1 BAB IV SITUASI KEBAHASAAN GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, selain mengenal bahasa Bali juga mengenal bahasa Indonesia, Jawa, Bugis, dan Kaili. Bahasa tersebut digunakan sesuai dengan konteks sosial. Bahasa Bali yang digunakan oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi masih mengenal tingkatan-tingkatan bahasa yang disebut dengan istilah sor- singgih basa. Namun, penggunaannya tidak seketat di Bali. Pengunaan sor-singih basa di Bali disesuaikan dengan konteks pembicaraan. Artinya, komponen- komponen tutur, seperti yang dikemukakan J.A. Fishman masih berlaku sebagai berikut: who speaks „siapa bicara‟; what language „bahasa apa‟; to whom „kepada siapa‟; dan when „kapan‟. Istilah-istilah sosiolinguistik yang dikemukakan oleh J.A. Fishman dapat direalisasikan sebagai berikut: who speaks maksudnya siapa yang berbicara, apakah secara adat/tradisional tergolong kasta Brahmana atau Sudra; what language, maksudnya bahasa apa yang dipergunakan jika berinteraksi verbal dengan mitra wicara, apakah BBH atau BBL; to whom, maksudnya kepada siapa bahasa itu ditujukan, apakah orang dari kalangan pejabat atau petani; dan when, maksudnya kapan bahasa itu digunakan, apakah dalam situasi resmi atau takresmi. Jika dalam situasi resmi, BB yang digunakan adalah BBH. Jika dalam situasi takresmi, BB yang digunakan adalah BBL. Bagi guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, penggunaan sor-singgih basa tersebut agak longgar; artinya, tidak seketat pemakaian sor-singgih basa di Bali.
194
Embed
BAB IV SITUASI KEBAHASAAN GUYUB TUTUR MASYARAKAT … IV V VI... · Jika dalam situasi resmi, ... penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB IV
SITUASI KEBAHASAAN GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI
DI PARIGI, SULAWESI TENGAH
Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, selain mengenal bahasa Bali juga
mengenal bahasa Indonesia, Jawa, Bugis, dan Kaili. Bahasa tersebut digunakan
sesuai dengan konteks sosial.
Bahasa Bali yang digunakan oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
masih mengenal tingkatan-tingkatan bahasa yang disebut dengan istilah sor-
singgih basa. Namun, penggunaannya tidak seketat di Bali. Pengunaan sor-singih
basa di Bali disesuaikan dengan konteks pembicaraan. Artinya, komponen-
komponen tutur, seperti yang dikemukakan J.A. Fishman masih berlaku sebagai
berikut: who speaks „siapa bicara‟; what language „bahasa apa‟; to whom „kepada
siapa‟; dan when „kapan‟.
Istilah-istilah sosiolinguistik yang dikemukakan oleh J.A. Fishman dapat
direalisasikan sebagai berikut: who speaks maksudnya siapa yang berbicara,
apakah secara adat/tradisional tergolong kasta Brahmana atau Sudra; what
language, maksudnya bahasa apa yang dipergunakan jika berinteraksi verbal
dengan mitra wicara, apakah BBH atau BBL; to whom, maksudnya kepada siapa
bahasa itu ditujukan, apakah orang dari kalangan pejabat atau petani; dan when,
maksudnya kapan bahasa itu digunakan, apakah dalam situasi resmi atau takresmi.
Jika dalam situasi resmi, BB yang digunakan adalah BBH. Jika dalam situasi
takresmi, BB yang digunakan adalah BBL.
Bagi guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, penggunaan sor-singgih basa
tersebut agak longgar; artinya, tidak seketat pemakaian sor-singgih basa di Bali.
2
Bahkan, pada saat penelitian berlangsung ditemukan seorang informan
menggunakan BBL ketika berinteraksi verbal dengan mitra wicara yang berasal
dari kasta lebih tinggi. Tanpa diduga-duga informan tersebut berujar, “Yen
ngomong dini da ba menika-meniki. Anake dini nak sing bisa basa halus” (Kalau
berbicara di sini tidak usah berbahasa halus. Orang di sini tidak bisa berbahasa
halus). Menghadapi peristiwa tutur yang demikian, peneliti terkejut. Apalagi
informan tersebut berusia sekitar 60 tahun dan lebih tua dari mitra wicaranya.
Padahal, mitra wicara tersebut menggunakan BBH untuk menghormati orang
yang lebih tua. Peristiwa tutur yang demikian sangat jarang ditemukan pada etnis
Bali di daerah asal.
Seperti diketahui, penggunaan variasi bahasa Bali, baik bahasa Bali halus
maupun lumrah, disesuaikan dengan konteks sosial. Konteks sosial yang
dimaksud dapat berupa usia, pekerjaan, status, sistem kasta, topik pembicaraan,
dan lain-lain. Penggunaan variasi bahasa tersebut berkaitan dengan istilah
bilingualisme.
4.1 Hubungan antara Variasi Bahasa dan Bilingualisme
Agar menjadi lebih jelas, perlu juga diketahui hubungan antara variasi
bahasa dan bilingualisme. Istilah bilingualisme (Inggris : bilingualism) dalam
bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Berdasarkan istilahnya secara
harfiah, yang dimaksud bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Dari segi sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai
3
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang
lain secara bergantian (Mackey,1960:12; Fishman,1975:73).
Bloomfield dalam bukunya yang berjudul Language (1933:56)
menyatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Artinya, seseorang disebut
bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama
baiknya. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme banyak dipertanyakan orang
sebab (1) bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seseorang terhadap
dua buah bahasa yang digunakannya, (2) mungkinkah ada seorang penutur yang
dapat menggunakan B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, konsep
Bloomfield tentang bilingualisme ini pun banyak dimodifikasi orang. Robert Lado
(1964:214) menyatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan
bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya. Apa yang
dimaksudkan oleh Lado adalah penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu
sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961), “Tahu akan dua
bahasa atau lebih berarti bilingual.” Selanjutnya, Haugen menambahkan bahwa
seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi
cukup kalau bisa memahaminya saja.
4.2 Masyarakat Bali dalam Situasi Kedwibahasaan atau Keanekabahasaan
Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat digolongkan sebagai
masyarakat dwibahasawan atau multibahasawan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
masyarakat Bali di Parigi, selain mengenal BB sebagai bahasa ibu, juga mengenal
4
BI sebagai bahasa kedua. Bahkan, selain mengenal BB dan BI, warga Bali di
Parigi juga mengenal bahasa Kaili dan bahasa Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari
seorang informan yang kebetulan menjabat sebagai kepala desa di Desa Mertasari,
yaitu I Made Karyanto. Berdasarkan pengamatannya, warga Bali di Desa
Mertasari, Kecamatan Parigi di samping menguasai BB juga menguasai BK dan
BJ. Menurut I Made Karyanto, “Warga Bali di sini jika bertemu dengan warga
Bali akan menggunakan bahasa Bali; jika bertemu dengan warga Kaili akan
menggunakan bahasa Kaili; dan jika bertemu dengan warga Jawa akan
menggunakan bahasa Jawa”. Terbukti dalam penelitian ini ditemukan tuturan
berbahasa Kaili pada data 16 dan 29, berbahasa Bugis pada data 11, dan berbahasa
Jawa pada data 12.
Hal tersebut diperkuat juga oleh seorang informan di Kantor Limas
Parimo. Menurut informan tersebut, “Kebanyakan warga Bali yang lahir di sini
sudah bisa berbahasa Kaili, sedangkan penguasaan bahasa Bali kebanyakan
terbatas pada bahasa Bali lumrah, jarang warga Bali yang bisa menggunakan
bahasa Bali halus.”
Berdasarkan pembicaraan para informan tersebut, dapat dikatakan bahwa
warga Bali di Parigi termasuk masyarakat yang dwibahasawan atau
multibahasawan. Sehubungan dengan situasi kebahasaan yang demikian, pada
kesempatan ini tidak ada salahnya diuraikan secara singkat tentang fungsi BB dan
BI yang dipergunakan oleh warga Bali di ketiga desa yang ada di Kecamatan
Parigi dan Parigi Selatan.
5
4.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Bali
Merujuk pada pandangan Halim (1976:145), kedudukan bahasa daerah,
termasuk bahasa Bali, berfungsi (1) sebagai alat komunikasi intradaerah, (2)
sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, (3) sebagai lambang identitas
daerah, dan (4) sebagai lambang kebanggaan daerah.
Sebagai alat komunikasi intradaerah, BB masih tetap menjalankan
fungsinya, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun
keluarga. Namun, penggunaan BB pada ranah-ranah tersebut ada juga yang
dicampur dengan BI. Hal ini dapat dimaklumi sebab warga Bali di Parigi sudah
lama hidup berbaur dengan etnis-etnis non-Bali, seperti suku Kaili, Bugis, Jawa,
dan Manado.
Sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, BB belum menjalankan
fungsinya secara maksimal sebab bahasa daerah yang dipergunakan sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah adalah BK sebagai bahasa lokal. Penggunaan
BB biasanya disisipkan pada pelajaran agama di pura/pasraman oleh guru agama
Hindu.
Sebagai lambang identitas daerah, BB masih eksis menjalankan fungsinya.
Tidak jarang identitas seseorang dapat diketahui melalui bahasa yang digunakan.
Demikian juga penggunaan BB di Parigi. Dengan mendengar BB yang diujarkan
seseorang, akan diketahui bahwa orang bersangkutan adalah penutur Bali. Hal ini
sesuai dengan ungkapan yang sering didengar, “Bahasa menunjukkan bangsa.”
Artinya, dengan melihat/mendengar bahasanya akan diketahui identitas seseorang.
6
Sebagai lambang kebanggaan daerah, BB masih tetap menjalankan
fungsinya. Artinya, warga Bali di Parigi masih tetap menggunakan BB ketika
berbicara dengan sesama etnis. Dengan perkataan lain, warga Bali di Parigi
merasa bangga jika BB digunakan berbicara dengan sesama etnis Bali. Tentu rasa
bangga warga Bali akan keberadaan BB akan mendorong kebertahanan BB di luar
daerah asalnya.
4.4 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat
pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya
dan bahasanya, dan (4) alat penghubung antardaerah dan antarbudaya (Halim,
1976:145).
Sebagai lambang kebanggaan nasional, BI telah menjalankan fungsinya
dengan baik. Artinya, setiap warga Indonesia takterkecuali warga Bali di Parigi
merasa bangga memiliki BI sebagai bahasa nasional. Hal ini dapat dibuktikan
adanya penggunaan BI di kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, tata
usaha, dan sebagainya.
Sebagai lambang identitas nasional, BI juga telah menjalankan fungsinya
dengan baik. Dengan bahasa Indonesia itulah, warga Bali di Parigi menunjukkan
kebangsaannya dan membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Selain itu,
unsur-unsur BI juga memiliki sifat-sifat khas yang tidak terdapat pada bangsa lain.
7
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa BI merupakan identitas bangsa
Indonesia.
Sebagai alat pemersatu bangsa, BI telah membuktikan kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat, khususnya guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Tidak sedikit penutur mengalihkan bahasanya dari bahasa daerah ke bahasa
Indonesia ketika komunikasi berlangsung. Hal itu tampak saat komunikasi terjadi
antara etnis Bali dan etnis Kaili ataupun antara etnis Bali dan etnis Bugis.
Sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, BI juga telah
dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Artinya, jika kebudayaan suatu daerah
ingin dikenal oleh suku bangsa lain, BI dapat digunakan sebagai sarana
komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, kebudayaan tiap-tiap daerah dapat
diperkenalkan. Dengan perkataan lain, peranan BI tidak boleh diabaikan dalam
menembus batas-batas kedaerahan. Apalagi dalam upaya memperkenalkan
kebudayaan suku bangsa satu kepada suku bangsa yang lain. Artinya, jika
kebudayaan Bali ingin dikenal oleh etnis Kaili atau etnis Bugis, BI dapat
digunakan sebagai sarana komunikasi.
8
BAB V
PILIHAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI,
SULAWESI TENGAH
5.1 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia Dewasa)
Manusia sebagai makhluk individu dapat diartikan sebagai diri pribadi
atau perorangan. Sebagai diri pribadi manusia perlu bekerja untuk makan dan
untuk memenuhi kebutuhannya manusia perlu berinteraksi dengan manusia
lainnya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, kehidupan manusia dalam masyarakat pada hakikatnya
berperan dalam dua hal, yaitu manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu, manusia dituntut mampu bekerja sama, berinteraksi,
dan saling berlomba melakukan perubahan untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Dalam kenyataannya manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri untuk
mencukupi kebutuhan. Dia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan perkataan
lain, setiap manusia cenderung untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan
bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dengan demikian, manusia selain berperan
sebagai makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial.
Untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya diperlukan sarana bahasa.
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, seperti
halnya guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Masyarakat Bali di Parigi sebagian besar memiliki mata pencaharian
sebagai petani. Selebihnya ada juga yang bekerja sebagai pedagang, buruh,
peternak, pegawai negeri, nelayan, sopir, pengusaha, dan TNI/POLRI. Hal ini
diperkuat oleh seorang informan yang sempat memberikan data sebagai berikut.
9
Data 1
“Kalau tentang mata pencaharian masyarakat kita di Parigi niki (ini)
bervariasi. Jadi, ada yang petani sawah, petani kebun, nelayan, dan
dagang. Saya melihat dari keseharian, masyarakat kita yang ada di Parigi
ini, khusus untuk di pertanian itu yang lebih banyak mendominasi adalah
teman-teman Bali dan teman-teman Bugis. Kalau teman-teman Kaili itu
lebih banyak meniru ke teman-teman Bali dan Bugis tentang cara
bercocok tanam atau mengerjakan lahan pertanian, kenten (begitu).
Dengan ketekunannya teman-teman Bali merasakan bagaimana susahnya
untuk mencari lahan pertanian. Ketika berada di Parigi dan melihat lahan
begitu luas, semangat kerjanya luar biasa.”
Pekerjaan yang ditekuni oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
berimplikasi terhadap penggunaan bahasa pada saat pekerjaan itu berlangsung.
Penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
5.1.1 Penggunaan bahasa antaretnis
Implikasi dari pekerjaan terhadap penggunaan bahasa yang dimaksudkan
itu dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 5.1
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
(Kelompok Usia Dewasa)
No. Kegiatan BB BI BK BBg
1 Bahasa yang dipakai saat memetik
coklat jika ada penutur bahasa Kaili
8% 80% 12% -
2 Bahasa yang dipakai saat memetik
coklat jika ada penutur bahasa Bugis
3% 91% - 6%
3 Bahasa yang dipakai saat istirahat
memetik coklat jika ada peserta
berpenutur bahasa Kaili
7% 83% 10% -
4 Bahasa yang dipakai saat istirahat
memetik coklat jika ada peserta
berpenutur bahasa Bugis
5% 90% - 5%
Jika diperhatikan tabel 5.1, tampak adanya variasi penggunaan bahasa
pada ranah pekerjaan, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan penutur saat
memetik coklat dan istirahat. Bahasa yang dipakai etnis Bali ketika bertemu
10
dengan etnis Kaili pada saat memetik coklat sebagian besar menggunakan BI,
yaitu 80%, BB 8%, dan BK 12%. Demikian juga ketika istirahat kerja. Persentase
pemakaian BI tetap mendominasi pemakaian BB dan BK.
Persentase pemakaian BI yang sangat dominan membuktikan bahwa BI
telah menjalankan fungsinya sebagai bahasa nasional. Hal ini sesuai dengan salah
satu fungsi BI dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yaitu alat pemersatu
berbagai-bagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya dan suku
bangsanya.
Selain menggunakan BK, etnis Bali di Parigi juga menggunakan BBg
ketika berinteraksi dengan etnis Bugis. Hal ini dapat juga dilihat pada tabel 5.1.
Pada tabel tersebut, tampak etnis Bali menggunakan BBg sebanyak 6%, BI 91%,
dan BB 3% ketika sedang memetik coklat bersama dengan etnis Bugis. Demikian
juga saat istirahat. Etnis Bali menggunakan BBg sebanyak 5%, BI 90%, dan BB
5%.
Penggunaan BK dan BBg saat memetik coklat ataupun beristirahat
sangatlah wajar mengingat banyak juga etnis Bugis selain etnis Kaili berdomisili
di Parigi. Jadi, warga Bali di Parigi sudah terbiasa menggunakan BK dan BBg.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang informan, Ibu Ni Luh Masri (35 tahun),
seorang pegawai negeri.
Data 2
“Tiang nak dini lahir. Jadi, tiang sing bisa basa Bali alus. Yen ketemu
orang Bali dipakai basa Bali biasa (tidak alus), yen ketemu orang Kaili
pakai basa Kaili, yen ketemu orang Bugis pakai basa Bugis, gitu.”
11
„Saya lahir di sini. Jadi, saya tidak bisa BBH. Kalau bertemu orang Bali
dipakai bahasa Bali biasa (tidak halus). Kalau bertemu orang Kaili dipakai
bahasa BK, kalau bertemu orang Bugis dipakai BBg, begitu.‟
Penggunaan bahasa Kaili, bahasa Bugis, bahasa Bali, dan bahasa
Indonesia dapat juga ditemukan dalam interaksi verbal, seperti tampak pada tabel
di bawah ini.
Tabel 5.2
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian
No. Kegiatan BB BI BK BBg
5 Bahasa yang dipakai dalam menjual
hasil pertanian/perkebunan kepada
pembeli berpenutur bahasa Kaili
3% 85% 12% -
6 Bahasa yang dipakai dalam menjual
hasil pertanian/perkebunan kepada
pembeli yang berpenutur bahasa Bugis
3% 91% - 6%
Tabel 5.2 menggambarkan bahwa pemakaian bahasa bervariasi ketika
etnis Bali berkomunikasi dengan etnis non-Bali. Ketika interaksi jual-beli
berlangsung, etnis Bali sebagian besar menggunakan BI, yaitu sebanyak 85%,
penggunaan BB sebanyak 3%, dan penggunaan BK sebanyak 12%.
Penggunaan bahasa yang bervariasi tersebut sangatlah wajar mengingat
etnis Bali di Parigi tergolong masyarakat dwibahasawan/multibahasawan. Artinya,
masyarakat Bali di Parigi selain menguasai bahasa Bali, juga menguasai bahasa
Kaili, Bugis, dan Indonesia.
Selanjutnya, diuraikan penggunaan bahasa etnis Bali ketika berinteraksi
verbal dengan penyuluh pertanian/perkebunan. Seperti diketahui, penyuluh
pertanian/perkebunan sangat memegang peranan penting dalam usaha
meningkatkan tarap kehidupan para petani di Parigi, seperti bersawah dan
12
berkebun coklat. Bagaimanakah pemakaian bahasa etnis Bali ketika berinteraksi
verbal dengan etnis lain perhatikan tabel di bawah ini.
Tabel 5.3
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Penyuluhan
Pertanian/Perkebunan Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg
7 Bahasa yang dipakai jika berbicara
dengan penyuluh pertanian/perkebunan
yang berpenutur bahasa Kaili
3% 91% 6% -
8 Bahasa yang dipakai jika berbicara
dengan penyuluh pertanian/perkebunan
yang berpenutur bahasa Bugis
3% 97% - -
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa etnis Bali ketika berinteraksi verbal dengan
penyuluh pertanian/perkebunan didominasi oleh penggunaan BI sebanyak 91%,
sedangkan pemakaian BB dan BK masing-masing sebanyak 3% dan 6%.
Demikian juga pada pertanyaan 8, pemakaian BI tetap dominan ketika etnis Bali
berinteraksi verbal dengan etnis non-Bali, yaitu 97%, dan pemakaian BB
sebanyak 3%.
Pemakaian bahasa Indonesia oleh sebagian besar etnis Bali ketika
berbicara dengan penyuluh perkebunan sangatlah wajar mengingat interaksi
terjadi antaretnis. Selain itu, memang situasi menghendaki demikian. Maksudnya,
penyuluhan pertanian/perkebunan yang dilakukan oleh petugas terhadap para
petani memang dalam situasi formal. Dalam situasi formal, pada umumnya
dipergunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Apalagi peserta
penyuluhan diikuti oleh beragam etnis. Hal ini tentu sangat memungkinkan
dipergunakannya bahasa Indonesia.
13
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
4,9%2%
4%
89,1%
BB
BI
BK
BBg
Diagram 5.1
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan
5.1.2 Penggunaan bahasa intraetnis
Penggunaan bahasa sesama etnis Bali berbeda dengan penggunaan bahasa
antaretnis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) Masyarakat
Bali cenderung mempertahankan identitas dirinya sebagai warga Bali. Oleh
karena itu, mereka menggunakan BB ketika interaksi verbal berlangsung; (2)
Masyarakat Bali merasa bangga menggunakan BB ketika bertemu dengan sesama
warga Bali. Hal ini secara tidak langsung memupuk rasa solidaritas yang tinggi;
(3) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bahasa daerah perlu dijaga
kelestariannya. Oleh karena itu, warga Bali merasa wajib menggunakan BB ketika
bertemu dengan sesama etnis Bali; dan (4) Bahasa Bali merupakan bagian
kebudayaan Bali. Oleh karena itu, BB perlu dipelihara sebaik-baiknya. Hal ini
sesuai dengan unsur-unsur kebudayaan yang terdiri atas: (1) agama, (2) ilmu
14
pengetahuan, (3) teknologi, (4) ekonomi, (5) organisasi sosial, (6) bahasa, dan (7)
kesenian.
Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan menunjukkan bahwa setiap
masyarakat hendaknya berkewajiban mendukung suatu kebudayaan yang
memiliki simbol-simbol bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk
menyampaikan suatu maksud kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan
dilaksanakan.
Bahasa Bali sebagai salah satu unsur kebudayaan dipergunakan juga dalam
ranah pekerjaan, seperti tampak pada tabel berikut.
Tabel 5.4
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
9 Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat memetik
coklat
88% - - - 12%
10 Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat beristirahat
memetik coklat
88% - - - 12%
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa etnis Bali di Parigi sangat setia dan
mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap pemakaian BB, yaitu sebanyak 88%.
Hanya 12% responden menggunakan BI di samping BB. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat Bali di Parigi masih bertahan penguasaan bahasa Balinya
meskipun sudah lama meninggalkan daerah asalnya, yaitu Bali. Dengan perkataan
lain, waga Bali di Parigi, Sulawesi Tengah, masih mempertahankan penggunaan
BB sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali.
15
Pemakaian bahasa berikutnya sehubungan dengan ranah pekerjaan dapat
dilihat pada uraian berikut.
Tabel 5.5
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Interaksi Jual-Beli
Hasil Pertanian/ Perkebunan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
11 Bahasa yang dipakai saat
menjual hasil pertanian/
perkebunan kepada pembeli
yang berpenutur bahasa Bali.
88% - - - 12%
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa pemakaian BB tetap memiliki penutur yang
lebih dominan dibandingkan dengan penutur BI. Terbukti 88% penutur sesama
etnis Bali menggunakan BB ketika menjual hasil pertanian/perkebunannya. Hanya
12% penutur sesama etnis Bali menggunakan BI selain BB ketika interaksi jual-
beli berlangsung.
Tabel 5.6
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
12 Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Kaili.
3% 88% 9% - -
13 Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Bugis.
3% 94% - 3% -
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai saat responden sedang
bekerja kemudian disapa oleh kenalannya yang berpenutur BK adalah BI, yaitu
sebanyak 88%. Pemakaian bahasa yang dominan ini sangat beralasan sebab mitra
16
wicara berasal dari etnis lain, yaitu etnis Kaili. Walaupun demikian, ada juga
warga Bali menggunakan BB sebanyak 3% dan BK sebanyak 9%.
Demikian juga pertanyaan 13. Di sini responden sebagian besar menjawab
dengan menggunakan BI ketika berinteraksi dengan etnis Bugis. Perbedaannya
tampak dengan jelas. Sebanyak 94% responden memilih menggunakan BI,
sebanyak 3% responden memilih menggunakan BB, dan sebanyak 3% responden
memilih menggunakan BBg ketika berinteraksi dengan etnis Bugis. Hal ini sesuai
dengan fungsi BI yang menyatakan bahwa BI berfungsi sebagai alat perhubungan
antarbudaya dan antardaerah.
Tabel 5.7
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
14 Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
yang berpenutur bahasa Bali
88% - - - 12%
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Bali tetap dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa Indonesia. Sebagian besar warga Bali
menggunakan BB ketika disapa oleh kenalan yang berpenutur BB. Dalam hal ini,
BB 88% digunakan oleh warga Bali dan hanya 12% warga Bali menggunakan BI.
Warga Bali cenderung menggunakan BB agar tidak dianggap sombong jika
menggunakan bahasa selain BB. Kadang-kadang ada juga budaya sombong
ditunjukkan warga masyarakat dengan tidak menggunakan BB ketika berinteraksi
sosial dengan sesama etnis Bali. Namun, berdasarkan data pada tabel 5.7, budaya
tersebut tidak tampak. Terbukti bahwa pemakaian BB selalu lebih dominan
dipergunakan oleh warga Bali ketika berinteraksi sosial dengan sesama etnis.
17
Tabel 5.8
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika
Penyuluhan Pertanian/Perkebunan Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
15 Bahasa yang dipakai jika
berbicara kepada penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Bali
41% 50% - - 9%
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Indonesia lebih dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa Bali dan bahasa Bali/bahasa Indonesia.
Dari segi persentase ditemukan sebanyak 41% penggunaan BB, 50% penggunaan
BI, dan 9% penggunaan bahasa campur antara BB dan BI.
Dominannya penggunaan bahasa Indonesia sangatlah wajar mengingat
situasinya formal/resmi. Selain itu, topik yang dibicarakan juga bersifat teknis.
Jadi, dipandang perlu pada situasi yang demikian dipergunakan BI. Apalagi dalam
pembicaraan tersebut banyak muncul istilah pertanian, seperti pupuk, rabuk,
hama, dan produksi.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
11,4%
78,6%
10%BB
BB/BI
BI
Diagram 5.2
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraretnis pada Ranah Pekerjaan
18
5.2 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban
Dalam kehidupan bermasyarakat, seperti halnya di Parigi, tiap-tiap
individu memiliki peranan masing-masing. Ada individu yang berperan sebagai
orang tua, adik, kakak, sahabat, dan sebagainya. Tiap-tiap peranan yang dimiliki
oleh individu sangat berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan. Individu yang
berperan sebagai ayah akan memiliki bahasa yang berbeda dengan individu yang
berperan sebagai anak. Individu yang berperan sebagai kakak akan memiliki
bahasa yang berbeda dengan individu yang berperan sebagai adik. Individu yang
berperan sebagai guru tentu akan memiliki bahasa yang berbeda jika
dibandingkan dengan individu yang berperan sebagai siswa. Demikian juga
individu yang berperan sebagai teman karib akan memiliki bahasa yang berbeda
dengan individu yang berperan sebagai atasan. Konkretnya dapat dilihat pada
uraian berikut.
Tabel 5.9
Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
16 Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Kaili
3% 85% 12% - -
17 Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bugis
3% 91% - 6% -
Tabel 5.9 menunjukkan adanya pemakaian bahasa Indonesia, bahasa Bali,
bahasa Kaili, dan bahasa Bugis oleh etnis Bali ketika berinteraksi sosial dengan
etnis lain, khususnya etnis Kaili dan etnis Bugis. Secara lengkap dapat
digambarkan bahwa etnis Bali menggunakan BI sebanyak 85%, BB sebanyak 3%,
19
dan BK sebanyak 12% ketika berinteraksi dengan etnis Kaili melalui surat-surat
pribadi. Pemakaian BI tetap mendominasi peristiwa tutur tersebut. Kemudian
disusul pemakaian BK, dan pemakaian BB. Penggunaan BI lebih dominan pada
peristiwa tutur tersebut wajar sebab etnis Bali berinteraksi dengan etnis lain, yaitu
etnis Kaili.
Demikian juga penggunaan bahasa dalam surat-surat pribadi etnis Bali
terhadap etnis Bugis. Penggunaan BI juga mendominasi peristiwa tutur tersebut.
Etnis Bali sebanyak 91% menggunakan BI ketika berinteraksi dengan etnis Bugis
dalam surat-surat pribadi. Kemudian disusul oleh penggunaan BBg sebanyak 6%
dan penggunaan BB sebanyak 3%.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika aktivitas berlangsung dapat dilihat
pada uraian di bawah ini.
