76 BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PERADILAN HAM BERAT A. Tinjauan Paradigma Perlindungan HAM Terhadap Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada diri hukum. Namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu yang lainnya. Di samping itu, karena hukum tidak hanya mengatur tentang hubungan antar individu di dalam pergaulan masyarakat, tetapi juga hubungan individu dengan lingkungan dan masyarakat sebagai salah satu kesatuan komunitas. Menurut Barda Nawawi, dalam konteks hak dan kewajiban antar individu, hak asasi manusia (HAM) pada hakikatnya mengandung dua wajah, yaitu HAM dalam arti “hak asasi manusia” dan “hak asasi masyarakat”. Inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan sekaligus identitas hukum, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan (Nawawi, 2011 : 57). Makna asas legalitas sebagai bentuk hak asasi yang berhubungan dengan perlindungan hukum, Menurut Mujahidin pada prinsipnya sama dengan pengertian “rule of law”. Jika asas legalitas dipandang sebagai bentuk perlindungan hukum itu dikaitkan dengan kedudukan Negara Republik Indonesia adalah “negara hukum”, maka sudah sewajarnya bahwa peran dan
21
Embed
BAB IV DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP ...eprints.walisongo.ac.id/2549/6/125112085_Tesis_Bab4.pdf · No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
76
BAB IV
DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP
PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PERADILAN HAM
BERAT
A. Tinjauan Paradigma Perlindungan HAM Terhadap Pemberlakuan Asas
Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat
Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu
pada diri hukum. Namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara
individual selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu yang
lainnya. Di samping itu, karena hukum tidak hanya mengatur tentang
hubungan antar individu di dalam pergaulan masyarakat, tetapi juga
hubungan individu dengan lingkungan dan masyarakat sebagai salah satu
kesatuan komunitas.
Menurut Barda Nawawi, dalam konteks hak dan kewajiban antar
individu, hak asasi manusia (HAM) pada hakikatnya mengandung dua wajah,
yaitu HAM dalam arti “hak asasi manusia” dan “hak asasi masyarakat”.
Inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan sekaligus identitas hukum,
yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan (Nawawi, 2011 : 57).
Makna asas legalitas sebagai bentuk hak asasi yang berhubungan
dengan perlindungan hukum, Menurut Mujahidin pada prinsipnya sama
dengan pengertian “rule of law”. Jika asas legalitas dipandang sebagai bentuk
perlindungan hukum itu dikaitkan dengan kedudukan Negara Republik
Indonesia adalah “negara hukum”, maka sudah sewajarnya bahwa peran dan
77
fungsi pengadilan untuk menegakkan hukum, harus berpijak dan
berlandaskan atas hukum. Dengan demikian, akan terbangun satu kesatuan
tindakan dan arah law inforcement bertindak menurut rule of law (Mujahidin,
2011 : 25).
Gagasan tentang negara hukum ( the rule of law) telah muncul dalam
bentuk-bentuk yang bervariasi dalam sistem hukum yang berbeda-beda, akan
tetapi pada hakikatnya memiliki tujuan umum yang sama, yaitu “the
achievement and preservation of freedom of individual human being againts
the arbitrary assaults of collective power” (penghargaan atas hak-hak
individu manusia dari penyalahan gunaan wewenang kekuasaan yang
kolektif/negara) (Fadjar, 2000 : 13).
Menurut Peters & Koesriani sebagaimana dikutip Mukhtie Fadjar
untuk mengantisipasi adanya pelanggaran maka dalam penegakan rule of law
harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Kekuasaan umum seharusnya digunakan untuk kepentingan umum;
b) Kekuasaan dilaksanakan untuk maksud yang setepatnya, ada larangan
penyalahgunaan kekuasaan (de tournement de puvoir);
c) Pembuatan keputusan administratif harus wajar, dalam arti atas dasar
fakta yang benar, relevan dan alasan yang sahih;
d) Sesuai dengan prisip persamaan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia (HAM)
e) Terdapat prosedur bagi pihak yang berkepentingan untuk berargumentasi
misal lewat peradilan administrasi;
78
f) Menghormati praktek-praktek yang lazim dan hak-hak yang telah
diperoleh (vested rights) (Fadjar, 2000 : 13).
Untuk melihat suatu kebijakan hukum dalam sudut pandang HAM
maka langkah awal yang perlu di uraikan adalah tentang “prespektif”.
“Presepektif” merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan dalam
memandang sesuatu hal bedasarkan cara-cara tertentu dan cara tersebut
berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur
pembentuknya dan ruang lingkup apa yang di pandangnya. Secara ringkas
presepektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai dan
gagasan yang mempengaruhi manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam
suatu konteks situasi tertentu (Marzuki, 2013 : 191).
Dalam praktik penerapan HAM, berkembang dua aliran presepektif
yang selalu diwarnai perdebatan antar keduanya. Aliran yang pertama yaitu
presepektif universal (universalisme). Menurut paham ini penerapan HAM
haruslah bersifat universal artinya HAM berlaku untuk semua orang,
dimanapun dan kapanpun (everyone and everyhere). Rhoda E. Howard yang
merupakan pendukung paham ini berpendapat bahwa hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Setiap manusia
memiliki hak asasi yang tidak dapat di ingkari dan di cabut kecuali dengan
keputusan hukum yang adil. Konsepsi HAM menganggap bahwa perbedaan
ras, jenis kelamin, gender bahkan agama tidak lagi relevan secara politik
hukum, sehingga menuntut adanya perlakuan yang sama bagi semua orang.
Universalisme merupakan pernyataan hukum dan prinsip, bukan sekedar
79
pernyataan praktik sehingga harus di terapkan secara empirik (Marzuki, 2013
: 191).
Aliran yang kedua adalah aliran presepektif partikular
(partikularisme) dimana menurut pemahaman ini, pemberlakuan HAM
tidaklah bersifat universal, tetapi kontekstual. Kontekstualitas HAM yang
kemudian dikonstruksikan sebagai partikular itu setidaknya muncul semenjak
Asosiasi Antropolog Amerika menyerahkan pernyataan mereka tentang HAM
pada tahun 1947 kepada komisi HAM PBB ketika PBB akan menyusun
Deklarasi Unversal HAM. Menut mereka HAM abad 20 tidak bisa ditentukan
oleh standar budaya tertentu atau keinginan tertentu atau keinginan kelompok
tertentu (Marzuki, 2013 : 191).
Dalam konteks pemberlakuan asas retroaktif pada Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat (1)1
yang berbunyi :
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkanya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
pengadilan HAM ad hoc.”2
Dan ditegaskan kembali dalam penjelasan pasal 4 Undang-undang No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :
“… Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
yang digolongkan kedalam kejahatan kemanusiaan.”3
1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diakses dari
http://polkam.go.id/LinkClick.aspx?fileticket, pada tanggal 18 Maret 2014.
2 Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum
yang dibentuk oleh pemerintah, untuk menuntut, dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM
yang berat sebagaimana diatur dalam Bab VIII Undang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang