ketercapaian dirumuskan kemudian diukur setelah pembelajaran berlangsung.
Tujuan pembelajaran bermanfaat karena siswa dapat secara langsung merespon melalui
kegiatan yang terarah pada pencapaian hasil belajar. Gagasan tujuan instruksional oleh
behavioris menjadi kombinasi yang saling menguatkan dengan konsep konstruktif yang
meyakini bahwa negosiasi tujuan dengan siswa lebih menstimulasi bangkitnya motivasi
dan kesiapan siswa mengikuti pelajaran. Selain itu, kombinasi kedua konsep ini juga
bermanfaat bila rumusan tujuan instruksional diarahkan pada penguasaan konten dan
proses (keterampilan/prosedur) untuk mencapainya.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam "mengembangkan model
pembelajaran" posisi teori belajar behavioris berkontribusi pada tahap perencanaan dan
evaluasi pembelajaran khususnya dalam hal product oriented, yang dapat menjadi
153
paduan harmonis dengan process oriented dalam konsep konstruktivis. Demikian juga
kombinasi antara individual work pada behavioris dengan konsep cooperative small-
groups pada konsep konstruktivis.
2) Sumbangan nisbi teori kognitif
Teori belajar kognitif (Piaget) terkenal dengan gagasan perwakilan mental, atau
lazim disebut skema (tunggal) atau skemata (jamak). Skema adalah struktur mental atau
kognitif dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya. Skema menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima
akan dipahami seseorang. Informasi yang sesuai dengan skema yang dimiliki siswa akan
dengan mudah diserap. Jika tidak sesuai, maka informasi tersebut ditolak atau diubah,
atau disesuaikan dengan skema yang ada. Kemungkinan lain adalah skema yang akan
diubah dan disesuaikan dengan informasi yang diterima
Untuk mengakomodasi teori ini, perlu dikembangkan satu langkah dalam model
pembelajaran dimana siswa dapat mengaktifkan skemata berupa konsep atau kategori
yang dimiliki dengan mengaitkannya pada konsep atau kategori baru yang akan diterima
melalui kegiatan atau media tertentu. Dengan pengaktifan skemata ini, siswa akan lebih
mudah mengasosiasi, mengadaptasi dan mengkordinasi informasi yang baru diterima
sehingga proses untuk mencapai pengertian akan lebih mudah. Selain itu, teori ini juga
menekankan perlunya pemberian umpan balik {feedback) pada tanggapan yang benar
dalam perannya sebagai pendorong (motivator) belajar.
Posisi teori belajar kognitif melengkapi teori perilaku behavioris. Artinya teori
kognitif mendasarkan proses berpikir dibalik prilaku yang dapat diamati. Kognitif
mengamati perubahan prilaku seseorang untuk digunakan sebagai indikator terhadap
154
peristiwa mental yang terjadi dalam pikiran siswa. Dalam kaitannya dengan
pengembangan model pembelajaran, konsep advance organisers Ausabel sangat baik
ditempatkan sebagai satu dalam seperangkat langkah model pembelajaran. Hal itu
demikian karena advance organisers berperan menjembatani apa yang telah diketahui
dengan apa yang akan diketahui siswa dalam konteks sebuah proses pembelajaran.
Advance organisers bermanfaat dan dipandang penting ketika memperkenalkan sebuah
topik atau konsep baru dimulai dengan menyinggung topik atau konsep itu—apakah
melalui pertanyaan pengungkap (eliciting questions) atau media lain—sekali pun siswa
belum memahami topik dan konsep dimaksud.
Selain itu, aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran bahasa Inggris
mempengaruhi strategi pembelajaran, dan penyesuaian strategi dengan perkembangan
kognitif siswa. Siswa diharapkan menggunakan kemampuan kognitifnya untuk
mengamati, memikirkan, dan mengkategorisasi serta membangun hipotesis tentang
bahasa sehingga secara bertahap dapat menangkap konsep bagaimana bahasa digunakan
secara fungsional—pembelajaran melalui strategi induktif.
3) Sumbangan nisbi teori konstruktif
Teori belajar konstruktif berperan penting dalam model yang dikembangkan
karena secara konseptual menyumbang dalam berbagai komponen, mulai dari
perencanaan, implementasi, sampai pada evaluasi kemajuan belajar.
Guru berpengalaman mengajukan empat pertanyaan: (1) apa yang perlu diketahui
siswa (what)—konsepsi bahan ajar, (2) mengapa hal itu perlu diketahui (why)—konsepsi
pedagogik-teoretis, dan (3) bagaimana hal itu diketahui (how)—konsepsi procedural,
mediatif, dan teoretis; serta (4) bagaimana mengetahui tingkat keberhasilan (how)—
155
konsepsi evaluatif. Dengan demikian, perencanaan harus menyentuh beberapa hal
sebagai berikut.
Pertama, pada tataran konsepsi bahan ajar yang akan mengantar siswa pada
fakta, pengetahuan, dan keterampilan baru, pembicaraan materi dalam model konstruktif
terkait dengan tugas (iasks)—latihan berbahasa dan perihal bahasa—yang tidak beridiri
sendiri melainkan berinteraksi secara dinamis dengan tiga faktor lainnya, guru-siswa, dan
konteks (William and Burdens, 1997: 43).