Tabel 5.10
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
18 Anda berbicara dengan teman
memakai bahasa Bali.
Kemudian datang teman lain
yang berpenutur bahasa
Kaili/Bugis. Anda (a) tetap
menggunakan bahasa Bali,
(b) beralih ke bahasa
Kaili/Bugis, dan (c) beralih
ke bahasa Indonesia
3% 97% - - -
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa warga Bali pada awalnya menggunakan
bahasa Bali ketika berbicara dengan sesama etnis, tiba-tiba beralih ke bahasa
Indonesia setelah datang temannya yang berpenutur non-Bali. Hal ini sengaja
dilakukan oleh etnis Bali untuk menghormati datangnya penutur lain yang tidak
20
dapat berbahasa Bali. Pengalihan kode tersebut sengaja dilakukan oleh etnis Bali
karena hadirnya orang ketiga. Dengan demikian, alih kode tersebut dapat
dikatakan memiliki fungsi sosial. Alangkah tidak etisnya warga Bali tetap
menggunakan bahasa Bali meskipun datang orang ketiga yang tidak paham
berbahasa Bali. Dalam kenyataannya jawaban responden ada juga yang tetap
menggunakan BB meskipun datang orang ketiga. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan responden berbahasa Indonesia dan dapat juga disebabkan oleh
kesetiaannya yang terlalu tinggi terhadap BB. Oleh karena itu, responden tersebut
tetap menggunakan BB meskipun datang orang ketiga yang berasal dari etnis lain.
Namun, fenomena bahasa yang demikian hanya sebagian kecil karena yang
menggunakan BB hanya sebanyak 3%. Selebihnya, sebanyak 97% responden
beralih ke BI dari BB.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
91%
3%2%
4%
BB
BI
BK
BBg
Diagram 5.3
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban
Selanjutnya, penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam surat-menyurat,
perhatikan tabel di bawah ini.
21
Tabel 5.11
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
19 Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bali
62% 18% - - 20%
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Bali lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa campur BB/BI.
Secara lengkap jumlah persentase pemakaian BB sebanyak 62%, pemakaian BI
sebanyak 18%, dan pemakaian bahasa campur BB/BI sebanyak 20%.
Dominannya penggunaan BB, seperti tampak pada tabel 5.11 disebabkan oleh
faktor loyalitas yang tinggi warga Bali terhadap keberadaan BB. Selain itu, warga
Bali ingin menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama etnis Bali.
Apalagi mereka menganggap BB sebagai salah satu cara untuk mengakrabkan
mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Penggunaan bahasa pada ranah kekariban dapat juga dilihat pada
percakapan dua orang kerabat sebagai berikut.
Data 3
Latar : Teras rumah
Topik : Pertemuan warga
Partisipan : Dua orang sahabat berusia sebaya
(O1) : (1) Abaang be bakar nyang dasa ukud, bayah ditu!
„Bawakan ikan bakar sepuluh ekor saja, bayar di situ!‟
(O2) : (2) Bayah ditu keto?
„Bayar di situ begitu?‟
: (3) Ane ngadaang pertemuanne nake mayah.
„Yang mengadakan pertemuannya seharusnya membayar.‟
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
22
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu?‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju.‟
Jika diperhatikan secara cermat peristiwa tutur pada data 3, tampak sekali
terjadi fenomena campur kode yang dilakukan oleh partisipan. Kebetulan
situasinya memang informal. Artinya, peristiwa tutur tersebut terjadi di sebuah
rumah dan sangat memungkinkan terjadinya fenomena campur kode. Apalagi
partisipan merupakan dua sahabat yang sangat akrab. Hal ini dapat dilihat dari
bahasa yang digunakan partisipan.
Pada awalnya O1 menggunakan BBL yang disisipi oleh unsur-unsur
bahasa Indonesia, seperti tampak pada K1, Abaang be bakar nyang dasa ukud,
bayah ditu! „Bawakan ikan bakar sepuluh ekor, bayar di situ!‟ Unsur /bakar/
sebagai kosakata bahasa Indonesia digunakan oleh O1 ketika berbahasa Bali.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa O1 sudah melakukan campur kode
ketika menggunakan BB. Artinya, seorang penutur yang dalam berbahasa Bali
menyelipkan serpihan-serpihan bahasa Indonesia dapat dikatakan telah melakukan
campur kode.
23
Fenomena campur kode pada data 3 dapat juga ditemukan pada tuturan O2,
khususnya K3, Ane ngadaang pertemuanne nake mayah „Yang mengadakan
pertemuan seharusnya membayar.‟ Unsur /pertemuanne/ „pertemuannya‟ pada
hakikatnya merupakan campuran antara unsur {temu}, {per-an}, dan {-ne}.
Artinya, bentuk asal {temu} dan konfiks {per-an} dalam BI bercampur dengan
klitik {ne} dalam bahasa Bali. Bentuk {ne} dalam BB berpadanan dengan bentuk
{-nya} dalam BI. Oleh karena itu, O2 pada K3 dapat dikatakan telah menyisipkan
serpihan-serpihan BI ke dalam pemakaian BB sehingga mengakibatkan terjadinya
fenomena campur kode.
Berdasarkan pilihan kata yang digunakan, baik oleh O1 maupun O2, pada
data 3 tampak sekali kedua penutur tersebut merupakan teman akrab. Banyak
kosakata yang dipilih tidak lengkap unsurnya, seperti kata /sing/ pada K6 yang
merupakan singkatan kata /tusing/ „tidak‟. Demikian juga kata /engken/. Kata
tersebut merupakan singkatan dari kata /ngengken/ „mengapa‟. Kata /ne/ juga
merupakan singkatan dari kata /ene/ „ini‟ pada K5.
Pemakaian bahasa pada ranah kekariban tidak menutup kemungkinan
terjadinya fenomena alih kode selain campur kode. Baik fenomena campur kode
maupun alih kode, pada umumnya terjadi pada situasi informal. Artinya, pada
situasi formal jarang terjadi fenomena alih kode dan campur kode.
Fenomena alih kode dapat juga ditemukan pada data 3. Fenomena tersebut
dilakukan oleh dua penutur BB yang merupakan sehabat karib. Pada awalnya O1
menggunakan bahasa Bali campur (BBC) pada K1, K4, K8, K12. Namun, begitu
pembicaraan sampai pada K10, O1 beralih kode ke BI, Ada bos baru ini dari Palu.
24
Peralihan kode yang dilakukan oleh O1 disebabkan oleh keinginan untuk
memperjelas tuturan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena mitra wicara
sebelumnya tidak paham permintaan O1. Terbukti dari tuturan O2 yang kurang
paham terhadap tuturan O1, seperti tampak pada beberapa kalimat tanya yang
diajukan. Misalnya, K2, Bayah ditu keto? „Bayar di situ begitu?‟ Kemudian, K5,
Kenkenne, ada apa ne? „Bagaimana ini, ada apa?‟ dan Nyen ento? „Siapa itu?‟
Namun, begitu O1 beralih kode dari BB ke BI pada K10 barulah O2 paham tuturan
O1. Terbukti dari respons yang dilakukan O2 pada K13, Sip, Sip, oke! „Ya, ya saya
setuju!‟
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
18%
62%
20%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.4
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban
5.3 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama
Agama merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam tujuh komponen
kebudayaan. Komponen pokok yang terdapat dalam setiap agama meliputi umat
beragama, sistem keyakinan, sistem peribadatan, dan emosional keagamaan.
25
Masyarakat Parigi selain memeluk agama Hindu, ada juga umat yang
memeluk agama Kristen, Katolik, Islam, dan Budha. Bahkan, salah satu desa yang
ada di Parigi Selatan, yaitu Desa Sumbersari, yang merupakan lokasi penelitian,
jumlah penduduk yang beragama Hindu sebanyak 85 orang, Islam 1042 orang,
Kristen 990 orang, dan Katolik 9 orang. Kehidupan masyarakat di Parigi,
meskipun dihuni oleh umat yang berbeda-beda agama, kehidupan mereka sangat
rukun dan damai.
Bagaimana sebenarnya kehidupan antarumat beragama di Parigi berikut
dapat dikemukakan pendapat seorang informan yang kebetulan berprofesi sebagai
guru SMP Negeri 1 Parigi, yaitu Bapak Nyoman Sukawan.
Data 4
“… ya selama tiang idup di Sulawesi atau Parigi selamane sing ada
terjadi bentrokanlah antarsuku. Selalu damailah. Ya, dini biasane amen
ada kegiatan kerja bakti di jalan, di balai desa biasane gotong royong
makejang keluar megae, baik nak Bali, Bugis, Kaili, makejang gotong
royong kerja bakti.”
„… ya selama saya hidup di Sulawesi atau Parigi selama itu tidak ada
terjadi bentrokan antarsuku. Selalu damai. Ya di sini biasanya kalau ada
kegiatan kerja bakti di jalan, di balai desa biasanya gotong royong semua
keluar bekerja, baik orang Bali, Bugis, Kaili, semua gotong royong kerja
bakti.‟
Data 4 menunjukkan bahwa hubungan antarumat beragama di Parigi
sangat baik. Terbukti adanya kerja bakti atau gotong royong yang dilakukan
secara bersama-sama oleh umat yang berasal dari berbagai suku.
Dengan terjadinya rasa solidaritas antarumat beragama yang begitu tinggi
tentu membawa efek positif terhadap bahasa yang digunakan dalam berinteraksi
di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
26
Tabel 5.12
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
20 Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Kaili
3% 91% 6% - -
21 Bahasa yang dipakai jika
memberi ceramah kepada
umat yang berpenutur bahasa
Kaili
3% 91% 6% - -
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa etnis Bali ketika bertanya kepada umat
yang berpenutur BK lebih banyak menggunakan BI, yaitu 91%. Dominannya
pemakaian BI dalam peristiwa tutur tersebut sangatlah wajar sebab penutur lebih
menguasai BI dibandingkan dengan BK. Pada hakikatnya memang BI yang
dipelajari terlebih dahulu oleh penutur setelah menguasai bahasa pertama, yaitu
BB.
Demikian juga pertanyaan 21. Ketika memberikan ceramah keagamaan
kepada etnis Kaili, penutur lebih banyak menggunakan BI dibandingkan dengan
BK dan BB. Secara lengkap jumlah persentase pemakaian bahasa tersebut adalah
BI sebanyak 91%, BK sebanyak 6%, dan BB sebanyak 3%. Alasan penutur
menggunakan BI jelas sesuai dengan fungsi BI sebagai bahasa nasional, yaitu
sebagai alat penghubung antarsuku, antarbudaya, dan antardaerah.
Penggunaan bahasa dengan etnis Bugis dalam kegiatan keagamaan dapat
dilihat pada uraian di bawah ini.
27
Tabel 5.13
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
22 Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
3% 94% - 3% -
23 Bahasa yang dipakai dalam
memberikan ceramah
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
3% 97% - - -
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa penutur, ketika bertanya kepada umat
yang berpenutur BBg, sebagian besar ia menggunakan BI, yaitu sebanyak 94%.
Hanya 3% responden menjawab dengan menggunakan BB dan sebanyak 3% pula
responden menjawab dengan menggunakan BBg. Hal ini membuktikan bahwa BI
sebagai bahasa nasional sangat berperan ketika interaksi ditujukan kepada etnis
lain.
Demikian juga pertanyaan 23. Pemakaian bahasa Indonesia tetap lebih
dominan jika dibandingkan dengan pemakaian bahasa Bali. Dominannya
pemakaian BI tentu disebabkan mitra wicara yang berasal dari etnis lain, yaitu
etnis Bugis.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
28
93,25%
3%0,75%
3%
BB
BI
BK
BBg
Diagram 5.5
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama
Selanjutnya, penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam kegiatan keagamaan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.14
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI BS
24 Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu
jika berbicara dengan
umat yang berpenutur
bahasa Bali
3% 41% - - 56% -
25 Bahasa yang dipakai bila
melakukan Trisandhya
- - - - - 100%
26 Bahasa yang dipakai saat
Darma Wacana di pura
- 62% - - 38% -
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai penceramah agama
Hindu ketika berinteraksi dengan sesama etnis Bali lebih dominan BB yang
dicampur dengan BI, yaitu sebanyak 56%. Penggunaan BB sebanyak 3% dan
penggunaan BI sebanyak 41%. Hal ini membuktikan bahwa pemakaian BB tetap
dipertahankan dalam peristiwa tutur meskipun kadang-kadang diselingi dengan
pemakaian BI. Pemakaian BB yang hanya 3% membuktikan bahwa etnis Bali di
Parigi sudah tergolong masyarakat yang dwibahasawan. Artinya, etnis Bali ketika
29
berinteraksi sudah terpengaruh oleh pemakaian BI sebagai bahasa nasional.
Peristiwa ini diperkuat lagi dengan pemakaian BI sebanyak 41%. Artinya, selain
BB, etnis Bali di Parigi juga telah menguasai BI sebagai sarana komunikasi
sesama etnis.
Bahasa yang dipakai saat melakukan Trisandhya sebanyak 100%
responden menjawab bahasa Sanskerta. Apa yang terlihat di Parigi sama halnya
dengan penutur Bali di daerah asal, yaitu selalu menggunakan bahasa Sanskerta
ketika melakukan Trisandhya. Artinya, budaya di daerah asal terbawa juga ke
daerah Parigi yang berada di luar Bali.
Khusus mengenai penggunaan bahasa oleh pendarma wacana di pura-pura
ternyata tabel 5.14 menunjukkan adanya pemakaian BI lebih dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya, yaitu sebanyak 62%.
