Top Banner
BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA Menelisik aspek agama sipil dalam formasi negara merupakan kajian arus utama tentang agama sipil. Penelaahan terhadap formasi negara itu biasanya dimulai dari dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan, hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi ”sumber integrasi” bagi seluruh komponen warga negara. Dengan kata lain, kajian agama sipil yang ”top-down” adalah suatu penggambaran terhadap faktor yang dapat memberikan payung bagi keragaman warga negara yang sudah pasti memiliki ragam identitas itu. Payung itu yang disebut oleh Rousseau sebagai general will. Cerminan dari kehendak bersama sebuah masyarakat yang dalam diskursus sosiologi agama dikenal sebagai civil religion. Ekspresi dari agama sipil, tidak selalu berwujud teks tertulis. Ada kalanya ”rasa keberagamaan” itu hanya ada dalam satu konsensus tak tertulis, seperti halnya rasa, yang merupakan pengertian bersama yang ada dalam alam pikir orang Jawa. 1 Meski demikian, ekspresi demikian tidak akan dibahas dalam bagian ini. Bagian ini merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi religius dari Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai dasar negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai. Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas 1 Paul Stange, “The Logic of Rasa in Java”, Indonesia, No. 38 (Oktober), 1968, 113-134. Paul Stange, Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2008).
48

BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

May 31, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

BAB IV

PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA

Menelisik aspek agama sipil dalam formasi negara merupakan kajian arus

utama tentang agama sipil. Penelaahan terhadap formasi negara itu biasanya

dimulai dari dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan,

hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi ”sumber integrasi” bagi seluruh

komponen warga negara.

Dengan kata lain, kajian agama sipil yang ”top-down” adalah suatu

penggambaran terhadap faktor yang dapat memberikan payung bagi keragaman

warga negara yang sudah pasti memiliki ragam identitas itu. Payung itu yang

disebut oleh Rousseau sebagai general will. Cerminan dari kehendak bersama

sebuah masyarakat yang dalam diskursus sosiologi agama dikenal sebagai civil

religion.

Ekspresi dari agama sipil, tidak selalu berwujud teks tertulis. Ada kalanya

”rasa keberagamaan” itu hanya ada dalam satu konsensus tak tertulis, seperti

halnya rasa, yang merupakan pengertian bersama yang ada dalam alam pikir

orang Jawa.1 Meski demikian, ekspresi demikian tidak akan dibahas dalam

bagian ini.

Bagian ini merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi religius dari

Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai dasar

negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai.

Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam

bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil

yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan

Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas

1 Paul Stange, “The Logic of Rasa in Java”, Indonesia, No. 38 (Oktober), 1968, 113-134. Paul Stange, Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2008).

Page 2: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas

Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam

pembukaan UUD 1945 alinea 3.

Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil,

bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama

adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai

momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme)

dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).

Yang Maha Kuasa di Alinea Tiga:

Kajian Terhadap Pembukaan UUD 1945

Kajian tentang identitas agama dalam bab ini akan diulas dengan

menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. UUD 1945 yang menjadi rujukan adalah

pembukaan UUD 1945 serta batang tubuhnya. Meski menjadikan UUD 1945

sebagai rujukan, bahasan dalam sub bab ini juga akan menyinggung perubahan

dasar negara yang juga sempat menggunakan UUD Sementara Republik

Indonesia (RI) 1950 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

17 Agustus 1945 memberikan dua hal yang pokok dalam sejarah

kehidupan bangsa Indonesia.2 Pertama, pernyataan di depan penjajah bahwa

umat manusia Indonesia, atas berkat rahmat Tuhan, menyatakan kemerdekaan

Indonesia. Kedua, kepada penjajah pulalah pada tanggal itu mereka

memberitahukan bahwa sebagai negara yang baru merdeka ini dinamakan

Republik Indonesia.

2 Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia (Jogjakarta: Ombak dan Media Presindo, 2002), 4.

Page 3: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

PROKLAMASI

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara

saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Atas nama Bangsa Indonesia

Soekarno-Hatta

Semangat yang tercermin dalam proklamasi adalah pernyataan bahwa hari

itu semua bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Teks

proklamasi merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.3 Soekarno

dan Hatta didaulat mewakili bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan

Indonesia. Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan

Hatta mewakili bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya

diproklamirkan itu tentu saja mereka yang tidak berasal dari satu identitas

agama dan suku saja. Indonesia merupakan negara plural yang masyarakatnya

terdiri dari berbagai latar belakang agama. Kemerdekaan yang diproklamirkan

itu adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan agama

yang dianut oleh penduduknya.

Tentang kedudukan proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjelaskan

bahwa ia tidak sekadar declaration of independence. Proklamasi adalah

proclamation of independence yang didalamnya mengandung declaration of

independence.4 Proklamasi merupakan sumber kekuatan dan tekad perjuangan

bangsa Indonesia. Sementara declaration of independencenya ada dalam

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memberikan pedoman-pedoman

3 Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet: Tafsir Postkolonial atas Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 48. 4 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986), 4.

Page 4: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

tertentu untuk mengisi kemerdekaan, melaksanakan kenegaraan, mengetahui

tujuan dalam memperkembangkan kebangsaaan, untuk setia kepada suara batin

yang hidup dalam rakyat kita. Proklamasi tanpa deklarasi berarti bahwa

kemerdekaan tidak memiliki falsafah. Sementara deklarasi tanpa proklamasi,

tidak memiliki arti.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18

Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang

membuat beberapa keputusan. Salah satunya mengesahkan Undang-undang

Dasar 1945.

Sebagai sebuah teks, pembukaan UUD 1945 baru terumuskan pada tanggal

18 Agustus 1945. Tapi, teks ini tentu saja bukanlah suatu yang begitu saja

muncul. Ia hadir dari sebuah rangkaian proses dalam perdebatan sidang

BPUPKI. Setidaknya hal itu bisa kita tangkap sejak Soekarno mengucapkan

pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Pidato itulah yang kemudian

memantik BPUPKI membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari sembilan

orang untuk mengembangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemerdekaan

Indonesia.

Panitia kecil itulah yang kemudian berhasil membuat naskah pembukaan,

preambule yang kemudian dianggap sebagai gentlemen agreement antara paham

nasionalisme dan pendukung Islam. Muhammad Yamin kemudian mengusulkan

agar kesepakatan yang dibuat oleh tim kecil itu sebagai Piagam Jakarta (Jakarta

Charter). Naskah ini yang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia

memancing perdebatan, terutama yang berkaitan dengan tujuh kata di alinea

empat.

Dari naskah yang sederhana itu, kemudian tersusunlah naskah baru yang

diberi nama Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM). PIM merupakan perluasan

dari Piagam Jakarta. Tiga alinea pertama dari Piagam Jakarta dikembangkan

dalam PIM menjadi delapan alinea. Alinea keempat dari Piagam Jakarta yang

Page 5: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

kemudian disiapkan menjadi pembukaan dari UUD 1945. Jadi, kalau proklamasi

kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan PIM, maka Pembukaan UUD 1945

yang kita miliki hanyalah alinea keempat saja dari Piagam Jakarta.

Dalam perjalanannya, BPUPKI yang telah mempersiapkan baik PIM

maupun UUD 1945, ternyata tidak dapat melaksanakan rencananya sesuai

dengan yang diharapkan. Ini disebabkan karena sejak tanggal 15 Agustus 1945,

teks proklamasi yang digunakan tidak menggunakan PIM akan tetapi suatu teks

yang disusun kemudian oleh Soekarno-Hatta dengan para pemuda tanggal 17

Agustus 1945 jam 03.00 pagi hari dalam bentuk dua kalimat yang sederhana.

Sesudah proklamasi dibacakan, PPKI bersidang untuk kali yang pertama.

Karena proklamasi sudah dilakukan dengan teks yang pendek, maka seluruh

naskah yang bernama Piagam Jakarta itu kemudian hendak dijadikan

Pembukaan UUD 1945, dan bukan hanya alinea keempat dari Piagam Jakarta.

Dalam proses itulah, muncul keberatan dari para wakil Protestan dan Katolik

yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Indonesia Timur terhadap

tujuh kata dari naskah tersebut.

Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat diusahakan

penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan wakil pemimpin Islam sebelum sidang

PPKI, dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan yang dilakukan

terjadi pada alinea ketiga dan keempat. Perubahan dalam alinea keempat terjadi

dengan dihapuskannya tujuh kata dari “…berdasar kepada keTuhanan, dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” dan

dirumuskan kembali menjadi “…berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,…”.

Perubahan alinea ketiga dilakukan dengan kata Allah dengan kata Tuhan.5

5 John A. Titaley, Nilai-nilai Dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 1999), 2-8.

Page 6: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Setelah melihat perjalanan historisnya, kita mengamati nilai yang

tercermin dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.6 Alinea pertama memuat

kalimat Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh

sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Konsep kunci dalam alinea pertama

adalah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan dan penjajahan. Jika diamati

secara mendalam, nilai ini hanya akan terlaksana kalau tidak ada penjajahan.

Segala bentuk penjajahan akan menghilangkan perikemanusiaan dan keadilan.

Hanya kemerdekaan sajalah yang dapat memulihkan harga diri kemanusiaan.

Dalam alinea kedua, kita akan menemukan konsep kunci yakni perjuangan

kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur. Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur

adalah konsep yang berkaitan dengan alinea pertama. Yang perlu diperhatikan

adalah perjuangan kemerdekaan dan pintu gerbang kemerdekaan. Perjuangan

ini menunjuk kepada upaya mencapai kemerdekaan oleh bangsa Indonesia.

Kemerdekaan itu bukanlah hadiah Belanda atau Jepang atau siapa-siapa,

melainkan perjuangan. Pintu gerbang kemerdekaan Indonesia itu bukanlah

negara Indonesia, karena negara Indonesia saat itu belum memiliki aturan

hukum. Karenanya nilai yang ditekankan dalam alinea kedua ini adalah karya

nyata manusia Indonesia yang punya kesadaran tinggi terhadap berlakunya

hukum.

Alinea ketiga, Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan

didorongkan oleh Keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang

bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Konsep

kunci dalam alinea ini adalah pernyataan pengakuan bahwa adanya rakhmat

dan pengakuan kemerdekaan. Jika alinea pertama dan kedua menekankan pada

6 Kajian ini telah ditulis dengan baik dalam, Ibid., 9-24. Penjabaran tentang nilai-nilai dasar dalam pembukaan UUD 1945 dalam karya ini didasarkan pada karya tersebut.

Page 7: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

kerja manusia, alinea ketiga ini adalah pengakuan bangsa Indonesia akan adanya

campur tangan Yang Maha Kuasa dalam kemerdekaan Indonesia.

Sementara dalam alinea keempat kita melihat gagasan-gagasan

implementasi kemerdekaan itu. Konsep-konsep kunci yang terkandung di

dalamnya adalah pemerintah negara, UUD, negara yang berkedaulatan rakyat

dan Pancasila. Pemerintah negara ini bertugas untuk melindungi segenap

bangsa seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum bukan pribadi,

keluarga atau kelompok tertentu; mencerdaskan kehidupan bangsa dan

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial. UUD menjadi konsep yang penting bagi suatu negara

modern yang demokratis.

Karena itu, nilai-nilai yang dimiliki dalam pembukaan UUD 1945 adalah

kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan, kerja keras, intervensi Tuhan, yang

seluruhnya bersumber dari kesederajatan kemanusiaan sebagai makhluk

ciptaan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dapat merubah (transform)

perilaku bangsa Indonesia dari kecenderungan untuk berperilaku primordialnya

kepada perilaku nasionalnya.

Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan

di alenia ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan

Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945,

Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada

redaksi pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI yang

kelak menjadi Gubernur Sunda Kecil itu kemudian mengusulkan agar kata Allah

dirubah dengan Tuhan. Kata Pudja, ”Ayat 3 ”Atas berkat Rahmat Allah” diganti

Tuhan saja, ”Tuhan Yang Maha Kuasa””.7 Usul Pudja ditangkap Soekarno yang

kemudian mengulang apa yang disampaikan Pudja. Soekarno mengatakan

7 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 537

Page 8: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

”Diusulkan, supaya perkataan Allah Yang Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha

Esa. Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan atas berkat

Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada lagi, tuan-tuan? Kalau tidak ada lagi, saya

baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan”.8 Setelah itu, Soekarno kemudian

membacakan keseluruhan teks pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi, kesepakatan yang dibuat soal kata ”Tuhan” pada sidang 18

Agustus 1945 itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no. 7

yang diterbitkan pada 15 Februari 1946. Di berita itu, kalimat masih tertulis

”Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Editor buku ”Risalah Sidang

BPUPKI” mengatakan bahwa kemungkinan besar hal ini merupakan kesalahan

teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu.9

Selain Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang terbit 15 Februari

1946, ada dua dokumen negara lainnya yang mengabadikan hasil Risalah Sidang

BPUPKI, terutama yang menyangkut Pembukaan UUD 1945. Ada perbedaan soal

kata pemuatan kata Allah dan Tuhan dalam dokumen itu. Di Lembaran Negara

no. 75 tahun 1959 halaman 3, alinea ketiga tertulis ”Atas Berkat Rahmat Allah

Yang Maha Kuasa”. Ini berarti susunan kalimatnya sama dengan yang tertulis

dalam Berita Republik Indonesia. Arsip lainnya adalah Dokumentasi Kementrian

Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945. Dalam dokumen tersebut

bunyi alinea tiga sama dengan apa yang terekam dalam Sidang PPKI yakni, ”Atas

Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”.10

Menelisik tentang identitas Yang Maha Kuasa yang telah memberkati

perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita bisa juga mencermati dalam

beberapa produk lain, seperti Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM), Piagam

Jakarta dan dua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yakni

8 Ibid. 9 Ibid., 538. 10 Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945 (Bandung: Alumni, 1977), 111-113.

Page 9: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 serta UUD Sementara RI

1950.

Dalam PIM berkat terhadap perjuangan rakyat Indonesia itu diberikan oleh

”Allah Yang Maha Kuasa”. Hal yang sama juga ditemukan dalam Piagam Jakarta.

Sementara dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara RI 1950, alinea ketiga itu

sama-sama memunculkan kata ”Tuhan”. Dalam Konstitusi RIS, kalimat

lengkapnya berbunyi ”Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai

kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”. Dalam UUD Sementara,

kalimat di alinea berbunyi ”Dengan berkat dan rahmat Tuhan, tercapailah

tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”.11

Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian menghasilkan

Pembukaan UUD 1945, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada

perdebatan hebat ihwal kata Allah dan Tuhan. Usulan I Gusti Ketut Pudja agar

kata Allah diganti dengan Tuhan tidak mendapatkan sanggahan atau bantahan

dari peserta sidang lainnya. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Pudja tidak

menyebutkan alasan mengapa ia mengusulkan untuk mengganti Allah dengan

Tuhan. Tetapi jika dilihat dari latar belakang primordialnya, Pudja tentu

menghendaki agar UUD 1945 bisa menaungi seluruh kelompok agama yang ada

di Indonesia.12 Ia ingin menyelamatkan UUD 1945 agar tidak menjadi warna

untuk kelompok tertentu saja.

Sebutan Allah sebagai identitas Yang Maha Kuasa, sangat khas dengan tiga

kelompok agama, Islam, Kristen dan Katolik. Memasukan Allah dalam

pembukaan UUD 1945, seolah-olah hanya ingin menunjukan bahwa perjuangan

kemerdekaan itu hanya dilakukan oleh tiga kelompok itu saja. Padahal

11 Kutipan Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara diambil dari ____, 3 Undang-undang Dasar Republik Indonesia (Pustaka Mahardika, tt), 43 dan 104. 12 Putu Setia, “Refleksi Agama-agama atas 50 tahun Kemerdekaan: Perspektif Hindu,” dalam Tim Balitbang PGI (ed), Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 225-234.

Page 10: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

hakikatnya kemerdekaan ini adalah karya bersama dari semua rakyat Indonesia

yang ingin terbebas dari belenggu penjajahan.

I Gusti Ketut Pudja datang sebagai wakil dari wilayah Sunda Kecil (Bali)

yang beragama Hindu-Bali. Dalam tradisi Hindu-Bali, Allah itu sesuatu yang

tidak dikenal. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, ”tradisi” tidak secara jelas

dibedakan dari agama.13 Tradisi yang dalam beberapa bagian kehidupan

masyarakat Bali menjadi religious worldview, merujuk pada tatanan kosmis yang

ilahi dan aturan kemasyarakatan seperti yang diajarkan oleh para leluhur.14

Tidak seperti halnya agama-agama dunia yang memiliki dasar kepercayaan

serta simbol yang memberikan makna bagi orang dari berbagai latar belakang

kebudayaan, agama Bali benar-benar bersifat lokal seperti yang terwujud dalam

upacara yang dikhususkan bagi kelompok tertentu, leluhurnya dan

wilayahnya.15 Bagi mereka, tujuan utama bukanlah pada kebenaran dogma

(orthodoxy) tetapi kebenaran perilaku (orthopraxy). 16

Karena agama yang diekspresikan masyarakat Bali sangatlah lokal, maka

penyebutan terhadap identitas Yang Maha Kuasa pun berbeda-beda. Dalam kitab

suci Weda sendiri Yang Maha Esa ini disebut dengan banyak nama antara lain,

Agni, Indra, Vayu, Surya, Mitra, Varuna, Prajapati, Amsa, Daksa, Parjanya,

Vivasvat, Visvakarma, Savitri dan lain-lain. 17 Kalau di Bali sendiri penamaan

terhadap Yang Maha Kuasa itu tidak tunggal. Tuhan itu satu, hanya orang

bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya

sebagai Sinaring Jagad (Penyinar Bumi), juga Sang Hyang Widhi Wasa.

13 Michael Picard, “What’s in A Name?: Agama Hindu Bali in the Making”, dalam Martin Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 62. 14 Ibid. 15 Ibid. Wawancara Ari Dwipayana, 10 September 2012, I Ketut Sumartha, 7 November 2012. 16 Ibid. Wawancara I Putu Gelgel, 8 November 2012. 17 Made Titib, “Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Ketut Wiana, Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan (Jakarta: Manikgeni, 2004), 2.

Page 11: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Penamaan Widhi Wasa itu sendiri dipopulerkan oleh para zending (penyebar

Kristen) di Bali. Ketika Kristen masuk Bali, ada pendekatan kultural terhadap

masyarakat, penerjemahan Alkitab dan mereka mempopulerkan nama yang

sudah ada dalam tradisi masyarakat Bali itu. 18

Penyebutan nama Tuhan itu penting untuk masyarakat tertentu, tapi bagi

yang lain tentu tidak. Sebutan itu jelas menjadi identitas sebuah komunitas.

Ketika bersepakat untuk membentuk satu negara, mencari formula yang lebih

umum tentang siapa itu Yang Maha Kuasa, jauh lebih penting. Usulan Pudja itu

strategis untuk negara, bukan kepentingan Hindu-Bali semata. Itu sebagai

identitas keindonesiaan yang disepakati untuk mengatasi sekian penamaan.19

Alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari

agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah

Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. Ia dinarasikan dalam nama ”Tuhan”.

Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah

mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat

diterima oleh semua agama dan pemeluknya.

Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara

agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang

politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu,

ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa

Indonesia.

Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi

keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol

agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah

konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk

18 Wawancara I Ketut Sumartha, 7 November 2012, John Titaley, 31 Oktober 2012.

19 Wawancara I Ketut Sumartha, 7 November 2012.

Page 12: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan

klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.

Secara teoritis, John Hick mengatakan bahwa Tuhan adalah ”The Eternal

One”.20 Penggambaran ini dibedakan dalam dua bentuk asosiasi. Pada satu sisi

menyatakan satu dari tradisi mistis, dimana itu bisa merupakan satu dari tradisi

Plotinus atau satu tanpa yang kedua dari Upanishad, dan di sisi lain adalah Yang

Suci dari pengalaman teistik, dimana itu bisa merupakan Yang Suci bangsa Israel

atau pemujaan teistik India.21

”The Eternal One”, bagi Hick, menjadi dasar bersama dari semua tradisi

agama besar.22 Realitas Tuhan ini tidak terhingga dan melampaui batas

pemikiran manusia, bahasa dan pengalaman. Kenyataan ini kemudian direspon,

dikonseptualisasi, dan diekspresikan secara beragam karena keterbatasan jalan

yang dimungkinkan karena dasar manusia yang terbatas pula.

Kepercayaan terhadap adanya “the Eternal One”, sudah berkembang pada

agama-agama primitif. Cuma, penggambaran terhadap “the Eternal One” itu

berbeda dengan yang diajarkan Yesaya, Yesus, Gautama, Muhammad, Kabir atau

Nanak. Tuhan, dalam kepercayaan mereka lebih ditekankan pada pengertian

kekuatan gaib yang ada di sekeliling untuk ditakuti atau wujud yang tak dapat

diduga.23

Catatan penting dari Hick adalah bahwa tuntutan kesadaran primitif

tentang Tuhan yang dibuat atas kehidupan manusia adalah untuk memelihara

dan memajukan manusia dari kelompok kecil ke negara besar. Tuhan itu sendiri

sebenarnya dikonsepsikan berbeda antara agama Teistik dan non Teistik.

Agama Teistik lebih menekankan konsep tentang Tuhan dalam artian personal.

20 John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), 42 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid., 43-44.

Page 13: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Sementara di sisi lain, agama non-Teistik, trans-Teistik dan a-Teistik

menggambarkan Tuhan sebagai non-personal.

Dengan meminjam kerangka Immanuel Kant, Hick membedakan antara

nomena (noumenon) dan fenomena (phenomena).24 Nomena merupakan Tuhan

yang dalam kediriannya melampau lingkup bahasa dan pikiran manusia.

Fenomena sifatnya pluralistik, karena ia merupakan respon manusia terhadap

realitas mutlak itu. Pluralitas fenomena terdiri dari personae Tuhan dalam

agama-agama Teistik dan konkretisasi konsep Yang Mutlak dalam agama-agama

non Teistik.25

Wajar jika kemudian Hick mengatakan bahwa ”God Has Many Names”. Atau

dalam bahasanya mistikus muslim, Sayyed Hussein Nasr, “The One in The

Many”.26 Noumena ditanggapi oleh fenomena yang plural. Apa yang absolut itu

dipahami secara berbeda, sehingga dibahasakan secara plural pula dalam aspek

budaya manusia yang berlainan.

Seperti dikutip oleh Joy Mills dalam “The One and The Many”, Nasr

mengatakan, “The doctrine of oneness is unique. There cannot be two Absolutes.

