Page 1
57
57
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Pola Pengeluaran Rumah Tangga Di Provinsi Jawa
Barat
Jawa Barat merupakan Provinsi yang berada di Bagian Barat Pulau Jawa,
sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta; sebelah timur,
berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah selatan, berbatasan dengan
Samudera Indonesia; sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Secara
administratif Jawa Barat terbagi menjadi 27 Kabupaten/Kota, atau terdiri dari 18
Kabupaten dan 9 Kota, dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi.
Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pada
tahun 2017 jumlah penduduk mencapai 48.037.827 jiwa, dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,39 persen. Sementara itu jumlah penduduk
miskin mencapai 4.168.440 jiwa atau sebesar 8,71 persen. Jumlah penduduk yang
cukup besar disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin
mengindikasikan bertambahnya penduduk yang rawan pangan karena
menurunnya daya beli terutama konsumsi makanan, sehingga penduduk Jawa
Barat cenderung berpotensi menjadi rentan pangan (BPS, 2018).
Tantangan dalam pembangunan ketahanan pangan secara umum
menyangkut wilayah yang padat penduduk berupa masih terbatasnya prasarana
dan sarana usaha di bidang pangan serta semakin sempitnya lahan untuk
memproduksi pangan pokok karena adanya alih fungsi lahan baik sebagai tempat
Page 2
58
tinggal ataupun untuk industri. Hal tersebut berdampak pada diversifikasi pangan
pokok masyarakat yang hanya bertumpu pada beras juga akan semakin rapuh,
karena minimnya lahan untuk memproduksi sumber karbohidrat non beras yang
dipergunakan untuk lahan industri (BPS, 2017).
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu sentral dalam kerangka
pembangunan nasional dan salah satu fokus kebijakan operasional pembangunan
pertanian. Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan program ketahanan
pangan antara lain melalui kondisi/situasi konsumsi pangan masyarakat dilakukan
analisis situasi konsumsi pangan, karena situasi konsumsi pangan dapat
menggambarkan akses masyarakat terhadap pangan, status gizi dan
kesejahteraannya (DKPP, 2017).
Peningkatan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola pengeluaran.
Pola pergeseran tersebut terjadi pada pengeluaran untuk makanan akan menurun
dan porsi pengeluaran untuk non makanan akan meningkat. Hukum Engel
menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka proporsi
pengeluaran masyarakat untuk makanan semakin kecil. Ketika pangsa
pengeluaran untuk makanan semakin kecil, tingkat kemakmuran masyarakat
makin membaik (Trisnowati dan Budiwinarto, 2013).
Pangsa pengeluaran makanan menggambarkan sisi ekonomi rumah tangga,
yaitu bagaimana rumah tangga mengalokasikan anggaran yang dimiliki untuk
membeli makanan. Sesuai dengan hukum Engel, semakin tinggi pendapatan
rumah tangga, alokasi anggran untuk membeli pangan proporsinya akan semakin
berkurang. Pada kelompok rumah tangga dengan tingkat konsumsi makanannya
Page 3
59
yang sudah mencapai titik jenuh, maka peningkatan pendapatannya akan
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non makanan atau ditabung (Faharuddin
et al, 2015)
Gambar 4.1 menunjukkan pangsa pengeluaran makanan dan bukan makanan
rumah tangga di Provinsi Jawa Barat menurut tingkat kesejahteraan (kuintil
pengeluaran). Hasil pengolahan data terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan
untuk penduduk di kuintil pertama (terendah) sebesar 68,15 persen, sementara
pangsa pengeluaran untuk bukan makanan sebesar 31,85 persen. Hal serupa
terjadi pada kuintil kedua sampai dengan kuintil keempat, dimana pangsa
pengeluaran pangan masih berada di atas 50 persen yaitu masing-masing sebesar
64,00 persen, 59,94 persen dan 54,92 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada
rumah tangga yang berada pada kuintil kelima (tertinggi) pangsa pengeluaran
pangannya di bawah 50 persen yaitu sebesar 37,81 persen. Hal ini menunjukkan
terjadi perbedaan pola pengeluaran makanan dan bukan makanan berdasarkan
tingkat pendapatan rumah tangga (kuintil pengeluaran).
Berdasarkan kuintil pengeluaran rumah tangga, terlihat bahwa semakin
tinggi tingkat pendapatan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran
untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga akan
semakin sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk makanan lebih kecil
dibandingkan persentase pengeluaran untuk bukan makanan. Dengan kata lain,
semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara maka pangsa pengeluaran
pangannya akan semakin kecil (BPS, 2017; Deaton dan Muellbauer, 1980).
Page 4
60
Gambar 4.1 Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga Menurut
Tingkat Kesejahteraan
Sumber: Susenas 2017, diolah
Pangsa konsumsi pangan rumah tangga menurut kelompok komoditas
menggambarkan alokasi anggaran belanja rumah tangga untuk makanan lebih
spesifik dalam kelompok-kelompok komoditas yang dikonsumsi. Tabel 4.1
menunjukkan bahwa golongan pendapatan terendah (kuintil pertama) memiliki
pangsa pengeluaran pangan tertinggi diantara golongan pendapatan lainnya.
Kuintil pertama konsumsi pangan masih didominasi oleh kelompok komoditas
padi-padian dengan budget share mencapai 23,32 persen. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan terendah lebih banyak
mengalokasikan konsumsi pangannya untuk kelompok komoditas yang
mengandung karbohidrat dan kalori tinggi yaitu padi-padian.
Kondisi sebaliknya terjadi pada kuintil kelima dimana merupakan golongan
dengan tingkat pendapatan tertinggi, konsumsi pangannya lebih didominasi oleh
makanan jadi dan pangan hewani. Konsumsi kedua kelompok pangan tersebut
pada kuintil kelima mencapai 60,72 persen dari total pengeluaran pangan,
Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
68.15 64.00 59.94 54.92
37.81 31.85 36.00 40.06
45.08
62.19
Budget Share Pengeluaran Makanan
Budget Share Pengeluaran Non Makanan
Page 5
61
sedangkan sisanya dialokasikan untuk kelompok padi-padian, umbi-umbian,
sayur-sayuran, buah-buahan, rokok dan pangan lainnya. Hal ini menunjukkan
terjadi perbedaan pola pengeluaran makanan antara rumah tangga dengan
pendapatan terendah dengan rumah tangga dengan pendapatan tertinggi. Rumah
tangga dengan pendapatan tinggi dalam konsumsi pangannya lebih memilih
kelompok komoditas makanan yang memiliki kandungan gizi tinggi seperti
kelompok pangan hewani.
Tabel 4.1 Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga Menurut
Tingkat Kesejahteraan dan Kelompok Komoditas
Kuintil
Kelompok Komoditi
Padi-
padian
Pangan
hewani
Umbi-
umbian
Sayur-
Sayuran
Kacang-
Kacangan
Buah-
Buahan
Makanan
Jadi
Pangan
Lainnya Rokok
Kuntil 1 23,32 12,78 0,90 6,62 5,87 2,64 28,45 7,96 11,46
Kuntil 2 16,22 13,80 0,84 6,90 5,36 3,19 31,90 8,02 13,78
Kuntil 3 12,49 15,00 0,90 7,21 4,98 3,83 33,54 7,96 14,08
Kuntil 4 9,91 16,31 0,94 7,15 4,62 4,68 35,60 7,78 13,01
Kuntil 5 6,81 18,46 0,88 6,06 3,71 5,94 42,26 6,37 9,51
Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah
Penurunan konsumsi kelompok padi-padian seiring dengan peningkatan
pendapatan rumah tangga. Rumah tangga pada kuintil pertama menghabiskan
pengeluaran pangannya untuk kelompok padi-padian mencapai 23,32 persen,
sedangkan rumah tangga pada kuintil kelima hanya mencapai 6,81 persen
pengeluaran pangannya untuk kelompok padi-padian.
Berbeda dengan kelompok padi-padian, konsumsi kelompok makanan jadi
dan pangan hewani semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan
(lihat gambar 4.2). Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi rumah tangga di
Page 6
62
Provinsi Jawa Barat sesuai dengan hukum Bennet, yang menyatakan bahwa
semakin kaya suatu masyarakat maka akan mengubah pola konsumsinya. Pola
konsumsi awalnya didominasi oleh tanaman berpati sederhana yaitu kelompok
padi-padian berubah menjadi lebih bervariasi, yaitu mengkonsumsi sayuran, buah,
produk pangan hewani dan terutama makanan jadi (Miranti et al, 2016).
Peningkatan pendapatan rumah tangga seiring dengan meningkatnya
konsumsi kelompok pangan selain padi-padian seperti kelompok makanan jadi,
buah-buahan dan pangan hewani. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian
Miranti et al. (2016) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per
kapita rumah tangga di Provinsi Jawa Barat, baik di perkotaan maupun perdesaan,
maka pangsa pengeluaran produk padi-padian (terutama beras) akan semakin
menurun. Penurunan konsumsi produk padi-padian tersebut disertai dengan
peningkatan pangsa pengeluaran pangan untuk mengkonsumsi produk buah-
buahan dan pangan hewani (daging).
Gambar 4.2 Pangsa Pengeluaran pangan Rumah Tangga Menurut
Tingkat Kesejahteraan dan Kelompok Komoditas
Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah
0%
20%
40%
60%
80%
100%
BU
DG
ET S
HA
RE
Rokok
Pangan Lainnya
Makanan Jadi
Buah-Buahan
Kacang-Kacangan
Sayur-Sayuran
Umbi
pangan hewani
Page 7
63
4.2 Gambaran Umum Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin Di
Provinsi Jawa Barat
Pengeluaran rumah tangga miskin menggambarkan bagaimana golongan
dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan mengalokasikan anggaran yang
dimiliki untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Hasil
pengolahan data Susenas Maret Tahun 2017 (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa rata-
rata pengeluaran per bulan untuk rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat
sebesar Rp.1.213.907,-, yang dialokasikan untuk pengeluaran makanan sebesar
Rp.847.685,- dan non makanan sebesar Rp.366.222,-. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa rumah tangga miskin mengalokasikan sebagian besar
pengeluarannya untuk makanan. Dalam kondisi pendapatan terbatas, pemenuhan
kebutuhan makanan pasti akan menjadi pengeluaran utama rumah tangga,
sehingga kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan membelanjakan
sebagian besar pendapatannya ditujukan untuk membeli makanan.