Penggunaan BI oleh pendarma wacana tidak menutup kemungkinan disebabkan
oleh umat yang beragama Hindu tidak semua dari etnis Bali. Ada juga umat
Hindu yang berasal dari etnis Kaili dan etnis Bugis. Untuk menghormati umat
yang beraneka ragam etnis itulah dipergunakan BI ketika darma wacana
berlangsung. Meskipun demikian, ada juga pendarma wacana menggunakan BB
dan BI secara silih berganti. Namun, jumlah persentasenya di bawah pemakaian
BI, yaitu sebanyak 38%. Artinya, pemakaian BB sama sekali tidak ditinggalkan
oleh pendarma wacana ketika interaksi verbal berlangsung.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam kegiatan keagamaan lainnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
30
Tabel 5.15
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan Lainnya
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
27 Bahasa yang dipakai bila
mengumumkan berita
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bali
- 21% - - 79%
28 Bahasa yang dipakai bila
berurusan dengan pengurus
pura yang berpenutur bahasa
Bali
21% 29% - - 50%
29 Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu
kepada umat yang berpenutur
bahasa Bali dan umat yang
berpenutur bahasa non-Bali
- 65% - - 35%
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai jika mengumumkan
berita keagamaan kepada penutur BB adalah BI sebanyak 21% dan BB yang
dicampur dengan BI sebanyak 79%. Dengan melihat perbandingan pemakaian
bahasa tersebut, dapat dikatakan bahwa pemakaian BB yang dicampur dengan BI
menempati posisi lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BI. Artinya,
etnis Bali di Parigi tetap mempertahankan bahasa ibunya sebagai sarana interaksi
sosial di masyarakat.
Demikian juga pertanyaan 28. Bahasa yang dipakai jika berurusan dengan
pengurus pura yang berpenutur BB adalah BI sebanyak 29% dan BB yang
dicampur dengan BI sebanyak 50%. Jika dibandingkan dengan pemakaian BB,
ternyata pemakaian BI lebih dominan, yaitu sebanyak 29%, sedangkan pemakaian
BB hanya 21%. Kurangnya pemakaian BB disebabkan oleh penutur yang
menganggap pemakaian BI lebih demokratis. Maksudnya, ada beberapa penutur
etnis Bali kurang menguasai tingkatan-tingkatan BB yang dikenal dengan istilah
31
“sor-singgih basa.” Oleh karena itu, dipilih BI yang justru tidak mengenal
tingkatan-tingkatan bahasa.
Khusus pertanyaan 29, tampak pemakaian bahasa Indonesia mendominasi
pemakaian BB yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Secara lengkap
pemakaian BI sebanyak 65%, sedangkan pemakaian BB yang dicampur dengan
BI sebanyak 35%. Dominannya pemakaian BI oleh penceramah agama Hindu
terhadap penutur BB dan non-Bali sangat wajar sebab tidak semua peserta
ceramah dapat berbahasa Bali. Peserta ceramah beraneka ragam etnis, yaitu Bali,
Kaili, Bugis, dan Jawa. Oleh karena itu, pemakaian BI dianggap lebih tepat
dijadikan sarana interaksi sosial.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
36,3%
4%16,7%
43%
BB
BI
BB/BI
BS
Diagram 5.6
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama
5.4 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian
Kesenian merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan yang
ada. Kesenian pada dasarnya dimiliki oleh setiap masyarakat untuk
32
mengungkapkan rasa seni berupa simbol-simbol pernyataan rasa senang dan susah
(suka duka). Kesenian biasanya diperuntukkan bagi umum ataupun diri sendiri
dengan mengambil berbagai bentuk, seperti ukiran, gambar, teater, pentas, dan
gerak/tari.
Masyarakat Bali di Parigi pun tidak lepas dari unsur kesenian tersebut.
Bahkan, seni magamel, seni tari bukan saja datang dari warga Bali yang memang
menekuni rasa seni tersebut, melainkan dapat juga diperoleh melalui kaset, CD
yang banyak beredar untuk melengkapi kesenian Bali di Parigi. Ketika upacara-
upacara keagamaan diadakan, seperti upacara potong gigi, ngaben selalu dibarengi
dengan diputarnya kaset yang berupa seni tetabuhan. Bahkan, akhir-akhir ini
setiap bulan Purnama-Tilem selalu diikuti dengan gamelan ketika umat memedek
di Pura. Suasana yang demikian membuat umat seolah-olah berada di Bali.
Sehubungan dengan maraknya seni tari, tetabuhan, dan sebagainya tentu
berdampak juga terhadap pilihan bahasa yang digunakan oleh warga Bali di
Parigi. Sehubungan dengan itu, berikut diuraikan tentang penggunaan bahasa
dalam ranah kesenian.
Tabel 5.16
Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
30 Bahasa yang dipakai dalam
latihan menari
67% 15% - - 18%
31 Bahasa yang dipakai dalam
latihan matembang
97% - - - 3%
32 Bahasa yang dipakai dalam
latihan magamel
94% - - - 6%
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa pemakaian BB dalam latihan menari,
latihan matembang, dan latihan magamel lebih dominan dibandingkan dengan
33
pemakaian bahasa lainnya. Pemakaian BB dalam latihan menari sebanyak 67%,
pemakaian BI sebanyak 15%, dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI
sebanyak 18%. Pemakaian BB dalam latihan matembang sebanyak 97% dan
pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 3%. Kemudian pemakaian BB
dalam latihan magamel sebanyak 94% dan pemakaian BI yang dicampur dengan
BI sebanyak 6%.
Berdasarkan perbandingan frekuensi pemakaian bahasa pada tabel 5.16,
dapat disimpulkan bahwa pemakaian BB lebih dominan dipergunakan oleh warga
Bali di Parigi dalam latihan menari, matembang, dan magamel. Hal ini
membuktikan bahwa warga Bali di Parigi masih memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap pemakaian BB di bidang kesenian.
Penggunaan bahasa ketika pentas seni dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 5.17
Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
33 Bahasa yang dipakai dalam
pentas tari
88% - - - 12%
34 Bahasa yang dipakai dalam
pentas matembang
88% - - - 12%
35 Bahasa yang dipakai dalam
pentas magamel
88% - - - 12%
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa pemakaian BB tetap dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya. Secara lengkap bahasa yang
dipergunakan dalam pentas tari sebanyak 88%, pentas matembang sebanyak 88%,
dan pentas magamel juga sebanyak 88%. Sementara itu, pemakaian BB yang
dicampur BI masing-masing sebanyak 12%. Berdasarkan perbandingan
34
pemakaian bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemakaian BB tetap
menunjukkan identitasnya sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar warga Bali di
Parigi.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
10,5%
87%
2,5%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.7
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian
5.5 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga
Bahasa dipergunakan oleh seseorang sangat tergantung pada peran yang
dimilikinya. Misalnya, pemakaian bahasa dalam keluarga cenderung melihat
peran yang diemban oleh tiap-tiap individu dalam keluarga yang bersangkutan.
Peran seorang anak tentu memiliki pilihan-pilihan bahasa jika berbicara dengan
ayah atau kakak. Demikian juga jika seseorang yang berperan sebagai ayah tentu
memiliki banyak pilihan bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan
ibu/anak.
Untuk mengetahui sejauh mana pilihan bahasa itu dilakukan oleh penutur,
perhatikan tabel berikut.
35
Tabel 5.18
Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
36 Bahasa yang dipakai di
rumah bila berbicara dengan
istri tentang hal-hal biasa
80% 10% - - 10%
37 Bahasa yang dipakai di
rumah bila berbicara dengan
suami tentang hal-hal yang
biasa
70% 15% - - 15%
38 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak di
rumah
85% 15% - - -
39 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan ibu di
rumah
79% 15% - - 6%
Tabel 5.18 menunjukkan bahwa pemakaian BB dalam kehidupan sehari-
hari di rumah sangat dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Secara lengkap bahasa yang dipakai bila berbicara dengan istri di rumah adalah
BB sebanyak 80%, BI sebanyak 10%, dan BB yang dicampur dengan BI sebanyak
10%. Dalam hal ini, suami dalam berinteraksi verbal dengan istri di rumah
sebagian besar menggunakan BB dibandingkan dengan BI dan BB yang dicampur
dengan BI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suami memiliki loyalitas
yang tinggi terhadap keberadaan BB.
Demikian juga pertanyaan 37, bahasa yang dipakai oleh istri terhadap
suami sebagian besar BB, yaitu sebanyak 70%. Selebihnya, pemakaian BI
sebanyak 15% dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 15%.
Dengan melihat perbandingan angka frekuensi pemakaian bahasa tersebut, tampak
pemakaian BB oleh istri mendominasi pemakaian BI dan BB yang dicampur
dengan BI.
36
Pemakaian bahasa pada pertanyaan 38 pun demikian. Pemakaian BB tetap
lebih dominan jika dibandingkan dengan pemakaian BI. Secara lengkap bahasa
yang dipakai oleh anak bila berbicara dengan bapak di rumah adalah BB sebanyak
85%, sedangkan pemakaian BI hanya mencapai 15%. Dengan melihat
perbandingan pemakaian BB dan BI tersebut berarti bahwa keberadaan BB
sebagai sarana komunikasi di Parigi tetap eksis walaupun warga Bali di Parigi
telah lama meninggalkan daerah asal bahasa tersebut.
Bahasa yang dipergunakan oleh anak terhadap ibu meliputi tiga bahasa,
yaitu BB, BI, dan campuran antara BB dan BI. Namun, dilihat dari frekuensi
pemakaiannya, pemakaian BB tetap mendominasi pemakaian BI dan BB yang
dicampur dengan BI. Secara lengkap bahasa yang dipakai oleh anak terhadap ibu
di rumah adalah BB sebanyak 79%, BI sebanyak 15%, dan BB yang dicampur
dengan BI sebanyak 6%. Berdasarkan perbandingan frekuensi pemakaian bahasa
tersebut dapat dikatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh anak terhadap ibunya
tetap bertahan, yakni BB.
Penggunaan bahasa kepada bapak berdasarkan topik dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.19
Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
40 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik agama
di rumah
85% 12% - - 3%
41 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
pendidikan di rumah
56% 29% - - 15%
37
42 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
kesehatan di rumah
79% 12% - - 9%
43 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik sehari-
hari di rumah
79% 12% - - 9%
Tabel 5.19 menunjukkan bahwa pemakaian BB tetap dominan
dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan BI. Hal ini
membuktikan bahwa keberadaan BB di Parigi tetap terpelihara dengan baik oleh
pemakainya. Secara lengkap pemakaian bahasa, seperti tampak pada tabel 5.19
sangat bervariasi. Pada pertanyaan 40, tentang pemakaian bahasa oleh seorang
anak terhadap bapaknya, ternyata pemakaian BB sebanyak 85%, pemakaian BI
sebanyak 12%, dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 3%.
Pertanyaan 41 juga memperlihatkan pemakaian bahasa yang bervariasi.
Bahasa yang dipakai bila berbicara dengan bapak saat membicarakan topik
pendidikan sebagian besar adalah BB, yaitu sebanyak 56% disusul pemakaian BI
sebanyak 29%, dan pemakaian BB dicampur dengan BI sebanyak 15%. Artinya,
pemakaian BB tetap lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa
lainnya.
Pertanyaan 42 juga menunjukkan pemakaian BB lebih dominan daripada
pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan BI. Hal ini terbukti dari frekuensi
responden yang memberikan jawaban pemakaian BB sebanyak 79%, BI sebanyak
12%, dan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 9% ketika berbicara dengan
bapak saat membicarakan topik kesehatan.
38
Pemakaian BB yang dominan juga ditemukan ketika anak berbicara
dengan bapaknya saat membicarakan topik kehidupan sehari-hari di rumah. Hasil
secara lengkap, pemakaian BB sebanyak 79%, BI sebanyak 12%, dan pemakaian
BB yang dicampur dengan BI sebanyak 9%.
Berdasarkan topik yang dibicarakan ternyata pemakaian BB mendominasi
pemakaian bahasa lainnya. Pembicaraan tentang topik agama, pendidikan,
kesehatan, dan kehidupan sehari-hari secara tidak langsung sangat memengaruhi
kebertahanan BB di wilayah Parigi. Hasil secara lengkap, frekuensi pemakaian
BB, 85% untuk topik agama, 56% untuk topik pendidikan, 79% untuk topik
kesehatan, dan 79% untuk topik dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan bahasa kepada anak berdasarkan topik dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 5.20
Penggunaan Bahasa kepada Anak Berdasarkan Topik
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
44 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik agama
di rumah
79% 12% - - 9%
45 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik
pendidikan di rumah
42% 29% - - 29%
46 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik
kesehatan di rumah
58% 21% - - 21%
47 Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik
kehidupan sehari-hari di
rumah
62% 21% - - 17%
39
Tabel 5.20 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai bila bapak berbicara
dengan anak saat membicarakan topik agama sebanyak 79% bahasa Bali, 12% BI,
dan 9% BB yang dicampur dengan BI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pemakaian BB tetap lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB
yang dicampur dengan BI.
Jawaban responden terhadap pertanyaan 45 juga lebih dominan pemakaian
BB dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan BI. Hasil
secara lengkap, jawaban responden terhadap pertanyaan 45 adalah pemakaian BB
sebanyak 42%, BI 29%, dan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 29%. Hal ini
membuktikan bahwa bahasa yang dipergunakan oleh bapak terhadap anaknya saat
membicarakan topik pendidikan lebih sering menggunakan BB.
Demikian halnya dengan pertanyaan 46, jawaban responden lebih dominan
menggunakan BB ketika bapak membicarakan topik kesehatan kepada anaknya.
Hasil secara lengkap, pemakaian BB sebanyak 58%, BI sebanyak 21%, dan BB
yang dicampur dengan BI sebanyak 21%.