There is only the One within a particular sacred universe”.27 Lalu Nasr

menambahkan “We thirst for the Absolute, that reality which constitutes deep

down the essence of human nature. Human beings cannot live with pure relativity,

which is why, when they are cut off from the real Absolute, they absolutize the

relative”.28

24 Ibid., 52-53.

25 Hick mencontohkan bahwa kesadaran tentang Tuhan dari Agama Teistik itu biasa disebut Yahweh, Allah, dan Allah dan Bapa Yesus Kristus, Krishna, Shiva dan lainnya. Sementara dalam agama non-Teistik misalnya tentang kesadaran non personal tentang Tuhan dalam Brahman dari Hindu Advaitik, Nirvana dari Budha Theravada dan Sunyata dari Buddha Mahayana. Ibid., 53. 26 Seyyed Hossein Nasr, “The One in The Many”, Artikel dipresentasikan pada Parliament of the World’s Religions di Chicago, 2 September 1993 dikutip Joy Mills, “The One and The Many”, Makalah dipresentasikan pada European Congress, Bosön Sport Center, Sweden, July 1995. 27 Joy Mills, “The One and The Many”. . .

28 Ibid.

Page 14: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Apakah kemudian Tuhan bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam

alinea tiga pembukaan UUD 1945 itu teis ataukah non-teis? Penganut agama-

Agama Abrahamik tentu akan menafsirkannya dengan model teistik. Tetapi

penganut Buddha atau Hindu lebih cenderung menafsirkannya secara non-

teistik. Sehingga, Tuhan yang dimaksud dalam alinea tiga tidak semata-mata

merujuk pada salah satu dari teistik atau non-teistik.

Pancasila Sebagai Agama Sipil:

Integrasi, Legitimasi dan Suara Kenabian

Beberapa karya tentang agama sipil di Indonesia, pada umumnya

menyimpulkan Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Ini bisa dilihat

misalnya dalam tulisan Matti Justus. Schindehütte,29 Susan Selden Purdy,30 atau

Karel A. Steenbrink.31 Beberapa penulis di Indonesia juga kurang lebih

mengungkapkan kesimpulan yang sama.32 Dengan menggunakan pendekatan

Jose Casanova, Benjamin Fleming Intan melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya

sebagai public religion.33 Dengan begitu maka penemuan Pancasila sebagai

agama sipil sebenarnya sudah banyak diulas oleh beberapa penulis. Dengan

begitu, maka tulisan ini hanyalah menuliskan kembali posisi Pancasila sebagai

agama sipil itu seperti yang telah dikemukakan penulis sebelumnya.

29 Matti Justus. Schindehütte, “Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion

als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens”, Thesis (Ph.D, Hamburg University, 2005).

30 Susan Selden Purdy, “Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State: Pancasila and civil religion in Indonesia”, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).

31 Karel A. Steenbrink, “The Pancasila Ideology and an Indonesian Muslim Theology of Religion” dalam Jacques Waardenburg (ed), Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1999).

32 Elma Haryani, ”Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi Agama”, Tesis Universitas Gajah Mada, 2005, Nafisul Atha, ”Pancasila dan Agama Sipil”, Tesis UIN Jogjakarta, 2005.

33 Benyamin Fleming Intan, ““Public Religion” and the Pancasila-based State of Indonesia: A Normative Argument within a Christian-Muslim Dialogue (1945-1998)”, (Ph.D Disertasi, Boston College Department of Theology, 2004).

Page 15: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Diskursus mengenai agama sipil di Indonesia, dalam pengertian Bellah,

salah satunya tergaris dari dasar negara Pancasila. Pancasila sendiri tidak dapat

dipisahkan dari UUD 1945. Lima pilar yang menjadi dasar negara Indonesia, bisa

ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4.

Seperti yang tergambar dari komposisi yang menjadi kerangkanya,

Pancasila tidaklah merefleksikan satu arus semata. Meski ada aspek keagamaan

dalam Pancasila, tetapi agama apa yang menjadi dasar dari Pancasila tidaklah

dirumuskan secara spesifik. Itu artinya, setiap pemeluk keyakinan keagamaan

bisa mengambil sudut pandang imannya atau theologizing dalam menghayati

Pancasila.

Pembahasan ini akan melihat posisi Pancasila dari dua sudut pandang. Jika

mengikuti alur sejarah yang telah berjasa melahirkan Pancasila, maka penulis

melihat bahwa ada dua asas mendasar yang menjadi tiang penyangganya.

Pertama, landasan politik. Kedua, prinsip etika.34 Secara politik Pancasila bisa

digambarkan sebagai landasan kehidupan bernegara yang memayungi berbagai

kepentingan ideologi dan politik yang berbeda. Sementara prinsip etika berarti

Pancasila adalah sumber moralitas bahwa yang menunjukkan bahwa kehidupan

bangsa Indonesia tidaklah merupakan sebuah proyeksi berbangsa dan

bernegara yang lepas dari moralitas.

Secara politik, peran Pancasila sebagai civil religion dikarenakan ia telah

berhasil menjadi solusi atas persoalan relasi agama dan negara yang sangat

rumit di Indonesia. Sementara secara etika, Pancasila menjadi landasan bahwa

bangsa Indonesia memiliki fundamen yang kuat berakar dalam tradisi dan

budaya bangsa yang kemudian menjadi Indonesia.

Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena

agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Hipotesa awal yang hendak

34 Penulis kemudian menemukan paparan serupa tentang hal ini dalam Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 29.

Page 16: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

dibangun dalam sub bab ini bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Dalam

kajian agama sipil (terutama yang disinggung Bellah) agama sipil adalah sejenis

elemen pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial.

Pancasila menjadi pemersatu dari elemen-elemen agama maupun non agama.

Penjelasan tentang posisi Pancasila sebagai agama sipil bisa dilihat

pertama-tama dari statusnya sebagai dasar negara dan ideologi. Sebagai

ideologi, Pancasila tentu saja tidak merepresentasikan kelompok primordial

tertentu. Ia memayungi semua kelompok primordial tersebut. Hubungan

konstitusional antara agama dan negara di Indonesia sebenarnya jelas, dimana

agama dan negara berada di ruang yang berbeda tapi tidak terpisah. Anasir-

anasir mengenai agama, jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia. Tetapi,

meski memuat anasir-anasir tersebut, konstitusi tidak menjadikan agama

tertentu sebagai dasar negara. Ruang antara agama dan negara itu, selain

membangun konsensus juga menyisakan perdebatan serta tarik menarik tafsir

atas hubungan agama dan negara di Indonesia.

Secara umum, gagasan agama sipil muncul untuk menjalankan tiga

fungsinya; alat integrasi, legitimasi dan memunculkan suara kenabian.35

Klaim integratif dari agama sipil seperti yang digambarkan Bellah pada

kasus Amerika merupakan fungsi yang sangat mendasar. Integrasi menghendaki

hadirnya harmoni dan ketertiban. Agama sipil menjadi “lem perekat” kelompok

masyarakat yang berbeda kepentingan. Gagasan Durkheim menjadi sangat

relevan untuk menakar Pancasila sebagai agama sipil. Mereka yang berbeda

keyakinan, suku dan klannya ini memiliki kesadaran bersama, yang itu

kemudian menjadi otoritas moral.

Dalam skema Durkhemian ini, Pancasila membutuhkan pra kondisi

struktural bagi sebuah bentuk integrasi yang efektif; tingkat perbedaan yang

35 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State: Pancasila and Civil Religion in Indonesia, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984), 14.

Page 17: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

berdampak pada kebutuhan kerjasama dalam masyarakat yang lebih luas.36

Tapi, lanjut Purdy, memahami apa yang digagas oleh Durkheim tidak hanya pada

soal integrasinya semata, tapi komponen moral yang ada di dalamnya.37

Perspektif Durkheimian ini digunakan Bellah saat mencermati Agama Tokugawa

di Jepang. Kata Bellah, masyarakat Jepang dicirikan oleh kesetiaan kelompok di

satu sisi dan pencapaian individual serta kolektif di sisi lain.38 Keseragaman

budaya dan keyakinan akan kesetaraan yang merupakan prasyarat bagi sebuah

negara modern, sudah disiapkan oleh Jepang di era Tokugawa.39

Dalam kasus Pancasila, fungsi integrasi ini diperankan untuk mengatasi

perbedaan etnis, etos kebudayaan dan pluralitas agama. Perbedaan-perbedaan

itu disatukan dalam wadah negara-bangsa di bawah satu kode moral bersama.

Mencari dasar filosofis bersama itu tentu tidak mudah karena Indonesia harus

memulainya dengan melewati berbagai tantangan seperti perang kemerdekaan,

tarikan ideologi dan lainnya.

Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila mendapatkan klaim

sebagai integrasionis. Pancasila mengakui adanya keragaman. Namun,

bersamaan dengan pengakuan terhadap adanya keragaman, Pancasila menilai

bahwa kemajemukan itu ada dalam bingkai yang satu.

Pancasila, jika kita mengaitkan dengan ide Durkheim (juga Rousseau)

merupakan solusi untuk memecahan masalah ketertiban.40 Khusus untuk

Durkheim problem tentang ketertiban itu kemudian dihubungkan dengan

moralitas. Bagi Durkheim, sebagaimana dikutip Cristi, sebuah negara demokratis

merupakan kendaraan utama dimana nilai-nilai individualisme moral

36 Ibid., 16. 37 Ibid. 38 Robert N. Bellah, Tokugawa Religion: The Values of Pre-industrial Japan, terj. Wardah Hafidz dan Wiladi Budiharga, “Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), xxi. 39 Ibid.

40 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and Politics (Wilfrid Laurier University Press, 2001), 41.

Page 18: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

diimplementasikan.41 Durkheim menggambarkan negara sebagai “organ

pemikiran sosial”, “ego” kesadaran bersama.42 Pancasila hadir untuk

pengembangan moral dari anggota-anggota individualnya. Sebagai agen moral,

Pancasila berperan untuk menjamin dan memajukan hak-hak yang menyatu

dalam moral individu.43

Selain sebagai alat integrasi, fungsi Pancasila sebagai agama sipil terlihat

dari perannya sebagai legitimator. Weber menunjukan bahwa hubungan positif

antara pemimpin dan yang dipimpin, menempati posisi penting bagi kinerja

efektif sebuah sistem sosial.44

Legitimasi sebuah aturan dapat dijamin dalam dua prinsip. Pertama,

jaminan bisa bersifat subjektif murni, baik itu bersifat afektual, value-rational

ataupun bersifat keagamaan. Kedua, legitimasi sebuah aturan juga bisa dijamin

oleh harapan dampak eksternal yang spesifik, atau oleh situasi kepentingan.45

Dasar dari legitimasi itu sendiri bisa muncul dari tradisi, afektual (khususnya

emosi), iman, nilai-rasional, dan hukum.

Weber berargumen, validitas klaim legitimasi didasarkan pada salah satu

atu kombinasi lebih dari satu dari tiga model “ideal types” otoritas legitimasi.

Dalam tipologinya itu, Weber membagi otoritas dalam 3 jenis klasifikasi analitis:

Pertama, otoritas rasional-legal yang dilegitimasi oleh “suatu

kepercayaan pada legalitas peraturan-peraturan yang diundangkan dan pada

hak orang-orang yang diberi otoritas memimpin di bawah peraturan-peraturan

tersebut untuk mengeluarkan perintah-perintah”;

Kedua, otoritas tradisional dengan legitimasinya diperoleh dari “suatu

kepercayaan mapan pada kesucian tradisi-tradisi yang sudah sangat lama ada

41 Ibid. 42 Dikutip Ibid. 43 Ibid. 44 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power . . . 22.

45 Max Weber, Economy and Society, edited by Gunther Roth and Claus Wittich; trans. Ephraim Fischoff et.al (Berkeley: University of California, 1978), 212.

