29 BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK & AMERIKA SERIKAT Rasionalitas negara-negara terletak dalam bagaimana negara-negara tersebut menentukan kebijakan dan tindakan yang diambil, sehingga pada akhirnya berdampak pada hasil yang sesuai dengan target. Fenomena kebijakan negara yang memperhatikan sifat kausalitas inilah yang kemudian ditegaskan Hudson (2005: 2), di mana menggambarkan bahwa terdapat proses panjang sebelum negara benar-benar memutuskan langkah atau sikap kebijakannya. Proses yang dimaksud dimulai dari penyelidikan, penentuan prioritas tujuan, penilaian hingga persetujuan. Selanjutnya bilamana berkaitan dengan kebijakan luar negeri, pertimbangan negara menjadi lebih kompleks dikarenakan kebijakan yang akan dilaksanakan merupakan representasi dari kebijakan dalam negeri. Adapun Bab ini akan berfokus pada kebijakan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS) secara berturut-turut melalui kebijakan Chinese Dream dan kebijakan Free and Open Indo-Pacific. 4.1 Chinese Dream Xi Jinping pertama kali mengumumkan kebijakan Chinese Dream ketika beliau berkunjung ke Museum Nasional Tiongkok dalam rangka menghadiri pameran bertajuk “Jalan Pembaharuan” (The Road of Rejuvenation) bersama enam petinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT) lainnya pada 29 November 2012. Pameran itu sendiri ialah pameran yang mengangkat sejarah pilu masa penghinaan satu abad – dimulai dari Perang Opium Pertama hingga akhir Perang Sino-Jepang. Dalam pidatonya, Xi menekankan bahwasannya RRT telah melalui masa-masa sulit yang membutuhkan pengorbanan besar (National Museum of China, 2012). Penekanan pada narasi-narasi masa kelam dan penghinaan, serta narasi pembaharuan yang bersirkulasi dalam identitas politik RRT ini kemudian sejalan dengan pemirikan Zheng Wang (2012) di mana menganggap bahwa penghinaan
47
Embed
BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT … IV.pdfpembaharuan nasional menurut Hu Jintao, kebangkitan Tiongkok menurut Deng Xiaoping dan penerapan sosialisme dan komunisme berbasis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
29
BAB IV
KEBIJAKAN LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK &
AMERIKA SERIKAT
Rasionalitas negara-negara terletak dalam bagaimana negara-negara
tersebut menentukan kebijakan dan tindakan yang diambil, sehingga pada
akhirnya berdampak pada hasil yang sesuai dengan target. Fenomena kebijakan
negara yang memperhatikan sifat kausalitas inilah yang kemudian ditegaskan
Hudson (2005: 2), di mana menggambarkan bahwa terdapat proses panjang
sebelum negara benar-benar memutuskan langkah atau sikap kebijakannya. Proses
yang dimaksud dimulai dari penyelidikan, penentuan prioritas tujuan, penilaian
hingga persetujuan. Selanjutnya bilamana berkaitan dengan kebijakan luar negeri,
pertimbangan negara menjadi lebih kompleks dikarenakan kebijakan yang akan
dilaksanakan merupakan representasi dari kebijakan dalam negeri. Adapun Bab
ini akan berfokus pada kebijakan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dan Amerika Serikat (AS) secara berturut-turut melalui kebijakan Chinese Dream
dan kebijakan Free and Open Indo-Pacific.
4.1 Chinese Dream
Xi Jinping pertama kali mengumumkan kebijakan Chinese Dream ketika
beliau berkunjung ke Museum Nasional Tiongkok dalam rangka menghadiri
pameran bertajuk “Jalan Pembaharuan” (The Road of Rejuvenation) bersama
enam petinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT) lainnya pada 29 November 2012.
Pameran itu sendiri ialah pameran yang mengangkat sejarah pilu masa penghinaan
satu abad – dimulai dari Perang Opium Pertama hingga akhir Perang Sino-Jepang.
Dalam pidatonya, Xi menekankan bahwasannya RRT telah melalui masa-masa
sulit yang membutuhkan pengorbanan besar (National Museum of China, 2012).
Penekanan pada narasi-narasi masa kelam dan penghinaan, serta narasi
pembaharuan yang bersirkulasi dalam identitas politik RRT ini kemudian sejalan
dengan pemirikan Zheng Wang (2012) di mana menganggap bahwa penghinaan
30
nasional (national humiliation) adalah bagian integral dari pembangunan identitas
nasional dan pembangunan nasional RRT. Adapun selaras dengan ide tersebut,
dapat dikatakan penghinaan satu abad oleh agresi bangsa asing ialah narasi utama
(master narrative) pendorong sejarah Tiongkok modern (Callahan, 2004: 204).