Pemakaian BB secara dominan juga tampak saat bapak berbicara dengan
anak tentang kehidupan sehari-hari. Hasil secara lengkap, pemakaian BB
sebanyak 62%, BI sebanyak 21%, dan bahasa Bali yang dicampur dengan BI
sebanyak 17%. Dilihat dari frekuensi pemakaian bahasa tersebut, tampaknya
pemakaian BB selalu dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Hal ini tidak saja tertuju pada pembicaraan tentang topik agama, tetapi topik
pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sehari-hari tetap pemakaian BB lebih
menonjol jika dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan
40
BI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemakaian BB tetap
dipertahankan dalam ranah keluarga.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
17%
71%
12%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.8
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga
5.6 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia Remaja)
5.6.1 Penggunaan bahasa antaretnis
Penggunaan bahasa antaretnis ketika memetik coklat dan istirahat dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.21
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
(Kelompok Usia Remaja)
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
1. Bahasa yang dipakai saat
memetik coklat jika ada
penutur bahasa Kaili
- 91% - - 9%
2. Bahasa yang dipakai saat
memetik coklat jika ada
penutur bahasa Bugis
- 95% - - 5%
3. Bahasa yang dipakai saat
istirahat memetik coklat jika
ada peserta berpenutur bahasa
Kaili
- 97% - - 3%
41
4. Bahasa yang dipakai saat
istirahat memetik coklat jika
ada peserta berpenutur bahasa
Bugis
- 92% - - 8%
Tabel 5.21 menunjukkan terjadinya penggunaan bahasa yang bervariasi
pada ranah pekerjaan. Penggunaan bahasa yang bervariasi itu dilakukan oleh
golongan remaja antaretnis ketika memetik coklat dan istirahat. Sebagian besar
bahasa yang digunakan oleh etnis Bali ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili
adalah BI. Secara lengkap persentasenya adalah penggunaan BI sebanyak 91%
dan penggunaan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 9%. Bahasa itu
digunakan saat memetik coklat, sedangkan pada saat istirahat sebagian besar etnis
Bali menggunakan BI, yaitu sebanyak 97% dan BB/BI sebanyak 3%.
Pada saat memetik coklat sebagian besar etnis Bali menggunakan BI, yaitu
sebanyak 95% dan BB/BI 5%, sedangkan pada saat istirahat sebagian besar etnis
Bali menggunakan BI, yaitu sebanyak 92% dan BB/BI sebanyak 8%. Bahasa itu
digunakan oleh etnis Bali ketika berkomunikasi dengan etnis Bugis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan BI tetap dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Hal tersebut sangat wajar sebab
komunikasi antaretnis pada umumnya menggunakan BI sebagai bahasa nasional.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika jual-beli hasil pertanian dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
42
Tabel 5.22
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
5. Bahasa yang dipakai dalam
menjual hasil
pertanian/perkebunan kepada
pembeli berpenutur bahasa
Kaili
- 92% - - 8%
6. Bahasa yang dipakai dalam
menjual hasil
pertanian/perkebunan kepada
pembeli berpenutur bahasa
Bugis
- 94% - - 6%
Ketika etnis Bali berkomunikasi dengan etnis Kaili, penggunaan BI sangat
dominan. Hal ini tampak pada tabel 5.22 yang menunjukkan bahwa pemakaian BI
92% dan pemakaian BB/BI 8%.
Demikian juga ketika etnis Bali berkomunikasi dengan etnis Bugis.
Pemakaian BI tetap lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa
lainnya. Hasil secara lengkap pemakaian BI sebanyak 94% dan pemakaian BB/BI
sebanyak 6%.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika penyuluhan pertanian/perkebunan
berlangsung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.23
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika
Penyuluhan Pertanian/Perkebunan Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
7. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Kaili
- 96% - - 4%
8. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Bugis
- 90% - - 10%
43
Jika diperhatikan secara cermat tabel 5.23, penggunaan BI menempati
persentase lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Hal
ini dapat dibuktikan ketika etnis Bali berbicara dengan penyuluh
pertanian/perkebunan yang berpenutur BK. Hasilnya adalah penggunaan BI
sebanyak 96% dan penggunaan BB/BI sebanyak 4%.
Demikian juga ketika etnis Bali berkomunikasi dengan etnis Bugis.
Penggunaan BI tetap menempati posisi lebih dominan dibandingkan dengan
penggunaan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya adalah penggunaan BI
sebanyak 90% dan penggunaan BB/BI sebanyak 10%.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
6,6%
93,4%
BI
BB/BI
Diagram 5.9
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan
(Kelompok Usia Remaja)
5.6.2 Penggunaan bahasa intraetnis
Penggunaan bahasa intraetnis ketika memetik coklat dan istirahat dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
44
Tabel 5.24
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
9. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat memetik
coklat
76% 6% - - 18%
10. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat beristirahat
memetik coklat
64% 12% - - 24%
Penggunaan bahasa Bali di wilayah Parigi ternyata masih dipertahankan.
Hal ini dapat dilihat ketika sesama etnis Bali berkomunikasi saat memetik coklat,
seperti tampak pada tabel 5.24. Hasilnya adalah penggunaan BB sebanyak 76%,
penggunaan BI sebanyak 6%, dan penggunaan BB/BI sebanyak 18%.
Demikian halnya pada saat istirahat. Penggunaan BB tetap lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya adalah
penggunaan BB sebanyak 64%, penggunaan BI sebanyak 12%, dan penggunaan
BB/BI sebanyak 24%.
Dominannya penggunaan BB, baik saat memetik coklat maupun
beristirahat, membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memiliki
loyalitas yang tinggi terhadap pemakaian BB. Hal ini perlu disyukuri sebab BB
merupakan salah satu identitas yang melekat pada etnis Bali.
Penggunaan bahasa intraetnis ketika interaksi jual-beli hasil
pertanian/perkebunan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
45
Tabel 5.25
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Interaksi Jual-Beli
Hasil Pertanian/Perkebunan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
11. Bahasa yang dipakai saat
menjual hasil
pertanian/perkebunan kepada
pembeli yang berpenutur
bahasa Bali
70% 18% - - 12%
Penggunaan BB antarsesama etnis Bali tetap mendominasi penggunaan
bahasa lainnya. Penggunaan BB tersebut dapat dilihat pada tabel 5.25. Hasilnya
adalah 70% responden memilih penggunaan BB, 18% responden memilih
penggunaan BI, 12% responden memilih penggunaan BB/BI.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika aktivitas berlangsung dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.26
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
12. Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Kaili
- 94% 6% - -
13. Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Bugis
- 94% - - 6%
Tabel 5.26 menunjukkan bahwa penggunaan BI lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Guyub tutur masyarakat Bali
cenderung menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili, yaitu
sebanyak 94%, sedangkan penggunaan BK sebanyak 6%.
46
Demikian juga penggunaan bahasa oleh guyub tutur masyarakat Bali
ketika sedang bekerja disapa oleh kenalan yang berpenutur BBg. Mereka tetap
lebih dominan menggunakan BI dibandingkan dengan bahasa lainnya. Secara
lengkap persentase penggunaannya adalah 94% BI dan 6% BB yang dicampur
dengan BI.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali ketika aktivitas berlangsung dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.27
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
14. Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
yang berpenutur bahasa Bali
82% - - - 18%
Jika diperhatikan secara saksama tabel di atas, persentase penggunaan BB
lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Dominannya
penggunaan BB membuktikan bahwa rasa solidaritas guyub tutur masyarakat Bali
di Parigi tetap terjalin meskipun berada di luar asal mereka, yaitu Bali. Secara
lengkap hasilnya adalah 82% penggunaan BB dan 18% penggunaan BB/BI.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali ketika penyuluhan pertanian/
perkebunan berlangsung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.28
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika
Penyuluhan Pertanian/Perkebunan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
15. Bahasa yang dipakai jika
berbicara kepada penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Bali
58% 24% - - 18%
47
Tabel 5.28 menunjukkan bahwa penggunaan BB lebih dominan
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Dalam hal ini, responden sebanyak 58%
memilih BB ketika berbicara dengan penyuluh pertanian yang berpenutur BB,
sebanyak 24% memilih BI, dan sebanyak 18% memilih BB/BI.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
18%
70%
12%
BB
BB/BI
BI
Diagram 5.10
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Pekerjaan
5.7 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban
Penggunaan bahasa antaretnis dalam surat-menyurat dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.29
Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
16. Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Kaili
- 100% - - -
17. Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bugis
- 100% - - -
48
Tabel 5.29 menunjukkan bahwa pemakaian BI sangat dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya. Fenomena kebahasaan yang
demikian membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi tergolong
masyarakat bilingual. Tampak sekali mereka tanpa mengalami kesulitan
menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili dan Bugis. Hal ini
dapat dilihat dari hasil jawaban responden yang sebanyak 100% memilih
menggunakan BI ketika berkomunikasi lewat surat-surat pribadi, baik kepada
etnis Kaili maupun etnis Bugis.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika aktivitas berlangsung dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.30
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
18. Anda berbicara dengan teman
memakai bahasa Bali.
Kemudian datang teman yang
berpenutur bahasa
Kaili/Bugis. Anda (a) tetap
menggunakan bahasa Bali, (b)
beralih ke bahasa Kaili/Bugis,
dan (e) beralih ke bahasa
Indonesia.
6% 94% - - -
Selain menggunakan BB, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi juga
menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili dan Bugis. Hal ini
terbukti saat guyub tutur masyarakat Bali berbicara dengan sesamanya
menggunakan BB. Namun, ketika datang etnis Kaili/Bugis, guyub tutur
masyarakat Bali tersebut selain menggunakan BB juga menggunakan BI. Secara
49
lengkap hasil jawaban responden adalah sebanyak 94% memilih menggunakan BI
dan sebanyak 6% memilih menggunakan BB.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
98%
2%
BB
BI
Diagram 5.11
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban
Penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam surat-menyurat dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.31
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
19. Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bali
59% 23% - - 18%
Tabel 5.31 menunjukkan bahwa penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam
surat-menyurat didominasi oleh penggunaan BB. Dominannya penggunaan BB
oleh warga sesama etnis Bali menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa bangga
yang tinggi terhadap BB. Secara lengkap hasil jawaban responden adalah
50
sebanyak 59% memilih menggunakan BB, sebanyak 23% memilih menggunakan
BI, dan sebanyak 18% memilih menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
23%
59%
18%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.12
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban
5.8 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama
Penggunaan bahasa dengan etnis Kaili dalam kegiatan keagamaan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.32
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
20. Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Kaili
- 100% - - -
21. Bahasa yang dipakai jika
memberi ceramah kepada
umat yang berpenutur bahasa
Kaili
- 94% 6%- - -
51
Tabel 5.32 menunjukkan bahwa etnis Bali ketika bertanya kepada umat
yang berpenutur BK sebanyak 100% menggunakan BI. Mereka sama sekali tidak
menggunakan bahasa lain selain BI. Hal ini membuktikan bahwa BI telah
menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat pemersatu berbagai suku di
Indonesia.
Demikian pula ketika etnis Bali memberikan ceramah kepada umat yang
berpenutur BK. Sebagian besar etnis Bali menggunakan BI dan hanya sebagian
kecil menggunakan BK. Secara lengkap hasil jawaban responden adalah sebanyak
94% etnis Bali menggunakan BI dan sebanyak 6% etnis Bali menggunakan BK.
Penggunaan bahasa dengan etnis Bugis dalam kegiatan keagamaan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.33
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
22. Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
- 94% - 6% -
23. Bahasa yang dipakai dalam
memberikan ceramah
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
- 94% - 6% -
Tabel 5.33 menunjukkan bahwa sebagian besar etnis Bali menggunakan
BI ketika bertanya kepada umat yang berpenutur BBg. Demikian pula ketika etnis
Bali memberikan ceramah keagamaan kepada umat yang berpenutur BBg. Mereka
sebagian besar menggunakan BI dan hanya sebagian kecil menggunakan bahasa
Bugis. Secara lengkap hasilnya adalah sebanyak 94% etnis Bali menggunakan BI
dan hanya 6% etnis Bali menggunakan BBg.
52
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
1,5%
95,5%
3%
BI
BK
BBg
Diagram 5.13
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama
Penggunaan bahasa intraetnis dalam kegiatan keagamaan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.34
Penggunaan Bahasa Intraetnis dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI BS
24.
25.
26.
Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu jika
berbicara dengan umat yang
berpenutur bahasa Bali
Bahasa yang dipakai bila
melakukan Trisandhya
Bahasa yang dipakai saat
Dharma Wacana di pura
59%
-
12%
6%
-
23%
-
-
-
-
-
-
35%
-
65%
-
100%
-
Tabel 5.34 menunjukkan bahwa bahasa yang dipergunakan oleh
penceramah agama Hindu ketika berbicara dengan umat yang berpenutur BB
adalah mayoritas BB. Hasil secara lengkap adalah sebanyak 59% etnis Bali
menggunakan BB. Selebihnya, sebanyak 6% etnis Bali menggunakan BI dan
sebanyak 35% etnis Bali menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
53
Khususnya untuk pelaksanaan Trisandhya, etnis Bali mayoritas
menggunakan BS. Hal ini tidak ada bedanya dengan pelaksanaan Trisandhya di
Bali yang sebagian besar warganya menggunakan BS. Artinya, sebanyak 100%
warga Bali di Parigi menggunakan BS pada saat melakukan Trisandhya.
Bahasa yang dipergunakan warga Bali di Parigi saat berdarma wacana
sangat bervariasi, yaitu sebanyak 23% menggunakan BI, 12% menggunakan BI,
dan 65% menggunakan BB yang dicampur dengan BI. Dengan perkataan lain,
penggunaan BB yang dicampur dengan BI lebih dominan dibandingkan dengan
penggunaan bahasa lainnya.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam kegiatan agama lainnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.35
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Agama Lainnya
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
27. Bahasa yang dipakai bila
mengumumkan berita
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bali
65% 6% - - 29%
28. Bahasa yang dipakai bila
berurusan dengan pengurus
pura yang berpenutur bahasa
Bali
71% 12% - - 17%
29. Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu
kepada umat yang berpenutur
bahasa Bali dan umat yang
berpenutur bahasa non-Bali
17% 65% - - 18%
Bahasa yang digunakan oleh warga Bali ketika mengumumkan berita
keagamaan kepada umat yang berpenutur BB sangat bervariasi. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 5.35. Pada tabel tersebut warga Bali lebih dominan memilih
54
menggunakan BB dibandingkan dengan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya
adalah penggunaan BB sebanyak 65%, penggunaan BI sebanyak 6%, dan
penggunaan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 29%.