Bahan ajar, dalam wujud tugas dan latihan, menghubungkan (interfacing) siswa
dengan guru, disamping guru dengan siswa juga berinteraksi satu sama lain. Di satu sisi,
perilaku guru dalam interaksi merefleksi nilai dan keyakinan {values and beliefs). Di sisi
lain, cara bereaksi dan merespon perilaku guru akan dipengaruhi oleh perasaan dan
karakteristik individual siswa. Dalam tataran konteks, bahan ajar, tugas dan latihan harus
selalu terkait dengan lingkungan atau sering dimana siswa berada agar lebih bermakna,
di samping sering budaya penutur asli bahasa target. Singkatnya, bahan ajar dan konteks
mempengaruhi sistem sosial dalam pelaksanaan model pembelajaran.
Konteks, dimana proses pembelajaran berlangsung, diposisikan sebagai situasi
yang mengkondisikan, oleh karena itu sangat penting dalam membentuk perilaku yang
terjadi di dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Situasi dapat
berarti lingkungan emosional seperti keyakinan dan kepemilikan, lingkungan fisik, etos
sekolah secara keseluruhan, lingkungan sosial yang lebih luas, dan latar budaya.
Kedua, pada level konsepsi pedagogik, model konstruktif sangat memperhatikan
bahan ajar, tugas dan latihan yang dapat membangkitkan minat siswa untuk melakukan
eksplorasi, mengemukakan gagasan dari hasil eksplorasi baik secara lisan maupun
156
tertulis, dan melakukan percobaan untuk menguji dan merevisi asumsi-asumsi yang telah
dibangun sehingga gagasan itu dapat digunakan dalam situasi yang baru dan dalam
konteks dunia nyata. Untuk memperoleh hal itu diperlukan tujuan yang hendak dicapai
baik dalam bentuk proses maupun hasil belajar.
Ketiga, tingkat konsepsi prosedural, mediatif, dan teoretis terkait dengan
implementasi model. Pada tataran prosedural, model konstruktif mengajukan satu
langkah dalam model pembelajaran, yang oleh Reece dan Walker (1997: 112) disebut
Restructuring-—salah satu dari lima langkah dalam sebuah model konstruktif yang
disederhanakan. Restructuring mengakomodasi pemberian kesempatan bagi siswa untuk
melakukan eksplorasi dan diskusi melalui kegiatan praktis di kelas yang memungkinkan
siswa mengembangkan skema (asimilasi), membentuk skema baru sesuai informasi yang
baru, atau memodifikasi skema yang ada agar sesuai dengan informasi yang baru
diterima (akomodasi).
Proses asimilasi dan akomodasi berlangsung terhadap informasi dan konsep-
konsep bahasa bila tersedia bahan ajar (content) yang proses (process) penyajiannya
memperhatikan teori-teori pemerolehan bahasa asing/kedua, misalnya hipotesis input (i +
1) oleh Krashen dan Terrel. Hal itu sejalan dengan penanganan the Zone of Proximal
Development (Vygotsky), lapisan pengetahuan dan atau keterampilan yang ada di atas
kemampuan siswa saat ini. Pada daerah itu siswa memerlukan bantuan dan dukungan
belajar baik dari guru mau pun dari teman sejawat. Dukungan belajar dan memecahkan
masalah dilakukan melalui scaffolding (Bruner)—percakapan yang mendukung anak
dalam menyelesaikan tugas dan kegiatan.
. • '157 ' . v t ' * *
Konsepsi mediatif bermakna di dalam setiap langkah pembelajaran^:
menyatu dengan tindakan-tindakan serta tingkah laku yang direncanakan, rjen
mediasi yang sesuai. Konstruktivis meyakini pentingnya guru mengerti pen
belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa agar mampu menerima bantuan
belajar yang dibutuhkan. Hal itu sejalan dengan keyakinan kognitif (Vygotsky, Bruner)
bahwa proses berpikir dan pemerolehan pengetahuan siswa perlu dimediasi melalui
interaksi dan percakapan siswa dengan guru di dalam kelas (landasan psikologis).
Interaksi dan percakapan itu diharapkan mampu mendorong siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah oleh dirinya sendiri.
Konsepsi teoretis berarti setiap langkah pembelajaran didukung oleh teori-teori
bagaimana siswa belajar dan teori-teori pemerolehan bahasa kedua. Ellis dalam Oliva
(1992 ; 413) menyatakan bahwa model mengajar adalah strategi-strategi yang didasarkan
atas teori-teori tentang bagaimana siswa belajar. Dalam konteks ini penentuan langkah
model yang didukung teori-teori belajar dan belajar bahasa kedua/asing tetap terkait
dengan filosofi konstruktif dalam posisi kurikulum transformasi.
Keempat, konsepsi evaluatif penting bagi model konstruktif dalam mengamati
kemajuan belajar yang berorientasi proses (process-oriented evaluation) dengan
melakukan refleksi terhadap prosess pembelajaran, penilaian mandiri, dan penilaian
acuan patokan. Penilaian proses pada model konstruktif dapat dilengkapi dengan
penilaian yang berorientasi produk (product-oriented) behavioris melalui pengukuran
hasil belajar (achievement testing) dengan penilaian acuan norma. Dalam model
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, teori konstruktif berimplikasi pada
158
Bagan 4.1 Desain the MID-Model
Langkah konseptual model ini dapat didekatkan dengan praktik-praktik
pedagogis di dalam kelas menjadi implementasi. Telah disebutkan terdahulu bahwa
tujuan model pembelajaran adalah untuk menumbuhkan sikap siswa sebagai a
*, perlunya sistem evaluasi yang dapat menyediakan informasi berkelanjutan mengenai
• ¡5". kompetensi komunikatif, bahkan juga tentang motivasi dan sikap.
