32 BAB IV GAMBARAN UMUM PERAN POLITIK MILITER IV.1 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Indonesia Posisi dan peranan ABRI bertumbuh secara khas di Indonesia. Militer Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Persepsi militer bahwa dirinya merupakan bagian dari politik lahir dalam masa perjuangan kemerdekaan melawan Belanda, dimana saat itu fungsi militer dan fungsi politik menjadi kabur. Kebutuhan memobilisasi rakyat menjadi kekuatan perjuangan menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk dapat mempelajari sikap “profesionalisme tentara” dan indoktrinasi ideologis secara sempurna. Pada akhir tahun 1945 setelah penyerahan kekuasaan Indonesia oleh Belanda, secara resmi militer telah meyakini asas keunggulan sipil. Pemahaman kekuatan nonpolitik militer tidak berlangsung lama, permasalahan politik akibat seringnya peralihan kekuasaan membuat militer tidak dapat membenarkan diri hanya menjadi penonton. Sebagian besar militer berasumsi bahwa mereka bertanggungjawab untuk campur tangan demi keselamatan negara. Keterlibatan militer dalam politik bukan saja berasal dari faktor keinginan militer, namun juga disebabkan oleh undangan masyarakat. Setidaknya selama kurang lebih 30 tahun militer telah berhasil memainkan dominasi peran sosial-politiknya di Indonesia. Untuk itu, penulis akan membahas mengenai sejarah pembentukan doktrin peran politik militer hingga praktek dari dwifungsi ABRI. IV.1.1 Latar Belakang Keterlibatan Peran Politik Militer Militer adalah salah satu dari kekuatan politik konkret sejak berdirinya Republik Indonesia. Sejarah intervensi militer didasari dua faktor utama menjadikan militer sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pertama, sejak masa Revolusi (1945-1949) partai-partai politik sering memperebutkan militer untuk mendapatkan dukungan, ini menjadi bukti kelemahan sipil. Kedua, lahirnya berbagai persoalan dan konflik di seluruh penjuru Indonesia akibat terpecah-belahnya masyarakat. Peristiwa Madiun pada 1948 dan DI/TII menjadi salah satu contoh konkret pemberontakan di dalam negeri. (Said, 2015:101)
38
Embed
BAB IV GAMBARAN UMUM PERAN POLITIK MILITER · BAB IV GAMBARAN UMUM PERAN POLITIK MILITER . IV.1 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Indonesia . Posisi dan peranan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
32
BAB IV
GAMBARAN UMUM PERAN POLITIK MILITER
IV.1 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Indonesia
Posisi dan peranan ABRI bertumbuh secara khas di Indonesia. Militer
Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer.
Persepsi militer bahwa dirinya merupakan bagian dari politik lahir dalam masa
perjuangan kemerdekaan melawan Belanda, dimana saat itu fungsi militer dan
fungsi politik menjadi kabur. Kebutuhan memobilisasi rakyat menjadi kekuatan
perjuangan menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk dapat mempelajari
sikap “profesionalisme tentara” dan indoktrinasi ideologis secara sempurna. Pada
akhir tahun 1945 setelah penyerahan kekuasaan Indonesia oleh Belanda, secara
resmi militer telah meyakini asas keunggulan sipil.
Pemahaman kekuatan nonpolitik militer tidak berlangsung lama,
permasalahan politik akibat seringnya peralihan kekuasaan membuat militer tidak
dapat membenarkan diri hanya menjadi penonton. Sebagian besar militer
berasumsi bahwa mereka bertanggungjawab untuk campur tangan demi
keselamatan negara. Keterlibatan militer dalam politik bukan saja berasal dari
faktor keinginan militer, namun juga disebabkan oleh undangan masyarakat.
Setidaknya selama kurang lebih 30 tahun militer telah berhasil memainkan
dominasi peran sosial-politiknya di Indonesia. Untuk itu, penulis akan membahas
mengenai sejarah pembentukan doktrin peran politik militer hingga praktek dari
dwifungsi ABRI.
IV.1.1 Latar Belakang Keterlibatan Peran Politik Militer
Militer adalah salah satu dari kekuatan politik konkret sejak berdirinya
Republik Indonesia. Sejarah intervensi militer didasari dua faktor utama
menjadikan militer sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pertama,
sejak masa Revolusi (1945-1949) partai-partai politik sering memperebutkan
militer untuk mendapatkan dukungan, ini menjadi bukti kelemahan sipil. Kedua,
lahirnya berbagai persoalan dan konflik di seluruh penjuru Indonesia akibat
terpecah-belahnya masyarakat. Peristiwa Madiun pada 1948 dan DI/TII menjadi
salah satu contoh konkret pemberontakan di dalam negeri. (Said, 2015:101)
33
Setelah Indonesia menerima pengakuan kedaulatan berlakulah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).
Dasar-dasar negara tersebut menjadikan Indonesia menganut paham demokrasi
liberal dengan paham supremasi sipil dan sistem multi partai. Sebagai badan resmi
milik negara, posisi dan peranan angkatan bersenjata berada dibawah kendali sipil
dan tidak dibenarkan turut campur dalam politik negara. Menurut Yahya
Muhaimin (1982:68), dalam sistem parlementer kekuasaan politik dan decision
maker adalah partai politik saja, presiden dan militer merupakan kekuatan politik
yang sifatnya extra parlementer dengan kekuasaan terbatas. Pada dasarnya militer
telah mengakui doktrin supremasi sipil dan tidak turut campur dalam politik
hingga tahun 1950-an.
Pada awal sistem parlementer, pemerintah dan militer satu suara berniat
untuk membangun tubuh militer menjadi tentara profesional melalui program
RERA (Restrukturisasi dan Rasionalisasi). Namun dalam pelaksanaannya terdapat
satu program yang mendapat tanggapan negatif dari militer yakni program
penghematan anggaran. Kebijakan tersebut melahirkan konflik internal dalam
tubuh militer. Kondisi militer pada waktu itu belum terintegrasi dan masih terbagi
dalam tiga garis. Garis pertama adalah angkatan yang kemudian membentuk
korps sendiri, terdiri dari Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang kemudian
bergabung membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kedua, kelompok bekas
opsir Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). Ketiga, terdiri dari
kelompok-kelompok pemuda, baik yang bergabung secara langsung ataupun
dipindahkan dari organisasi kelaskaran. Selain dari pada kebijakan penghematan
anggaran yang memiliki dampak pada penyusutan jumlah personil militer,
terdapat pula pertentangan antara PETA dan Laskar yang menolak profesionalime
dan KNIL yang pro-profesionalisme dalam tubuh TNI.