Demikian pula bahasa yang dipakai ketika berurusan dengan pengurus
pura yang berpenutur BB. Sebagian besar umat memilih menggunakan BB
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya adalah 71% warga
Bali memilih menggunakan BB, 12% warga memilih menggunakan BI, dan 17%
warga Bali memilih menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Pertanyaan 29 pada tabel 5.35 menunjukkan bahwa penggunaan BI lebih
dominan dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Secara lengkap
hasilnya adalah penggunaan BI sebanyak 65%, penggunaan BB sebanyak 17%,
dan penggunaan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 18%. Dominannya
penggunaan BI dibandingkan dengan bahasa lainnya sangat wajar sebab peserta
ceramah selain umat Bali juga dihadiri oleh umat non-Bali.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
19%
37%
27%
17%
BBBIBSBB/BI
Diagram 5.14
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama
55
5.9 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian
Penggunaan bahasa ketika etnis Bali latihan seni dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 5.36
Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
30. Bahasa yang dipakai dalam
latihan menari
53% 29% - - 18%
31. Bahasa yang dipakai dalam
latihan matembang
76% 12% - - 12%
32. Bahasa yang dipakai dalam
latihan magamel
70% 24% - - 6%
Tabel 5.36 menunjukkan bahwa pemakaian BB lebih dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya. Jawaban responden
menggambarkan bahwa bahasa yang dipakai dalam latihan seni adalah 53% BB,
29% BI, dan 18% BB yang dicampur dengan BI. Dalam latihan matembang,
warga Bali pun lebih dominan memilih menggunakan BB dibandingkan dengan
bahasa lainnya. Hasilnya adalah 76% responden memilih menggunakan BB, 12%
responden memilih menggunakan BI, dan 12% responden memilih menggunakan
BB yang dicampur dengan BI. Bahasa yang dipakai dalam latihan matembang pun
demikian. Sebanyak 70% responden menggunakan BB, sebanyak 24% responden
menggunakan BI, dan sebanyak 6% responden menggunakan BB yang dicampur
dengan BI.
Penggunaan bahasa ketika pentas seni dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
56
Tabel 5.37
Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
33. Bahasa yang dipakai dalam
pentas tari
64% 24% - - 12%
34. Bahasa yang dipakai dalam
pentas matembang
76% 12% - - 12%
35. Bahasa yang dipakai dalam
pentas magamel
70% 18% - - 12%
Bahasa yang dipergunakan dalam pentas tari, matembang, dan magamel
sangat bervariasi. Sebagian besar warga Bali di Parigi menggunakan BB saat
pentas seni. Hasil jawaban responden dapat dilihat pada tabel 5.37. Sebanyak 64%
responden menggunakan BB dalam pentas tari, sebanyak 24% responden
menggunakan BI, dan sebanyak 12% responden menggunakan BB yang dicampur
dengan BI. Bahasa yang dipakai dalam matembang pun demikian. Sebanyak 76%
responden menggunakan BB, sebanyak 12% responden menggunakan BI, dan
sebanyak 12% menggunakan BB yang dicampur BI. Bahasa yang dipakai dalam
pentas magamel bervariasi juga. Hasilnya, sebanyak 70% responden
menggunakan BB, sebanyak 18% responden menggunakan BI, dan sebanyak 12%
menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
57
20%
68%
12%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.15
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian
5.10 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari di rumah dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.38
Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
36. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan istri
tentang hal-hal biasa
- - - - -
37. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan suami
tentang hal-hal yang biasa
- - - - -
38. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan bapak di
rumah
47% 29% - - 24%
39. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan ibu di
rumah
47% 29% - - 24%
Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari didominasi oleh
pemakaian BB. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.38. Secara lengkap hasilnya
adalah sebanyak 47% responden memilih menggunakan BB ketika berbicara
58
dengan bapak di rumah, sebanyak 29% responden memilih menggunakan BI, dan
sebanyak 24% memilih menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Demikian juga saat berbicara dengan ibu di rumah. Sebagian besar
responden memilih menggunakan BB, yaitu sebanyak 47%, selebihnya pemakaian
BI sebanyak 29%, dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 24%.
Penggunaan bahasa kepada bapak berdasarkan topik dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.39
Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik
No. Kegiatan BB BI BK BBq BB/BI
40. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik agama
59% 29% - - 12%
41. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
pendidikan di rumah
53% 29% - - 18%
42. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
kesehatan di rumah
52% 24% - - 24%
43. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik sehari-
hari di rumah
59% 29% 12%
Penggunaan bahasa yang bervariasi masih mewarnai penggunaan bahasa
berdasarkan topik. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.39. Secara lengkap hasilnya
adalah 59% responden memilih BB saat berbicara tentang topik agama, 29%
responden memilih BI, dan 12% responden memilih BB yang dicampur dengan
BI.
59
Pertanyaan 41 pun demikian. Sebanyak 53% responden memilih BB saat
berbicara tentang topik pendidikan, sebanyak 29% responden memilih BI, dan
sebanyak 18% responden memilih BB yang dicampur dengan BI.
Demikian juga ketika warga Bali berbicara tentang topik kesehatan.
Sebanyak 52% responden memilih BB saat berbicara tentang topik kesehatan.
Sebanyak 24% responden memilih BI, dan sebanyak 24% responden memilih BB
yang dicampur dengan BI. Pertanyaan 43 juga menunjukkan pemakaian BB lebih
dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
28%53%
19%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.16
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga
Seperti diketahui jumlah instrumen, baik pada ranah pekerjaan, kekariban,
maupun agama berbeda. Namun, jumlah responden yang menjawab pertanyaan
tetap sama. Khusus, instrumen pada ranah kesenian dan keluarga tidak melibatkan
etnis lain karena kegiatan yang dilakukan pada ranah tersebut untuk mengetahui
penggunaan bahasa etnis Bali di luar daerah asalnya, yaitu Bali.
60
BAB VI
ALIH KODE GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI,
SULAWESI TENGAH
6.1 Alih Kode dalam Peristiwa Tutur
Pada hakikatnya tidak setiap individu mampu berkomunikasi hanya
dengan satu ragam bahasa. Apalagi dalam masyarakat terdapat beraneka ragam
masalah. Hal ini mengakibatkan setiap individu memerlukan ragam-ragam bahasa
yang tepat mengenai sasaran. Artinya, ragam bahasa apa yang dipergunakan
dalam berkomunikasi sangat bergantung pada konteks sosial yang melingkupi
peristiwa tutur tersebut.
Sehubungan dengan itu, tidak menutup kemungkinan suatu saat seseorang
menggunakan satu ragam tertentu, tetapi pada saat yang lain menggunakan ragam
bahasa yang berbeda. Misalnya, ketika seseorang bertemu dengan mitra wicara
yang berkasta lebih tinggi, ragam bahasa yang dipergunakan adalah ragam bahasa
Bali halus. Namun, ketika bertemu dengan seseorang yang berkasta lebih rendah,
ragam bahasa yang dipergunakan adalah ragam BBL. Ada juga penutur ketika
berkomunikasi tidak memperhatikan sistem kasta mitra wicaranya, tetapi
cenderung melihatnya dari segi usia. Artinya, jika penutur berkomunikasi dengan
mitra wicara yang lebih tua usianya, ragam bahasa yang dipergunakan adalah
ragam BBH. Namun, ketika mitra wicaranya berusia lebih muda, ragam bahasa
yang dipergunakan pun berubah dengan menggunakan bahasa Bali ragam lumrah.
Artinya, di sini penutur/partisipan telah melakukan alih kode dari ragam BBL ke
ragam BBH, atau sebaliknya, dari bahasa Bali ragam halus ke bahasa Bali ragam
61
lumrah. Terjadinya peristiwa alih kode tersebut tampaknya sangat berkaitan
dengan konteks sosial.
6.2 Kaitan Alih Kode dengan Konteks Sosial
Topik mengenai kaitan alih kode dengan konteks sosial perlu dibahas
sebab alih kode sangat bergantung pada konteks sosial. Konteks sosial yang
dimaksud, baik dalam bentuk situasi resmi maupun takresmi.
Bahasa dalam situasi resmi adalah ragam bahasa yang dipakai (1) dalam
tulis menulis resmi, misalnya dalam perundang-undangan, dokumen tertulis, surat
yang berlaku di kalangan pemerintahan, dan (2) dalam pertemuan resmi, misalnya
rapat, kuliah, ceramah. Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi takresmi,
misalnya ragam bahasa yang dipakai oleh orang yang tawar-menawar di pasar.
Tidak mungkin dalam situasi seperti itu lahir kalimat, “Perkenankan saya untuk
bertanya, berapakah harga kangkung ini seikat?”, “Izinkanlah saya menawar
kangkung Bapak yang saya muliakan.” Kalau kalimat ini digunakan, tentu penjual
kangkung tadi heran dan barang kali tidak mengerti apa yang dikatakan pembeli.
Mengapa dia tidak mengerti? Dia tidak mengerti karena bahasa tersebut kurang
tepat. Bahasa itu terlalu tinggi. Bahasa yang digunakan hendaknya sesuai dengan
situasi (Pateda, 1994:70).
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967), dalam bukunya
The Five Clock, membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu gaya atau
ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha
62
(konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab
(intimate).
Ragam beku adalah ragam bahasa yang paling formal yang digunakan
dalam situasi khidmat dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara
kenegaraan, khotbah di masjid, kitab undang-undang dan surat-surat keputusan.
Sebuah ragam disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya ditetapkan secara
mantap dan tidak boleh diubah.
Ragam resmi atau formal adalah variasi yang digunakan dalam rapat dinas,
surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu
standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau
standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi dan tidak dalam situasi tidak
resmi.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah-sekolah, rapat-rapat atau
pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Dapat juga dikatakan
bahwa ragam usaha adalah ragam bahasa yang paling operasional.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam situasi tidak resmi. Ragam santai cenderung digunakan untuk berbincang-
bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat, berolah raga,
berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan
oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antarkeluarga,
63
antarteman yang sudah akrab, dan sebagainya. Ragam ini ditandai dengan
penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi
yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada saling
pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.
Dari lima macam gaya yang dikemukakan oleh Martin Joos, penelitian ini
lebih terfokus pada tiga gaya saja, yaitu gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau
ragam tidak resmi (nonformal), dan gaya akrab. Ketiga gaya tersebut dapat dilihat
pada data 6, data 7, dan data 3.
6.2.1 Alih kode dalam situasi resmi
Seperti diketahui, alih kode dalam situasi resmi pada umumnya terjadi di
sekolah, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, dan buku-buku
pelajaran. Berikut dikemukakan fenomena alih kode dalam situasi resmi.
Data 6
Latar : Kantor Kepala Desa
Topik : Keberadaan Mahasiswa
Partisipan : Tamu (01)
Kepala Desa (02)
(01) : (1) … Ada mahasiswa deriki, Pak?
„… Ada mahasiswa di sini, Pak?‟
(02) : (2) Kalau mahasiswa ada dan sudah sarjana banyak.
: (3) Kalau di dusun III ini termasuk paling lambat pendidikannya.
: (4) Sekarang ada sekitar 4 barang kali pegawainya.
: (5) Di dusun I di Pancasari sekitar 15 sudah jadi pegawai.
: (6) Sehingga kemarin di ulang tahun desa terjadi kesenjangan, ada
seorang warga berkata.
: (7) Beh, cang sing ngelah guru, nyen orain cang jani senam, nyak sing
milu senam.
„Wah, saya tidak punya guru, siapa diberi tahu sekarang senam,
tidak mau ikut senam.‟
: (8) Nah, sekarang sudah ada pemerataan.
: (9) Dusun III ini sekarang paling banyak mahasiswanya.
64
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BI yang dicampur
dengan BBH, seperti tampak pada K1, Ada mahasiswa deriki, Pak? „Ada
mahasiswa di sini, Pak?‟ Kemudian, O2 meresponsnya dengan menggunakan BI,
seperti tampak pada K2, Kalau mahasiswa ada dan sudah sarjana banyak. Hal ini
sesuai dengan kaidah sosiolinguistik bahwa siapa pun yang diajak berbicara pada
umumnya mengikuti konteks yang melingkupi peristiwa tutur. Kebetulan konteks
yang melingkupi peristiwa tutur itu resmi, O2 meresponsnya dengan
menggunakan BI, seperti tampak pada K2, K3, K4, K5, K6, K8, dan K9.
Berhubung situasinya resmi dan tempatnya di Kantor Kepala Desa, bahasa
yang digunakan sebagian besar bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk kalimat yang
digunakan panjang-panjang dan lengkap, seperti tampak pada data 6. Kalimat 1,
Ada mahasiswa deriki, Pak?; kalimat 2, Kalau mahasiswa ada dan sudah sarjana
banyak; kalimat 3, Kalau di dusun III ini termasuk paling lambat pendidikannya;
kalimat 4, Sekarang ada sekitar 4 barang kali pegawainya; kalimat 5, Di dusun I
di Pancasari sekitar 15 sudah menjadi pegawai; kalimat 6, Sehingga kemarin di
ulang tahun desa terjadi kesenjangan, ada seorang warga berkata….; dan
seterusnya.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai K7, Beh, cang sing
ngelah guru, nyen orain cang jani senam, nyak sing milu senam „Wah, saya tidak
punya guru, siapa saya suruh sekarang senam, tidak mau ikut senam.‟ Alih kode
tersebut dilakukan oleh O2 dari BI pada K6 ke BB pada K7. Peralihan kode
tersebut disebabkan oleh keinginan O2 mengutip pembicaraan orang lain, seperti
tampak pada K7.
65
Peralihan kode juga terjadi dari BB pada K7 ke BI pada K8. Alih kode
tersebut dilakukan oleh O2 setelah selesai mengutip pembicaraan orang lain.
Maksudnya, O2 kembali menggunakan BI setelah menggunakan BB. Hal ini
dilakukan oleh O2 karena memang situasinya masih formal.
6.2.2 Alih kode dalam situasi takresmi
Dalam situasi takresmi, bahasa yang digunakan oleh partisipan ditandai
dengan bentuk-bentuk tuturan yag pendek, latar pada umumnya di warung kopi,
pinggir jalan, teras rumah, dan sebagainya. Agar lebih jelas, berikut dikemukakan
contoh alih kode dalam situasi takresmi.
Data 7
Latar : Rumah I Made Karyanto
Topik : Pekerjaan
Partisipan : Tamu (01)
Tuan Rumah (02)
(01) : (1) … Pak ke sawah, apa ke ladang?
(02) : (2) Ke sawah.
: (3) Ada bedik, ukuran 5 are.
„Ada sedikit, ukuran 5 are.‟
(01) : (4) Coklat banyak punya, Pak?
(02) : (5) Sing ngelah apa tiang.
„Tidak punya apa saya.‟
: (6) Pidan ngelah carik.
„Dahulu punya sawah.‟
: (7) Nu idup bapane, bapane ngelah.
