44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Setting Penelitian Pada bab ini, peneliti akan menguraikan hasil dan data penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peranan guru dalam upaya pembentukan moral anak usia 4-6 tahun yang dilakukan di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, peneliti ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat kondisi alami dari suatu fenomena. Menurut Sarosa (2012) penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam seting dan konteks naturalnya di mana peneliti tidak berusaha memanipulasi fenomena yang diamati. Penelitian berlangsung selama bulan April sampai dengan bulan Juni 2016. Hasil penelitian ini diperoleh melalui teknik wawancara semi terbuka yang dilakukan secara mendalam guna mendapatkan informasi dan data secara langsung. Selanjutnya, peneliti juga menggunakan metode observasi dan dokumentasi untuk mengetahui lebih dalam dan jelas serta mentriangulasi mengenai data yang telah ada untuk kemudian dianalisis. Analisis itu sendiri akan terfokus pada peranan guru dalam upayanya membentuk moral anak yang difokuskan pada beberapa hal yang menjadi substansi pendidikan moral. 4.1.1. Gambaran umum lokasi penelitian TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga (YPE Salatiga) yang berdiri sejak 01 Oktober 1948. Berdirinya sekolah ini tidak terlepas dari sekolah-sekolah yang dikelolah oleh Yayasan Pendidikan Eben Haezer (YPE) yakni SD Kristen 03 Eben Haezer, SD Kristen 04 Haezer dan SMP Kristen 2 Eben Haezer. Karena terus berkembang dan kebutuhan akan layanan pendidikan anak usia dini semakin meningkat maka TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga ini kemudian
60
Embed
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Setting …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10005/4/T1_272012023_BAB IV... · upayanya membentuk moral anak yang difokuskan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Setting Penelitian
Pada bab ini, peneliti akan menguraikan hasil dan data penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui peranan guru dalam upaya pembentukan moral anak usia
4-6 tahun yang dilakukan di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Sebagaimana yang
telah diuraikan pada bab sebelumnya, peneliti ini menggunakan metode kualitatif
untuk melihat kondisi alami dari suatu fenomena. Menurut Sarosa (2012) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam seting dan
konteks naturalnya di mana peneliti tidak berusaha memanipulasi fenomena yang
diamati.
Penelitian berlangsung selama bulan April sampai dengan bulan Juni 2016.
Hasil penelitian ini diperoleh melalui teknik wawancara semi terbuka yang dilakukan
secara mendalam guna mendapatkan informasi dan data secara langsung. Selanjutnya,
peneliti juga menggunakan metode observasi dan dokumentasi untuk mengetahui
lebih dalam dan jelas serta mentriangulasi mengenai data yang telah ada untuk
kemudian dianalisis. Analisis itu sendiri akan terfokus pada peranan guru dalam
upayanya membentuk moral anak yang difokuskan pada beberapa hal yang menjadi
substansi pendidikan moral.
4.1.1. Gambaran umum lokasi penelitian
TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga merupakan sebuah lembaga pendidikan
yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga (YPE Salatiga)
yang berdiri sejak 01 Oktober 1948. Berdirinya sekolah ini tidak terlepas dari
sekolah-sekolah yang dikelolah oleh Yayasan Pendidikan Eben Haezer (YPE) yakni
SD Kristen 03 Eben Haezer, SD Kristen 04 Haezer dan SMP Kristen 2 Eben Haezer.
Karena terus berkembang dan kebutuhan akan layanan pendidikan anak usia dini
semakin meningkat maka TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga ini kemudian
45
mendirikan kelompok bermain dan Toodler atau tempat penitipan anak sehingga
lembaga ini sekarang bernama lengkap “Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak-
Kanak Kristen 03 Eben haezer Salatiga”.
Visi Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak- Kanak Kristen 03 Eben
haezer Salatiga adalah menjadi lembaga pendiidkan yang berkualitas, professional
dan dipercaya masyarakat dalam rangka mewujudkan manusia yang takut akan
Tuhan, cerdas, kreatif mandiri dan berbudi luhur. Sedangkan misinya adalah (1)
Melayani anak usia dini tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, ras, suku
dan golongan (2) Menumbuhkan karakter moral yang baik melalui pembiasaan (3)
Menumbuhkan sikap kemandirian kepada setiap anak didik (4) Menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran yang berkualitas, aktif, kreatif dan menyenangkan (5)
Mengembangkan potensi anak didik melalui berbagai kegiatan ekstrakulikuler (6)
Mewujudkan kemandirian dalam penyelenggaraan sekolah. Adapun motto dari
sekolah ini yaitu “Let the Seeds Grow” atau “Biarkan Benih Itu Bertumbuh” yang
merupakan perwujudan firman Tuhan dalam markus 10:14b “Biarkanlah anak- anak
itu datang kepada-KU, jangan menghalang- halangi mereka, sebab orang- orang
seperti itulah yang empunya kerajaan Allah”
Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer
Salatiga memiliki sarana dan prasarana berupa ruang kelas, ruang komputer,
perpustakaan, dan beberapa fasilitas pendukung layanan pendidikan. Ada 14 guru, 2
assisten guru dan 5 karyawan dalam struktur organisasi dalam lembaga ini. Proses
pembelajaran yang dilakukan pada TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga
menggunakan kurikulum yang disusun sendiri oleh guru-guru dengan mengacu pada
standar pencapaian perkembangan berdasarkan Permendiknas No. 50 tahun 2009
yang disesuaikan dengan visi dan misi yang ada. Model pembelajaran yang
digunakan yaitu model pembelajaran berbasis sentra yang terdiri dari sentra persiapan
(Readiness), sentra main peran (drama), sentra seni, sentra pembangunan (balok) dan
sentra messy (bahan alam)
46
Jadwal hari pelaksanaan pembelajaran dilaksanankan setiap Senin sampai
dengan Sabtu dengan beban belajar untuk kelas TK A (usia 4-5 tahun) beban belajar
yaitu 29 jam pembelajaran per minggu sedangkan untuk TK B (usia 5-6 tahun) beban
belajar yaitu 32 jam pembejaran per minggu. Jadwal pembelajaran untuk TK B
dimulai dari pukul 07.00 sampai dengan 10.00 untuk hari Senin, Rabu dan Jumat
sedangkan pada hari Selasa, Kamis dimulai dari jam 07.00-09.30. Untuk kelompok
TK A, jadwal pembelajaran dimulai dari jam 09.30 sampai jam 12.00. Sedangkan
untuk jadwal pembelajaran hari Sabtu, TK A dan TK B dimulai pukul 07.00 sampai
09.00. Terdapat 4 kelompok belajar pada TK A yang terdiri dari kelompok Sunflower
(18 anak), Lilly (18 anak), Rose (17 anak) dan Jasmine (18 anak) sedangkan
kelompok belajar TK B juga terdiri dari 4 kelompok belajar yang terdiri dari
kelompok Manggo (18 anak), Watermellon (18 anak), Apple (17 anak) dan Grape (18
anak).
4.1.2. Profil Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini merupakan sumber data yang digunakan
peneliti untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peranannya dalam
pembentukan moral anak usia 4-6 tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga.
Partisipan merupakan guru-guru yang tercatat aktif dalam mengajar di lembaga ini
sampai sekarang. Partisipan dibedakan menjadi dua yaitu partisipan inti dan
partisipan tambahan. Partisipan inti berjumlah 3 orang guru dan partisipan tambahan
berjumlah 1 orang guru.
a. Partisipan Inti
Partisipan inti merupakan sumber informasi inti untuk mejawab masalah
dalam penelitian ini. Guru-guru kelas TK A dan TK B menjadi sumber informasi inti
sebab guru-guru ini merupakan wali kelas dan juga guru sentra yang mengajar anak-
anak dalam rentan usia 4-6 tahun. Guru-guru ini juga merupakan guru-guru yang
sampai sekarang masih aktif mengajar dan tercatat menjadi guru tetap dalam yayasan
pendidikan Eben Haezer Salatiga. Dalam penelitian ini, peneliti menfokuskan pada
47
tiga orang guru PAUD yang mengajar di TK A dan TK B untuk mendapatkan data
bagaimana peranan mereka dalam mengembangkan moral anak-anak pada usia 4-6
tahun sesuai dengan masalah yang ada dalam penelitian ini.
b. Partisipan Tambahan
Partisipan tambahan merupakan sumber informasi tambahan yang berperan
untuk memberikan informasi atau data tambahan serta memperjelas dan memperkuat
informasi atau data-data yang diberikan oleh guru sebagai partisipan inti. Partisipan
tambahan dalam penelitian ini merupakan kepala sekolah yang merupakan pimpinan
dalam lembaga Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben
Haezer Salatiga. Partisipan tambahan yang berjumlah 1 orang ini juga akan
memberikan informasi mengenai program-program atau kebijakan-kebijakan sekolah
yang berkaitan dengan masalah pembentukan moral anak usia 4-6 tahun di lembaga
ini
4.2. Hasil Penelitian
Hasil penelitian disusun berdasarkan hasil wawancara dan data-data tambahan
berupa hasil observasi dan dokumentasi bukti pembelajaran yang dilakukan oleh
guru-guru dalam mengembangkan moral anak usia 4-6 tahun di TK Eben Haezer
Salatiga. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat kesepakatan jam dan hari
di mana akan dilakukan proses wawancara dengan para guru. Hasil wawancara
dilakukan kepada partisipan satu sampai partisipan tiga (P1-P3) dan satu partisipan
tambahan (P0). Sedangkan tanggal yang mengikutinya merupakan waktu di mana
peneliti mewawancarai partisipan-partisipan tersebut. Selanjutnya, peneliti meminta
ijin kepada kepala sekolah untuk melakukan proses penelitian baik itu untuk
mendapatkan data dari metode observasi dan metode dokumentasi di lembaga ini.
