Top Banner
18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman Determinasi adalah membandingkan suatu tumbuhan dengan satu tumbuhan lain yang sudah dikenal sebelumnya (dicocokkan atau dipersamakan), sehingga dapat menghindari kesalahan dalam pengumpulan bahan yang akan diteliti. Daun sorgum (Sorghum bicolor L.) yang digunakan dalam penelitian ini dideterminasi di Laboratorium Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hasil dari determinasi menunjukkan apabila tanaman sorgum yang digunakan dalam penelitian dapat dipastikan merupakan dari jenis Sorghum bicolor L. Moench. dan suku Poaceae. Hasil identifikasi daun sorgum dapat dilihat pada Lampiran 2. 4.2 Hasil Ekstraksi Sampel Daun sorgum yang digunakan dalam penelitian kali ini dikumpulkan dari ladang yang terdapat di Jalan Magelang, KM 10, Yogyakarta. Daun diambil dalam satu kali waktu saja untuk menghindari adanya perbedaan kualitas kandungan kimia dalam daun yaitu pada bulan Februari. Daun yang dipilih berumur tidak terlalu tua dan muda dan diharapkan mempunyai kandungan senyawa kimia yang optimal. Daun yang dikumpulkan dicuci hingga bersih dan disortir agar sampel yang digunakan dalam kondisi yang baik. Sampel dikeringkan dalam cabinet dryer dengan suhu 50 ° C selama 2 hari, sehingga pengeringan sampel tidak di udara terbuka, tidak tergantung terik matahari, dan sampel menjadi bersih dari debu dan kotoran lain yang ada di udara. Simplisia yang telah kering kemudian diserbukkan sebelum diekstraksi. Proses penyerbukkan bertujuan untuk memperkecil ukuran simplisia agar pada proses ekstraksi luas permukaan semakin besar sehingga kontak dengan pelarut juga semakin besar dan memudahkan penyarian kandungan kimia di dalam simplisia. Sampel 100 g serbuk daun sorgum dimaserasi dengan bantuan sonikator selama 30 menit. Ekstraksi ultrasonik dapat mengekstrak lebih banyak komponen
13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

Oct 27, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Determinasi Tanaman

Determinasi adalah membandingkan suatu tumbuhan dengan satu tumbuhan

lain yang sudah dikenal sebelumnya (dicocokkan atau dipersamakan), sehingga

dapat menghindari kesalahan dalam pengumpulan bahan yang akan diteliti. Daun

sorgum (Sorghum bicolor L.) yang digunakan dalam penelitian ini dideterminasi di

Laboratorium Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hasil dari

determinasi menunjukkan apabila tanaman sorgum yang digunakan dalam

penelitian dapat dipastikan merupakan dari jenis Sorghum bicolor L. Moench. dan

suku Poaceae. Hasil identifikasi daun sorgum dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Hasil Ekstraksi Sampel

Daun sorgum yang digunakan dalam penelitian kali ini dikumpulkan dari

ladang yang terdapat di Jalan Magelang, KM 10, Yogyakarta. Daun diambil dalam

satu kali waktu saja untuk menghindari adanya perbedaan kualitas kandungan kimia

dalam daun yaitu pada bulan Februari. Daun yang dipilih berumur tidak terlalu tua

dan muda dan diharapkan mempunyai kandungan senyawa kimia yang optimal.

Daun yang dikumpulkan dicuci hingga bersih dan disortir agar sampel yang

digunakan dalam kondisi yang baik. Sampel dikeringkan dalam cabinet dryer

dengan suhu 50°C selama 2 hari, sehingga pengeringan sampel tidak di udara

terbuka, tidak tergantung terik matahari, dan sampel menjadi bersih dari debu dan

kotoran lain yang ada di udara. Simplisia yang telah kering kemudian diserbukkan

sebelum diekstraksi. Proses penyerbukkan bertujuan untuk memperkecil ukuran

simplisia agar pada proses ekstraksi luas permukaan semakin besar sehingga kontak

dengan pelarut juga semakin besar dan memudahkan penyarian kandungan kimia

di dalam simplisia.

Sampel 100 g serbuk daun sorgum dimaserasi dengan bantuan sonikator selama

30 menit. Ekstraksi ultrasonik dapat mengekstrak lebih banyak komponen

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

19

dibanding dengan maserasi tanpa bantuan sonikator, selain itu juga tidak

memberikan pengaruh terhadap terhadap perubahan komponen utama suatu bahan.