Narasi Chinese Dream oleh Xi Jinping layaknya anggur tua yang dikemas
dalam botol yang baru (Wang, 2013: 7). Anggur tersebut ialah tujuan
pembaharuan nasional menurut Hu Jintao, kebangkitan Tiongkok menurut Deng
Xiaoping dan penerapan sosialisme dan komunisme berbasis pandangan Mao
Zedong. Secara lebih lanjut, Chinese Dream dikemas secara lebih modern apabila
dibandingkan dengan kebijakan pendahulunya, terutama setelah mendapatkan
basis legalitas dengan direvisinya Konstitusi Partai Komunis Tiongkok pada
Kongres Partai Komunis Tiongkok, 24 Oktober 2017. Hasil revisi Konstitusi
Partai Komunis Tiongkok (2017) ialah sebagai berikut:
“Semua anggota partai harus memegang teguh bendera besar sosialisme
dengan karakteristik Tiongkok, memiliki kepercayaan diri penuh di
dalam setiap jalan, teori, sistem, dan budaya, menerapkan teori dasar
partai, garis dasar, dan kebijakan dasar, berjuang untuk memenuhi tiga
tugas sejarah, yaitu memajukan modernisasi, mencapai reunifikasi
Tiongkok, dan menjaga perdamaian dunia dan meningkatkan
perkembangan saat ini, mencapai tujuan kembar satu abad, dan
merealisasikan “Chinese Dream” mengenai pembaharuan nasional”.
Berhubungan dengan dua tujuan satu abad (two centenary goals) –
menjadi masyarakat madani tahun 2021 dan mencapai modernisasi tahun 2049 –
Chinese Dream oleh Xi Jinping pada dasarnya merupakan bentuk
pengejawantahannya. Untuk itu, selain berlandaskan pada konstitusi PKT,
Chinese Dream oleh Xi bersumber dari China Peaceful Development White
Paper, yaitu stabilitas politik, perekonomian berkelanjutan, dan keamanan
nasional (China’s Peaceful Development, 2011). Guna mewujudkan cita-cita dan
tujuan berabad-abad Tiongkok, Xi Jinping menekankan pada kebijakan berbasis
pertimbangkan potensi yang dimiliki oleh kawasan Indo-Pasifik sebagai batu
loncatan dan instrumen keterpenuhan kebutuhan RRT untuk kembali
mempertahankan „anggur tua‟ kepentingan Tiongkok, namun dengan „botol‟ atau
kemasan baru, yakni regionalisme Indo-Pasifik. Berkenaan dengan kepentingan
31
Tiongkok berabad-abad inilah, Xi mempersepsikan Chinese Dream melalui
pengetahuannya mengenai potensi besar Indo-Pasifik.
4.1.1 Dasar historis Chinese Dream
Selain berangkat dari persepsi Xi Jinping mengenai potensi
penerapan kebijakan Chinese Dream, khususnya bilamana berkaca dari
posibilitas-posibilitas Indo-Pasifik, menjadi sulit dinafikan bahwa Chinese
Dream telah berakar jauh dalam sejarah perkembangan Tiongkok itu
sendiri. Oleh karenanya, memahami kebijakan Chinese Dream
membutuhkan pemaknaan menyeluruh perihal segala sesuatu yang
mempengaruhi sebelum kebijakan tersebut disetujui dan juga hal-hal yang
menjadi katalisator saat penerapan Chinese Dream dieksekusi. Dengan
kalimat lain, pemaknaan Chinese Dream sudah semestinya ditinjau dari
sisi historikal, sehingga pemahaman terseut menjadi lebih komprehensif
atau menyeluruh.
Sisi historis yang dimaksud secara kronologis mengalami empat
fase penting, yakni penghinaan satu abad (1839-1945), Revolusi Mao
Zedong (1949), Reformasi Deng Xiaoping (1978) dan enkapitulasi cita-
cita Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dilakukan oleh Presiden Xi
Jinping (2012 – hingga saat ini). Pada setiap fase sejarah, RRT semakin
memperbaharui dan memperkuat motivasi guna tumbuh sebagai negara
yang makmur dan berdaulat, bahkan lebih dari pada itu, RRT berusaha
membangun kembali sisa-sisa kejayaan Tiongkok seperti pada masa
Dinasti Han (206 SM – 220 M), Dinasti Tang (618 M – 906 M) dan
Dinasti Qing (1644 – 1912).
4.1.1.1 Penghinaan satu abad
Sejarah Chinese Dream ialah sejarah panjang yang berakar dari sisi
historis kelam peradaban Tiongkok selama satu abad penuh, yakni pada
tahun 1839-1945. Perkembangan peradaban RRT selama lebih dari satu
abad tersebut diisi oleh berbagai macam penindasan demi penindasan,
serta imperialisme yang berakhir dengan pertumpahan darah. Sisi gelap
32
dari peradaban inilah yang kemudian dikenal masyarakat modern RRT
sebagai “penghinaan satu abad” atau century of humiliation (bainian
guochi, 百年国耻). Letak narasi-narasi yang memperkuat luka masa lalu –
seperti penekanan pembelajaran sejarah mengenai penjajahan bangsa asing di
tanah RRT pada kurikulum sekolah – selama penghinaan satu abad kemudian
memainkan peran penting sebagai penunjang gairah membangkitkan diri dan
keluar dari kondisi belenggu dan ketergantungan terhadap negara lain.
