-
269
Bab IV Penutup
A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28
dan Pasal 28F UUD 1945
tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal
Declaration of Human Rights (UDHR)108 dan International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR)109 oleh negara Indonesia.
Konvensi-konvensi tersebut berperan menjadi sumber bagi adanya
perubahan yang signifikan bagi perkembangan hukum tentang hak asasi
manusia. Kebebasan berekspresi khususnya, akhirnya diakui sebagai
hak yang konstitusional yang berimbas pada pembentukan norma
undang-undang tentang media. Kebebasan bereskpresi menjadi isu
strategis dalam kerangka hukum media, dimana pers, penyiaran, dan
perfilman menjadi bidang yang menyediakan informasi bagi
masyarakat.
Kebebasan berekspresi menjadi titik tolak bagi pengejawantahan
tentang isi media yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
bidang tertentu yang menjadi jenis saluran media. Pembidangan
media
108 Diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. 109 Diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political
Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan
Politik).
-
270
sendiri adalah penting adanya, oleh karena negara Indonesia
merupakan subyek internasional. Indonesia tidak dapat melepaskan
diri dari perkembangan global, berkaitan dengan perkembangan
teknologi dan informasi serta nilai-nilai universal tentang hak.
Hak-hak ini yang kemudian melalui kerangka kebebasan berekspresi
diwujudkan dengan terbentuknya produk informasi yang disebarluaskan
melalui pers, penyiaran, internet dan perfilman.
Ratifikasi-ratifikasi terhadap konvenan internasional,
menyebabkan negara harus membentuk peraturan perundang-undangan
yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam konvensi. Khususnya
tentang kebebasan berekspresi, konvenan internasional secara umum
mengatur mengenai hal utama: (1) adanya pengakuan terhadap
kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia; (2) implementasi
kebebasan berekspresi; dan (3) ruang lingkup pembatasan kebebasan
berekspresi. Prinsip dalam konvensi merupakan sumber bagi
pembentukan hukum media di Indonesia, yakni dengan menjadi acuan
agar peraturan perundang-undangan tetap menjunjung nilai-nilai hak
asasi universal, khususnya tentang kebebasan berekspresi.
Tentang pengakuan, kebebasan berekspresi telah dijamin sebagai
hak konstitusional dengan dimuatnya dalam Pasal 28F UUD 1945.
Pasal
-
271
tersebut menekankan pada tiga hal mendasar pada kebebasan
berekspresi, yakni bahwa (a) tiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, (b) berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dan (c)
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Konsepsi ini
sejalan dengan Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR. Pengakuan di
dalam konstitusi bermakna bahwa negara menjadi bagian dari subyek
internasional yang memberikan penghormatan kepada hak asasi
manusia, termasuk variasi dari wujud hak asasi manusia di dunia.
Selain itu, Indonesia juga dapat memenuhi kewajiban umum sebagai
negara yang meratifikasi konvensi.
Berdasarkan yang termuat di dalam Article 19 UDHR dan Article 19
ICCPR serta Pasal 28F UUD 1945, terdapat dua cara pandang terhadap
kebebasan berekspresi yang mempengaruhi materi muatan di dalam
peraturan perundang-undangan. Yang pertama adalah kebebasan
berekspresi dalam kerangka hak untuk mengakses, menerima dan
menyebarkan informasi. Perspektif ini menempatkan kebebasan
berekspresi dalam bentuk upaya untuk mengelola hak, pasif dan
aktif. Pengelolaan ini juga dapat menggunakan sarana atau media
apapun yang tersedia. Kedua, kebebasan berekspresi sebagai hak
untuk
-
272
mengekspresikan diri melalui media apapun. Hal ini berarti bahwa
kebebasan berekspresi sebagai hak untuk mengaktualisasikan diri,
dalam berbagai wujud, dan menggunakan media apapun.
Freedom of expression kemudian tidak hanya dilindungi melalui
landasan konstitusi saja. Sejalan dengan perintah dalam Pasal 28
UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang, maka dibentuklah peraturan
perundang-undangan tentang media yang tidak lain mengatur mengenai
substansi media sebagai wujud informasi yang disebarkan ke
khalayak. Isi media kemudian diatur di dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang
Penyiaran, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman.
