Top Banner
76 BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PERADILAN HAM BERAT A. Tinjauan Paradigma Perlindungan HAM Terhadap Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada diri hukum. Namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu yang lainnya. Di samping itu, karena hukum tidak hanya mengatur tentang hubungan antar individu di dalam pergaulan masyarakat, tetapi juga hubungan individu dengan lingkungan dan masyarakat sebagai salah satu kesatuan komunitas. Menurut Barda Nawawi, dalam konteks hak dan kewajiban antar individu, hak asasi manusia (HAM) pada hakikatnya mengandung dua wajah, yaitu HAM dalam arti “hak asasi manusia” dan “hak asasi masyarakat”. Inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan sekaligus identitas hukum, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan (Nawawi, 2011 : 57). Makna asas legalitas sebagai bentuk hak asasi yang berhubungan dengan perlindungan hukum, Menurut Mujahidin pada prinsipnya sama dengan pengertian “rule of law”. Jika asas legalitas dipandang sebagai bentuk perlindungan hukum itu dikaitkan dengan kedudukan Negara Republik Indonesia adalah “negara hukum”, maka sudah sewajarnya bahwa peran dan
21

BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

Nov 14, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

76

BAB IV

DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PERADILAN HAM

BERAT

A. Tinjauan Paradigma Perlindungan HAM Terhadap Pemberlakuan Asas

Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat

Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu

pada diri hukum. Namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara

individual selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu yang

lainnya. Di samping itu, karena hukum tidak hanya mengatur tentang

hubungan antar individu di dalam pergaulan masyarakat, tetapi juga

hubungan individu dengan lingkungan dan masyarakat sebagai salah satu

kesatuan komunitas.

Menurut Barda Nawawi, dalam konteks hak dan kewajiban antar

individu, hak asasi manusia (HAM) pada hakikatnya mengandung dua wajah,

yaitu HAM dalam arti “hak asasi manusia” dan “hak asasi masyarakat”.

Inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan sekaligus identitas hukum,

yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan (Nawawi, 2011 : 57).

Makna asas legalitas sebagai bentuk hak asasi yang berhubungan

dengan perlindungan hukum, Menurut Mujahidin pada prinsipnya sama

dengan pengertian “rule of law”. Jika asas legalitas dipandang sebagai bentuk

perlindungan hukum itu dikaitkan dengan kedudukan Negara Republik

Indonesia adalah “negara hukum”, maka sudah sewajarnya bahwa peran dan

Page 2: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

77

fungsi pengadilan untuk menegakkan hukum, harus berpijak dan

berlandaskan atas hukum. Dengan demikian, akan terbangun satu kesatuan

tindakan dan arah law inforcement bertindak menurut rule of law (Mujahidin,

2011 : 25).

Gagasan tentang negara hukum ( the rule of law) telah muncul dalam

bentuk-bentuk yang bervariasi dalam sistem hukum yang berbeda-beda, akan

tetapi pada hakikatnya memiliki tujuan umum yang sama, yaitu “the

achievement and preservation of freedom of individual human being againts

the arbitrary assaults of collective power” (penghargaan atas hak-hak

individu manusia dari penyalahan gunaan wewenang kekuasaan yang

kolektif/negara) (Fadjar, 2000 : 13).

Menurut Peters & Koesriani sebagaimana dikutip Mukhtie Fadjar

untuk mengantisipasi adanya pelanggaran maka dalam penegakan rule of law

harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :

a) Kekuasaan umum seharusnya digunakan untuk kepentingan umum;

b) Kekuasaan dilaksanakan untuk maksud yang setepatnya, ada larangan

penyalahgunaan kekuasaan (de tournement de puvoir);

c) Pembuatan keputusan administratif harus wajar, dalam arti atas dasar

fakta yang benar, relevan dan alasan yang sahih;

d) Sesuai dengan prisip persamaan dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia (HAM)

e) Terdapat prosedur bagi pihak yang berkepentingan untuk berargumentasi

misal lewat peradilan administrasi;

Page 3: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

78

f) Menghormati praktek-praktek yang lazim dan hak-hak yang telah

diperoleh (vested rights) (Fadjar, 2000 : 13).