Berdasarkan uraian di atas, desain the MID-Model yang dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan komunikatif siswa kelas V sekolah dasar mengajukan
komponen: (1) Tujuan, (2) Materi/bahan ajar, (3) Sumber Belajar, dan (4) Prosedur
dengan strategi konseptual berbentuk fase belajar linier: "(a) Lead in (b) Reconstruction,
dan (c) Production" serta (5) Evaluasi. Strategi konseptual itu dapat diterjemahkan ke
dalam beberapa tahap (stages) pembelajaran di dalam kelas berupa strategi operasional
(implementasi). Aktivitas/perilaku pada setiap tahap dalam desain implementasi bersifat
fleksibel—dapat dikembangkan berdasarkan kebutuhan, dan menuntut kecerdasan
serta kreativitas guru. Secara skematik, prosedur dapat digambarkan sebagai berikut:
159
1. Draw on experience and knowledge—guru melibatkan siswa dalam kegiatan
yang memanfaatkan pengalaman nyata dan pengetahuan yang terkait dengan
pengalaman dan pengetahuan baru yang akan diperoleh pada kegiatan inti
(fase input);
2. Input Stage—penyajian input baru melalui aktivitas yang berfokus pada
siswa, eksplorasi dan diskusi dengan tugas-tugas terbimbing menyimak,
membaca pemahaman melalui fasilitasi dan mediasi guru;
3. Reinforcement Stage—siswa mengerjakan tugas yang bersifat replikasi relatif
berkenaan dengan tema dan kompleksitas tugas dari tugas sebelumnya pada
fase input; dan
4. Application Stage—siswa menerapkan pengetahuan, informasi, dan atau
keterampilan baru dalam memecahkan persoalan-persoalan pedagogik atau
autentik melalui tugas-tugas berbicara dan menulis dalam kontrol siswa dan
guru.
Bagan 4. 2 Draf Awal Implementasi
Model Evaluasi Pembelajaran
Sesuai dengan karakteristik the MTD-Model yang memberi penekanan pada
kemampuan komunikatif siswa dalam pelajaran bahasa Inggris, maka evaluasi diarahkan
pada penilaian kemampuan "wacana lisan dan tulis sederhana" (discourse competence)
dengan fokus pada fluency tanpa mengurangi pentingnya penilaian pada accuracy.
Artinya, penilaian utama diarahkan pada kemampuan dan kelancaran berbahasa Inggris
language researcher. Oleh karena itu, sistem sosial yang berkembang dalam aplikasi
model harus memfasilitasi kesempatan belajar trial and error, memperoleh umpan balik,
membangun hipotesis tentang bahasa, dan mervisi asumsi-asumsi itu agar menjadi lancar
berbahasa.
Dalam bentuk 'draf awal' implementasi dikemukakan sebagai berikut:
160
lisan/tulis sederhana yang dapat dimengerti, terlepas dari kesalahan gramatikal yang
tidak mengganggu arus komunikasi. Hal itu dilakukan untuk mendorong tercapainya
tujuan pembelajaran yang dievaluasi: "(1) Students use English to interact in the
classroom, dan (2) Students use English to obtain, process, construct, and provide subject
matter information in spoken and written form."
Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam dua bentuk: evaluasi proses dan evaluasi
hasil belajar. Evaluasi proses dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung
dengan menggunakan format penilaian unjuk kerja siswa sebagai alatnya. Sasaran
evaluasi adalah kompetensi tindak tutur bahasa (actional compétence), dan partisipasi
dalam kegiatan komunikasi. Penilaian menggunakan teknik Holistic Scheme, didasarkan
atas ketercapaian tiga aspek, yaitu content, expression, dan participation. Content
mengacu pada "pesan" yang disampaikan. Expression menunjukkan kemampuan
menggunakan kata, pengucapan dan struktur kalimat yang dapat dengan tepat mengantar
pesan yang ingin disampaikan. Participation merujuk pada motivasi dan sikap yang dapat
diamati melalui kesungguhan dan kerjasama dalam menyelesaikan tugas/latihan
berbahasa dan kebahasaan.
Evaluasi hasil belajar dilaksanakan pada akhir segmen atau sebuah unit
pembelajaran dengan tes tertulis sebagai alatnya. Sasaran evaluasi adalah kompetensi
komunikatif dalam pelajaran bahasa Inggris yang mampu ditunjukkan siswa melalui
penyelesaian tes hasil belajar. Untuk menentukan nilai akhir, penilaian pada evaluasi
proses berkontribusi terhadap pengambilan keputusan pada hasil penilaian evaluasi hasil
belajar.
161
Phase of Desain Draft Desain learning The 4Mat System The MID-Model
1 Concrete Experience 1. Lead in (Feeling over thinking) (Both feeling and thinking)
2 Observation and Reflection 2. Reconstruction 3 Formation of abstract concepts 4 Generalization, and
testing implications of concepts in 3. Production new situations.
b. Pengaruh model the 4Mat System
Selain pertimbangan gabungan teori-teori belajar yang telah disebutkan, model
pembelajaran ini juga memperhatikan "Model The 4Mat System" oleh McCarhty (1980)
yang telah diadaptasi untuk pembelajaran bahasa kedua bagi anak usia sekolah dasar dan
sekolah lanjutan oleh kelompok kerjasama lembaga peneliti yang terdiri atas Arlington
Public Schools, ESOL/HILT Program, dan the Center for Applied Linguistics pada tahun
1987. Alasan mempertimbangkan Model the 4Mat System adalah bahwa model yang
dikembangkan bernaung dalam landasan filosofis yang sama 'Konstruktivisme'. The
4Mat System adalah Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning)
yang terdiri atas strategi konseptual, dan strategi operasional dalam bentuk lesson plan,
lihat Bab U.
Pada table 4.3 tampak daerah yang berhubungan antara Model the 4Mat System
dan model yang dikembangkan.
Table 4.3 Keterkaitan Fase Belajar
the 4Mat System dengan Draf Desain the MID-Model
162
1. Lead in
Secara umum konsep Lead in sama dengan Concrete Experience dalam arti
keduanya mencoba mengaitkan skemata siswa pada awal pembelajaran dengan konsep-
konsep bahasa, fakta, dan atau informasi yang akan dipelajari. Kegiatan itu dilakukan
guru melalui: (1) penciptaan situasi dalam bentuk kegiatan yang terkait dengan
pengalaman siap siswa; dan (2) pertanyaan atau tugas-tugas agar siswa merefleksi dan
menganalisis pengalaman-pengalaman tertentu masa lalu. Pada the 4Mat System, kedua
aktivitas itu lebih melibatkan perasaan atau pengetahuan intuitif siswa. Pada draft model
yang dikembangkan, selain perasaan dan pengetahuan intuitif siswa, prediksi melalui
teknik uji coba dimugkinkan dengan (3) pertanyaan perihal konsep-konsep bahasa, ide,
dan informasi tertentu walaupun hal-hal tersebut belum diketahui siswa. Hal itu
dimaksudkan agar siswa menggunakan pengetahuan siap (know/edge of the world) untuk
melalukan abstraksi—memasuki proses memperoleh pemahaman (general idea) terhadap
konsep-konsep bahasa ide, atau informasi yang akan dipelajari. Jawaban siswa atas
pertanyaan yang diajukan tidak harus benar, akan tetapi lebih bersifat trigger untuk
mengajak mereka berpikir tentang konsep-konsep, ide, dan atau informasi yang akan
dipelajari.
2. Reconstruction
Reconstruction adalah sebuah fase yang di dalamnya guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar yang relevan, misalnya dengan menyajikan input berupa
konsep bahasa atau informasi melalui kegiatan menyimak dan membaca teks untuk
dielaborasi, didiskusikan, dan kemudian disimpulkan oleh siswa. Kegiatan dilakukan
melalui pemberian pertanyaan atau tugas-tugas yang mengarahkan siswa mencari,
163
menemukan konsep atau fakta (observation and reflection), kemudian membangun
asumsi sementara (hypothesising), (atau formation of abstract concept) tentang konsep
bahasa atau informasi tertentu, dan menarik kesimpulan. Melalaui refleksi/review
terdapat ruang bagi siswa menyadari perolehan baru dibandingkan dengan pengetahuan
sebelum pembelajaran. Dalam fase ini belajar tidak hanya diarahkan pada pengembangan
cognitive semata, tapi juga metacognitive strategy. Hal itu dimungkinkan karena strategi
metakognitif sangat mungkin muncul dari pengalaman siswa mengerjakan tugas-tugas
berbahasa dan kebahasaan yang dimediasi guru dalam berbagai cara.
3. Production
Production adalah fase terakhir dari model yang dikembangkan. Konsep bahasa
dan atau informasi baru diuji coba dalam bentuk kegiatan komunikasi autentik/semi
autentik. Kontrol kegiatan lebih bertumpu pada siswa untuk mengekspresikan diri sendiri
melalui tugas-tugas komunikatif yang bertujuan, jelas dan terarah. Production paralel
dengan sebagian tahap keempat Model the 4Mt System, yaitu testing implications of
concepts in new situations.
Hal esensial yang membedakan model yang dikembangkan dengan the 4Mat
System, antara lain: terbuka ruang untuk penyajian input melalui ceramah (lectwing)
pada the 4Mat System, sedangkan pada model yang dikembangkan tidak; terdapat
mediasi guru yang lebih terstruktur pada model yang dikembangkan, sedangkan pada the
4Mat System lebih fleksibel. Kemungkinan natural exposers terhadap bahasa target lebih
banyak pada seting siswa dengan the 4Mat System, sedangkan pada model yang
dikembangkan tidak—kemungkinannya terbatas hanya dalam kelas. Oleh karena itu,
unsur penunjang belajar dalam hal kesempatan menggunakan bahasa target berbeda.
164
Table4.4 Perbandingan Model the 4Mat System dengan
Model yang Dikembangkan
Perbandingan
Persamaan Perbedaan Keterangan
The 4Mat Draf model yang System dikembangkan
1. Sen&itif pada I. Lebih pada Ss' 1. Mengatur keseim Latar kebutuhan dan controlled activity bangan T' s controll belakang/seting minat siswa ed dengan Ss' pengalaman siswa secara individual. controlled activity. terhadap bahasa
target berbeda. 2. Keterampilan 2. Experiential 2. Selain EL, melibat
berbahasa Learning (EL) kan pendekatan The 4Mat System disajikan secara Content-Based. dengan SL learners, terintegrasi. model yang
3. Penekanan pada 3. Penekanan pada dikembangkan 3. Memperhatikan proses. proses dan hasil dengan FL learners.
perimabangan belajar. kegiatan berbahasa yang 4. Evaluasi lebih pada 4. Evaluasi proses dan melibatkan otak proses. hasil belajar. kanan dan kiri
c. Penyesuaian dengan kondisi ril lapangan
Pengaruh yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan model ini berasal dari
temuan studi pendahuluan. Data pada butir 3, 4, 5, dan 11 diakomodasi oleh draft model
pembelajaran yang berwujud seperangkat langkah konseptual. "Lead in, Reconstruction,
dan Productioh". Data pada butir I diakomodasi ke dalam bentuk dokumen rencana
pembelajaran yang berisi, kompetensi dasar, tujuan, dan indikator ketercapaian,
Perbedaan itu mewarnai perlakuan dan sistem sosial yang dibangun oleh model yang
dikembangkan. Perbedaan konseptual tampak pada perbandingan antara kedua model
sebagai berikut.
165
sementara data pada butir 2 dan 6 mempengaruhi sistem penunjang dan bahan ajar
dalam bentuk perbaikan yang dibutuhkan atau penyesuaian dengan model. Data pada
butir 7, 8, dan 9 berimplikasi pada perbaikan proses dan prakn'k pembelajaran, sementara
data pada butir 10 untuk perbaikan sistem evaluasi, dan data pada butir 12 berpengaruh
pada bagaimana membangkitkan motivasi dan sikap siswa melalui kegiatan-kegiatan
berbahasa yang bermakna.
3. Kompetensi Dasar, Tujuan, Indikator, dan Materi Pembelajaran
Setelah draft model pembelajaran diperoleh, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan bahan ajar bahasa Inggris khususnya untuk siswa kelas V sekolah dasar
semester genap. Hal itu dilakukan karena dalam studi pendahuluan ditemukan tak satu
sekolah pun yang menggunakan kurikulum bahasa Inggris muatan lokal yang telah
dikembangkan Depdikbud, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara melalui sebuah
proyek Rekayasa Kurikulum. Peneliti telah berusaha menemukan dokumen kurikulum
dari berbagai pihak namun hasilnya tetap nihil. Jalan keluar yang diambil guru-guru
adalah menggunakan buku sumber yang tersedia di pasaran.
Silabus dan Rencana Pembelajaran Semester Genap 2004-2005 dikembangkan
bersama sembilan orang guru yang terkait dalam uji coba terbatas, uji coba luas, dan uji
validasi model melalui eksperimen. Materi pembelajaran merupakan lanjutan dari bahan
ajar sebelumnya, tetap sinambung dan memperhatikan prinsip here and now. Sumber
yang digunakan adalah kurikulum bahasa Inggris SMP untuk landasan konseptual,
beberapa buku sumber, kondisi lingkungan siswa, dan pengalaman guru dalam
menangani pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar selama ini. Tujuan
pengembangan silabus dan rencana pembelajaran adalah untuk memperoleh seperangkat
166
bahan ajar dan sistematika pembelajaran (the selecting and grading of content) yang
dianggap memenuhi kebutuhan, sesuai dengan perkembangan, dan lingkungan sosial
siswa.
Dalam silabus dan rencana pembelajaran dirumuskan kompetensi dasar, tujuan
pembelajaran, indikator ketercpaian tujuan, dan materi pembelajaran, yang semuanya
mengacu pada "Standar Kompetensi". Kompetensi dasar dirumuskan dengan mengacu
pada kompetensi tindak bahasa (actional competence) baik tindak tutur untuk bahasa
lisan maupun kompetensi retorika untuk bahasa tulis. Tujuan pembelajaran dirumuskan
dengan mengacu pada kemampuan komunikatif (penguasaan discourse competence) lisan
dan tulis sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Indikator
ketercapaian tujuan dirumuskan secara operasional sehingga mampu menunjukkan
kemampuan nyata yang diperoleh siswa setelah pembelajaran dan dapat diukur melalui
unjuk kerja dengan alat tes dan atau non-tes. Terakhir, materi pembelajaran
dikembangkan berdasarkan keyakinan atas model kompetensi komunikatif, dan model
bahasa yang relevan. Materi pembelajaran juga disesuaikan dengan kehidupan nyata di
luar kelas, dikembangkan, dan disusun serta disajikan melalui metode TPR dan strategi
Integrated Skills.
4. Uji Coba Model
Setelah draft model pembelajaran, silabus dan rencana pembelajaran
dikembangkan secara kolaboratif dengan guru-guru yang terlibat dalam penelitian, maka
tiba saatnya diujicobakan secara siklis di dalam kelas yang telah ditetapkan. Uji coba
dilakukan sebanyak tujuh kali putaran dengan rincian masing-masing empat kali pada uji
167
coba skala terbatas dan tiga kali pada uji coba skala lebih luas. Setiap putaran
menggunakan alokasi waktu 2 x 40 menit.
Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap model, kelebihan model, dan hal-
hal yang perlu diperbaiki, dalam setiap putaran pada uji coba terbatas dilakukan observasi
kelas dan umpan balik (feedback) agar diperoleh informasi yang berguna untuk refleksi
bagi perbaikan siklus berikutnya Pada putaran terakhir uji coba terbatas, sepuluh orang
siswa mengisi angket yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari sisi siswa akan
kelayakan draft model. Pada uji coba model lebih luas selain observasi dan umpan balik,
guru-guru penguji coba mengisi angket yang menjaring kelebihan dan kekurangan model
yang perlu diperbaiki. Sama dengan akhir tahap uji coba terbatas, pada uji coba lebih luas
30 orang siswa (10 orang pada masing-masing kelas uji coba) mengisi angket untuk
tujuan yang sama.
Ada lima substansi yang dinilai dalam uji coba model terbatas dan lebih luas,
yakni: (1) Penerapan model pembelajaran; (2) Kemampuan guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar, (3) Interaksi belajar-mengajar, (4) Kemampuan siswa
merespon kegiatan belajar-mengajar, termasuk perilaku-perilaku yang muncul dalam
implementasi model; dan (5) Hambatan-hambatan penerapan uji coba model. Untuk
menilai kelima aspek tersebut, digunakan panduan observasi dalam bentuk penilaian
kualitatif dan kuantitatif.
Selain kelima aspek di atas, khusus pada uji coba model lebih luas juga dinilai
hasil belajar dalam bentuk kemampuan komunikatif, dan motivasi serta sikap positif
siswa sebelum dan sesudah uji coba model.
168
a. Tahap uji coba model skala terbatas
Uji coba terbatas {preliminary field testing) dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi apakah desain model yang dikembangkan layak dan dapat
diterapkan dengan benar oleh guru. Uji coba terbatas dilakukan pada satu sekolah dasar
yakni SD Negeri Baruga 6, Kelurahan Bende Kecamatan Baruga. Guru penguji coba
adalah sarjana perikanan, namun kompeten dalam berbahasa Inggris, berpengalaman
mengajar orang dewasa dan anak-anak pada kursus bahasa Inggris door to door.
Uji coba model dilakukan secara berulang-ulang sampai diperoleh darft model
yang siap untuk diujicobakan dalam skala yang lebih luas. Hasil setiap siklus uji coba
digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan desain model yang
dikembangkan. Setelah setiap siklus uji coba selesai, dilakukan evaluasi, penyempurnaan
draft awal, dan implementasi model untuk uji coba lebih luas.
b. Tahap uji coba model skala lebih luas
Tahap uji coba lebih luas dikenal sebagai tahap uji coba utama {main field
testing). Ada dua tujuan uji coba lebih luas, yakni untuk: (1) memperoleh informasi
tentang apakah desain model yang dikembangkan layak dan dapat diterapkan dengan
benar oleh guru, penilaian menggunakan data kualitatif; dan (2) mengetahui seberapa
efektif atau bagaimana dampak (penerapan) model terhadap pencapaian hasil belajar,
motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris hingga siap untuk diuji
validasi. Penilaian menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari tes hasil belajar, tes
motivasi dan sikap.
Tahap uji coba lebih luas melibatkan tiga sekolah dasar dari masing-masing tiga
kategori sekolah yakni "baik, sedang, dan kurang". Sekolah dasar dimaksud adalah SD
169
beberapa kali secara siklis pada tiga kelas dari sekolah yang telah dite^apfân.-HaSil uji
coba luas digunakan sebagai bahan masukan untuk menentukan apakah t e l a b ^ g r o i e h
model pembelajaran yang lebih halus yang siap diuji validasi pada tahap penelitian
berikutnya. Untuk mencapai target tersebut, ada serangkaian langkah yang perlu
dilakukan, yakni, tes awal-implentasi-tes akhir, dan evaluasi serta penyempurnaan.
5. Hasil Uji Coba Model
a. Hasil uji coba model skala terbatas
Dalam sub-bagian ini disajikan hasil uji coba model dalam skala terbatas yang
meliputi: (1) penerapan model pembelajaran; (2) kemampuan guru memfasilitasi dan
memediasi pengalaman belajar, evaluasi proses dan hasil belajar; (3) interaksi belajar-
mengajar, dan (4) kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar termasuk
perilaku-perilaku yang muncul, serta (5) hambatan-hambatan penerapan uji coba model
yang ditemukan ketika implementasi model berlangsung. Setiap butir itu akan dibahas
secara berturut-turut menurut jumlah siklus uji coba, dari uji coba pertama sampai uji
coba ke empat. Hal ini dimaksudkan agar urutan perkembangan dan kemajuan setiap
butir tampak dari awal sampai akhir sklus uji coba.
Uji coba pertama
1 ) Penerapan model pembelajaran.
Ada tiga unsur yang membangun penerapan model pembelajaran, yakni
kesesuaian penerapan model dengan rencana pembelajaran, penerapan langkah
pembelajaran (classroom practice), dan kejelasan instruksi (clarity of instruction) guru
pada saat memulai dan setiap peralihan tugas dan kegiatan. Ketiga unsur ini penting
Negeri 12 Kendari, SD Negeri 3 Baruga, dan SD Negeri 6 Baruga. Ujic^a$ijal£s '
170
dalam menilai apakah langkah-langkah model dengan aktivitas dan perilaku yang
melekat di dalamnya secara utuh dilaksanakan atau belum. Yang menjadi penilaian
khususnya unsur pertama dan kedua adalah seberapa jauh yang tercantum dalam rencana
pembelajaran dilaksanakan. Untuk usur ketiga, penilaian dilakukan lebih pada kualitas
pelaksanaannya.
