47 BAB IV ESTETIKA BATIK TRADISI di DESA GIRILOYO, WUKIRSARI, BANTUL, YOGYAKARTA A. Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta 1. Munculnya Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta Wilayah Yogyakarta berkaitan dengan sejarah kerajaan besar Islam di abad ke-16 yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa. Mataram Islam di Yogayakarta terkenal dengan nama Alas Mentaok yang saat ini berada di Kotagede Yogyakarta. Alas Mentaok merupakan sebuah pusat Kesultanan Mataram di lereng selatan Gunung Merapi. Alas ini berupa sebuah hutan, sebagai hadiah sayembara dari Sultan Pajang untuk Ki Ageng Pemanahan. Panggilan lain Ki Ageng Pemanahan yaitu Ki Gede Mataram, maka dari itu Alas Mentaok disebut sebagai Bumi Mataram (Abimanyu, 2015 : 13). Daliman (2012 : 23) dalam bukunya dijelaskan kerajaan Mataram Islam berasal dari sayembara Sultan Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang sebagai pemberontak. Sayembara terjadi karena adanya perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak. Meninggalnya pendiri kerajaan Demak yaitu Sultan Trenggono (Raden Patah) dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah atau Sultan Ngabdil Suryangalam membuat Arya Penangsang merasa Kerajaan Demak adalah miliknya. Wasiat berisi kerajaan Demak diberikan Raden Kikin (Pangeran Sekar Seda Lepen) ayah Arya Penangsang yang dibunuh oleh Pangeran Mukmin atau Pangeran Prawata (Putera Sulung Pangeran Trenggono). Arya Penangsang membunuh Pangeran Prawata untuk membalas dendam serta merebut tahta, Arya
79
Embed
BAB IV ESTETIKA BATIK TRADISI di DESA GIRILOYO, WUKIRSARI ... · kurang subur dan berupa Alas yaitu Mataram atau Mentaok. Tahun 1577 Ki Ageng Pemanahan mulai membabat Alas Mentaok
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
47
BAB IV
ESTETIKA BATIK TRADISI di DESA
GIRILOYO, WUKIRSARI, BANTUL, YOGYAKARTA
A. Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
1. Munculnya Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
Wilayah Yogyakarta berkaitan dengan sejarah kerajaan besar Islam di
abad ke-16 yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa. Mataram Islam di
Yogayakarta terkenal dengan nama Alas Mentaok yang saat ini berada di
Kotagede Yogyakarta. Alas Mentaok merupakan sebuah pusat Kesultanan
Mataram di lereng selatan Gunung Merapi. Alas ini berupa sebuah hutan, sebagai
hadiah sayembara dari Sultan Pajang untuk Ki Ageng Pemanahan. Panggilan lain
Ki Ageng Pemanahan yaitu Ki Gede Mataram, maka dari itu Alas Mentaok
disebut sebagai Bumi Mataram (Abimanyu, 2015 : 13).
Daliman (2012 : 23) dalam bukunya dijelaskan kerajaan Mataram Islam
berasal dari sayembara Sultan Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang
sebagai pemberontak. Sayembara terjadi karena adanya perebutan kekuasaan di
Kerajaan Demak. Meninggalnya pendiri kerajaan Demak yaitu Sultan Trenggono
(Raden Patah) dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah atau Sultan
Ngabdil Suryangalam membuat Arya Penangsang merasa Kerajaan Demak adalah
miliknya. Wasiat berisi kerajaan Demak diberikan Raden Kikin (Pangeran Sekar
Seda Lepen) ayah Arya Penangsang yang dibunuh oleh Pangeran Mukmin atau
Pangeran Prawata (Putera Sulung Pangeran Trenggono). Arya Penangsang
membunuh Pangeran Prawata untuk membalas dendam serta merebut tahta, Arya
48
Penangsang menjadi Adipati Demak. Kerajaan Demak dipindah ke Pajang dan
menjadi Kerajaan Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya sebagai mantu
dari Sultan Trenggono.
Tahun 1558 Sultan Hadiwijaya memberikan wilayahnya sebagai hadiah.
Ki Panjawi mendapat wilayah Pati dan Ki Ageng Pemanahan mendapat wilayah
kurang subur dan berupa Alas yaitu Mataram atau Mentaok. Tahun 1577 Ki
Ageng Pemanahan mulai membabat Alas Mentaok dan membangun sebuah
kadipaten yang maju bernama Mataram. Tahun 1584 Ki Ageng Pemanahan
meninggal sehingga Kerajaan Mataram diwariskan kepada putranya bernama
Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Bumi Mataram masih sebagai
kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Kekuasaan Pajang diberikan
kepada putera mahkota Pageran Benawa setelah Sultan Hadiwijaya meninggal.
Arya Pengiri berusaha merebut kekuasaan dengan membunuh Pangeran Benawa.
Sutawijaya berhasil merebut Pajang dari Arya Pengiri dan merubah nama menjadi
Mataram sebagai pertanda kekuasaannya(Abimanyu, 2015 : 18-20).
a. Panembahan senopati
Panembahan Senopati merupakan masa pertama Kerajaan Mataram
Islam berdiri. Abimanyu (2015 : 28-31) menjelaskan masa pemerintahan
Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama dari tahun 1588 hingga
1601. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati (Panembahan Seda ing Krapyak)
sebagai putra ke-8 dipilih menjadi penerus Mataram oleh Panembahan Senopati.
Pemberontakan dari saudara Panembahan Hanyokrowati terjadi karena tidak
terima tahtanya sebagai Sultan kedua Mataram. Pemberontakan pertama oleh
Pangeran Puger (Raden Mas Kentol Kejuron) yang merupakan putra kedua dari
49
Panembahan Senopati. Tahun 1605 Pangeran Puger dibuang ke Kudus dan pada
tahun 1627 putra Pangeran Puger diangkat sebagai Adipati Pati (Adipati Pragola
II). Pemberontakan kedua oleh Pangeran Jayaraga setelah dua tahun
pemberontakan Pangeran Puger selesai. Sultan Mataram kedua Panembahan
Hanyokrowati memerintah dari tahun 1601-1613 dengan gelar Anumerta
Panembahan Seda ing Krapyak dengan arti “Baginda yang wafat di Krapyak”
(Abimanyu, 2015 : 44-49).
Masa ketiga tahun 1613 kekuasaan Mataram Islam berada dibawah
pimpinan Raden Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Mataram Islam memiliki keyakinan jika dewa-raja, yaitu raja disamakan
derajadnya dengan dewa. Tidak ada kekuasaan tertinggi kecuali raja, maka
sultan atau raja digambarkan dengan sifat keramat, kebijaksanaan yang terpancar
dari aura wajah dan kewibawaan. Tahun 1645, sebelum meninggal Sultan
Agung sudah membuat Mataram Islam mencapai kejayaan dan membangun
Astana Imogiri sebagai pusat makam keluarga raja Mataram (Abimanyu, 2015 :
53).
Tahun 1752 telah terjadi pemberontakan Mangkubumi di provinsi-
provinsi Pesisir mulai dari Banten sampai Madura. Terjadi perpecahan
Mangkubumi dengan Susuhunan Pakubuwana III kemudian dimanfaatkan oleh
VOC untuk membuat perdamaian dengan menghentikan perang saudara sebab
membuat kerusakan dan penderitaan rakyat. “Perjanjian Giyanti” atau “Pilihan
Negari” antara VOC, Pakubuwono III dan Mangkubumi tanggal 13 Februari
1755. Perjanjian tersebut berisi untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan
yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Ditahun yang sama
50
Mangkubumi menjadi sultan atas Kesultanan Yogyakarta atau dikenal gelar Sri
Sultan Hamengkubuwono I (Suyami, 2008 : 24-25).
Mataram terpecah setelah perjanjian Giyanti tahun 1755 perbedaan
dibuat oleh Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan Surakarta baik seni
wayang, seni tari, seni karawitan, seni sastra dan seni batik bagi kaum wanita.