Page 19: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

dan pada legitimasi dari orang-orang yang mempraktekkan otoritas

kepemimpinan yang dilandaskan pada tradisi-tradisi itu”;

Ketiga, otoritas karismatik dengan legitimasinya terletak pada “ketaatan

dan kesetiaan terhadap seorang individu yang dipandang memiliki karakter

yang patut diteladani, heroik dan memiliki kesucian luar biasa, yang juga

terdapat pada pola-pola atau tatanan normatif yang disingkapkan atau

ditahbiskan olehnya”. Menurut Weber, karisma dan otoritas karismatik

menunjuk pada “suatu sifat tertentu dari seorang individu pribadi, yang karena

sifatnya ini dia dipandang luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang

dikarunia kemampuan-kemampuan adikodrati dan adi-insani, atau setidaknya

dikaruniai kuasa atau sifat yang khas dan luar biasa. Kuasa dan sifat ini sangat

luar biasa sehingga tidak dapat diperoleh orang biasa, tetapi dipandang sebagai

teladan yang berasal dari Yang Ilahi, dan berdasarkan kuasa dan sifat ini pribadi

yang bersangkutan diperlakukan sebagai seorang ‘pemimpin.’”46

Dalam sebuah negara yang mengalami krisis akibat perang dan

pertarungan ideologi, maka diperlukan satu alat legitimasi. Agama sipil

diperlukan untuk mengisi ruang dimana legitimasi diperlukan untuk

membangun kepercayaan masyarakat. Pancasila dihadirkan dalam kapasitasnya

untuk menempati posisi demikian.

Dimensi terakhir dari agama sipil adalah profetis. Bellah menyatakan

agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam

seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.47 Dimensi keagamaan itu ada dalam

kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman

sejarahnya dalam terang realitas transenden.48

46 Ibid. 47 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of California Press, 1980), 171. 48 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (University of Chicago Press, 1992), 3

Page 20: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Gambaran Bellah tentang agama sipil memang selalu dikaitkan dengan

agama dalam pengertian konvensional. Jika dalam Broken Covenant, Bellah

mengintrodusir prinsip Protestan, sementara dalam dalam The Good Society

Bellah mengekspresikan kebaikan bersama, sebuah nilai yang barangkali lebih

dekat dengan prinsip Katolik. Dalam Habits of the Heart dan The Good Society,

Bellah berbicara mengenai “public church”, term yang dia pinjam dari Martin

Marty. Dalam Broken Covenant misalnya Bellah membahas mengenai asal-usul

mitos bangsa Amerika, Amerika sebagai bangsa pilihan, keselamatan dan

kesuksesan di Amerika, Tabu Bangsa Amerika terhadap Sosialisme, dan

Kelahiran mitos baru bangsa Amerika.

Kalau kita melihat kembali gagasan utama dari agama sipil, maka

nomenklatur agama menempati posisi yang utama. Mengutip Marty, Bellah

menuturkan kalau agama sipil dalam budaya politik Amerika mempunyai fungsi-

fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi kependetaan membuat kebijakan

Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan memobilisasi loyalitas rakyat melalui

tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik menugaskan para pemimpin dan

kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan sesuai dengan suatu tujuan

ilahiah bagi bangsa Amerika. Peter L. Berger menyebut agama menunjukan

perannya sebagai “world-maintaining” dan “world-shaking” force.49

Dalam situasi ini, Pancasila terbangun dari banyak elemen yang salah

satunya adalah agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu

“prophetic dimension” dari Pancasila. Pancasila adalah kalimatun sawa (titik

temu) warga Indonesia yang berbeda asal-usul suku bangsa dan agamanya.

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan eksplisit menyebut bahwa

kemerdekaan bangsa Indonesia ini tak hanya karena kekuatan fisik, tapi juga

49 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion, (Doubleday, 1967), 18.

Page 21: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Atas Berkat Rahmat Tuhan. Ada kuasa transenden yang turut campur dalam

kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai agama sipil, tentu saja penting untuk melihat isi dari Pancasila

tersebut. Elemen apa saja yang terkandung dalam Pancasila. Dan apakah posisi

Pancasila sebagai common denominator di Indonesia selaras dengan pengertian

Bellah tentang agama sipil di Amerika.

Percakapan pertama tentang dasar negara muncul saat berlangsungnya

sidang BPUPKI. Dalam perbincangan mengenai apa yang menjadi dasar bersama

bangsa Indonesia, Soekarno menawarkan lima pilar dalam pidato 1 Juni 1945,

yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Tetapi, jauh sebelumnya,

hemat penulis, penelusuran terhadap akar ideologi Pancasila ini mengantar kita

pada masa di mana Soekarno melontarkan ide tentang Nasionalisme, Islamisme

dan Marxisme.50

Soekarno mula-mula memperkenalkan ketiga akar ideologis yang

membentuk Pancasila (Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme), pada tahun

1926 yang ia tulis di “Suluh Indonesia Muda” dengan judul yang sama. Soekarno

mengatakan bahwa sebagai negara jajahan, negara Indonesia memiliki tiga sifat,

Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.51

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan,

bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna jika berseteru satu

dengan yang lainnya.52 Ketiga gelombang ini bisa bekerjasama menjadi satu

gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat

ditahan terjangnya. Dan itulah kewajiban yang mesti dipikul oleh bangsa

Indonesia.

Berhasil atau tidaknya bangsa Indonesia menjalankan kewajiban yang

berat itu bukanlah sebuah tujuan. Tetapi itu bukan berarti bahwa bangsa ini

50 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005). 51 Ibid., 2.

52 Ibid.

Page 22: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

harus putus asa, melainkan harus terus berupaya menyatukan tiga gelombang

tadi. Sebab persatuanlah yang kelak akan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dari tiga ideologi itu, Soekarno kemudian mengembangkannya menjadi

lima dasar (Pancasila) yang ia kenalkan saat Sidang BPUPKI 1Juni 1945. Pada

sidang itu, Soekarno memberikan pidato tentang dasar negara Indonesia. Dalam

kesempatan itu, Soekarno memperluas spektrum ideologi yang ia tulis pada

1926, meski sokogurunya tetap pada tiga fondasi awal. Lima prinsip dasar itu

adalah Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat,

Kesejahteraan dan Ketuhanan.53

Soekarno kemudian menjelaskan masing-masing dari dasar negara itu.

Kebangsaan Indonesia, menurut Soekarno bukanlah satu golongan yang hidup

dengan perasaan bersama dan ingin bersatu di atas tanah kecil Minangkabau,

Madura, Jogja atau Sunda saja. “Tetapi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh

manusia dari ujung Utara Sumatera hingga Irian. “Karena antara manusia

70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble” sudah terjadi

“Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia

orangnya adalah 70.000.000 tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,

sekali lagi satu”.

Dasar kedua yang ditawarkan Soekarno adalah internasionalisme. Tapi,

kata Soekarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar

dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur bersama-

sama dengan internasionalisme. Jadi prinsip yang pertama (nasionalisme) dan

kedua (internasionalisme) ini saling berkait erat.

Prinsip ketiga yang disinggung oleh Soekarno adalah mufakat, perwakilan

dan permusyawaratan. Indonesia, kata Soekarno bukanlah negara untuk satu

orang saja. Negara Indonesia bukan untuk satu orang, bukan satu negara untuk

53 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Sidang . . ., 92-102.

Page 23: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

satu golongan, walaupun golongan kaya. “Tetapi kita mendirikan negara semua

buat semua, satu buat semua, semua buat satu,” terang Soekarno.

Dasar yang keempat adalah kesejahteraan. Soekarno memimpikan tidak

ada kemiskinan di negara Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan bahwa di

Barat kaum Kapitalis begitu merajalela. Meski ada demokrasi disitu, tetapi tidak

ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi sama sekali.

Yang terakhir, Soekarno menyinggung tentang ide Ketuhanan. Bagi

Soekarno bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang

Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. “Hendaknya negara Indonesia

adalah negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara

yang leluasa. Segenap rakyatnya hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,

yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia Negara

yang bertuhan,” kata Soekarno.54

Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno menekankan

pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban, dimana hormat

menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan satu dengan

yang lainnya.

Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara

yang ber-Ketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah Ketuhanan

yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan

yang hormat-menghormati satu sama lain.55 Dengan menggunakan azas itulah

segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-baiknya.56

54 Ibid., 101. 55 Ibid. 56 Ibid., 102. Setelah menawarkan kelima dasar itu, Soekarno kemudian menawarkan kepada peserta sidang untuk memilih apakah lima prinsip itu yang akan dipakai sebagai dasar negara. Soekarno juga memberikan pilihan dengan memerasnya kembali dan hanya menjadi trisila atau tiga sila yakni Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan kemudian ia menyaringnya, hingga pada satu prinsip, ekasila yaitu Gotong Royong.

Page 24: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Dengan menggunakan kata Ketuhanan dan tidak merujuk pada agama

tertentu, Soekarno bermaksud untuk menjadikan Pancasila (terutama

Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi semua warga negara Indonesia tanpa

membedakan identitas agamanya. Jadi Ketuhanan menjadi semacam prinsip

moral-etis dimana kehidupan bersama yang dilandaskan atas semangat

kekeluargaan adalah merupakan pengeJawantahan dari prinsip pengabdian

kepada Tuhan.

Soekarno menggunakan kata Tuhan dengan maksud memberikan

keleluasaan kepada siapapun untuk menafsirkan kata ini. Bisa jadi ia adalah

Tuhan yang telah menurunkan prinsip-prinsip moral dan etika dalam keyakinan

umat Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan sebagainya. Ia adalah sumber dari

segala kebaikan.

Istilah Ketuhanan yang diungkapkan Soekarno, secara prinsipil bukanlah

konsep Ketuhanan yang rumit, melainkan konsep yang sangat sederhana dan

berusaha untuk dijaga jaraknya dari anasir-anasir monotheistik itu. Soekarno

menyadari bahwa beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang

berbeda-beda adalah bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah

makna terdalam dari apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ”...hendaknya ber-

Tuhan. Tuhannya sendiri”.57 Hemat penulis, rumusan Pancasila dengan melihat

penggambarannya terhadap ide Ketuhanan tersebut menjadi salah satu ide

dasar yang ditransformasikan dalam religiusitas sipil.

Setelah Soekarno mengusulkan Ketuhanan sebagai salah satu pilar negara,

tim kecil yang berjumlah sembilan orang kemudian merumuskan menjabarkan

Ketuhanan itu dengan menambahkan tujuh kata setelahnya. Sehingga sila

tersebut berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam

bagi pemeluknya”.

57 Ibid.,, 101.

Page 25: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus

1945 malam, Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut

Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia

Timur. Mereka tidak bisa menerima dimuatnya Piagam Jakarta pada

Mukaddimah Undang-undang Dasar. Jika tidak dirubah, mereka siap untuk tidak

bergabung dengan Republik yang baru berumur sehari itu.

Tanggal 18 Agustus, Hatta kemudian memanggil empat anggota PPKI yang

dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku

Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim.58 Hatta menyampaikan keberatan dari

masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah

Undang-undang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan

tujuah kata itu diganti dengan Yang Maha Esa. Sehingga sila pertama itu menjadi

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lima prinsip yang disampaikan Soekarno sempat ditawarkan untuk

menjadi tiga, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan

internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, sosio-demokrasi dan

Ketuhanan. Kata Soekarno ia menginginkan konsep demokrasi yang bukan

demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-

democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan

yang kemudian dinamakannya sebagai sosio-demokrasi.

Penjelasan sederhananya bisa dilihat di bawah ini.59

58 Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999), 34. B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 35. 59 Dikutip dari John A. Titaley, Pola Pemikiran Sosial dan Politik Aliran di Indonesia, (Salatiga: PPs Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, tt).

Page 26: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

1926 1945

Islamisme

Nasionalisme

Ketuhanan

Kesejahteraan

Demokrasi

Internasionalisme

Nasionalisme

Ketuhanan

Sosio-Demokrasi

Sosio-Nasionalisme

Pancasila Trisila

Marxisme

Ekasila

Gotong -Royong

Sebagai agama sipil, Pancasila berbeda dengan uraian agama sipil di

Amerika yang dikaji Bellah. Kita melihat bahwa unsur yang ada di dalamnya

begitu kaya. Pancasila tidak hanya berbicara tentang masalah agama semata.