Untuk melihat suatu kebijakan hukum dalam sudut pandang HAM

maka langkah awal yang perlu di uraikan adalah tentang “prespektif”.

“Presepektif” merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan dalam

memandang sesuatu hal bedasarkan cara-cara tertentu dan cara tersebut

berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur

pembentuknya dan ruang lingkup apa yang di pandangnya. Secara ringkas

presepektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai dan

gagasan yang mempengaruhi manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam

suatu konteks situasi tertentu (Marzuki, 2013 : 191).

Dalam praktik penerapan HAM, berkembang dua aliran presepektif

yang selalu diwarnai perdebatan antar keduanya. Aliran yang pertama yaitu

presepektif universal (universalisme). Menurut paham ini penerapan HAM

haruslah bersifat universal artinya HAM berlaku untuk semua orang,

dimanapun dan kapanpun (everyone and everyhere). Rhoda E. Howard yang

merupakan pendukung paham ini berpendapat bahwa hak asasi manusia

adalah hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Setiap manusia

memiliki hak asasi yang tidak dapat di ingkari dan di cabut kecuali dengan

keputusan hukum yang adil. Konsepsi HAM menganggap bahwa perbedaan

ras, jenis kelamin, gender bahkan agama tidak lagi relevan secara politik

hukum, sehingga menuntut adanya perlakuan yang sama bagi semua orang.

Universalisme merupakan pernyataan hukum dan prinsip, bukan sekedar

Page 4: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

79

pernyataan praktik sehingga harus di terapkan secara empirik (Marzuki, 2013

: 191).

Aliran yang kedua adalah aliran presepektif partikular

(partikularisme) dimana menurut pemahaman ini, pemberlakuan HAM

tidaklah bersifat universal, tetapi kontekstual. Kontekstualitas HAM yang

kemudian dikonstruksikan sebagai partikular itu setidaknya muncul semenjak

Asosiasi Antropolog Amerika menyerahkan pernyataan mereka tentang HAM

pada tahun 1947 kepada komisi HAM PBB ketika PBB akan menyusun

Deklarasi Unversal HAM. Menut mereka HAM abad 20 tidak bisa ditentukan

oleh standar budaya tertentu atau keinginan tertentu atau keinginan kelompok

tertentu (Marzuki, 2013 : 191).

Dalam konteks pemberlakuan asas retroaktif pada Undang-Undang

No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat (1)1

yang berbunyi :

“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

diundangkanya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh

pengadilan HAM ad hoc.”2

Dan ditegaskan kembali dalam penjelasan pasal 4 Undang-undang No.

39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :

“… Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat

dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia

yang digolongkan kedalam kejahatan kemanusiaan.”3

1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diakses dari

http://polkam.go.id/LinkClick.aspx?fileticket, pada tanggal 18 Maret 2014.

2 Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum

yang dibentuk oleh pemerintah, untuk menuntut, dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM

yang berat sebagaimana diatur dalam Bab VIII Undang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang

Pengadilan HAM.

Page 5: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

80

Jika ditinjau secara “yuridis normatif” kedua pasal dalam undang-

undang tersebut tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dimana

pasal 28 I ayat (1) menyebutkan “….hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun”. Hal ini karena menurut putusan

Mahkamah Konstitusi nomor 065/PUU-II/2004, pasal 28 I masih berkaitan

dengan pasal 28 J ayat (2) dimana pasal tersebut berbunyi “dalam

menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib menghormati hak asasi

manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan

undang-undang...” (Marzuki, 2013 : 195-196)

Atas dasar tersebut putusan MK nomor 065/PUU-II/2004 menolak

permohonan pemohon dengan dalil-dalil yang diajukan untuk uji material

undang-undang, sehingga pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan

oleh karenanya tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

Akan tetapi menurut penulis jika ditinjau dari presepektif

“perlindungan HAM,” kedua pasal yang memberlakukan asas retroaktif bagi

pelanggar HAM berat, merupakan pelanggaran HAM karena hak untuk tidak

dapat di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia

yang tergolong didalam hak asasi absolut yang tidak dapat dapat dikurangi

(non-deroghable rights). Menurut Ifdal Kasim, non-deroghable rights adalah

hak-hak yang tercakup dalam hak sipil dan politik yang bersifat absolut yang

3

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diakses dari

http://komnasham.go.id/uuri39.pdf/ pada tanggal 18 Maret 2014.