Pembabakan pertama yang menjadi sorotan ialah dinamika
kesengsaraan masyarakat Tiongkok klasik yang masuk pada ketidakadilan
yang satu kepada ketidakadilan yang lain atau kemudian dikenal dengan
sebutan penghinaan satu abad, yakni kalah dalam Perang Opium Pertama
(1839-1842), dipaksa menandatangani perjanjian yang tidak adil (Nanking,
Whampoa dan Aigun), kalah dalam Perang Opium Kedua (1856-1860),
kalah Perang Sino-Prancis (1884-1885), kalah Perang Sino-Jepang
Pertama (1894-1895), tekanan aliansi delapan negara (1899-1901), invasi
Inggris di Tibet (1903-1904), Dua Puluh Satu Tuntutan (1915) dan Perang
Sino-Jepang Kedua (1937-1945). Berangkat dari runtutan sejarah tersebut,
terdapat momentum yang dijabarkan berikutnya ialah Perang Opium,
perjanjian tidak adil, dan Perang Sino-Jepang dikarenakan mewakili aktor-
aktor yang menekan Tiongkok sepanjang lebih dari satu abad.
Perang Opium Pertama antara Tiongkok dan Britania Raya (pada
berbagai literatur disimplifikasi dengan sebutan „Inggris‟) sekaligus
menandai cerita panjang tentang hubungan RRT dengan bangsa-bangsa
Barat yang tidak terlalu akur. Pada masa Dinansti Qing (1644-1912),
Britania Raya yang kala itu menguasai India memulai perdagangannya di
pesisir selatan Tiongkok atas persetujuan Dinasti dengan kesepakatan
terbatas di pelabuhan Canton (saat ini Guangzhou). Seiring pertambahan
volume permintaan barang-barang dari Tiongkok ke India – daerah koloni
Britania Raya, pihak Britania menuntut akses pasar yang lebih besar bila
dibandingkan dengan kesepakatan awal. Peningkataan permintaan
komoditas Tiongkok, seperti teh mencapai puncaknya pada tahun 1800,
33
yakni sebesar 23 juta pon per tahun atau senilai 3,6 juta pon perak (Perdue,
2010: 3). Menyadari ancaman akan habisnya perak, Britania Raya mencari
komoditas yang bisa dijual ke Tiongkok sehingga neraca perdagangan
tidak defisit. Terlepas dari kecaman Dinasti, Britania memperdagangkan
Opium – dipanen di Bengal, India – secara gelap tanpa menghiraukan
kecaman pemerintahaan Qing (lihat tabel 4.1).
Tabel 4.1
Perdagangan Opium Ilegal oleh Britania Raya kepada Tiongkok
Dinasti Qing baru menyadari praktik perdagangan Opium Britania
kepada Tiongkok setelah pada 1830-an lebih dari 20 persen pegawai
pemerintahan pusat, 30 persen pegawai lokal dan 30 persen pegawai
rendahan mengalami ketergantungan mengonsumsi opium (Perdue, 2010:
10). Mengacu pada peningkatan permintaan dan ketergantungan kepada
Opium, Pemerintahan Qing menunjuk Lin Zexu untuk memusnahkan
semua Opium sehingga memicu Perang Opium Pertama pada 4 September
1839 (Chen, 2017: x). Pemusnahan sepihak oleh Dinasti Qing kemudian
menimbulkan gesekan antara dua negara yang berujung pada pengiriman
kapal bersenjata Britania Raya (gunboat) sehingga Tiongkok menyerah
dipukul mundur. Perang Opium Pertama berakhir dengan Perjanjian
Nanking (1842) yang mengharuskan Tiongkok membuka pelabuhan
perdagangan dan mendirikan Hong Kong sebagai pusat koloni Britania
Raya di Tiongkok (Chen, 2017: 126).
Sumber: Spence, The Search of Modern China, 1990.
Tahun Jumlah Peti
(1 peti = 140 pon)
1729 200
1750 600
1773 1.000
1790 4.054
1800 4.570
1810 4.968
1816 5.106
1823 7.082
1828 13.131
1832 23.570
34
Kesadaran akan kekalahan Tiongkok dari dunia Barat, khususnya
berkaitan dengan agresi dan kolonialisasi Britania menyisahkan narasi-
narasi antagonis Tiongkok modern menyikapi dinamika politik Barat.
Profesor Zheng kala diwawancarai ABC News menilai kesadaran dan
kemarahan Tiongkok terhadap Barat masih tersisa hingga saat ini dan
memberikan semacam legitimasi untuk memanfaatkan pergeseran
kekuatan berdasarkan pemahaman akan pergeseran geostrategi dan
geopolitik bagi pencapaian cita-cita Tiongkok sendiri (Ross & Quince,
2018). Hawksley (2017) menambahkan bila sejatinya sejarah masa lalu
RRT digunakan sebagai pertimbangan politik agar tidak lagi menjadi
lemah ketika berhadapan dengan bangsa lain yang ingin mengintervensi,
atau pada batasan yang lebih jauh, berusaha menekan Tiongkok seperti
masa penghinaan satu abad:
“Saya pulang dengan perasaan bahwa suatu negara menyalahkan
dirinya sendiri untuk tertinggal di belakang Eropa. Dari pada
memainkan ketidakadilan, mereka sekarang memainkan pengejaran
ketinggalan, dengan suatu determinasi bahwa sejarah [kelam] tidak
boleh terulang. Presiden Tiongkok, Xi Jinping menyebutnya
pembaharuan besar” (Hawksley, 2017).