Seperti yang kita cermati dari usulan Soekarno, agama menjadi salah satu unsur

pembentuk saja. Ada faksi lain seperti ideologi Marxisme dan nasionalisme.

Elemen-elemen Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan agama inilah

yang membentuk Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Dalam pidato

1 Juni 1945, Soekarno menekankan tentang pentingnya pertautan antara satu

dengan lainnya.

Konseptualisasi ide tentang Pancasila berpokok pada moralitas dan haluan

kebangsaan yang bisa dijelaskan melalui lima penegasan.60

Pertama, religiositas sebagai sumber etika dan spiritualitas begitu penting

dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ia tak pernah lepas dari kenyataan hidup.

Bangsa Indonesia selalu berusaha mendefinisikan perilakunya dengan takaran

agama dan keyakinannya. Disini konsep pemisahan secara ketat antara agama

60 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 42-46.

Page 27: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

dan negara tidak berlaku. Dalam konstitusi, negara didaulat untuk menjamin hak

tiap penduduk untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Penegasan kedua adalah bahwa kemanusiaan universal bersumber dari

hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia menjadi elan bagi etika

politik kehidupan bangsa dalam membangun hubungan dunia. Dua tujuan

ditempuh melalui dasar ini. Ke luar, bangsa Indonesia dituntut untuk

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial. Sementara ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan

memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Etika yang jadi

prasyaratnya adalah “adil” dan “beradab.”

Ketiga, aktualisasi nilai Pancasila itu didasarkan atas semangat kebangsaan

yang kuat. Di sini, Indonesia dipahami sebagai negara persatuan kebangsaan

yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Penghargaan terhadap

pluralisme atau keragaman agama, budaya dan bahasa menjadi landasan pokok

dari negara persatuan ini. Tetapi dalam keragamannya itu, Indonesia berupaya

mencari titik temu yang termanifestasi dalam Pancasila.

Keempat, dalam kosmologi Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,

dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam kenyataaannya harus menjunjung

tinggi semangat kedaulatan dalam permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan. Visi ini hendak menunjukan bahwa demokrasi Indonesia tidak

merupakan sebentuk mayoritarianisme, tetapi kerangka etika politik yang

dibingkai oleh hikmat/kebijaksanaan. Ia tidak hanya sekadar demokrasi, tetapi

sosial-demokrasi.

Kelima, dalam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, kemanusiaan,

kebangsaan serta permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan sejauh dapat

mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial ini tereJawantah dalam

keseimbangan antara jasmani dan rohani, peran manusia sebagai makhluk

individu dan sosial, dan juga kesimbangan antara hak sipil, politik, ekonomi,

Page 28: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

sosial dan budaya. Gagasan ini ada dalam diskusus sosial-demokrasi di Eropa

dan mengakar dalam tradisi sosialisme desa dan sosialisme religius masyarakat

Indonesia. Prinsip keadilan dalam Pancasila seperti menjadi jalan ketiga dalam

membangun keadilan sosial.61 Jika dua aliran utama dalam keadilan adalah

liberal-individualisme dan egalitarian-sosialisme, maka sila kelima Pancasila

mendamaikan dua teori besar tersebut. Keadilan Pancasila menjadikan

kesejahteraan warga masyarakat sebagai titik pijak sekaligus tujuannya. Tetapi

ia berbeda dengan egalitarian-sosialisme yang mengekang kebebasan individual.

Kesederajatan (egalitarian-sosialisme) diperlakukan seimbang dengan

kebebasan (liberal-individualisme).

Dengan menegaskan tentang elemen pembentuk Pancasila, kita bisa

melihat bahwa dalam beberapa titik, agama sipil di Indonesia memiliki

kesamaan dengan ide Bellah. Ia berfungsi sebagai alat integrasi dari pluralitas

agama budaya, suku dan bahasa serta nilai-nilai lokal yang telah diwariskan

secara turun temurun. Pancasila juga ada dalam posisi sebagai alat legitimasi.

Dalam kapasitasnya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber dari segala

sumber hukum. Segala produk perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh

bertentangan dengan payungnya, Pancasila. Di sisi lain Pancasila juga memiliki

dimensi profetiknya. Pancasila diyakini tidak hanya berdimensi kemanusiaan,

tetapi di dalamnya mengandung semangat transendensi yang luhur. Ada nilai

Ketuhanan yang menjadi fondasi etika bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai agama sipil agak sedikit berbeda dengan gagasan agama

sipil Bellah di Amerika. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,62

konteks ide Bellah berkaitan dengan konteks kesejarahan Amerika yang menjadi

tempat dimana kolektifitasnya bersumber dari agama, lebih spesifik lagi

Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama sebagai sumber moralitasnya.

61 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Universitas Kristen

Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007), 220-221. 62 Lihat kembali Bab II.

Page 29: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain agama. Relatif homogen, karena

meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam satu Kekristenan. Kebebasan

beragama menjadi impian para imigran yang datang ke Amerika. Mereka

membutuhkan satu dasar bersama. Meski kemudian dirumuskan satu agama

sipil, tetapi fondasinya adalah agama, lebih khusus lagi Kekristenan.

Ide tentang Tuhan seperti yang diucapkan oleh Kennedy pada dasarnya

memang bukan suatu yang eksklusif. Tuhan disana tidak merujuk pada

denominasi tertentu. Namun, betapapun inklusifnya diskursus tentang “Tuhan”

seperti yang diungkapkan oleh Bellah, jelas ia masih merujuk pada pola teistik.

Situasi ini berbeda dengan Pancasila sebagai agama sipil Indonesia. Shank

misalnya dengan baik menunjukan bahwa agama sipil itu merupakan ikatan

solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak

beriman, teis dan ateis. Di sini, pengertian Shank tentang agama sipil lebih dekat

dengan Pancasila. Ini relevan dengan Mc.Guire yang menyebut agama sipil

sebagai non-official religion atau Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai quasi-

religion.

Penjelasan mengenai Pancasila sebagai agama sipil (sebagai hasil kontrak

sosial) juga berada dalam kerangka kontrak sosial yang berbeda dengan

pengertian Rousseau. Dalam garis kesejarahan, posisi Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) bukanlah sesuatu yang bersifat hipotesis, melainkan historis.

Kontrak sosial yang dibuat dengan Pancasila sebagai dasarnya, adalah kontrak

dari mereka yang mengalami penindasan dan perjuangan menuju

kemerdekaan.63

Indonesia berbeda dengan konsepsi kontrak sosial seperti ujarannya

Rousseau. Kontrak sosial Rousseau didasari oleh munculnya kesenjangan antara

mereka yang kaya dan miskin yang merupakan mayoritas. Kondisi ini membuat

hidup menjadi tidak nyaman. Yang kaya terus menerus melindungi hartanya dan

63 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila . . . 174.

Page 30: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

yang miskin berusaha merongrongnya. Dalam situasi ini tak ada kebebasan dan

kesamaan.64 Kontrak sosial muncul dalam situasi seperti ini. Kondisi ini berbeda

dengan Indonesia dimana kontrak terjadi antara mereka yang bersama-sama

menginginkan kemerdekaan.

Yang menyamakannya adalah tujuan akhir. Baik Rousseau maupun kontrak

sosial bangsa Indonesia sama-sama menghendaki kebebasan, kesederajatan,

saling peduli dan persatuan. Kesamaan yang lain adalah keduanya bersepakat

tentang kehendak bersama (general will) yang mendorong masyarakatnya

menciptakan kebaikan bersama (common good).65

Pancasila dalam Analisis Budaya

Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno, Georg Mc T. Kahin dan

Bernard Dahm mengemukakan hal yang sama. Menurut mereka, Soekarno

adalah seorang penganut sintesa. Kahin mengatakan bahwa tidak ada penjelasan

prinsip lain dimana disana ditemukan penjelasan yang memadai tentang

gagasan demokrasi barat, Islam modernis, Marxis dan ide demokratis dan

komunalistik desa asli, yang merupakan dasar umum pemikiran sosial dari

bagian yang besar dari elit politik Indonesia setelah perang.66 Sementara Dahm

menilai kalau pidato tersebut merupakan ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan

politik yang telah dikembangkannya hingga tahun 1945. Harry J. Benda

mentikberatkan analisis kalau pidato Soekarno itu lebih sebagai usaha untuk

merangkul kekuatan Islam Politik yang mulai menguat pada hingga tahun 1944-

1945.67 Soekarno memberikan perhatiannya kepada kekuatan Islam agar

mereka tidak menuntut negara Islam untuk Indonesia. Usaha Soekarno untuk

64 Ibid. 65 Ibid., 176. 66 George Mc Turnar Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), 155. 67 Hary J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague: Institute of Pacific Relations, 1958).

Page 31: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

merangkul kekuatan Islam dengan maksud menjelaskan tentang “semua buat

semua”, sudah ia lakukan sebelum sidang BPUPKI.

Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno ini penulis akan membaca

dengan analisis budaya. Dahm, ketika menganalisis lima sila dari Soekarno ini, ia

mengaitkannya dengan konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Tidak dapat

disangkal bahwasanya lima prinsip yang termuat dalam Pancasila itu sudah

hidup dan menjadi tulang punggung dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide

tentang nasionalisme ada dalam beberapa partai politik dan juga Budi Utomo,

perhimpunan-perhimpunan di daerah; internasionalisme yang

berperikemanusiaan bisa ditemukan dalam Islam dan komunis; gagasan

demokrasi dalam pengertian mufakat, yang mewakili semua golongan, terutama

minoritas, harapan akan keadilan sosial ada dalam benak kaum Marxis serta

kepercayaan akan Tuhan ada dalam golongan-golongan agama dan mereka yang

“memerlukan” Tuhan.68

Meski ada sekian gagasan, menurut Dahm hanya ada satu saluran saja yang

dilalui oleh berbagai aliran itu. Dahm mengatakan

Tetapi hanya ada satu saluran saja yang dilalui oleh berbagai aliran itu, di mana aliran-aliran itu diuraikan seperti oleh sebuah prisma dan kemudian digabungkan kembali secara harmonis untuk membentuk satu pola baru dan saluran itu adalah Soekarno sendiri.69

Konsepsi ini yang sesungguhnya mengakar dalam konsep kekuasaan

masyarakat Jawa. Benedict Anderson menggambarkan setidaknya empat

karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat

konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu

68 Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: LP3ES, 1987), 418. 69 Ibid.

Page 32: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

pengabsahan.70 Kekuasaan itu konkret dalam pengertian bahwa bagi orang Jawa

kekuasaan itu bukan sesuatu yang bersifat teoritis, tetapi realitas yang benar-

benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak bisa diraba bersifat ilahi, ada

dalam setiap aspek dunia alami, batu, kayu, awan dan api. Kekuasaan juga

bersifat homogen, sama jenisnya sama sumbernya. Kekuasaan di tangan satu

individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di

tangan individu atau kelompok lain. Dalam pandangan orang Jawa alam semesta

tidak bertambah luas dan tidak juga bertambah sempit. Karena kekuassaan yang

terdapat di dalamnya selalu tetap. Dan yang terakhir, dalam pandangan Jawa,

karena kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan

itu sendiri lebih dahulu ada daripada hadirnya konsekuensi perbuatan; baik dan

buruk.71

Konsepsi ini yang membedakannya dengan ide kekuasaan Barat. Dalam

Habits of the Heart, Bellah menunjukan konstruksi kekuasaan yang multijalur itu

dalam masyarakat Amerika. Menurut Bellah

Cultures are dramatic conversations about thing that matter to their participants, and American culture is no exception. From its early days, some Americans have seen the purpose and goal of the nation as the effort to realize the ancient biblical hope of a just and compassionate society. Others have struggled to shape the spirit of their lives and the laws of the nation in accord with the ideals of republican citizenship and participation. Yet others have promoted dreams of manifest destiny and national glory. And always there have been the proponents, often passionate, of the notion that liberty means the spirit of enterprise and the right to amass wealth and power for one-self.72

70 Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Cornell University Press, 1990), 22-23. Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986). 71 Bennedict Anderson, Language and Power . . . Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa. . . 24-25 72 Robert N. Bellah, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (Harper and Rows Publishers, 1986), 28.