Page 6: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

81

tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun termasuk

sistem (negara).

Hak hak yang tergolong dalam non-deroghable right antara lain

adalah hak untuk hidup (rights to life), hak untuk bebas dari penyiksaan

(rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free

from slavery), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut dan hak atas

kebebasan berfikir, keyakinan dan agama (Kasim, 2001 : xii-xiii).

Lebih jauh Mukhtie Fadjar berpendapat bahwa pembatasan oleh pasal

28 J ayat (2) hanya dapat dilakukan terhadap hak-hak yang belum/tidak diatur

secara limitatif bedasarkan pasal 28 I ayat (1) yang antara lain adalah Hak

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi di hadapan hukum, dan termasuk hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut. Dengan kata lain pembatasan yang diperkenankan

hanyalah pada hak-hak yang tergolong dalam kategori deroghable rights (hak

yang boleh dikurangi oleh negara dalam keadaan tertentu). Yang termasuk

dalam deroghable rights antara lain hak atas kebebasan berkumpul secara

damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi

anggota serikat buruh serta hak kebebasan menyatakan pendapat atau

berekspresi (baik melalui lisan atau tulisan) (Marzuki, 2013 : 197).

Ahmad Roestandi sebagaimana dikutip Suparman Marzuki menilai

bahwa frasa “…hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”,

Page 7: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

82

khususnya kata-kata “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” adalah

kata-kata yang jelas yang dalam bahasa fiqh Islam adalah qoth‟i al-dilālah.

Jika pasal 28 ayat (2) bisa dimaknai untuk mengurangi dan membatasi

ketujuh hak yang diakui dalam pasal 28 I ayat (1), maka seharusnya tidak

perlu ada pengkhususan terhadap ketujuh kategori hak dalam pasal tersebut

(Marzuki, 2013 : 198).

B. Tinjauan Konsep Mashlahat Terhadap Pemberlakuan Asas Retroaktif

dalam Peradilan HAM Berat

Manusia sebagai mahluk Tuhan paling sempurna pada dasarnya di

karuniai sebuah “fitrah” (destiny) untuk menjadi khalifah di bumi. Untuk

merealisasikan fitrah-nya maka manusia memerlukan agama sebagai ajaran

kebajikan yang menuntun manusia untuk mencapai derajat khalifah

(Abdullah, 2003 : 125).

Meskipun harus berhadapan dengan tantangan modrenitas, agama

akan tetap mampu memainkan peran dan fungsinya dalam menciptakan

kesejahteraan, ketentraman manusia dalam peradabanya. Hal tersebut tentu

saja bergantung pada kemampuan umat beragama dalam memberikan

jawaban atas permasalahan sosial, ekonomi, budaya dalam tata kehidupanya.

Di perlukan interpretasi yang mampu menjawab tantangan perubahan

sosial sebagai akibat dari kemajuan sains dan humanisme. Masa depan

peradaban manusia tergantung kepada kemampuan “teolog” (mujtahid) dalam

menafsirkan ajaran-ajaran agama dan memahami secara cerdas perubahan

sosial dan kebudayaan agar senantiasa tercipta kesalihan dan ketaatan kepada

Page 8: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

83

tuntunan agama dalam dimensi waktu, tempat dan kultur tertentu (Woodward,

2000 : 185).

Richard Niebuhr sebagaimana dikutip Mark R. Woodward

menawarkan lima strategi dalam menyelaraskan agama dan kultur

(perkembangan peradaban) manusia pada zaman dan tempatnya, yaitu :

a. Religion against culture, disini agama dan kebudayaan dipahami secara

terpisah dan tidak boleh dicampur adukkan. Secara sederhana penulis

menyimpulkan adanya pembedaan antara agama yang bersifat benar secara

“mutlak” dan kebudayaan yang bersifat benar secara “relatif”, sehingga

jika manusia ingin mencapai kebenaran maka tidak boleh berdasar dengan

kebudayaan. Kebudayaan hanyalah sebuah “tatanan” yang tercipta akibat

hubungan manusia dengan lingkunganya.