Pada siklus pertama dengan pembelajaran listening, secara umum penerapan
model belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Walaupun rencana
pembelajaran dikembangkan secara kolaboratif, pada implementasi model pembelajaran
masih terdapat kealpaan guru dalam mengelola kegiatan. Kecuali fase pembelajaran yang
lain, guru tidak optimal melakukan kegiatan: draw on experience and knowledge, input,
dan reinforcement serta instruksi guru yang kurang jelas baik ketika penyajian materi
maupun ketika mulai dan atau dalam peralihan kegiatan, seperti yang direncanakan.
Kealpaan dimaksud adalah: ( I ) pada fase draw on experience and knowledge
pengajuan rangkaian pertanyaan tidak cukup untuk membangkitkan kesadaran siswa
mengidentifikasi rangsangan yang datang, (2) pada fase input dan reinforcement proses
pemaknaan konsep bahasa dan informasi yang disampaikan dalam bahasa Inggris
sebagai input terganggu oleh terjemahan yang dilakukan guru, dan (3) penjelasan guru
yang tidak fokus ketika menjelaskan materi pelajaran, dan (4) penjelasan guru yang
belum fokus ketika memulai dan dalam peralihan dari satu kegiatan ke kegiatan yang
lain.
171
2) Kemampuan guru memfasilitsi dan memediasi pengalaman belajar bagi siswa
Berbeda dengan uraian pada butir satu di atas, butir dua lebih fokus pada kualitas
pelaksanaan yang merefleksi kemampuan guru dalam aplikasi model pembelajaran yang
diuji coba.
Draw on experience and knowledge (Lead in)
Pada pembelajaran listening, guru belum lancar mengaitkan materi yang akan
dipelajari dengan pengalaman siap siswa. Guru masih belum mampu mengarahkan
aktivitas yang membangkitkan motivasi dan potensi siap siswa untuk melakukan prediksi
terhadap konsep bahasa atau informasi baru yang akan dipelajari. Kelemahan tampak
pada cara guru mengajukan pertanyaan dan mengelola jawaban yang beragam untuk
merangsang pikiran siswa. Nampaknya guru berada dalam suatu proses untuk mampu
melakukan aktivitas motivasi yang lebih baik.
Input Stage (Reconstruction)
Pada tataran input, guru belum mampu membimbing siswa melakukan eksplorasi,
menemukan pengetahuan dan keterampilan baru. Pada fase input, melalui Metode TPR
yang digunakan untuk memperkenalkan kosa kata, guru kurang sabar untuk tidak
menerjemahkan kalimat-kalimat perintah yang diberikan sehingga mengurangi
kesempatan bagi siswa memperoleh pengalaman belajar bahasa melalui proses kognitif
yang dikordinasi dengan kegiatan fisik dengan teknik trial and error. Selain itu, guru
masih sering menjelaskan arti kata secara verbal. Dengan kenyataan itu, guru masih
dalam proses adaptasi untuk mampu memfasilitasi input yang lebih baik.
172
Reinforcement Stage
Pada fase reinforcement guru memfasilitasi kegiatan melalui demonstrasi seorang
siswa yang melakukan perintah guru. Namun kejadian pada pemberian input terulang
lagi yaitu kalimat dalam bahasa Inggris diterjemahkan sehingga mengganggu perhatian
siswa terhadap input bahasa dan informasi yang diberikan. Selain itu, guru masih
menemukan kesulitan dalam menggali apa saja yang dipahami siswa dengan kalimat
perintah dan aktivitas yang ditampilkan seorang siswa lainnya. Bentuk pertanyaan yang
diajukan sering tidak runtut, nampak ragu-ragu dimulai dari mana, bagaimana
melakukannya dan tujuannya apa. Guru masih dalam proses adaptasi untuk mampu
memfasilitasi reinforcement yang lebih baik.
Application Stage (Production)
Pada tataran application, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri
sendiri dalam bahasa yang lebih autentik (real world task) atau pun dalam bahasa untuk
memecahkan persoalan-persoalan pedagogis (pédagogie task). Guru belum mampu
memanfaatkan fase application secara efektif, meskipun sistem penunjang telah tersedia
seperti tugas dan latihan berbahasa dalam bentuk berbicara dan atau menulis. Hasil
observasi menujukkan bahwa kelemahan guru terletak pada bagaimana memediasi siswa
dalam memberi dorongan (encouragement)„ menunjukkan kata-kata kunci (dues), dan
mengatur kegiatan secara bertahap.
Support ing System
Menggunakan media pembelajaran membantu memperjelas konsep, menjadi
sumber belajar itu sendiri, membawa dan memperjelas konteks dalam kegiatan
berbahasa, serta menyajikan bahan ajar secara visual maupun auditory. Hasil observasi
173
menunjukkan bahwa guru mampu menggunakan realia cukup memadai dalam
memperkenalkan kosa kata baru. Realia yang digunakan menjadi titik berangkat
pengembangan kalimat-kalimat perintah dalam bahasa Inggris yang direspon siswa
secara fisik dengan menunjuk, mengambil, memperlihatkan, dan atau meletakkan
kembali sebuah benda di tempat yang ditentukan.