Ekstraksi dilakukan bertingkat menggunakan pelarut n-heksan dan etil asetat, yang

bertujuan untuk mendapatkan senyawa aktif dengan tingkat kepolaran yang

berbeda. Hasil maserasi yang diperoleh disaring dan diperas dengan mengunakan

corong buchner. Penelitian ini menggunakan pelarut etil asetat, dimana sifat

kelarutan etil asetat dapat melarutkan senyawa metabolit sekunder yang semipolar.

Filtrat dipisakan dengan residunya, kemudian filtrat di evaporasi menggunakan

rotary evaporator, secara organoleptis menghasilkan ekstrak kental berwarna hijau

pekat, kental, dan memiliki bau khas (Gambar 4.1) seberat 0,97 g, dan rendemen

yang dihasilkan sebesar 0,88 % dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Gambar 4.1 Hasil Ekstrak Kental Etil Asetat Daun Sorgum

(Keterangan : warna hijau pekat, kental, dan berbau khas)

Ekstrak yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh kepolaran pelarut yang

digunakan, dimana rendemen dari ekstrak pada pelarut polar menghasilkan nilai

rendemen yang tinggi. Rendemen pada pelarut etil asetat pada daun sorgum lebih

kecil dibandingkan dengan pelarut yang polar (etanol), yaitu sebesar 8,53% (Safitri,

et al., 2019), hal ini dapat disebabkan karena adanya gugus metoksi pada struktur

kimia pelarut etil asetat. Gugus metoksi pada etil asetat menyebabkan terbentuknya

ikatan hidrogen dengan senyawa pada ekstrak. Hasil rendemen dari etil asetat lebih

sedikit dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang terbentuk lebih lemah dibanding

ikatan hidrogen pada pelarut etanol yang merupakan pelarut polar (Ukhty, 2011).

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

20

Tabel 4.1.Nilai Rendemen Ekstrak

Ekstrak Bobot Serbuk Daun

Sorgum (g)

Bobot

Ekstrak (g)

Nilai Rendemen

(%)

Etanol 108,92 9,29 8,53

Etil Asetat 110,09 0,97 0,88%

4.3 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum

Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian

fitokimia yang bertujuan memberi gambaran tentang golongan senyawa yang

terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining fitokimia yang dilakukan

dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna

(Kristianti, et al., 2008). Hasil skrining senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak

etil asetat daun sorgum dengan uji fitokimia ditunjukkan dalam Tabel 4.2.

Uji alkaloid dilakukan dengan menggunakan pereaksi mayer dan dragendorff

yang akan menghasilkan endapan. Hasil pengujian dengan pereaksi mayer

(Gambar 4.2) membentuk endapan yang menunjukkan bahwa ekstrak

mengandung senyawa alkaloid. Alkaloid mengandung atom nitrogen yang

mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk

ikatan kovalen koordinasi dengan ion logam. Pada uji alkaloid dengan pereaksi

Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+

dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang

mengendap (Marliana, et al., 2005).

Gambar 4.2 Hasil Uji Tabung Kandungan Alkaloid Dengan Pereaksi Mayer

(Keterangan : terbentuk endapan coklat)

Pada reaksi menggunakan reagen Dragendorf, ion logam K+ membentuk

ikatan kovalen koordinasi dengan alkaloid sehingga membentuk kompleks kalium-

alkaloid yang mengendap. Namun, pada pengujian menggunakan pereaksi

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

21

dragendorff (Gambar 4.3) menunjukkan hasil negatif. Hasil yang berbeda pada

tiap penggunaan pereaksi dapat disebabkan senyawa alkaloid yang terkandung pada

daun sorgum tidak terlalu reaktif terhadap pereaksi dragendorff dibanding mayer.

Alkaloid dikenal efektif terhadap pelarut nonpolar (n-heksan) dan dapat larut dalam

pelarut semi polar (etil asetat) (Harborne, 1987).

Gambar 4.3 Hasil Uji Tabung Kandungan Alkaloid Dengan Pereaksi Dragendorff

Flavonoid diuji keberadaannya dengan metode shinoda, alkaline test, dan

lead acetate test. Pada pengujian dengan metode Shinoda pada Gambar 4.4, hasil

menunjukkan ekstrak tidak berubah warna menjadi merah kecoklatan dan negatif

terdapat flavonoid. Kompleks berwarna merah kecoklatan dihasilkan dari ikatan

kovalen koordinasi antara ion magnesium dengan gugus -OH fenolik senyawa

flavonoid (Risky & Suyatno, 2014).