b. Religion of culture, disini agama di intepretasikan dalam trem nilai-nilai

dan norma-norma budaya masyarakat. Ia berusaha menciptakan harmoni

antara agama dengan kebudayaan melalui seleksi ajaran-ajaran agama

yang cocok dengan kebudayaan masyarakat tertentu. Dengan stratrgi ini,

maka agama akan selalu mampu bersesuaian dengan kebudayaan dan

modrenitas.

c. Religion above culture, strategi ini tidak menganut pembedaan yang

radikal antara agama dengan kebudayaan. Kebudayaan merupakan bagian

dari ciptaan Tuhan. Strategi ini tidak memisahkan antara hasil-hasil

kebudayaan dari Tuhan, karena hasil-hasil itu tidak akan tercipta tanpa

anugrah-Nya. Pandangan ini berkeyakinan bahwa pengabdian manusia

Page 9: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

84

(berupa cipta rasa dan karsa) untuk meningkatkan kesejahteraan dan

keseimbangan hidupnya merupakan kewajiban dan perintah agama.

d. Religion and culture in paradox, pemahaman ini menekankan anugrah dari

Tuhan dan depravitas kemanusiaan. Kehidupan di dunia ini tidak banyak

memiliki arti. Keselamatan hanya bisa diraih dengan iman. Dalam

pandangan Islam kosep ini mendekati doktrin taqwa atau ketergantungan

yang tinggi terhadap Tuhan.

e. Religion as transformer of culture yang disebut oleh Neibuhr sebagai

“conversionist” dalam pandangan ini agama merupakan penuntun manusia

dalam hidup bermasyarakat. Sehingga kebudayaan yang dihasilkan dari

hasil pikiran manusia harus bisa diselaraskan dengan tuntunan agama

(Woodward, 2000 : 186-187).

Salah satu isu yang selalu mengiringi perkembangan kultur dan

modrenitas kehidupan manusia adalah hak asasi manusia (HAM). Hak asasi

manusia dalam perkembangan sejarahnya selalu bersinggungan dengan

berbagai aspek kehidupan manusia seperti politik, sosial, ekonomi dan

hukum. Jika HAM dimaknai sebagai bagian dari kultur maka penulis lebih

condong menggunakan strategi religion as transformer of cultre, dimana

HAM haruslah diselaraskan dengan aturan-aturan suci agama (syariat Islam)

agar HAM (yang merupakan bagian dari kultur) selaras dengan syariat.

Islam menaruh perhatian yang serius dalam menjaga nilai-nilai dasar

hak asasi manusia. Dalam presepektif sosio-historis Islam, hukum dan hak

asasi manusia diformulasikan sarat dengan muatan nilai kemashlahatan dan

Page 10: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

85

keadilan. (Mujahidin, 2011 : 24). Menurut Majid Khaduri dalam The Islamic

Conception of justice, dijelaskan bahwa :

“No subjects is more closely connected with the concept of justice

than “human rights” since justice would be meanigless if fundamental

rights of man were to be unrecognized or ignored by society. In

revelation, it will be recalled, two concepts of justice and rights were

implied in the abstract terms of al haq, wich is one of the ultimate

goals of the law (Khaduri, 1984 : 233).

“Tidak ada hal yang lebih dekat dengan konsep keadilan dari “hak

asasi manusia” karena keadilan akan tidak berarti jika hak-hak dasar

manusia itu harus tidak diakui atau diabaikan oleh masyarakat. Dalam

nash konsep keadilan dan hak-hak yang tersirat dalam istilah abstrak

“al haq”, yang merupakan salah satu tujuan utama dari hukum.

Hukum Islam (syari‟ah) sangat compatibel bagi segala kebutuhan dan

tuntutan kehidupan manusia. Melalui teks-teks sucinya (an-Nusus al-

Muqaddasah) dapat mewujudkan mashlahat pada setiap ketentuan hukumnya.

Fondasi bangunan hukum Islam itu dipresentasikan oleh maslahat yang

ditujukan bagi kepentingan hidup manusia sebagai hamba Allah, baik

menyangkut kehidupan duniawi manupun kehidupan ukhrawinya. Hukum

Islam menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan („adalah), kasih sayang

(rahmah) dan mashlahat. Eksistensi mashlahat dalam hukum Islam (syariah)

memang tidak bisa dinafikan karena al-mashlahat dan al-syari‟ah telah

bersenyawa dan menyatu, sehingga kehadiaran al-mashlahat meniscayakan

adanya tuntutan al-Syari‟ah (hukum Islam) (Asmawi, 2010 : 38).