Buku “Sekar Jagad Ngayogyakarta Hadiningrad” dari Mary J.E dan Soedarmadji
J.H. Dimas (1990 : 13-21) menjelaskan Sri Sultan Hamengkubuwana I dalam
memerintah Yogyakarta berniat untuk menjadikan kerajaan yang memiliki
otoritas baru terhadap kebudayaan Jawa-Mataram. Usaha ini dilihat dari upaya
menciptakan kesenian tari Jawa. Hamengkubuwono I juga menghidupkan
kesenian wayang wong. Pertunjukan penuh gemerlap dan kemegahan yang
melibatkan penari laki-laki dan perempuan. Wayang kulit dibuat menggunakan
bahan dari kulit kerbau kudisan agar tidak terdapat lemak. Sama halnya dengan
membuat kain batik menggunakan bahan mori cap sen biru atau merah untuk
menghasilkan batik berkualitas baik.
Seni batik mulai populer saat Sultan Agung memakai batik dan lurik
yang sekarang menjadi bagian tradisi berbusana di Jawa. Awalnya orang sudah
merasa puas jika mengenakan batik hasil buatan dari istri atau ibunya. Hal
tersebut diartikan bukan siapa yang membuat melainkan sebagai simbol
keinginan mengambil berkah pangestu dari pembuat kain (Mary, 1990 : 21).
Tradisi berbusana batik di Jawa mulai dijumpai dalam upacara kebesaran kraton
sehingga timbul beragam motif batik yang digunakan untuk kesempatan tertentu
seperti pakaian upacara peringatan grebegan, syawalan, upacara pernikahan,
upacara kematian, kelahiran dan pentas tari. Membatik juga mengandung
51
pernyataan kasih sayang, menjadi kebanggaan keluarga dan dapat dijadikan
hadiah untuk anaknya yang akan menikah dari orang tua. Daerah pesisir kain
batik sebagai penutup kapal layar tujuannya untuk menolak bala bila kapal
berada ditengah lautan. Aturan untuk mengenakan batik sebagai pakaian
kebesaran diresmikan tanggal 3 Mei 1927 oleh Sultan Hamengkubuwana VIII
(Yusuf, 1991 : 3).
Menurut pendapat GBRA Murywati Darmokusumo dalam buku “Sekar
Jagad Ngayogyakarta Hadiningrad” (1990 : 31) bahwa dari perjanjian Giyanti
batik-batik dari kraton Yogyakarta dan Surakarta mempunyai kekhasan dan
keasrian masing-masing yang dibedakan berdasarkan perwujudannya.
Kesultanan Yogyakarta masih mempertahankan pola dan motif Mataram. Ragam
hias kawung diambil dari jubah relief-relief candi Hindu di Prambanan.
Wulandari (2011 : 59) menjelaskan kesunanan Surakarta mulai berkembang
dengan inovasi tapi tidak meninggalkan unsur-unsur motif yang masih sesuai
pakem bersumber batik kesultanan Yogyakarta. Di Surakarta memiliki ragam
hias buketan dengan pinggiran kembang, berlatar parang atau kawung, dan
warna dasar putih. Perbedaan yang lain yaitu tata ragam hias batik Yogyakarta
cenderung perpaduan berbagai ragam hias geometris dan non geometris
berukuran besar dan Surakarta cenderung ragam hias geometris dan non
geometris berukuran kecil. Segi warna batik Yogyakarta lebih terang dan bersih,
warna hitam mendekati biru sedangkan Surakarta putih kecoklatan dan hitam
mendekati kecoklat. Perbedaan lain pada warna babaran serta sogan antara batik
Yogyakarta dan Surakarta. Ragam hias kain batik Yogyakarta memiliki makna
simbolis lebih sedikit daripada Surakarta. Kedua daerah tersebut memiliki
52
sebutan nama motif batik yang sama namun berbeda pada bentuk visual seperti
Sida Asih (Djoemena, 1990 : 20-23). Penggunaan batik di kraton Yogyakarta
pada motif parang berbeda dengan di Surakarta yaitu ketika laki-laki dan
perempuan berdampingan motif parang akan berbentuk huruf “V” yang
melambangkan kemenangan. Membentuk huruf “V” terbalik apabila batik
Surakarta dan Yogyakarta berdampingan. Perbedaan lain terdapat dalam wiron
sebelah sisi di Yogyakarta diperlihatkan keluar, sedangkan Surakarta
dimasukkan kedalam. Hal tersebut menjadi sebuah aturan yang menjadi pakem
selain pembeda lain yaitu perwarnaan, jarak setiap motif serta ukuran. Motif
Yogyakarta berkarakter kaku, besar-besar atau mblegar-mblegar, serta memiliki
warna lebih maskulin daripada Surakarta. Simbol Yogyakarta memberikan motif
khas Gurdo yang melambangkan kekuasaan 1)
. Wanita kraton memiliki kegiatan
membatik sebagai sarana latihan olahraga untuk mencapai kesempurnaan (Mary,
1990 : 31).
Menurut Ambar (2011 : 36) setelah memindahkan pusat kerajaan
Mataram Islam dari Demak ke Mataram, raja sering bertapa di sepanjang pesisir
Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito,
menelusuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing
berbaris. Tempat tersebut menjadi inspirasi raja Mataram dalam membuat motif
parang. Pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan raja dan keturunannya
dilingkungan istana. Terjadinya perjanjian tersebut muncul wilayah-wilayah
pembatik di Yogyakarta untuk memenuhi kebutuhan lingkungan kraton dan para
bangsawan. Tahun 1813 terjadi perpecahan kembali di Mataram yaitu Pangeran
1)
Desi,Wawancara, 21/04/2016
53
Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas kadipaten Paku Alaman yang
lepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Paku Alam. Batik juga masuk dalam Pura Pakualaman terjadi saat adanya
hubungan Pura Pakualaman dengan kraton Surakarta kemudian memadukan
pola batik Yogyakarta dan pada warna dari Surakarta (Wulandari, 2011 : 55).
Kerajinan melukis atau membatik berawal dari olahraga putri-putri
kraton yang kemudian berkembang pesat diluar kraton. Menurut BRay
Poeruoeboyo 2)
mengenai muncul dan keluarnya batik kraton Yogyakarta sejak
Sultan yang pertama. Kegiatan membatik difungsikan sebagai sarana olahraga
putri-putri kraton. Batik keluar kraton dari abdidalem yang harus mengenakan
kain batik saat melayani Sultan. Abdidalem membeli batik Giriloyo yang
merupakan salah satu tempat membuat batik yang menyerupai batik kraton
Yogyakarta. Menurut pendapat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bantul (2010 :
12) pembatikan di daerah Yogyakarta benar dikenal sejak Kerajaan Mataram I
masa pemerintahan Panembahan Senopati. Awal pembatikan terbatas hanya
terdapat dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh para wanita
pembantu ratu. Upacara resmi keluarga kraton baik pria atau wanita
menggunakan busana batik dikombinasi lurik. Hal tersebut membuat rakyat
yang berkunjung tertarik sehingga mengikuti untuk membuat batik tersebut.
Muncul pengrajin yang tinggal dikota mengerjakan batik tulis dengan bekerja
sama dengan pembatik didesa. Batik yang dibuat pengrajin kota sampai proses
pewarnaan dan lorod sehingga menjadi kain batik siap dijual (Samsi, 2007 : 5).
Berkembangnya batik diluar kraton tidak terlepas dari peran pedagang Arab dan
2)
BRay Poeruoeboyo, Guide Kraton Yogyakarta, Wawancara, 23/04/2016
54
Cina sehingga muncul kerjasama pengrajin dengan industri fashion lokal. Desa
Giriloyo, kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta mulai berkembang batik
dengan motif dan warna tradisi kraton.
2. Latar Belakang Batik di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
Desa Giriloyo merupakan salah satu dusun yang berada di kelurahan
Wukirsari, kecamatan Imogiri, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Letak desa Giriloyo secara geografis berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Cengkehan yang dipisahkan oleh
sebuah sungai kecil.
b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Karang Kulon.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Mangunan.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Cengkehan dan desa Mangunan
(Umami, 2013 : 65).
Wilayah desa Giriloyo sebagian besar berada di lereng perbukitan dan
memiliki penduduk yang padat. Sebagian besar hutan ditumbuhi pohon jati, pohon
mahoni, dan pohon sono yang dapat digunakan untuk bahan bangunan. Ladang-
ladang yang ada digunakan untuk menanam palawija misalnya kacang tanah,
ketela pohon, jagung, sirgunggu dan talas. Historis nama Giriloyo diambil dari
keberadaan Syeh Abdul Karim (Sunan Cirebon) yang melakukan semedi sampai
akhir hidup di bukit Makam raja-raja Imogiri. Giriloyo berasal dari dua kata yaitu
Giri dan Loyo yang artinya Giri adalah Gunung atau Bukit yang berkaitan dengan
tempat Syeh Abdul Karim bersemedi, sedangkan Loyo adalah wafat dikaitkan
dengan tempat wafat dan pemakaman beliau (Umami, 2013 : 69).