Tabel 4.2 Statistik Deskripsi Total Pengeluaran (Makanan dan Bukan
Makanan) Berdasarkan Tipe wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT (dalam Rupiah)
Klasifikasi RT
Total Pengeluaran Total Pengeluaran Makanan Total Pengeluaran Non Makanan
Rata-Rata Standar
Deviasi Rata-rata
Standar
Deviasi
Budget Share(%) Rata-Rata
Standar
Deviasi
Budget Share(%)
Keseluruhan
RT 1.213.907 547.201 847.685 414.573 69,83 366.222 192.385 30,17
Perdesaan 1.116.082 512.068 784.024 389.252 70,25 332.058 172.541 29,75
Perkotaan 1.301.117 562.833 904.438 428.211 69,51 396.679 203.809 30,49
Pertanian 1.150.482 496.045 819.262 388.315 71,21 331.220 161.959 28,79
Non
Pertanian 1.246.844 569.397 862.445 426.997 69,17 384.399 204.137 30.83
Sumber: Susenas 2017, diolah
Page 8
64
Tabel 4.2 deskripsi statistik di atas, terlihat bahwa pembagian rumah tangga
berdasarkan tipe wilayah rumah tangga dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga
memiliki tingkat pengeluaran yang berbeda-beda. Berdasarkan tipe wilayah rumah
tangga, rata-rata pengeluaran makanan di perdesaan sebesar Rp.784.024,- lebih
rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran makanan di perkotaan sebesar
Rp.904.438,-. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan rumah tangga
miskin di perkotaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kondisi tersebut terjadi
dikarenakan perbedaan harga yang dterima rumah tangga miskin diperkotaan dan
perdesaan. Rata-rata harga yang diterima rumah tangga miskin di perdesaan lebih
rendah dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan kecuali untuk
komoditas padi-padian. Sejalan dengan penelitian Miranti et al. (2016) yang
menyatakan bahwa rata-rata pengeluaran makanan rumah tangga di perdesaan
lebih rendah dibandingkan di perkotaan.
Hal yang serupa terjadi juga pada pembagian rumah tangga berdasarkan
jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga
yang bekerja di sektor pertanian memiliki rata-rata pengeluaran makanan sebesar
Rp. 819.262,- lebih rendah dibandingkan rumah tangga miskin dengan kepala
keluarga yang bekerja disektor non pertanian sebesar Rp. 862.445,-. Kondisi
tersebut menggambarkan bahwa pendapatan rumah tangga miskin dengan kepala
keluarga yang bekerja di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan
pendapatan kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian.
Hal yang sama juga terlihat pada rumah tangga secara keseluruhan memiliki
pangsa pengeluaran (budget share) makanan lebih besar daripada pangsa
Page 9
65
pengeluaran (budget share) non makanan (lihat Tabel 4.1). Budget share makanan
mencapai nilai sebesar 69,83 persen sementara pangsa pengeluaran non makanan
mencapai 30,17 persen. Kondisi tersebut menunjukkan rumah tangga miskin di
Provinsi Jawa Barat ketahanan pangannya tergolong rentan pangan. Kondisi
serupa terjadi pada pembagian rumah tangga berdasarkan tipe wilyah rumah
tangga dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, budget share makanan lebih
besar dibandingkan dengan budget share non makanan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pangsa pengeluaran pangan (budget share) rumah tangga
miskin baik berdasarkan tipe wilayah rumah tangga ataupun jenis pekerjaan
kepala rumah tangga, termasuk tingkat ketahanan pangan yang rentan pangan
karena nilainya >60 (Heryanah, 2016).
Tabel 4.3 Rata-Rata Pengeluaran Makanan per Kelompok Komoditas
Per Bulan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat Menurut Tipe
Wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT (dalam Rupiah)
Kelompok
Pangan
RT
Keseluruhan
Tipe Wilayah Jenis Pekerjaan KRT
Perdesaan Perkotaan Pertanian Non
Pertanian
Padi-Padian 224.703 231.340 218.805 245.223 214.066
Umbi-Umbian 7.339 8.296 6.479 8.153 6.916
Pangan Hewani 101.793 88.119 113.895 96.439 104.574
Sayur-Sayuran 50.840 48.357 53.061 50.674 50.926
Kacang-Kacangan 46.792 43.957 49.313 45.593 47.411
Buah-Buahan 19.032 17.833 20.164 19.707 18.681
Makanan Jadi 228.497 194.016 259.244 189.026 249.001
Pangan Lainnya 65.633 59.297 71.318 63.030 66.985
Rokok 103.050 92.808 112.184 101.417 103.900
Sumber: Susenas Maret 2017, diolah
Page 10
66
Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa rata-rata pengeluaran pangan per komoditas
per bulan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat secara umum masih
didominasi oleh kelompok komoditas padi-padian sebesar Rp.224.703,-. Namun,
jika dibedakan berdasarkan tipe daerah rumah tangganya diketahui bahwa rata-
rata pengeluaran per kelompok komoditas per bulan rumah tangga miskin
perdesaan lebih kecil dari pada rumah tangga miskin di perkotaan kecuali untuk
kelompok pangan jenis karbohidrat yaitu kelompok padi-padian dan umbi-
umbian. Rumah tangga di perdesaan mengkonsumsi lebih banyak kelompok
komoditas padi-padian sehingga menghabiskan rata-rata pengeluaran sebesar
Rp.231.340,-.
Tingginya konsumsi kelompok padi-padian di perdesaan karena
penduduknya lebih banyak membutuhkan kalori dan energi untuk beraktifitas
daripada penduduk di perkotaan karena. Sebagian besar aktivitas di daerah
perdesaan merupakan kegiatan fisik yang memerlukan kalori lebih banyak.
Utamanya kecukupan kalori ini disumbang oleh kelompok komoditas padi-padian,
dimana pada kelompok komoditas ini merupakan komoditi makanan pokok rata-
rata penduduk Jawa Barat yaitu beras (BPS, 2017, Ariani dan Purwantini, 2006).
4.3 Gambaran Umum Pangsa Pengeluaran (Budget Share) per Kelompok
Komoditas Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa secara umum pada rumah tangga miskin di
Provinsi Jawa Barat, pangsa pengeluaran pangan (budget share) kelompok padi-
padian menempati urutan tertinggi kemudian selanjutnya ditempati oleh kelompok
makanan jadi masing-masing sebesar 28,22 persen dan 25,88 persen. Kedua
Page 11
67
kelompok komoditas ini mencapai 54,10 persen dari total pengeluaran pangan
rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat dan sisanya sebesar 45,90 persen
tersebar pada kelompok komoditas pangan hewani (11,98 persen), umbi-umbian
(0,97 persen), sayur-sayuran (6,39 persen), kacang-kacangan (6,03 persen),
pangan lainnya (8,03 persen) dan rokok (10,19 persen). Hal ini menunjukkan
bahwa rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat bergantung pada kelompok
padi-padian. Artinya, rumah tangga miskin sangat tergantung dengan konsumsi
beras yang merupakan salah satu komponen dalam kelompok padi-padian.
Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti et al. (2016) yang menyatakan
bahwa pangsa pengeluaran rumah tangga di Provinsi Jawa Barat masih
didominasi kelompok pangan padi-padian. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat relatif rendah.
Kelompok makanan jadi dan rokok memiliki pangsa pengeluaran pangan
(budget share) yang cukup tinggi yaitu mencapai 25,88 persen dan 10,19 persen
pada pola konsumsi rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat lebih memilih
makanan jadi dibandingkan membeli jenis pangan yang harus diolah, dengan
pertimbangan harga yang diperoleh lebih murah. Budget share kelompok rokok
cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok komoditas lain seperti sayur-
sayuran, buah-buah, kacang-kacangan dan pangan lainnya. Kondisi tersebut
sejalan dengan publikasi BPS (2017) yang menyatakan bahwa makanan jadi dan
rokok merupakan pangsa pengeluaran terbesar pada rumah tangga di Provinsi
Jawa Barat. Rokok memang sudah menjadi hal umum di Indonesia dan banyak
Page 12
68
dijumpai diberbagai tempat. Pembatasan kawasan bebas merokok di tempat
umum dan semakin digiatkannya kampanye memerangi rokok, akan tetapi
kebijakan tersebut tidak menjadikan konsumsi rokok turun secara drastis (BPS
2017).
Tabel 4.4 Rata-Rata Pangsa Pengeluaran per Kelompok pangan Menurut Tipe
Wilayah Dan Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Miskin
Di Provinsi Jawa Barat
Kelompok
Komoditas
Pangsa Pengeluaran Pangan
Keseluruhan
RT
Tipe Wilayah Jenis Pekerjaan KRT
Perdesaan Perkotaan Pertanian Non
Pertanian
Padi 28,22 31,11 25,65 31,36 26,60
pangan hewani 11,98 11,38 12,51 11,78 12,09
Umbi 0,97 1,22 0,75 1,18 0,87
Sayur-Sayuran 6,39 6,68 6,13 6,74 6,20
Kacang-Kacangan 6,03 6,13 5,94 6,01 6,04
Buah-Buahan 2,31 2,34 2,29 2,43 2,24
Makanan Jadi 25,88 23,55 27,95 22,04 27,87
Pangan Lainnya 8,03 7,86 8,18 7,92 8,08
Rokok 10,19 9,73 10,59 10,54 10,01
Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah
Tabel 4.4 memperlihatkan perbedaan pola pangan rumah tangga miskin
perkotaan dan perdesaan di Provinsi Jawa Barat. Perbedaan terbesar pola pangan
di kedua tipe wilayah tersebut ada pada kelompok komoditas padi-padian, pangan
hewani serta makanan jadi. Jika dibedakan berdasarkan tipe wilayah perdesaan
dan perkotaan, diketahui bahwa pangsa pengeluaran pangan rumah tangga miskin
perdesaan lebih besar daripada pangsa pengeluaran rumah tangga miskin di
Page 13
69
perdesaan, kecuali untuk kelompok komoditas pangan hewani, makanan jadi,
pangan lainnya dan rokok. Rumah tangga miskin di perdesaan mengkonsumsi
lebih banyak kelompok komoditas padi-padian dibandingkan rumah tangga
miskin di perkotaan, menghabiskan rata-rata 31,11 persen dari pengeluaran
pangannya sementara diperkotaan hanya menghabiskan 25,65 persen dari total
pengeluaran pangannya. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Saliem et al
(2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat lebih tinggi
di daerah perdesaaan dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Sementara itu, pada rumah tangga miskin di perkotaan budget share untuk
kelompok komoditas pangan hewani lebih besar daripada di perdesaan karena
rumah tangga di perkotaan memiliki tingkat pemahaman akan komposisi gizi
yang tinggi sehingga akan lebih memprioritaskan budget share konsumsinya
untuk kelompok pangan hewani. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian
Susanti et al. (2014) yang menyatakan bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga
untuk komoditi bahan pangan hewani tersebut lebih tinggi pada rumah tangga
yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan.
