Page 1
95
BAB IV
ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM
PERNIKAHAN DI KECAMATAN SEMARANG SELATAN
A. Faktor Penyebab Konversi Agama dalam Pernikahan di Kecamatan
Semarang Selatan
Akibat tidak diaturnya dalam Undang-Undang perkawinan
yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia,
maka setiap pasangan yang mempunyai keyakinan berbeda harus
menyatukan agama yang sama, agar mendapatkan pengakuan sah
oleh Agama dan Negara. Hal ini yang manjadi latar belakang beda
agama ini memilih untuk konversi agama, tetapi konversi ini
sifatnya sementara, hanya untuk meloloskan pernikahan saja. Bisa
dilihat pada Pasal 2 ayat Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
tersebut”. Dengan ini berarti setiap Warga Negara Indonesia yang
akan melaksanakan pernikahan harus melewati lembaga agama
masing-masing dan tunduk terhadap aturan pernikahan setiap
agamanya. Hal tersebut menurut penulis yang menjadikan dasar
utama masyarakat Semarang Selatan untuk konversi
agama.Sebagaiamana penulis lihat dari kondisi sosial agama,
masyarakat Semarang Selatan sangat plural dan heterogen,
mempunyai keaneragaman agama, namun tetap bisa menghormati
Page 2
96
dan bergaul antara satu sama lain. Akibatnya ketika dua insan
berbeda keyakinan, ketika akan melangsungkan pernikahan, maka
lembaga agama tidak dapat menerima dan tidak dapat menikahkan
mereka kecuali salah satunya mengikuti agama pasangan.
Faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya konversi
agama dalam pernikahan dari hasil wawancara bisa disimpulkan
sebagai berikut:
1. Peraturan kawin beda agama
Akibat tidak diaturnya pernikahan beda agama, hal itu
menyebabkan pelaku memilih untuk konversi agama keagama
pasangan yang sifatnya sementara, seperti ED, GD, SW dan
ES. Dengan tidak bisa melangsungkan pernikahan akhirnya
memilih konversi agama ke agama pasangan. Keputusan itu
ditempuh untuk bisa melangsungkan pernikahan. Sebagaiaman
ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercyaannya itu”. Itu
artinya pasangan yang akan melangsungkan pernikahan harus
seagama. Jika kedua-duannya itu berlainan agama, menurut
ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan,
kecuali apabila pihak tertentu mengikuti agama salah satu
pasangannya.
Page 3
97
2. Pencatatan perkawinan
Dalam aturan undang-undang perkawinan no 1 Tahun
1974 ayat 2 ayat (2) menyebutkan “tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa suatu
perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam di
catatkan di KUA dan non-Muslim di Kantor Pencatatan Sipil.
Menurut penulis, pada adasarnya tujuan adanya
pencatatan pernikahan adalah agar seseorang memilik bukti
bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan
orang lain. Sebab, salah satu bukti yang dianggap sah adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan dan dibuat oleh Negara.
Ketika melihat aturan di Indonesia tidak akan memberikan
pelayanan bila seseroang yang ingin menikah beda keyakinan,
maka agar pernikahan bisa diproses dengan konversi agama.
Selanjutnya pernikahan mereka akan diproses dan dicatatkan.
Hal tersebut salah satu faktor penyebab para pelaku di
Kecamatan Semarang Selatan memutuskan konversi agama.
3. Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM
Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-undang
Perkawinan Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) serta KHI pasa 40 dan
Page 4
98
44 bertentangan dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang
menyebutkan “laki-laki dan perempuan dewasa dengan tidak
dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak
untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa
perkawinan, dan di kala perceraian”. Kemudian ayat 2,
“perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan
bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai”.
Selanjutnya ayat 3 menyebutkan “keluarga adalah kesatuan
sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak
mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara”.
Ini yang menjadi alasan beberapa pelaku seperti AE dan
HS. AE mengatakan “pernikahan tidak ada kaitan dengan
agama, biarkan orang yang beda agama membentuk keluarga,
mereka juga punya hak untuk hidup bersama” dan
HSberpendapat, “kebebasan memeluk agama sama halnya
dengan kebebasan akan menikah dengan siapapun
pasangannya, yang penting serius untuk menikah dan saling
cinta.
Menurut penulis, masalah pernikahan adalah domain
agama. Jika melihat pasal 2 ayat 1 itu digugat keabsahannya,
karena beranggapan bertentangan dengan HAM maka hal itu
akan bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945 pasal 28
Page 5
99
B. Kemudian ketika pasal 2 ayat 1 itu dibatalkan, maka hukum
Negara akan berbenturan dengan hukum-hukum agama.