55
Gambar 18. Pintu Masuk Desa Giriloyo
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Asal usul batik tulis Giriloyo muncul bersama berdirinya makam raja-raja
di Imogiri yang terletak di Bukit Merak tahun 1654. Pendapat Nur Ahmadi ketua
dua paguyuban batik Giriloyo dalam skripsi Apridaniati (2012 : 68) menjelaskan
bahwa “Giriloyo terletak di antara makam Raja Sultan Agung dan paman Raja
yaitu Panembahan Juminah. Kurang lebih sejak abad ke 17 masyarakat Giriloyo
dapat membatik, sebab terjadi komunikasi abdidalem dan keluarga kraton dengan
warga sehingga diajarkan ketrampilan membatik agar warga Giriloyo dapat
membatik”. Kerajinan membatik muncul sejak Sultan Agung menugaskan tenaga
abdidalem untuk bertanggung jawab dalam memelihara dan menjaga makam.
Abdidalem masih berhubungan dengan kraton dan memiliki keahlian maka untuk
menghabiskan waktu dilakukan membatik dan mengajarkan keahlian tersebut
pada warga desa. Berkembangnya waktu maka semakin banyak warga memiliki
keahlian membatik dengan motif khas Kraton. Menurut Syamsudin 3)
kemunculannya batik berawal dari istri raja yang sudah tidak produktif untuk
melakukan kegiatan membatik didaerahnya. Giriloyo merupakan kampung batik
3)
Syamsudin, Staff batik di Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara,
24/05/2016
56
yang sejak dari simbah-simbah sudah dapat mencanting tetapi dengan sistem
buruh. Kain yang selesai dicanting nanti dijual kekota untuk proses pewarnaan
sampai menjadi kain. Pasca gempa terdapat bantuan pelatihan dari LSM, warga
diajarkan pewarnaan, pemasaran dan saat ini dapat berjalan sendiri 4)
. Awal
pembatikan di Giriloyo hanya mencanting dan mulai dapat memproses pewarnaan
hingga kain kurang lebih tahun 2006 setelah gempa. Muncul motif-motif
tradisional baik warna atau motif-motif klasik yang mereka kembangkan 5)
. Hal
tersebut juga dijelaskan bahwa pengrajin batik bekerjasama dengan pembatik
desa. Pembatik mengambil mori yang sudah digambar atau belum dari kota,
selanjutnya melakukan proses klowong, ngrengreng, isen-isen, dan ditembok.
Upah ditentukan pengusaha yang berdasarkan dua pertimbangan yaitu bekerja
untuk mendapat penghasilan atau hanya mengisi waktu luang dari pekerjaan
pokok bertani (Samsi, 2007 : 5).
Punggawa kraton menilai batik yang dihasilkan memuaskan maka pesanan
batik setengah jadi dari kraton untuk dibuat didesa Pajimatan akan mulai
berdatangan (Arlita, 2014 : 62). Hal tersebut dapat diterima secara logika sebab
batik berasal dari kraton dan raja-raja Mataram yang dimakamkan dalam wilayah
tersebut maka secara otomatis terdapat abdidalem yang menjaga. Penjaga dapat
dari orang luar atau warga sekitar makam. Semua orang berkeinginan memiliki
pekerjaan sehingga dimanfaatkan untuk diajarkan sebuah ketrampilan yang tidak
jauh berbeda dengan kraton. Teknologi yang ditransfer tersebut hanya membatik
putihan tidak dapat dijual beli tetapi disetorkan dikota untuk menerima upah.
Proses selanjutnya hanya boleh dilakukan oleh juragan yang terdapat dikota.
4)
Susi, Wawancara, 25/04/2016 5)
Giyanto, Staff Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 12/04/2016
57
Logikanya dilingkungan Giriloyo memang berawal dari orang-orang kraton yang
turun ke desa. Awal produksi dibuat untuk kebutuhan kraton tetapi karena
semakin banyak yang dapat membatik maka batik tersebut dijual belikan secara
umum (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
Pesanan batik dalam kraton semakin banyak sementara jumlah perajin
batik yang ada di Pajimatan terbatas maka menugaskan tenaga-tenaga dari
Giriloyo. Ngangsu kaweruh batik di Pajimatan penduduk Giriloyo menganggap
sebagai keberuntungan sebelum mereka berusaha sendiri. Artinya kain yang akan
dibatik dibawa pulang ke Giriloyo dikerjakan dirumah masing-masing, setelah
selesai disetorkan ke Pajimatan sehingga nama Giriloyo lebih terkenal (Suyani
dkk, 2008 : 25-26). Keuntungan lain permintaan batik yang meningkat, membuat
kegiatan ini dijadikan sebagai pekerjaan sampingan yang mampu menambah
pemasukan keluarga.
Gempa tahun 2006 membuat perkembangan batik mengalami kemunduran
sehingga berpengaruh bagi kondisi kerajinan membatik di Giriloyo. Terbentuk
kelompok baru tahun 2007-an yang berdiri hingga saat ini memiliki 12 kelompok
pembatik yaitu kelompok Sekar Arum, Sido Mukti, Sari Sumekar, Berkah Lestari,
Sekar Kedhaton, Giri Indah, Sungging Tumpuk, Suka Maju, Sri Kuncoro, Sido
Mulyo, Sungsang Batik dan Bima Sakti. Kelompok tertua yang ada di Giriloyo
adalah Bima Sakti yang berdiri tahun 1982. Kelompok-kelompok pembatik dapat
disatukan dengan membentuk Paguyuban Batik Tulis Girioyo yang diketuai oleh
Amarullah.
Pernyataan Larasari Suliantoro “bahwa kegiatan pembangkitan industri seni
kerajinan batik tidak hanya berupa menghimpun para perajin batik di
Giriloyo, Wukirsari saja tetapi juga berupaya menghimpun dukungan dari
58
berbagai pihak baik lembaga maupun perseorangan untuk menghidupkan
kembali batik” (Masiswo, 2012 : 53).
Kebangkitan sentra industri batik tulis Giriloyo setelah diresmikan desa
Wukirsari sebagai Desa Wisata. Muncul bantuan-bantuan untuk membantu
kesejahteraan pengrajin diantaranya Gazebo wisata oleh IRE (Institute for
Research and Empowerment) tahun 2009, Paguyuban Pecinta Batik Indonesia
Sekarjagad, Pemerintah daerah Bantul, Pemerintah daerah DIY, serta adanya
pelatihan-pelatihan proses pewarnaan oleh Balai Besar Kerajaan Batik. Tahun
2007 muncul kelompok batik baru yang membuat suasana baru dalam perbatikan
di Giriloyo.
B. Estetika Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
1. Batik Tradisi di desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
Hasil observasi batik di desa Giriloyo banyak diketahui menggunakan
warna dan motif batik kraton secara turun temurun. Hal tersebut sesuai dengan
hasil wawancara dengan informan serta dokumen-dokumen yang didapatkan
selama penelitian.
Dari pak Lurah saya itu mengingatkan “pokok e kowe ora usah mbatik seng
macem-macem. Pokok e kowe nguri-nguri batik jaman kuno. Nak kowe arep
melu-melubatik macem-macem sesok suwe-suwe batikan kuno ora ono.
Dadi kowe nguri-nguri batikan kuno....” (Hartiah, Wawancara : tanggal 25
April 2016).
Warna batik tradisi di Giriloyo menggunakan zat pewarna sintetis dan zat
pewarna nabati sesuai dengan permintaan pembeli dan melestarikan pewarnaan
alam. Pewarnaan nabati diperoleh dari tumbuh-tumbuhan kulit bawang merah,
tingi, jambal, mahoni, indigo. Batik tradisi yang dikerjakan menggunakan
59
pewarna sintetis dibuat lebih cerah agar dapat memenuhi keinginan pasar anak
muda selain itu untuk mempermudah dan mempercepat proses pengerjaan.