Masing-masing secara umum hendak mengimplementasikan prinsip
konvensi menyangkut kebebasan berekspresi yakni:
1. memberikan jaminan kepada seseorang untuk memuat apa saja
melalui media apapun, baik pers, penyiaran, internet dan film;
-
273
2. bahwa undang-undang memberikan pembatasan atas ruang lingkup
perwujudan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang bertujuan untuk
melekatkan tanggung jawab khusus, sebagai margin of appreciation
(menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia).
Freedom of expression sebagaimana tercantum
di UDHR dan ICCPR diwujudkan di dalam beragam bentuk isi media,
baik yang tertulis maupun lisan, melalui media cetak maupun media
elektronik.110 Perwujudan kebebasan berekspresi melalui eksistensi
sarana media, mengacu pada isi yang diatur masing-masing
undang-undang. Secara prinsip pula, freedom of expression harus
dilaksanakan secara bertanggungjawab. Dalam menjalankan hak atas
kebebasan berekspresi, diharuskan tunduk hanya pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang
tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal moralitas,
ketertiban dan kesejahteraan umum
110 Kebebasan ini diperjelas dengan Pasal 23 Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa ada hak untuk
mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kasusilaan,
ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.
-
274
dalam suatu masyarakat yang demokratis.111 Inilah yang menjadi
titik penting bahwa kebebasan berekspresi berkedudukan sebagai hak
asasi manusia, dimana pers, penyiaran, internet dan film yang
menjadi wadah ekspresi, harus memperhatikan dan menjaga agar isinya
tidak menepikan kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat yang
lebih luas.
Jaminan terhadap kebebasan berekspresi diwujudkan dengan isi
media yang diatur di dalam UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU
Perfilman adalah sebagai berikut:
1. bahwa pers, penyiaran, internet dan film merupakan sumber
kebutuhan masyarakat yang berupa informasi, pendidikan, hiburan dan
manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kekuatan
bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan
nilai-nilai agama dan budaya Indonesia;112
2. bahwa undang-undang mengatur prinsip kebebasan berekspresi di
dalam konvensi dengan memuat norma dasar (konstitusi), mengacu pada
ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945, serta menggunakan
substansi dalam konvensi sehingga terbentuk wujud isi media
yang
111 Lihat Article 29 Section 2 UDHR. 112 Lihat Pasal 5 UU Pers,
Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran, Pasal 5 UU Perfilman.
-
275
diperkenankan untuk disebarluaskan, sehingga pembentukan hukum
(undang-undang) diarahkan pada pengejawantahan prinsip dalam
konvensi serta membentuk regulasi yang memiliki fungsi kontrol
(preventif dan represif) secara tepat serta dijamin dalam hukum
nasional dengan membentuk UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU
Perfilman;
3. bahwa isi media perlu diawasi dan dikendalikan melalui
lembaga-lembaga tertentu yang melibatkan masyarakat, dengan maksud
agar isi media tetap tunduk pada ketentuan yuridis tentang tugas
dan tanggugjawab lembaga, yakni oleh Dewan Pers, KPI dan LSF;
4. bahwa kebebasan berekspresi perlu dibatasi implementasinya
agar tidak menjadi ancaman bagi hak itu sendiri dengan
mempertimbangkannya sebagai derogable right pada satu sisi dan
inalienable right pada sisi lainnya;
5. bahwa pembatasan kebebasan berekspresi dilakukan yang tunduk
pada syarat: (a) dilaksanakan melalui ketentuan undang-
undang yang dalam hal ini baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan
UU Perfilman mengatur secara normatif larangan-larangan terhadap
isi media;
-
276
(b) pembatasan hanya untuk alasan yang benar-benar penting
sebagaimana yang tertuang dalam konvensi: di dalam masing-masing
undang-undang ditemukan bahwa pembatasan dilakukan dengan alasan
bahaya terhadap keamanan nasional, kepentingan umum, kepentingan
non-diskriminasi (SARA, golongan, politik), ancaman terhadap
kesehatan masyarakat (narkotika, minuman keras) dan kesusilaan;
(c) pembatasan berdasarkan ketentuan otentik sebagaimana
tercantum di dalam undang-undang, dan pembatasan dilakukan dengan
maksud memberikan perlindungan pada eksistensi lain;
Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa freedom of expression merupakan variabel yang
memberikan pengaruh. Freedom of expression menggugah kesadaran
untuk memberikan penghormatan dan penghargaan kepada manusia untuk
diberikan ruang bebas mengelola dan mengaktualisasikan ekspresi.
