78 BAB IV MENGGUGAT FUNGSI GONG PERDAMAIAN DUNIA SEBAGAI SIMBOL REKONSILIASI LINTAS AGAMA DI AMBON Pendahuluan Kehadiran Gong Perdamaian Dunia tahun 2009 di Ambon, ibu kota Provinsi Maluku merupakan salah satu momentum besar yang turut membuka mata seluruh dunia terkait dengan konflik komunal bernuansa SARA yang terjadi di Maluku tahun 1999-2004. Bunyi Gong yang dipukul pada saat peresmian yang berlokasi di Pusat Kota Ambon sekaligus menandakan bahwa Ambon telah aman dan damai. Gema gong membawa pesan dan harapan bahwa konflik semacam ini tidak akan terulang lagi. Gong Perdamaian Dunia menjadi salah satu icon terbesar di kota Ambon yang menambah panjang daftar Ambon sebagai kota Manise. Maksud pemerintah pusat dan Komite Perdamaian Dunia mendatangkan Gong Perdamaian Dunia di Ambon adalah agar gong tersebut menjadi simbol perdamaian, dimana Ambon menjadi Kota Perdamaian Dunia. Namun, tujuan utama hadirnya Gong Perdamaian Dunia malah lebih bergesar ke tujuan sampingannya yaitu sebagai destinasi pariwisata bagi para turis, sebab jarang sekali ada kegiatan-kegiatan tentang perdamaian yang dilakukan dengan menggunakan monument Gong Perdamaian Dunia sebagai medianya. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki peran penting untuk memberi informasi pada masyarakat tentang pentingnya Gong Perdamaian sebagai simbol Rekonsiliasi malah tidak menaruh perhatian
23
Embed
BAB IV MENGGUGAT FUNGSI GONG PERDAMAIAN DUNIA …...merupakan inisiatif atau proyek pemerintah dan Komite Perdamaian Dunia untuk memberi kesan pada “pihak luar” dan menjadi tanda
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
78
BAB IV
MENGGUGAT FUNGSI GONG PERDAMAIAN DUNIA
SEBAGAI SIMBOL REKONSILIASI LINTAS AGAMA DI AMBON
Pendahuluan
Kehadiran Gong Perdamaian Dunia tahun 2009 di Ambon, ibu kota
Provinsi Maluku merupakan salah satu momentum besar yang turut membuka
mata seluruh dunia terkait dengan konflik komunal bernuansa SARA yang terjadi
di Maluku tahun 1999-2004. Bunyi Gong yang dipukul pada saat peresmian yang
berlokasi di Pusat Kota Ambon sekaligus menandakan bahwa Ambon telah aman
dan damai. Gema gong membawa pesan dan harapan bahwa konflik semacam ini
tidak akan terulang lagi.
Gong Perdamaian Dunia menjadi salah satu icon terbesar di kota Ambon
yang menambah panjang daftar Ambon sebagai kota Manise. Maksud pemerintah
pusat dan Komite Perdamaian Dunia mendatangkan Gong Perdamaian Dunia di
Ambon adalah agar gong tersebut menjadi simbol perdamaian, dimana Ambon
menjadi Kota Perdamaian Dunia. Namun, tujuan utama hadirnya Gong
Perdamaian Dunia malah lebih bergesar ke tujuan sampingannya yaitu sebagai
destinasi pariwisata bagi para turis, sebab jarang sekali ada kegiatan-kegiatan
tentang perdamaian yang dilakukan dengan menggunakan monument Gong
Perdamaian Dunia sebagai medianya. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki
peran penting untuk memberi informasi pada masyarakat tentang pentingnya
Gong Perdamaian sebagai simbol Rekonsiliasi malah tidak menaruh perhatian
79
penting terhadap hal tersebut. Hal ini ditemukan saat melakukan penelitian,
dimana sebagian besar pengunjung gong tidak mengetahui alasan dibalik
penempatan Gong Perdamaian Dunia di Ambon. Akibatnya, masyarakat kota
Ambon sama sekali tidak merasa Gong Perdamaian Dunia sebagai identitas sosial
mereka untuk mewakilkan pesan perdamaian. Suara gaung gong hanya terdengar
sekali yang ditabuh saat peresmian, dan gemanya hilang setelah itu.
Ambon saat ini tengah berada jauh dari sekedar “pemulihan diri” pasca
konflik. Namun, tentu saja situasi kondusif yang diharapkan terus berlangsung di
kota Ambon tidak akan terwujud tanpa upaya-upaya rekonsiliatif/perdamaian.
Perdamaian menjadi sebuah proses tanpa akhir. Kenyataan terbaik yang terjadi di
Ambon adalah hubungan rekonsiliatif antara dua komunitas agama terbesar di
Ambon (Islam-Kristen) tidak hanya diupayakan oleh pemerintah semata. Semua
pihak dalam lapisan masyarakat turut berkontribusi dalam menciptakan suasana
hidup damai di kota Ambon.
4.1. Simbol Sebagai Tanda Pengenal
Banyak orang mengenal gong sebagai alat musik yang digunakan untuk
mengiring tari-tarian, dan penggunaannya lebih sering di daerah Jawa atau Bali
(gamelan) berbeda dengan orang Ambon yang lebih akrab dengan tifa dan
totobuang. Kedua jenis alat musik ini sering digunakan sebagai pengiring tari-
tarian tradisional orang Ambon, misalnya tari cakalele, bambu gila, dan tari
lenso. Selain itu, dalam acara-acara adat maupun acara resmi kelembagaan,
penggunaan tifa (pemukulan tifa) ditandai sebagai “simbol” untuk meresmikan
sebuah acara atau kegiatan. Dengan demikian, walaupun memiliki fungsi yang
80
sama, namun pemakaian sebuah gong terbilang minim bagi orang Ambon.
Melalui hasil penelitian diketahui bahwa masuknya gong di wilayah Maluku -
Ambon karena gong digunakan sebagai alat barter yang diberikan untuk
mendapatkan hasil alam berupa pala dan cengkih dari Maluku. Hal ini yang
mendasari argumentasi bahwa gong tidak menjadi simbol yang menggambarkan
identitas orang Ambon.
Pasca konflik di tahun 2009, Gong Perdamaian Dunia ditempatkan di kota
Ambon. Ide penempatan Gong Perdamaian di Ambon bukan lahir dari
masyarakat Ambon sendiri. Gong Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon
merupakan inisiatif atau proyek pemerintah dan Komite Perdamaian Dunia untuk
memberi kesan pada “pihak luar” dan menjadi tanda bahwa Ambon telah ada
dalam suasana kondusif atau damai. Namun, bila Gong Perdamaian Dunia
dinyatakan sebagai simbol rekonsiliasi bagi masyarakat Ambon sendiri, maka hal
tersebut perlu dipertanyakan sebab sebagian besar orang Ambon, kehadiran Gong
Perdamaian Dunia tidak memiliki pengaruh yang besar bagi mereka (lihat hasil
wawancara di Bab III halaman 58-60). Hal ini disebakan karena pada dasarnya,
gong bukanlah sebuah warisan kebudayaan asli orang Ambon sehingga peran
gong dalam hidup orang Ambon pun tidak cukup besar.
Orang Ambon pada dasarnya tidak memiliki hubungan yang erat dengan
gong. Hal inilah yang mengakibatkan hadirnya Gong Perdamaian di Ambon
menjadi sebuah peristiwa yang biasa-biasa saja. Masyarakat tidak melihat Gong
Perdamaian sebagai sebuah simbol rekonsiliasi yang dimaknai sama seperti
penggagas penempatan gong di Ambon dan “pihak luar” melihat gong tersebut.
Bagi pengunjung gong yang tidak berasal dari Ambon atau Maluku, mereka
81
melihat Gong Perdamaian sebagai bukti bahwa Indonesia adalah negara yang
damai. Keberadaan Gong Perdamaian Dunia di Ambon dengan demikian menjadi
tanda bahwa Ambon sepenuhnya pulih dari konflik. Meskipun tidak bisa
disimpulkan bahwa semua pengunjung Gong Perdamaian Dunia yang berasal dari
luar Ambon tertarik dengan gong tersebut, namun hal ini dapat dilihat ketika
setiap detail dari Gong ditelusuri dengan saksama dibarengi dengan antusiasme
(jadi tidak hanya sekedar berfoto dan duduk santai saja).