Bagi militer pemerintahan demokrasi parlementer telah gagal
melaksanakan tugasnya. Serentetan pemerintahan koalisi tidak mampu melakukan
kerjasama jangka panjang dan sebagai hasilnya pemerintahan setiap kali jatuh
karena persaingan diantara kelompok-kelompok. Keadaan diperparah karena
parlemen tidak memiliki sebuah partai mayoritas tunggal ataupun koalisi yang
stabil dari partai pemegang suara mayoritas (Yulianto, 2002:221). Pada akhirnya
34
berakibat pula pada pengunduran program-program. Selain itu dalam masa ini
militer menganggap pemerintah telah mengabaikan kebutuhan-kebutuhan militer,
terutama masalah tumpang tindih pembagian dana (Crouch, 1999:28-29). Menilai
bahwa konflik internal militer semakin meluas, akhirnya parlemen mengambil
sikap dengan mengadakan serangkaian sidang membahas persoalan tersebut,
walaupun pada akhirnya upaya penyelesaian menemui jalan buntu. Melihat
perilaku parlemen yang dinilai telah mengintervensi urusan internal militer terlalu
jauh justru semakin menimbulkan rasa kecewa pada tubuh militer. Para perwira
AD menggugat kelemahan-kelemahan pemerintahan parlementer, korupsi dan
sikap pemerintah yang mengacuhkan kepentingan militer.
Puncaknya meledak peristiwa “17 Oktober 1952” yakni sejumlah
kelompok militer menghadapkan pucuk meriam ke Istana Presiden. Bersamaan
dengan peristiwa itu sekitar 30.000 masa bergerak ke parlemen kemudian menuju
Istana menuntut pembubaran parlemen (DPR) dan pelaksanaan pemilihan umum
dengan segera (Haramin, 2004: 31-43). Peristiwa 17 Oktober 1952
memperlihatkan bahwa jika militer terpecah dalam kelompok-kelompok yang
relatif seimbang, para perwira akan memanfaatkan kesempatan politik diantara
kelompok-kelompok sipil untuk mendapat kepentingan mereka.
Setelah diadakannya pemilu 1955 parlemen masih saja belum mampu
menciptakan kestabilan politik. Keadaan politik yang tidak menentu memicu
pecahnya pemberontakan PRRI dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
sebagai konsekuensinya pada 14 Maret 1957 diumumkan “Keadaan Darurat
Perang” (Staat van Oorlag en van Beleg/SOB) dan berlakunya UU Keadaan
Bahaya (Crouch, 1999: 21). Menurut Beni Sukadis, penyebab lahirnya Permesta
bukan berasal dari keinginan untuk memerdekakan diri melainkan keinginan
untuk segera dilakukan perubahan ekonomi, untuk mengatasi ancaman
disintegrasi di sejumlah daerah serta ancaman komunisme. Kemacetan sistem
parlementer menjadi celah bagi militer untuk mendapatkan peran lebih besar
dalam fungsi-fungsi politik, administrasi dan ekonomi.
Pada pertengahan tahun 1950-an, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor
Jenderal Abdul Harris Nasution merumuskan konsep “Jalan Tengah” sebagai
upaya mencari tempat bagi peran militer dalam pemerintahan. Dalam pidatonya
35
dalam rangka Dies Natalis Akademi Militer Nasional pada 12 November 1958
diterangkan bahwa “posisi dan peranan TNI/ABRI tidak bisa seperti di negara
barat, yang hanya melulu menjadi HANKAM, dan juga tidak seperti peranan pada
negara-negara junta militer sebagai diktatur. Jadi dalam negara Pancasila,
TNI/ABRI mempunyai posisi dan peranan sebagai salah satu kekuatan sosial
revolusi Indonesia, yang bahu-membahu dengan kekuatan sosial lainnya
mempertahankan dan membangun Bangsa dan Negara Indonesia sehingga posisi
tersebut dikatakan, the Armies middle way” (Nasution, 1971: 19). Konsep Jalan
Tengah pada akhirnya dijadikan sebuah dokumen dasar dalam perkembangan
politik militer di Indonesia. Pada proses pelaksanaannya konsep Jalan Tengah ini
justru melewati batas, seperti penjelasan dari Bpk. Beni Sukadis:
“konsep awal Jalan Tengah sebenarnya hanya memanfaatkan para tokoh
eksponen TNI untuk dapat berkarya di luar kegiatan kemiliteran, namun
pelaksanaan peran tersebut keblablasan karena seharusnya TNI bukan diberi
peran politik, militer memiliki pengaruh dalam politik namun sifatnya tidak
dominan (menjaga kedaulatan NKRI dan menolak paham komunis) tanpa harus
memiliki partai, sehingga hanya mempengaruhi dari luar saja”.
Pada masa demokrasi parlementer kepopuleran presiden dan militer
berkurang karena sistem pemerintahan hanya mengakomodasi partai-partai
politik. Sebagai salah satu kekuatan politik konkret Presiden Soekarno sulit
menerima kenyataan tersebut. Maka lahirlah sebuah konspirasi politik antara
Soekarno dan militer yang sejak awal telah kecewa dengan sistem pemerintahan
oleh partai politik (Said, 2015:103). Soekarno dan para perwira AD merintis jalan
untuk kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi kerangka institusional
Demokrasi Terpimpin. Ketika rumusan UUD yang baru gagal dirumuskan oleh
Dewan Konstitusional dan kesepakatan untuk kembali pada UUD 1945 tidak
berhasil disepakati, pimpinan AD mendorong presiden untuk mengeluarkan
dekrit. Dekrit 5 Juli 1959 memuat 3 hal pokok yakni: (1) Pembubaran
Konstituante, (2) Menetapkan berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945, (3)
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.
(Soebijono, 1992: 26)
36
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), pemerintahan Presiden
Soekarno menggantikan sistem parlementer yang dirasa mengalami
kemandegkan. Keputusan AD memberi dukungan pada Soekarno didasarkan
Presiden Soekarno belum dapat melaksanakan pertanggungjawaban
konstitusionalnya dan bahwa presiden belum berhasil melaksanakan amanat
keputusan MPRS, maka MPRS melarang Presiden Soekarno untuk turut campur
dalam kegiatan politik sampai pemilihan umum dilangsungkan, untuk
memberlakukan keputusan ini maka mandat MPRS dicabut dari Presiden
Soekarno dan semua kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur oleh UUD
1945”. MPRS mengangkat Jenderal Soeharto menjadi “Pejabat Presiden”,
Soeharto memegang jabatan pejabat presiden sampai Sidang Umum MPRS V
pada Maret 1968 mengangkatnya sebagai presiden Indonesia, sehingga dengan
demikian Presiden Soekarno resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto (Lampiran
II).
Kelemahan para politikus yang selalu mencari dukungan dari militer untuk
dapat memperoleh legitimasi kekuasaan justru membuka celah kesempatan bagi
militer untuk masuk dalam susunan ketatanegaraan. Pada awal masa Demokrasi
Parlementer institusi militer dibuat untuk mengakui supremasi sipil dengan
pemberlakuan UUDS 1950. Mengkaji dari teori Joseph S. Nye Jr hubungan sipil-
militer pada masa demokrasi parlementer hancur disebabkan oleh intervensi
pemerintah terhadap persoalan intern ABRI dan sejak digunakannya persoalan
42
pertahanan untuk tujuan-tujuan politik pada 1952 serta ketidaksediaan pemerintah
untuk mengakui dan menghormati tingkat otonomi fungsional AD pada 1955,
menyebabkan AD semakin bertindak vokal. Selain itu seperti kata Amos
Permultter, tumbuhnya fragmentasi masyarakat yang semakin besar akibat dari
konflik kepentingan antar partai-partai politik dan ketidakmampuan pemerintah
untuk mengatasi persoalan konflik pemberontakan di berbagai wilayah di luar
Jawa, semakin mendasari militer untuk memberikan penilaian bahwa sipil telah
melepaskan tanggungjawab politiknya.