Hal ini menjadi konsep global dan prinsip-prinsip perlindungannya
diakui secara universal. Di Indonesia, sebagai negara demokratis,
kebebasan berekspresi diwujudkan melalui isi media pers, media
penyiaran, media internet dan media film.
-
277
Meskipun bidang-bidangnya diatur tersendiri di undang-undang
yang dibentuk, hak atas kebebasan ditempatkan pada ruang yang luas
dan dilindungi. Adapun tujuannya adalah untuk mendorong
kesejahteraan di dalam kerangka masyarakat yang demokratis.
B. Harmonisasi Hukum tentang Isi Media Harmonisasi menjadi
kunci, apakah freedom of
expression dapat ditempatkan sebagai isu sentral yang
menginspirasi isi atau konten yang disebarluaskan melalui berbagai
saluran atau jenis media. Jenis media ini menentukan pembidangan
hukum dalam satu sistem hukum media. Pers, penyiaran, internet dan
film adalah bidang-bidang yang perlu secara khusus diatur dalam
undang-undang yang lebih spesifik. Hal ini dikarenakan pers,
penyiaran, internet dan film dianggap sebagai saluran yang harus
diberikan perlindungan secara berbeda antar satu dengan yang
lainnya. Pembedaan tersebut tidak menyurutkan semangat harmonisasi,
yakni bahwa pada prinsipnya ada kesamaan mendasar yang berkaitan
dengan variasi wujud kebebasan berekspresi. Harmonisasi perlu
dilihat dengan tujuan menemukan makna inti dari pengaturan isi
media yang menjadi kunci dalam perlindungan hak.
-
278
Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban untuk
memasukkan prinsip-prinsip di dalam konvensi di dalam sistem hukum
yang dibentuk. Kerangka prinsip kebebasan berekpsresi, oleh
pemerintah dibentuk semenjak dimuatnya hak atas kebebasan
berekspresi di dalam UUD 1945 dan kemudian dengan diterbitkannya
peraturan perundang-undangan tentang media, yakni UU Pers, UU
Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bagi terbentuknya peraturan-peraturan lain yang
seiiring dengan perkembangan media di Indonesia. Indonesia sebagai
subyek internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
dimana negara Indonesia memiliki sifat uniformitas sistem
hukum.
Oleh Indonesia, sifat uniformitas sistem hukum ditunjukkan
dengan mengatur isi media sejalan dengan ketentuan-ketentuan di
dalam konvensi. Tujuannya adalah agar dapat mempersatukan
kepentingan pers, penyiaran, internet dan perfilman dalam
kepentingan kebebasan ekspresi yang sejalan dengan konvensi. Adapun
cara yang dilakukan salah satunya menggunakan harmonisasi materi,
substansi konvensi dengan konstitusi sampai dengan undang-undang
yang dibentuk. Hasil yang nampak pada perumusan materi yang sesuai
dengan konvensi yakni isi media yang termuat di UU Pers, UU
Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman.