Kondisi serupa terjadi pada kelompok makanan jadi, pangan lainnya, serta
rokok dimana budget share untuk ketiga kelompok komoditas tersebut di
perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Dominansi kelompok makanan jadi
di perkotaan terjadi karena dipengaruhi oleh perbedaan gaya hidup dan kesibukan
masyarakat perkotaan dan perdesaan. Masyarakat perkotaan umumnya memiliki
kesibukan di luar rumah dan hampir sepanjang hari mengharuskan mereka untuk
mengkonsumsi makanan dan minuman jadi. Selain itu, gaya hidup di perkotaan
Page 14
70
yang senang berkumpul dan makan di luar rumah turut meningkatkan proporsi
pengeluaran makanan dan minuman jadi serta meningkatkan industri makanan
dan minuman jadi (Purwaningsih et al, 2010).
Berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, hasil analisis
menunjukkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor
pertanian memiliki pangsa pengeluaran pangan yang lebih besar dibandingkan
dengan rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor non
pertanian, kecuali untuk kelompok komoditas pangan hewani, kacang-kacangan,
makanan jadi, dan pangan lainnya. Hal tersebut terjadi karena pendapatan di
sektor pertanian lebih rendah daripada sektor non pertanian sehingga rumah
tangga akan mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk komoditas pangan
dibandingkan dengan komoditas non pangan (Tulangow et al, 2017).
Kelompok rokok memiliki budget share lebih besar pada rumah tangga
yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan rumah tangga dengan kepala rumah
tangga yang bekerja di sector non pertanian. Hal tersebut dikarenakan, kepala
keluarga yang bekerja di sektor pertanian memiliki pendidikan dan pendapatan
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kepala keluarga yang bekerja di
sektor non pertanian. Sehingga, pemahaman tentang bahaya konsumsi rokok
masih rendah. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti et al. (2016) dan
Purwaningsih et al. (2010) yang menyatakan bahwa masyarakat miskin cenderung
menggunakan rokok lebih banyak dibandingkan masyarakat kaya.
Page 15
71
4.4 Hasil Estimasi Parameter LA-AIDS
4.4.1 Nilai Pengeluaran yang Kosong (Zero Expenditure)
Masalah yang harus diatasi agar hasil estimasi fungsi permintaan tidak
bias adalah masalah selectivity bias. Menurut Moeis (2003) dalam yuliana (2008),
selectivity bias dari data terjadi karena adanya rumah tangga yang tidak
mengkonsumsi salah satu komoditi makanan disebabkan oleh beberapa hal,
misalnya pola diet rumah tangga tersebut sebagai vegetarian sehingga tidak
mengkonsumsi daging dan hewani, atau disebabkan oleh waktu pencacahannya
yang sangat pendek (seminggu) sehingga pada waktu pencacahan rumah tangga
tersebut kebetulan sedang tidak mengkonsumsi komoditi tertentu. Tidak
mengikutsertakan rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditi ini dalam
estimasi akan menghasilkan dugaan parameter yang bias.
Penggunaan data Susenas dalam analisis permintaan kemungkinan
terdapat data rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran terhadap satu
komoditi atau kelompok komoditi selama periode pengamatan. Pada data Susenas,
masalah zero expenditure terjadi pada dua sisi yaitu sisi kuantitas dan jumlah
pengeluaran dari rumah tangga dalam membeli suatu komoditi.
Untuk mengantisipasi selectivity bias ini adalah dengan cara
menggabungkan atau mengelompokkan komoditas sehingga membuat kelompok
komoditas yang dianalisis menjadi lebih besar. Dalam penelitian ini komoditas
dalam Susenas diagregasi menjadi delapan kelompok komoditas utama, yaitu
kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, sayur-sayuran, buah-
Page 16
72
buahan, kacang-kacangan, makanan jadi dan pangan lainnya (Mayasari et al,
2018).
Apabila setelah diagregasi masih terdapat nilai yang kosong, maka zero
expenditure dalam penelitian ini diatasi dengan menambahkan variabel Invers
Mills Ratio (IMR) dari setiap komoditi atau kelompok komoditi sebagai variabel
independen. Fungsi dari menambahkan variabel IMR adalah untuk
memperhitungkan rumah tangga yang pada saat dilakukan survei tidak
mengkonsumsi komoditi atau kelompok komoditi yang ditanyakan. Variabel IMR
diperoleh dengan melakukan two step estimation dari Heckman test dengan
regresi probit (Berges & Casellas, 2002, Chandra 2007). Dengan demikian,
persamaan LA-AIDS (3.1) menjadi:
𝑤𝑖 = 𝛼𝑖+∑ 𝛾𝑖𝑗𝑗 ln𝑝𝑗+𝛽𝑖ln(𝑦
𝐼)+𝜇𝑖jart+𝜏𝑖d_lok+𝜌𝑖d_tani+ɵ𝑖rls + 𝛿𝑖IMR + 휀𝑖 ….(3.2)
dimana, wi adalah proporsi pengeluaran rumah tangga untuk kelompok komoditas
ke-i, lnpj adalah logaritma natural harga kelompok komoditas ke-j, ln(y/I)
menunjukkan logaritma natural total pengeluaran pangan dibagi dengan indeks
harga Stone, Indeks harga Stone: Log p* = ∑ 𝑤𝑖14𝑖=1 Log𝑝𝑖, jart adalah jumlah
anggota rumah tangga, d_lok menunjukkan dummy wilayah (perdesaan=1,
lainnya=0), rls menunjukkan rata-rata lama sekolah (years of schooling) kepala
rumah tangga, d_tani menunjukkan dummy pekerjaan kepala rumah tangga
(bekerja disektor pertanian =1, lainnya =0), IMR menunjukkan nilai Invers Mills
Ratio (IMR), 휀𝑖 adalah error komoditas ke-i, serta α, β, γ, μ, τ, ρ, θ merupakan
parameter model LA-AIDS.
Page 17
73
4.4.2 Endogeneity Problem
Penelitian ini menggunakan data cross section Susenas, sehingga rentan
terhadap permasalahan mendasar dalam data hasil pengamatan, yaitu masalah
endogenitas (Endogeneity Problem). Masalah endogenitas adalah kondisi dimana
variabel penjelas berkorelasi dengan error dari persamaan regresi. Apabila
masalah tersebut tidak diperhitungkan, kemungkinan akan menghasilkan estimasi
parameter yang bias (simultaneity bias) sehingga merusak validitas temuan yang
diperoleh dari analisis tipe regresi (Sande & Ghosh, 2018). Langkah selanjutnya
yang dilakukan sebelum mengestimasi sistem persamaan permintaan yaitu
mengatasi masalah endogenitas pada total pengeluaran makanan.
Wooldridge (2013) menyatakan bahwa masalah endogenitas dapat diatasi
dengan menggunakan beberapa metode, antara lain: first difference, fixed effect,
dan instrumental variable. Penelitian ini karena menggunakan data cross section,
maka metode instrumental variable digunakan untuk mengatasi masalah
endogenitas yang terjadi pada pengeluaran makanan per bulan dari rumah tangga.
Instrumental variable yang digunakan untuk mengatasi masalah endogenitas
untuk variabel pengeluaran per bulan rumah tangga untuk konsumsi makanan
adalah total pendapatan yang didekati dengan total pengeluaran rumah tangga
(total konsumsi makanan ditambah total konsumsi non-makanan). Hasil analisis
yang dilakukan oleh para penulis terdahulu menunjukkan bahwa pendapatan
rumah tangga merupakan IV yang baik bagi pengeluaran konsumsi dari rumah
tangga. Syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah variabel digunakan sebagai IV
adalah variabel instrumen berkorelasi dengan variabel yang diinstrumenkan dan
Page 18
74
tidak berkorelasi dengan error pada persamaan utama (Attanasio dan Lechene,
2010; Attanasio et al., 2013; Lecocq dan Robin, 2015).
Hasil pengujian terhadap kondisi relevance menunjukkan bahwa koefisien
variabel total pengeluaran signifikan pada level 1%. Artinya, variabel total
pengeluaran berkorelasi dengan variabel total pengeluaran rumah tangga untuk
makanan. Dengan demikian, syarat pertama dari variabel total pengeluaran
sebagai variabel instrumen bagi total pengeluaran rumah tangga untuk makanan
dapat dipenuhi. Syarat kedua yang harus dipenuhi oleh variabel total pengeluaran
agar dapat digunakan sebagai variabel instrumen bagi total pengeluaran rumah
tangga untuk makanan adalah exogenity. Hasil pengujian endogenitas
menunjukkan bahwa, hipotesis nol (Ho) yang menyatakan bahwa variabel total
pengeluaran rumah tangga untuk makanan merupakan variabel eksogen pada
semua persamaan permintaan ditolak. Artinya, variabel total pengeluaran rumah
tangga untuk makanan adalah variabel yang endogen.
Pada Tabel 4.5 terlihat hasil pengolahan data, menunjukkan bahwa secara
simultan variabel bebas yang meliputi pengeluaran rumah tangga sebagai proksi
dari pendapatan, harga komoditas pangan dan variabel sosial demografi dalam
model LA-AIDS mampu digunakan dalam mengestimasi pangsa pengeluaran
pangan (budget share) kelompok komoditas pangan. Hal ini dapat dilihat dari
nilai chi square seluruh budget share kelompok komoditi menunjukkan nilai
signifikan pada taraf 1 persen dengan nilai koefisien determinasi (R-squared)
berkisar antara 2,51-57,13 persen. Rendahnya nilai R-squared tersebut karena data
yang digunakan merupakan data cross section memiliki tingkat heterogenitas yang
Page 19
75
tinggi. Gujarati (2010) dalam Mayasari et al. (2018) mengemukakan bahwa data
cross section melibatkan beberapa observasi dan memiliki tingkat diversitas tinggi
sehingga nilai R square yang rendah tidak merupakan masalah.