Page 33: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Bellah melanjutkan bahwa tema-tema tentang kesuksesan, kebebasan dan

keadilan semuanya ditemukan dalam tiga sokoguru budaya bangsa Amerika,

Biblikal, Republikan dan Individualis modern yang satu dengan lainnya saling

bertukar makna dan melakukan percakapan sekarang.73 Model kekuasaan

seperti ini kontras dengan pemikiran orang Jawa.

Pernyataan Anderson tentang konsepsi kekuasaan dalam masyarakat Jawa

yang homogen itu, kata R. William Liddle, hanya memfokuskan pikiran kita pada

sebuah kepercayaan yang berkaitan dengan konsepsi kebatinan Jawa yang

menyisakan pertanyaan tentang kegunaannya pada masa sekarang.74 Ide

kekuasaan seperti itu berusaha untuk menjelaskan bahwa hanya ada satu jalur

dari sekian banyak jalur di dalam struktur budaya politik Indonesia.75

Dengan menggunakan pendekatan analisa budaya, Eka Darmaputera

menunjukan bahwa Pancasila tidak bisa dipahami kecuali dalam kerangka

keIndonesiaan, tidak dalam perspektif barat misalnya. Menurut Darmaputera,

Pancasila merupakan rumusan teoritis dan abstrak dari satu warisan budaya

yang dalam.76 Kebudayaan Indonesia yang berjasa melahirkan Pancasila itu, jika

kemudian dicarikan sentrumnya, maka kita akan bertemu dengan Jawa. Kata

Niels Mulder, Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung

halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara

penduduk Indonesia yang amat beraneka.77

Dalam masyarakat Jawa, etika kekuasaan disarikan dari prinsip hidup

mereka yang sangat menekankan pada tiga konsep dasar; keserasian, cocok dan

rasa. Keserasian menekankan agar konflik bisa dihindari dengan menekankan

keseimbangan yang bersifat status-quo. Sementara “cocok” menekankan

73 Ibid, 28. 74 R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 4. 75 Ibid., 5. 76 Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK, 1988), 129. 77 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), 1.

Page 34: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

pemeliharaan akan ketertiban78 yang kemudian membagi tindakan manusia

menjadi pantes dan ora pantes. Sementara konsep rasa menekankan pada aspek

terdalam kehidupan manusia.79 Tiga konsepsi dasar itu yang menjadi faktor

integratif masyarakat Jawa yang sesungguhnya plural jika dilihat dari kategori

struktur sosialnya Clifford Geertz.

Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga tipe; abangan, santri dan

priyayi.80 Abangan merupakan kelompok sinkretik yang menjaga secara

seimbang unsur animisme, Hindu dan Islam dengan menjadikan desa sebagai

inti struktur sosialnya. Sementara santri adalah kelompok yang berusaha

mengurangi unsur animisme itu dan kebanyakan dari mereka adalah pedagang

juga petani yang lebih kaya. Elemen yang ketiga adalah priyayi yang akar-

akarnya terletak pada kraton Hindu Jawa dan masih mengembangkan etiket

kraton itu.81 Geertz tidak menafikan bahwa kerap terjadi konflik dalam tiga

lapisan masyarakat ini. Ketegangan yang cukup kuat terjadi antara kaum santri

dan dua kelompok lainnya.82 Kebencian juga dikobarkan oleh petani terhadap

kaum aristokrasi yang eksploitatif serta kelompok pedagang santri. Berbeda

halnya dengan model konflik santri dan dua kelompok lain yang relatif terbuka,

pertentangan ideologi antara abangan dan priyayi cenderung lebih tertutup.

Para priyayi biasanya lebih menjaga jarak dari kelompok abangan meski mereka

menganggap praktek mistik abangan itu “hanya takhayul” dan menilai mereka

terlalu cepat mudah percaya. Sebaliknya, abangan menganggap bahwa teori

mistik kalangan priyayi itu sesuatu yang di luar pemahaman abangan. Respek

78 Tentang harmoni sosial di kampong Jawa bisa disimak dalam Patrick Guinnes, Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung (Oxford University Press, 1986). 79 Eka Darmaputera, Pancasila . . . 92 80 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya), 1981. 81 Ibid., 6-8. 82 Ibid., 477.

Page 35: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

ditunjukan oleh abangan terhadap kepercayaan kelompok priyayi, tapi tidak

dengan gaya hidupnya.

Yang terlihat jelas dalam hubungan abangan-priyayi adalah konflik kelas.

Priyayi menuduh orang desa tak tahu tempatnya dan berpotensi mengganggu

keseimbangan organis masyarakat. Dalam situasi ini, pandangan abangan soal

kelas hampir sama dengan santri. Mereka menentang priyayi atas hak

istimewanya. Abangan melihat priyayi tidak pada jarak yang jauh dengan

kekuasaan yang tinggi. Begitu juga sebaliknya. Priyayi tidak melihat abangan

sebagai masa terdiferensiasi yang animistis dan dapat diatur oleh wakil-wakil

mereka.

Terlepas dari perbedaan di level struktur sosial, ada hal yang

memersatukan elemen-elemen sosial dalam masyarakat Jawa ini. Menurut

Geertz itu ada dalam rasa satu kebudayaan.83 Kata Geertz hal itu dilihat dari dua

kacamata.84 Pertama, perasaan bahwa masa sekarang mengalami kemerosotan

jika dilihat dari masa lalu, khususnya jika dilihat dari ukuran tradisional, praktek

yang dipakai oleh orang tua mereka dahulu. Kedua, rasa kebangsaan yang

sedang tumbuh dan memainkan sentimen harga diri bangsa dan menjadi

penghadang bagi disintegrasi sosial. Alasan inilah yang pada gilirannya menjadi

faktor integratif.

Geertz mengatakan

Semua orang Jawa, santri, priyayi, abangan, menganggap bahwa beberapa kebenaran umum tertentu sudah terbukti dengan sendirinya seperti halnya di balik pembagian atas Katolik, Protestan dan Yahudi, orang Amerika semuanya berpegang pada nilai-nilai tertentu yang mencakup semua yang dalam banyak hal misalnya, membuat seorang Katolik Amerika pandangan dunianya lebih mirip dengan seorang Protestan Amerika, daripada dengan, katakanlah seorang Katolik Spanyol. Perhatian yang tinggi terhadap formalitas status;

83 Ibid., 488. 84 Ibid.

Page 36: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

penitikberatan pada kesopanan yang kaku dan penyembunyian perasaan serta penghindaran diri dari rangsangan luar yang kuat; pementingan batin; pandangan mengenai agama sebagai “ilmu” fenomenologis dan puasa sebagai “ilmu terapan”, idea bahwa kekuatan dan ketetapan kemauan merupakan salah satu unsur yang paling penting untuk hidup secara efektif; keyakinan bahwa orang (khususnya kalau mereka itu bertetangga) harus rukun, yaitu bekerjasama dan tolong menolong (hampir tak seorang pun yang sama sekali menghindarkan diri dari mengadakan selametan), bahwa kepercayaan agama orang lain hendaknya dipandang secara relativis, sebagai sesuatu yang cocok untuk mereka jika tidak untuk semua orang kesemuanya ini merupakan kepercayaan dan nilai-nilai yang tampak di seluruh masyarakat Jawa, bahkan juga di kalangan santri, yang perbedaannya dari yang lain paling menonjol.

Kecenderungan santri yang kuat condong pada rasa kebudayaan Jawa

sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Keunikan Islam Jawa, kata Mark

Woodward, tidak hanya pada aspek kebudayaan pra Islam yang mereka

pertahankan, melainkan karena konsep-konsep Sufi mengenai kewalian, jalan

mistik, dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi kultus kraton

(imperial cult).85 Geertz menambahkan hal yang membuat Islam Jawa terasa lain

adalah karena ada banyak ideologi santri yang dibungkus dengan istilah Jawa:

titik berat pada fenomenologi perasaan, pada slamet sebagai tujuan, relativisme

yang didasarkan atas bermacam-macam perasaan untuk bermacam-macam

orang, konsep-konsep seperti “alus” dan “hati” (ati) dan sebagainya.86 “Islam

“hampir-hampir” menjadi “ilmu Kejawen” yang lain” tambah Geertz.87

Dalam studinya Geertz, ada dua momentum yang membuat kolektifitas

masyarakat Jawa terjaga, yakni peringatan hari raya kemerdekaan dan Riyaya,

lebaran atau hari raya setelah puasa. Hari raya kemerdekaan 17 Agustus

85 Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 2004), 364. 86 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi . . . 494. 87 Ibid.

Page 37: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

diperingati dengan menggunakan lambang yang sebagian besar bukanlah Islam

atau abangan, dan bukan pula mistik, tetapi lambang nasionalisme modern,

lambang inteligensia.88

Namun, pada prakteknya peringatan hari kemerdekaan itu, tidak

mendapatkan dukungan secara massif dan menjadi faktor integratif yang kuat.

Salah satu pasalnya adalah karena setiap peristiwa yang menggabungkan

kelompok yang antagonistik, tidak hanya menekankan kemauan mereka untuk

bekerjasama tetapi juga perbedaannya. Inilah yang terjadi pada perayaan hari

kemerdekaan seperti yang diamati Geertz. Hal yang sama juga sesungguhnya

terjadi pada perayaan Riyaya.

Riyaya, merupakan peringatan hari raya umat Islam setelah menjalankan

puasa. Meski umat Islam yang menjalankan puasa, tetapi saat riyaya baik

golongan abangan maupun priyayi ikut serta memeringatinya. Model toleransi

seperti inilah yang menjadi kekhasan masyarakat Jawa, karakter yang

fundamental, meski mereka berasal dari berbagai latar belakang ideologi. Inti

dari riyaya adalah permintaan maaf yang biasanya dibedakan atas dasar

statusnya. Anak meminta maaf pada orang tua, buruh pada majikan, bekas

murid pondok pada kiainya, murid mistik pada gurunya dan seterusnya. Tapi,

seperti halnya hari raya kemerdekaan, usaha untuk menyatukan kelompok-

kelompok yang antagonistik itu juga tak lepas dari konflik. Misalnya dalam kasus

penanggalan atau cara menghitung hari. Santri modernis dan santri tradisionalis

sering berbeda pandangan tentang hal ini. Santri modernis menggunakan model

perhitungan (hisab) sementara santri tradisional lebih percaya dengan model

penglihatan langsung (rukyah). Di luar itu ada kelompok lain yang menggunakan

perhitungan dengan model yang berbeda dari santri modernis ataupun

tradisionalis. Meski ada disharmoni di dalamnya, tetapi Riyaya adalah ritus yang

paling bisa membangun suasana integrasi lebih dalam.

