BAB IV PENGAKUAN TERHADAP DEBORA 4.1. Pengakuan di Lingkup Sosial dan Agama Fakta bahwa Debora bisa sedemikian besarnya menarik perhatian dari bangsa Israel menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin Debora menjadi nabiah sekaligus hakim. Perempuan menjadi nabiah bukan suatu hal yang asing dalam kehidupan bangsa Israel mengingat pernah ada Miryam dan Hulda sebagai nabiah namun jabatan sebagai hakim bagi perempuan baru tercatat ketika Debora hadir dalam kehidupan bangsa Israel. Selain itu, nabiah sama seperti nabi merupakan suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu yang kepadanya Tuhan berkenan untuk menyampaikan kehendak Tuhan kepada umatNya 1 dengan demikian menjadi nabiah atau nabi bukan jenis pekerjaan yang bisa dipilih orang. Lain halnya dengan menjadi hakim yang kemungkinan bisa menjadi pilihan. Debora menjadi satu-satunya perempuan yang tercatat dalam sejarah bangsa Israel yang terlibat dan berperan dalam lingkup sosial dan agama. Debora pengecualian dari tugas perempuan di dunia domestik menurut Soewondo yang dikutip Achmad 2 dalam masyarakat patriarkhi karena ia terlibat dalam dunia publik. Debora mendobrak budaya patriarkhi Israel dengan peranannya sebagai nabiah dalam lingkup agama dan hakim dalam lingkup sosial yang keduanya berhadapan dengan publik. Peranan yang sulit 1 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005, 346 2 Muthali’in Achmad, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: MVP, 2001, 1
15
Embed
BAB IV PENGAKUAN TERHADAP DEBORA 4.1. Pengakuan di …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6842/4/T1_712008007_BAB IV.pdfSelain itu, nabiah sama ... bangsanya menarik simpatik yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV
PENGAKUAN TERHADAP DEBORA
4.1. Pengakuan di Lingkup Sosial dan Agama
Fakta bahwa Debora bisa sedemikian besarnya menarik perhatian dari bangsa Israel
menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin Debora menjadi nabiah sekaligus
hakim. Perempuan menjadi nabiah bukan suatu hal yang asing dalam kehidupan bangsa
Israel mengingat pernah ada Miryam dan Hulda sebagai nabiah namun jabatan sebagai
hakim bagi perempuan baru tercatat ketika Debora hadir dalam kehidupan bangsa Israel.
Selain itu, nabiah sama seperti nabi merupakan suatu karunia yang diberikan Tuhan
kepada orang-orang tertentu yang kepadanya Tuhan berkenan untuk menyampaikan
kehendak Tuhan kepada umatNya1 dengan demikian menjadi nabiah atau nabi bukan
jenis pekerjaan yang bisa dipilih orang. Lain halnya dengan menjadi hakim yang
kemungkinan bisa menjadi pilihan.
Debora menjadi satu-satunya perempuan yang tercatat dalam sejarah bangsa Israel
yang terlibat dan berperan dalam lingkup sosial dan agama. Debora pengecualian dari
tugas perempuan di dunia domestik menurut Soewondo yang dikutip Achmad2 dalam
masyarakat patriarkhi karena ia terlibat dalam dunia publik. Debora mendobrak budaya
patriarkhi Israel dengan peranannya sebagai nabiah dalam lingkup agama dan hakim
dalam lingkup sosial yang keduanya berhadapan dengan publik. Peranan yang sulit
1 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005, 346
dicapai perempuan Israel pada masa itu, mengingat sebelumnya belum ada perempuan
lain dari bangsa Israel yang mendapat peran ganda dalam dunia publik Israel.
Kemungkinan besar, Debora merupakan sosok yang mempunyai kecakapan dalam kedua
bidang tersebut sehingga ia diberi kepercayaan memegang jabatan ganda. Kecakapan
dalam bernubuat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi orang Israel.
Dilihat dari catatan sejarahnya, Debora terlebih dahulu disebut seorang nabiah
(Hakim-hakim 4:4). Nabiah sebagaimana nabi mempunyai tugas yang sama sebagai
penyampai pesan Tuhan kepada umatNya. Jabatan Debora sebagai nabiah sebelum
menjadi hakim merupakan suatu babak baru yang penulis lihat dari sejarah bangsa Israel.