Lebih lanjut, fenomena faktual antara RRT dan Amerika Serikat
ditilik dari kondisi perang dagang menunjukan kesamaan karakteristik
dengan kondisi sebelum pecah Perang Opium selama tahun 1830an.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari bagaimana ekspor Tiongkok yang
mengalami surplus bila dibandingkan dengan negara penerima berujung
kepada panasnya hubungan politik kedua negara dan tuntutan agar
Tiongkok lebih terbuka bagi aliran barang masuk hingga proteksionisme
pasar. Amerika Serikat mengalami defisit akibat volume pembelian barang
dari Tiongkok lebih besar dari barang nasional yang dijual ke Tiongkok
mengalami kemiripan dengan Britania pada waktu itu. Perihal sejarah yang
berulang kemudian ditegaskan Ian Morris (2018) bahwa jika Washington
dan Beijing gagal untuk melimitasi sisi masing-masing, maka kedua
negara akan membawa malapetaka tersendiri seperti yang terjadi 200
35
tahun lalu. Malapetaka yang dimaksud ialah persaingan ekonomi tidak
sehat yang berakhir dengan peperangan terbuka antara dua negara. Oleh
karenanya pertimbangan kesejarahan mengenai Perang Opium menjadi
relevan bagi Tiongkok masa kini, selama administrasi Xi Jinping.
Selepas dari kekalahan dalam Perang Opium Pertama, bangsa-
bangsa lain kemudian menyadari lemahnya Tiongkok di penghujung
Dinasti Qing. Berangkat dari pengetahuan akan ketidaksiapan Tiongkok
menghadapi agresi eksternal, bangsa-bangsa lain turut serta memanfaatkan
kondisi dengan memaksa Tiongkok menyetujui berbagai perjanjian yang
tidak adil. Selain Britania Raya, Prancis dan Kekaisaran Rusia
menandatangani perjanjian tidak adil, yakni Perjanjian Nanking, Perjanjian
Whampoa dan Perjanjian Aigun.
Treaty of Peace, Friendship, Commerce, Indemnity between Great
Britain and China saat ini dikenal sebagai Perjanjian Nanking dikarenakan
ditandatangani di Nanking (Nanjing), 29 Agustus 1842. Perjanjian
Nanking terdiri dari 13 pasal yang secara garis besar merupakan usaha
Britania Raya untuk mendapatkan wilayah tertentu di Tiongkok dan
mendulang kekayaan dari uang ganti rugi yang harus dibayarkan (Hertslet,
1908: 7-12). Sebagai contoh, pasal 2 dan pasal 3 Perjanjian Nangking
mengharuskan Tiongkok membuka kota-kota strategis yang sebelumnya
tidak dibuka untuk pedagang Britania, yakni kota Canton, Amoy,
Foochowfoo, Ningpo dan Shanghai. Adapun Britania mewajibkan
Tiongkok memberikan Hong Kong selama jangka waktu yang tidak
ditentukan sebagai pusat pelabuhan dan penyimpanan barang-barang milik
Britania. Tekanan Britania terhadap Tiongkok kemudian dilanjutkan
dengan ultimatum penggantian kerugian dengan total 21 juta dolar yang
tercantum dalam pasal 4 hingga pasal 7 menurut rincian berikut: 6 juta
dolar ganti rugi opium yang dimusnahkan oleh utusan Dinansti Qing
selama Maret 1839, 3 juta dolar sebagai ganti kerugian Britania Raya
selama membeli barang-barang dari pedagang Tiongkok, dan 12 juta dolar
untuk memperbaiki kerusakan selama Perang Opium Pertama.
36
Perjanjian Whampoa ditandatangani pada 24 Oktober 1844 dengan
berisikan 36 pasal yang dispesifikasi sebagai perjanjian perdagangan
(Dorothy & Williard-Straight, 1902: 49-58). Dalam Perjanjian Whampoa,
Tiongkok mendapatkan posisi kekuasaan yang timpang bilamana ditinjau
dari tiga peraturan penting. Pertama, pasal 2 mengatur jika terjadi insiden
penyelundupan dan praktik perdagangan ilegal oleh orang berkebangsaan
Prancis, hukumannya hanya penyitaan kargo oleh konsul. Kedua,
Tiongkok tidak diperbolehkan menaikan tarif terhadap berbagai macam
kargo. Ketiga, pasal 22 menjamin orang berkebangsaan Prancis tidak
boleh dijatuhi hukuman apapun oleh pemerintah Tiongkok atas tindakan
kriminal yang dilakukan, sedangkan hanya boleh dikirim ke kantor
konsulat terdekat.