Desa Giriloyo selain melestarikan motif kraton juga masih menggunakan
cara tradisional dalam produksinya yaitu dengan canting sebagai bentuk
melestarikan tradisi yang sudah turun temurun.
Batik yang dihasilkan ada yang murni juga pengembangan. Tapi kalau
klasik itu tidak bisa diowah-owah mbak, jadi klasik itu harus seperti itu...ya
mungkin hanya agak ada cengkoknya saja berbeda namun motifnya tidak
bisa dikurangi tidak bisa ditambah...kecuali Parang, Truntum itu dapat
dimasukan garuda atau motif lain. Sedangkan klasik Sida Mukti, Sida
Luhur, Wahyu Tumurun dikurangi salah satu motifnya ya nanti waktu
dipakai ada yang komentar “oo... kok jadi kaya gitu” kan tidak boleh
soalnya motif kraton motif turun temurun (Susi, Wawancara : tanggal 25
April 2016).
Motif batik tulis di Giriloyo yang diproduksi masih melestarikan motif batik
kraton. Pengaruh sangat kuat dari kraton sehingga muncul Sida Asih, Sida Mukti,
Sida Drajad, Sida Mulyo, Semen Romo, Semen Rejo yang menjadi keunggulan
yang dimiliki sentra batik Giriloyo. Kain batik tersebut berupa kain panjang yang
dipakai untuk pakaian. Pembatik kraton Yogyakarta menggunakan isen-isen
Sawut Cecek. Khas asli Yogayakarta dibuat klowongan besar dan dibuat dengan
hitam dan sogan. Menggunakan dua latar khas yaitu latar putih disebut dengan
bledak dan latar hitam. Latar bledak dan latar hitam istilah lain dari background.
Bledak ditutup semua dan latar hitam background ini dikasih warna hitam (Kasih,
Wawancara : tanggal 23 April 2016).
Ragam hias batik di desa Giriloyo bersifat tradisional secara turun-
temurun sejak dari kraton Kesultanan Yogyakarta. Awal corak batik Giriloyo
hanya menggunakan bledak dan tutul. Kurang lebih pada tahun 1980-an terdapat
60
pengembangan pada latar dengan dibuat variasi seperti Kembang Pacar, Sungut,
Canthel, Ukel, atau Ukel Canthel 6)
.
Hal tersebut terjadi karena mengikuti trend pasar. Kalau perkembangan dari
waktu kewaktu orang akan bosan dengan latar bledak yang seperti itu saja.
Sehingga berkeinginan suasana yang lain maka diberilah latar yang beda
seiring dengan macam batik, macam teknologi, macam berbagai macam
penelitian. Penelitian bukan hanya proses tapi juga ekonomi, ternyata bledak
sudah tidak banyak yang suka maka dikasih latar yang lain maka disebut uji
pasar. Pentingkan kendile ora jomplang wes pokok e seng penting payu gitu
aja biasanya itu sudah berjalan alami seperti itu (Syamsudin, Wawancara :
tanggal 24 Mei 2016).
Batik tradisi Giriloyo yang masih banyak diminati terdapat dalam
kelompok golongan Non Geometris, dilihat dari banyaknya batik dengan motif
Semen atau Lung-lungan. Beragam variasi bentuk maupun warna terjadi karena
perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti letak
geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta
lingkungan alam setempat. Motif batik tradisi di desa Giriloyo melakukan
pengembangan pada variasi latar.
6)
Hartinah, Wawancara, 25/4/2016.
61
a. Sida Asih II latar Ukel
Gambar 19. Sida Asih II latar Ukel
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Gambar 20. Sida Asih II latar Ukel
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Variasi latar
ukel
Variasi latar Ukel
62
b. Sida Mukti latar Kembang Pacar
Menurut Syamsudin 7)
Giriloyo mengambarkan motif tradisional
Yogyakarta. Bahasa jawa disebut ndudah nduduk lan ngembrakake. Kalimat
tersebut mengandung sebuah arti ndudah itu ndudah mengkorek atau mencari
motif yang dulu tersimpan, nduduk istilahnya menggali sedangkan ngembrakake
itu melestarikan, mengembangkan. Diperjelas kembali kata Ndudah nduduk lan
ngembrakake adalah menggali, melestarikan dan mengembangkan.
Gambar 21. Sida Mukti latar Kembang Pacar
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
7)
Syamsudin, Staff Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 24/5/2016
63
Gambar 22. Sida Mukti latar Kembang Pacar
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Peneliti mengambil beberapa batik tradisi Giriloyo yang masih banyak diminati
dan dicari misalnya untuk acara pernikahan yaitu: Trutum Gurdo, Nitik
Rengganis, Kawung Beton, Wahyu Tumurun, Sida Asih, Babon Angkrem, dan
Udan liris 8).
Tujuh kelompok tersebut terbagi menjadi dua golongan yaitu:
Geometris yaitu Truntum Gurdo, Nitik, Kawung dan Udan Liris. Non Geometris
yaitu Sida Asih, Wahyu Tumurun, dan Babon Angkrem.
Batik-batik yang dibuat secara turun temurun tersebut menggunakan
pola asli dari kraton dan masih dilakukan hingga saat ini. Motif tersebut dibuat
dari dulu hingga sekarang masih diwariskan secara turun temurun, sehingga
polanya tidak berubah karena cara memola motif dilakukan oleh orang-orang
tertentu (Jayantoro, dkk, 2009 : 5).
8)
Imaroh, Wawancara, 25/4/2016
Variasi latar
Kembang Pacar
64
2. Kelompok Motif Batik Tradisi Giriloyo
Menurut estetika yang diungkapkan oleh Dharsono Sony Kartika bahwa
wujud estetika jenis motif batik meliputi tontonan berupa visual dari motif
pendukung dan isen-isen dari sebuah motif batik. Batik memiliki tuntunan berupa
filosofi pada motif utama yang berkaitan oleh Agus Sachari untuk menganalisis
estetika dari simbol, makna dan daya. Tuntunan tersebut berkaitan dengan simbol
dan makna berupa wujud bentuk dan warna mengandung harapan yang akan
disampaikan. Terlihat juga sebuah daya berasal dari pengaruh kondisi sosial
masyarakat agar melakukan pengembangan dalam melestarikan sebuah tradisi
membatik yang sudah dilakukan turun temurun. Analisis estetika serta
pengelompokan jenis batik tradisi Giriloyo:
a. Motif Geometris
Motif geometris mengandung unsur-unsur ilmu ukur seperti garis-garis
lengkung dan lurus, lingkaran, segitiga, segiempat, dan lain-lain yang cenderung
mengulang. Motif Geometris dapat dibagi menjadi dua macam raport, pertama
berbentuk segi empat, segi empat panjang atau lingkaran seperti golongan ceplok,
nitik, dan kawung. Kedua, tersusun dalam bidang garis miring membentuk belah
ketupat pada golongan lereng.
1) Ceplok
Truntum merupakan tum-tum, tumbuhan, atau mengumpulkan. Motif ini
dapat dilihat sebagai bentuk bintang juga sebagai ceplok (Rabi’ah, 2000 : 37).
65
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Unsur-unsur motif utama pada motif Truntum yaitu titik,
lingkaran, ceplok bunga kecil-kecil yang memiliki delapan kelopak. Ceplok bunga
yang digambarkan dalam satu kotak persegi diatur sejajar memenuhi dalam satu
kain menjadi dominan maka disebut gambar Ceplok atau motif Truntum (Samsi,
2007 : 103).
Gambar 23. Unsur-Unsur Motif Truntum
Sumber: Rabi’ah 2000 : 37
(2) Motif pengisi
Pendukung dalam motif tradisi Truntum Gurdo Giriloyo
digambarkan dalam motif Gurdo penuh dengan dua sayap. Gurdo dalam motif
Truntum merupakan stilir burung garuda yang merupakan bentuk burung yang
perkasa seperti Rajawali. Burung garuda merupakan makhluk khayalan atau mitos
gurdo. Stilir burung garuda ini adalah suatu bentuk melambangkan perkasa dan
sakti sebagai kendaraan dewa Wisnu.
(3) Isian (isen)
Unsur motif isen dalam motif Truntum Gurdo yaitu Cecek, Matan
dan Cecek Telu. Isen-isen dalam motif ini berfungsi sebagai pemanis agar terlihat
indah dalam tontonan motif Truntum Gurdo.