Keabsahan peran militer semakin tak terelakan ketika Soekarno
menjadikan ABRI sebagai kekuatan politik legal dalam Golongan Karya.
Prakteknya keputusan inilah yang dijadikan dasar Dwifungsi. Kebijakan
sentralisasi dan sikap anti partai Soekarno dan militer melemahkan kekuatan-
kekuatan sipil dan menjadikannya tidak berdaya. Intervensi militer dalam politik
negara semakin menguat pada saat Demokrasi Terpimpin ambruk akibat
inkonsistensi dan kelemahan sistemnya sendiri.
IV.1.2 Perkembangan Peran Militer dalam Masa Orde Baru
Pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai presiden penuh pada 1968
menghantarkan militer memiliki posisi dominan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Berikutnya Soeharto beserta militer yang berada di pihaknya segera
melakukan langkah-langkah konsolidasi kekuasaan. Untuk menghadapi lawan-
lawannya Soeharto menggunakan dua taktik berbeda, disatu pihak Soeharto
menggunakan pasukannya untuk melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI
dan pendukung-pendukung Soekarno serta kelompok-kelompok lain yang
berusaha melawan kepemimpinan Angkatan Darat. Sedangkan untuk menghadapi
lawan-lawan militer yang dapat memobilisasi pasukan mereka, Soeharto memilih
cara lebih lembut dengan memberikan penugasan-penugasan diplomatik atau
administratif yang bersifat kehormatan ataupun menguntungkan. Pada tahun 1969,
Soeharto berhasil mengisi seluruh komando AD dengan orang-orang yang
sepenuhnya menerima kepemimpinannya.
Perangkat pengawasan kekuatan politik Angkatan Darat diperoleh dari
organisasi teritorial bentukan mereka. Jaringan kerja satuan-satuan daerah
dikembangkan untuk mengurus keamanan dalam negeri dan perangkat
43
pengawasan.terhadap.kegiatan-kegiatan sipil, seperti Kodam/ Korem/ Kodim/
Koramil. Salah satu badan keamanan yang menjadi kunci tegaknya kekuasaan
Orde Baru adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Kopkamtib menjadi senjata utama pemerintah Orba untuk menanggulangi
pemberontakan-pemberontakan sipil. Kopkamtib juga menjadi badan yang
berwenang untuk memberikan surat izin bagi terbitnya surat-surat kabar pada
masa itu. Pada tahun 1971, Kopkamtib memiliki tugas untuk menjaga keamanan
dan ketertiban selama kampanye pemilu dan pada dasarnya bertugas untuk
menahan banyak orang. Badan kemanan lain yang sangat penting adalah Badan
Koordinasi Intelejen (Bakin), digunakan pemerintah untuk memperhatikan
perkembangan dalam negeri sehubungan dengan partai politik dan tanda-tanda
kebangkitan komunis.
Hubungan sipil-militer dalam tahun-tahun berikutnya semakin didominasi
militer, maka supremasi militer resmi berlaku di Indonesia. Kabinet Soeharto
bukanlah badan pembuat keputusan dan bersifat teknokratik. Hal lain yang
membatasi kekuasaan para menteri sipil adalah pengangkatan perwira-perwira AD
dalam posisi tinggi kedudukan sipil secara menyeluruh di tingkat pemerintahan
pusat hingga pemerintahan daerah. Jumlah perwira militer menjabat bupati dan
walikota berkembang jauh lebih banyak dari pada sipil. Walaupun hubungan
presiden dan kabinet bersifat koordinasi administratif, namun banyak keputusan
kebijakan dibuat hanya berdasarkan pertimbangan suatu kelompok perwira AD
kepercayaan Soeharto. Staf pribadi (Spri) presiden, bertugas memberikan nasihat
dari kebijakan-kebijkaan di bidang keuangan, politik, intelejen luar negeri,
intelejen dalam negeri, kesejahteraan sosial dan pemilihan umum, serta berperan
dalam kebijakan urusan khusus dan urusan umum. Pada tahun 1968 Aspri
dibentuk menggantikan Spri yang tetap beranggotakan kawan-kawan presiden
sehingga dipandang sebagai “kabinet bayangan”. Aspri memiliki misi khusus
untuk menghimpun kekuatan-kekuatan AD. Dalam perkembangannya Operasi
Khusus (Opsus) dibentuk di bawah komando Ali Murtopo bertugas mengawasi
perkembangan partai-partai politik dan menjamin hasil positif pelaksanaan
referendum Irian Barat dan Pemilu 1971. (Crouch, 1999: 248-272)
44
Dominasi Angkatan Darat yang telah terlembaga dalam seluruh sektor
pemerintahan memberikan keleluasaan bagi militer untuk melakukan kontrol
administrasi. Peranan sipil sengaja tidak disingkirkan sepenuhnya untuk memberi
gambaran citra pemerintahan demokrasi. Para pemimpin AD ingin menampakkan
kesan seolah-olah pemerintah menjamin kestabilan iklim politik agar dapat
menghimpun dukungan rakyat. Menguasai kontrol adminitrasi tidak hanya berarti
AD memiliki pengaruh besar dalam penentuan kebijakan-kebijakan pemerintah
disemua tingkat, namun berarti pula bahwa mereka mampu memberikan
perlindungan dan berbagi jasa terhadap rekan-rekan militer dan kawan-kawan
sipilnya. Perilaku yang berulang secara terus menerus ini memberikan para
pimpinan AD kekuasaan lebih besar dan kedudukan menguntungkan serta
terpandang, sebagai ganti imbalan balas budi.
Para perwira AD umumnya tidak bermaksud untuk mengalihkan
pemerintahan kepada partai-partai politik atas nama demokrasi. Menurut militer
kehadiran partai politik sejak awal masa demokrasi parlementer hanya dijadikan
sebagai mesin pelindung kelompok-kelompok tertentu, bahkan kehadirannya
dianggap menimbulkan instabilitas politik (Yulianto, 2002: 248). Militer yang
sangat antipartai menganggap kehadiran partai poltik hanya akan menjadi
rintangan bagi pelaksanaan program-program pemerintah karena kebutuhan untuk
memberikan konsesi-konsesi kepada kepentingan pribadi partai. Pada akhirnya
AD merencanakan perlawanan terhadap partai-partai politik tanpa tekanan secara
langsung melalui organisasi sipil bentukan mereka yang memainkan peran dalam
pemilihan umum. Organisasi sipil ini dipercaya dapat menjamin kemenangan
telak bagi AD.
Langkah awal AD untuk menekan partisipasi partai adalah mengulur
waktu pemilu hingga Juli 1968 dan bersama MPRS menyepakati penyederhanaan
partai-partai, organisasi-organisasi dan golongan-golongan fungsional. Desakan-
desakan partai membuat Soeharto akhirnya mengeluarkan “paket” atau pokok-
pokok persetujuan dimana kedua belah pihak baik pemerintah dan partai akan
memberikan konsesi-konsesi. Akhirnya diperoleh kesepakatan bersama bahwa
partai-partai memberi pengakuan kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga
dari anggota MPR dan 100 dari 460 anggota DPR termasuk sipil dan wakil-wakil
45
ABRI. Pemerintah menyetujui untuk menerima perwakilan proporsional dengan
daftar partai yang daerah pemilihannya meliputi provinsi. “Paket” berhasil
menjadi jalan penentuan garis-garis pokok perundang-undangan pemilu.