4.4.3 Variabel Harga
Variabel harga sendiri memiliki pengaruh positif dan signifikan dalam
menentukan budget share semua kelompok komoditas pangan rumah tangga
miskin kecuali kelompok makanan jadi menunjukkan pengaruh negatif. Kondisi
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayasari et al. (2018)
yang menyatakan bahwa variabel harga komoditas pangan memiliki pengaruh
yang signifikan dalam menentukan proporsi pengeluaran pangan rumah tangga
miskin. Hasil estimasi menunjukkan dari 72 koefisien yang ada, 63,89 persen
diantaranya memiliki nilai signifikansi pada taraf signifikansi 1 persen sampai
dengan 10 persen.
Variabel harga menyebabkan dua pengaruh dalam menentukan budget share
kelompok komoditas pangan yaitu pengaruh positif dan negatif. Tanda positif
menunjukkan peningkatan harga akan meningkatkan budget share kelompok
komoditas pangan tersebut, sedangkan tanda negatif menunjukkan pengaruh
sebaliknya yaitu adanya peningkatan harga akan menyebabkan penurunan
terhadap budget share kelompok komoditas pangan tersebut. Kedua pengaruh ini
(positif dan negatif) terjadi karena pangsa pengeluaran makanan merupakan hasil
pembagian antara nilai pengeluaran kelompok komoditas dengan total
pengeluaran makanan. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al
(2018) dan Surjono et al. (2013) yang menyatakan bahwa terdapat dua pengaruh
Page 20
76
variabel harga terhadap budget share kelompok pangan yang diteliti yaitu positif
dan negatif.
Nilai pengeluaran kelompok makanan diperoleh dari perkalian antara unit
value (proksi harga) dengan jumlah yang dikonsumsi. Sehingga jika kenaikan
harga lebih besar daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka budget share
akan naik (pengaruh positif), kondisi sebaliknya berlaku jika kenaikan harga lebih
kecil daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka budget share akan turun
(pengaruh negatif).
Pengaruh variabel harga kelompok komoditas padi-padian menunjukkan
nilai yang positif dan signifikan terhadap budget share komoditas padi-padian
yaitu sebesar 0,1419. Kondisi ini menggambarkan jika terjadi kenaikan harga
pada kelompok komoditas padi-padian sebesar 1 persen maka akan meningkatkan
budget share komoditas padi-padian sebesar 0,1419 persen (ceteris paribus).
Permintaan yang tetap meningkat ini dikarenakan komoditas padi-padian
merupakan komoditas utama bagi sebagian besar rumah tangga miskin di Jawa
Barat, sehingga kenaikan harga pada komoditas tersebut tidak menurunkan budget
share komoditas ini.
Rumah tangga miskin lebih mengutamakan konsumsi untuk karbohidrat
atau kalori, untuk sekedar menghilangkan rasa lapar tanpa memperhatikan
kebutuhan nutrisi makanan yang harus dikonsumsi (Surjono et al. (2013). Kondisi
tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al (2018) yang mengemukan bahwa
variabel harga komoditas padi/umbi-umbian menunjukkan nilai yang positif dan
signifikan terhadap budget share komoditas padi/umbi-umbian. Permintaan yang
Page 21
77
tetap meningkat ini dikarenakan komoditas padi/umbi-umbian merupakan
komoditas utama bagi sebagian besar rumah tangga miskin di Jawa Timur. Untuk
melihat respon perubahan harga, baik itu harga sendiri maupun harga barang lain
terhadap jumlah yang diminta dapat dilihat pada nilai elastisitas permintaan, yang
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
4.4.4 Variabel Pendapatan
Variabel pendapatan rumah tangga yang diproksi dari total pengeluaran
makanan yang telah dideflasi dengan indeks harga stone, relatif menunjukkan
nilai yang signifikan pada taraf signifikansi 1-10 persen dalam mempengaruhi
budget share kelompok komoditas pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa
Barat, kecuali kelompok komoditas pangan lainnya tidak menunjukkan pengaruh
yang signifikan. Artinya pangsa pengeluaran makanan kelompok komoditas
pangan lainnya tidak dipengaruhi oleh besarnya tingkat pendapatan rumah tangga
miskin. Hal ini dimungkinkan karena komponen dalam kelompok pangan lainnya
terdiri dari bumbu, bahan minuman, dan konsumsi lainnya, sehingga kebutuhan
akan konsumsi komponen pangan tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan rumah tangga miskin.
4.4.5 Variabel Sosial Demografi
Variabel sosial demografi yang dimasukkan dalam sistem permintaan LA-
AIDS dimaksudkan untuk menangkap preferensi atau pilihan konsumsi rumah
tangga miskin di Provinsi Jawa Barat. Beberapa penelitian sebelumnya
menemukan bahwa perlu dimasukkannya variabel sosial demografi dalam kajian
Page 22
78
permintaan atau konsumsi pangan. Penelitian tersebut salah satunya dilakukan
oleh Widardjono (2013) meneliti tentang permintaan pangan di Provinsi
Yogyakarta. Beberapa variabel sosial demografi yang dimasukkan diantaranya
tipe wilayah, ukuran rumah tangga, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala
rumah tangga, dan jenis kelamin kepala rumah tangga.
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai koefisien hasil estimasi sistem
permintaan LA-AIDS, tidak semua variabel sosial demografi memiliki pengaruh
dalam menentukan budget share kelompok komoditas pangan rumah tangga
miskin di Provinsi Jawa Barat. Hasil estimasi menunjukkan, dari 32 koefisien
yang terbentuk, sekitar 50 persen memiliki pengaruh pada taraf signifikansi 1-10
persen. Berikut beberapa penjelasan mengenai pengaruh variabel sosial demografi
dalam menentukan konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat.
1) Jumlah Anggota Rumah Tangga
Definisi variabel anggota rumah tangga yang digunakan dalam penelitian ini
adalah semua orang, baik yang telah tinggal selama 6 bulan atau lebih, atau yang
telah tinggal kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap/berencana tinggal selama
6 bulan atau lebih. Berdasarkan pengolahan data, diperoleh hasil bahwa jumlah
anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan pada taraf 1 persen sampai
dengan 10 persen terhadap budget share semua kelompok komoditas pangan
rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat kecuali untuk kelompok komoditas
makanan jadi.
Hasil pengolahan data menunjukkan jumlah anggota rumah tangga
menyebabkan pengaruh negatif di semua kelompok komoditas pangan rumah
Page 23
79
tangga miskin di Provinsi Jawa Barat kecuali pada kelompok komoditas padi-
padian berpengaruh positif. Pengaruh negatif menunjukkan ketika terjadi
peningkatan jumlah anggota keluarga akan menyebabkan penurunan budget share
kelompok komoditi. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Firdaus et al. (2013) menyatakan bahwa jumlah anggota rumah
tangga akan mempengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran rumah tangga.
Penambahan jumlah anggota rumah tangga dengan kondisi tingkat variabel
yang lain tetap (ceteris paribus) dapat menurunkan jumlah konsumsi pangan
rumah tangga. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang menjadi
beban atau tanggungan keluarga. Banyaknya jumlah orang dalam keluarga erat
kaitannya dengan distribusi penghasilan terutama untuk kebutuhan konsumsi
rumah tangga dan keperluan lainnya. Jumlah anggota rumah tangga
menggambarkan keadaan ekonomi yang dipikul masing-masing keluarga terhadap
kesejahteraan rumah tangga (Ningsih et al, 2012).
Sementara itu, pengaruh positif menunjukkan peningkatan jumlah anggota
rumah tangga akan meningkatkan budget share kelompok komoditas pangan.
Kondisi tersebut terjadi karena kelompok komoditas padi-padian merupakan
kelompok prioritas dalam konsumsi rumah tangga tangga miskin di Provinsi Jawa
Barat, sehingga adanya penambahan anggota rumah tangga mengakibatkan
peningkatan budget share kelompok padi-padian.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Trisnowati & Budiwinarto (2013) dan
Siahaan et al. (2016) mengemukakan bahwa banyaknya anggota rumah tangga
berpengaruh positif terhadap permintaan kelompok pangan. Jumlah anggota
Page 24
80
keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah
tangga. semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka akan meningkatkan pola
konsumsi masing-masing anggota rumah tangga.
2) Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga
Jenis pekerjaan kepala rumah tangga dibedakan menjadi kepala rumah
tangga yang bekerja di sektor pertanian dan bekerja di sektor non pertanian. Hasil
pengolahan data, diketahui bahwa jenis pekerjaan kepala rumah tangga
berpengaruh signifikan pada semua kelompok komoditas kecuali kelompok
pangan hewani, buah-buahan dan kacang-kacangan.
Variabel jenis pekerjaan kepala rumah tangga memiliki pengaruh positif
terhadap pangsa pengeluaran (budget share) semua kelompok komoditas pangan
yang dianalisis kecuali kelompok makanan jadi (berpengaruh negatif). Pengaruh
positif terhadap budget share komoditas tersebut dikarenakan sebagian besar jenis
kelompok komoditas yang dianalisis merupakan komoditas berbasis pertanian
seperti padi-padian, sayur-sayuran dan pangan lainnya, sehingga banyak
didapatkan dari produksi rumah tangga sendiri.
Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al (2018) yang
menemukan bahwa rumah tangga miskin yang bekerja pada sektor pertanian
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dalam menentukan budget share
komoditas padi/umbi-umbian, ikan/daging/telur/susu dan pangan lainnya.
3) Tipe Wilayah Rumah Tangga
Pada variabel tipologi wilayah tempat tinggal, dibedakan menjadi rumah
tangga miskin yang berada di perdesaan dan rumah tangga miskin yang berada di
Page 25
81
perkotaan. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tipe wilayah rumah
tangga berpengaruh secara signifikan pada kelompok komoditas padi-padian,
pangan hewani, dan sayur-sayuran. Rumah tangga miskin perdesaan di Jawa Barat
memiliki lebih besar budget share konsumsi pangannya pada kelompok
komoditas padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran
dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan. Hal tersebut terjadi
karena di perdesaan kelompok komoditas tersebut mudah diperoleh dan rumah
tangga perdesaan identik dengan wilayah pertanian.