Alasannya, sebelum Debora, ada Otniel yang sudah berpengalaman dalam perang
(Hakim-hakim 1:11-13) dan Ehud, pengantar upeti Israel kepada raja Moab yang
memiliki pedang bermata dua (Hakim-hakim 3:15-16) serta Samgar, gembala yang
memiliki tongkat penghalau lembu. Dibandingkan ketiga orang ini, Debora tidak
memiliki pengalaman dalam lingkup sosial masyarakat. Debora hanya menjabat sebagai
nabiah yang bernubuat menyampaikan kehendak Tuhan dan memperhatikan kehidupan
rohani bangsa. Asumsi penulis, perhatian dan nubuat Debora akan nasib orang-orang
bangsanya menarik simpatik yang besar dari bangsanya sehingga mereka menyebut
Debora sebagai hakim, sehingga ia satu-satunya hakim perempuan dalam sejarah Israel
yang patriarkhal. Satu-satunya perempuan yang mendapat peran ganda dalam lingkup
sosial dan agama bangsa Israel yang sulit ditembus oleh seorang perempuan.
Singgih mengemukakan tafsirannya mengenai Debora menjadi hakim merupakan
suatu hal yang berbeda dari hakim-hakim sebelumnya. Menurut Singgih, hakim-hakim
sebelumnya dibangkitkan Tuhan untuk membebaskan Israel dari penindasan bangsa lain,
sedangkan dalam kisah Debora tidak diceritakan bahwa Tuhan membangkitkan seseorang
untuk menjadi hakim di Israel namun Debora telah menjadi hakim di Israel.3 Dari
penafsiran ini, penulis berasumsi bahwa Debora menjadi hakim bukan karena terjadi
masalah politik dengan adanya penindasan terhadap bangsa Israel melainkan Debora
menjadi hakim karena ia biasa didatangi orang Israel untuk berhakim (Hakim-hakim 4:5).
Pada masa Debora menjabat sebagai hakim itulah, bangsa Israel ditindas oleh raja
Kanaan dan panglima tentaranya. Jadi, jabatan Debora sebagai hakim di sini hanyalah
untuk menyelesaikan sengketa orang-orang Israel bukan karena masalah politik dengan
bangsa lain. Asumsi ini diperkuat dengan bukti yang diberikan Lind dalam analisisnya
mengenai arti kata bahasa Ibrani sapat yang bisa diartikan sebagai ‘memutuskan’ sama
seperti ‘menghakimi’.4 Makna kata ini jelas tertulis dalam Hakim-hakim 4 bahwa Debora
memberikan keputusan untuk berperang melawan Sisera.5
Di sisi lain, Barth berpendapat bahwa dalam kitab Hakim-hakim hanya mengenal
Debora sebagai satu-satunya pemimpin yang benar-benar menghakimi Israel. Para
pemimpin yang lain hanya bertindak sebagai penyelamat.6 Artinya jika ditelusuri makna
kata untuk kata hakim, maka para hakim yang lain itu merupakan orang-orang yang
memberi keadilan dengan melepaskan orang Israel atau singkatnya membela hak orang
Israel. Para hakim ini diutus Tuhan untuk membela umat Tuhan terhadap ancaman
3 Emmanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, 20
4 Millard C. Lind, Yahweh Is a Warrior,Scottdale: Herald Press, 1980, 75
5 ibid
6 C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia,198, 95
musuh. Hal menegakkan hukum dan keadilan dalam negeri bagi para hakim hanya tugas
sampingan, di mana satu-satunya yang dikatakan benar-benar memegang jabatan hakim
adalah Debora.7 Dengan demikian, Debora memang sosok yang sangat berbeda dengan
yang lain. Tanggung jawabnya yang besar kepada bangsa Israel dalam lingkup sosial dan
agama membuatnya layaknya mendapat pengakuan dalam sejarah Bangsa Israel sebagai
nabiah dan hakim.
4.2. Pengakuan dalam Konflik antara Israel dan Kanaan
Sesuai karakternya yang berapi-api dan penuh semangat menurut Newsom dan
Ringe,8 Debora sebagai nabiah yang sering menyampaikan kehendak Tuhan kepada
bangsa turut prihatin dengan keadaan bangsanya yang ditindas. Apalagi dengan
jabatannya sebagai nabiah, ia sering didatangi orang-orang untuk dimintai nasihat atas
masalah mereka sehingga kemudian Debora juga menjadi hakim atas Israel. Sebagai
seorang hakim di tengah konflik, Debora mau tidak mau harus bertindak seperti para
hakim pendahulunya yang membebaskan bangsa dari tekanan bangsa lain. Tanggung
jawab Debora menjadi lebih berat. Di satu sisi, ia seorang nabiah yang harus meminta
petunjuk dari Tuhan atas keselamatan bangsanya yang tertindas dan menyampaikan
kepada bangsanya. Di sisi lain, ia juga seorang hakim yang harus berani memimpin
bangsanya dalam keadaan damai maupun perang.9
7 ibid, 95-96
8 Carol A. Newsom and Sharon H. Ringe, The Women’s Bible Commentary, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1992, 69
9 Deborah dalam http://www.womeninthebible.net diunduh 19 september 2012
Debora bukan tidak ingin maju memimpin peperangan namun Debora sadar
bahwa meskipun ia pemimpin, ia hidup dalam suatu budaya patriarkhal yang lebih
mempercayai laki-laki menjadi pemimpin. Dalam budaya Israel menurut King dan
Stager, laki-laki dalam bangsa Israel mempunyai peran yang sangat penting untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dengan menjadi pemimpin/kepala dalam
keluarga maupun kaumnya. Laki-laki yang telah berkeluarga merupakan seorang tuan
dalam keluarganya, tuan atas perempuan (istrinya), anak-anak, hamba-hambanya, ternak
dan harta miliknya. Singkatnya, laki-laki yang berkuasa atas semua yang bergerak
maupun tak bergerak.10 Penulis berpendapat mungkin ini menjadi salah satu alasan
Debora memanggil Barak untuk memimpin pertempuran. Mungkin saja apabila Debora
sebagai perempuan yang mengajukan diri untuk memimpin, Debora akan dipandang
sebelah mata oleh bangsa Israel karena berani mengajukan diri memimpin mereka,
menimbang situasi duapuluh tahun terakhir dalam penindasan tanpa bisa diselamatkan
oleh seorang laki-laki pun, apalagi seorang perempuan yang dianggap lemah dan perlu
dilindungi dalam masyarakat.
Debora tetap menghormati budaya bangsanya. Ia tidak tergesa-gesa untuk
menunjukkan bahwa ia bisa memimpin. Dilihat dari catatan sejarahnya, jabatannya
sebagai nabiah mengantarnya menjadi hakim yang memerintah Israel bukan karena ia
yang meminta tetapi orang-orang bangsanya yang datang kepadanya untuk mencari
pemecahan atas masalah mereka. Penulis menemukan karakter baru Debora dalam
10 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 39
sikapnya ini. Selain bijaksana, Debora adalah seorang yang rendah hati dan menghormati
budaya. Debora merupakan seorang tipe adaptif. Ia tahu membaca situasi dengan tepat
dan menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Ia tahu bahwa bangsanya perlu digerakkan
hatinya agar semangat mereka bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan
yang dialami. Debora paham akan situasi bahwa bangsanya yang menyimpang dari
Tuhan masih menjadi umat pilihan Tuhan dan masih ditunggu pertobatannya kembali.
Debora menyadari kewajibannya sebagai seorang nabiah dan hakim mempunyai
pengaruh untuk menggerakkan hati bangsanya. Peran Debora yang berlipatganda ini juga
membawa pengaruh besar dalam semangat berjuang pasukan Israel yang akan maju
berperang.
Otoritasnya sebagai nabiah yang meminta petunjuk Tuhan sebelum melaksanakan
segala sesuatu dalam komunitas bangsanya membuatnya yakin terhadap apa yang akan
terjadi di masa depan dan menunjang otoritasnya sebagai hakim yang membuat
keputusan bagi bangsanya tanpa sedikitpun keraguan akan apa yang dikatakannya.
Tindakan Debora ini merupakan tindakan kepemimpinan yang menurut Keating
memahami bahwa kepemimpinannya sebagai pelayanan bagi kesejahteraan orang-orang
yang dipimpinnya dan memandang kepemimpinannya sebagai fasilitas agar dapat
melayani dengan lebih baik lagi.11
Debora benar-benar diuji kepemimpinannya dalam konflik yang terjadi antara Israel
dan Kanaan. Debora menunjukkan bahwa ia memang seorang pemimpin bangsa yang
harus melepaskan bangsanya dari situasi apapun. Ia harus bertanggungjawab atas 11 Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya (Terj. A.M.Mangunhardjana), Yogyakarta: Kanisius, 1986
kestabilan sosial bangsanya sehingga ia harus melepaskan bangsanya dari cengkraman
penindas. Permintaan Barak agar Debora turut maju bersamanya dalam perang melawan
Kanaan membuktikan pengakuan akan peran Debora sebagai pemimpin bangsa Israel
sangat dibutuhkan dalam perlawanan bangsa. Keputusannya sebagai pemimpin tidak
diperlukan hanya sekedar teori di belakang layar saja melainkan juga tindakan dalam
memimpin bangsanya untuk kestabilan nasional.
4.3. Pengakuan sebagai Pemimpin
Debora sama sekali tidak berpengalaman dalam memimpin suatu pertempuran.