Dan berikut adalah hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian di Taman
Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer Salatiga.
48
4.2.1. Motivasi dan Karakteristik seorang Guru PAUD
Menjadi guru PAUD tentunya memerlukan pemikiran, pandangan serta
gagasan tersendiri dari setiap individu yang tertarik untuk terjun pada bidang tersebut.
Setiap individu yang memutuskan untuk melakukan pekerjaan tersebut tentu saja
memiliki motivasi tersendiri baik dari dalam diri pribadi maupun dari orang lain.
Motivasi dari diri pribadi memegang peranan penting bagi individu dalam merancang
serta melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang baik termasuk menjadi seorang
guru PAUD.
Hasil wawancara mengenai motivasi menjadi guru PAUD yang dilakukan
terhadap tiga guru PAUD di Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer Salatiga
menggambarkan motivasi yang berbeda-beda dalam menekuni pekerjaan tersebut.
Perbedaan motivasi tersebut dapat dilihat dari jawaban para guru sebagai partisipan
dalam penelitian ini. P1 mengungkapkan motivasi mendasar menjadi guru PAUD
adalah untuk mendidik anak-anak mengenal Tuhan, mengenal kasih Tuhan serta taat
dan patuh kepada Tuhan. Hal tersebut merupakan keinginan dan tanggung jawab
yang perlu diaplikasikan lewat pelayanan kepada anak-anak. Hal tersebut
diungkapkan dalam kutipan berikut ini
“Saya ingin untuk mendidik anak-anak supaya mereka menjadi anak
anak yang baik yang mengenal akan kasih Tuhan, menjadi anak-anak
yang taat dan patuh kepada Tuhan.” (P1, 11 April 2016)
Selain itu, P2 juga menambahkan bahwa tugas seorang guru PAUD merupakan
tugas yang mulia yang diberikan oleh Tuhan. Seseorang yang bekerja dalam dunia
anak-anak akan mengasah dirinya untuk semakin mencintai anak-anak. Beliau
menambahkan bahwa selain menjadi guru PAUD merupakan tugas yang mulia.
Selain beliau mengaplikasikan pengetahuan yang telah di dapatkan selama
menempuh pendidikan untuk mendidik anak-anak, motivasi lain yang muncul adalah
bahwa berada dalam dunia anak adalah sesuatu yang menyenangkan. Hal tersebut
dibuktikan dalam ungkapan di bawah ini
49
“Karena menjadi guru PAUD memang merupakan tugas mulia dari
Tuhan selain itu juga sebagai guru saya mengaplikasikan sekolah
pendidikan guru saya (SPG) saya yaitu guru PAUD. Saya semakin
mencintai anak-anak karena dunia anak-anak itu sangat menyenangkan
sekali.” (P2, 13 April 2016)
Motivasi yang muncul dalam diri untuk menjadi guru dikarenakan proses
pengalaman. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ditemui dan didapatkan,
pemahaman dan pertumbuhan anak akan terbentuk menjadi lebih baik apabila
dilakukan sejak awal. Pendidikan yang dimulai sejak awal atau sejak dini sangatlah
penting bagi anak terkhusus ketika mereka sudah berada dalam tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, mereka akan terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik.
Untuk itu, pendidikan sangat perlu dan penting dilakukan sejak dini. Hal tersebut di
atas merupakan pengakuan dari P3. Beberapa pengakuan di atas dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini:
“Yang pertama, karena pengalaman mengajar di SMA dan SMP, anak-
anak memiliki sikap, perilaku latar belakang itu yang kurang baik dan
terrnyata itu banyak dipengaruhi oleh waktu atau masa kecil mereka.
Karena itu saya melihat pentingnya pendidikan dari kecil.” (P3, 21 April
2013)
Selain pengakuan dari beberapa partisipan di atas, ungkapan lain juga muncul
dari partisipan tambahan. Melakukan pelayanan bagi anak-anak merupakan anugerah
dan panggilan jiwa yang dikaruniakan Tuhan sehingga perlu untuk dijalankan. Salin
itu, pengalaman-pengalaman yang dialami menjadi motivasi tersendiri bagaimana
seseorang termotivasi menjadi seorang guru terkhususnya menjadi guru PAUD.
Motivasi-motivasi tersebut di atas diungkapkan dalam kutipan sebagai berikut:
“Jadi motivasi saya sudah seperti terbentuk sejak muda. Saya sudah
menjadi pendamping di sekolah Minggu, jadi seperti panggilan jiwa ya
dari Tuhan untuk saya, seperti itu.” (P0, 29 April 2016)
Dari kutipan-kutipan di atas dapat terlihat bahwa motivasi menjadi seorang
guru PAUD lahir dari nurani masing-masing guru yang tentunya bertujuan untuk
membimbing, membangun, serta melayani anak-anak. Keberhasilan pembinaan
tersebut hanya akan tercapai jika dilakukan sejak dini. Ketika seorang guru PAUD
50
merasa merupakan bagian dari dunia anak-anak yang menyenangkan dan
menganggap bahwa tugas dan tanggung jawab dalam membentuk AUD menjadi
pribadi yang dapat diandalkan adalah pemberian Tuhan, maka pelayanan terhadap
anak akan semakin berkualitas serta membangun. Selain itu, pengalaman serta
pendidikan yang telah didapatkan menjadi motivasi bagi guru dalam proses
membimbing anak dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka terkhususnya di
sekolah.
Selain motivasi, ada juga kharakteristik seorang guru PAUD yang menjadi
patokan dan perlu diperhatikan. Tentunya menjadi seorang guru perlu memiliki
kharakter dan sikap yang dapat memberi arah serta tujuan yang jelas bagi
perkembangan serta pertumbuhan anak didik. Pertumbuhan anak baik kognitif serta
afektif tentu saja bergantung pada seorang guru yang merupakan tokoh penting
teristimewa dalam membentuk mereka menjadi pribadi yang baik dan memiliki
kharakter yang dapat diandalkan. Guru perlu memiliki karakter yang dapat diteladani
dan diikuti anak dalam bersikap.
Berdasarkan hasil wawancara, terdapat berbagai tanggapan mengenai
kharakteristik seorang guru PAUD. Hampir semua partisipan mengatakan bahwa
memberi teladan yang baik adalah hal pertama yang perlu dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Kehidupan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka
bertumbuh. Hal ini dikatakan oleh P1, P2, P3 dan P0 sebagai partisipan tambahan.
Pemikiran para partisipan dititikberatkan pada bagaimana guru menjadi panutan bagi
anak sehingga anak dapat meniru. Gagasan mereka terlihat pada jawaban-jawaban
representatif berikut ini:
“Seorang guru PAUD seharusnya tidak menggurui tapi lebih banyak
mendengarkan dan tidak lupa juga untuk meneladankan sesuatu yang
baik pada anak.” (P1, 11 April 2016).
“Harus bisa menjadi teladan bagi anak-anak, sikap yang tidak boleh
sembarangan ya. Dalam bersikap dalam berkata karena anak-anak itu
melihat dan mencontoh, jadi itu yang paling penting.” (P3, 21 April
2016).
51
Karakter lain yang perlu dimiliki oleh seorang guru PAUD adalah bagaimana
menjadi seorang yang sabar, ramah, sopan serta dekat dengan anak-anak. Memahami
dunia anak juga merupakan hal yang sangat penting agar bisa berbaur dengan mereka.
Memiliki karakteristik yang jujur, bertanggung jawab, memiliki etitude yang baik
serta menjadi dasar kuat dan pedoman bagi seorang guru PAUD. Tanggapan tersebut
dikemukakan oleh partisipan (P2 dan P0) yaitu sebagai berikut:
“Seorang guru PAUD tentunya harus memiliki kepribadian yang baik
serta attitude yang baik, karena masa depan anak juga menjadi
tantangan seoran guru PAUD. Selain itu juga harus sabar menghadapi
anak-anak.” (P2, 13 April 2016)
“Karakteristiknya yaitu keteladanan yang baik, kemudian ramah,
sopan, sabar kemudian tanggung jawab, jujur dan berintegritas dan
tidak lupa juga bahwa guru PAUD itu harus bisa memahami anak.”
(P0, 29 April 2016)
Dari kutipan-kutipan di atas sangatlah jelas bahwa anak membutuhkan sosok
atau pribadi (guru) yang dapat memahami mereka dan mengajarkan kepada mereka
apa yang baik untuk dilakukan. Sementara itu, guru bertanggung jawab sepenuhnya
untuk membawa anak pada suatu kondisi yang tepat teristimewa dalam menjaga
interaksi serta menanamkan pelayanan yang sesuai dengan apa yang patut diterima
oleh anak.