B. Persepsi Hukum para Pelaku Konversi Agama dalam Pernikahan
Pengetahuan agama pada penganutnya tentu harus diiringi
dengan pemahaman tentang aturan-aturan yang memperbolehkan
dan melarang. Pemahaman agama sangat penting untuk mengukur
apakah penganutnya mengetahui akibat dari perbuatannya, apakah
melanggar atau tidak dan mempunyai akibat hukum atau tidak.
Setiap tindakan yang melanggar agama akan mendapatkan dosa
sebaliknya jika taat akan mendapatkan pahala. Berhubungan
dengan konversi agama yang dilakukan oleh masyarakat
Kecamatan Semarang Selatan, yang dilakukan oleh ED, GW, SW,
SO dan ES, tentu itu merupakan tindakan yang diperbolehkan
karena tidak ada pemaksaan dalam memeluk agama.Dengan
catatan Jika keputusan untuk konversi agama itu merupakan
keputusan yang sadar akan konsekwensi dan berusaha untuk
meyakini atas agama yang baru dipeluk. Namun akan mejadi
permasalahan dan mempunyai implikasi hukum ketika konversi
agama itu atas dasar memuluskan proses pernikahan saja. Karena
konversi agama yang dilakukan masyarakat Semarang Selatan
merupakan pensiasatan atau pura-pura dengan menundukan agama
ke pasangan, setelah tujuan dicapai mereka kembali ke agama
semula. Dalam hal ini menikah secara Islam ketika salah satu
Page 6
100
melakukan konversi agama ke agama asal, maka status suami isteri
beda agama, itu artinya melanggar syarat pernikahan secara Islam.
Beberapa tanggapan tentang hukumnya terhadap
pernkahan, ketika konversi agama:
Responden ED “lah wong nikah gak boleh beda agama, ya
saya pindah agama, setelah nikah mau pindah agama yang terserah
saya, wong udah ada kesepakatn dari kita”1
Responden GW “saya tau kalau nikah beda agama itu tidak
boleh, gimana lagi wong kita terlanjur cinta, niatnya salah satu dari
kami merelakan pindah agama untuk selamanya, tapi berubah
pikiran, yang penting saling menghormati, dan kami sekarang beda
agama, masih hidup bersama”2
Responden SO, “masa mau menikah aja susah karena tidak
ada aturan nikah beda agama, kami sudah mempertimbangkan
dengan matang masalah ini (tetap meyakini agama masing-
masing), yang penting kita menikah dulu lah, pura-pura aja masuk
ke agama pasangan”3 hal tersbut juga terjadi pada SW, SO dan AE.
Jadi Persepsi para pelaku mengenai hukum atas konversi
agama dalam pernikahan. berdasarkan uraian diatas, para pelaku
ada yang megetahui dan tidak mengetahui atas status hukum yang
diakibatkan konverai agama. Karena ketika memutuskan konversi
1Wawancara dengan ED, di kediamannya pada tanggal 27 Juni 2015
2 Wawancara dengan GW, di kediamannya pada tanggal 28 Juni 2015
3Wawancara dengan SO, di kediamaannya pada tanggal 29 Juni 2015
Page 7
101
agama merupakan siasat memuluskan proses pernikahan.
Dibuktikan rata-rata pelaku masih hidup bersama dan tidak ada
kesadaran bahwa pernikahan mereka telah melanggar aturan
pernikahan.
Perilaku keagamaan para pelaku konversi agama, perlu
mendapatkan perhatian, kritik dari tokoh, Menurut Sigmund dan
Karl Marx seperti yang dikutip oleh Ahmad Munir, (2013: 61)
bahwa manusia membutuhkan agama atau agama disapa oleh
manusia ketika manusia sedang dalam kondisi atau mengalami
kesusahan. Teori tersebut perlu di perhatikan oleh para pelaku
konversi agama, bahwa agama jangan hanya dibutuhkan ketika
sedang mengalami kesusahan, apalagi dibutuhkan dalam hal
memuluskan proses pernikahan dengan konversi agama.Tentu hal
itu sangat tidak terpuji.
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemahaman hukum
terhadap konversi agama, maka perlu diuraikan tingkat pemahaman
pengetahuan agama, tingkat pengamalan ibadah pokok, dan
komitmen sikap terhadap agama yang yakini. Hal tersebut agar
tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Seberapa pahamkah
pengetahuan pelaku terhadap konversi agamanya yang mempunyai
implikasi terhadap status penikahan dan akibat hukum yang timbul.
a) Tingkat Pengetahuan Agama Pelaku Konversi agama yang
dangkal
Page 8
102
Dari keseluruhan masyarakat yang melakukan konversi
agama, rata-rata kurang memahami akan agama yang dianut.