Menurut Paul Tillich, simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan
mendapat dukungan dari masyarakat.1 Masyarakat akan sangat menghargai
keberadaan sebuah simbol dan menjadi penting bagi mereka saat simbol tersebut
tumbuh dan berakar dalam tradisi maupun budaya mereka. Semua ini berkaitan
dengan “emosi” dari pemilik simbol yang tertampung dalam benda, alat, atau hal
lainnya yang dapat dijadikan sebuah simbol. Penyebab Gong Perdamaian Dunia
sedari awal tidak dipedulikan oleh orang Ambon karena gong bukanlah alat atau
benda yang mengakar dalam tradisi atau budaya orang Ambon. Tidak peduli
semegah apa pun bentuk Gong Perdamaian Dunia, orang Ambon tidak menaruh
perhatian serta kepedulian mereka terhadap gong itu.
Penjelasan tentang simbol yang dalam bahasa Yunani disebut symbollein
dan symbola diuraikan oleh F.W. Dillistone sebagai tanda pengenal bagi anggota-
angota dalam masyarakat.2 Dengan demikian, secara jelas Dillistone menerangkan
bahwa simbol memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sosial
bermasyarakat. Simbol menjadi sebuah kartu identitas yang menyatu dan melekat
1 Paul Tillich, Systematic Theology 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1964).
2 F. W. Dilistone, Daya Kekuatan Simbol : The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius,
2006), 21.
82
pada sebuah kelompok maupun masyarakat. Keterikatan dari simbol dan
penggunanya menghasilkan kepemilikan yang kuat antara keduanya. Hal ini
senada dengan berdirinya monumen pahlawan Johannes Leimena tahun 2012 di
Ambon. Ada ikatan khusus antara orang Ambon dengan John Leimena yang
merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia. Patung Leimena menjadi
kebanggaan bagi masyarakat Ambon dan sekaligus sebagai identitas orang
Ambon sendiri. “Kedekatan” patung Leimena dengan masyarakat Ambon terletak
pada asal usul, dimana Johannes Leimena sendiri berasal dari Ambon. Lain
halnya dengan gong yang aslinya tidak berasal dari Ambon. Pada umumnya
semua orang merasa bahwa yang menjadi identitas dari seseorang adalah bila ia
lahir atau berasal dari tempat asalnya sendiri.
Penggunaan simbol maupun ritual dalam kehidupan bermasyarakat
bukanlah hal yang asing bagi orang Ambon. Masyarakat Ambon yang sangat
terikat dengan budaya dan kental dengan penggunaan sistem simbol pada
dasarnya menjunjung tinggi simbol-simbol yang ada dalam masyarakat sebagai
bagian dari diri mereka. Seperti misalnya tradisi Arumbae Manggurebe3 yang
selalu dilakukan setiap tahun sebagai salah satu tradisi orang Maluku, parang
Salawaku yang menyimbolkan harga diri orang Maluku, dan juga Kakehang4
sebagai simbol penting bagi orang Ambon. Namun keadaan berbanding terbalik
inilah yang terjadi bagi masyarakat kota Ambon dengan Gong Perdamaian Dunia
3 Arumbae merupakan kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. Perjuangan
melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya masyarakat. Perjuangan melintasi lautan
adalah sejarah keluhuran. Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara
pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. Masyarakat Maluku melihat
laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya.
Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup
orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku. 4 Kakehang atau kakehan merupakan tradisi keagamaan para leluhur (nenek moyang) di
Maluku jauh sebelum penginjilan atau Kekristenan masuk ke wilayah Maluku.
83
yang secara global dikenal sebagai simbol perdamaian. Monumen Gong
Perdamaian Dunia hanya dijadikan sebagai tempat nongkrong bagi warga Ambon,
dan bagi pengunjung di luar wilayah Ambon, Gong dijadikan sebagai tempat
berfoto karena memiliki tata bangunan yang indah. Sayangnya, keakraban
masyarakat Ambon dengan simbol-simbol tidak terlihat dalam Gong Perdamaian
Dunia.