66
Gambar 24. Truntum Gurdo
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
b) Analisis tuntunan
(1) Motif utama
(a) Simbol
Truntum dan Gurdo dengan warna latar hitam. Permukaan
kain terdiri dari penggambaran bunga-bunga kecil yang tumbuh mekar memiliki
delapan kelopak dan tersusun sejajar secara merata. Motif Truntum termasuk
Bunga
Gurdo
Cecek
Telu
67
dalam kelompok geometris sebab terdapat seret putih, hiasan dalam berupa motif
bunga-bunga kecil menyerupai bunga tanjung dan berwarna putih (Yusuf, 2000 :
23). Menggunakan pola ulang diagonal yaitu pola ulang motif yang dibuat
menggunakan susunan garis bantu diagonal (x), dan pola ulang melintang karena
pola yang dibuat menggunakan susunan garis bantu melintang (+). Teknik
penyusunan motif Truntum ini adalah teknik diagonal. Dilingkungan Yogyakarta
kain motif truntum digunakan sebagai busana pengantin (Yusuf, 1991 : 10).
(b) Makna
Motif Truntum ini memiliki arti sebuah tuntunan agar
menyatunya setiap keluarga. Nama Truntum berawal dari kata tumaruntum yang
berarti saling menuntun (Soeharto, dkk, 1997 : 47, 70). Beberapa juga
mengkaitkan dengan kata tentrem yang merupakan keadaan kejiwaan manusia
pada umumnya. Disamping itu motif Truntum merupakan peringatan kepada
kedua orang tua mempelai bahwa keadaan yang dialami manusia selalu ada gelap
dan terang. Keadaan yang dimaksud adalah bintang di langit kadang bercahaya
kadang tidak muncul karena tertutup awan (Rabi’ah, 2000 : 48).
Kisah dari terciptanya motif Truntum berawal dari kisah cinta
Kanjeng Ratu Kencana seorang permaisuri yang menciptakan motif ini untuk
Sunan Pakubuwana III dan berharap cintanya dapat bersemi kembali. Motif ini
menggambarkan sebuah cinta yang suci dan tulus, sehingga akan abadi dan terus
bersemi dihati. Kata temruntum menjadi “truntum” yang berarti semakin tumbuh
subur. Kegunaan motif Truntum dikenakan untuk orang tua pengantin,
harapannya agar curahan cinta kasihnya tidak sia-sia melainkan tumbuh subur dan
68
abadi bagaikan bintang dilangit yang tiada berhenti memancarkan cahaya
(Tjahjani, 2013 : 33).
Jika truntum itu tumaruntum biasa dipakai kalau mantu. Sehingga
orang tua bisa memberi suri tauladan pada anak-anaknya sehingga
anaknya bisa meneladani orang tuanya sehingga orang tua seyogyanya
memakai tumaruntum. Motif truntum digunakan oleh orang tua
pengantin yang mengandung makna simbolis pengharapan orang tua
agar kedua mempelai memperoleh kelestarian dalam perkawinannya
dan kekekalan dalam membina persaudaraan diantara kedua orang tua
mempelai (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
2) Nitik
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Pola motif batik Nitik terinspirasi gambar tenun dan anyaman.
Motif Nitik berkembang memiliki nilai tambah berbentuk segiempat dan diyakini
motif tertua dari segi teknis. Perkembangan motif Nitik memunculkan beragam
variasi yang rumit, lemut dan elok dari ketrampilan dan kelembutan rasa seniman
dalam memvisualkan (Samsi, 2007 : 301). Motif Nitik Rengganis memiliki unsur-
unsur titik, lingkaran, segitiga, belah ketupat, ceplok, dan garis sejajar/silang.
Unsur titik terdapat dalam setiap motif Nitik sesuai dengan namanya, sedangkan
unsur-unsur lain sebagai kombinasi dalam sebuah motif misalnya segiempat dan
segitiga.
Gambar 25. Unsur-Unsur Motif Nitik Rengganis
Sumber: Rabi’ah 2000 : 36
69
(2) Motif pengisi
Pendukung motif tradisi Nitik Rengganis Giriloyo digambarkan
dalam bentuk titik-titik yang menyerupai kelopak bunga. Motif pendukung ini
digunakan untuk mengisi ruang kosong antara motif utama guna melengkapi
tatasusun dalam pola dan tidak memiliki makna yang menyertainya.
Gambar 26. Nitik Rengganis
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
(3) Isian (isen)
Unsur motif isen dalam motif Nitik Rengganis yaitu titik-titik
dalam batik disebut Cecek. Isen-isen dalam motif ini berfungsi sebagai pemanis
secara keseluruhan baik ornamen pokok dan ornamen pendukung dalam tontonan
motif Nitik Rengganis tradisi Giriloyo. Dilingkungan Yogyakarta kain motif Nitik
digunakan untuk busana pengantin (Yusuf, 1991 : 10).
Titik-titik
membentuk
kelopak bunga
Cecek
Nitik Rengganis
70
b) Analisis tuntunan
(1) Motif utama
(a) Simbol
Syamsudin (Wawancara : tanggal 24 Mei 2016) menjelaskan
motif Nitik merupakan titik (niteni), gabungan dari titik-titik sedemikian rupa
sehingga membentuk sebuah motif dan memiliki makna. Motif Nitik memiliki
beberapa macam namun di Giriloyo hanya ditemukan motif Nitik yang bernama
Nitik Rengganis. Umumnya motif ini berlatar hitam atau biru tua serta dikenal
dengan kain Cinden atau Cinde dan terbuat dari sutera. Motif Nitik Rengganis
merupakan motif lama yang digambarkan Ceplok bunga-bunga yang ditata
menggunakan teknik pengulangan teratur. Motif Nitik adalah deformasi stilir dari
bunga-bunga yang disusun melingkar atau berkeliling membentuk segiempat,
tersusun secara seimbang dan simetris (Ambar, 2011 : 51). Motif ini
menggunakan pola ulang diagonal dan melintang sedangkan teknik penyusunan
motifnya vertikal dan horizontal. Pola ulang diagonal yaitu pola ulang motif yang
dibuat menggunakan susunan garis bantu diagonal (x). Pola ulang melintang yaitu
pola ulang motif yang dibuat menggunakan susunan garis bantu melintang (+).
Teknik penyusunan motif yang digunakan adalah diagonal, vertikal, dan
horizontal (Rabi’ah, 2000 : 21-36).
(b) Makna
Kain dengan motif Nitik saat ini yang masih digunakan dalam
acara ritual atau upacara tertentu. Motif Nitik Rengganis ini merupakan salah satu
jenis motif Nitik yang hanya sekedar nama untuk mempermudah menyebutnya.
Makna dari motif Nitik ini sendiri adalah mengandung kedamaian dan
71
kesejahteraan dalam keseimbangan, yang merupakan harapan kehidupan yang
diilhami ajaran Budhisme (Rabi’ah, 2000 : 46). Motif batik tradisi Nitik
Rengganis di desa Giriloyo pada umumnya lebih berisi, padat, tidak memberikan
ruang untuk isian lain. Hal tersebut menunjukkan kuatnya ikatan keluarga besar
masyarakat Yogyakarta dalam satu kultur sosial.
3) Kawung Beton
Gambar 27. Kawung Beton
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Mrutu Sewu
Diamon
Buah
Kolang-
kaling
Kembang
Tiba
72
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Motif utama Kawung berada pada bentuk bundar atau lonjong
yang merupakan stilir dari biji buah nangka yaitu “beton” maka disebut dengan
motif Kawung Beton. Ragam hias tersebut yang memiliki pengaruh terhadap
pemaknaan dan memiliki sebuah ajaran tertentu.
(2) Motif pengisi
Pendukung motif tradisi Kawung Giriloyo digambarkan dalam
bentuk kapalan sebagai pengisi latar kain di antara corak utama. Empat bentuk
lonjong (kawung) akan membentuk segiempat yang seperti bentuk diamon.
Ragam hias tersebut tidak memiliki makna namun berfungsi sebagai tambahan
visual saja.