Contoh SW, Ia mengaku semasa hidupnya jarang melakukan
ibadah, dan tergolong masyarakat yang awam4 hal tersebut
terjadi juga pada SO, AE dan GD5. Kemudian konversi agama
yang dilakukan oleh HS, ES dan ED menutut pengakuan
mereka dalam menjalankan agamanya hanya melaksanakan hal
yang dasar saja, jadi tidak mengetahui akibat dari berpindah-
pindah agama dalam status pernikahannya6.
Menurut teori Jalaludin (1998: 95) kedewasaan
seseorang terlihat dari cara ia memeluk suatu agama secara
sadar. Teori tersebut sesuai dengan yang dilakukan oleh
masyarakat Semarang Selatan dalam keputusannya melakukan
konversi agama. Karena beragama seharusnya timbul atas dasar
keyakinan yang matang, dengan pertimbangan yang dibuktikan
dengan pengalaman-pengalaman beragama, tidak dengan
pengaruh nafsu belaka akan tetapi sadar bahwa keyakinan yang
akan dipeluk adalah agama yang terbaik. Disamping faktor lain,
yaitu mengikuti atau mewarisi agama orang tua (Ayah dan Ibu)
yang melahirkan dan membesarkan dari kecil sampai besar.
Dalam pandangan Ahmad Munir (2013: 58)
mengatakan bahwa agama merupakan system sosial yang
4Wawancara dengan SW di kediamannya pada tanggal 13 Maret 2015
5Wawancara dengan beberapa pelaku SO, AE dan GD di kediamannya pada
tanggal 12, 13, 14 Maret 2015 6 Wawancara dengan HS, ES dan ED di kediamanya pada tanggal 12, 13, 14
maret 2015
Page 9
103
dirumuskan dari fenomena-fenomena sosial yang disemangati
oleh tekanan dari luar diri manusia untuk membeikan kepastian
akan tercapainya keinginan yang ingin dicapai, yaitu
keselamatan. Itu artinya agama adalah sebuah keyakinan yang
akan memberikan kepastian supaya tercapainya tujuan. Tujuan
akan tercapai ketika hukum yang ada pada agama ditaati, tidak
mudah untuk dipermainkan dengan konversi agama.
Agama seharusnya menjadi tolak ukur disetiap tindakan
sehari-hari termasuk memutuskan untuk konversi agama ke
agama lain.Setiap agama pasti mempunyai aturan mengenai
kebolehan dan keharaman bagi setiap penganutnya. Apabila
penganut ingin mendapatkan kebahagiaan maka harus mentaati
aturan agama, supaya selamat di dunia juga dikhirat.
Agama dalam keihidupan individu berfungsi sebagai
suatu system nilai yang memuat norma-norma tertentu.Secara
umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersikap dan tingkah laku agar sejalan dengan keyakinan
agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki
arti yang husus dalam kehidupan individu serta dipertahankan
sebagai bentuk ciri khas (Jalaludin, 2011: 318)
Bagi masyarakat yang mengetahui dan sangat yakin
dengan agamanya maka konversi agama tentu sulit terjadi,
karena akan menjadi pertimbangan utama ketika melakukan
konversi agama. Sedangkan bagi masyarakat yang awam,
Page 10
104
mengenai pindah-pindah agama tentunya sangat rentan terjadi,
apalagi atas dasar mempunyai pasangan yang mempunyai
keyakinan yang berbeda.
Menurut bebearapa ahli, kualitas keberagaman pada
tiap-tiap individu mempunyai peran yang cukup tinggi. Ketika
setiap individu mempunyai kualitas keimanan yang tinggi tentu
akan memperjuangkan dengan sepenuh hati atas kebenaran
keyakinannya. Sehingga tidak mudah untuk konversi agama.
Konversi agama sering terjadi pada orang-orang yang
kurang religius, karena kelemahan iman, sehingga mudah
melakukan konversi agama dengan berlandasakan nafsu belaka.
Peneliti menganggap bahwa, terjadinya konversi agama bisa
terjadi pada agama Islam dan non Islam dengan dengan
berbagai tingkat keberagaman yang mayoritas rendah kualitas
keimanannya. Seperti konversi agama yang terjadi di
Kecamatan Semarang selatan, konversi agama dikarenakan
kurangnya pemahaman terhadap agamanya.