Melalui hasil wawancara dan penelitian, diketahui bahwa masyarakat
Ambon lebih menghargai simbol Kakehang atau tahuri dan tifa totobuang
dibandingkan dengan gong. Hal ini membuktikan bahwa simbol-simbol lokal
lebih berperan penting dalam pola dan interaksi masyarakat dibandingkan dengan
simbol yang umum digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya, Tahuri
Perdamaian yang dibuat oleh lima negeri (Yaputih, Laimu, Atiahu, Hatu dan
Lava) pada 7 Desember tahun 2016 yang bertempat di Lava, Kabupaten Maluku
Tengah. Tahuri Perdamaian ini dianggap lebih mewakili orang Ambon-Maluku
bila berbicara tentang sebuah simbol perdamaian dan alat rekonsiliasi bagi hidup
Salam-Sarane di Maluku. Ini disebabkan karena tahuri merupakan alat yang
sering digunakan oleh orang Ambon dan ditemukan hampir di setiap daerah di
Maluku. Semua kalangan dari tua hingga muda tahu tentang tahuri. Sedangkan
gong (Gong Perdamaian Dunia) lebih dilihat sebagai sebuah alat dari luar, yang
seakan-akan dipinjam dan dipasang untuk menerangkan dirinya sebagai sesuatu
yang berasal dari dalam (orang Ambon). Bila membandingkan keberadaan Gong
Perdamaian Dunia dengan Tahuri Perdamaian, orang-orang Ambon lebih condong
menghargai Tahuri Perdamaian sebagai simbol yang mewakili diri mereka, atau
identitas mereka sebagai orang Maluku, Ambon. Hal ini beranjak dari keakraban
84
mereka dengan benda (tahuri) yang dijadikan sebagai simbol perdamaian,
persaudaraan, dan persatuan dalam keberagaman, yang mana tahuri menjadi alat
yang digunakan dalam tradisi adat dan budaya orang Ambon. Inisiatif untuk
menjaga hubungan saudara antara Islam-Kristen beranjak dari orang Maluku
sendiri (yang diwakili oleh Raja-Raja Negeri). Kebutuhan akan perdamaian dan
keinginan untuk memelihara dan memperkuat hubungan persaudaraan lintas
agama terwakili dalam Tahuri Perdamaian sebagai simbol rekonsiliasi.
Melihat realita yang terjadi sehubungan dengan respon orang Ambon
dalam melihat Gong Perdamaian Dunia, dapat diusulkan untuk menggerakan
masyarakat Ambon “mengenakan” Gong Perdamaian sebagai salah satu simbol
atau tanda pengenal bagi mereka tentang perdamaian dan rekonsiliasi, maka
masyarakat harus disadarkan kembali bahwa setiap individu telah dibentuk dalam
sistem simbolis bersama. Simbol-simbol dan masyarakat saling memiliki dan
saling mempengaruhi. Artinya, hubungan timbal balik ini sama sekali tidak bisa
dilepaspisahkan sebab simbol hidup di dalam masyarakat, dan dalam pergerakan
atau siklus hidupnya, manusia tidak terlepas dari penggunaan simbol sebagai
identitas dari diri mereka. Dillistone mengatakan bahwa sebuah simbol sering
secara langsung menerangkan identitas penggunanya pada pihak lain.5 Tanpa
berkenalan secara langsung, seseorang sudah langsung dapat mengenali siapa
orang yang ditemuinya melalui simbol yang digunakan oleh orang tersebut.
Misalnya seorang perempuan ketika memakai aksesoris salib, tanpa
memperlihatkan tanda pengenalnya, orang yang melihatnya sudah langsung dapat
mengetahui bahwa perempuan yang dijumpainya itu beragama Kristen.
5 Dilistone, Daya Kekuatan Simbol … 22.
85
Lisa Schrich menjelaskan bahwa ritual dan simbol mengubah identitas
dengan menawarkan ruang kemanusiaan. Karena identitas didefinisikan dalam
konteks, persepsi dari identitas berubah menurut situasi fisik dan situasi
relasional.6 Pendapat Schrich tentang hal ini berlaku pada situasi dimana untuk
mengubah presepsi Ambon sebagai wilayah konflik (waktu itu) maka upaya
perdamaian dilakukan dengan menghubungkan serta mempererat kembali pela-
gandong sebagai salah satu tindakan simbolik (ritual) dan penempatan Gong
Perdamaian Dunia (simbol) diberlakukan. Pela gandong dan Gong Perdamaian
Dunia menjadi simbol perdamaian dan rekonsiliasi hubungan lintas agama di
Ambon, disana terjadi pembentukan identitas, sebuah simbol atau tanda pengenal
dijadikan sebagai identitas untuk memperkuat upaya perdamaian. Ritual dan
simbol mengubah fokus identitas dan lokus dari satu identitas, seperti etnisitas ke
rangkaian yang lebih inklusif, kompleks dan beragam.7
Pada dasarnya, Gong Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon
menegaskan konteks yang diwakilinya sebagai simbol keberagaman dalam
kesatuan, memberi persepsi tentang identitas orang Ambon yang beragam suku,
budaya dan agama namun tidak serta merta menutup diri dari perbedaan tersebut
namun dalam sikap terbuka menerima perbedaan sebagai hal yang hakiki. Gong
Perdamaian Dunia yang diletakan di Ambon, mengandung nilai-nilai universal,
nasionalis dan lokal dalam konstruksi bangunannya. Nilai universal karena
terdapat berbagai bendera dari negara-negara yang terlibat dalam komite
perdamaian dunia, selain itu, simbol-simbol agama di seluruh dunia juga terdapat
dalam Gong tersebut yang menekankan bahwa semua agama tanpa terkecuali
6 Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 76.