„Masih hidup bapaknya, bapaknya punya.‟
: (8) Tapi sing tawang ada utangne.
„Tetapi tidak tahu ada hutangnya.‟
: (9) Adepa terus.
„Dijual terus.‟
Ciri-ciri bahasa yang digunakan pada data 7 menunjukkan bahwa peristiwa
tutur itu terjadi dalam situasi takresmi. Sebagian besar bahasa yang digunakan
66
dalam peristiwa tutur tersebut adalah bahasa Bali, seperti tampak pada K3, K5, K6,
K7, dan K8. Bahasa Bali yang digunakan pun tergolong BBL. Penggunaan bahasa
Indonesia hanya terdapat pada K1 dan K4. Selain itu, beberapa kalimat yang
digunakan tidak lengkap, seperti K2, Ke sawah. Kalimat tersebut hanya memiliki
satu fungsi, yaitu keterangan tempat. Demikian juga K9, Adapa terus „Dijual
terus.‟ Kalimat 9 hanya memiliki satu fungsi, yaitu predikat. Bahkan, ada kalimat
yang disingkat, seperti tampak pada K8, Tapi sing tawang ada utangne. „Tetapi
tidak tahu ada hutangnya.‟.
Bentuk /tapi/ pada K8 seharusnya diubah menjadi /tetapi/. Bentuk /sing/
pada hakikatnya merupakan singkatan dari kata /tusing/ „tidak‟. Namun, karena
peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi takresmi, penggunaan kalimat itu
dibenarkan dalam sosiolinguistik. Dalam sosiolinguistik tidak ada tuturan yang
benar atau salah. Semua tuturan selalu berkaitan dengan situasi tempat peristiwa
tutur itu berlangsung.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Ada bedik, ukuran 5
are. „Ada sedikit, ukuran 5 are.‟ Alih kode itu tergolong alih kode intrakalimat.
Maksudnya, alih kode tersebut terjadi antarklausa dalam sebuah kalimat. Klausa
pertama menggunakan BB, yaitu # ada bedik # „ada sedikit‟ dan klausa kedua
menggunakan BI, yaitu # ukuran 5 are #.
6.2.3 Alih kode dalam situasi akrab
Makna sebuah tuturan dapat dilihat dari bahasa yang digunakan,
situasi/tempat berlangsungnya peristiwa tutur, dan kedekatan partisipan. Makna
yang demikian terdapat pada data berikut.
67
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Kutipan beberapa tuturan pada data 3 menggunakan BBC, BB, BI, dan
bahasa Inggris. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K4, K8, dan K12. Penggunaan
BB dapat dilihat pada K5, K6, dan K9. Penggunaan BI dapat dilihat pada pada K7,
K10, dan bahasa Inggris dapat dilihat pada pada K13. Penggunaan keempat bahasa
itu wajar karena situasinya takresmi.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris pada K13, Sip, sip, oke! „Ya, ya saya setuju.‟ Alih
kode itu dilakukan oleh O2 untuk menunjukkan keakraban mereka sebagai
sahabat. Apalagi keduanya sama-sama berasal dari etnis Bali.
Makna alih kode tampak ketika terjadi peralihan kode dari bahasa Bali ke
bahasa Inggris. Dengan melihat bahasa yang digunakan pada K13, tampak sekali
68
adanya kedekatan di antara mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tuturan yang terdapat pada K13 bermakna akrab.
Alih kode yang bermakna akrab lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 16
(01) : (1) Jumei mokuya?
Datang baapa?
„Untuk apa datang kemari?‟
(02) : (2) Datang basiara.
Datang pesiar.
„Silaturahmi.‟
(01) : (3) Impia komi narata?
„Kapan kamu datang?‟
(02) : (4) Tadi.
(01) : (5) Mapia manjili?
„Kapan pulang?‟
(02) : (6) Hari Minggu.
(01) : (7) “Ri Palu riva komiu?”
Di Palu di mana kamu?
„Kamu di mananya di Palu?‟
(02) : (8) Jalan Thamrin.
Beberapa tuturan pada data 16 menggunakan BK, BI/BK, dan BI.
Penggunaan bahasa Kaili dapat dilihat pada K1, K3, K5, dan K7. Penggunaan
BI/BK dapat dilihat pada K2, sedangkan penggunaan BI dapat dilihat pada K4, K6,
dan K8.
Jika diperhatikan secara saksama, sebagian besar bahasa Kaili digunakan
oleh O1 yang berasal dari etnis Bali, sedangkan O2 yang berasal dari etnis Kaili-
Bugis sebagian besar menggunakan BI. Hal ini tentu sangat mengejutkan. Hal ini
disebabkan oleh hubungan di antara mereka yang sangat akrab.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K4, Tadi. Alih kode itu
dilakukan oleh O2 dari BK/BI pada K2 ke BI pada K4. Peralihan kode disebabkan
69
oleh pengetahuan O2 yang kurang menguasai bahasa Kaili. Walaupun demikian,
tampak adanya keakraban di antara mereka ketika komunikasi berlangsung.
Dengan melihat bahasa yang digunakan, baik oleh O1 maupun O2, tampak
sekali terjadinya keakraban di antara mereka. Penggunaan bahasa yang berbeda
tidak mengurangi rasa keakraban yang ditunjukkan oleh O1 dan O2. Dengan
demikian, tuturan di atas, terutama tuturan pada alih kode, dapat dikatakan
memiliki makna akrab.
6.3 Macam-macam Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang macam-macam alih kode, pada
kesempatan ini dikemukakan pembagian alih kode menurut para pakar
sosiolinguistik. Bloom dan Gumperz membagi alih kode menjadi dua bagian,
yaitu: (1) alih kode metaforis dan (2) alih kode situasional. Selanjutnya, Jendra
melihat pembagian alih kode dari beberapa segi: (1) alih kode berdasarkan
kekerabatan bahasa, (2) alih kode berdasarkan variasi lingual, (3) alih kode
berdasarkan penguasaan bahasa, (4) alih kode berdasarkan kelengkapan tutur, dan
(5) alih kode berdasarkan ruang lingkup peralihan.
Selain kedua pakar tersebut, Suwito membedakan alih kode atas dua
macam, yaitu: (1) alih kode internal dan (2) alih kode eksternal. Alih kode internal
adalah alih kode yang terjadi antarbahasa sendiri, sedangkan alih kode eksternal
adalah alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri dan bahasa asing.
70
Jika diperhatikan secara cermat, pembagian alih kode tersebut selain
memiliki perbedaan juga memiliki persamaan. Persamaannya dapat dilihat pada
aspek kekerabatan bahasa. Jika Jendra membagi alih kode berdasarkan
kekerabatan bahasa menjadi alih kode ke dalam dan ke luar, Suwito membaginya
menjadi alih kode internal dan alih kode eksternal. Perbedaannya hanya pada
istilah, sementara kandungan isinya sama.
Poplack (dalam Romaine, 1995:122) membagi alih kode dengan melihat
dari distribusinya dalam kalimat. Poplack membagi alih kode menjadi tiga bagian,
yaitu: (1) alih kode dalam bentuk tag, yaitu alih kode yang terjadi pada akhir
kalimat. Alih kode ini pada dasarnya untuk menegaskan tuturan, baik pada bahasa
yang sama maupun berbeda, (2) alih kode interkalimat, yaitu alih kode yang
terjadi pada antarkalimat, dan (3) alih kode intrakalimat, yaitu alih kode yang
terjadi di dalam suatu kalimat.
Sehubungan dengan pembagian alih kode di atas, penelitian ini terfokus
pada pembagian alih kode yang dikemukakan oleh Jendra. Penjelasan mengenai
pembagian alih kode tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
6.3.1 Alih kode berdasarkan kekerabatan bahasa
Berdasarkan kekerabatan bahasa, alih kode dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: (1) alih kode ke dalam (internal code-switching) dan (2) alih kode
ke luar (external code-switching) (Jendra, 2007:160). Penjelasan tentang alih kode
ke dalam dan alih kode ke luar dapat dilihat pada uraian berikut.
71
6.3.1.1 Alih kode ke dalam (internal code-switching)
Alih kode ke dalam adalah alih kode yang terjadi pada bahasa-bahasa yang
serumpun. Artinya, alih kode tersebut dapat terjadi antara bahasa Bali dan Jawa,
bahasa Bali dan Indonesia, bahasa Kaili dan bahasa Bali, dan sebagainya.
Kaberadaan alih kode ke dalam dapat dilihat pada beberapa tuturan yang terdapat
pada data berikut.
Data 8
Latar : Warung kopi
Topik : Keamanan desa
Partisipan : Pembeli (01)
Penjual (02)
(01) : (1) Aman-aman gen dini Pak?
„Aman-aman saja di sini Pak?‟
(02) : (2) Sampai jani sejak tiang dini sing ja ada kerusuhan.
„Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
(01) : (3) Tiang, dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1,
2, dan 3. Dini sing ja kenapa-kenapa?
„Saya dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1, 2,
dan 3. Di sini tidak apa-apa?‟
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
: (9) Cara pitutur Baline, apang ngikutin desa, kala, patra, sing keto
Pak?
„Seperti ungkapan Bali-nya, supaya mengikuti desa, kala, patra,
kan begitu Pak?‟
Pada awalnya O1 menggunakan BBC, seperti tampak pada K1, Aman-
aman gen dini Pak? „Aman-aman saja di sini Pak?‟ Kemudian direspons oleh O2
72
dengan menggunakan BBC juga untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh
O1.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini‟ ke BI pada K7.
Alih kode itu terjadi karena O2 ingin mengutip sebuah pepatah dalam bahasa
Indonesia.
Jika diperhatikan secara saksama, peralihan kode tersebut terjadi antara
BBC pada K6 dan BI pada K7. Oleh karena itu, fenomena alih kode tersebut dapat
digolongkan sebagai alih kode ke dalam (internal code-switching), yaitu peralihan
kode yang terjadi antarbahasa serumpun.
6.3.1.2 Alih kode ke luar (external code-switching)
Alih kode ke luar (external code-switching) adalah alih kode yang terjadi
pada bahasa-bahasa yang tidak serumpun. Bahasa-bahasa yang tidak serumpun
dapat juga diartikan sebagai bahasa-bahasa yang tidak sekerabat, seperti bahasa
Inggris, Belanda, Jepang, Jerman, dan sebagainya. Alih kode yang bersifat ke luar
ditemukan juga dalam penelitian ini.
6.3.2 Alih kode berdasarkan variasi lingual
Berdasarkan variasi lingual, alih kode dapat dibedakan menjadi: (1) alih
kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia, (2) alih kode yang
berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris, (3) alih kode yang berpola dari bahasa
73
Bali ke bahasa Kaili, dan (4) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa
Bugis. Penjelasan mengenai pola-pola alih kode tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut.
6.3.2.1 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia dapat dilihat
pada data berikut.
Data 9
Latar : Pasar Inpres Tagunung Parigi
Topik : Harga telur
Partisipan : Sahabat Ketut Sukawati (01)
Ketut Sukawati, pedagang (02)
Pembeli, etnis Kaili (03)
(01) : (1) Ba ada atiban medagang, Bu?
„Sudah ada setahun berjualan, Bu?‟
(02) : (2) Tiang ba lebih dua puluh tahunan.
„Saya sudah lebih dua puluh tahun.‟
(01) : (3) Dua puluh tahunan deriki?
„Dua puluh tahun di sini?‟
(02) : (4) Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun ampun?
„Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
(03) : (5) Berapa telurnya? (datang 03)
(02) : (6) Empat, lima ribu.
: (7) Deriki tahun tujuh tiga.
„Di sini tahun tujuh tiga.‟
: (8) Nenek, bapak, ba sing nu dini, kasihan!
„Nenek, bapak, sudah tidak ada di sini, kasihan!‟
Jika diperhatikan secara saksama, sebagian besar data 9 menggunakan
BBC. Hal ini terlihat jelas pada K1, K2, K3, K4, K7, dan K8. Hanya sebagian kecil
data 9 menggunakan BI, yaitu K5 dan K6. Penggunaan BBC pada data 9 sangat
wajar karena situasinya memang santai dan berlokasi di sebuah pasar tradisional.
74
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K6, Empat, lima
ribu. Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BBC pada K4, Tiang men tahun tujuh
tiga deriki, kudang tahun ampun? „Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa
tahun sudah?‟, ke BI pada K6.
Berhubung peralihan kode tersebut dari BBC ke BI, peralihan kode itu
dapat dikatakan berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia. Penyebab alih kode
adalah kehadiran O3 yang berasal dari etnis Kaili. Apalagi, O3 memulai
pembicaraannya dengan menggunakan BI, seperti tampak pada K5, Berapa
telurnya?
6.3.2.2 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris dapat dilihat
pada data berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
75
Beberapa tuturan pada data 3 menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan
oleh O1 dan O2 cukup bervariasi. Pada awalnya, O1 menggunakan BBC, seperti
tampak pada K4, Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini? „Wah, saya kan
minta pada adik, bagaimana ini?‟ Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan
menggunakan BB pada K5, Kenkenne, ada apa ne? „Bagaimana ini, ada apa?‟
Selain BBC dan BB, tuturan di atas juga menggunakan bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa Inggris oleh O2 semata-mata karena kedekatannya dengan O1
sebagai sahabat karib.
Jika diperhatikan dengan cermat data di atas, sebagian besar O1
menggunakan BBC, sedangkan O2 sebagian besar menggunakan BB dalam
tuturannya. Peralihan kode terjadi karena pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip,
oke! „Ya, ya saya setuju!‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 sekadar agar dirinya
dianggap terpelajar. Oleh karena itu, O2 beralih kode dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris, pada K13. Berhubung peralihan kode itu terjadi dari
bahasa Bali ke bahasa Inggris, alih kode itu dapat dikatakan berpola dari bahasa
Bali ke bahasa Inggris.
6.3.2.3 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili dapat dilihat pada
data berikut.
Data 10
Latar : Pasar Parigi
Topik : Harga minyak kelapa
Partisipan : Tetangga, etnis Bali (01)
Pedagang, etnis Bali (02)
Pembeli, etnis Kaili (03)
76
(O1) : (1) … Anggona kue, nggih?
„… Dipakai kue, ya?‟
(O2) : (2) Nggih.