Hal yang perlu diketahui masyarakat yang memutuska
konversi agama, bahwa ajaran agama berisi nilai-nilai ajaran
moral yang berkaitan dengan pembentukan sifat-sifat yang
luhur. Itu artinya agama akan mengarahkan dan mengajarkan
pemeluknya untuk selalu melakukan perbuatan yang
dibolehkan dan dilarang melakukan yang tidak baik.Namun
demikian tidak semua penganut agama dapat menyerap secara
Page 11
105
utuh ajaran agamanya, seperti masyarakat yang melakukan
konversi agama di Kecamatan Semarang Selatan. Kelompok
seperti ini biasanya dikenal sebagai masyarakat yang awam.
Peneliti lebih condong memandang bahwa pada
umumnya masyarakat di Kecamatan Semarang Selatan yang
melakukan konversi agama tergolong belum taat terhadap
agamanya. Bahwa keyakinan beragama merupakan sebuah
perwujudan dalam hati dan pikiran, dan keyakinan beragama
yang dipeluk merupakan keyakinan yang akan membawa
kehidupannya bahagia di dunia dan akhirat. Jadi seharusnya
para pihak hendaknya mendalami tentang ajaran agamanya,
agar semakin yakin bahwa agamanya adalah pilihan yang
terbaik.
b) Tingkat Pengamalan Ibadah pada Pelaku Konversi agama.
Pengamalan dalam agama tentu akan mempengaruhi
tingkah laku penganutnya, bahkan ketika melakukan konversi
agama. Ketika pengamalan tersebut dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan penuh rasa tanggung jawab pasti akan
meningkatkan keimanan seseorang, hal itu menunjukan
keyakinan yang dipilih merupakan pilihan yang terbaik.
Pengamalan beribadah akan mempengaruhi seseorang perilaku
untuk konversi agama, semakin taat pengamalan seseorang
akan semakin kuat dengan agama yang dianut, sehingga tidak
mudah berpindah-pindah agama.
Page 12
106
Responden ED dari Katholik Konversi agama ke Islam,
Setelah menikah kembali lagi ke agama asal.dia tinggal
bersama bersama suami di Kelurahan Peterongan RT 7 RW
IV.ED sebelum memutuskan menikah dengan SD (suami)
tergolong aktif terhadap agamanya. Dibuktikan semasa
keduanya masih pacaran SD pernah mengantar ke Gereja.
Berjalannya waktu pada akhirnya mereka memutuskan untuk
melanjutkan pernikahan, tetapi terhambat oleh keyakinan yang
berbeda, dan mereka sepakat untuk mempertahankan agama
masing-masing, maka ED menundukan agama sementara.
Penuturan ED “Kami ibadah ya seperlunya saja, ya kira-kira
yang wajib saja” 7.
Responden GD (non-Muslim/Katholik) dengan DW
(Muslim/Isteri) pasangan ini bertempat di Kelurahan Randusari
Kecamatan Semarang Selatan RT 6 RW IV. Pasangan ini sudah
menjalin keluarga cukup lama, Ibu DW masih rajin bribadah,
bahkan sering mengikuti pengajian ibu-ibu di Masjid al Falah,
salah satu masjid terdekat. Namun tidak dengan Bapak GD
(Katholik), beliau ke gereja, hampir disetiap minggu berangkat
untuk beribadah”8. Dibuktikan lagi dengan pendapat tetangga
ketika Ibu mengadakan tahlilan dirumahnya, ketika jamaah
menanyakan keberadaan Bapak GD, jawaban ibu bapak
Gunawan ternyata bukan beragama Islam.
7 Wawancara dengan ED, pelaku konversi agama pada tanggal 13 Maret 2015
8 Wawancara dengan GD (pelaku konversi) pada tanggal 18 Maret 2015
Page 13
107
Responden DO (Muslim) dengan Ibu SW (non-
Muslim/Katholik) bertempat di Kelurahan Bulustalam
Kecamatan Semarang Selatan. Keluarga ini menjalin keluarga
sudah sekian lama, memiliki 3 anak. Menurut pengakuan
Bapak DO beliau belum taat menjalankan ibadah, bapak DO
mengaku belum tergugah hatinya untuk melakukan ibadah,
sedangkan Istri beberapa kali aktif ke gereja, namun 3 Tahun
terkahir sudah tidak aktif, karena dilarang oleh suaminya
(Bapak DO)9.