7 Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding … 127
86
mendukung setiap upaya dan kegiatan-kegiatan perdamaian. Nilai nasionalis
dalam Gong Perdamaian Dunia terletak pada konstruksi bangunan yang
melambangkan tanggal dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus
1945 dan lambang negara yaitu, Pancasila. Sedangkan nilai-nilai lokal orang
Maluku dilihat melalui empat perisai yang melindungi bagian dalam gong yang
menggambarkan keberagaman masyarakat Maluku, yang terdiri dari empat etnis
terbesar dan terdapat pula simbol Kakehang pada perisai tersebut. Pada bagian
bawah gong terdapat museum yang memuat bukti berupa dokumentasi foto saat
konflik 1999 terjadi di Ambon sampai pada situasi dimana konflik bernuansa
agama itu berakhir.
Warga Kota Ambon sejauh ini hanya melihat Gong Perdamaian Dunia
sebatas aset yang diberikan pemerintah untuk diletakan di kota mereka terkait
peristiwa konflik 1999. Sebuah simbol dapat memiliki posisi penting dalam tata
hidup masyarakat bila penempatan simbol tersebut sesuai dengan konteks yang
dialami oleh masyarakat. Pemaknaan terhadap simbol tidak bisa dipaksakan
sesuai dengan keinginan seseorang begitu saja, melainkan terlebih dulu berasal
dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Simbol dan pemaknaan
terhadapnya menjadi hidup bila ada kebutuhan masyarakat terhadap simbol
tersebut. Kebutuhan menjadi kepentingan dari masyarakat yang kemudian secara
sadar atau pun tidak membuat mereka memaknai keberadaan simbol. Kebutuhan
mereka terwakilkan dalam simbol tersebut. Masyarakat Ambon memahami
sungguh kebutuhan mereka untuk ada dalam hubungan yang rekonsiliatif, namun
ternyata dalam hal ini diri dan kebutuhan mereka tidak terwakilkan melalui Gong
Perdamaian Dunia.
87
Keberadaan Gong Perdamaian merupakan kebijakan yang diambil
pemerintah (sekaligus apresiasi) terhadap situasi kondusif yang terus berlangsung
pasca konflik. Namun, ditegaskan kembali bahwa gong ini tidak mendapat tempat
yang mendalam di hati orang Ambon sendiri. Salah satu contoh, sebagian orang
Ambon (misalnya anak usia remaja, atau anak-anak yang lahir pasca konflik)
sama sekali tidak belajar tentang rekonsiliasi lintas agama, hal ini terlihat dalam
kasus pelecehan agama yang diposting pada akun facebook pelaku.8 Seharusnya,
dari kejadian-kejadian seperti ini, pemerintah dapat membantu masyarakat dalam
memberi informasi dan media pembelajaran terkait konflik dan rekonsiliasi yang
mana Gong Perdamaian Dunia harusnya menjadi salah satu dari sekian banyak
solusi untuk orang belajar tentang perdamaian dan rekonsiliasi. Namun,
pemerintah sendiri tidak memberi ruang atau akses penuh agar orang dapat
memahami secara benar tentang konflik, dan rekonsiliasi. Museum di bawah
monument Gong Perdamaian Dunia tidak setiap saat dibuka, padahal didalamnya
termuat berbagai dokumentasi tentang peristiwa konflik yang dialami oleh orang
Ambon, sampai pada berbagai upaya perdamaian yang dilakukan, dan melaluinya
orang Ambon dan pengunjung-pengunjung Gong Perdamaian Dunia dapat belajar
banyak mengenai konflik dan rekonsiliasi. Dengan demikian, agar Gong
Perdamaian Dunia dapat berfungsi secara maksimal sebagai simbol rekonsiliasi
lintas agama, maka pemerintah sebagai fasilitator harus memberi informasi dan
akses tentang Gong Perdamaian Dunia yang ditempatkan di Ambon.