Sementara itu budget share kelompok komoditas pangan hewani lebih besar
di rumah tangga perkotaan daripada perdesaan. Hal tersebut terjadi karena rumah
tangga miskin di perkotaan lebih memperioritaskan pola konsumsinya pada
kelompok komoditas yang memiliki kandungan gizi yang tinggi yaitu pada
kelompok pangan hewani. Pada kelompok komoditas buah-buahan, kacang-
kacangan, makanan jadi, pangan lainnya serta pangan lainnya tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan.
4) Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) Kepala rumah Tangga
Variabel sosial demografi yang terakhir yaitu rata-rata lama sekolah kepala
rumah tangga (RLS), tingkat RLS kepala rumah tangga memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan dalam menentukan budget share konsumsi kelompok
komoditas pangan hewani dan pangan lainnya. Sementara itu tingkat RLS kepala
rumah tangga memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan dalam menentukan
budget share kelompok komoditas padi-padian. Hal ini mengindikasikan tingkat
Page 26
82
RLS kepala rumah tangga menentukan dalam pengambilan keputusan mengenai
komoditas-komoditas yang akan dikonsumsi rumah tangga.
Semakin tinggi RLS kepala rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat,
maka kepala rumah tangga tersebut lebih memahami mengenai kebutuhan gizi
anggota rumah tangganya dan cenderung memprioritaskan budget share konsumsi
pangannya pada kelompok komoditas pangan hewani, makanan jadi, serta pangan
lainnya. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Nugroho & Suparyono (2013)
yang menemukan bahwa pendidikan kepala keluarga mempunyai hubungan
positif terhadap dengan porsi pengeluaran pangan hewani (daging sapi dan babi).
Konsumen dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai
aksesibilitas informasi yang lebih baik dibandingkan dengan konsumen dengan
tingkat pendidikan rendah. Informasi tentang kesehatan dan kandungan nutrisi
akan memengaruhi perilaku konsumen dan selanjutnya akan memengaruhi
permintaan pangan. Selain karena informasi kandungan gizi dan kesehatan,
tingkat pendidikan konsumen juga menentukan tingkat rasionalitas dalam perilaku
konsumsinya. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka keinginan untuk
mengalihkan ke pengeluaran selain konsumsi akan semakin tinggi, seperti untuk
investasi, kesehatan, rekreasi/hiburan, pendidikan, dan lain-lain (Nugroho &
Suparyono, 2013).
4.4.6 Inverse Mills Rasio (IMR)
Parameter Inverse Mills Rasio (IMR) berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
sampai dengan 10 persen untuk kelompok komoditas kacang-kacangan, pangan
lainnya dan rokok. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan sampel selectivity
Page 27
83
bias terbukti pada kelompok komoditas kacang-kacangan, pangan lainnya dan
rokok. Dengan menambah variabel variabel IMR, maka parameter-parameter
estimasi dalam persamaan budget share untuk kelompok kacang-kacangan,
pangan lainnya dan rokok tidak bias. Kemudian, pengaruh variabel IMR yang
tidak signifikan untuk kelompok komoditas padi-padian, sayur-sayuran, buah-
buahan, dan makanan jadi. Hal ini menunjukan bahwa masalah selectivity bias
tidak terjadi untuk kelompok komoditas tersebut (Chandra, 2007).
4.4.7 Instrumental Variable
Pada penelitian ini, instrumental variable yang digunakan untuk mengatasi
masalah endogenitas pada variabel pengeluaran konsumsi makanan per bulan dari
rumah tangga adalah total pengeluaran rumah tangga sebagai proxy dari
pendapatan rumah tangga. Hasil pengolahan data menunjukkan parameter variabel
instrumen berpengaruh signifikan pada taraf 1 persen. Variabel instrumen total
pengeluaran berpengaruh secara positif terhadap budget share kelompok
komoditas yang diteliti kecuali kelompok komoditas makanan jadi dan rokok. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar budget share kelompok komoditas
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga yang digunakan sebagai
variabel instrumen dalam penelitian ini.
Page 28
84
84
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Parameter Budget Share Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin
Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017
Variabel Budget
Share padi Budget Share
pangan hewani Budget
Share sayur Budget Share
kacang Budget Share
buah Budget Share makanan jadi
Budget Share pangan lainya
Budget Share rokok
Harga padi-padian 0,1419***
(0,0126)
-0,424***
(0,0111)
-0,0542***
(0,0062)
-0,0248***
(0,0053)
-0,0038
(0,0052)
0,0565***
(0,0211)
-0,0212***
(0,0070)
0,0566***
(0,0111)
Harga umbi-umbian
-0,0236***
(0,0056)
-0,0193***
(0,0051)
0,0012
(0,0030)
0,0004
(0,0024)
0,0009
(0,0026)
0,0727***
(0,0094)
0,0031
(0,0086)
0,0309***
(0,0051)
Harga pangan
hewani
-0,0303***
(0,0051)
0,0127***
(0,0045)
-0,0053**
(0,0026)
-0,0028
(0,0021)
-0,0003
(0,0024)
0,0031
(0,0086)
-0,0044*
(0,0028)
0,0202***
(0,0047)
Harga sayur-sayuran
-0,0219***
(0,0040)
-0,0181***
(0,0035)
0,0092***
(0,0019)
-0,0017
(0,0017)
-0,0009
(0,0015)
0,0289***
(0,0066)
-0,0076***
(0,0022)
0,0119***
(0,0037)
Harga kacang-kacangan
-0,01684
(0,0119)
-0,0407***
(0,0108)
-0,0018
(0,0061)
0,0269***
(0,0052)
-0,0053
(0,0046)
0,0869***
(0,0199) -0,0142**
-0,0368***
(0,0110)
Harga buah-buahan -0,0381***
(0,0077)
0,0041
(0,0068)
0,0102***
(0,0038)
0,0195***
(0,0032)
0,0123***
(0,0032)
-0,0180
(0,0129)
0,0091**
(0,0043)
0,0043
(0,0071)
Harga makanan jadi
0,0234*
(0,0150)
-0,0103
(0,0134)
-0,0311***
(0,0074)
-0,0418***
(0,0064)
-0,0039
(0.0062)
-0,04242***
(0.0250)
-0,0075**
(0.0083)
0,1154***
(0,0138)
Harga pangan
lainnya
-0,0272**
(0,0132)
-0,0204*
(0,0119)
-0,0235***
(0,0064)
0,0033
(0.0057)
-0,0009
(0,0063)
0,0879***
(0,0021)
0,0169**
(0,0073)
-0,0334***
(0,0122)
Harga rokok -0,0097
(0,0077)
-0,0071
(0,0068)
-0,0067*
(0,0038)
-0,0140***
(0,0032)
--0,0059**
(0,0028)
0,0067
(0,0129)
0,0050
(0,0043)
0,0316***
(0,0071)
Pendapatan -0,1381***
(0,0058)
-0,0923***
(0,0051)
-0,0391***
(0,0028)
-0,0359***
(0,0024)
0,0094***
(0,0032)
0,0982***
(0,0096)
-0,0019
(0.0032)
0,2221***
(0,0058)
Page 29
85
Variabel Budget
Share padi
Budget Share
pangan hewani
Budget
Share sayur
Budget Share
kacang
Budget Share
buah
Budget Share
makanan jadi
Budget Share
pangan lainya
Budget Share
rokok
jart 0,0233***
(0,0022)
-0,0080***
(0,0019)
-0,0051***
(0.0611)
-0,0026***
(0,0009)
-0,0019**
(0.0008)
0,0004
(0,0036)
-0,0051***
(0,0011)
-0,0030*
(0,0020)
rls -0,0034***
(0,0007)
0,0014**
(0,0006)
-0,0002
(0,0004)
0,0000
(0,0003)
-0,0001
(0,0003)
0,0009
(0,0012)
0,0007*
(0,0004)
0,0008
(0,0006)
d_lok 0,0118***
(0,0042)
-0,0144***
(0,0037)
0,0038*
(0,0021)
-0,0013
(0,0018)
-0,0033
(0,0015)
-0,0041
(0,0069)
0,0007
(0,0023)
0,0013
(0,0038)
d_tani 0,0269***
(0,0041)
-0,0009
(0,0037)
0,0041*
(0,0021)
-0,0015
(0,0017)
0,0002
(0,0018)
-0,0395***
(0,0068)
0,0002
(0,0022)
0,0089**
(0,0038)
Instrument
Variable
0,0474***
(0,0110)
0,1463***
(0,0098)
0,3507***
(0,0878)
0,0323***
(0,0047)
0,0078**
(0,0038)
-0,1015***
(0,01830
0,0106*
(0,0061)
-0,1866***
(0,0101)
IMR -0,0035
(0,0051)
0,0047
(0,0164)
0,0040
(0,0117)
0,0153*
(0,0089)
-0,0307
(0,0236)
0,0059
(0,0078)
0,0153*
(0.0102)
0,0068***
(0,0025)
Konstanta 0,1673
(0,1787)
-0,2261
(0,1579)
0,3507***
(0,0878)
0,0112
(0,0747)
0,0482
(0,0622)
-0,0963
(0,2980)
0,1958**
(0,0991)
0,3715**
(0,1658)
R-Square 0.4902***
0.2343*** 0.1994*** 0.2270*** 0,0251*** 0.1861*** 0,0558*** 0,5713***
Chi2 1629.44
517,03 422,99 495,57 46,01 386,07 103,86 2246,82
Sumber : Susenas Maret 2017, diolah
Keterangan : - ***, **, * menunjukkan taraf signifikasi 1%, 5%, dan 10%,
Nilai dalam tanda kurung menunjukkan nilai standar error
Page 30
86
86
4.5 Elastisitas
4.5.1 Elastisitas Harga Sendiri
Elastisitas harga sendiri menunjukkan seberapa besar perubahan harga
kelompok komoditi itu sendiri terhadap permintaannya. Elastisitas harga sendiri
merupakan cara yang mudah untuk mengukur respon permintaan rumah tangga
miskin terhadap perubahan harga pada komoditas pangan. (Mayasari et al., 2018)
Jika nilai elastisitas harga sendiri lebih besar dari satu, artinya efek dari perubahan
harga lebih besar dibandingkan dengan efek perubahan permintaan (elastis).
Sedangkan jika nilai elastisitas harga sendiri kurang dari satu artinya, efek
perubahan harga lebih kecil dibandingkan dengan efek perubahan permintaan
(inelastis).