-
279
Harmonisasi dilakukan terhadap undang-undang apakah sesuai
dengan prinsip dengan konvensi dan konstitusi, serta dilakukan
harmonisasi substansi antar undang-undang. Harmonisasi hukum isi
media berpijak pada tiga hal mendasar:
(1) Legal substance: dimana UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU
Perfilman mengatur substansi riil dari konsep freedom of
expression. Masing-masing undang-undang mencantumkan konsepsi
mendasar mengenai isi media yang mengejawantahkan makna kebebasan
berekspresi sebagaimana konvensi dan konstitusi mengatur,
diantaranya adalah pengakuan terhadap kemerdekaan pers, keberagaman
isi dan tanggung jawab terhadap isi yang disebarluaskan. Mengingat
bahwa konvensi dan konstitusi menekankan pada jaminan atas
kebebasan berekspresi, maka undang-undang secara normatif berusaha
menjangkau setiap hal yang berkaitan dengan isi media yang bebas,
serta mengaturnya secara tegas. Di sisi lain, ancaman-ancaman yang
dapat muncul dengan tersebarluasnya informasi dalam isi media, maka
undang-undang mengatur bahwa terdapat dua kepentingan: perlindungan
institusi media dan
-
280
perlindungan masyarakat atau negara. Oleh karena itu,
undang-undang mencantumkan pula ancaman sanksi administratif dan
pidana bagi lembaga media yang dianggap menyimpang sekaligus
pencegahan terhadap intervensi pihak lain kepada lembaga media.
(2) Legal structure: bahwa keempat undang-undang membentuk
lembaga-lembaga (independent states agencies) yang dimaksudkan
untuk memberikan kendali atas pelaksanaan kebebasan berekspresi
oleh subyek, baik individu maupun entitas media, dengan mengacu
pada perlindungan terhadap hak sebagaimana diatur dalam konvensi
dan peraturan perundang-undangan. Struktur ini penting oleh karena
keberadaannya menjadi representasi negara dan masyarakat. Dewan
Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor Film merupakan
lembaga-lembaga yang berwenang untuk menetapkan suatu isi media
layak atau tidak dikonsumsi publik.
(3) Legal culture: bahwa undang-undang mendorong terbentuknya
kesadaran baru akan hak atas kebebasan berekspresi, dimana
kebebasan ini dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan
wujud melalui sarana yang tersedia:
-
281
pers, penyiaran, internet dan film. Akan tetapi undang-undang
juga melekatkan tanggung jawab yuridis pada setiap subyek untuk
tetap bertanggung jawab melaksanakan hak tanpa menciderai keamanan
nasional, kepentingan publik, moral dan hak-hak asasi lainnya. Pada
era reformasi dan keterbukaan informasi, kesadaran ini merupakan
penentu arah masyarakat yang demokratis.
Legal substance, legal structure dan legal
culture, memberikan analisa yang komprehensif apakah hukum media
di Indonesia berada pada tataran yang seimbang dan selaras terkait
dengan kebebasan berekspresi. Peraturan perundang-undangan tentang
media yang dijadikan patokan, yakni memperlihatkan karakter yang
sama untuk mengatur isi media. Kesamaan karakter itu ada pada:
(1) Pengakuan dan jaminan terhadap eksistensi hak atas kebebasan
berekspresi;
(2) Asas dan arah media yang dimaksudkan untuk mendorong
masyarakat Indonesia memperkuat persatuan dan kesatuan sekaligus
menghargai norma, agama, dan budaya bangsa;
-
282
(3) Isi media dikontrol secara ketat, dengan menetapkan standar
dan pedoman terhadap isi serta diawasi oleh lembaga tertentu;
(4) Masyarakat dapat memberikan tanggapan terhadap isi media
yang tidak tepat dan dianggap menyimpan, sebaliknya lembaga media
dapat memberikan tanggapan (hak jawab, hak koreksi);
(5) Isi media harus mempertimbangkan keamanan nasional,
kepentingan umum, moral, kesusilaan dan pencegahan pelanggaran
terhadap lain yang ada dimana isi media dibatasi secara normatif di
dalam undang-undang dengan mekanisme pembatasan substansi yang
sama, yakni: perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas
(public order, public health, public moral), national security dan
eksistensi hak lain.
Sementara itu, upaya harmonisasi menemukan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan isi media,
diantaranya adalah:
(1) persinggungan antar undang-undang dimana sebuah isu yang
kontroversial dapat memicu perdebatan tentang undang-undang yang
mana yang akan menjadi priotitas;
-
283
(2) bahwa internet sebagai media yang cenderung berkembang lebih
cepat, tidak memiliki lembaga kontrol semaca Dewan Pers, KPI dan
LSF, sehingga isi media rentan diancam melalui hukum pidana oleh
pihak terpengaruh, tanpa ada jaminan perlindungan dari masyarakat
melalui wadah lembaga;
(3) isi media yang diatur cenderung interpretative, dimana pers
tidak secara detail mengatur di undang-undang, yang berbeda dengan
penyiaran, internet dan perfilman. Hal ini menyebabkan pers sangat
bergantung pada eksistensi isi media yang lain, oleh karena pers
tidak dapat dilepaskan dari lembaga penyiaran, internet dan film
dalam rangka penyebarluasan informasi.