Dalam konteks pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat di

Indonesia ada beberapa permasalahan yang jika ditinjau dari hukum Islam

saling bertentangan. Yang pertama terkait dengan pemberlakuan asas

retroaktif (berlaku surut) dalam peradilanya. Hal ini tentu bertentangan

Page 11: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

86

dengan konsep legalitas (hukum tidak boleh diberlakukan surut) dimana asas

legalitas dalam pemberlakuan hukum Islam mempunyai tujuan untuk

melindungi hak asasi manusia.

Kedua pelanggaran HAM berat merupakan jarȋmah (pidana) yang jika

tidak diadili maka akan mengancam kemashlahatan yang bersifat dharūriyah,

misalnya berupa hifdz al-nafs (karena salah satu perbuatan yang tergolong

sebagai pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan masal/genosida),

sehingga kewajiban untuk mengadili pelaku pelanggaran terhadap HAM berat

menjadi harus dilakukan supaya kemashlahatan dharūriyah tetap terjaga.

Permasalahan selanjutnya adalah jika kewajiban menjaga kemashlahatan

bersifat dharūriyah, berupa hifdz al-nafs bertentangan dengan legalitas

pemberlakuan hukum, maka apakah hal itu bisa menghalangi pemberlakuan

asas retroaktif dalam peradilan HAM berat, yang artinya “mengharamkan” atau

menolak pemberlakuan asas retroaktif.

Dalam hal ini penulis memandang pemberlakuan asas retroaktif dalam

pengadilan HAM berat, jika ditinjau dari konsep maslahat menjadi boleh,

bedasarkan pada kaidah fiqhiyah dalam al-Asybah wa al-Nadzāir „ala

Madzāhib Abȋ Hanifah al-Nu‟māni yang berbunyi :

(Al-Nujaim, 1999 : 76) عِيَ أعظمهما ضرًا بارتكاب أخفَهماوإذا تعارض مفسدتانُ ر

“Jika ada dua mafsadat yang bertentangan maka, di utamakan untuk

mencegah kemafsadatan yang lebih besar dengan melakukan

kemafsadatan yang lebih ringan.”

Page 12: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

87

Mafsadah yang saling bertentangan dalam hal ini yaitu :

a) Jika asas retroaktif ini diberlakukan maka akan melanggar asas legalitas

dalam hukum Islam. Hukum Islam yang bersifat positivistik merupakan

bentuk konkrit penghargaan dan perlindungan terhadpa hak asasi manusia

sebagai individu yang dilindungi hak-hak nya di hadapan hukum dengan

adanya kepastian hukum. Artinya, secara tidak langsung pemberlakuan

asas retroaktif merupakan mafsadah atas hak-hak kepastian hukum setiap

individu.

b) Jika memberlakukan asas legalitas sebagaimana diatur dalam hukum Islam

bedasarkan kaidah “tidak ada jarimah (pidana) dan hukuman sebelum

adanya nash (ketentuan hukum)”, artinya pelaku pelanggaran HAM berat

di Indonesia sebelum diundang-undangkanya UU No. 26 Tahun 2000

seperti kasus Tanjung Priok, tidak bisa dialdili, hal ini merupakan

kemafsadatan yang besar, karena mengancam eksistensi kemashlahatan

manusia yang bersifat dharuriyah misalnya berupa hifdz al-nafs (menjaga

jiwa).

Jika ditinjau dari segi maslahatnya, maka kemaslahatan untuk menegakan

keadilan dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, dimana didalamnya

terdapat kemaslahatan daruriyah yang bersifat umum (publik) lebih besar

dibanding kemaslahatan menegakkan asas legalitas untuk melindungi hak asasi

manusia pelaku pelanggran yang bersifat parsial (individual).