4.2.2. Peran Guru dalam Pembentukan Moral
Dalam upaya pembentukan moral anak, ada banyak hal yang penting untuk
dilakukan oleh seorang guru khususnya guru PAUD. Menjadi model, motivator dan
pembimbing adalah tiga peran yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berikut
adalah temuan serta pembahasan ketiga aspek tersebut berdasarkan hasil data yang
diperoleh dalam penelitian ini.
4.2.2.1. Peran Guru sebagai Model
Sebagai seorang guru PAUD, menjadi model bagi anak didik adalah salah satu
karakter yang tidak bisa dipisahkan. Pada umumnya anak-anak memerlukan tuntunan
52
serta petunjuk yang dapat menuntun mereka untuk berprilaku secara baik khususnya
dalam rangka bersosialisasi dengan sesama dan lingkungan. Secara jelas berikut akan
dibahas secara detail peran tersebut berdasarkan pendapat, ide atau gagasan yang
diperoleh dalam penelitian ini selama proses pengambilan data.
a. Pentingnya Menjadi Role Model bagi Anak
Menjadi seorang role model bagi anak tentunya memiliki alasan tersendiri.
Semua partisipan (P1-P3) menyatakan bahwa hal tersebut sangatlah penting dan
wajib dilakukan oleh seorang guru PAUD. Pendapat mereka didasari pertimbangan
bahwa usia anak adalah usia di mana mereka dengan cepat dapat meniru apa pun
yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk guru. Ketika guru melakukan hal yang
baik, anak pasti akan mengikuti. Sebaliknya ketika guru melakukan hal yang tidak
baik, tentu saja anak akan meniru. Oleh karena itu, guru harus mampu menjaga dan
berhati-hati dalam berprilaku. Berikut adalah kutipan pernyataan partisipan sebagai
representatif mengenai menjadi seorang role model:
“Menurut saya kita menjadi model untuk anak-anak itu karena setiap hari
mereka meniru kita., jadi kita, kepada kita itu kita memberikan model-
model, kita menjadi contoh anak-anak yang baik. ketika anak melihat
kita mengasihi, mereka pun belajar mengasihi.” (P1, 11 April 2016)
“Menjadi teladan berarti menjadi contoh. Karena anak adalah peniru
ulung maka itu, guru harus benar-benar berhati-hati dalam dan menjaga
sikap sehingga anak bisa mengikuti sikap yang baik dari guru. .” (P3, 21
April 2016)
Lebih jelas lagi, anak perlu dibiasakan untuk melakukan hal yang positif
dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah istilah Jawa mengatakan bahwa menjadi guru
adalah suatu tugas mulia karena membimbing anak menjadi manusia yang berguna di
masa depan adalah suatu tuntutan. Sebagai seorang guru, menjadi role model berarti
memberikan teladan yang bisa digugu dan ditiru. Hal tersebut ditambahkan oleh P2
dalam kutipan, sebagai berikut:
“Menjadi role model itu dilakukan dengan cara menjaga stabilitas kita
sebagai guru, bertindak hati-hati dalam berbagai macam aspek bukan
53
hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan luar sekolah.” (P2, 13 April
2016)
Kutipan-kutipan di atas memberikan suatu pemahaman bahwa peran guru
sebagai role model adalah suatu tuntutan tetapi juga tantangan. Seorang guru PAUD
adalah pemberi arah melalui sikap dan perilakunya sehari-hari. Ketika seorang guru
memberikan contoh yang baik, anak didinya juga pasti akan menjadi baik dan
sebaliknya.
b. Bentuk-Bentuk Keteladanan bagi Pembentukan Moral Anak
Untuk seorang role model, seorang guru tentu saja harus mempraktikan
hal-hal baik baik dan pantas yang patut ditiru dan diteladani oleh anak didiknya.
Sebagai anak usia dini, mereka memerlukan tindakan-tindakan praktis yang secara
langsung dapat dilihat dan membekas dalam pemikiran mereka. Apa yang
dilakukan setiap hari di lingkungan merupakan input, masukan dan referensi bagi
mereka untuk bertindak serta berperilaku.
Untuk itulah diperlukan contoh-contoh yang konkrit mengenai bentuk-
bentuk atau sikap-sikap positif yang dapat dijadikan acuan bagi mereka.
Berdasarkan hasil wawancara, banyak variasi jawaban yang diungkapkan oleh
para partisipan mengenai sikap serta perilaku yang menjadi contoh bagi anak.
Secara umum, para partisipan menekankan pada perilaku-perilaku anak ketika
berinteraksi dengan sesama, misalnya memberi salam kepada orang lain, bersikap
ramah kepada sesama, berbicara dengan halus atau sopan kepada teman. Selain itu,
mengucapkan terima kasih ketika dibantu atau ditolong oleh sesama teman atau
orang lain. Anak-anak dibekali dengan sikap dan perilaku seperti tidak terlambat
ke sekolah dan ikut dalam renungan pagi bersama dengan guru lainnya juga
menjadi bagian dari hal-hal praktis yang dilakukan guru. Sebab ketika anak-anak
melihat gurunya berdoa dan mendengarkan renungan terkhusus bagi anak-anak
yang datang lebih awal mereka tentunnya akan melihat dan meniru apa yang
dilakukan oleh para guru. Ungkapan-ungkapan tersebut diatas dapat dilihat pada
kutipan yang disampaikan oleh P1 dan P2 sebagai berikut:
54
“Dengan memberi salam, mengucapkan salam kepada temannya.
Biasannya kalau pagi itu ketika anak-anak datang saya pasti meberi
salam dan tidak akan melepas sebelum anak memandang saya dan
membalas salam saya, begitu. Di saat mereka datang mereka
mengucapkan selamat pagi. Terus jika diberi sesuatu atau ditolong,
mengucapkan terima kasih.” (P1, 11 April 2016)
“Seperti yang berlaku di sini, katakalah di TK Eben Haezer ini, datang
awal, kita ikut renungan, kita ikut berdoa itu otomatis secara tidak
langsung anak-anak itu melihat dan mengikuti apa yang kita lakukan
kemudian memanggil anakpun dengan halus, ramah.” (P2, 13 April
2016)
Sementara itu, partisipan (P3) menekankan pada bagaimana bentuk
keteladanan bagi anak yang menyangkut dengan memelihara hubungan dengan yang
Maha Kuasa dan lingkungan. Berdoa dan sikap berdoa yang baik perlu ditanamkan
kepada anak sehingga mereka terbiasa untuk menyembah Tuhan dengan benar. Selain
itu, partisipan (P1 dan P3) juga memberikan pendapat menyangkut sikap membuang
sampah pada tempatnya dan tertib ketika meletakkan barang bawaan seperti tas,
buku, dan makanan serta barang-barang yang lain. Berikut merupakan kutipan
pernyataan P1 dan P3
“Kalau praktisnya dari kegiatan sehari-hari. kebiasaan-kebiasaan seperti
tertib dan sopan itu perlu. Ketika meletakkan tas harus sopan dan rapi.
Ketika berdoa, anak-anak itu kan harus dengan sikap yang baik yaitu
lipat tangan, tutup mata, jadi saya memberikan contoh seperti itu.” (P3,
21 April 2016)
“Misalnya membuang sampah pada tempatnya itu juga kita terapkan
mulai dari sekarang. Selesai makan, mereka harus membuang sampah
pada tempat sampah yang telah disediakan.” (P1, 11 April 2016)
Kutipan-kutipan di atas adalah bentuk-bentuk perilaku yang dilakukan para
guru di TK Kristen Eben Haezer 03, Salatiga. Namun, berbagai pendapat berbeda pun
muncul mengenai keberhasilan tindakan-tindakan tersebut. P1 mengatakan bahwa
anak-anak dianggap berhasil mengikuti apa yang dicontohkan guru. Sementara itu, P2
mengatakan hal yang berbeda. P2 menilai bahwa apa yang dilakukan guru belum
55
tentu berhasil. Hal tersebut dikarenakan masih banyak anak-anak yang belum
menunjukkan perubahan pada sikap mereka dan sikap dan kondisi dari guru itu
sendiri. Pernyataan tersebut terdapat dalam kutipan pernyataan berikut
“Selama pengalaman saya, saya melihat itu, anak-anak sebagian besar
sudah berhasil melakukan itu. Berhasil melakukan apa yang sudah kami
contohkan dan yang kami berikan, jadi sudah berhasil menurut saya.”