C. Saran-saran Perkembangan media memang perlu diatur
oleh negara agar tidak menjadi ancaman. Perlindungan kebebasan
berekspresi oleh berbagai instrumen hukum internasional dan hukum
nasional, menyiratkan kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu
hukum nasional merupakan tumpuan bagi terselenggaranya media yang
bertanggungjawab. Sistem hukum media yang dibentuk harus mampu
menjangkau variasi
-
284
keberagaman isi, untuk memberikan perlindungan sekaligus batasan
yang tepat dan tidak menciderai eksistensi hak atas kebebasan
berekspresi. Terkait dengan hal-hal yang telah diuraikan pada
bagian-bagian sebelumnya, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
Pertama, pembentukan sistem hukum media di Indonesia harus
memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional yang dikembangkan
dari prinsip dalam konvensi. Hardlaw menjadi sumber utama, namun
dirasa belum cukup untuk memberikan penjelasan yang akomodatif.
Tersedianya softlaw juga layak dijadikan sumber informasi tentang
bagaimana membentuk peraturan perundang-undangan yang tepat
sasaran.
Kedua, isi media adalah produk utama dari lembaga media yang
menjadi indikasi bagi perkembangan media pada umumnya. Isi media
harus diatur secara ketat dan tidak boleh menyimpang atau
ketidaktepatan aturan hukum menyebabkan isi media dapat menyimpang
dari yang seharusnya. Maka Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers harus ditinjau kembali karena undang-undang ini mengandung
kelemahan pada sisi substansi tentang isi pers yang tidak memuat
secara jelas, sebagaimana konvensi dan konstitusi memberikan
arahan. Di samping itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik perlu
-
285
diperhatikan pula terkait larangan-larangannya terhadap isi,
karena dapat mendorong subyek-subyek tertentu yang terpengaruh,
menjadi ancaman bagi produsen informasi. UU ITE juga menjadikan
ancaman pidana sebagai satu-satunya alat yang paling efektif untuk
menyelesaikan permasalahan.
Ketiga, pengawasan terhadap isi media sebaiknya menjadi titik
tolak peran lembaga negara independen (Dewan Pers, KPI dan LSF),
yakni memberikan nilai layak dan tidak layak atas isi tersebut.
Akan tetapi kewenangan tersebut harus diberikan secara luas, agar
fungsi lembaga tidak berhenti pada rekomendasi, namun juga pada
aspek penindakan, agar kontrol terhadap isi media yang menyimpang
dapat konkrit teratasi. Pemerintah tidak boleh lagi mengintervensi
media secara langsung (melalui pidana), agar secara moral,
masyarakat (khususnya masyarakat media) tidak menjadi lawan, namun
menjadi mitra yang menguntungkan bagi pemerintah. Hal ini ditujukan
demi kesejahteraan masyarakat yang dinamis dan harmonis serta
menjaga agar tetap demokratis.
Keempat, negara berpeluang untuk menerjemahkan makna Pasal 28
dan 28F UUD 1945 dengan membentuk suatu sistem hukum media yang
harmonis, yang melindungi isi media sekaligus pembatasannya, dengan
cara: (1) membentuk kesepakatan bersama antar lembaga
-
286
negara terkait isu-isu sentral perkembangan media; (2) membentuk
peraturan pemerintah dan peraturan perundangan lainnya yang tetap
memperhatikan pengaturan isi media oleh masing-masing
undang-undang, sehingga tercapai maksud tujuan yang tidak
bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang tentang media;
dan, (3) mendorong pembentukan norma-norma standar (ketentuan
organik) yang sama antara satu undang-undang dengan undang-undang
lain, sebagai bentuk pemahaman makna kebebasan berekspresi yang
setara.