„Ya.‟
: (3) Apa le?
„Cari apa?‟
(O3) : (4) Minyak kelapa, berapa? (datang O3)
(O2) : (5) Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
: (6) Ari, isi dulu minyak itu Nak!
: (7) Ada di jiriken itu.
Beberapa tuturan pada data 10 menggunakan bentuk-bentuk kalimat yang
bervariasi. Ada kalimat yang dibentuk dengan satu kata pada K2, Nggih. „Ya‟; ada
kalimat yang dibentuk dengan dua kata pada K3, Apa le? „Cari apa?‟; ada kalimat
yang dibentuk dengan tiga kata pada K1, … Anggona kue, nggih? „… Dipakai kue,
ya‟; ada kalimat yang dibentuk dengan empat kata pada K7, Ada di jiriken itu; ada
kalimat yang dibentuk dengan lima kata pada K5, Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
Bahkan, ada kalimat yang dibentuk dengan enam kata pada K6, Ari, isi dulu
minyak itu Nak!
Penggunaan bentuk-bentuk kalimat yang bervariasi itu sangat wajar karena
peristiwa tutur itu berlangung dalam situasi santai. Dalam situasi santai tidak
tertutup kemungkinan digunakan juga bahasa yang bervariasi, seperti halnya data
10. Jika dilihat secara cermat, bahasa yang digunakan adalah BB pada K1, K2; BK
pada K3; dan BI pada K4, K5, K6, dan K7.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Apa le? „Cari
apa?‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K2 ke BK pada K3. Peralihan
kode disebabkan oleh kehadiran O3. Berhubung peralihan kode terjadi dari BB ke
BK, alih kode itu dapat dikatakan berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili.
77
6.3.2.4 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis dapat dilihat
pada data berikut.
Data 11
Latar : Ruang tamu
Topik : Bahasa Kaili
Partisipan : Ketut Somanadi, etnis Bali (01)
Tetangga, etnis Bali (02)
Nukbah, etnis Kaili (03)
(O1) : (1) … Tapi kalau bahasa Kaili Pak, di situ bilang, ‘Sema sanga miu?
„… Tapi kalau bahasa Kailinya Pak, di situ mengatakan „Siapa
namamu?‟
: (2) Sakuya muni umuru miu?
„Berapa umurmu?‟
: (3) Sakuya muni ana miu?
„Berapa juga anakmu?‟
: (4) Keto, anak berturut-turut to.
„Begitu, orang berturut-turut itu.‟
: (5) Nakuya komiu?
„Sedang apa kamu?‟
: (6) Keto ba, nak berturut-turut to
„Begitu sudah, orang berturut-turut itu.‟
(O2) : (7) Berturut-turut, oh!
(O3) : (8) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
(O1) : (9) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
Data 11 menunjukkan bahwa di Parigi ada seorang warga etnis Bali yang
sangat menguasai BK. Bahkan, O1 berusaha mengajarkan BK kepada tetangganya
yang kebetulan berasal dari etnis Bali juga. Hal ini juga terlihat dari komunikasi
yang dilakukan oleh O1 terhadap O2.
Pada awalnya O1 menggunakan BI yang dicampur dengan bahasa Kaili
ketika berbicara dengan O2. Dari caranya berbicara tampak O1 sangat antusias
mengajarkan BK pada O2. Hal ini tampak pada K1, K2, K3, K4, K5, dan K6.
78
Selanjutnya, O2 meresponsnya dengan menggunakan BI pada K7, Berturut-turut,
oh!
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang „Tidak ada harapan.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O1 dari BBC pada K6
Keto ba, nak berturut-turut to „Begitu sudah, orang berturut-turut itu‟ ke bahasa
Bugis pada K9. Hal ini sengaja dilakukan oleh O1 untuk merahasiakan sesuatu.
Berhubung peralihan kode terjadi dari bahasa Bali ke bahasa Bugis, alih kode itu
dapat dikatakan berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis.
6.3.3 Alih kode berdasarkan kelengkapan tutur
Berdasarkan kelengkapan tutur, alih kode dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu (1) alih kode dari tuturan yang lengkap ke yang tidak lengkap, dan
(2) alih kode dari tuturan yang tidak lengkap ke yang lengkap. Kedua macam alih
kode tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
6.3.3.1 Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap
Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap dapat
dilihat pada data berikut.
Data 12
Latar : Ruang tamu
Topik : Keluarga
Partisipan : Ketut Somanadi, etnis Bali (01)
Abdul Samad, etnis Jawa (02)
Nukbah, etnis Kaili (03)
(01) : (1) Selamat malam!
(02) : (2) Malam!
(01) : (3) Piye to kabare?
„Bagaimana kabarnya?‟
79
(02) : (4) Kabare ya apik ae to.
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟
(01) : (5) Anake Mas ning Sulawesi piro?
„Anaknya Bapak di Sulawesi berapa?‟
(02) : (6) Papatlah.
„Empatlah.‟
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
Pada awalnya, O1 memulai pembicaraan dengan menggunakan BI, seperti
tampak pada K1, Selamat malam! Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan
menggunakan BI, seperti tampak pada K2, Malam! Pada umumnya dalam suatu
peristiwa tutur O2 mengikuti bahasa yang digunakan oleh O1. Jika O1 memulainya
dengan menggunakan BI, O2 pun meresponsnya dengan menggunakan BI.
Demikian pula tuturan pada K3 dan K4. Jika O1 menggunakan bahasa
Jawa, seperti tampak pada K3, Piye to kabare? „Bagaimana kabarnya?‟, O2 pun
meresponsnya dengan menggunakan bahasa Jawa pada K4, Kabare ya apik ae to
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟ Tuturan pada kalimat berikutnya pun demikian,
seperti tampak pada K5, K6, K7, K8, K9, K10, K11, K12, K14, dan K15.
80
Fenomena alih kode terjadi dari BJ pada K11, Mas anake tanggal piro ning
anu berangkate? „Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟ ke BI pada K13,
September. Alih kode tersebut menggunakan tuturan lengkap dan taklengkap.
Tuturan lengkapnya menggunakan BJ, sedangkan tuturan taklengkapnya
menggunakan BI, seperti tampak pada K11 dan K13. Tuturan lengkap maksudnya
unsur-unsur yang membentuk klausa tersebut lengkap, misalnya ada unsur S, P,
O, dan K, sedangkan tuturan taklengkap maksudnya unsur-unsur yang
membentuk klausa tersebut taklengkap, misalnya hanya ada unsur S atau P.
6.3.3.2 Alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap
Alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap dapat
dilihat pada data berikut.
Data 12
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
81
Beberapa tuturan pada data 12 dimulai dengan menggunakan bahasa Jawa
pada K7, K8, K9, K10, K11, K14, dan K15. Hanya K12 menggunakan bahasa Jawa
dicampur dengan BI. Selebihnya, tuturan tersebut menggunakan BI, seperti
tampak pada K13 dan K16.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K15, Jadi,
karo sopo ning kono? „Jadi, dengan siapa di sana?‟ Peralihan kode dilakukan oleh
O1 dari BI pada K13, September, ke BJ pada K15. Dengan kata lain, peralihan kode
dilakukan oleh O1 dari tuturan taklengkap pada K13 ke tuturan lengkap K15.
6.3.4 Alih kode berdasarkan ruang lingkup peralihan
Berdasarkan ruang lingkup peralihan, alih kode dibedakan menjadi dua
macam, yaitu (1) alih kode interkalimat (intersentential switching) dan (2) alih
kode intrakalimat (intrasentential switching). Kedua macam alih kode tersebut
dapat dilihat pada uraian berikut.
6.3.4.1 Alih kode interkalimat (intersentential switching)
Alih kode interkalimat dapat dilihat pada data berikut.
Data 8.
(01) : (1) Aman-aman gen dini Pak?
„Aman-aman saja di sini Pak?‟
(02) : (2) Sampai jani sejak tiang dini sing ja ada kerusuhan.
„Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
(01) : (3) Tiang, dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1,
2, dan 3. Dini sing ja kenapa-kenapa?
„Saya dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1, 2,
dan 3. Di sini tidak apa-apa?‟
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
82
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Fenomena alih kode selain bersifat intrakalimat, ada juga yang bersifat
interkalimat. Alih kode interkalimat adalah alih kode yang terjadi antara kalimat
satu dan kalimat lainnya. Alih kode interkalimat dapat dilihat pada data 8.
Pada awalnya, O1 bertutur dengan menggunakan BBC dan direspons oleh
O2 dengan menggunakan BBC juga, seperti tampak pada K1 Aman-aman gen dini
Pak? „Aman-aman saja di sini Pak?‟ dan K2, Sampai jani sejak tiang dini sing ja
ada kerusuhan. „Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
Penggunaan BBC oleh O2 tiada lain untuk mengimbangi tuturan O1 yang memulai
pembicaraan dengan menggunakan BBC. Bahasa Bali campur adalah bahasa Bali
yang dalam penggunaannya dicampur dengan bahasa lain, yaitu bahasa Indonesia.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟ ke BI pada K7.
Peralihan kode terjadi antara kalimat satu dan kalimat lainnya sehingga dapat
digolongkan sebagai alih kode interkalimat.
6.3.4.2 Alih kode intrakalimat (intrasentential switching)
Alih kode intrakalimat dapat dilihat pada data berikut.
Data 7
(01) : (1) … Pak ke sawah, apa ke ladang?
(02) : (2) Ke sawah.
: (3) Ada bedik, ukuran 5 are.
„Ada sedikit, ukuran 5 are.‟
83
(01) : (4) Coklat banyak punya, Pak?
(02) : (5) Sing ngelah apa tiang.
„Tidak punya apa saya.‟
: (6) Pidan ngelah carik.
„Dahulu punya sawah.‟
: (7) Nu idup bapane, bapane ngelah.
„Masih hidup bapaknya, bapaknya punya.‟
: (8) Tapi sing tawang ada utangne.
„Tetapi tidak tahu ada hutangnya.‟
: (9) Adepa terus.
„Dijual terus.‟
Pada awalnya, O1 memulai pembicaraan dengan menggunakan BI pada
K1, … Pak ke sawah, apa ke ladang? Kemudian, O2 meresponsnya dengan
menggunakan BI juga, seperti tampak pada K2, Ke sawah. Tuturan O2 direspons
lagi oleh O1 dengan menggunakan BI pada K4, Coklat banyak punya, Pak?
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Ada bedik, ukuran 5
are „Ada sedikit, ukuran 5 are.‟ Alih kode yang dilakukan oleh O2 terjadi pada
antarklausa dalam sebuah kalimat. Maksudnya, klausa pertama menggunakan BB
dan klausa kedua menggunakan BI, seperti tampak pada K3. Berhubung fenomena
alih kode terjadi pada antarklausa dalam sebuah kalimat, alih kode yang demikian
disebut alih kode intrakalimat (intrasentential switching).
6.3.5 Alih kode menurut Bloom dan Gumperz
Bloom dan Gumperz (1972) membedakan alih kode situasional
(situational code-switching) dan alih kode metaforis (metaphorical code-
switching). Penjelasan kedua alih kode tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah
ini.
84
6.3.5.1 Alih kode situasional
Alih kode situasional terjadi ketika perubahan bahasa menyertai perubahan
topik/partisipan atau setiap kali situasi komunikasi berubah. Bloom dan Gumperz
mencontohkan di dalam sebuah percakapan, para guru bahasa Navajo biasanya
berbicara bahasa Inggris, tetapi beralih ke bahasa Navajo untuk membicarakan
keluarga mereka. Mereka bisa juga secara situasional beralih ke dalam bahasa
Inggris apabila terdapat orang non-Navajo yang mendengarkan percakapan itu
sehingga pendatang baru itu tidak dikesampingkan.
Alih style bisa juga berubah secara situasional dalam percakapan, mungkin
ketika pesapa beralih dari wanita ke pria atau dari orang dewasa ke anak-anak atau
dengan peralihan dalam topik sosial ke topik kerja. Agar lebih jelas hal ini dapat
dilihat pada uraian berikut.
6.3.5.1.1 Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa
Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data
berikut.
Data 9
(01) : (3) Dua puluh tahunan deriki?
„Dua puluh tahun di sini?‟
(02) : (4) Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun ampun?
„Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
(03) : (5) Berapa telurnya? (datang 03)
(02) : (6) Empat, lima ribu.
: (7) Deriki tahun tujuh tiga.
„Di sini tahun tujuh tiga.‟
: (8) Nenek, bapak, ba sing nu dini, kasihan!.
„Nenek, bapak, sudah tidak ada di sini, kasihan!‟
85
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BBC, seperti tampak
pada K3, Dua puluh tahunan deriki? „Dua puluh tahun di sini?‟ Tuturan O1 pun
direspons oleh O2 pada K4, Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun
ampun? „Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K6, Empat,
lima ribu. Alih kode itu terjadi karena situasinya berubah. Maksudnya, topik
pembicaraannya berubah dari topik tentang kehidupan rumah tangga ke topik
harga telur. Perubahan topik pembicaraan inilah yang menyebabkan terjadinya
peralihan kode dari BBC pada K4, ke BI pada K6. Peralihan kode itu dapat
digolongkan sebagai alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa.
6.3.5.1.2 Alih kode situasional dalam bentuk alih style
Selain alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa, penelitian ini juga
menemukan alih kode dalam bentuk alih style. Alih kode yang demikian dapat
dilihat pada data berikut.
Data 5
(01) : (4) Ada rezeki kita terima, syukur.
: (5) Ada yang dimasak, syukur.
: (6) Jadi manusia tidak pernah syukur, wah.
(02) : (7) Bahaya!
(01) : (8) Saya tidak sarjana, tapi saya hanya belajar otodidak, baca buku,
mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat.
(03) : (9) Tiang pamit, nggih? (datang 03)
„Saya permisi ya?‟
(01) : (10) Mai wa, kenken bapanne seger?
„Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟
(03) : (11) Keto dogen ba, nak rematik.
„Begitu saja sudah, orang rematik.‟
(12) Sing taen kija-kija, jumah dogen.
„Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟
86
Pada awalnya, O1 menggunakan BI ketika berbicara dengan O2. Hal ini
dapat dilihat pada K4, K5, dan K6. Kemudian, O2 pun meresponsnya dengan
menggunakan BI pada K7, Bahaya!
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K10, Mai wa,