Bedasarkan dari dalil-dalil diatas maka penulis berkesimpulan bahwa

pemberlakuan asas retroaktif dalam peradilan terhadap pelanggaran HAM

Page 13: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

88

berat, jika ditinjau dari konsep mashlat al-tasyrȋ‟ dalam hukum Islam

hukumnya adalah boleh bedasarkan pada kemaslahatan yang lebih besar dan

bersifat umum.

C. Dialektika HAM dan Konsep Mashlahat Terhadap Pemberlakuan Asas

Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat.

Hukum sebagai manifestasi nilai-nilai luhur yang mengatur kehidupan

manusia dalam semua aspek, selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yang

melingkupinya. Hukum bukan lahir dari “yang hampa” (eksnihilo) di ruang

yang hampa (innihilo), melaikan lahir ditengah dinamika pergulatan kehidupan

masyarakat sebagai jawaban solusi atas problematika aktual yang muncul.

Problematika masyarakat selalu berkembang dan berubah seiring dengan

perubahan masyarakat itu sendiri. Secara fungsional, perubahan masyarakat

dalam berbagai aspeknya (baik ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain

sebagainya) harus di hadapi hukum secara sistematis, bervisi kedepan dan

secara sadar dirancang. Hal ini merupakan pengejawantahan dari fungsi hukum

sebagai pengendali masyarakat (social control), perekayasa sosial (social

enginering) dan pensejahtera sosial (social welfare). Melalui pola seperti ini

hukum akan mampu menghindari kekosongan peran dan akan selalu efektif

ditengah masyarakatnya (Abdillah, 2003 : 2).

Page 14: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

89

Hobel sebagaimana dikutip Sacipto Raharjo menjelaskan beberapa

peranan praktis hukum dalam masyarakat yang antara lain adalah :

1. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan

menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan-

perbuatan mana yang diperbolehkan.

2. Mengalokasikan kekuasaan dan mengaskan siapa-siapa yang boleh

menggunakan kekuasaan, atas siapa dan untuk apa beserta prosedur

penggunaanya.

3. Penyelesaian sengketa-sengketa.

4. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur

kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala keadaan

berubah (Raharjo, 1979 : 38).

Dalam konteks kepentingan umum (publik) hukum yang mengaturnya

disebut dengan hukum pidana (hukum publik). Menurut Jerome Hall sebagai

mana dikutip Abdul Jalil Salam, hukum pidana merupakan bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu wilayah hukum yang meletakkan

dasar-dasar aturanya sebagai berikut :

a) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dengan

disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang

melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana

yang telah diancam (ditentukan dalam perundang-undangan).

Page 15: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

90

c) Menentukan cara atau bagaimana pengenaan pidana terhadap orang yang

“disangka” telah melanggar larangan tersebut (Salam, 2010 : 194).

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya

mencapai tujuan-tujuan hukum baik itu ketertiban, keamanan dan

kemakmuran, maka diperlukan adanya sanksi atau hukuman bagi subyek

yang melanggar hukum. Adanya sanksi/hukuman/pidana dalam hukum

publik berfungsi untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah terjadinya

pidana (pelanggaran) lainya.

Dalam hukum Islam, pemidanaan atau hukuman disebut dengan

istilah „uqūbah.4 „Uqubah memiliki akar kata sama dengan „iqab yang

berarti hukuman, siksaan dan sakit atau pedih. „uqubah merupakan bentuk

balsan bagi seseorang atas perbuatanya yang dianggap telah melanggar

syara‟ yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tujuan dari adanya hukuman dalam Islam merupakan realisasi dari

tujuan hukum Islam, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan

secara umum dan pencegahan secara khsusus, serta perlindungan terhadap

hak-hak korban. Pemidanaan (penghukuman) dimaksudkan untuk

mendatangkan kemashlahatan umat dengan mencegah kezaliman atau

kemudharatan.

Abu Zahra dalam al-Jarȋmah wa al-„uqūbah fi al-Fiqh al-Islami

berpendapat bahwa hukuman dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman

individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa

4 Dalam kamus Al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa kata „uqūbah

berasal dari asal kata „aqaba-ya‟qibu/ya‟qibu-„aqban-„uquban. Kata tersebut identik dengan kata

al-„iqab dan al-qishash yang secara harfiyah berarti hukuman (Munawwir, 1997 : 1022).