Perjanjian Aigun disahkan oleh pihak Rusia dan Tiongkok pada
tanggal 16 Mei 1858 yang berisi tiga pasal batasan teritorial antara Rusia
dan Tiongkok (Dorothy & Williard-Straight, 1902: 100). Perjanjian Aigun
memberikan Rusia kontrol atas Danau Amur bagian kiri. Menjadi tidak
adil dikarenakan selain proses perjanjian yang dilakukan secara paksa oleh
Rusia dengan mengirimkan kapal bersenjatanya, Rusia otomatis
mendapatkan akses langsung ke Laut Okhotsk yang sebelumnya
merupakan teritorial Dinasti Qing (Rothman, 2006: 11).
Pada 1856, Perang Opium Kedua kembali pecah dan bertahan
hingga tahun 1860, ketika Britania dan Prancis memaksa Tiongkok untuk
memperbaharui perjanjian-perjanjian yang tidak adil, menuntut uang ganti
rugi dan untuk membuka dibukanya 11 pelabuhan tambahan bagi jalur
perdagangan imperialis, akan tetapi mendapat penolakan dari Dinasti
Qing. Dalam serangkaian peristiwa selama Oktober 1856, otoritas
Tiongkok menahan kapal bertanda Tiongkok, namun dioperasikan oleh
orang-orang Britania. Berangkat dari peristiwa penangkapan tersebut
Prancis mendukung Britania agar menghancurkan Istana Dinasti Qing.
Peperangan berakhir dengan Perjanjian Tientsin yang mengharuskan
Tiongkok membayar ganti rugi, membuka pelabuhan lebih banyak dan
37
secara langsung memperlemah Dinasti Qing. Peristiwa ini menjadikan
Tiongkok berpikir kembali terkait hubungannya dengan dunia luar dan
mempertimbangkan usaha modernisasi militer, politik dan struktur
ekonomi (Hayes, 2018: 14).
Cita-cita Dinasti Qing demi memperbaharui dan memodernisasi
militer, politik dan ekonomi duna mempertahankan Tiongkok kemudian
menjadi cita-cita RRT dewasa ini. Pertimbangan historis dari berbagai
perjanjian tidak adil yang mana tidak hanya menyebabkan Tiongkok harus
membayar ganti rugi dalam jumlah yang besar, namun lebih dari pada itu
wajib memangkas dan memberikan kedaulatannya kepada bangsa asing,
khusunya merelakan Hong Kong dan beberapa pelabuhan penting. Untuk
alasan yang sama, RRT secara terus menerus berusaha bergantung pada
diri sendiri, baik melalui usaha memperluas dan meningkatkan
perdagangan melalui investasi dan pembangunan infrastuktur, memperkuat
militer yang dapat ditinjau dari pengeluaran anggaran militer dan
mengintensifkan diplomasi dengan negara-negara di Indo-Pasifik– dibahas
secara komprehensif pada Bab 5 mengenai rivalitas RRT dan AS.
Gambar 2.
Pelabuhan Tiongkok yang terbuka bagi imperialis sebelum dan
sesudah Perang Opium Kedua
Sumber: Jack Hayes, “The Opium Wars in China”. Dalam Asia
Pacific Curriculum.
38
Belum sempat memperbaiki diri setelah mengalami kerugian
akibat aktivitas Britania Raya, Prancis dan Rusia yang berujung pada
kesepakatan tidak adil sehingga memberatkan Tiongkok, Dinasti Qing
kembali harus menghadapi kekuatan asing yang datang dari Jepang.
Jepang datang sebagai kekuatan baru, secara terkhusus setelah mengalami
perombakan dan pembaharuan besar-besaran selama Restorasi Meiji.
Jepang datang dalam bentuk dua kali Perang Sino-Jepang antara tahun
1894-1895 dan 1937-1945. Perang Sino-Jepang Pertama dapat dikatakan
sebagai usaha Jepang untuk memperluas kekuasaannya di Semenanjung
Korea yang secara administratif masih berada di bawah kekuasaan
Tiongkok. Peperangan dimulai pada 1 Agustus 1894 namun harus berakhir
dengan kekalahan Tiongkok yang ditandai oleh Perjanjian Shimonoseki, 8
Mei 1895.
Adapun Perang Sino-Jepang Kedua merupakan kelanjutan pasca
kejatuhan Dinasti Qing. Terlepas dari berbagai macam jual-beli serangan
selama 1937-1945, Pembantaian Nanking (Nanking Messacre) ialah
momentum sejarah yang paling diingat masyarakat RRT saat ini. Betapa
tidak, investigasi pasca perang mendapati pemerkosaan dan pembantaian
di Distrik Nanking (Nanjing) mengakibatkan 295.525 kematian dengan
presentase: 76 persen laki-laki, 22 persen perempuan dan 2 persen anak-
anak (Brook, 2002: 2).