(P1, 11 April 2016)
“Tidak berhasil. Karena ada kalanya kondisi kita sebagai guru
mengalami katakanlah tidak stabil juga. Kadang kondisi pikiran kita
suatu masalah itu membuat kita saat itu mungkin tidak layak untuk
dicontoh oleh anak-anak. jadi itu yang membuat sepenuhnya tidak
berhasil.” (P2, 13 April 2016)
Berbeda dengan P3 yang menyatakan sangat sulit menilai berhasil atau tidak
karena dalam proses pembentukan moral anak terdapat kendala-kendala yang ditemui
oleh para guru. Partisipan bahkan mengatakan hal tersebut masih relatif dan susah
untuk dinilai keberhasilan ataupun ketidakberhasilannya. Berbagai alasan
melatarbelakangi seperti pembiasaan dari lingkungan keluarga dan kepribadian anak
itu sendiri. Pendapat tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Kalau dikatakan berhasil atau tidak susah ya menilainya yaa. Karena
itu ada kendalanya mungkin dari pembiasaan di keluarga atau dengan
sifat dari karakteristik anak itu sendiri, ya paling tidak kita berusaha
sebaik mungkin supaya anak-anak itu bisa meniru.” (P3, 21 April 2016)
Beberapa data yang telah diberikan oleh partisipan inti di atas kemudian
dipertegas dan dibenarkan kembali oleh partisipan tambahan dalam hal ini kepala
sekolah. Selain itu, partisipan tambahan juga memberikan tambahan informasi
partisipan tambahan bagaimana peran guru dalam mengembangkan moral anak
terkhususnya anak usia 4-6 tahun. Partisipan (P0) menyatakan bahwa setiap bulannya
selalu ada evaluasi kinerja guru-guru sehingga dalam kesehariannya. Beliau juga turut
mengobservasi dan menilai bagaimana para guru memberikan perannya sebagai
sosok yang bertanggung jawab dalam perkembangan anak didiknya terkhususnya
56
dalam perkembangan moral. Salah satunya adalah dengan memberikan teladan atau
model nilai-nilai moral yang baik pada anak.
Guru-guru memberikan bentuk keteladanan dalam keseharian mereka baik itu
dalam bertutur kata maupun bertingkah laku. Misalnya dengan memberikan ucapan
terima kasih ketika ditolong atau menerima sesuatu kemudian menggunakan nada
bicara yang lembut dan tidak kasar sehingga anak-anak melihat dan meneladani
bagaimana berperilaku dan bertutur dengan ramah. Selain itu, bentuk keteladan yang
diberikan juga lewat beberapa kegiatan rutin yang dilakukan oleh para guru
contohnya kegiatan berdoa bersama di mana sebelum 15 menit memulai aktifitas
dengan anak-anak guru-guru mengadakan doa dan renungan bersama dan ketika ada
anak-anak yang datang mereka juga biasanya ikut bersama dengan guru untuk berdoa
sehingga dari kegiatan-kegiatan tersebut anak-anak melihat dan meneladani niali-nilai
moral yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Berikut adalah kutipan
pernyataannya
“Jadi yang dilakukan guru sebagai model yaitu dengan bagaimaan
bersikap dan berbicara ya misalnya memberikan contoh supaya bisa
berlaku baik misalnya jika diberi sesuatu kemudian meminta terima
kasih, berbicara juga lembut tidak dengan nada yang tinggi, misalnya
setiap pagi itu sebelum melaksanakan kegiatan kita para guru ada doa
dan renungan pagi, jadi kalau ada anak-anak yang sudah datang duluan
biasannya juga ikut bersama kita jadi mereka melihat langsung dan itu
teladan yang baik. Itu saya pikir itu sudah menjadi model bagi anak-
anak.” (P0, 29 April 2016)
Selanjutnya Partisipan (P0) juga menambahkan bahwa tingkat keberhasilan
dari bentuk-bentuk nilai moral yang telah diteladankan oleh para guru-guru di atas
masih dikatakan 65-70 persen tingkat keberhasilannya karena masih ditemukannya
anak-anak yang masih melakukan hal-hal yang kurang berkenan terkait dengan nilai
moral serta untuk menumbuhkan karakter itu kan merupakan proses yang tidak
sebentar. Pernyataan P0 dibuktikan dalam kutipan pernyataan dibawah ini
“Karena menumbuhkan karakter itu kan merupakan proses yang tidak
sebentar jadi berhasil antara nilai segitulah miss, ya 65-70 persen karena
57
kita tidak menyangkal masih ada anak yang melakukan hal-hal yang
kurang baik.” (P0, 29 April 2016)
Menurut data observasi, peneliti menemukan bahwa semua partisipan
melakukan hal yang sama dengan apa yang diungkapkan. Para partisipan selalu
memberikan bentuk keteladanan berupa memberi salam, membuang sampah pada
tempatnya, menggunakan kata tolong dan terima kasih ketika meminta dan mendapat
bantuan dari orang lain dan beberapa perilaku-perilaku praktis yang dilakukan secara
konseptual. Namun peneliti menemukan bahwa memberikan keteladanan terkhusus
dalam tindakan berdoa dengan sikap yang benar selalu dilakukan oleh P1 dan P3,
sedangkan P2 termasuk dalam kategori sering melakukan sebab ketika berdoa
terkadang P2 tidak menunjukan sikap yang baik dalam hal ini tutup mata dan lipat
tangan. P2 lebih terfokus pada anak untuk membenarkan sikap anak dalam berdoa.
Meskipun demikian tidak dalam semua kegiatan berdoa P2 menunjukan hal-hal
tersebut.
Selanjutnya, menurut dokumentasi (lampiran 6) yang merupakan program
semester sekolah yang disusun oleh guru, mewajibkan guru untuk dapat memberikan
bentuk keteladanan bagi siswa. Contohnya salah satu indikator yang ada yaitu anak
dapat meniru sikap berdoa yang baik dan benar. Hal ini menjadi panduan bagi para
guru bagaimana menjadikan dirinya sebagai contoh bagi anak didik dalam sikap
berdoa. Ini menjadi bukti bahwa guru-guru mempunyai kewajiban memberikan
bentuk keteladanan bagi anak dalam berlaku baik. Selain itu setiap pembiasaan-
pembiasaan yang ada di program sekolah menunjukan adanya suatu bukti bahwa guru
benar-benar harus dapat melakukan setiap pembiasaan-pembiasaan tersebut dalam
kehidupan di lingkungan sekolah yang tentunya akan menjadi acuan bagi anak dalam
bersikap dan berperilaku dalam pembiasaan tersebut.
Beberapa kutipan pernyataan dan data yang dikumpulkan melalui observasi
serta dokumentasi yang ada, memberi gambaran mengenai praktek-praktek yang
penting untuk dilakukan guru dalam membangun pertumbuhan moral anak. Anak
perlu dilengkapi dengan berbagai perilaku yang tentu saja ditemui dalam kehidupan
sehari-hari. Menjaga hubungan interaksi secara vertikal dan horisontal melalui
58
penerapan kharakter yang positif adalah hal yang utama yang harus berakar dan
bertumbuh seiring pertumbuhan moral anak. Kebiasaan-kebiasaan yang positif harus
melekat pada diri anak agar anak mampu membedakan hal yang benar dan perlu
dilakukan dan hal yang salah yang harus dihindari.
c. Relasi dengan Berbagai Komponen di Sekolah
Kebersamaan di antara berbagai komponen di sekolah harus menjadi faktor
yang kuat dalam upaya mempengaruhi anak agar kemudian mengikuti apa yang di
alami dan dilihat dalam dunia sekolah. Untuk itulah diperlukan berbagai contoh
konkrit yang mampu mengubah pola pikir serta perilaku anak agar nantinya anak
akan meneladani demi pertumbuhan moral yang lebih baik. Berhubungan dengan hal
tersebut, para partisipan mengungkapkan apa yang mereka lakukan dalam upaya
menjaga hubungan baik dengan para komponen di sekolah. Terdapat berbagai
tindakan yang dilakukan seperti menjaga komunikasi yang harmonis dan saling
menghargai satu sama lain kemudian dalam berkata dan bertindak juga melakukan
dengan hal yang baik. Selain itu, tidak lupa memberi senyuman ketika berjumpa
dengan orang dan berjabatan tangan kepada orang lain dengan ramah juga dilakukan
guna menjaga hubungan yang baik dengan komponen yang ada di sekolah. Hal ini
dikatakan oleh P1 dengan kutipan pernyataan sebagai berikut
“Membangun relasi dengan cara kita berkomunikasi dengan baik.
Saling menghargai satu dengan yang lain misalnya berkata dengan
baik dan bertingkah juga dengan baik kepada orang lain. Ketika
bertemu guru atau siapapun jangan lupa senyum, terus ada juga
misalnya sambil berjabatan tangan, begitu.” (P1, 11 April 2016)
Sementara itu, P2 mengungkapkan juga menggungkapkan bahwa memberi
salam berupa tos atau sebagainya juga merupakan langkah yang diambil untuk
menjalin relasi yang baik dengan komponen yang ada di sekolah. Hal yang terpenting
adalah menjaga hubungan yang baik dengan sesama atau patner kerja serta dengan
kepala sekolah. Hal tersebut terrepresentasikan dalam kutipan berikut
“Ya ketika kita bertemu ya kita memberi salam, hallo atau hai ya,
how are you, dan lain sebagainya tos begitu misalnya kepada yang
59
lain juga seperti itu. Selain itui saya berusaha di depan anak-anak
harus memiliki hubungan yang baik dengan teman saya atau patner
saya” (P2, 13 April 2016)
Hubungan yang baik akan terjalin jika ada sikap dan kata yang baik yang
digunakan dalam kehidupan di sekolah terkhususnnya karena di dalam kelas terdapat
dua orang guru yang bertanggung jawab untuk itu, mengucapkan kata permis,
menggunakan kata tolong dengan sopan, berbicara dengan penggunaan kata tolong
dan ucapan terima kasih merupakan hal-hal praktis yang dilakukan dalam berelasi
dengan komponen-komponen yang ada di sekolah. Dengan begitu anak-anak akan
melihat dan dapat mencontohi hal-hal yang baik yang dilakukan oleh guru. Hal
tersebut merupakan pernyataan dari P3 dalam kutipan pernyataaan berikut
“Contoh yang praktisnya ya kalau misalnya di kelas em, misalnya
kalau di kelas itu kan ada 2 guru ya. Kalau di kelas misalnya partner
guru saya datang selalu mengatakan permisi. Misalnya kalau minta
tolong itu belajar meminta tolong dengan sopan, berbicara dengan
ada kata tolong, terus ucapkan terima kasih jadi kan anak-anak
melihat. Jadi bersikap dan berkata dengan baik di depan anak-anak
itu ya, sehingga mereka dapat mencontoh yaa.” (P3, 21 April 2016)
Selain itu, partisipan tambahan (P0) yaitu kepala sekolah juga menyatakan
bahwa relasi dengan orang-orang yang ada di sekolah merupakan kunci utama peran
guru sebagai model sebab anak melihat dan meneladani bagaimana guru berinteraksi.