(3) Isian (Isen)
Motif Kawung Beton Giriloyo ini memiliki pengisi bidang setiap
bentuk kawung disebut Kembang Tiba dan Mrutu Sewu. Isen-isen dalam motif ini
berfungsi sebagai penghias secara keseluruhan baik ornamen pokok dan ornamen
pendukung dalam tontonan motif Kawung Beton tradisi Giriloyo.
b) Analisis tuntunan
1) Motif utama
(a) Simbol
Berbentuk lonjong seperti kolang-kaling karena stilasi buah
nangka tersebut disusun memanjang menurut garis diagonal miring kekiri dan
kekanan berselang-seling seperti buah aren. Buah aren berbentuk lonjong berwana
putih, pada umumnya disebut “kolang kaling” (Sewan, 1980 : 226). Motif
73
Kawung di desa Giriloyo terinspirasi dari bentuk Beton, yaitu suatu benda yang
bersifat dinamis, keras atau kuat. Terbentuk oleh empat buah lingkaran yang
bersinggungan pada satu titik pusat, susunan memanjang menurut garis diagonal
miring kekiri dan kekanan berselang-seling (Susanto, 1980 : 226). Garis
horisontal dan vertikal melambangkan kestabilan, kemegahan, kekuatan dan
kejujuran.
(b) Makna
Menurut buku “Batik” dari Lisbijanto (2013 : 58) dijelaskan
kawung digambarkan lingkaran yang dibelah, dan mengambil unsur bunga
sebagai harapan pemakainya dapat menjaga kesucian serta doa agar memiliki
umur panjang. Motif Kawung Beton memiliki makna yang digambarkan seperti
berikut “Kehidupan itu harus dijalani dengan sabar dan jangan mudah putus asa
seperti tembok beton walaupun terkena hujan dan panas kekuatannya tetap terjaga
tidak mudah dirobohkan, dalam menggambarkan motif Kawung Beton ini sebagai
kehidupan yang kuat tidak mudah menyerah walaupun susah, senang silih
berganti menghampiri”. Motif Kawung dihormati karena mencerminkan pancapat
karena terdapat jumlahnya empat dan satu bentuk kelima sehingga pusat atau inti
(Ambar, 2011 : 40).
4) Lereng
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Motif batik tradisi Udan Liris Giriloyo yang menjadi motif utama
digambarkan berbentuk Lereng. Unsur-unsur motif Udan Liris yaitu titik, garis
74
Parang, Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan,
Berangan, Mlinjon dan Kopi Pecah dan Kembang. Udan Liris seperti hujan rintk-
rintik sehingga motif kecenderungan lembut dengan bentuk kecil-kecil 9)
.
(2) Motif pengisi
Motif pendukung pada motif utama tersebut yaitu Gondosuli,
Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan, Mlinjon dan Kopi
Pecah dan kembang. Motif pendukung tersebut tidak memiliki makna yang
menyertai hanya berfungsi sebagai tambahan untuk keindahan visual.
(3) Isian (isen)
Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan,
Berangan, Mlinjon dan Kopi Pecah dan kembang juga merupakan isen-isen pada
motif Udan Liris. Memiliki unsur titik, garis dan garis lengkung menandakan
motif Udan Liris ini halus sebab dilihat dengan indra penglihatan rapi khususnya
bagian kecil-kecil.
b) Analisis tuntunan
a) Motif Utama
(1) Simbol
Udan liris digambarkan pola lereng dengan warna latar hitam
dan coklat tua. Motif ini terdiri dari garis-garis miring yang sejajar terlihat lebih
dinamik dan digunakan untuk keluarga raja. Motif ini merupakan gabungan
bermacam-macam corak dalam bentuk garis-garis sejajar diagonal/ semakin tinggi
mutu batik semakin banyak macam ragam hias pengisinya.
9)
Syamsudin, Wawancara, 24/5/2016.
75
Gambar 28. Udan Liris
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Udan Liris ini merupakan motif Lereng yang melambangkan pertumbuhan dan
perkembangan sehingga dihubungkan dengan penguasa yang dianggap simbol
kesuburan, perkembangan dan pembuahan. Sesuai dengan namanya hujan rintik-
rintik yang bermanfaat untuk menyuburkan serta menghidupkan tumbuhan dan
ternak. Kesempatan menggunakan motif Udan liris biasanya untuk busana
pernikahan (Soeharto, dkk, 1997 : 65-66).
v
Paran
g
Kembang
Lombok dan
Mata Deruk
Gondosuli
Tritis
Kopi Pecah
Melinjon
Kembang
Berangan
Sirapan
76
(2) Makna
Menurut Lisbijanto (2013 : 77) dijelaskan motif tradisi Udan
Liris dipakai sebagai busana daerah. Memakai kain ini diharapkan pemakai dapat
terhindar dari hal-hal yang kurang baik dan sebagai doa agar selalu diberi
petunjuk untuk melangkah menuju hal yang baik. Makna lain dapat dijelaskan
dari motif Udan Liris yaitu seperti hujan rintik-rintik, gerimis sehingga
menimbulkan perasaan ada kedamaian, ada kesejukan, dan cocok digunakan
untuk melamar. Memiliki isian motif banyak maka motif Udan Liris
kecenderungan berbentuk motif kecil-kecil. Kata orang calon mantu namanya
ngebun-ngebun enjang anjen jawa sonten seperti kamis berarti merendah diri
(merendah) (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
b. Motif non geometris
1) Semen Sida Asih
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Ornamen-ornamen utama dimodifikasi dengan bentuk yang
sangat variasi namun tetap pada pakem ornamen asli. Terdapat ragam hias yang
menjadi motif utama berupa tumbuhan, Meru, Pohon Hayat, bangunan, burung
atau lar, dan binatang. Perkembangannya desa Giriloyo memperindah tampilan
motif dengan membat strategi permainan perubahan beberapa variasi yang terjadi
dalam latar atau motif pendukung namun tidak merubah unsur-unsur dalam Sida
Asih.
77
Gambar 29. Sida Asih
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
(2) Motif pengisi
Motif pendukung tidak memiliki makna dan berfungsi sebagai
tambahan dalam tontonan motif batik itu. Sida Asih memiliki motif pendukung
yang berbentuk motif tangkai dan kuncup bunga serta motif yang menyerupai
bangunan digambarkan dalam bentuk yang sederhana.
(3) Isian (isen)
Isen-isen memiliki nama dalam setiap jenis serta dikerjakan
dalam waktu lama. Pengisi latar Sida Asih ini terdiri dari Cecek Pitu, Cecek,
Sraweyan. Isian ini hanya berfungsi untuk memperindah visual sehingga saat
ditonton akan terlihat indah dan bagus. Lingkungan kraton Yogyakarta Sida Asih
digunakan sebagai busana pengantin (Yusuf, 2000 : 10).
Meru
Lar/Mirong
Burung
Pohon Hayat
Motif
Tangkai
dan
Kuncup
Bunga
Bangunan
78
Gambar 30. Isen-Isen dalam Semen Sida Asih
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
b) Analisis tuntunan
(1) Motif utama
(a) Simbol
Kata semen berarti semi, yang dimaksud semi dapat
digambarkan dalam bentuk tumbuh-tumbuhan; daun, bunga serta tangkai. Semen
merupakan perlambang kekuatan, sumber dari segala keberadaan dan pusat
kekuasaan (Soeharto, dkk, 1997 : 66). Semen terbagi dalam tiga golongan yaitu
semen dengan ornamen tumbuh-tumbuhan, semen dengan ornamen tumbuhan dan
binatang, dan semen ornamen-ornamennya tumbuhan, binatang, lar, dan binatang
bersayap. Sida Asih termasuk dalam golongan semen yang ornamen-ornamen
Cecek Pitu
Cecek
Cecek
Sraweyan
79
tersusun dari lar, tumbuhan, Pohon Hayat, burung dan Meru. Simbolis ragam hias
semen mengandung arti kesuburan, kemakmuran bagi kaum tani dan masyarakat
umum. Batik tradisi Sida Asih di desa Giriloyo ini menggunakan latar bledak
(putih).
(b) Makna
Motif Lar, berbentuk setengah sayap gurdo disebut mirong
(Samsi, 2011 : 347). Ragam hias Lar hanya boleh digunakan untuk putra raja
yang memiliki gelar pangeran. Pergeseran budaya saat ini Sida Asih boleh dipakai
oleh masyarakat dan biasanya untuk acara pernikahan. Nama Sido Asih berasal
dari dua motif lar yang disusun saling berhadapan, sehingga makna dari Sida Asih
adalah saling mengasihi 10)
.