88 Ibid., 504

Page 38: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Pancasila, Nasionalisme dan Tiga Lapis Budaya

Salah satu momentum integrasi yang disinggung oleh Geertz adalah rasa

nasionalisme yang muncul dalam masyarakat Jawa melalui perayaan hari

kemerdekaan. Dalam kerangka yang lebih luas, kemerdekaan Indonesia ada

dalam rentang masa dimana gairah nasionalisme merupakan gejala yang

tumbuh subur terutama di negara-negara bekas jajahan. Pada bagian ini akan

dijabarkan mengenai formasi nasionalisme yang dihubungkan dengan integrasi

sosial. Setelah membahas dua tema tersebut, penulis kemudian menjabarkan

tentang teori lapisan budaya yang ditulis Soekarno untuk menjangkarkan

Pancasila, khususnya sila pertama. Jika nasionalisme lebih merupakan faktor

eksternal yang membuat Pancasila itu memiliki fungsi integrasi, teori lapisan

budaya yang disampaikan oleh Soekarno menjadi faktor internalnya.

Diskursus nasionalisme atau kebangsaan yang berkembang pada era

menjelang kemerdekaan, memang tidak dapat dilepaskan dari peran kelompok

elit, yang terutama, mendapatkan pendidikan kesarjanaan di Barat.89 Mereka

inilah yang pada perkembangannya menggelorakan semangat kebangsaan.

Pembahasan dalam bab ini akan dimulai dengan memantapkan pengertian

mengenai nasionalisme, dengan tujuan agar ekspresi dari semangat kebangsaan

seperti yang ditata pada masa awal pergerakan kebangsaan, tidak kehilangan

fondasi teoritiknya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menelaah

maksud dari nasionalisme itu sesuai dengan apa yang dikobarkan oleh aktivis

pergerakan kebangsaan pada masa tersebut.

Secara teoritik, nasionalisme sebagai konsep politik dimaksudkan untuk

merujuk pada satu prinsip dimana unit politik dan kebangsaan haruslah

89 Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918, terj. “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918” (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), 26-39.

Page 39: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

sebangun.90 Inilah pengertian nasionalisme yang paling baik, jika ditempatkan

dalam konteks gerakan. Meski demikian, jika kita bandingkan dengan konsep

negara, maka pengertian kebangsaan atau nasionalisme sebenarnya tidak terlalu

mementingkan dimensi politiknya.91 Dalam definisi etimologinya, nation yang

berasal dari kata nasci berarti kelompok etnis-suku yaitu orang-orang yang lahir

pada tempat dan teritori yang sama.92 Menurut Max Webber, tak hanya dimensi

politik yang tidak terlalu penting dalam konteks itu, tetapi juga dimensi ekonomi

kurang begitu mendapatkan tempat.93 Bagi Weber apa yang disebut bangsa lebih

sebagai sentimen prestise yang seringkali mengakar ke bawah hingga

menyentuh masa borjuis kecil suatu struktur politik yang mencapai sukses besar

dalam pencapaian historis berbagai posisi politik.94 Disini bangsa terkait dengan

budaya spesifik yang hanya bisa dijalankan oleh mereka yang memiliki

hubungannya dengan budaya tersebut. Dengan begitu, prestise telanjang

kekuasaan tidak bisa langsung ditransformasikan ke dalam bentuk-bentuk

khusus prestise yang lain terutama pada konsep tentang bangsa.95

Weber menambahkan bahwa manifestasi dari ide itu, dalam

perkembangan awalnya dan yang paling bersemangat mengkampanyekan

diskursus tersebut, mengaitkannya dengan legenda sebuah misi ”yang sudah

ditakdirkan”.96 Elemen lain dari ide itu juga berkait dengan pemahaman bahwa

misi itu hanya difasilitasi melalui pemeliharaan keunikan kelompok yang

dibentuk menjadi sebuah bangsa.

90 Ernest Gellner, Nation and Nationalism (Cornell University Press, 1983), 1. 91 T.K. Oommen, Citizenship, Nationality and Ethnicity: Reconciling Competing Identities, terj. Munabari Fahlesa, “Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Etnisitas” (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 44. 92 Ibid. 93 Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, Gerth and Mills (eds) (New York: Oxford University Press, 1975), 171.

94 Ibid, 171-172. 95 Ibid, 172, 176. 96 Ibid., 176.

Page 40: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Kebangkitan bangsa sebagai bagian dari warga negara atau sebagai entitas

politik merupakan produk Revolusi Prancis. Nasionalisme menjadi loyalitas dan

kepatuhan yang populer pada abad modern yang diikat dengan kekuasaan

politik baik yang diinstitusionalisasikan atau yang dibangun untuk melawan

negara tersebut. Anthony Marx menyebut nasionalisme ini sebagai the collective

soul envisioned as inhabiting and enlivening the political body, linking individuals

en masse to the center.97 Marx kemudian menelusuri apa yang ia sebut sebagai

exclusionary dalam teori nasionalisme. Mengutip Lewis Namier, ide tentang

agama pada abad 16 merupakan kata bagi nasionalisme atau agama menjadi

semen bagi nasionalisme.98 Ikatan sosial dari agama dapat membangun kohesi

nasional. Namun, agama tidak dapat didamaikan dengan ide nasionalisme awal,

karena identitas iman tidak bisa didamaikan dengan batas-batas negara sekuler.

Sebelum reformasi, Katolik relatif universal, menggambarkan ikatan-ikatan yang

melintasi batas-batas dan jauh dari penguasa negara menuju Roma.99 Ini yang

dimaksud oleh Marx sebagai ide eksklusi itu.

Sementara, Benedict Anderson dengan spirit antropologi, melihat bangsa

sebagai komunitas politik yang dibayangkan dan dibayangkan secara inheren

terbatas dan kedaulatan.100 Dikatakan dibayangkan karena anggota terkecil dari

suatu komunitas sekalipun tidak pernah tahu anggotanya, berjumpa dengannya,

mendengar darinya apa yang ada dalam pikiran mereka, bayangan tentang

kehidupan mereka.101

Castell menganggap bahwa keterputusan antara beberapa teori sosial dan

kenyataan masa kini datang dari sebuah fakta bahwa nasionalisme dan bangsa,

97 Anthony W. Marx, Faith in Nation: Exclusionary Origins of Nationalism (Oxford University Press, 2003), 6. 98 Ibid, 24. 99 Ibid., 25. 100 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (New York: Verso, 1991), 5-6. 101 Ibid, 6.

Page 41: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

memiliki kehidupannya sendiri, independen dari negara bagian, meski

dilekatkan dalam konstruksi budaya dan proyek politik.102 Etnisitas, agama,

bahasa, teritori, per se, tidak cukup untuk membangun bangsa dan

mempengaruhi nasionalisme.103 Pengalaman bersama Jepang dan Amerika

Serikat menunjukkan bahwa mereka adalah negara dengan identitas

kebangsaan yang kuat dan kebanyakan dari mereka merasakan serta

mengekspresikan perasaan patriotik yang kuat. 104

Jepang merupakan salah satu bangsa yang secara etnis, paling homogen

dan Amerika merupakan bangsa yang heterogen. Tapi dalam kasus keduanya,

mereka memiliki sejarah dan proyek bersama kala membangun narasi sejarah

diatas sebuah pengalaman, yang secara sosial, etnis, teritori dan gender

terdiversifikasi, tetapi menjadi rakyat di masing-masing negara.

Ada empat poin analisis utama yang harus ditekankan ketika

mendiskusikan nasionalisme kontemporer dengan menggunakan teori sosial

tentang nasionalisme.105 Pertama, nasionalisme kini diarahkan pada konstruksi

negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat. Sehingga, secara historis bangsa

adalah entitas yang independen dari negara. Kedua, konsepsi bangsa dan

negara-bangsa tidak dibatasi oleh negara-bangsa modern sebagaimana yang

dikonstitusikan di Eropa yang pada dua ratus tahun kemudian diikuti oleh

Revolusi Perancis. Pengalaman politik saat ini menolak ide bahwa nasionalisme

secara eksklusif dikaitkan dengan masa pembentukan negara-bangsa modern,

yang mencapai klimaksnya pada abad 19, direplikasi pada proses dekolonisasi

pertengahan abad 20 melalui impor yang dilakukan oleh negara-bangsa barat ke

dunia ketiga. Ketiga, nasionalisme itu bukan hanya fenomena kaum elite,

melainkan juga reaksi terhadap elite global. Ini tercermin dalam semua gerakan

102 Manuel Castells, The Power of Identity, (Blackwell Publishing Ltd, 2010), 31. 103 Ibid., 32. 104 Ibid. 105 Ibid., 32-33.

Page 42: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

sosial, dimana kepemimpinan cenderung untuk lebih terdidik dan terpelajar

daripada pengarahan masa untuk kepentingan kelompok nasionalis. Keempat,

karena nasionalisme kontemporer lebih reaktif daripada pro-aktif, maka

nasionalisme cenderung bersifat kultural daripada politis. Sehingga,

orientasinya lebih pada mempertahankan kultur yang sudah ada dan

terlembagakan daripada membentuk atau mempertahankan sebuah negara.

Dengan demikian, nasionalisme dibentuk oleh aksi dan reaksi sosial

melalui elit dan masa, yang oleh Hobsbawn digunakan sebagai counter terhadap

penekanan Gellner terhadap high culture, dan kemudian disebut sebagai asal-

usul eksklusif dari nasionalisme.106 Kritik terhadap Gellner oleh Hobsbawm

ditunjukkan karena nasionalisme tidak hanya fenomena atas seperti yang

diekspresikan oleh pemerintah, para juru bicara, dan aktivis gerakan nasionalis.

Ekspresi itu juga bisa dilihat dari kebanyakan orang yang menjadi objek dari

aksi dan propaganda mereka. Namun, para sejarawan sosial telah mempelajari

bagaimana mencari sejarah ide, opini dan perasaan pada tingkat sub-literari.

106 E.J. Hobsbawm, Nations and Nationalism Since 1780: Programme, Myth, Reality, Second Edition (Cambridge Uiversity Press, 1992), 10-11. Hobsbawm memiliki empat pandangan terhadap nasionalisme. Pertama, mengikuti Gellner, Hobsbawm mengartikan nasionalisme sebagai suatu prinsip yang beranggapan bahwa unit politik dan nasional hendak selaras. Kedua, bangsa bukanlah suatu kesatuan sosial yang primer dan tidak mengalami perubahan. Bangsa secara eksklusif miliki suatu masa tertentu yang secara historis masih baru. Bangsa hanya merupakan suatu kesatuan sosial belaka sejauh ini berkaitan dengan negara teritorial modern tertentu, negara-bangsa, dan tak ada gunanya mendiskusikan bangsa dan nasionalitas kecuali sejarah keduanya berkaitan dengan negara-bangsa. Bagi Hobsbawm, nasionalisme hadir sebelum bangsa. Bangsa tidak menciptakan negara dan nasionalisme justru sebaliknya. Ketiga, masalah kebangsaan, sebagaimana kaum Marxis lama menyebutnya, merupakan pertemuan antara politik, teknologi dan transformasi sosial. Bangsa eksis tidak hanya sebagai fungsi dari negara teritorial tertentu atau aspirasi untuk memapankan suatu negara teritorial tetapi juga dalam konteks tahapan tertentu dari teknologi dan perkembangan ekonomi. Keempat, bangsa-bangsa adalah fenomena ganda, yang secara esensial dibangun dari atas, tetapi juga tidak dapat dipahami bila tidak dianalisa dari bawah yakni dalam istilah-istilah mengenai asumsi-asumsi, harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, serta kepentingan rakyat, yang tidak perlu nasional dan lebih kurang nasionalis. Kelima, perkembangan bangsa-bangsa dan nasionalisme di negara-negara yang telah lama mapan seperti Inggris dan Perancis, bagi Hobsbawm tidak terlalu menarik untuk dibahas.