Beliau juga menambahkan bentuk-bentuk keteladanan dari membangun relasi yang
baik dengan semua anggota atau rekan kerja misalnya saling bertegur sapa,
memberikan pelukan hangat atau menyentuh bahu rekan ketika bertemu, adanya kata
tolong ketika meminta sesuatu merupakan bentuk-bentuk keteladanan yang diberikan
oleh para guru dan ini menjadi modal utama bagaimana mengembangkan nilai-nilai
moral anak. Dengan menggunakan sistem dua guru atau patner guru dalam mengajar
di dalam kelas, tujuannya sebenarnnya juga untuk membuat rekan-rekan guru dan
komponen yang ada di dalam sekolah menjalin hubungan yang lebih baik. bagaimana
guru-guru belajar untuk bekerja sama dan saling tolong menolong. Hal ini tercantum
dalam kutipan berikut
60
“Bagi saya, hubungan sesama rekan itu sangat penting sebab anak-anak
melihat langsung dan mau tidak mau karena karakter mereka adalah
peniru ulung maka otomatis mereka akan melihat baik ataupun buruk
ya.” (P0, 29 April 2016)
“Melatih diri untuk memberikan salam dengan ramah kepada orang
terlebih dahulu, kemudian kalau di dalam kelas mau minta tolong
misalnya kepada rekan guru ada ucapan kata tolong dan terima kasih,
kemudian kalau misalnya guru yang satu tidak masuk berarti guru yang
lain menggantikan sebagai bentuk bekerja sama dan saling menolong.
Sebenarnya salah satu tujuannya itu kenapa kita buat satu kelas itu ada
dua orang guru yang mengampuh.” (P0, 29 April 2016)
Menjalin hubungan yang baik sangatlah penting untuk dalam sebuah lembaga
pendidikan. Hal ini juga yang ditunjukan oleh partisipan ketika peneliti melakukan
obsevasi. Peneliti menemukan bahwa semua partisipan menjalin hubungan yang baik
dengan berlaku ramah kepada sesama yang ada di sekolah dengan hal-hal praktis.
Selain itu terdapat juga kegiatan ibadah bersama atau renungan pagi bersama yang
dilakukan oleh para guru untuk mempererat hubungan antara komponen yang ada di
sekolah. Keikutsertaan guru dalam ibadah dan renungan pagi bersama ini
memperlihatkan bagaimana partisipan membangun hubungan yang baik dengan
sesama di sekolah. Selain itu peneliti juga mendapatkan bahwa dalam setiap kelas
terdapat dua orang yang bertanggung jawab atas kelas tersebut sehingga dapat
mempererat relasi dengan sesama guru dalam sebuah kerja sama. Hal yang sama juga
menjadi bukti bahwa guru harus memberikan keteladanan dalam berperilaku sopan
dalam setiap kegiatan yang diawali dengan program pembiasaan dari guru dan anak
(lampiran 6). Program membiasakan diri berperilaku sopan juga menjadi kewajiban
bagi guru untuk melakukan atau menjaga hubungan yang baik dengan komponen
yang ada di sekolah sebagai bentuk keteladanan yang bisa ditiru anak dalam program
pembiasaannya.
Apa yang dilihat di atas menyatakan bahwa menjaga relasi yang baik dengan
sesama komponen di sekolah ternyata tidak harus dengan melakukan hal-hal yang
sulit. Semua yang perlu dilakukan adalah hal-hal sederhana dan yang ditemui setiap
hari. Memberi salam kepada orang lain tentunya sangat krusial khususnya dalam
proses menghargai satu sama lain. Ketika kita memberi salam, ada damai sejahtera
61
yang sudah dibagikan kepada orang lain. Selain itu bentuk kerja sama yang dibangun
juga menjadi bagian yang penting dalam menjaga hubungan yang baik dengan
sesama komponen sekolah.
d. Sikap yang Dilakukan Jika Anak Tidak Meneladani Tindakan Guru
Membentuk moral anak adalah tanggung jawab yang tentunya tidak ringan.
Banyak hal yang pasti dicontohi anak tetapi juga banyak yang tentunya tidak
diteladani oleh mereka. Ketika anak tidak meneladani tindakan guru, tentu saja ada
langkah yang diambil sebagai upaya mendorong anak untuk melakukannya. Hal
tersebut tentunya didasarkan pada kemauan agar moral anak benar-benar terbentuk
sejak dini.
Berdasarkan jawaban partisipan mengatakan bahwa perlu adanya pembiasaan
suatu tindakan yaitu harus dilakukan berulang-ulang dan konsisten. Tujuannya adalah
agar anak dengan cepat menjadi terbiasa dan menyerap apa yang diajarkan guru pada
mereka. Guru seharusnya tidak jemu atau bosan menggingatkan dan mengulangi
setiap tindakan yang ingin diajarkan kepada anak sehingga nantinya anak dapat
melihat dan mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Penegasan ini dikatakan oleh
P1, dan P3 dalam. rangkaian wawancara seperti yang terdapat dalam kutipan di
bawah ini:
“Saya akan berulang kali menginggatkan kepada anak supaya mereka
melakukan hal yang baik. Jadi melalui pembiasaan” (P1, 11 April 2016)
“Terkadang memang harus diingatkan atau diulang-ulang terus setiap hari
karena itu adalah pembiasaan. Jadi lebih ke mengingatkan dan
pembiasaan setiap hari. Dan tidak jemu-jemu memberi contoh.” (P3, 21
April 2016)
Selain tindakan pembiasaan di atas, ada juga tindakan lain yang dilakukan
seperti menegur, memberi peringatan, pengarahan, bertanya serta memberi nasihat
dengan kata-kata yang positif. Selain itu, ada sentuhan yang diberikan kepada anak
sehingga anak-anak menyadari bahwa sebenarnya dia bisa melakukan hal yang baik
dan tidak menyenangkan hati guru. dengan sentuhan yang lembut anak diharapkan
menyadari bahwa dirinya merupakan individu yang baik dan disenangi oleh semua
62
orang ketika ia melakukan hal yang baik. Semuanya ditujukan bagi perkembangan
moralitas yang lebih baik. Kutipan tersebut dikatakan oleh P2 berikut ini:
“Paling tidak kita memberi sentuhan kepada anak, kemudian ya saya
biasanya langsung menegur, memberi peringatan dan bertanya kepada
anak, biasanya langsung dengan kata-kata ya sehingga anak-anak juga
bisa langsung sadar bahwa perbuatannya tidak sesuai atau tidak
disenangi oleh saya seperti itu.” (P2, 13 April 2016)
Sementara itu, ketika anak sudah melakukan hal yang berlebihan dan kurang
bisa dikendalikan maka anak tersebut akan di pisahkan dulu dari temannya.
Tujuannya adalah supaya anak memahami sebab dan akibat dari perbuatan yang
dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik selain itu, mengajarkan anak yang
lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Hal ini dipertegas oleh P3 dalam kutipan
pernyataan sebagai berikut
“Kemudian ketika misalnya sudah terlalu berlebihan tindakannya,
saya biasannya memisahkan dulu dari teman, menyuruhnya
untuk duduk dulu supaya bisa tenang dan belajar memahami
sebab akibat perbuatannya dan juga tidak tertular ke anak yang
lain” (P3, 21 April 2016)
Mengambil langkah yang tepat dalam upaya mendorong anak melakukan
tindakan positif sebagai bentuk partumbuhan moral mereka merupakan tanggung
jawab yang besar bagi seorang guru. Hal yang lebih fatal adalah ketika anak tidak
mau melakukan apa yang dicontohkan kepada mereka. Guru harus berupaya
mengarahkan mereka dengan tindakan dan sikap yang bisa menyadarkan mereka
menjadi pribadi yang penurut.