Pada Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa besarnya elastisitas harga sendiri
rumah tangga miskin di Provinasi Jawa Barat untuk semua kelompok komoditas
pangan bernilai negatif. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa bila terjadi
kenaikan harga pada suatu kelompok komoditas pangan maka permintaan
terhadap kelompok komoditas pangan tersebut akan cenderung menurun. Hasil
penelitian ini sesuai dengan konsistensi dengan teori permintaan, yaitu terdapat
hubungan linier terbalik antara harga dan permintaan (Nicholson, 2002).
Hasil perhitungan nilai elastisitas harga sendiri, diketahui bahwa hampir
semua kelompok komoditas pangan memiliki nilai elastisitas harga sendiri kurang
dari 1 kecuali kelompok komoditas makanan jadi. Hal tersebut menggambarkan
bahwa kenaikan harga pada masing-masing kelompok komoditas tidak banyak
mempengaruhi konsumsi kelompok komoditas pangan (ceteris paribus). Diantara
Page 31
87
ketujuh kelompok tersebut yang paling inelastis adalah kelompok padi-padian dan
kelompok buah-buahan karena memiliki nilai elastisitas harga sendiri paling
rendah yaitu masing-masing sebesar 0,3591 dan 0,4571. Kondisi tersebut terjadi
karena pada kelompok padi-padian salah satu komponennya adalah beras. Beras
merupakan makanan pokok bagi rumah tangga miskin di provisni Jawa barat dan
hampir dikonsumsi oleh semua rumah tangga. Sehingga adanya kenaikan harga
kurang direspon oleh rumah tangga miskin. Kondisi ini sejalan dengan hukum
Bennet yang menyatakan bahwa rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah,
konsumsi pangannya akan lebih memprioritaskan pada pangan yang bersifat padat
energi yang berasal dari karbohidrat, namun sejalan dengan peningkatan
pendapatan maka pola konsumsi pangannya akan semakin terdiversifikasi dan
umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan terhadap komoditas yang
bernilai gizi tinggi (Ariani dan Hermanto, 2012).
Sementara itu kelompok lainnya seperti makanan jadi memiliki elastisitas
harga lebih dari 1, yaitu sebesar 1,2624. Artinya, ketika terjadi kenaikan harga
pangan pada kelompok makanan jadi akan direspon dengan penurunan permintaan
kelompok makanan jadi (ceteris paribus). Nilai elastisitas lebih dari 1
menunjukkan kelompok makanan jadi merupakan barang yang elastis. Kondisi
tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya (Widarjono dan Rucbha, 2016)
bahwa elastisitas pada rumah tangga berpendapatan rendah cenderung bersifat
responsif (elastis) terhadap perubahan harga dibandingkan rumah tangga
berpendapatan tinggi, kondisi ini disebabkan karena umumnya rumah tangga
miskin memiliki daya beli rendah.
Page 32
88
Tabel 4.6 menunjukkan elastisitas berdasarkan tipe wilayah perdesaan dan
perkotaan. Nilai elastisitas kelompok komoditas bersifat inealstis karena memiliki
nilai kurang dari 1 kecuali kelompok komoditas sayur-sayuran, makanan jadi dan
pangan lainnya. Elastisitas kelompok sayur-sayuran pada rumah tangga miskin di
perdesaan mencapai nilai sebesar 1,0453. Artinya, ketika terjadi peningkatan
harga sebesar 1 persen, maka rumah tangga akan bersifat responsif dengan
menurunkan permintaan kelompok sayur-sayuran sebesar 1,0453 persen (ceteris
paribus). Kondisi tersebut terjadi karena rumah tangga di perdesaan identik
dengan produsen sektor pertanian. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga pada
kelompok sayur-sayuran, maka rumah tangga akan mengurangi konsumsinya
karena lebih menguntungkan jika kelompok sayur-sayuran tersebut dijual ke
wilayah perkotaan. Seiiring dengan peningkatan harga tersebut, maka rumah
tangga di perdesaan akan beralih ke kelompok pangan yang memiliki nilai gizi
sama, seperti kelompok buah-buahan dan kacang-kacangan.
Kelompok sayur-sayuran merupakan barang elastis bagi rumah tangga
miskin di perdesaan, hal ini sejalan dengan penelitian Faharuddin et al. (2015)
yang menemukan bahwa kelompok sayur-sayuran pada rumah tangga miskin di
perdesaan memiliki nilai elastisitas lebih dari 1 sehingga ketika terjadi
peningkatan harga sebesar 1 persen makan akan direspon rumah tangga dengan
menurunkan konsumsinya lebih dari 1 persen.
Berdasarkan kategori jenis pekerjaan kepala rumah tangga, terlihat bahwa
kelompok komoditas yang paling inelastis adalah kelompok komoditas padian-
padian dan buah-buahan. Artinya kelompok padi-padian dan buah-buahan
Page 33
89
merupakan kelompok pangan utama bagi rumah tangga pada kategori rumah
tangga tersebut. Sehingga, ketika terjadi peningkatan harga pada kedua kelompok
komoditas kurang direspon (inelastis) dengan penurunan konsumsi kedua
kelompok pangan.
Tabel 4.6 Perbandingan Nilai Elastisitas Harga Sendiri Rumah Tangga
Miskin di Provinsi Jawa Barat Menurut Tipe Wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT
Kelompok
Komoditas
RT
Keseluruhan Perdesaan Perkotaan Pertanian
Non
Pertanian
Padi-Padian -0,3591 -0,3766 -0,2990 -0,2711 -0,3655
Pangan Hewani -0,8014 -0,8074 -0,8053 -0,8500 -0,7809
Sayur-Sayuran -0,8172 -1,0453 -0,8714 -0,6893 -0,8381
Kacang-Kacangan -0,5174 -0,5116 -0,5056 -0,5591 -0,5236
Buah-Buahan -0,4571 -0,6041 -0,4233 -0,1065 -0,5896
Makanan Jadi -1,2624 -1,4390 -1,2560 -1,5691 -1,1325
Pangan Lainnya -0,7879 -1,0080 -0,6886 -1,0384 -0,6873
Rokok -0,9125 -0,9009 -0,8579 -0,5748 -0,8782
Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah
4.5.2 Elastisitas Harga Silang
Respon kenaikan harga pada suatu komoditas tidak hanya berdampak pada
komoditas itu sendiri, namun juga dapat mempengaruhi perubahan permintaan
pada komoditas lainnya. Elastisitas harga silang menunjukkan efek dari perubahan
harga kelompok komoditas lainnya terhadap permintaan kelompok komoditas.
Elastisitas harga silang akan menentukan suatu komoditi atau kelompok komoditi
bersifat komplementer atau subsitusi. Jika nilai elastisitas harga silang bernilai
positif artinya, kenaikan harga kelompok komoditi akan meningkatkan permintaan
kelompok komoditi lain atau bersifat subsitusi. Sedangkan jika nilai elastisitas
Page 34
90
harga silang bernilai negatif artinya, kenaikan harga kelompok komoditi akan
menurunkan permintaan kelompok komoditi lain atau bersifat komplementer
(Mayasari et al, 2018).
Tabel 4.7 menunjukkan beberapa hal menarik dari hasil perhitungan
elastisitas harga silang pada rumah tangga miskin secara keseluruhan di Provinsi
Jawa Barat, diantaranya sebagian besar nilai elastisitas silang kelompok
komoditas memiliki nilai elastisitas yang sangat kecil berkisar antara 0,0058
sampai dengan 0,4494. Dari 35 nilai elastisitas silang yang dihasilkan sebanyak 23
elastisitas bernilai negatif, artinya bahwa kelompok komoditas pangan yang
berkaitan bersifat komplementer. Sementara itu sisanya, sebanyak 12 elatisitas
bernilai positif, menunjukkan bahwa kelompok komoditas pangan yang berkaitan
bersifat substitusi. Berdasarkan analisis elastisitas harga silang rumah tangga
miskin di Provinsi Jawa Barat, dapat diketahui untuk beberapa kelompok
komoditas mempunyai elastisitas harga silang yang bersifat saling
berkomplementer ataupun bersubstitusi. Seperti kelompok padi-padian
berkomplementer dengan pangan hewani, begitu juga pangan hewani bersifat
komplementer terhadap padi-padian. Namun tidak berlaku bagi kelompok
makanan jadi, dimana padi-padian merupakan barang komplementer bagi
makanan jadi. Sedangkan makanan jadi merupakan kelompok substitusi bagi
kelompok padi-padian. Hal ini karena kenaikan harga pangan yang lainnya relatif
tidak mempengaruhi konsumsi (Faharuddin et al. 2015).
Komoditas padi-padian merupakan kebutuhan pokok bagi keseluruhan
rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, sehingga mempunyai budget share
Page 35
91
terbesar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat.
Elastisitas harga silang pada kelompok komoditas padi-padian memiliki lebih
banyak nilai negatif dibandingkan nilai positif. Artinya, kelompok padi-padian
memiliki lebih banyak hubungan komplementer dengan komoditas pangan lain
daripada hubungan substitusi. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti
et al (2016) yang menemukan bahwa pada rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
kelompok beras lebih banyak memiliki hubungan komplemeter daripada
subsitusinya dengan nilai elastisitas komplementer yang sangat kecil. Hal tersebut
menunjukkan bahwa permintaan beras tidak responsif terhadap perubahan harga
barang komplementernya.
Kelompok komoditas padi-padian memiliki hubungan substitusi terbesar
dengan kelompok komoditas makanan jadi yang bernilai sebesar 0,2094. Artinya
jika terjadi kenaikan harga pada kelompok komoditas padi-padian akan direspon
dengan menaikkan permintaan terhadap kelompok makanan jadi (ceteris paribus).
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa terjadi pergeseran pola konsumsi pada rumah
tangga miskin di Jawa Barat, dimana dominasi komoditas padi-padian sedikit
tergantikan dengan kelompok komoditas makanan jadi. Sementara itu, kelompok
komoditas padi-padian memiliki hubungan komplementer dengan kelompok
pangan hewani, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan pangan
lainnya. Kondisi tersebut mengindikasikan ketika terjadi kenaikan harga pada
kelompok padi-padian akan menyebabkan penurunan permintaan pada semua
kelompok komoditas pangan kecuali kelompok komoditas makanan jadi dan
rokok (ceteris paribus).