Gambar 4.4 Hasil Uji Tabung Kandungan Flavonoid Dengan Metode Shinoda

Pada pengujian untuk identifikasi keberadaan flavonoid

dengan metode alkaline test digunakan pereaksi NaOH 5% sebagai pereaksi

penunjuk flavonoid dalam sampel yang digunakan. Hasil yang ditujukkan pada

Gambar 4.5 tidak menghasilkan perubahan warna menjadi merah, sehingga

ekstrak negatif mengandung senyawa flavonoid. Hal ini dapat disebabkan karena

kepolaran pelarut yang digunakan pada ekstrak daun sorgum. Menurut Harborne

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

22

(1987) senyawa flavonoid merupakan senyawa polar yang memiliki beberapa

gugus hidroksil yang tidak tersulih (gula), dan akan larut pada pelarut yang bersifat

polar seperti aseton, butanol, etanol, dimetilsulfoksida, dan etanol.

Gambar 4.5 Hasil Uji Tabung Kandungan Flavonoid Dengan Alkaline Test

Uji kandungan triterpenoid dilakukan dengan kloroform dan asam sulfat

pekat. Hasil yang teramati pada Gambar 4.6 tidak terbentuk warna cokelat

kemerahan pada antarmuka. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak tidak mengandung

senyawa triterpenoid. Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C30

yang menyebabkan sifatnya non-polar sehingga mudah terekstrak dalam pelarut

yang bersifat non polar. Ada beberapa senyawa triterpenoid berstruktur siklik yang

berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa yang berstruktur alkohol

yang memiliki gugus –OH menyebabkan sifatnya menjadi semi polar, sehingga

dapat terekstrak dalam pelarut etil asetat (semi polar) (Harborne, 1987).

Gambar 4.6 Hasil Uji Tabung Kandungan Triterpenoid Dengan Metode Salkowski

Pengujian steroid menggunakan reagen Liebermann-Burcard, pengujian

didasarkan pada kemampuan senyawa steroid berubah warna menjadi biru. Hasil

uji (Gambar 4.7) menunjukkan ekstrak berubah menjadi warna biru, menandakan

bahwa terdapat kandungan steroid yaitu phytosterol. Pada pereaksi Liebermann

Burchard, asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi dan menghasilkan

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

23

warna hijau biru. Reaksi yang terjadi antara steroid dengan asam asetat anhidrat

adalah reaksi asetilasi gugus –OH pada steroid yang akan menghasilkan kompleks

asetil steroid (Ilyas, et al., 2015).

Gambar 4.7 Hasil Uji Tabung Kandungan Steroid Dengan Liebermann-Bauchardat (Keterangan : terbentuk perubahan warna menjadi hijau kebiruan)

Hasil pengujian tanin (Gambar 4.8) menunjukkan tidak diperoleh

perubahan warna dan terbentuk endapan biru kehitaman yang menandakan tidak

positif terkandung senyawa tanin/polifenol. Terbentuknya warna hijau kehitaman

atau biru tinta pada ekstrak setelah ditambahkan dengan FeCl3 karena tanin akan

membentuk senyawa kompleks dengan ion Fe3+ (Harborne, 1987). Sifat polar pada

tanin dikarenakan adanya beberapa gugus OH dan larut pada pelarut polar

(Sriwahyuni, 2010).

Gambar 4.8 Hasil Uji Tabung Kandungan Tanin

Keberadaan senyawa saponin dapat diidentifkasi dengan menambahkan

aquades dan dikocok selama 10 detik, kemudian ditunggu beberapa menit dan akan

menghasilkan buih yang stabil. Hasil uji saponin pada Gambar 4.9 menunjukkan

tidak terbentuk buih sehingga menunjukkan ekstrak negatif terkandung saponin.

Saponin banyak ditemukan pada tumbuhan dan memiliki karakteristik berupa buih,

mudah larut dalam pelarut polar. Saponin memiliki glikosil sebagai gugus polar

serta gugus steroid atau triterpenoid sebagai gugus nonpolar sehingga bersifat aktif

permukaan dan membentuk misel saat dikocok dengan air (Sangi, et al., 2008).