Page 16: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

91

menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarkat baik berkenaan dengan

jiwa, harta maupun kehormatan (Zahra, tt : 211).

Menurut Abdul Jalil Salam, konsep dan tujuan penghukuman dalam

hukum Islam mempunyai keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh

hukum positif yang ada di negara-negara penganut aliran hukum positif baik

common law maupun civil law. Terdapat beberapa perbedaan karakter

penghukuman antara hukum positif dengan hukum Islam. Hal tersebut

antara lain yaitu :

a) Pertama, tujuan hukum pidana Islam menyatu dengan tujuan hidup

manusia, yaitu mengabdi kepada Allah SWT. Dalam konteks ajaran

Islam, hukum berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi

maupun masyarakat, yang sesuai dengan kehendak Allah SWT untuk

kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Hukum pidana

Islam jelas terlingkup dalam kesadaran ta‟abbudi umatnya. Sedangkan

dalam hukum pidana positif (barat), justru menafikan hubunganya

dengan Tuhan, dan lebih menekankan pada pencapaian kedamaian

dalam masyarakat dengan mengatur kepentingan-kepentingan antara

manusia dengan manusia lain dalam masyarakat.

b) Kedua, dalam hukum pidana Islam, metode penemuan hukumnya

deduktif kasuistik. Setiap peristiwa hukum diatur menurut aturan-aturan

pokok yang ada dalam sumber-sumber hukum Islam. Adanya aturan

hukum terlepas dari ada tidaknya masyarakat. Hukum diberlakuakn

pada siapa saja, meskipun ia tinggal sendirian di pulau terpencil. Jelas

Page 17: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

92

berbeda dengan metode yang diterapkan dalam hukum pidana positif

moderen yang bersifat induktif, yaitu penciptaan aturan-aturan umum

yang didasarkan pada pengamatan terhadap perbuatan-perbuatan dan

sikap anggota masyarakat. Dalam pidana positif moderen hukum baru

muncul apabila ada suatu komunitas masyarakat, minimal dua orang

manusia, jadi, dalam hukum positif moderen, orang yang hidup

sendirian disuatu tempat tidak dibebani hukum apalagi hukuman.

c) Ketiga, konsep keadilan yang menjadi prioritas hukum pidana Islam

adalah keadilan didasarkan dan ditentukan oleh keadilan Tuhan.

Keadilan yang lebih mengedepankan naluri keimanan dari pada sekedar

nalar (logika) manusia semata. Sedangkan keadilan yang di tentukan

oleh hukum pidana positif adalah keadilan yang di dasarkan pada

penalaran manusia (logika), yaitu keadilan yang ada dalam pikiran

masyarakat (Salam, 2010 : 215-216).

Pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime (kejahatan

luar biasa) yang dalam hukum sistem pengadilan di Indonesia dimasukkan

kedalam pengadilan khusus dibawah pengadilan umum. Kejahatan ini

merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dicegah guna kemashlahatan

yang lebih luas. Jika dikaitkan dengan teori penghukuman dalam arti luas,

apapun bentuk pelanggaran HAM haruslah di beri sanksi supaya ada efek

kejeraan terhadap pelaku dan efek pencegahan terhadap lainya, karena

HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi hukum.

Page 18: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

93

Permasalahanya, jika upaya penegakan HAM dalam upaya

mengadili pelaku pelanggaran HAM berat diberlakukan retroaktif, maka

upaya tersebut secara langsung melanggar hak asasi pelaku pelanggaran

karena hak untuk tidak dituntut bedasarkan hukum yang berlaku surut

merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.

Jika ditinjau dari konsep mashlahat, pelanggaran HAM berat harus

di adili, meskipun dalam proses penegakan keadilanya di berlakukan surut.

Hal ini bedasarkan pada kemashlahatan yang lebih besar dan bersifat

dharuri (kemashlahatan yang jika tidak terjaga dengan baik maka

keseimbangan hidup manusia di dunia dan akhirat akan rusak, misalnya

hifdz al-nafs) dibanding dengan menjaga kemashlahatan hak individual

pelaku pelanggaran (melindungi HAM pelaku).