Perubahan rencana pemerintah yang semula ingin menekan partisipasi partai
didasarkan pada pertimbangan bahwa jika partai-partai diberi kedudukan penting
dengan sendirinya akan menyesuaikan diri dengan dominasi AD serta bersedia
memberi dukungan pada rezim. Selain itu persetujuan Paket Juli 1967
membutuhkan waktu lebih lama untuk penyusunan ulang UU, langkah ini
memberikan keuntungan bagi Soeharto untuk mendapatkan kelonggaran jadwal
pemilu dan membangun citra mulia dirinya dihadapan partai-partai karena
kesediaan memberikan konsesi. Pada tanggal 22 November 1969 Undang Undang
Pemilihan Umum dan Undang Undang mengenai struktur dan kedudukan MPR,
DPR dan DPRD disahkan oleh DPGR. (Crouch, 1999: 276-284)
Soeharto beserta kawan-kawannya segera melancarkan strategi lain untuk
mendapat dukungan para pimpinan partai guna menghimpun massa di seluruh
daerah. Pemerintah berusaha memberikan tempat kepada tiga partai besar yakni
PNI, NU dan partai baru wakil partai Masyumi yang terlarang. Pemerintah sangat
berhati-hati dengan memastikan bahwa pimpinan partai terpilih adalah orang yang
bersedia patuh dan mudah bekerjasama dengan pemerintah. PNI adalah satu-
satunya partai pada masa itu paling dekat diidentifikasi dengan Presiden Soekarno
di masa lampau. Besarnya basis massa PNI terutama di Jawa Tengah dan Jawa
Timur terwakili dengan baik dalam administrasi daerah dan bayaknya kaum
abangan yang setia membuat Soeharto memilih tetap mempertahankan PNI.
Soeharto ingin menjadikan PNI sebagai penyeimbang kekuatan partai-partai
Islam. Terpilihnya Hadisubeno sebagai ketua umum PNI yang baru sangatlah
cocok dengan strategi pemerintah karena dirinya bukan tipikal penentang
penguasa. Sementara itu PNI semakin bergantung dengan bantuan keuangan yang
disalurkan Opsus dan Bank Umum Nasional, bank milik PNI diselamatkan Opsus
dari kebangkrutan pada 1967.
Sejak pembubaran Masyumi pada 1960 besarnya massa Islam menjadi
tidak lagi terwakili dalam politik. Soeharto memanfaatkan kondisi tersebut dengan
mengambil langkah upaya mengintegrasikan bekas-bekas pendukung Masyumi ke
46
dalam sususan politik baru. Pemerintah mengumumkan tidak melarang
pembentukan partai baru yang basis massanya dari Masyumi, seperti
Muhamadiyah sebagai organisasi untuk kesejahteraan sosial dan pendidikan.
Hingga terbentuklah Partai Muslim Indonesia (Parmusi) sejak 20 Febuari 1968.
Sayangnya pimpinan Parmusi, Mintareja memiliki prinsip yang tidak mudah
dikendalikan pemerintah. Akibatnya Parmusi dikucilkan dari banyak pendukung
partai. Partai besar lainnya adalah Nahdatul Ulama (NU) memiliki dukungan
massa dari kalangan pemimpin agama konservatif di pedesaan Jawa. Pada
umumnya pemimpin-pemimpin NU memiliki sifat oportunis dengan tidak terlalu
mengkawatirkan politik, tujuan mereka hanya untuk menjamin agar masyarakat
Islam dapat terwakili dengan baik. Pemerintah berkesimpulan bahwa jika NU
diberi status dan dana bagi kegiatan-kegiatan agama maka NU dapat memberi
dukungan kepada Soeharto seperti yang terjadi di masa Soekarno. (Crouch, 1999:
285-296)
Pada akhirnya di pertengahan tahun 1967 pemerintah mengubah kebijakan
pembersihan partai pendukung Soekarno menjadi menggalang kerja sama dengan
partai-partai yang tidak akan menentang peran utama AD. Melalui Opsus
pemerintah berhasil menundukan para pimpinan partai, walaupun PNI dan
Parmusi dalam pembentukan kepemimpinannya merasa tersinggung namun hal itu
tetap dapat dikendalikan. Pemerintah nampak mempercayakan penghalang yang
mungkin ditimbulkan partai Islam kepada PNI, sambil menekan kebebasan
Parmusi dan membeli pimpinan NU.
Pada masa Orba pemilu diselenggarakan oleh pemerintah, pemilu semu
diadakan untuk memastikan tidak ada isu yang menjadi ancaman bagi rezim Orba.
Taktik politik dilakukan dengan memberikan kesempatan partisipasi kepada
partai-partai, sementara pemerintah memperoleh pengesahan disisi lain partai-
partai politik akan tetap terpecah sebagai akibat konfrontasi antar partai dalam
pemilu. Untuk memperoleh kemenangan dalam pemilu Soeharto berupaya
menggalang kekuatan politik melalui golongan-golongan fungsional (Yulianto,
2002: 252). Melalui “pemurnian” Golongan Karya pemerintah telah mengambil
langkah optimis menuju pembentukan “partai pemerintah” dalam parlemen.
Pemerintah mengandalkan Sekber-Golkar, dimana Ali Murtopo diberi tugas untuk
47
memastikan Sekber-Golkar bertindak efektif dalam pemilihan. Walaupun banyak
anggota Golkar berasal dari sipil tetapi dominasi AD dalam kepemimpinan
mampu mengalahkan kekuatan sipil yang ada. Berbeda dengan Sekber-Golkar
lama, arah organisasi baru ini meyakini kebutuhan memodernisasi politik
Indonesia dengan cara mengurangi peranan partai-partai tradisional. Golkar
mencoba menjadi tameng pelindung bagi para pengikut partai-partai terdahulu
yang merasa berkepentingan untuk mengalihkan suara mereka kepada Golkar.
Langkah politik untuk menghadapi para pendukung PNI yang notabene
selalu mendapatkan suara dari organisasi karyawan Departemen Dalam Negeri,
pemerintah menggunakan tekanan kepada pegawai negeri. Tekanan dilakukan
dibawah koordinator Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, para karyawan
dipaksa untuk menandatangani “loyalitas tunggal” kepada pemerintah dan
memberi suara sepenuhnya kepada Golkar, sedangkan para pejabat daerah diberi
jatah suara yang harus diperoleh untuk kemenangan Golkar. Langkah berbeda
untuk menghadapi partai-partai berafiliasi agama Islam, Golkar melakukan
beberapa upaya untuk mengambil hati para kyai dengan memberikan suntikan
dana untuk perjalanan luar negeri dan pesantren-pesantren serta pendirian GUPII
(suatu usaha untuk perbaikan pendidikan Islam) pada 1971. Tidak berhenti sampai
disitu untuk menyebarkan pengaruhnya di pedesaan militer melakukan tekanan-
tekanan langsung melalui tindakan intimidasi. Sasaran paling mudah saat itu
adalah bekas pendukung PKI yang ketakutan diperlakukan lebih buruk.