Belajar dari penghinaan yang dialami Tiongkok selama seabad
lebih dan bagaimana Tiongkok mengalami kekalahan demi kekalahan serta
penindasan-penindasan bangsa asing, baik dari Eropa maupun Asia Timur,
berpotensi menjadi substansi utama dalam rangka memahami kebijakan
RRT saat ini. Andreas Forsby secara khusus mengidentifikasi kebijakan
luar negeri RRT sebagai salah satu bentuk inferioritas kompleks
(inferiority complex), di mana nampak dari frasa “wuwang guochi” atau
jangan melupakan penghinaan nasional (Forsby, 2015: 185). RRT
mempotret abad penghinaan sebagai momentum kehilangan teritori,
kehilangan kedaulatan internal dan eksteral, dan kehilangan martabat
39
internasional (Kaufman, 2011: 4). Oleh karena setiap rezim RRT
mendapat pembenaran untuk merebut kembali teritori dan martabatnya
baik secara literal di Kawasan Laut Tiongkok Selatan maupun secara
pengaruh implisit dengan mendorong ketergantungan negara lain.
4.1.1.2 Mao Zedong
Menjadi tidak terelakan bahwa Mao Zedong memainkan peran
penting bagi berdirinya Tiongkok modern seperti saat ini. Peranan Mao
Zedong sebagai pendiri RRT sekaligus menjembatani era klasik
kesejarahan Tiongkok di era dinasti dan republik, menjadi negara dengan
kekuatan Partai Komunis terbesar. Kontribusi besar Mao Zedong sekaligus
beriringan dengan bayangan kelam kepemimpinannya yang mana
menyebabkan wabah kelaparan dan kematian pada eksekusi kebijakannya
selama menjadi pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) sekaligus
pemimpin RRT. Sejalan dengan hal tersebut, jejak sejarah Mao setidaknya
terdiri atas kebijakan Lompatan Besar Ke depan (Great Leap Forward),
kebijakan Revolusi Budaya (Cultural Revolution) dan pemikirannya yang
dikenal dengan Maonisme.
Pidato Mao Zedong pada 1 Oktober 1949 di daerah Tiananmen
menandai terbentuknya RRT dengan posisi PKT sebagai jalan untuk
mengobati kesengsaraan masa lalu dan kelemahan pemerintahan di bawah
tekanan kolonialisme dan imperialisme Britania dan Prancis, serta
ancaman kekuatan Jepang di Timur Jauh. Dalam rangka mengejar
ketertinggalan pasca momentum-momentum kelam selama penghinaan
satu abad, Mao keluar dengan kebijakan Rencana Lima Tahun (Five Year
Plans). Rencana Lima Tahun pertama berakhir dengan sukses besar
melalui investasi pada pabrik milik negara dan redistribusi lahan pertanian
dari tuan tanah kepada petani-petani. Investasi terhadap pabrik milik
negara dan redistribusi lahan inilah yang menjadi pusat gravitasi
perekonomian dikarenakan pabrik-pabrik tersebut difokuskan untuk
memproduksi mesin traktor, mesin pertanian dan pupuk-pupuk kimia
40
dengan tujuan disebarkan kepada petani-petani yang telah mendapatkan
jatah lahan pertanian dari negara. Akhir dari tahapan pertama ini ialah
peniadaan kepemilikan pribadi.
Pada 1958, Mao memulai tahapan kedua Rencana Lima Tahun,
kemudian diketahui sebagai kebijakan Lompatan Besar Kedepan.
Pergerakan kebijakan ini menekankan pada daerah-daerah pinggiran atau
pedesaan Tiongkok untuk mencapai tujuan utopia komunisme, yakni
swasembada agrikultur, industri, pemerintahan, pendidikan dan layanan
kesehatan. Mao menjamin kesetaraan pendapatan terlepas dari jenis
pekerjaan apapun. Bereaksi terhadap tawaran Mao inilah, rakyat RRT
menyambut dengan antusiasme tinggi yang mana tercermin pada alih
pekerjaan dari petani menjadi buruh-buruh pabrik, guna memproduksi besi
dan baja selama siang dan malam. Dalam istilah lain, fenomena
antusiasme pekerja dikenal dengan slogan “Catching the moon and stars”
(Brown, 2012: 31). Mao membakar semangat para buruh dengan
menguatkan narasi-narasi penghinaan satu abad dan upaya untuk
melompati total produksi para kolonialis dan imperialis yang sebelumnya
menjajah RRT dengan ketidakadilan.
Di sisi lain, aktivitas pabrik menjadikan rakyat tidak lain berfokus
pada aspek agrikultur, seperti pada Rencana Lima Tahun pertama.
Produksi barang-barang pabrikan terus-menerus bertambah, sedangkan
bertolak belakang dengan produksi gandum – sebagai makan pokok.
Penurunan produksi makanan pada 1960 mengakibatkan wabah kelaparan
kelaparan besar. Persediaan cadangan makan yang rendah menyebabkan
kematian sekitar 25 juta orang akibat kelaparan (Palese, 2009: 5).