Ragam hias Meru, sebagai gunung yang merupakan lambang
bumi atau tanah, sering disebut empat unsur hidup yaitu Bumi, Geni, Banyu dan
Angin. Digambarkan bergelombang dan dihias serta digabung dengan kuncup
bunga dan daun. Terdapat ornamen utama lain yaitu Pohon Hayat yang
digambarkan berpangkal pada dahan dan bervariasi pada bagian kuncup dan
daun. Seni kebudayaan Indonesia Pohon Hayat merupakan stilir pohon khayalan
yang bersifat perkasa dan sakti sebagai lambang ke Esa-an, sumber dalam semua
kehidupan, dan kepercayaan suku daya jika dewa penghuni atas berupa burung
enggang dan penguasa bawah berupa ular. Maka berdirilah “satu kebutuhan” yang
meliputi dan menguasai dunia atas dan dunia bawah serta dilambangkan dengan
Pohon Hayat (Yusuf, 1988 : 5-6).
10)
Aisah, Pembatik Giriloyo, Wawancara, 3/5/2016.
80
Ragam hias burung juga sebagai ornamen utama dengan tipe
merak ini digambarkan dengan kepala berjengger, sayap yang seperti sayap
garuda terbuka, serta pada bagian ekor dan sayap tidak bergelombang.
Disimpulkan makna Sida Asih adalah dua hati yang disatukan kaya orang mau
nikah itu jadi saling mengasihi (Murjaroh, Wawancara : tanggal 3 April 2016).
Hampir sama dengan penuturan Kasih 11)
Sida Asih memiliki makna agar
disayangi oleh semua orang. Makna Sida Asih selain saling mengasihi, saling
menyayangi, saling menghormati saling menghargai. Artinya saling-saling tapi
yang baik atau mengkritik tapi sifatnya membangun itu Sida Asih (Syamsudin,
Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
2) Babon Angkrem
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Babon Angkrem termasuk dalam golongan lung-lungan yang
berupa motif tunas, ranting, daun, bunga dari tumbuh-tumbuhan yang menjalar
baik dari tumbuhan pohon atau tumbuhan merambat diatas tanah (Samsi, 2007 :
347). Motif utama digambarkan dalam bentuk binatang ayam dengan ekor
kembang padi yang melengkung dan dibuat dengan lebih besar dari motif lain.
(2) Motif pengisi
Motif pengisi terdiri dari picisan dan tiga ornamen tambahan yang
bervariasi bentuk tetapi tetap jenis berupa tumbuhan yang digambarkan bunga.
11)
Kasih, Pembatik Kraton Yogyakarta, Wawancara, 23/4/2016
81
Motif pendukung ini berfungsi sebagai motif tambahan setelah motif utama yang
tidak memiliki makna hanya untuk keindahan visual saat ditonton.
(3) Pengisi (isen)
Pengelompokan pengisi latar kain pada motif utama dan motif
pendukung dalam motif tradisi Babon Angkrem Giriloyo yaitu kembang jeruk.
Pengisi bidang dalam ragam hias seperti Cecek, Uceng, Kembang Jeruk. Isen-isen
berfungsi untuk memperindah motif ketika dilihat akan menimbulkan kesatuan
sehingga nampak indah dan bagus.
b) Analisis tuntunan
(1) Motif utama
(a) Simbol
Babon Angkrem termasuk dalam golongan semen yang
ornamen-ornamennya terdiri dari tumbuhan dan binatang (lung-lungan). Lung-
lungan berupa motif tunas, ranting, daun, unga dari tumbuh-tumbuhan yang
menjalar baik dari tumbuhan pohon atau tumbuhan merambat diatas tanah (Samsi,
2007 : 347). Memiliki ornamen utama binatang ayam dengan ekor kembang padi
yang melengkung sebagai bentuk gambaran dari makna. Warna pada motif Babon
Angkrem tersebut menggunakan warna latar hitam (biru tua) khas Yogyakarta,
coklat dan isen-isen berwarna putih.
82
Gambar 31. Babon Angkrem
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
(b) Makna
Makna dari motif tradisi Babon Angkrem Giriloyo sama
dengan batik kraton Yogyakarta yaitu melindungi anak-anaknya 12)
.
Melambangkan seekor ayam betina atau babon yang sedang mengerami telurnya
atau angkrem. Motif batik ini merupakan perlambang bahwa orang tua akan selalu
12)
Aisah, Wawancara, 3/5/2016.
Binatang
Ayam
Bunga
Pecisan
Tumbuhan
Kembang
Kembang
Jeruk
Uceng
83
melindungi anaknya sampai dewasa dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.
Riyantono dalam buku “Batik Bantul” (2010 : 33) menjelaskan motif Babon
Angkrem berawal dari kata “babon” (induk ayam dalam arti bahasa Jawa) dan
“angkrem” (mengerami telur dalam arti bahasa Jawa). Maknanya yaitu manusia
hendaknya bersabar seperti induk ayam yang sedang mengerami telur-telurnya
hingga menetas. Dijelaskan kembali manusia diibaratkan induk ayam setelah
melahirkan memiliki ikatan atau batin kepada anaknya untuk mencurahkan kasih
sayang dengan bentuk mengerami hingga anaknya dewasa.
3) Wahyu Tumurun
Gambar 32. Wahyu Tumurun
Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Burung Pohon
Hayat
Tumbuh
-an
Pinang
Mahkota
Gurdo
Tumbuhan
Cecek dan
Cecek Pitu
Latar
Canthel
84
a) Analisis tontonan
(1) Motif utama
Ragam hias yang menjadi motif utama digambarkan dalam
bentuk Pohon Hayat, Gurdo dengan bentuk dua sayap dan ekor, tumbuhan pinang
digambarkan daun dan bunga yang terbentuk dari lengkungan dan dibelah
menjadi dua secara berhadapan, dan mahkota.
(2) Motif pengisi
Ornamen tumbuhan dalam motif tradisi Wahyu Tumurun Giriloyo
ini digambarkan bunga digambarkan secara stilir dari salah satu bagiannya seperti
daun, bunga dan tanaman yang menjalar (berbentuk melengkung-lengkung).
Ragam hias tersebut digunakan untuk mendukung bidang motif utama atau
diantara pola batik. Ukuran kecil dari motif utama, berfungsi sebagai penghias
pola dan tidak mengandung makna. Motif ini tidak memiliki ruang lagi sebab
menggunakan latar Canthel sebagai variasi yang sudah menjadi tradisi di
Giriloyo.
(3) Pengisi (isen)
Unsur pengisi yang berfungsi menghias antara motif utama dan
motif pengisi (motif pendukung) pada motif tradisi Wahyu Tumurun Giriloyo
berupa Cecek dan Cecek Pitu.
b) Analisis tuntunan
(1) Motif utama
(a) Simbol
Motif Wahyu Tumurun termasuk dalam golongan semen yang
memiliki ornamen-ornamen tersusun dari Gurdo, tumbuhan, Mahkota, Pohon
85
Hayat dan tumbuhan pinang, dimana setiap motif memiliki makna tersendiri.
Motif-motif tersebut disusun sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pada
motif-motif tersebut. Simbolis ragam hias motif Wahyu Tumurun secara garis
besar mengandung sebuah harapan dan anugrah untuk mencapai angan-angan atau
cita-cita kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalani kehidupan yang
harmonis (Muryai, 2015 : 87-88). Warna latar yang digunakan dalam motif yaitu
hitam (biru tua), coklat dan isen-isen berwarna putih. Terjadi modifikasi latar
bledak, hitam menjadi latar Chantel.
(b) Makna
Ornamen utama Gurdo digambarkan dengan bentuk dua sayap
dan ekor. Gurdo memiliki nama lain dalam batik yaitu Sawat. Bentuk asli burung
Garuda yang distilir menjadi Gurdo dalam batik ini merupakan makhluk khayalan
atau mitos yang bersifat sakti dan perkasa. Burung Gurdo ini melambangkan
kendaraan dewa Wisnu, dalam kenyataan motif ini melambangkan penguasa raja.
Maka bentuk Gurdo dalam Wahyu Tumurun Giriloyo digambarkan menyerupai
lambang Yogyakarta.