Page 43: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Dengan begitu, maka ada tiga hal yang sudah cukup jelas bagi

Hobsbawm.107 Pertama, ideologi-ideologi resmi negara dan gerakan-gerakan

tidak mengarah pada apa yang ada dalam pikiran sebagian besar warga yang

setia atau pun para pendukungnya. Kedua, kita tidak dapat mengasumsikan

bahwa bagi sebagian besar orang, identifikasi nasional tidak meliputi atau

senantiasa atau pernah superior dan terhadap sisa perangkat identifikasi yang

membentuk makhluk sosial. Kenyataannya, ini selalu terkait dengan identifikasi

jenis lain, bahkan ketika dirasa menjadi superior dari yang lainnya. Ketiga,

identifikasi nasional dan apa yang diyakini termasuk dapat berubah dan

berganti sewaktu-waktu bahkan pada masa yang singkat.

Tetapi Castells mengkritik pandangan Hobsbawn dan Bennedict Anderson,

dan mengatakan bahwa nasionalisme merupakan sumber identitas yang tidak

dapat direduksi menjadi periode sejarah partikular dan negara-bangsa

modern.108 Mereduksi nasionalisme ke dalam proses konstruksi negara-bangsa

tidak memungkinkan untuk menjelaskan perkembangan yang simultan dari

nasionalisme postmodern dan kemunduran negara modern.

Rubert de Ventos, seperti dikutip Castells, mengusulkan teori yang lebih

kompleks untuk memahami kemunculan identitas nasional melalui interaksi

historis dari empat faktor.109 Pertama faktor utama yang didalamnya adalah

berbicara tentang etnisitas, teritori, bahasa, agama. Kedua, faktor generatif yakni

perkembangan komunikasi dan teknologi, formasi kota, kemunculan angkatan

perang modern dan kerajaan yang tersentralisasi. Ketiga, induced factors, antara

lain kodifikasi bahasa ke dalam tata bahasa yang baku, pertumbuhan birokrasi

dan sistem pendidikan yang mapan. Keempat faktor reaktif, yakni pertahanan

identitas sebagai yang tertekan dan ditundukan oleh kelompok sosial dan

107 Ibid., 11. 108 Manuel Castells, The Power of Identity . . . 34. 109 Ibid.

Page 44: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

apparatus institusional dominan, memicu pencarian terhadap identitas

alternatif dalam memori kolektif masyarakat.

Dalam relasi antara bangsa dan negara, Castell mengeksplorasi dua kasus

berbeda yakni kasus Uni Soviet dan Catalunya, Spanyol. Menurut Castell, kasus

yang dihadapi Uni Soviet itu menunjukan bangsa yang melawan negara (nations

against state). Sementara kasus kedua, dihadapi oleh Catalunya yang

diidentifikasi sebagai bangsa tanpa negara (nations without state).110

Mengutip Enric Prat de la Riba, Castell menganjurkan agar perlu

membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik

yang secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal

adalah kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang

untuk menjagai independensi dan otoritasnya.111 Pengalaman Catalunya

mengajak kita untuk merefleksikan kondisi dimana sebuah bangsa eksis dan

merekonstruksi dirinya, bukan sebagai sebuah negara-bangsa, dan tanpa

bermaksud mendirikan salah satu diantaranya. Pimpinan tertinggi Catalunya,

Jordi Pujol menuturkan kalau Catalunya merupakan bangsa tanpa negara.112

Kasus Catalunya itu cukup rumit, karena mereka memiliki bahasa dan

budayanya sendiri. Tetapi negara mereka adalah Spanyol.

Berdasarkan penggambaran kasus di Uni Soviet serta Catalunya, Castells

menuturkan kalau ia menggarisbawahi bangsa sebagai cultural communes

constructed in people’s minds and collective memory by the sharing of history and

political projects.113 Dua kasus kembali mengambarkan karakteristik dari

periode sejarah saat ini. Pertama, disintegrasi negara dengan banyak bangsa

yang mencoba untuk tetap berdaulat secara penuh atau menolak pluralitas

konstituen bangsanya. Kasus ini menimpa Uni Soviet awal, Yugoslavia, Ethiopia,

110 Ibid., 35-54. 111 Ibid., 45. 112 Ibid., 46. 113 Ibid., 54.

Page 45: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

Cekoslovakia, dan mungkin pada masa akan datang akan melanda Sri Lanka,

India, Indonesia, Nigeria dan negara lainnya. Disintegrasi ini menghasilkan apa

yang disebut sebagai quasi-nation-states.114 Kedua, kita mengamati

perkembangan negara yang hanya menjadi negara bagian, tetapi memaksa

pemerintahan pusat untuk menyesuaikan dan mengakui kedaulatan seperti

dalam kasus Catalunya, Negara Basque, Flanders, Wallonie, Scotland, Quebec,

Kashmir, Punjab dan Timor Timur.115

Setelah membahas tentang kebangkitan bangsa-bangsa yang

terintegrasikan oleh paham nasionalisme, Soekarno memberikan kerangka

historis dan sosiologis Pancasila dari lapisan budaya bangsa Indonesia. Pidato

tentang hal tersebut kemudian diterbitkan pada peringatan Lahirnya Pancasila 1

Juni 1964.

Seperti yang sering dikatakan Soekarno ia merasa bukan orang yang

menemukan Pancasila. Pancasila itu sendiri lahir dari rahim bangsa Indonesia.

Soekarno hanyalah menggali dan meramu isi atau kandungan itu. Pancasila, oleh

Soekarno diartikan sebagai pemerasan kesatuan jiwa Indonesia, manifestasi

persatuan bangsa dan wilayah Indonesia dan weltanschauung bangsa Indonesia

dalam penghidupan nasional dan internasional.116

Dalam paparannya itu, Soekarno menyatakan bahwa pemaknaan terhadap

Pancasila harus terlebih dahulu diawali dengan memahami: meja statis, Leitstar

(bintang pimpinan) dinamis.117 Bagi Soekarno, jika bangsa Indonesia hendak

mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, serta mencari

Leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, bangsa Indonesia harus

menggali sedalam-dalamnya dalam jiwa masyarakat itu sendiri. Dasar yang

114 Ibid., 55.

115 Ibid. 116 Soekarno, Tjamkan Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara, Panitia Nasional

Peringatan Lahirnja Pantja Sila, 1 Djuni 1945-1 Djuni 1964, 3. 117 Ibid., 73.

Page 46: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

statis itu harus terdiri dari elemen yang terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia.

Tanpa itu, tidak mungkin dijadikan dasar bersama.

Sementara untuk menjadi Leitstar diperlukan tiga syarat.118 Pertama,

pemimpin harus bisa menggambarkan, mengiming-imingi, melukiskan cita-cita

yang dimiliki rakyat. Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa memancing

rakyat (bahasa Soekarno mengiming-imingi) agar memiliki tekad untuk

mencapai cita-citanya. Kedua, harus bisa memberi kepada rakyat. Ketiga,

menanamkan kemampuan yang sebenar-benarnya, tidak hanya keyakinan atau

rasa mampu.

Soekarno kemudian menyinggung lapisan budaya bangsa Indonesia yang ia

gali sehingga menjadi sumber Pancasila. Lapisan sebelum Hindu, bagi Soekarno

tidak kalah religiusnya dibanding pada masa Hindu. Masyarakat saat itu sudah

memiliki budaya, juga agama. Meski agama yang dianut oleh masyarakat pada

waktu itu berbeda dengan sekarang. Masyarakat pada zaman ini sudah mahir

dalam bercocok tanam dan budaya wayang.

Pada lapisan Hinduisme, Soekarno menemukan sisi politik berupa

kerajaan-kerajaan, seperti Negara Taruma, Negara Kalingga, Negara Mataram

kesatu, Negara Sriwijaya, dan lain-lain. Lapisan atau saf Islam yang dalam bidang

kenegaraan bisa dilihat pada Kerajaan Demak, Pajang, Mataram kedua dan

lainnya. Berikutnya adalah lapisan imperialism ketika bangsa Indonesia

melakukan kontak dengan Eropa. Inilah masa yang oleh Soekarno dinilai sebagai

titik terendah kehidupan perekonomian bangsa Indonesia.

Dari aspek pekerjaan, Soekarno menggambarkan evolusi pekerjaan

bangsa Indonesia. Pertama, bangsa Indonesia hidup di gua dengan pekerjaan

memburu dan mencari ikan. Kedua, beternak. Pekerjaan ini membuat manusia

terikat pada tempat. Ketiga, bercocok tanam. Keempat, kerajinan. Masyarakat

118 Ibid.,75-77.

Page 47: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

yang bekerja pada aspek ini membuat gerobak, cangkul, pedang dan lain-

lainnya. Hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian. Kelima, industrialisme.119

Sementara dari sisi keyakinan, Soekarno memetakan tentang keyakinan

manusia kepada apa yang ia yakini sebagai Tuhan. Pertama, Tuhan manusia,

yang dilekatkan pada alam. Misalnya manusia pada masa tertentu menganggap

Tuhan itu Guntur. Atau ada juga manusia yang menyembah gunung, matahari,

bulan dan sebagainya.

Kedua, keyakinan yang timbul karena manusia hidup dari peternakan. Di

saat keseharian mereka bergumul, dengan binatang ternaknya, maka ada

ketergantungan terhadap binantang-binatang itu. Binatang itu yang memberikan

susu, daging, kulit kepada manusia. Ia memiliki Tuhan dalam bentuk binatang

itu.

Ketiga, ekspresi Tuhan dari manusia yang hidup dari pertanian. Sama

halnya dengan masyarakat yang awalnya menggantungkan hidup dari

peternakan dan kemudian mensakralkan hewan-hewan itu, masyarakat di dunia

pertanian juga menggambarkan Tuhan kepada sebagai sesuatu yang menguasai

pertanian. Munculah Dewi Laksmi, Dewi Sri dan lainnya.

Keempat, Tuhan di taraf yang keempat ini ada dalam akal pikiran manusia.

Bagi manusia yang berada dalam fase ini, Tuhan ada dalam alam gaib. Ia tidak

kelihatan. Mata tidak bisa melihatnya. Juga tidak bisa diraba, dilihat. Karena itu,

akalah yang menjadi penentu kehidupan manusia. Kelima adalah fase

industrialisasi. Fase ini yang menyebabkan timbulnya kepercayaan bahwa

Tuhan itu tidak ada.120

Bagi Soekarno, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempercayai adanya

zat yang baik, yakni Tuhan. Bangsa Indonesia merupakan kumpulan masyarakat

yang memiliki kepercayaan. Tingkat masyarakat Indonesia, terutama adalah

119 Ibid., 86. 120 Ibid., 88-91.

Page 48: BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN …...bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa

masyarakat agraris. Bahwa ada yang hidup di alam industrialisasi, jumlahnya

sedikit, kata Soekarno. Kemudian Soekarno mengatakan bahwa Ketuhanan ia

jadikan sebagai alat pengikat salah satu elemen dari meja statis dan Leitstar

dinamis itu.

Keyakinan terhadap Tuhan itu hidup dalam jiwa bangsa Indonesia. Ia tidak

pernah mati. Bahwa kemudian manusia mengkonseptualisasikannya secara

berbeda, tapi Tuhannya tetap. “Pengiraan manusia yang berubah. Tuhannya

tetap”, kata Soekarno.121 Tuhan, bagi Soekarno adalah reel iets.

Usaha Soekarno untuk menggali akar kultural Pancasila sesungguhnya

harus dipahami bahwa ia membutuhkan legitimasi. Pancasila dengan demikian

memiliki legitimasi yang mengkombinasikan dua faktor, endogen (lapisan

budaya) dan eksogen (nasionalisme).

121 Ibid., 92.