Selain pendapat dari partisipan-partisipan di atas, berikut merupakan
pernyataan partisipan tambahan mengenai langkah-langkah yang diambil oleh para
guru ketika anak-anak tidak melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan oleh para
guru. sebelumnya beliau menyatakan bahwa dirinya sering memantau guru-guru
didalam kelas dalam proses belajar dan mengajar sebagai bagian dari tugasnya
menjadi kepala sekolah. Beliau menyebutkan bahwa guru memberikan nasehat dan
teguran kepada anak-anak yang tidak melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan
63
kepada mereka. Namun biasannya ketika anak melakukan hal yang berlebihan dan
tidak sesuai maka biasannya guru juga memisahkan anak dengan teman-temannya
guna mencegah anak yang lain melakukan hal yang sama. Teguran dan nasehat ini
menurutnya merupakan cara yang paling sering dilakukan oleh para guru. hal ini
terbukti dalam pernyataan sebagai berikut
“Yang saya lihat yaa sejauh ini, karena kebetulan saya juga biasanya
sering melihat proses pembelajaran di dalam kelas, kalau ada anak
yang melakukan tidak sesuai dengan apa yang di contohkan, yang
paling awal adalah menegur, kemudian menasehati atau
menggingatkan.” (P0, 29 April 2016)
“Selain itu, kalau misalnya sudah keterlaluan begitu biasannya
dipisahkan dulu dari teman-temannya ya, karena takutnya menular ke
teman yang lain, kan itu bukan contoh yang baik. Biasanya
tindakannya langsung.” (P0, 29 April 2016)
Hasil observasi juga menunjukan bahwa semua partisipan menggunakan
kegiatan-kegiatan pembiasaan untuk mengatasi sikap anak yang tidak dapat
meneladani apa yang dilakukan partisipan (lampiran 6). Pembiasaan dilakukan setiap
hari misalnya ketika datang ke sekolah anak-anak disambut dengan senyuman dan
saling memberi salam. Guru tidak akan melepas tangan anak sebelum anak melihat
dan membalas salam dari guru. Selain itu, partisipan memberikan peringatan, teguran
dan nasehat juga dilakukan oleh para partisipan untuk menyikapi anak yang tidak
melakukan sesuai dengan keteladanan yang telah diberikan. Bahkan ketika anak-anak
masih dalam jangkauan orang tua guru misalnya ketika orang tua mengatar di depan
gerbang sekolah dan ketika menjemput, partisipan juga memberi nasehat, teguran dan
peringatan ketika dianggap perilaku anak kurang baik. Nasehat, peringatan dan
teguran-teguran yang diberikan oleh para partisipan menggunakan kata-kata yang
positif dan sederhana dan dapat diterima oleh anak bahkan orang tua.
Hal-hal tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa anak membutuhkan
pembiasaan atau praktek berulang kali. Pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan
hendaklah bersifat konsisten sehingga anak tidak menjadi binggung dengan hal-hal
yang menjadi pembiasaan dalam kehidupannya. Suatu pembiasaan yang baik akan
64
berakhir dengan hasil yang baik, begitu pula sebaliknya. Selain itu, teguran dan
peringatan perlu dilakukan sehingga anak-anak dapat memahami sebab dan akibat
dari perbuatan yang mereka lakukan dan guru juga penting mencegah anak-anak yang
lain melakukan hal-hal yang sama dan kurang berkenan.
4.2.2.2. Peran Guru sebagai Motivator
Sejalan dengan peranan guru sebagai role model, guru sebagai motivator juga
menjadi bagian yang tidak terlepas dari tugas utama seorang guru. Motivator
memberikan gambaran jelas bahwa seorang guru tidak hanya sekedar memberikan
ilmu ataupun wawasan baru terhadap siswa tetapi guru juga dituntut memberikan
dorongan atau semangat baik kepada siswa dengan tujuan dapat meningkatkan
semangat belajar ataupun kualitas perkembangan yang baik terkhususnya bagi anak
didiknya.
Dan berikut merupakan hasil wawancara kepada 3 orang partisipan yang
menjelaskan tindakan atau peranan yang mereka lakukan dalam rangka menjalankan
tugasnya sebagai seorang motivator bagi anak yang ditriangulasikan dengan
penjelasan dari kepala sekolah dan data hasil observasi serta dokumentasi.
a. Bentuk Motivasi Jika Anak Melakukan Sesuai Pembentukan Moral
Dunia pendidikan anak usia dini, kata motivasi biasanya lebih dikenal dengan
sebutan pengguatan. Pengguatan yang diberikan kepada anak bertujuan agar anak
lebih bersemangat dalam hal pembelajaran terkhususnya dalam perilakunya yang
berkaitan dengan aspek perkembangan moral. Pengguatan atau motivasi yang
diberikan juga bertujuan agar anak mengetahui sebab dan akibat dari perbuatan yang
dilakukan. Jika akibat yang didapatkan menyenangkan hatinya maka anak bisa
mengambil kesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukannnya dianggap baik
begitupula sebaliknya. Hal ini dinyatakan oleh pernyataan dari partisipan P3 dan P2
dengan kutipan sebagai berikut
“Kalau kita di PAUD, motivasi itu biasanya lebih ke penguatan
namanya yaa.” (P2, 13 April 2016)
65
“Motivasi itu, menurut saya selain bisa memberikan semangat pada
anak, anak juga bisa tau kalau gurunya dengan senang memberikan
sesuatu ya berarti baik perbuatannya, nah kalau yang tidak gurunya
pasti sedih mukanya misalnya, jadi mereka bisa tau ooh, yang ini
ternyata tidak baik.” (P3, 21 April 2016)
Bentuk motivasi yang digunakan adalah pujian. Hal ini dinyatakan oleh P2
dan P3. Mereka menyatakan bahwa bentuk motivasi yang sering digunakan adalah
pujian kepada anak. Pujian dalam bentuk acungan jompol, tos, senyuman, kata-kata
positif menjadi hal utama yang sering dan selalu digunakan oleh para partisipan
dalam rangka mengembangkan moral anak didiknya hal ini. Selain itu, menceritakan
kepada teman-teman di kelas juga digunakan sebagai bentuk dari motivasi jika anak-
anak melakukan hal-hal baik. Pujian dan menceritakan pada teman sebaya yang
diberikan semata-mata untuk menyemangati ataupun memberikan dorongan sehingga
anak-anak mampu atau dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik yang berkenan
bagi orang lain dan adanya pujian juga yang diberikan oleh teman sebayanya. Dari
pujian-pujian tersebut diharapkan anak mampu untuk mengulangi hal-hal baik yang
dilakukan. Dan berikut adalah jawaban representative dari pernyataan di atas.
“Jadi untuk bentuk motivasinya saya biasanya memberikan reward ya,
misalnya memberikan acungan jempol, ataupun tos, dan lain
sebagainya itu yang kami lakukan.. Dan tidak lupa saya memberikan
pujian.” (P2, 13 April 2016)
“Kita berikan semacam pujian gitu, jadi misalnya terima kasih kamu
sudah jujur atau kalau berhubungan dengan teman-temannya sekelas
bisa kita ceritakan pada teman-teman sekelasnya jadi itu akan
memotivasi dia bahwa oh, ternyata perbuatan jujur itu baik.” (P3, 21
April 2016)
Sementara itu, memberikan reward berupa senyuman dan semangat kepada
anak juga diberikan. Selain itu, memberikan hadiah dan reward kepada anak
misalnya, memberikan cap atau stiker, memberikan permen, bintang juga diberikan
sebagai bagian dari bentuk-bentuk motivasi yang diberikan kepada anak. Tujuannya
66
agar anak-anak senang melakukan nilai-nilai moral dalam kesehariannya. Hal ini
diungkapkan oleh P1 dalam kutipan sebagai berikut
“Yang pasti kita berikan senyuman, semangat kepada mereka kemudian
misalnya saya biasanya memberikan hadiah, memberikan reward
kepada mereka misalnya oh, tangannya mereka diberi cap atau diberi
stiker, atau diberi permen, bintang nah itu membuat mereka itu senang
melakukan nilai moral yang baik yaa setiap harinya.” (P1, 11 April
2016)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas membuktikan bahwa pemberian motivasi
kepada anak akan bermanfaat bagi mereka guna mengembangkan nilai-nilai moral
yang ada. Selain itu, pemberian motivasi atau penguatan juga memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengenal dan membedakan hal yang baik dan tidak
baik. Selain pengakuan dari 3 partisipan di atas, partisipan tambahan juga
membenarkan apa yang dilakukan oleh ketiga partisipan. Beliau menyatakan bahwa
guru memberikan reward berupa pujian dan memberikan stiker atau bentuk-bentuk
seperti bintang yang akan membuat anak termotivasi untuk melakukan nilai-nilai
moral yang baik. Selain itu, dengan menceritakan kepada teman sebaya juga
dilakukan oleh guru guna memberikan dampak positif bagi anak yang melakukan hal-
hal yang benar. Hal-hal yang diberikan oleh guru diharapkan sesuai atau dalam porsi
yang tepat sehingga membawa dampak positif bagi anak bukan sebaliknya Berikut
merupakan jawban representatifnya.