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan asas

retroaktif dalam pengadilan HAM berat jika di tinjau dari presepektif HAM

merupakan pelanggaran HAM terhadap pelaku, sedangkan jika di tinjau dari

presepektif istishlāh (konsep mashlahat) hukumnya menjadi boleh atau

“legal”. Dua permasalahan yang bertentangan diatas menjadi fokus penulis

dalam penelitian ini untuk di dialogkan dalam konteks sekarang.

Dalam penelitian ini penulis ingin menggunakan teori dialektika

dalam pemaknaan klasik oleh Sokrates dimana dialektika diartikan sebagai

sebuah metode menemukan kebenaran dengan jalan dialog. Penerapan

metode ini adalah dengan membenturkan sebuah ide dengan ide lain melalui

Page 19: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

94

proses dialog antara kedua pandangan yang berbeda satu dengan lainya

(Syahrur, 2004 : 20).

HAM dan konsep mashlahat mempunyai pandangan yang berbeda

terhadap satu obyek kajian (terhadap pemberlakuan asas retroaktif dalam

HAM berat), hal ini tentu saja didasarkan atas dua sistem nilai sebagai

ukuran yang berbeda. HAM di dasarkan pada sistem nilai pikiran (logika)

manusia sedangkan konsep mashlahat di dasarkan pada sistem nilai ajaran

syariat Islam.

Hubungan hukum Islam dan HAM, menurut penulis bukanlah

hubungan yang “kompetitif”. Seharusnya, hubungan keduanya menjadi

hubungan yang “komplementer”. Artinya antara hukum Islam dan HAM

bisa di dialogkan untuk menemukan formulasi hukum yang sesuai.

Kesesuaian ini jika diartikan dalam arti yang luas bukan hanya berupa suatu

hukum baru hasil penggabungan dari keduanya, tetapi bisa juga berupa

“rasionalisasi” dari alasan-alasan hukum yang dapat diterima.

Sebelum lebih jauh mendialogkan kedua permasalahan tersebut,

penulis ingin mendefinisikan ulang pengertian pelanggaran HAM berat

dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 di jelaskan bahwa pelanggaran

HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide) pembunuhan sewenang-

wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing),

penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, diskriminasi

yang dilakukan secara sistematis (systemic descrimination).

Page 20: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

95

Dari pengertian tersebut maka pada dasarnya kriteria pelanggaran

HAM berat dapat dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama

menyebabkan hilangnya nyawa atau perbuatan yang menyebabkan luka

pada badan (fisik) dan kelompok kedua menyebabkan kerugian

“nonmaterial” misalnya diskriminasi yang menyebabkan kerugian hak-hak

tertentu bagi seseorang.

Jika ditinjau dari presepektif konsep mashlahat, alasan pembolehan

asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat adalah untuk menjaga

kemashlahatan manusia yang merupakan tujuan disyariatkanya sebuah

hukum (maqāsid al-khamsah). Sedangkan dalam presepektif HAM, alasan

utama ketidak bolehanya adalah untuk menjaga HAM pelaku pelanggaran

karena hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling asasi.

Dari uaraian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada titik temu

antara mashlahat dan HAM dalam pemberlakuan retroaktif. Pembolehan

konsep mashlahat dalam pemberlakuan asas retrokatif terbatas pada

kejahatan-kejahatan yang melanggar maqāsid al-khamsah yang berupa

menjaga agama, jiwa, akal, harta benda dan akal. Jika pelanggaran terhadap

HAM berat tidak mengancam eksistensi maqāshid al-syarȋah yang bersifat

dharuriyah, maka perlindungan terhadap HAM pelaku pelanggaran haruslah

di utamakan karena penerapan asas legalitas (hukum yang tidak berlaku

surut) juga merupakan asas pokok pemberlakuan hukum syariat Islam.

Page 21: BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat

96

Batasan pembolehan atas pemberlakuan asas retrokatif dalam

pelanggaran HAM berat pada perkara-perkara yang bertentangan dengan

maqāshid al-syarȋah yang bersifat dharuriyah (maqāsid al-khamsah)

menurut penulis adalah bentuk dialektika (kompromi) yang paling mungkin

dalam permaslahan tersebut. Dengan adanya dialektika antara keduanya

maka hubungan antara hukum Islam dan HAM bukanlah bersifat

“kompetitif” melainkan bisa bersifat “komplementer”.

`