Kematian dalam jumlah besar inilah yang sekaligus menandai berakhirnya
kebijakan Mao Zedong terhadap Lompatan Besar Ke depan. Cita-cita
untuk mengalahkan jumlah produksi Britania Raya dilaksanakan dengan
pertimbangan yang keliru sehingga berimbas pada kerugian yang lebih
besar.
Tabel 4.2
41
Produksi Gandum Berbanding Terbalik dengan Produksi Mesin Pertanian
Revolusi Budaya tidak lain merupakan bentuk perjuangan Mao
Zedong dalam rangka purifikasi Partai Komunis Tiongkok (PKT), di mana
Mao melihat adanya kelas borjuis yang mencoba mengambil alih partai.
Perjuangan Mao tersebut kemudian tidak bisa dilepaskan dari insiden
kemanusiaan. 30 juta orang diperkirakan kehilangan nyawanya selama
tahun 1966 hingga tahun 1976 akibat revolusi (Bai, 2014: 2). Terlepas
revolusi yang memakan puluhan juta nyawa, inti dari revolusi tersebut
ialah usaha Mao dalam rangka menerapkan Maoisme atau Pemikiran Mao
Zedong. Belajar dari Marxisme, Mao menggabungkan sistem
kediktaktoran proletar dengan self-critism, yakni nilai untuk tidak mudah
puas terhadap pencapaian dan untuk mencegah elitis (Ribao & Bao, 1968:
3-4).
Secara lebih mendalam, posisi RRT saat ini dan bagaimana Xi
Jinping menerapkan kebijakan Chinese Dream tidak bisa begitu saja
dilepaskan dari peranan Mao. Mao tidak hanya berperan sebagai bapak
Tiongkok modern, melainkan berhasil mendirikan sistem pemerintahan
dengan kontrol Partai Komunis yang bertahan dan bahkan menguat saat
ini. Oleh karena itu, semangat rejuvenation atau jalan pembaharuan yang
sejak 2012 disebarkan oleh Xi Jinping sebagai narasi utama Chinese
Tahun Produksi Gandum
(Juta Ton)
Mesin Pertanian
(Juta Tenaga Kuda)
1952 164 0,3
1953 167 0,4
1954 170 0,5
1955 184 0,8
1956 193 1,1
1957 195 1,7
1958 200 2,4
1959 170 3,4
1960 143 5,0
Sumber: Li & Yang, The Great Leap Forward: Anatomy of a Central Planning
Disaster, 2005, diolah.
42
Dream pada dasarknya berakar dari pemikiran Mao yang tercantum dalam
konstitusi RRT. Dengan kata lain, kebijakan yang telah dan sedang
digalakan Xi secara substansial bersumber dari moto Mao mengenai
“catching the moon and stars”, namun diterjemahkan ke dalam bentuk-
bentuk yang lebih modern, yakni tidak lagi menggunakan cara revolusi
budaya yang berakibat fatal, akan tetapi melalui pendekatan diplomatis
dan keterbukaan serta kerja sama dunia internasional.
4.1.1.3 Deng Xiaoping
Deng Xiaoping (22 Agustus 1904 – 19 Februari 1997) merupakan
politisi Tiongkok yang berperan penting dalam rangka mengubah wajah
modern RRT seperti saat ini. Terlepas dari posisinya yang tidak pernah
menjadi kepala negara maupun menjadi pemimpin PKT, kehadiran Deng
Xiaoping berhasil mengeluarkan Tiongkok dari defisit dan kemerosotan
ekonomi dan politik RRT setelah kegagalan Lompatan Besar Kedepan dan
Revolusi Budaya semasa kepemimpinan Mao Zedong. Pda tahun 1978,
berkat kontribusi Deng, RRT mengalami perubahan institusional positif,
khususnya bila ditilik dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan status
RRT dalam sistem internasional. Oleh karenanya, pembahasan mengenai
Deng Xiaoping serta kontribusinya bagi RRT, khususnya di masa
mendatang, yaitu Reformasi Ekonomi.
Reformasi ekonomi Tiongkok yang mengarah pada market-
oriented dimulai pada tahun 1978. Mengenai reformasi tersebut Gregory
Chow (2004: 127) mengidentifikasi empat alasan yang mengharuskan
reformasi ekonomi menjadi langkah urgen dan prioritas untuk
dilaksanakan. Pertama, Revolusi Budaya (1966-1976) sangat tidak
populer sehingga PKT dan pemerintah harus mengubah arah
perekonomian sehingga kembali mendapatkan dukungan masyarakat.