Peran Debora sebagai pemimpin tidak lepas dari tugasnya yang lain sebagai seorang
nabiah dan hakim. Jabatan sebagai nabiah, hakim dan pemimpin militer bahkan disebut
sebagai ibu di Israel. Debora bangkit menjadi pemimpin bangsa ketika bangsa Israel tidak
berdaya lagi menghadapi musuh mereka bangsa Kanaan yang menindas mereka selama
duapuluh tahun (Hakim-hakim 4:3). Debora membuat suatu terobosan di zamannya.
Debora menunjukkan bahwa perempuan juga makhluk publik sesuai dengan De Beauvoir
yang menyatakan bahwa pada hakekatnya perempuan tidak diciptakan sebagai makhluk
inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur kekuasaan dalam masyarakat berada di
tangan laki-laki.12 Ia merupakan contoh nyata bahwa meskipun hidup dalam budaya
patriarkhi yang menjunjung laki-laki sehingga perempuan dihormati karena
ayah/suami/saudaranya, Debora diakui kemampuan dan dihormati sebagai pemimpin
bukan karena semua itu. Debora adalah Debora, perempuan yang diakui keberadaannya
12 Eka Warisma Wardani, Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam The Bluest Eye, Semarang: FIB UNDIP, 2009, 36
di tengah bangsa patriarkhalnya sebagai pemimpin mereka tanpa didukung nama
ayah/suami/saudaranya.
Debora menjadi pemimpin ketika laki-laki dalam bangsa Israel merasa putus asa
dengan nasib yang dialami dan tidak ada keberanian untuk melawan para penindas.
Debora menjadi pemimpin ketika para laki-laki kehilangan semangat untuk melakukan
sesuatu demi melepaskan diri dari penderitaan dan ketika seakan tidak ada jalan keluar
bagi permasalahan bangsa. Debora menjadi seorang pemimpin bukan karena ia
mengangkat dirinya menjadi pemimpin. Debora sadar atas budaya bangsanya yang
patriarkhal. Ia tidak mencoba mendapatkan pengakuan dari bangsanya untuk menobatkan
dirinya sebagai pemimpin. Debora menjadi pemimpin karena kharisma yang ada di dalam
dirinya.
Debora menjadi pemimpin tanpa melupakan statusnya sebagai perempuan dalam
tatanan masyarakat yang patriarkhal. Debora menyadari bahwa pengakuan laki-laki atas
keberadaan perempuan dalam masyarakat secara publik masih sangat rendah dan
minoritas. Sebagai yang minoritas ini, Debora diam-diam menunjukkan bahwa
perempuan dan laki-laki mempunyai peluang yang sama dan kesamaderajatan di mata
Pencipta. Kesamaderajatan itu terbukti dengan adanya nabi dan nabiah, manusia yang
dipakai sebagai media perantara untuk memberitahukan kehendakNya kepada umatNya.
Hal ini mendukung komentar Martin Noth seperti yang dikutip Evans mengenai
Bilangan 11:12 yang merupakan fakta dukungan hierarki terhadap hubungan satu sama
lain antara laki-laki dan perempuan.13 Kesamaderajatan yang telah ada sejak semula itu
telah terkikis oleh budaya dunia yang lebih mementingkan laki-laki.
Debora mendapat pengakuan atas kepemimpinannya atas bangsa Israel. Debora
yang bertindak sebagai nabiah dan hakim bersama dengan Barak sebagai pemimpin
pasukan bekerjasama membangun relasi yang baik untuk kemenangan pasukan Israel.
Keduanya memimpin bangsa Israel dengan baik sehingga dapat mengalahkan pasukan
Sisera. Debora yang memberikan arahan, dukungan dan kehendak Allah kepada pasukan
Israel bersama Barak yang bertindak sebagai pemimpin militer bangsa Israel. Kerjasama
yang dilakukan Debora ini mungkin yang memberikan ide kepada Friedan yang
mendorong laki-laki dan perempuan untuk bekerja menuju masa depan yang androgini,
yang di dalamnya semua manusia akan mengkombinasikan di dalam dirinya sifat mental
dan perilaku yang maskulin dan feminin.14
Debora menunjukkan bahwa ia memang perempuan yang hidup dalam budaya
patriarkhi. Budaya yang mengharuskan perempuan untuk berperan dalam sektor domestik
sehingga ia memiliki keterampilan dalam mengatur rumah dan mengasuh anak.
Keterampilan yang ia terapkan kepada bangsa yang dipimpinnya sehingga ia dapat
mengorganisir dengan baik serta mengetahui bagaimana cara untuk merangkul suku-suku
Israel menjadi satu. Debora memang layak mendapat sebutan sebagai ibu di Israel
(Hakim-hakim 5:7). Kaitannya dengan sebutan yang diberikan kepada Debora sebagai
ibu di Israel, dapat penulis lihat dari perjuangannya menjadi pemimpin yang dapat
13 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 22