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

24

Gambar 4.9 Hasil Uji Tabung Kandungan Saponin

Tabel 4.2.Data Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum

No. Kandungan

kimia

Metode Pereaksi

kimia

Hasil Pengamatan

1. Alkaloid Mayer Pereaksi

mayer

+ Terbentuk

endapan

warna coklat

Dragendorff Pereaksi

dragendorff

- Tidak

terbentuk

endapan

2. Flavonoid Shinoda Logam Mg +

HClp

- Tidak

terbentuk

kompleks

warna merah

kecoklatan

Alkaline test NaOH + HCl - Tidak terjadi

perubahan

warna merah

3. Triterpenoid Salkowski Kloroform +

H2SO4

- Tidak

terbentuk 3

lapisan

(kuning, hijau

dan bening)

4. Steroid Liebermann-

burchard

Asam asetat

anhidrat +

H2SO4

+ Terjadi

perubahan

warna

menjadi biru

kehijauan

5. Tanin Ferric

chloride

FeCl3 - Tidak terjadi

perubahan

warna

kompleks biru

6. Saponin Uji busa Air - Tidak ada

busa Keterangan : (+) = positif mengandung senyawa, (-) = negatif mengandung senyawa

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

25

Berdasarkan penelitian dari Suganyadevi, et al., pada tahun 2013

menyatakan bahwa terdapat kandungan fenolik yaitu 3-deoxyanthocyanin yang di

ekstraksi dari biji sorgum merah dengan pelarut berupa metanol dan memiliki

aktivitas antiproliferatif dengan menginduksi mekanisme apoptosis pada sel kanker

payudara (MCF-7) serta memiliki IC50 sebesar 300 μg/ml. Apoptosis merupakan

kematian sel yang terprogram, dimana apabila terjadi disregulasi dalam signal

molekuler apoptosis menyebabkan kesalahan dalam proliferasi. Sehingga

mekanisme apoptosis berperan sangat penting dalam terapi kanker (Wong, 2011).

Menurut Suganyadevi, et al., pada simplisia biji sorgum terdapat kandungan

zat aktif yaitu senyawa fenolik, sedangkan pada penelitian ini daun sorgum hanya

mengandung alkaloid dan steroid. Perbedaan kandungan fitokimia dalam daun

sorgum diduga karena perbedaan pelarut, bagian tanaman yang digunakan, jenis

tanaman sorgum, tempat tumbuh maupun lingkungan.

4.5 Hasil Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum

Uji dilakukan menggunakan sel kanker payudara T47D dan sel vero sebagai

sel normal. Sel tersebut dikultur dalam media yang sesuai dan diinkubasi di dalam

inkubator CO2 pada suhu 37°C. Panen sel adalah tahapan penumbuhan dan

pengembangbiakkan sel dengan penambahan media kultur. Media kultur berfungsi

sebagai sumber nutrisi dan respirasi, serta memberi dukungan pada kehidupan sel

yang dibiakkan agar dapat tumbuh. Kultur sel yang telah konfluen kemudian

dipanen. Sel memiliki sifat adhesif yaitu mampu melekat pada substrat sehingga sel

menempel pada dasar wadah kultur (culture dish). Sel kemudian dicuci

menggunakan FBS dan dipanen dari culture dish menggunakan tripsin-EDTA

untuk membantu melepaskan sel. Sel yang telah dipanen diambil 10 μl dan

diletakkan di hemacytometer untuk selanjutnya dihitung jumlah selnya

menggunakan mikroskop inverted.

Metode yang paling umum dilakukan untuk perhitungan sel yang akurat dan

efisien adalah dengan menggunakan hemacytometer. Perhitungan sel ini dilakukan

dengan tujuan memastikan tiap sel didalam well memiliki jumlah yang sama.

Dalam metode ini digunakan satu bilik hitung dengan kedalaman 0,1 mm dan

persegi untuk mempermudah perhitungan. Perhitungan dapat berdasarkan dari sel

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

26

yang berada dibatas luar disebelah atas dan disebelah kanan atau berdasarkan sel

yang terdapat dibatas luar bagian kiri dan bawah. Suspensi sel didistribuskan

kedalam sumuran-sumuran 96 well plate sebanyak 100 μl dan diinkubasi selama 24

jam pada inkubator suhu 37°C dengan aliran CO2 5%. Kontrol sel kemudian

ditambahkan 100 μl suspensi sel kedalam sumuran yang telah berisi media kultur.