Ornamen tumbuhan pinang digambarkan daun dan bunga yang
terbentuk dari lengkungan dan dibelah menjadi dua secara berhadapan. Ornamen
ini menunjukkan sikap kerjasama untuk mewujudkan suatu harapan baru. Motif
ini menggambarakan sebuah harapan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik
sebagai manusia.
Ornamen Pohon Hayat, menurut Muryani (2013 : 82)
dijelaskan motif batik Wahyu Tumurun yang ada pada Giriloyo terdapat motif
Pohon Hayat, dimana memiliki akar, batang, daun dan bunga yang sudah
86
distilirisasi. Pohon Hayat memiliki simbol yang merupakan lambang ke Esa-an,
menjadi sumber kehidupan, kemakmuran dan kekayaan, serta menggambarkan
dunia bawah, menengah dan atas. Digambarkan Pohon Hayat yang merupakan
“satu ke Tuhanan” yang memiliki penguasa atas dunia (Yusuf, 1988 : 5-6).
Tingkatan dalam kehidupan manusia, dari muda, dewasa dan tua yang harus ingat
pada penguasa. Kehidupan manusia setiap saat, kapanpun dan dimanapun akan
mengalami perubahan baik jasmani maupun rohani.
Motif Mahkota, makna dalam batik Wahyu Tumurun
digambarkan dalam motif Mahkota. Ornamen utama dalam motif Wahyu
Tumurun terdiri dari rangkaian daun dan bunga (Aisah, Wawancara : tanggal 3
Mei 2016). Menurut Syamsudin 13)
motif Wahyu Tumurun memiliki dua seri yaitu
sama-sama memiliki motif Burung Huk (burung raja). Ciri khasnya pada motif
Burung Huk yang munculnya dimalam hari dan di atas pantai, membedakan satu
ada sulur-sulur memanjang yang satu tidak ada, tapi sama-sama bernama Wahyu
Tumurun. Motif Mahkota dalam Wahyu Tumurun ini sebagai gambaran salah satu
bentuk angan-angan atau cita-cita, pangkat, dan derajat, agar tidak selalu
digantung di atas dan berusaha untuk menggapainya.
3. Estetika Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
Batik kraton Yogyakarta memiliki ciri khas menggunakan kelompok motif
geometris dan non geometris berukuran besar. Menggunakan latar warna batik
bledak (putih) dan hitam. Perpaduan warna lain coklat dan putih pada motif isian.
Ditemukan dalam hasil observasi, wawancara dan sumber buku bahwa desa
13)
Syamsudin, Staff Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 24/5/2016
87
Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta melestarikan motif-motif klasik dan cara
pembuatan yang masih menggunakan canting secara turun-temurun dari nenek
moyang. Motif-motif yang terlihat di daerah penelitian serupa dengan batik kraton
Yogyakarta. Berawal dari raja Sultan Agung yang meninggal dan dimakamkan di
Giriloyo sehingga terjadi interaksi abdidalem dengan warga.
Nilai positif daerah Giriloyo masih tetap melestarikan motif-motif dan
teknik batik tradisi klasik Yogyakarta ditengah era pengembangan yang hingga
saat ini batik tersebut menjadi batik tradisi Giriloyo, Wukirsari. Semakin lama
akan mengalami perkembangan dan variasi latar Chantel, Kembang Pacar dan
Ukel dapat dilihat pada gambar 20, 21 dan 31 (halaman 62, 63 dan 84). Faktor
yang menjadi penyebab hal tersebut karena tuntutan menjadi salah satu daerah
wisata di Yogyakarta dan adanya pengaruh mengikuti trend. Keinginan membuat
perubahan agar tidak tertinggal pada variasi latar yang tidak meninggalkan motif
pakem batik kraton Yogyakarta. Pengkajian estetika ini pada faktor daya yang
terdapat di daerah Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta.
Kajian estetika dalam penelitian ini menggunakan pandangan dari
Dharsono Sony Kartika dijelaskan estetika batik tradisi meliputi tontonan berupa
visual dari motif utama, motif pengisi dan isian (isen) dalam sebuah motif batik.
Tuntunan berupa filosofi pada motif utama yang terkait oleh estetika Agus
Sachari dari simbol, makna dan daya. Tuntunan berkaitan dengan simbol dan
makna berupa wujud bentuk motif utama dan warna mengandung harapan yang
akan disampaikan. Terlihat juga sebuah daya berasal dari pengaruh kondisi sosial
masyarakat agar melakukan pengembangan melestarikan sebuah tradisi membatik
yang sudah dilakukan turun temurun. Demikian peneliti menemukan beberapa
88
motif batik tradisi sesuai jenis penggelompokan geometris dan non geometris
tanpa mengurangi nilai filosofis. Golongan motif geometris berupa motif Truntum
Gurdo, Kawung Beton, Nitik Rengganis, dan Udan Liris. Kelompok motif non
geometris yaitu Sida Asih, Babon Angkrem, dan Wahyu Tumurun.
a. Analisis tontonan
1) Motif utama
Ragam hias yang dipilih menjadi pembahasan pada penelitian ini
secara keseluruhan termasuk dalam kelompok motif geometris dan non geometris.
Kelompok motif geometris pada motif Truntum Gurdo yang menjadi motif utama
yaitu Ceplok bunga yang memiliki delapan kelopak dapat dilihat pada gambar 23
(halaman 66). Kedua, motif batik Nitik Rengganis terinspirasi gambar tenun dan
anyaman sehingga memiliki unsur-unsur titik, lingkaran, segitiga, belah ketupat,
ceplok, dan garis sejajar/silang dapat dilihat pada gambar 25 (halaman 70).
Ketiga, motif Kawung terdapat motif utama yang digambarkan stilir dari biji buah
nangka yaitu “beton” maka disebut dengan motif Kawung Beton dapat dilihat
pada gambar 26 (halaman 72). Kelompok geometri keempat motif Udan Liris
digambarkan berbentuk Lereng. Ragam hias motif Udan Liris yaitu titik, Parang,
Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan,
Mlinjon dan Kopi Pecah dan kembang. Motif-motif tersebut kecenderungan
lembut dengan bentuk kecil-kecil seperti hujan rintk-rintik dapat dilihat pada
gambar 27 (halaman 75).
Kelompok motif non geometris yang dibahas Sida Asih terdapat motif
utama yang digambarkan tumbuhan, Meru, Pohon Hayat, bangunan, burung atau
lar, dan binatang dapat dilihat dalam gambar 28 (halaman 77). Kedua, motif
89
Babon Angkrem termasuk dalam jenis lung-lungan memiliki motif utama
digambarkan dalam bentuk binatang ayam dengan ekor kembang padi yang
melengkung dan dibuat dengan lebih besar dari motif lain dapat dilihat pada
gambar 30 (halaman 82). Ketiga, Wahyu Tumurun termasuk golongan semen yang
memiliki motif utama digambarkan dalam bentuk Pohon Hayat, Gurdo, tumbuhan
pinang dan mahkota dapat dilihat pada gambar 31 (halaman 84).
2) Motif pengisi
Motif pengisi sebagian besar tradisi Giriloyo baik kelompok geometris
dan non geometris adalah motif Gurdo penuh dengan dua sayap dalam motif
Truntum Gurdo. Titik-titik yang menyerupai kelopak bunga menjadi motif
pendukung motif Nitik Regganis. Motif pendukung batik tradisi pada motif
Kawung Beton digambarkan dalam bentuk kapalan dan diamon yang berada
diantara 4 bentuk lonjong (kawung). Sida Asih, Babon Angkrem dan Wahyu
Tumurun digambarkan ragam hias yang hampir serupa terdiri dari tangkai dan
kuncup bunga serta motif yang menyerupai bangunan, terdapat Picisan dan tiga
ornamen tambahan yang bervariasi bentuk tetapi tetap jenis berupa tumbuhan.
Stilir dari salah satu bagiannya seperti daun, bunga dan tanaman yang menjalar
(berbentuk melengkung-lengkung).
3) Isian (isen)
Berfungsi melengkapi motif utama dan motif pengisi, selain itu isian
ini juga memperindah tontonan secara keseluruhan. Penelitian ditemukan
gambaran-gambaran isian pada motif batik tradisi Giriloyo berdasarkan kelompok
motif geometris dan non geometris. Isian (isen) yaitu Cecek, Matan, Cecek Telu,
Cecek Pitu, Kembang Tiba, Mrutu Sewu, Gondosuli, Kembang Lombok, Mata