Penahanan para pimpinan partai di daerah-daerah juga dilakukan selama
kampanye pemilu dengan tuduhan telah melanggar UU pemilihan umum. Pada
awal 1971 ketika kampanye semakin gencar dilakukan partai-partai mulai
bereaksi menentang taktik “buldozer Golkar”. Tindakan-tindakan konsolidasi
massa Golkar ternyata lebih efektif dari pada perkiraan. Hasilnya Golkar
mencetak angka kemenangan 62,8% sehingga meyoritas kursi DPR dipenuhi oleh
para pimpinan Golkar. (Crouch, 1999: 296-304)
Demikianlah rezim militer semakin menguat dalam pemerintahan
Indonesia dan mulai menekan partai-partai untuk membubarkan diri atau kembali
kepada peranan mereka semula sebagai kekuatan nonpolitik. Untuk semakin
menekan peran partai politik pemerintah memberlakukan fusi partai-partai politik.
48
Partai-partai politik harus menerima kerugian perpecahan dalam partai baru
sebagai akibat banyaknya perbedaan yang dipaksakan berada dalam satu wadah.
Pada awal tahun 1973, pemerintah berhasil merestrukrisasi sembilan partai politik
menjadi dua partai baru yakni, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbentuk
menggantikan partai-partai Islam NU, Parmusi, PSII, dan Perti pada 5 Januari
1973. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terbentuk sebagai hasil pembaharuan 5
partai lainnya yakni PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik pada 19
Januari 1973. Seperti keinginan pemerintah pimpinan kedua partai sangatlah
mudah dikendalikan. Maka sejak tahun 1973 hanya terdapat tiga partai politik
yang mengikuti pemilu yaitu PPP, PDI dan Golkar. (Yulianto, 2002: 281-286)
Kegagalan pemerintah yang lalu untuk mencukupi segala kebutuhan
militer disadari Soeharto dapat berakibat pada pemberontakan terbuka terhadap
pemerintah. Maka untuk mensiasatinya pemerintah memberikan izin praktek-
praktek dimana militer mencari dana tambahan sendiri guna menambah
pendapatan. Melalui sistem ini pemerintah Orba berhasil memberikan citra kepada
rakyat bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah sepenuhnya digunakan untuk
pembangunan ekonomi. Sistem keuangan inkonvensional militer memberi
peluang bagi para perwira untuk duduk dalam jabatan-jabatan yang mampu
menguntungkan AD. Perusahaan-perusahaan raksasa, perusahaan minyak negara,
badan penjualan dan pembelian bahan makanan milik negara dan perusahaan
perdagangan umum raksasa dikuasai oleh para perwira senior AD. Para
pengusaha tentara ini memiliki tugas utama yakni menjamin pengaliran dana tetap
ke kas AD tanpa merusak citra AD. Sebagai timbal balik perusahaan-perusahaan
yang berada dibawah naungan militer sering mendapat perlakuan istimewa oleh
para petinggi militer yang berada dalam lingkungan pemerintahan.
Produksi minyak Pertamina memberikan sepertiga dari sumber
penghasilan ekspor Indonesia dan menjadi sumber dana terpenting pada awal
Orde Baru. Kenyataannya pertamina yang merupakan perusahaan BUMN dalam
pelaksanaannya bekerja sebagai perusahaan swasta dibawah Ibnu Sutowo yang
bertanggungjawab hanya kepada pimpinan militer. Ibu Sutowo memiliki otonomi
penuh atas pertamina dengan menjalankan cara-cara sendiri tanpa harus
bertanggungjawab kepada menteri pertambangan. Dana-dana yang disediakan
49
pertamina memberikan peluang meluasnya kekuasaan AD yang semakin besar
tanpa takut terhadap pengawasan pemerintah dan tekanan internasional.
Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai Komando Logistik Nasional
menjadi badan pencari dana kedua bagi AD. Bulog berada dibawah kontrol
perwira-perwira AD baik ditingkat pusat maupun cabang-cabangnya di daerah
dikenal sebagai pusat korupsi. Walaupun Bulog dinilai telah gagal dalam
pengumpulan dan penyaluran beras serta menyebabkan kenaikan-kenaikan harga,
namun dianggap sukses meningkatkan dana bagi AD dan para perwira secara
perseorangan. Semakin besarnya krisis ekonomi pada tahun 1972-1973, membuat
pemerintah memberhentikan Letnan Jenderal Achmat Tirtosudiro dari jabatannya
sebagai pimpinan Bulog dan mengangkatnya menjadi duta besar Indonesia untuk
Jerman Barat. Pada tahun 1973 Bulog dioperasikan kembali.
Selain dua perusahaan negara diatas terdapat pula sumber dana besar
untuk waktu yang tidak lama PT Berdikari. PT Berdikari adalah perusahaan yang
menggantikan perusahaan Orde Lama (PT Karkam dan PT Aslam), memiliki
perputaran modal sangat besar. Brigadir Jenderal Suhardiman menjadi pimpinan
PT Berdikari dan bertaggungjawab langsung kepada Soeharto. Pada awal pertama
berdirinya PT Berdikari mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan
program pengembangan ambisius. Hingga pada akhir tahun 1968 Bank Dharma
Indonesia bentukan PT Berdikari bangkrut dan pada tahun 1969 kegiatan-kegiatan
PT Berdikari dihentikan dan PHK bagi separuh stafnya.
Pada tahun 1969 para pimpinan AD memutuskan untuk memusatkan
kegiatan peningkatan dana agar mempermudah alokasi dana dalam lingkungan
AD. Langkah yang dilakukan adalah menggantikan yayasan-yayasan dan badan-
badan lain dibawah delapan direktorat utama yang tergabung dalam Markas Besar
Angkatan Darat dengan badan-badan usaha swasta terdaftar yang dimiliki oleh
AD dan dikoordinasikan oleh perusahaan AD. Sedangkan di daerah-daerah
praktek inkonvensional pencarian dana masih diberlakukan para komandan untuk
memenuhi kebutuhan lokal. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam praktek
pengumpulan dana diantaranya penyelundupan, penggunaan kendaraan dan kapal-
kapal militer sebagai sarana angkutan penumpang dan barang, menjadi kontraktor
utama proyek pembangunan di daerah, kepemilikan usaha penggilingan beras dan
50
gedung-gedung usaha serta mendirikan bank-bank militer (Crouch, 1999: 308-
320). Konsekuensinya badan militer menjadi lebih bersifat komersial. Hal tersebut
kemudian menjadi suatu kebudayaan, dimana merupakan hal yang wajar bagi
pejabat untuk menggunakan kedudukan resminya demi memperoleh keuntungan
asalkan dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Praktek korupsi yang dilakukan oleh militer bukanlah tidak disadari oleh
masyarakat. Tetapi kecenderungan Soeharto untuk menggiring opini publik
bahwa kasus korupsi hanya dilakukan oleh para pegawai kelas rendah akibat
adanya standar hidup yang belum terpenuhi menjadi penghalang bagi kritik-kritik
terhadap pemerintah. Untuk mengurangi keraguan masyarakat akan upaya
pemerintah memberantas korupsi dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi pada
1967, dimana walaupun banyak kasus telah terungkap namun hanya kasus-kasus
kecil yang dapat dibawa ke meja hijau persidangan. Setelah itu pemerintah
membentuk Komisi Empat pada tahun 1970 bertugas menilik masalah korupsi dan
cara-cara mengatasinya. Sayangnya setelah menyampaikan serangkaian
rekomendasinya komisi ini bubar. Tak lama kemudian pemerintah mengeluarkan
pengumuman bahwa segala usul dari Komisi IV akan diringkas oleh presiden
dalam laporan tahunannya kepada DPGR pada 16 Agustus 1970. Munculnya
perlawanan mahasiswa setelah mengetahui hasil investigasi Komisi IV mampu
diredam oleh AD melalui Kopkamtib dengan melarang semua aksi demontrasi.