Konsentrasi yang digunakan pada pengujian dengan metode MTT pada sel

T47D adalah (350; 300; 250; dan 200) ppm sedangkan pada pengujian dengan sel

vero digunakan konsentrasi (1000; 500; 250; dan 125) ppm. Perubahan morfologi

sel merupakan salah satu tanda terjadinya aktivitas sitotoksik yang dihasilkan dari

suatu senyawa setelah dilakukan perlakuan terhadap sel apabila dibandingkan

dengan kontrol sel (Putram, et al., 2017). Morfologi sel seperti Gambar 4.10 dan

Gambar 4.11 pada masing-masing konsentrasi diamati dengan menggunakan

mikroskop inverted setelah diberikan treatment. Adanya perlakuan dengan

penambahan ekstrak dapat menyebabkan perubahan morfologi sel. Konsentrasi 350

ppm yang merupakan konsentrasi tertinggi memiliki jumlah kematian sel kanker

yang lebih banyak teramati dibanding kontrol sel. Sel mati ditandai dengan bentuk

jernih, terlihat keruh, dan mengapung. Sedangkan sel hidup terlihat lonjong.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.10 Morfologi Sel Kanker T47D Setelah Treatment pada Konsentrasi 350 ppm

(Keterangan : a : konrol sel , b : replikasi 1 , c : replikasi 2 , d : replikasi 3)

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

27

MTT ditambahkan secara langsung pada plate yang berisi medium kultur

sebanyak 100 μl dan diinkubasi selama kurang lebih 4 jam pada suhu 37°C, CO2

5%. Sel diinkubasi dengan MTT dalam lingkungan yang sesuai bertujuan agar

jumlah sel hidup dapat terkuantifikasi sesuai dengan formazan yang terbentuk.

Kristal formazan berwarna ungu yang terbentuk terlarut dengan adanya

penambahan stopper yang mengandung SDS 10% dalam HCl 0,01 N sebanyak 100

μl. bertujuan untuk meghentikan reaksi yang terjadi. SDS berfungsi sebagai

deterjen yang dapat melisiskan membran sel dan mendenaturasi sel. Plate yang

sudah diberi stopper kemudian dibungkus dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu

ruang. Hasil secara kuantitatif didapatkan berdasarkan niali absorbansi yang telah

dibaca menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 595 nm. Panjang

595 nm dikarenakan warna pada larutan uji berupa ungu akan menyerap warna

kuning dari spectra sinar tampak. Sel hidup yang aktif bermetabolisme berbanding

lurus dengan warna ungu yang terbentuk (CCRC, 2019).

a b

c d

Gambar 4.11 Morfologi Sel Vero Tiap Setelah Treatment pada Konsentrasi 1000 ppm

(Keterangan : a : kontrol sel , b : replikasi 1 ; c : replikasi 2, d : replikasi 3)

MTT diabsorbsi oleh sel hidup dan dipecah oleh sistem reduktase suksinat

tetrazolium yang termasuk dalam rantai respirasi di mitokondria, sehingga aktif

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

28

menjadi formazan. Viabilitas sel berbanding lurus dengan formazan yang terbentuk.

Istilah viabilitas sel ini lebih sesuai daripada kematian sel karena penurunan

aktivitas enzim belum tentu menunjukkan adanya kematian sel (Setiawati, et al.,

2011). Nilai absorbansi dari hasil uji sitotoksik dengan metode MTT setelah

diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3.Nilai Absorbansi Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum pada Sel T47D dari Berbagai

Konsentrasi

Konsentrasi

(ppm)

Rata-Rata Absorbansi

Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3

350 0,989 0,819 0,888

300 1,014 0,836 0,914

250 1,084 0,856 0,924

200 1,068 0,868 0,959

KS 0,954 0,772 1,028

KM 0,117 0,103 0,095 Keterangan : KS : Kontrol Sel, KM : Kontrol Media

Tabel 4.4.Nilai Absorbansi Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum pada Sel Vero dari Berbagai

Konsentrasi

Konsentrasi

(ppm)

Rata-Rata Absorbansi

Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3

1000 0,422 0,819 0,554

500 0,449 0,836 0,606

250 0,464 0,856 0,646

125 0,467 0,868 0,667

KS 0,456 0,772 0,562

KM 0,087 0,103 0.163 Keterangan : KS : Kontrol Sel, KM : Kontrol Media

Metode dikatakan memiliki linearitas yang tinggi apabila memiliki nilai r >

0,99 dan nilai r2 ≥ 0,997 (Harmita, 2004). Berdasarkan Gambar 4.12 dan 4.13

terlihat hubungan antara nilai dari konsentrasi dengan nilai persentase sel hidup

yang linear, dimana korelasi antara jumlah ekstrak yang ditambahkan dengan

absorbansi sel ditemukan kuat pada kedua sel yaitu sebesar 0,9732 pada sel T47D

dan 0,9827 pada sel Vero. Sehingga menunjukkan bahwa semakin tinggi pemberian

perlakuan maka kematian sel akan semakin meningkat (Attamimi, et al., 2017).