Kedua, belajar dari pengalaman, ekonomi terpimpin ialah sistem yang
sangat sulit untuk diatur dan secara ekonomi menjadi tidak efisien. Ketiga,
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan perkembangan lebih akan terjadi
43
pada strategi perekonomian bertetangga yang berorientasi pada pasar,
sehingga RRT harus lebih terbuka pada negara semisal Hong Kong,
Taiwan, Korea Selatan dan Singapura. Keempat, masyarakat Tiongkok
pada saat ini menghendaki keterbukaan ekonomi dikarenakan keterbatasan
komoditas pasar domestik. Reformasi ekonomi sendiri membutuhkan
komponen perubahan, yakni sasaran dari perubahan, pergantian atau
perbaikan suatu kebijakan. Berangkat dari dasar tersebut, Deng Xiaoping
setidaknya menyasar komponen agrikultur, perusahaan milik negara dan
kebijakan terbuka (open-door policy).
Reformasi agrikultur menjadi target pertama Deng mengingat
bidang inilah yang paling terkena dampak kegagalan kebijakan Lompatan
Besar Ke depan dan Revolusi Budaya. Sistem komunal yang diterapkan
Mao di mana petani-petani dikelompokkan menjadi satu untuk menggarap
lahan tertentu dianggap tidak efektif disebabkan oleh tidak adanya upah
tambahan bilamana terdapat petani yang bekerja lembur. Beberapa petani
menyadari bahwa mereka akan menjadi lebih produktif bila bekerja secara
terpisah. Dampak dari reformasi ini ialah pertumbuhan produk pertanian
Gambar 3.
Peningkatan Produksi Pertanian Sejak Reformasi Ekonomi
Sumber: Gerhard Heilig, “Economic Change: Agricultural Land,
Value Added in Agriculture and Export of Goods and
Services”. Dalam China-Profile, 2011.
44
secara besar-besaran seperti yang ditunjukan Gambar 7 ketika luas lahas
agrikultur dan ekspor agrikultur mengalami peningkatan dari tahun 1960
sampai tahun 2006.
Berikutnya, reformasi perusahaan milik negara berlangsung
melalui beberapa tahapan, yaitu negara memberikan otonomi kepada
perusahaan, menjadikan perusahaan independen secara finansial, dan
memperkenalkan sistem yang sama kepada produsen rumahan (Chow,
2004: 130). Pada tahapan pertama, negara memberikan otonomi kepada
perusahaan untuk memproduksi, memasarkan dan mengambil keputusan
investasi dari pada harus mengekang perusahaan dalam sistem ekonomi
terpimpin. Kedua, negara membebaskan pengaturan finansial perusahaan,
memperbolehkan mereka menyimpan keutungan sepanjang telah
membayarkan pajak, dari pada harus mengakuisisi saham perusahaan.
Ketiga, negara menerapkan kebebasan yang sama kepada industri kecil
rumahan pada bidang agrikultur. Hasil dari kebijakan ini ialah peningkatan
kepemilikan pribadi dan kepemilikan kolektif – yang mana berdampak
Gambar 4.
Peningkatan Kepemilikan Perusahaan RRT Selain Milik Negara
Sumber: Ross Garnaut & Ligang Song, “China: Twenty Years of
Economic Reform”. Dalam The Australian National University.
45
pada pertumbuhan pendapatan domestik bruto dari 153,97 miliar dolar AS
pada tahun 1976 menjadi 961,604 milliar dolar AS pada tahun 1997 ketika
Deng Xiaoping meninggal (World Bank, 2018).
Komponen utama terakhir selama reformasi ekonomi ialah pada
kebijakan terbuka (open-door policy). RRT yang sebelumnya tertutup pada
dunia luar, mulai membuka dirinya bagi perdagangan luar negeri dan
investasi asing. Deng Xiaoping mendorong kebijakan yang dimaksud agar
terjadi sirkulasi ekspor dan impor RRT. Perusahaan-perusahaan yang
berdagang bertanggung jawab atas keuntungan mereka sendiri, terlepas
dari ikut campur negara yang terlalu besar. Di sisi lain, negara berperan
dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan akibat prosedur
birokratis berkepanjangan yang mana pola tersebut bertahan hingga
pengimplementasian Chinese Dream oleh Xi Jinping. Selain dari pada itu
kebijakan membuka diri yang berbeda dari gaya rezim Mao menjadi
relevan dengan Chinese Dream.
4.1.1.4 Zheng Bijian
Zheng Bijian adalah salah satu intelektual penting di dalam Partai
Komunis Tiongkok (PKT). Zheng terakhir kali bertanggung jawab sebagai
Gambar 5.
Peningkatan Ekspor RRT
Sumber: Ross Garnaut & Ligang Song, “China: Twenty Years of
Economic Reform”. Dalam The Australian National University.
46
anggota Komite Pusat pada tahun 2002 yang mempertemukannya dengan
Presiden Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen Jiabao. Setahun setelah
pertemuannya dengan dua tokoh penting PKT sekaligus pemimpin RRT,
Zheng berkesempatan untuk memberikan pidato selama sesi pleno Forum
Bo‟ao untuk Asia (Bo’ao Forum for Asia), 3 November 2003. Pidato yang
diberi judul “A New Path for China’s Peaceful Rise and the Future of
Asia” kemudian memperkenalkan pendekatan baru Tiongkok dalam
rangka menyongsong kebangkitan Tiongkok, yaitu “kebangkitan damai”