Menjadi jelas bahwa keseluruhan sistem telah terpengaruh dan dirancang untuk
memenuhi kebutuhan para elite tentara, birokrat sipil dan kelompok bisnis.
(Crouch, 1999: 328-238)
Jatuhnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto disinyalir sebagai efek
utama krisis moneter (jatuhnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS secara
drastis) pada 1997. Krisis ekonomi telah menjadi trigger hancurnya legitimasi
kekuasaan rezim otoriter di Indonesia. Lahirnya krisis ekonomi telah memicu
tumbuhnya krisis politik yang semakin mempersulit Indonesia keluar dari krisis
nasional. Suatu kesalahan dari kebijakan pemerintah Orba karena hanya
menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata dimana kenyataannya
keuntungan pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok elit tertentu hingga
pada akhirnya menyebabkan ketimpangan proses pembangunan (Haramain,
51
2004:76). Memburuknya situasi membangkitkan rasa skeptis dan reaksi keras
masyarakat melawan pemerintah. Pemerintah dimata masyarakat telah menjadi
institusional disease tercermin dari serangkaian praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme ditambah pula ketidakpastian hukum di Indonesia. (Haramain, 2000)
Permasalahan ekonomi dan persoalan politik telah menumbuh suburkan
peluang masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Aksi-aksi
demonstrasi dimulai dari suara keras para mahasiswa, diikuti aksi para aktivis
LSM untuk memberi kesadaran politik pada masyarakat, aksi cendekiawan dan
akademisi membentuk opini publik untuk menuntut reformasi kepemimpinan
nasional dan reformasi ekonomi. Aksi-aksi ini digelar di seluruh wilayah
Indonesia dengan tuntutan keras menginginkan mundurnya Soeharto dari
jabatannya. Berbagai kerusuhan massa tidak dapat dihindari dan tuntuntan untuk
segera diadakannya Sidang Istimewa (SI) MPR. Pada akhirnya MPR
mengeluarkan sebuah pernyataan, bahwa Presiden Soeharto diberi batas waktu
untuk mengundurkan diri hingga hari Jumat, 22 Mei 1998 dan jika presiden tidak
menyatakan pengunduran dirinya maka pimpinan DPR/MPR akan melakukan
rapat koordinasi untuk membahas pelaksanaan SI MPR. Presiden Soeharto
menyetujui tuntutan rakyat dengan mengumumkan pernyataan pengunduran
dirinya dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. (Yulianto, 2002: 342-343)
Melalui pengesahan Supersemar militer telah berhasil melakukan
peralihan dan pengokohan kekuasaan secara damai dan konstitusional.
Pemerintahan otoriter ala Soeharto menjadi era emas dominasi dan kejayaan
dwifungsi ABRI. Semasa pemerintahan Presiden Soeharto militer berhasil
mendominasi pemerintahan dan melaksanakan tugas-tugas diluar fungsinya
sebagai pelaksana pembangunan sosial politik di Indonesia. Keberhasilan militer
menguasai sektor-sektor lain diluar sektor keamanan mampu tercapai karena
didukung langkah-langkah Soeharto dalam upaya konsolidasi kekuasan rezim
Orba. Doktrin keterlibatan militer dalam politik pada masa kepemimpinan
Soeharto merujuk pada UU No.20 tahun 1982 (Araf dan Mengko, 2015:37). UU
tersebut menjelaskan bahwa secara umum tugas dan tanggungjawab ABRI adalah
sebagai kekuatan sosial politik, berarti bahwa ABRI tidak hanya sebagai
“stabilisator” namun juga “dinamisator” yang dibutuhkan untuk kepentingan
52
ekonomi (Soebijono, 1992: 146). Keberadaan anggota ABRI di DPR dan MPR
memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk mengamankan nilai dan
kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan.
Militer pada masa ini menurut Nordlinger digolongkan sebagai militer
pretorian tipe penguasa. Penggolongan ini berdasarkan tingginya pengaruh militer
dalam pembuatan keputusan baik di tingkat pusat pemerintahan hingga tingkat
daerah. Aktor-aktor pemerintah yang mayoritas berasal dari ABRI turut
mengintervensi kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia. Hal ini terlihat dari
upaya-upaya pemerintah mengarahkan pandangan masyarakat terhadap jalannya
pemerintahan, masyarakat mendapat kesan bahwa pemerintahan Soeharto adalah
pemerintahan demokrasi bukan sebaliknya. Perkembangan ekonomi Indonesia
menjadi tumpul akibat sistem perekonomian Indonesia tidak memiliki fundamen
kebijakan perekonomian yang kuat menyebabkan tidak jelasnya sirkulasi
perekonomian, serta diperparah dengan tingginya tingkat KKN di segala sektor.
Perkembangan demokrasi pada masa Soeharto adalah masa paling kritis
bagi Indonesia. Pemerintah dengan leluasa memonopoli kebijakan dan melakukan
pembatasan partisipasi politik yang dibantu oleh tindakan represif militer.
Pemerintah berusaha menciptakan oposisi terbatas dengan melakukan penekanan
dan pengurangan partai-partai politik. Krisis ekonomi akhirnya menghantarkan
rakyat untuk melakukan gerakan revolusioner menghancurkan Orba. Berakhirnya
pemerintahan Soeharto mengakhiri pula peran dominasi dwifungsi militer di
Indonesia dan dimulainya reformasi di segala bidang.
IV.2 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Thailand
Kondisi politik Thailand saat ini telah berada dalam keadaan tidak
menentu. Sejak kudeta 1932 yakni upaya penggantian sistem monarki
absolut menjadi monarki konstitusional, Thailand masih saja dirundung
rangkaian kudeta tak berkesudahan. Pada awalnya kudeta Thailand bersifat
elitis, konservatif dan hanya melibatkan para pimpinan militer dan birokrat
tinggi di sekitar Raja. Dalam perkembangannya sifat kudeta mulai berubah
ketika pada 1970-an mahasiswa mulai tampil melawan pemerintahan
diktator militer. Oleh karena sifat kudeta bersifat elitis maka kudeta di
Thailand nyaris tidak melibatkan masyarakat.
53
Proses demokratisasi mengalami kemandegkan ketika pada tahun
2006 militer kembali mengkudeta pemerintahan sipil pilihan rakyat dan
mengelola pemerintahan. Merujuk pada konstitusi, tidak ditemukan
pelanggaran pada perubahan politik secara mendadak tersebut, namun
perubahan pemerintahan secara terus menerus memiliki dampak negatif
pada kestabilan politik Thailand. Perubahan politik yang terjadi tidak
terlepas dari betapa besarnya pengaruh kekuasaan yang dimiliki militer
dan para elit poltik Thailand. Untuk itu penulis akan mengulas mengenai
sejarah keterlibatan militer dalam politik Thailand serta faktor-faktor
pendukungnya.