Page 36
92
Kelompok padi-padian memiliki hubungan komplementer terbesar dengan
kelompok komoditas buah-buahan, bernilai sebesar 0,1239. Artinya jika terjadi
kenaikan harga pada kelompok komoditas padi-padian akan direspon dengan
penurunan permintaan terhadap kelompok buah-buahan (ceteris paribus). Kondisi
tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya (Faharuddin et al, 2013) yang
menyatakan bahwa kenaikan harga beras (salah satu komponen padi-padian) akan
mengurangi konsumsi (komplementer) susu, umbi-umbian, daging, buah-buahan
dan pangan lainnya.
Kelompok komoditas makanan jadi merupakan kelompok dengan budget
share kedua tertinggi dalam pola konsumsi rumah tangga miskin di Jawa Barat
memiliki hubungan komplementer terhadap permintaan semua kelompok
komoditas kecuali kelompok komoditas sayur-sayuran, kacang-kacangan dan
pangan lainnya. Hubungan komplementer terkuat dengan kelompok komoditi
padi-padian dengan nilai elastisitas silang sebesar 0,3255. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan harga pada kelompok makanan jadi akan
mengakibatkan penurunan pada kelompok padi-padian (ceteris paribus).
Sementara itu, hubungan substitusi kelompok makanan jadi terjadi dengan
sayur-sayuran, kacang-kacangan dan pangan lainnya. Hubungan substitusi terkuat
dengan kelompok kacang-kacangan, bernilai elastisitas sebesar 0,3129. Nilai
tersebut mengindikasikan bahwa kenaikan harga pada kelompok komoditas
makanan jadi sebesar 1 persen akan direspon dengan meningkatkan permintaan
kelompok kacang-kacangan sebesar 0,3129 persen (ceteris paribus). Kondisi
tersebut sejalan dengan penelitian Saliem (2002) yang menyatakan bahwa
Page 37
93
kelompok makanan jadi bersubstitusi dengan kelompok sayur-sayuran, kacang-
kacangan dan pangan lainnya.
Tabel 4.7 Perbandingan Nilai Elastisitas Silang Rumah Tangga Keseluruhan,
Menurut Tipe Wilayah dan Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga
Kelompok Komoditas
Elastisitas silang
RT
Keseluruhan
Tipe Wilayah Jenis Pekerjaan KRT
Perdesaan Perkotaan Pertanian Non
Pertanian
Padi-padian Pangan hewani -0,0488 0,0103 -0,0885 -0,0847 -0,0058
Sayur-Sayuran -0,0463 -0,0590 -0,0614 -0,1020 -0,0327
Kacang-Kacangan -0,0302 -0,1083 0,0645 -0,0826 -0,0091
Buah-Buahan -0,1239 -0,0423 -0,0814 -0,1059 -0,1351
Makanan Jadi 0,2094 0,3717 0,1159 0,4494 0,1767
Pangan Lainnya -0,0573 -0,0228 -0,0481 0,0139 -0,0899
Rokok 0,0157 0,0262 -0,0481 0,1356 0,0100
Pangan hewani Padi-Padian -0,1366 -0,3447 0,0282 -0,2732 -0,0888
Sayur-Sayuran -0,1018 -0,1978 -0,0120 -0,0741 -0,1128
Kacang-Kacangan -0,2932 -0,2524 -0,4494 -0,3485 -0,2036
Buah-Buahan 0,0525 -0,0154 0,1217 -0,0018 0,0405
Makanan Jadi 0,1130 0,0437 0,1807 0,1491 0,0849
Pangan Lainnya -0,1092 -0,1354 -0,1145 0,0723 -0,1311
Rokok 0,0370 -0,0320 0,0411 -0,0155 -0,1158
Sayur-Sayuran Padi-Padian -0,6765 -0,7926 -0,6426 -0,2732 -0,5615
Pangan hewani -0,0100 -0,0097 0,0247 -0,0741 -0,0121
Kacang-Kacangan 0,0646 -0,0483 0,1236 -0,3485 0,0232
Buah-Buahan 0,1734 0,0737 0,2429 -0,0018 0,1882
Makanan Jadi -0,3280 -0,0883 -0,4843 0,1491 -0,3199
Pangan Lainnya -0,3182 -0,4804 -0,2262 0,0723 -0,2707
Rokok -0,0425 -0,1357 -0,0532 -0,0155 -0,0361
Page 38
94
Kacang-
Kacangan Padi-Padian -0,2434 -0,3247 -0,3251 -0,3305 -0,2978
Pangan hewani 0,1172 0,2324 0,0961 0,2930 0,1045
Sayur-Sayuran 0,0095 0,0222 0,0229 0,1137 -0,0125
Buah-Buahan 0,3366 -0,2094 0,3957 0,3351 0,3374
Makanan Jadi -0,5383 -0,4955 -0,4146 -0,7815 -0,5005
Pangan Lainnya 0,1034 0,2818 0,1301 -0,1177 0,1834
Rokok -0,1719 0,2360 -0,2253 -0,5334 -0,1404
Buah-Buahan Padi-Padian -0,0479 -0,1139 0,3512 -0,3092 0,0505
Pangan hewani 0,0334 -0,5690 0,3274 -0,1195 0,0345
Sayur-Sayuran -0,0137 -0,1449 -0,0002 -0,0092 0,0239
Kacang-Kacangan -0,2082 -0,4648 -0,0198 -0,2289 -0,2755
Makanan Jadi -0,0650 1,2003 -0,9032 0,5048 -0,0658
Pangan Lainnya -0,0082 0,0579 -0,1795 -0,1209 0,2412
Rokok -0,2149 0,2849 -0,1531 -0,0043 -0,2918
Makanan Jadi Padi-Padian -0,3255 -0,2590 -0,3717 -0,3538 -0,2614
Pangan hewani -0,0333 -0,1188 -0,0067 -0,0087 -0,0303
Sayur-Sayuran 0,0874 0,1299 0,0431 0,0857 0,0820
Kacang-Kacangan 0,3129 0,4255 0,2991 0,3346 0,2590
Buah-Buahan -0,0783 -0,1190 -0,0147 -0,0649 -0,0678
Pangan Lainnya 0,3091 0,3285 0,3306 0,3617 0,2303
Rokok -0,0045 0,0514 -0,0163 -0,0594 -0,0351
Pangan
Lainnya Padi-Padian -0,2576 -0,6153 -0,0944 -0,6783 0,0874
Pangan hewani -0,0521 0,0726 -0,0396 0,1235 -0,0697
Sayur-Sayuran -0,0929 -0,0302 -0,0927 -0,0281 -0,0918
Kacang-Kacangan -0,1754 -0,2137 -0,1861 -0,0669 -0,2551
Buah-Buahan 0,1142 0,1283 0,1058 0,1992 0,0868
Makanan Jadi -0,0877 -0,4130 -0,0013 -0,4634 -0,0083
Rokok 0,0647 -0,1604 0,0122 -0,1757 0,0515
Rokok Padi-Padian -0,0595 0,1499 -0,1930 0,5196 -0,2353
Pangan hewani -0,0632 -0,0212 -0,1091 -0,2965 -0,0372
Sayur-Sayuran -0,0227 -0,0094 -0,0347 -0,0947 -0,0267
Page 39
95
Kacang-Kacangan -0,4923 -0,3784 -0,4447 -0,5061 -0,4629
Buah-Buahan -0,0083 0,0840 -0,1381 -0,0784 0,0221
Makanan Jadi 0,5686 0,5846 0,5528 1,1236 0,3312
Pangan Lainnya -0,5025 -0,1981 -0,6345 -0,5581 0,1123
Sumber: Susenas 2017, diolah
Sementara itu, apabila rumah tangga miskin dikategorikan berdasarkan tipe
wilayah rumah tangga (perdesaan dan perkotaan) serta jenis pekerjaan kepala
rumah tangga (pertanian dan non pertanian) diperoleh hasil bahwa di semua
kategori rumah tangga, kelompok padi-padian memiliki hubungan substitusi
terbesar dengan kelompok makanan jadi. Artinya kenaikan harga pada kelompok
komoditas padi-padian akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan
meningkatkan permintaannya terhadap kelompok komoditas makanan jadi (ceteris
paribus). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al. (2018) yang
menemukan bahwa terjadi pergeseran pola konsumsi pada rumah tangga miskin,
dimana dominasi komoditas padi-padian sedikit tergantikan dengan komoditas
makanan jadi.
Hubungan komplementer terbesar kelompok padi-padian berdasarkan tipe
wilayah rumah tangga (perdesaan dan perkotaan) adalah dengan kelompok
komoditi kacang-kacangan. Artinya kenaikan harga pada kelompok komoditas
padi-padian akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan menurunkan
permintaannya terhadap kelompok komoditas kacang-kacangan (ceteris paribus).
Sementara itu, hubungan komplementer terbesar kelompok padi-padian
berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga (pertanian dan non pertanian)
Page 40
96
adalah dengan kelompok buah-buahan. Artinya kenaikan harga pada kelompok
komoditas padi-padian akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan
menurunkan permintaannya terhadap kelompok komoditas buah-buahan (ceteris
paribus).
4.5.3 Elastisitas Pendapatan
Elastisitas pendapatan mengukur respon perubahan permintaan kelompok
komoditas pangan ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan. Elastisitas
pendapatan diproxy dengan total pengeluaran pangan rumah tangga miskin,
sehingga selanjutnya disebut dengan istilah elastisitas pengeluaran. Elastisitas
pendapatanakan menjelaskan sifat dari komoditas atau kelompok komoditas
apakah bersifat barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Berdasarkan
hasil pengolahan data, Elastisitas pendapatansecara keseluruhan rumah tangga
miskin menunjukkan hasil Elastisitas pendapatanyang bernilai positif. Artinya
tidak dijumpai adanya barang yang bersifat inferior pada rumah tangga miskin di
Provinsi Jawa Barat. Komoditas pangan yang ada kesemuanya bersifat barang
normal dan beberapa diantaranya termasuk ke dalam kategori barang mewah
(luxury goods). Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Faharuddin et al. (2013) dan Mayasari et al. (2018) yang menemukan bahwa
kelompok pangan memiliki nilai Elastisitas pendapatanpositif sehingga termasuk
kategori barang normal dan barang mewah.
Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa kelompok makanan jadi dan rokok
memiliki nilai elastisitas tertinggi di semua kategori rumah tangga miskin yaitu
Page 41
97
nilai elastisitas lebih dari 1. Artinya, bila terjadi peningkatan pendapatan pada
rumah tangga miskin di Jawa Barat maka kenaikan tersebut akan dialokasikan
lebih banyak untuk konsumsi kelompok komoditas makanan jadi dan rokok
(ceteris paribus). Fenomena ini didukung dengan kenyataan semakin banyaknya
usaha penyediaan makanan dan minuman jadi di setiap daerah. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Widarjono (2013) dan Mayasari et al. (2018) yang
menghasilkan temuan bahwa semakin miskin status ekonomi rumah tangga maka
elastisitas pendapatan terhadap komoditas makanan jadi akan semakin responsif.
Kelompok rokok memiliki nilai elastisitas pendapatan tertinggi untuk semua
kategori rumah tangga miskin. Kondisi tersebut menunjukkan ketika terjadi
peningkatan pendapatan, maka rumah tangga miskin akan merespon dengan
meningkatkan konsumsi terhadap kelompok rokok. Dilihat dari besarnya nilai
elastisitas pendapatan, kelompok rokok pada rumah tangga miskin dianggap
sebagai barang mewah (elastisitas pendapatan >1). Kondisi tersebut sejalan
dengan penelitian Miranti et al. (2016) yang menyatakan bahwa kelompok rokok
memiliki elastistas pendapatan lebih dari 1 dan tidak adanya barang substitusi
merupakan hal yang tidak baik dan harus diantisipasi. Rokok merupakan barang
yang menghasilkan dampak yang buruk jika dikonsumsi. Dampak buruk rokok
pada kesehatan akan mengakibatkan turunnya produktivitas tenaga kerja dan
turunnya ekspektasi hidup yang berdampak pada terhambatnya atau turunnya
pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, bahkan pembangunan nasional.
Besarnya elastisitas pendapatan untuk konsumsi kelompok rokok harus
diwaspadai, karena akan menjadi sebuah kondisi yang dilemma dengan hasil
Page 42
98
program pengentasan kemiskinan yang selalu bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan rumah tangga miskin. Rekomendasi yang disarankan untuk mengatasi
hal tersebut diantaranya adalah dengan memberikan syarat tidak merokok kepada
rumah tangga miskin yang menerima bantuan seperti melalui BLSM, baik
bantuan yang berupa uang maupun berupa keringanan biaya (Surjono et al.
(2013).
Elastisitas pendapatan terendah terdapat pada kelompok komoditas pangan
hewani. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kelompok pangan hewani
merupakan kelompok komoditas yang dibutuhkan bagi rumah tangga miskin di
Provinsi Jawa Barat dan hampir tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat dalam
konsumsinya sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena salah satu komponen pada
kelompok tersebut adalah ikan asin. Ikan asin selain harganya yang terjangkau
dan mudah didapat ternyata bisa dikonsumsi tanpa memandang umur, mulai dari
anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua dapat merasakan kelezatan ikan asin
serta salah satu makanan favorit bagi rumah tangga miskin di provinsi Jawa Barat
(DKPP, 2014). Kondisi yang berlawanan terdapat pada penelitian Le (2008) dan
Faharuddin et al. (2013) yang menemukan bahwa semakin rendah tingkat
pendapatan rumah tangga maka elastisitas pendapatan terhadap komoditas pangan
hewani akan semakin tinggi yang menandakan semakin bersifat mewah komoditas
tersebut.
Berdasarkan tipe wilayah rumah tangga, elastisitas pendapatan rumah
tangga miskin perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan (kecuali
kelompok padi-padian dan buah-buahan). Hal ini mengindikasikan bahwa harga
Page 43
99
kelompok komoditas tersebut lebih terjangkau oleh rumah tangga miskin di
perkotaan karena rata-rata pendapatan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan pendapatan di perdesaan. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian
Faharuddin et al. (2013) yang menemukan bahwa elastistas pendapatan kelompok
pangan di perkotaan lebih rendah daripada di perdesaaan dan nilainya untuk
semua kelompok pangan adalah positif dan barang normal.
Seperti halnya rumah tangga miskin di perkotaan, rata-rata pendapatan
kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non pertanian lebih tinggi daripada
sektor pertanian. Kondisi tersebut berdampak pada harga kelompok pangan lebih
terjangkau oleh rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja di
sektor non pertanian, sehingga elastistas pendapatan di sektor non pertanian lebih
rendah (kurang responsif) dari pada sektor pertanian.
Tabel 4.8 Perbandingan Nilai Elastisitas Pendapatan Rumah Tangga Miskin
di Provinsi Jawa Barat Menurut Tipe Wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT
Kelompok
Komoditas
RT
Keseluruhan Perdesaan Perkotaan Pertanian Non Pertanian
Padi-Padian 0,5107 0,4880 0,5221 0,5752 0,4770
Pangan Hewani 0,2295 0,2924 0,1968 0,2871 0,2082
Sayur-Sayuran 0,3876 0,4488 0,3407 0,4577 0,3580
Kacang-Kacangan 0,4038 0,5054 0,3341 0,4668 0,3612
Buah-Buahan 0,5937 0,6385 0,7054 0,4782 0,5663
Makanan Jadi 1,3795 1,4028 1,3504 1,1576 1,4284
Pangan Lainnya 0,9757 1,0404 0,9475 0,9949 0,9672
Rokok 3,1796 3,1814 3,1674 3,2913 3,0978
Sumber: Susenas Maret 2017, diolah
Page 44
100
4.6 Robustness check
Robustness check bertujuan untuk menguji apakah variabel dalam model
resistance atau relatif tidak terpengaruh oleh adanya varaiabel-variabel yang
berpengaruh di luar model. Jika koefisien regresi tetap signifikan secara statistik
maka dapat disimpulkan model tersebut valid sehingga mampu menghasilkan
analisis yang baik (Lu dan White, 2014).
Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukkan bahwa koefisien regresi
variabel harga sendiri, harga komoditas lain serta variabel pendapatan memiliki
tanda dan tingkat signifikasi yang sama antara regresi model persamaan dengan
dan tanpa memasukkan variabel sosial demografi. Berdasarkan hasil robustness
check dapat disimpulkan bahwa model persamaan dalam penelitian ini valid dan
mampu menghasilkan analisis yang baik. Hasil Robustness Check dapat terlihat
pada Tabel 4.9.
Page 45
101
101
Tabel 4.9 Hasil Estimasi Parameter Budget Share Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin
Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 (Tanpa Variabel Demografi, IMR dan Instrument Variable/Robustness Check)
Variabel Budget
Share padi Budget Share
pangan hewani Budget
Share sayur Budget Share
kacang Budget Share
buah Budget Share makanan jadi
Budget Share pangan lainya
Budget Share rokok
Harga padi 0,1608***
(0,0139)
-0,0187*
(0,0121)
-0,0444***
(0,0063)
-0,0189***
(0,0053)
-0,0016
(0,0042)
0,0821***
(0,0214)
-0,0209***
(0,0069)
0,0219*
(0,0136)
Harga umbi -0,0354***
(0,0062)
-0,0200***
(0,0054)
0,0030
(0,028)
0,0003
(0,0023)
0,0015
(0,0019)
0,0823***
(0,0095)
0,0040
(0,0031)
0,0239***
(0,0060)
Harga phewani -0,0354***
(0,0139)
0,0193***
(0,0049)
-0,0026
(0,0025)
-0,0043**
(0,0021)
-0,0020
(0,0017)
0,0035
(0,0087)
-0,0043*
(0,0028)
0,0082*
(0,0055)
Harga sayur -0,0152***
(0,0043)
-0,0120***
(0,0038)
0,0104***
(0,0019)
-0,0006
(0,0016)
-0,0015
(0,0013)
0,0255***
(0,0067)
-0,0082***
(0,0021)
0,0014
(0,0042)
Harga kacang -0,0198*
(0,0132)
-0,0474***
(0,0115)
-0,0018
(0,0060)
0,0235***
(0,0050)
-0,0029
(0,0040)
0,0909***
(0,0204)
-0,0130**
(0,0062)
-0,0276**
(0,0129)
Harga buah -0,0310***
(0,0085)
0,0165**
(0,0074)
0,0119***
(0,0038)
0,0216***
(0,0032)
0,0010***
(0,0026)
-0,0224*
(0,0130)
0,0082**
(0,0042)
0,0124*
(0,0083)
Harga makanan
jadi
0,0625***
(0,0165)
-0,00332**
(0,0143)
-0,0184***
(0,0074)
-0,0320***
(0,0062)
-0,0067*
(0.0050) *
-0,0783***
(0.0252)
-0,0130**
(0,0082)
0,0444***
(0,0161)
Harga pangan lainnya
-0,0440***
(0,0147)
-0,0329***
(0,0128)
-0,0283***
(0,0066)
0,0018
(0.0056)
-0,0073*
(0,0045)
0,1043***
(0,0226)
-0,0180**
(0,0073)
-0,0102
(0,0144)
Harga rokok -0,0010
(0,0084)
-0,0071***
(0,0074)
-0,0052
(0,0038)
-0,0118***
(0,0032)
--0,0046*
(0,0025)
0,0028
(0,0130)
0,0029
(0,0042)
0,0101
(0,0083)
Page 46
102
Variabel Budget
Share padi
Budget Share
pangan hewani
Budget
Share sayur
Budget Share
kacang
Budget Share
buah
Budget Share
makanan jadi
Budget Share
pangan lainya
Budget Share
rokok
Pendapatan -0,0031***
(0,0029)
-0,0135***
(0,0025)
-0,0161***
(0,0028)
-0,0200***
(0,0024)
0,0031***
(0,00008)
0,0360***
(0,0044)
-0,0052***
(0.0014)
0,0101***
(0,0083)
Konstanta 0,1673
(0,1787)
-0,2261
(0,1579)
0,3507***
(0,0878)
0,0112
(0,0747)
0,0482
(0,0622)
-0,0963
(0,2980)
0,1958**
(0,0991)
0,3715**
(0,1658)
R-Square 0.3655*** 0,0712*** 0.1432*** 0.1926*** 0,0204*** 0.1400*** 0,0422*** 0,3915***
Chi2 974,27 129,59 282,71 403,45 35,18 275,24 74,55 1087,87
Sumber : Susenas Maret 2017, diolah
Keterangan : - ***, **, * menunjukkan taraf signifikasi 1%, 5%, dan 10%,
Nilai dalam tanda kurung menunjukkan nilai standar error