Aktivitas sitotoksik dibagi menjadi tiga berdasarkan nilai IC50 yaitu IC50

<100 µg/mL merupakan sitotoksik potensial, 100 µg/ml < IC50 <1000 µg/ml adalah

sitotoksik moderat dan tidak memiliki aktivitas sitotoksik jika IC50 >1000 µg/ml

(Prayong, et al., 2008). Nilai IC50 dari ekstrak etil asetat daun sorgum terhadap sel

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

29

T47D adalah 1234,612 ± 212,862 µg/mL dan pada sel Vero sebesar 2104,076 ±

735,909 µg/mL. Hasil pada ekstrak etanol daun sorgum sebesar 1601,406 ± 272,788

µg/mL pada sel T47D dan pada sel Vero sebesar 1799,294 ± 324,066 µg/mL

(Safitri, et al., 2019). Sedangkan ekstrak n-heksan daun sorgum memiliki nilai IC50

terhadap sel T47D yaitu 1374,437 ± 121,299 µg/mL serta 1748,937 ± 300,942

µg/mL terhadap sel Vero (Izzah, 2019). Berdasarkan nilai IC50 tersebut ketiga

ekstrak daun sorgum (Sorghum bicolor L.) dikategorikan tidak memiliki aktivitas

sitotoksik karena memiliki nilai IC50 >1000 µg/mL. Hal ini dapat disebabkan karena

ketiga ekstrak masih berbentuk crude extract (ekstrak kasar), dimana kandungan

senyawa yang terkandung didalam ekstrak masih dalam jumlah sedikit (Annisa,

2015). Oleh sebab itu, pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan proses fraksinasi

ataupun isolasi senyawa aktif untuk meningkatkan aktivitasnya.

Gambar 4.12 Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Rerata Viabilitas Sel T47D dari

3 Kali Replikasi Penelitian terhadap sel kanker yang berbeda juga sudah melaporkan

aktivitas sitotoksik dari ekstrak Sorghum bicolor L. Suganyadevi, et al., (2013)

melaporkan isolat dari ekstrak metanol daun sorgum merah memiliki nilai IC50

sebesar 300 μg/ml, dengan menunjukkan sifat antiproliferatif yaitu dengan

menginduksi apoptosis. Perbedaan nilai IC50 pemberian ekstrak daun sorgum dari

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah disebabkan oleh masing-masing

sel kanker yang memiliki karakteristik molekuler yang berbeda, oleh karena itu

sangat mungkin apabila respon yang timbul akibat permberian perlakuan juga

berbeda (Jenie & Meiyanto, 2009).

y = -0,026x + 114,08

R² = 0,9732

0

20

40

60

80

100

120

140

0 100 200 300 400

% S

EL

HID

UP

KONSENTRASI (PPM)

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Determinasi Tanaman

30

Gambar 4.13 Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Rerata Viabilitas Sel Vero dari 3 Kali

Replikasi

Selain itu juga, penelitian Suganyadevi, et al., (2013) merupakan fraksi

metanol yang menggunakan biji sorgum merah, dimana tempat pengumpulan

sampel terdapat di Tamil Nadu, India. Sedangkan pada penelitian ini, sampel

dikumpulkan di Jalan Magelang, Yogyakarta. Kadar senyawa aktif yang

terkandung pada tanaman selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi

oleh faktor lingkungan tumbuhnya. Adanya variasi pada waktu pengambilan

sampel, tempat penanaman, metode pengolahan dan lain sebagainya berakibat pada

perbedaan dalam kandungan senyawa aktif pada tanaman yang sama (Cui, et al.,

2009). Sehingga terdapat perbedaan aktivitas ekstrak etil asetat daun sorgum dalam

menghambat sel kanker dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan

Suganyadevi, et al., (2013).

Gambar 4.14 Grafik Nilai IC50 pada Sel T47D dan Sel Vero Tiap Replikasi

y = -0,0232x + 117,13

R² = 0,9827

0

20

40

60

80

100

120

140

0 200 400 600 800 1000 1200

% S

EL

HID

UP

KONSENTRASI (PPM)

1094,959 1479,6041129,273

3892,958

2852,342471,25

0

1000

2000

3000

4000

5000

Rep 1 Rep 2 Rep 3

Nil

ai IC

50

Replikasi

Sel T47D Sel Vero