IV.2.1 Latar Belakang Keterlibatan Peran Politik Militer
Sejarah perkembangan keterlibatan peran militer Thailand hingga menjadi
sebuah kekuatan politik terbagi dalam dua momentum besar. Pertama, saat masa
kejayaan monarki Raja berupaya melakukan modernisasi pola militer. Kedua,
perubahan bentuk pemerintahan dari monarki absolut menjadi monarki
konstitusional memberikan efek pada perubahan bentuk militer. Pada masa dinasti
Chakri, Thailand mulai diinfiltrasi oleh modernisasi barat disegala bidang,
termasuk militer. Upaya modernisasi sangat terasa pengaruhnya pada masa Raja
Chulalongkorn. Modernisasi militer dilakukan dalam beberapa hal, diantaranya:
perubahan proses perekrutan militer yang semula hanya diperuntukan untuk
masyarakat dari kelas Prai dan Sui, mulai dibuka untuk seluruh masyarakat
Thailand. Raja juga memberikan kenaikan anggaran belanja militer menjadi 23%,
sebagian anggaran belanja negara dihabiskan untuk mendirikan dua sekolah
militer dan mendatangkan instruktur-instruktur dari Barat. Hubungan antara
militer dan birokrat menjadi erat sebab pada masa ini lulusan sekolah militer akan
menduduki jabatan birokrat.
Proses profesionalisme militer rupanya tidak serta merta menjadikan
militer untuk tidak memiliki keinginan ikut campur dalam pemerintahan.
Keengganan militer untuk mengikuti Raja disebabkan oleh aturan promosi dan
pengakuan perwira militer yang ditentukan berdasarkan status strata sosial. Hal ini
berbanding terbalik dengan pendidikan profesional yang telah dipelajari,
seharusnya dalam pengangkatan dan promosi jabatan diatur dalam badan militer
54
sendiri dan berdasar tata cara militer. Ketidakkonsistenan upaya modernisasi
militer oleh pihak kerajaan terlihat pada peristiwa pengangkatan Putra Mahkota
yang baru berumur sepuluh tahun menjadi Panglima Tertinggi pada tahun 1887.
Polemik akibat umur Putra Mahkota yang masih terlalu muda membuat Raja
menunjuk saudara lelakinya sebagai wali bagi Putra Mahkota dalam menjalankan
tugas Pangti. Selain itu sebelum aturan proses perekrutan militer diganti dengan
aturan baru untuk membuka kesempatan bagi seluruh rakyat Thailand, aturan
lama telah menyebabkan tumbuhnya ikatan antara kerajaan dengan pegawai
pemerintahan. Ikatan spesial ini menyebabkan proses pengangkatan atau promosi
jabatan tidak berdasarkan pada prestasi melainkan status yang dimiliki oleh
perwira tersebut. (Kusumawardani, 2012). Pada masa ini saja sudah menjelaskan
bahwa terdapat konflik antar kelas dalam politik Thailand.
Upaya modernisasi setengah-setengah badan militer justru membuka
peluang bagi militer untuk mengintervensi pemerintahan. Terbukti pada masa
Raja Vajiravudh (Rama VI) militer berupaya untuk melakukan percobaan kudeta
pada tahun 1912 dan 1917. Percobaan kudeta dilandaskan pada kekecewaan
militer atas perintah Raja Vajiravudh yang memberikan kewenangan khusus
dalam menjaga Raja kepada badan diluar institusi militer Wild Tiger Scout.
Militer berpendapat bahwa Raja telah menghina intitusi militer yang bersifat
nasional (Sadersai, 1997: 182). Wild Tiger Scout sendiri didirikan dengan
beberapa tujuan diantaranya untuk membebaskan rakyat Thailand dari tugas-tugas
militer reguler terutama ditingkat menengah dan tinggi, memperkenalkan
kesatuan pada keberagaman masyarakat Thailand, bertugas untuk memelihara
ketertiban dan hukum di daerah pedalaman dan menyediakan prajurit pelayan di
waktu perang, serta bertugas untuk menyediakan pengintai bagi militer reguler.1
Seperti di Indonesia, keterpurukan ekonomi menjadi triger bagi lahirnya
revolusi di Thailand. Depresi ekonomi global pada tahun 1930-an membuat
anjloknya harga komoditas ekspor Thailand. Untuk mengurangi beban
pemerintah, Raja Prajadiphok mengeluarkan kebijakan penghematan ekonomi
dengan memberhentikan sebagian pegawai pemerintah sipil maupun militer,
memotong pos anggaran gaji dan promosi pegawai pemerintah sipil dan militer,
1 Keterangan mengenai Wild Tiger Scout dapat diakses dari http://www.thaisouting.com/history.html
55
serta mengeluarkan kebijakan pajak penghasilan bagi pegawai pemerintah sipil
maupun militer. Kebijakan-kebijakan tersebut dirasa tidak adil karena bagi
pegawai pemerintah kelas menengah mereka hanya dapat mengandalkan gaji
sebagai pendapatan utama. Kondisi ini berbanding terbalik dengan keadaan para
bangsawan, anggota kerjaan dan kelas pedagang Cina yang memiliki sumber-
sumber pendapatan lain. Situasi ini membuat rakyat miskin maupun kelas
menengah menjadi sengsara.
Kondisi perekonomian Thailand yang semakin parah akhirnya melahirkan
sebuah kudeta. Sasaran kudeta 24 Juni 1932 ini adalah mengalihkan pemerintahan
monarki absolut ke sistem monarki parlementer (Said, 2015:99). Kudeta 1932
diprakarsai oleh generasi baru kaum intelektual muda berpendidikan Barat yang
menamai diri mereka sebagai “People Party”. Pihak sipil diketuai oleh Nai Pridi,
sedangkan pihak militer diwakili oleh Kolonel Phraya Phahon Phompyayuhasena
(generasi tua) dan Marshal Lapangan Phibusongkram (generasi muda). Revolusi
berhasil merubah sistem pemerintahan Thailand menjadi monarki konstitusional,
akan tetapi sifat aristokratis politik Thailand masih tetap ada. Suatu konstitusi
disusun setelah kudeta menunjukkan sifat aristrokrasi masih bertahan dengan
pembentukan suatau Dewan Tertinggi yang terdiri dari para pangeran, birokrat
ningrat dan pemimpin militer. Pengesahan konstitusi justru memperluas lingkaran
oligarki pemerintahan hingga melibatkan bukan saja keluarga kerajaan namun
juga pemimpin sipil dan militer. Dalam perkembangannya kaum oligarki ini
menjadi kelompok elit politik Thailand yang saling bersaing berebut kekuasaan,
dan silih berganti meraih keunggulan tetapi tidak ada satu kelompok tunggal yang
memiliki cukup kekuatan untuk melakukan kontrol melembaga. (Janowittz, 1985:
19)
Semenjak tahun 1932 militer memainkan peran diluar fungsi utamanya
sebagai HANKAM dan pengawal kerajaan, intervensi militer dalam pemerintahan
ditunjukan dengan upaya mempengaruhi kehidupan politik Thailand. Sistem
aliansi kekuatan sipil dan militer ternyata tidak bertahan lama. Persaingan
tercermin dari usaha keduanya dalam perebutan posisi perdana menteri. Tabel
dibawah dapat menjadi bahan rujukan untuk melihat besarnya dominasi militer
dalam pemerintahan dibandingkan sipil. Walaupun perbadingan jumlah PM sipil
56
dan militer hampir sama namun jika merujuk pada jangka waktu memerintah akan
terlihat jelas bahwa pemerintahan PM sipil cenderung lebih singkat dan PM
militer memiliki masa pemerintahan lebih panjang. Selain itu faktor-faktor
penyebab pergantian perdana menteri memperlihatkan bahwa kudeta militer
seperti sudah menjadi sebuah tradisi dan menunjukkan bahwa militer tidak dapat
sepenuhnya menerima supremasi sipil.