“Dengan pujian, kemudian reward ya seperti biasanya memberikan
stiker, bintang, matahari begitu yang membuat anak-anak itu ingin lagi
melakukan hal yang baik. Tapi tentu saja dengan porsi yang pas ya,
tidak berlebihan karena itu nanti efeknya akan menjadi tidak baik lagi,
begitu. Terus biasannya guru juga bilang sih ke anak-anak yang lain
perbuatan yang baik jadi anak yang melakukan nilai moral yang baik
tadi akan senang begitu.” (P0, 29 April 2016)
Berdasarkan hasil observasi, peneliti mendapatkan bahwa semua partisipan
menggunakan pujian sebagai motivasi bagi anak jika melakukan sesuai nilai-nilai
moral. Pujian yang dimaksud bisa berupa senyuman dan beberapa bentuk langsung
dari bahasa tubuh misalnya jempol atas toss, selain itu peneliti menemukan bahwa P3
67
memang menggunakan metode menceritakan kebaikan atau hal baik yang dilakukan
oleh anak kepada teman-temannya di dalam kelas. Selanjutnya ketika mengobservasi
peneliti juga menemukan P1 menggunakan metode pemberian hadiah berupa bunga
yang diberikan kepada beberapa anak yang berhasil membantu temannya
membereskan mainan setelah bermain. Pemberian ini dilakukan ketika setelah
bermain dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan P1 dan P3 mengenai pemberian
motivasi kepada anak ketika melakukan hal baik yang sesuai dengan pembentukan
moral.
Pemberian penguatan atau motivasi kepada anak yang melakukan hal-hal yang
baik sesuai dengan porsi yang tepat dan pas diharapkan dapat memberikan dorongan
dan semangat pada anak untuk terus melakukan hal-hal yang baik yang berguna bagi
perkembangan moralnya baik itu untuk sekarang dan kehidupannya yang anak
datang.
b. Bentuk Motivasi Jika Anak Melakukan Tidak Sesuai Pembentukan Moral
Tentunya dalam proses pembentukan moral anak yang dilakukan oleh
partisipan, masih ditemukan beberapa anak yang belum melakukan nilai-nilai moral
yang baik. Untuk itu, bentuk motivasi yang bertujuan untuk mengurangi bahkan
menghilangkan sikap-sikap anak yang kurang sesuai dengan pembentukan moral
menjadi tugas seorang guru yang notabene juga berkewajiban untuk membentuk anak
menjadi pribadi yang lebih baik. Bentuk motivasi yang digunakan adalah bentuk
motivasi yang sifatnya bukan untuk menghukum karena bentuk hukuman baik itu
fisik maupun psikis tentunya tidaklah pantas diterima anak dengan usia dini. Guru
mendorong dan memberikan peringatan bagi anak sebagai bagian dari bentuk
motivasi agar anak tidak lagi melakukan hal-hal yang tidak benar. Mendorong atau
pull up dilakukan dengan memberikan nasehat. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses
pemberian motivasi yang bertujuan untuk mengurangi perilaku yang kurang baik dari
anak dilakukan dengan cara memberi nasehat secara langsung, menggunakan aktor
atau tokoh cerita yang digemari anak, Hal ini dilakukan oleh Partisipan P1 dalam
68
memberikan motivasi kepada anak yang tidak melakukan sesuai dengan pembentukan
moral. Berikut merupakan jawaban representative dari P1
“Kalau yang tidak melakukan motivasi yang saya lakukan yaitu
mendorong mereka untuk bisa melakukan itu dan saya mengingatkan
kepada mereka karena tidak boleh dengan kekerasan yaa.” (P1, 11
April 2016)
“Mendorong untuk anak itu bisa melakukan dengan nasehat.
Kemudian saya juga gunakan misalnya actor spiderman atau apa
begitu yang disukai anak misalnya spiderman tidak pernah loh
menyakiti temannya jadi anak-anak yang tidak melakukan itu jadi
anak termotivasi.” (P1, 11 April 2016)
Guru juga harus yakin bahwa anak-anak mampu untuk melatih dirinya
melakukan hal yang baik. Keyakinan pada diri sendiri merupakan kunci utama dalam
memberikan motivasi pada anak didik. Anak-anak bisa berubah, tergantung
bagaimana guru memanfaatkan perannya dengan sebaik mungkin sehingga
menciptakan anak-anak yang memiliki attitude yang baik. pemberian nasehat dengan
cara tidak memaksa juga tidak lupa diberikan kepada anak yang melakukan hal-hal
yang kurang berkenan. Hal ini ditekankan oleh P2 sebagai berikut:
“Saya beri nasihat dengan tidak memaksa. saya memastikan ke anak
tersebut bahwa dia pasti bisa berubah dan melakukan sesuai dengan
yag sudah saya contohkan begitu, yang biasa saya berikan.” (P2, 13
April 2016)
Mengalami kesulitan dalam memberikan motivasi bagi anak yang tidak
melakukan sesuai dengan pembentukan moral karena prinsipnya anak tidak boleh
dituduh atau dijudge dengan kata-kata yang kurang berkenan sebab akab berdampak
kurang baik pada perkembangan anak juga disadari oleh P3 ketika menjalankan
tugasnya sebagai seorang motivator. Untuk itu, memberikan sedikit cerita misalnya
cerita alkitab diberikan sehingga anak-anak mendengar dan dari cerita tersebut anak
terdorong untuk tidak melakukan hal yang salah. Hal ini terbukti dalam kutipan
pernyataan berikut
69
“kadang kita memberikan sedikit cerita atau nasehat misalnya cerita
tentang seorang yang jujur atau seorang yang baik misalnya dari cerita
alkitab misalnya jadi dengan hal tersebut berharap bisa memotivasi dia
untuk lain kali misalnya bisa lebih jujur.” (P3, 21 April 2016)
Bentuk-bentuk motivasi yang diberikan oleh partisipan yang bertujuan untuk
mengguranggi tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai moral yang ada juga
ditegaskan oleh kepala sekolah sebagai partisipan tambahan. Beliau menyatakan
bahwa bentuk motivasi yang diberikan yaitu dengan menggunakan teguran dan
nasehat-nasehat. Karena lewat teguran dan nasehat tersebut yang dilakukan secara
langsung dapat membuat anak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya adalah
perilaku yang salah Bentuk lainnya yaitu pemaksaan juga tidaklah dibenarkan.
Prinsipnya adalah memberikan pemahaman pada anak bahwa tindakan ataupun sikap
yang dilakukannya merupakan tindakan yang tidak benar dan tidak berkenan baik itu
kepada guru, teman dan orang lain sehingga anak-anak terdorong untuk tidak
melakukan dan kemudian terbantu untuk menekan sikap buruk mereka. Berikut
merupakan pernyataan dari partisipan tambahan
“Dengan nasehat-nasehat, dengan teguran semacam itu. Kemudian
biasannya juga guru memberikan pemahaman-pemahaman lewat
cerita ya saya lihat itu sih sejauh ini. Dan juga saya selalu tekankan
para rekan guru bahwaa anak itu tidak bisa kita paksa, jadi kita benar-
benar harus sabar yaa, dengan tidak jemu-jemu memberikan motivasi
yang baik pada anak begitu.” (P0, 29 April 2016)
Selain pernyataan-pernyataan dari para partisipan, data-data yang
dikumpulkan dari observasi menyatakan bahwa partisipan menggunakan nasehat
secara langsung untuk mendorong dan memotivasi agar melakukan sesuai dengan
nilai-nilai moral yang diingginkan. Para partisipan menggunakan bahasa dan kata-
kata yang sangat mudah dimengerti oleh anak. Selain hasil observasi juga
menunjukan bahwa P1 dan P3 menggunakan cerita sebagai bagian dari cara guru
memotivasi anak agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
moral. Pesan-pesan moral dari cerita yang disampaikan oleh para guru digunakan
untuk memotivasi anak agar mengurangi perilaku yang tidak sesuai. Hasil observasi
70
juga menunjukan bahwa guru tidak memaksa anak dengan memberi hukuman atau
memarahi serta menjudge anak dengan kata-kata yang negative.
Metode bercerita yang ada jelas ditunjukan dengan bukti dokumentasi yang
ada (lampiran 6). Guru menggunakan metode bercerita bagi anak sebelum masuk
dalam aktivitas pembelajaran tentang tema. Bahkan tak jarang, cerita juga dikaitkan
dengan tema yang ada. Hal tersebut dijadikan guru untuk memotivasi siswa agar
dapat bersikap sesuai dengan nilai-nilai moral yang ingin dicapai. Diharapkan dengan
memberikan bentuk-bentuk motivasi yang efektif pada anak dan pada porsi yang pas,
penggunaan bentuk-bentuk motivasi yang dilakukan oleh para partisipan dapat
mendorong anak serta memotivasi mereka melakukan hal-hal yang sesuai dengan
niali-nilai moral yang dapat membantu anak dalam perkembangan moralitas mereka.
c. Bentuk Motivasi yang Efektif
Dalam upaya penerapan bentuk-bentuk motivasi yang diberikan oleh para
guru, tentunya selama proses berlangsung ada beberapa bentuk motivasi yang
dianggap sangat efektif dalam pembentukan moral anak. Semua partisipan (P1-P3)
menyatakan bahwa pujian merupakan salah satu bentuk motivasi yang sangat efektif
digunakan pada anak. Selain itu, pemberian reward juga merupakan salah satu
bentuk motivasi yang dianggap efektif membentuk moral anak. Pemberian motivasi
berupa pujian dan rewar biasannya sering digunakan dan dianggap efektif bagi anak.