Selain itu, materi dikembangkan menurut prinsip 'kere and now' sehingga siswa
mudah menyesuaikan diri pada tingkat kompleksitas tugas yang diberikan. Guru juga
cukup membangun hubungan baik (rapport) kepada siswa yang memungkinkan proses
pembelajaran berjalan lancar tanpa perasaan cemas.
Evaluasi
Evaluasi proses pembelajaran belum berjalan dengan baik karena guru ingin
menilai semua siswa pada kesempatan yang sama, dan seobyektif mungkin. Akibatnya,
format penilaian yang tersedia belum digunakan secara optimal. Indikator yang
digunakan sering kurang teramati pada setiap individu siswa untuk dijadikan dasar
penilaian. Namun, dalam konteks yang terbatas guru sudah melakukan penilaian unjuk
kerja melalui pengamatan terhadap respon siswa melalui aktivitas nyata dalam bentuk
fisik.
3) Interaksi belajar-mengajar
Dari enam butir yang membangun interaksi belajar-mengajar, dua di antaranya
yakni: pemberian kesempatan bertanya kepada siswa; dan bimbingan guru yang
dilakukan dalam bentuk pertanyaan terarah menempati urutan terendah kualitasnya.
Adapun empat butir yang lainnya telah dilaksanakan sebagaimana diharapkan.
174
Guru kurang memberi kesempatan bertanya kepada siswa. Kesempatan ini
terabaikan karena kurang disadari betapa pentingnya mengartikulasi: "Ada pertanyaan?"
atau "Siapa yang ingin bertanya?" kedua kalimat ini akan menstimulasi siswa untuk
berani mengajukan pertanyaan. Sementara itu, bimbingan guru belum tersedia secara
optimal karena kurang siapnya melaksanakan bimbingan terhadap siswa yang mengalami
kesulitan.
Beberapa butir yang lain seperti: keterlibatan siswa dalam kelompok kerja;
kesempatan menyelesaikan tugas di bawah bimbingan guru; pengelolaan kesalahan
siswa; dan suasana kelas yang menyenangkan sudah berjalan sesuai kebutuhan. Struktur
kegiatan belajar-mengajar dimulai secara individual memperhatikan input, berkelompok
mendiskusikan masukan baru dan menarik kesimpulan, kemudian dilanjutkan dengan
bekerja berpasangan atau berkelompok untuk mempraktikkan pengetahuan dan
keterampilan baru ke dalam kegiatan komunikatif terbimbing. Siswa bekerja di bawah
bimbingan guru agar kesalahan dapat dikelola sesegra mungkin tanpa memberi rasa
cemas bagi siswa sehingga tercipta suasana kelas yang kondusif.
4) Kemampuan siswa merespon kegiatan belajar-mengajar
Ada empat komponen yang membangun kemampuan siswa dalam merespon
langkah-langkah utama model pembelajaran, masing-masing diuraikan sebagai berikut.
Draw on experience and knowledge (Lead in)
Komponen pertama, kemampuan siswa menjawab pertanyaan guru sesuai dengan
pengalaman siap yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Butir ini penting
dinilai dalam uji coba terbatas karena keyakinan bahwa siswa sudah memiliki gagasan
dan citraan terhadap sesuatu yang diwakili dalam struktur mental yang dikenal sebagai
175
skema. Untuk memulai pembelajaran, seyogyanya ada aktivitas yang mampu
menjembatani skema yang sudah ada dengan informasi baru. Asosiasi pengetahuan siap
dengan informasi baru menentukan tingkat penerimaan dan pemahaman informasi.
Kemampuan siswa mengaitkan pengetahuan siap dengan materi yang akan
dipelajari juga ditentukan oleh efektif-tidaknya pertanyaan penggali (eliciting questions)
yang dijailkan guru dalam fase ini. Semakin efektif pertanyaan, semakin terarah jawaban
siswa dan semakin mengait dengan materi yang akan dipelajari. Namun, fokus utama
bukanlah jawaban siswa harus benar, tapi paling tidak fase itu membangkitkan motivasi
belajar dengan memanfaatkan pengalaman nyata siswa.
Dalam pembelajaran listening dengan metode TPR plus, masih ada sebagian besar
siswa yang mengabaikan pertanyaan penggali yang diajukan guru. Pada mulanya mereka
tidak menjawab, namun selang beberapa saat kemudian mereka pun merespon pertanyaan
guru dengan bahasanya sendiri, tampak sebagai bahasa antara (interlanguage). Misalnya
dengan mengatakan: (#l)"Door for close." "Chair for sit.". Dua kalimat ini merefleksi
pengalaman dan pengetahuan siap siswa. Terjadi asosiasi antara satu konsep benda yang
dikenal dan kegunaan benda itu dalam kehidupan sehari-hari kemudian diungkapkan
dalam bentuk bahasa yang unik.
Input Stage (Reconstruction)
Komponen kedua, melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuan dan
keterampilan baru melalui mediasi guru. Tahap ini penting dinilai dalam uji coba model
terbatas karena model yang dikembangkan meyakini perlunya satu tahap yang
menentukan dalam langkah pembelajaran. Pada tahap itu, siswa memperoleh kesempatan
mengkonstruksi sendiri pengalaman baru yang difasilitasi dan dimediasi guru melalui
176
kegiatan eksplorasi dan penemuan konsep-konsep bahasa, fakta, dan atau informasi baru
melalui tugas dan latihan yang direncanakan untuk mengembangkan kompetensi
komunikatif Pengembangan kompetensi itu dilaksanakan melalui pembelajaran