Tabel 4.1 Periodisasi Perdana Menteri di Thailand
No. Nama Perdana Menteri Periode Penyebab Berakhirnya
Pemerintahan
1. Phraya Manopakorn Nititada
(Gon Hutasingha)
1932-1933 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Phraya
Phanon
Phonphayuhasena
2. Jenderal Phraya Phanon
Phonphayuhasena (Phot
Phahonyotin)
1933-1937 Pemilu
3. Panglima Tertinggi Plaek
Phibunsongkram
1938-1944 Ketidaksetujuan
parlemen
4. Kuang Abhaiwongse 1944-1945 Pengunduran diri
melalui pemilu setelah
Perang Dunia
5. Tawee Punyaketu 1945 Pengunduran Diri
6. MR. Seni Pramoj 1945 Pengunduran Diri
7. Kuang Abhaiwongse 1946 Pengunduran Diri
8. Pridi Banomyong 1946 Pengunduran Diri
9. Laksamana Muda Thawal
Thamrongnavaswadhi
1946-1947 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Phin
Choonhavan
10. Kuang Abhaiwongse 1947-1948 Pengunduran diri karena
kudeta yang dipimpin
oleh komite kudeta pada
8 November 1948
11. Panglima Tertinggi Plaek
Phibunsongkram
1948-1957 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Sarit
Dhanarajata
12. Pote Sarasin 1957-1958 Pemilu
13. Panglima Tertinggi Thanom
Kittikachorn
1958 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Sarit
Dhanarajata
57
14. Jenderal Sarit Dhanarajata 1959-1963 Meninggal
15. Panglima Tertinggi Thanom
Kittikachorn
1963-1972 Pemberontakan
16. Sanya Dharmasakti 1973-1974 Pemilu
17. MR. Seni Pramoj 1975 Ketidaksetujuan
18. MR. Kukrit Pramoj 1975 Pemilu
19. MR. Seni Pramoj 1976 Kudeta yang dipimpin
oleh Laksamana Sangad
Chalawyoo
20. Tahin Kravixien (mantan
Privy Council)
1976-1977 Kudeta yang dipimpin
oleh Laksamana Sangad
Chalawyoo
21. Jenderal Kriangsak
Chomanan
1977-1979 Pengunduran diri yang
disebabkan oleh
permasalahan krisis
minyak dan konflik
pengungsi
22. Jenderal Prem Tinsulanonda 1980-1986 Pemilu
23. Jenderal Chatichai
Choonhavan
1988-1991 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Sundara
Kongsompong
24. Anand Panyarachun 1991-1992 Pemilu berdasarkan
Konstitusi 1991
25. Jenderal Suchinda
Kraprayoon
1992 Krisis pada bulan Mei
26. Anand Panyarachun 1992 Pemilu
27. Chuan Leekpai 1992-1995 Pemilu
28. Banharn Silapa-archa 1995-1996 Pemilu
29. Jenderal Chavalit
Yongchaiyudh
1996 Pengunduran diri
30. Chuan Leekpai 1997-2001 Pemilu
31. Thaksin Shinawatra 2001-2006 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Sonthi
Bonyaratglin
32. Surayud Chulanont
(purnawirawan dan anggota
Privy Council)
2006-2008 Pemilu
35. Samak Sundaravej 2008 Pengunduran diri
disebabkan oleh hasil
pengadilan Mahkamah
Konstitusi
58
36. Abhisit Vejjajiva 2008-2011 Pemilu
37. Yingluck Shinawatra 2011-2014 Kudeta yang dipimpin
oleh Jenderal Prayuth
Chan-o-cha
38. Jenderal Prayuth Chan-o-cha 2014-
sekarang
Sumber: “History of Thai Prime Minister”. Diperoleh dari: https://www.cabinet.thaigov.go.th
(Kusumawardani, 2012). Tabel diatas telah disesuaikan penulis dengan perkembangan politik Thailand hingga tahun 2016, terdapat beberapa nama PM yang tidak dituliskan didasarkan pada alasan terlalu singkatnya masa pemerintahan mereka.
Terdapat lima kalangan penguasa utama mendominasi politik Thailand
sejak kudeta 1932. Kalangan pertama berkuasa dari tahun 1932-1944, terdiri dari
tiga klik yang dipimpin oleh para pemimpin kudeta yakni seorang pegawai sipil,
seorang militer dari generasi tua dan seorang militer dari generasi muda yang
saling mendominasi secara bergantian. Kalangan kedua berkuasa dari tahun 1944-
1947, didominasi oleh klik pegawai sipil generasi tua dan muda secara bergantian.
Kalangan ketiga berkuasa sejak tahun 1947-1957, dipimpin oleh Marshall Plubun
yang mampu menyeimbangkan kekuatan antara AD, polisi dan Dewan Nasional.
Kalangan penguasa gelombang ke empat mendominasi sejak tahun 1957-1973,
dipimpin oleh Marshall Sarit dan Marshall Thanom. Setelah tahun 1980-an militer
pimpinan Jenderal Prem Tinsulanonda mulai berafiliasi dengan kekuatan monarki
kerajaan untuk saling mengamankan pengaruh dominasi.
Sejak tahun 1970-an militer Thailand mulai kehilangan power karena
mendapatkan kritik tajam dari masyarakat sipil. Pemerintahan PM Thanom yang
berasal dari militer syarat akan tindak kekerasan, korupsi, ketidakkompetenan dan
perilaku yang hanya memuaskan diri sendiri saja memunculkan sikap oposisi
masyarakat. Kehidupan ekonomi Thailand kembali mengalami defisit pada tahun
1969 dan 1970 yang berakibat pada melonjaknya harga beras. Lagi-lagi kondisi
ekonomi akhirnya mendorong masyarakat menyatukan suara menuntut
penyusunan konstitusi baru yang lebih demokratis. Aksi-aksi mendorong upaya
penyusunan konstitusi baru tidak hanya dilakukan rakyat saja melalui National
Student Center of Thailand (NSCT), pada saat itu Raja juga memberikan
dukunganya. Sementara di kubu militer terjadi faksionalisasi, disorganisasi dan
hilangnya tujuan militer. Faksionalisasi memuncak ketika pada bulan Oktober
1973 terjadi aksi protes “Student Revolt”. Permasalahan faksionalisasi