Memberitahukan kepada teman sebaya apa yang dilakukan anak atau menceritakan
kepada teman sebaya dan mendapat pujian dari temannya juga merupakan bagian
yang dianggap efektif oleh P2 dan P3 sebab anak-anak akan termotivasi untuk tetap
melakukan hal-hal yang dianggap baik karena mendapat pujian selain dari guru juga
dari teman sebayanya. Bahkan beberapa anak juga menceritakan apa yang
didapatkannya di sekolah kepada orang tua mereka. Hal ini diharapkan dapat
memberikan dampak positif bagi anak-anak di mana mereka akan semakin
bersemangat untuk melakukan hal-hal yang baik untuk tidak mengecewakan guru
maupun tema-temannya. Berikut merupakan kutipan-kutipan pernyataan dari
masing-masing partisipan.
71
“Pujian, anak akan merasa senang dengan apa yang telah dia
lakukan. Jadi yang lain bisa mengikuti” (P1, 11 April 2016)
“Bagi saya yang paling efektif, ketika kita memberikan reward
berupa pujian, dan mengajak teman-temannya juga memberikan
pujian berupa tepukan tangan, atau acungan jempol jadi mereka
akan terus mengingat, bahkan sampai ada yang memberitahukan ke
orang tuanya sehingga dampaknya anak akan tetap melakukan
karakter-karakter moral yang baik sehingga dia bisa mendapat
pujian bahkan dari teman-temannya, begitu.” (P2, 13 April 2016)
“Menurut saya yang paling efektif itu ya motivasi secara langsung
ya yaitu dengan pujian apalagi kalau dengan teman-temannya jadi
dia akan berusaha melakukan lagi hal-hal yang tidak
mengecewakan teman atau guru misalnya.” (P3, 21 April 2016)
Hasil observasi juga menunjukan bahwa pemberian pujian secara langsung
menjadi bagian dari proses dukungan guru bagi anak dalam pembentukan moral
mereka. Peneliti menemukan bahwa ketika anak diberikan pujian dan bahkan
mendapat pujian dari guru maupun teman-temannya, anak tersebut menjadi
bersemangat untuk melakukan sesuatu. Tak jarang terlihat bahwa mereka sampai
menceritakan apa yang dilakukan dan didapatkan di sekolah kepada orang tua
mereka. Berdasarkan pernyataan-peryataan dan data tersebut di atas, membuktikan
bahwa selama proses pembentuk moral anak, guru tentunya sudah memahami benar
apa yang menjadi keinginan dari anak-anak. Keinginan-keinginan tersebut menjadi
acuan bagi para guru untuk memberikan motivasi yang akan membuat anak-anak
menjadi semakin bersemangat dalam melakukan hal-hal yang baik. Untuk itu, dari
pemahan-pemahamn tersebut terhadap anak akan membuat guru semakin baik dalam
menjalankan tugasnya sebagai seorang motivator.
4.2.2.3. Peran Guru sebagai Pembimbing
Selain kedua peran guru sebelumnya dalam bagian ini akan dibahas peran
yang ketiga yaitu guru sebagai pembimbing. Peran ini dititikberatkan pada bagaimana
upaya guru untuk mengajarkan dan menuntun anak untuk berperilaku baik dalam
hubungannya secara vertikal maupun horizontal. Mengingat guru sebagai tokoh yang
72
paling dekat dengan anak dalam lingkungan pendidikan, tentu saja guru harus
berperan aktif dalam membimbing, mengarahkan serta menerapkan tindakan-
tindakan yang patut anak lakukan dalam kehidupannya khususnya dalam
memantapkan perkembangan moralitasnya. Anak dilatih, dididik dan dibimbing
untuk menjadi individu yang siap menghadapi masa depannya dengan label individu
yang bermoral, berakal budi serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, berikut ini akan
dibahas bentuk-bentuk pembimbingan yang dilakukan guru terutama berhubungan
dengan pembentukan moral anak.
a. Tindakan Guru untuk Mengenalkan Anak pada Tuhan
Mengenalkan anak pada Tuhan merupakan hal yang paling penting yang patut
dilakukan guru. Anak perlu diarahkan untuk mengenal lebih dekat siapa Sang
Pencipta sehingga hidupnya benar-benar berkembang dalam tuntunanNya. Pada poin
ini, semua partisipan memberi jawaban yang sama yaitu melalui kegiatan berdoa,
ibadah bersama dan pemberian firman Tuhan. Kegiatan rutin yang selalu dilakukan
yaitu berdoa pagi di kanopi sekolah, adanya pembelajaran rohani setiap hari Sabtu
juga menjadi bagian dari kegiatan yang bertujuan mengenalkan anak pada Tuhan.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, anak diharapkan lebih dekat dengan Tuhan,
mengasihi, menyanyangi, menghargai dan saling menolong dengan teman. Selain itu,
anak mampu bersyukur karena tuntunan Tuhan serta terus menerapkan apa yang
diinginkan Tuhan dalam hidupnya. Berikut adalah jawaban representaif dari para
partisipan
“Yang saya lakukan jadi setiap kita mau memulai kegiatan kita berdoa
dulu. Terus kita juga memberikan firman Tuhan atau cerita Firman
Tuhan dari itu kita akan membawa anak-anak itu ya dia bisa mengenal
akan Tuhan, mengenal kasih Tuhan.” (P1, 11 April 2016)
“Kalau pagi itu setiap hari itu kami kaitan kegiatan dengan
pembelajaran untuk mengenal Tuhan. Jadi ada doa bersama sebelum
masuk ke sentra, doa Bapa Kami di Kanopi. Kemudian ada pelajaran
Rohani di hari Sabtu.” (P2, 13 April 2016)
“Dalam membimbingnya, selalu dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari
misalnya kita kaitkan dengan cerita Firman Tuhan, misalnya belajar
73
bersyukur kalau sudah selesai melaksanakan tugas. Tujuannya agar ya
tadi bisa mengenal Tuhan lewat cerita dan bagaimana bisa menerapkan
dalam kehidupan anak-anak apa yang di ingginkan Tuhan itu.” (P3, 21
April 2016)
Adanya kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh partisipan di dalam kelas yang
berkaitan dengan pengenalan akan Tuhan. Kegiatan-kegiatan tersebut dibuat dan
dikaitkan dengan kegiatan setiap hari di sekolah. Mengaitkan tema dengan ajaran
agama juga dilakukan oleh guru dalam mengenalkan anak kepada Tuhan. Partisipan
juga mengaitkan nilai-nilai moral yang ada dengan cerita Alkitab. Karakter-karakter
atau tokoh-tokoh yang ada dalam Alkitab juga sering kali dipakai oleh partisipan
dalam pembentukan moral anak. Lagu-lagu rohani juga digunakan untuk
mengenalkan anak pada Tuhan sebab lagu rohani dianggap menarik untuk dilakukan.
Hal ini ditambahkan oleh partisipan P2 dan P3 dengan kutipan sebagai berikut
Biasanya di awal kegiatan itu kami mengaitkan sedikit tema dengan
ajaran agama terkhusunya ajaran Kristen. Adanya cerita-cerita kami
kaitkan dengan ajaran Tuhan misalnya cerita-cerita alkitab. Sehingga
karaker-karakter atau tokoh-tokoh Alkitab itu kan ada, jadi dapat kita
berikan dan beritahukan pada anak.” (P2, 13 April 2016)
“Tentunya kami gunakan lagu-lagu rohani yang lebih menarik bagi
anak. Bagi saya itu tindakan mengenalkan anak pada Tuhan.” (P3, 21
April 2016)
Selain itu partisipan tambahan juga menggungkapkan bahwa ada beberapa
program dan kegiatan rutin yang selalu dilakukan oleh para guru. Dengan adanya
kegiatan berdoa bersama di kanopi dan juga adanya kegiatan mendengar cerita di
dalam kelas setiap hari serta menyanyikan lagu-lagu rohani sebelum masuk kelas
merupakan langkah guru dalam membimbing anak mengenal Tuhan. Selain itu,
sebelum masuk ke kelas, bisanya pada beberapa hari tertentu yang sudah ditetapkan,
guru bisanya menyetel lagu-lagu rohani sebeluma anak-anak berkumpul dikanopi.
Kemudian dengan adanya program sekolah di mana setiap hari Sabtu diadakan
berdoa bersama dan adanya lomba-lomba misalnya menghafal ayat alkitab yang
diselenggarkan oleh sekolah dalam hari-hari keagamaan juga merupakan bentuk-
74
bentuk kegiatan yang dapat mengenalkan anak pada Tuhan. Hal ini dinyatakan P0
dalam kutipan pernyataan berikut
“Bimbingan yang dilakukan guru itu setiap hari mendengar cerita
firman Tuhan, lalu untuk TK A dan TK B itu setiap sabtu diadakan
ibadah kemudian, mendorong untuk anak-anak datang ke sekolah
minggu di gereja masing-masing kemudian ada kegiatan-kegiatan
seperti pada saat memperingati hari paskah, natal begitu misalnya, kita