Dari hasil wawancara di atas, menurut penulis tingkat
pengamalan ibadah dari rata-rata pelaku hanya sekedar
melaksanakan yang diwajibkan, tetapi tidak bisa mendalami
hukum akibat dari tindakan konversi agama dalam pernikahan.
Hal tersebut juga terjadi pada ES, SW, AE, dan HS. Para
pelaku mengetahui hanya sebatas kewajiban pokok, ibadah
yang diwajibkan pada setiap agama. Dan tidak memahami
secara benar terhadap akibat hukum dari konversi agama dalam
pernikahan, walaupun masih ada yang menyadari keabsahan
pernikahannya, tetapi lebih memilih mempertahankan
pernikahaanya, karena pertimbangan anak dan lainnya.
C. Status Hukum menurut fiqih dan Implikasi Hukum Akibat
Konversi Agama dalam Pernikahan di Kecamatan Semarang
Selatan
9 Wawancara dengan SO (pelaku konversi) pada tanggal 19 Maret 2015
Page 14
108
1. Status hukum akibat konversi agama dalam pernikahan
perspektif fiqih
Pernikahan merupakan suatu peristiwa sejarah dalam
kehidupan manusia yang memiliki dimensi ruang dan waktu
serta urgensitas yang kompleks. Karena dari pernikahan
tersebut akan menimbulkan terjadi peristiwa-peristiwa baru di
kemudian hari, seperti terjadi harta bersama, kelahiran anak,
hukum kewarisan dan sebagainya (Sri Turatmiyah dan
Arfianna Novera, 2013: 2)
Di Kecamatan Semarang Selatan, terdapat sepasang
suami isteri yang beragama Islam, keduanya menikah dengan
rukun dan syarat pernikahan yang ditentukan oleh Negara dan
agama. Pernikahan kedua pasangan sah,baik secara agama
maupun Negara. Tetapi ditengah pernikahan itu, salah satu dari
pasangan (suami atau isteri) keluar dari agama Islam, salah
satu pasangan murtad. Dalam pandangan fiqih murtadnya salah
satu pasangan hal tersebut mengakibatkan terputusnya
pernikahan, atau dalam fiqih lebih dikenal dengan
pernikahannya fasakh.
Berkaitan dengan putusnyanya pernikahan, berikut
beberapa paparan mengenaibentuk putusnya pernikahan
menurut hukum Islam yang dipaparkan oleh (Hamdani, 1986:
34) dikenal dengan tiga macam.
1. Talak
Page 15
109
Talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
suami untuk menolak atau menghentikan berlangsungnya
suatu pernikahan. Cara yang pertama dalam suatu
penghentian pernikahan menurut hukum Islam yang lazim
dipergunakan adalah secara talak.
Hal ini terjadi kadangkala seorang istri atas dasar
beberapa sebab dan alasan, mengusul untuk ditalak, yaitu
dengan sangat meminta atau memaksa suaminya agar
memberikan talak kepadanya. Kalau dalam hal ini suami
menerima keinginnan istrinya itu, maka dengan demikian
dianggap bahwa penghentian perkawinan ini berlaku
berdasar kesepakatan bersama antara suami dan istri.
2. Khulu’
Penghentian pernikahan dengan cara khulu’, yaitu
suatu perbuatan yang dilakukan oleh si Istri dengan cara
mengembalikan maskawin kepada suami supaya dengan
demikian pernikahan dapat dihentikan. Dibeberapa daerah
seperti di Jawa Tengah, yang pada umumnya mas kawin di
bayar dengan harga rendah, dan kadang-kadang dengan
cara meminjam sebelumnya. Maka dengan demikian bagi
istri adalah mudah untuk menghentikan pernikahannya.
3. Fasakh
Page 16
110
Cara ketiga yang membuat penghentian pernikahan
adalah fasakh, yaitu cara ini dapat digunakan oleh suami
atau istri, dan mereka masing-masing mempunyai hak
untuk mengajukan permohonan ke hadapan hakim, dengan
suatu alasan agar pernikahan dapat digugurkan. Contohnya
apabila si istri mengatakan masih perawan ketika sebelum
akad dilakukan, atau perjanjian pernikahan dilaksanakan,
namun setelah perjanjian pernikahan, si istri ternyata pernah
melakukan hubungan dengan laki-laki lain. Maka ada syarat
yang tidak terpenuhi seperti apa yang dahulu pernah
diutarakan di perjanjian pernikahan.
Menurut pendapat para ahli fiqih, seperti yang
dikatankan oleh Sayyid Sabiq (1980: 133) apabila dalam
perkawinan salah satu dari kedua belah pihak, baik si suami
ataupun Isteri berpindah agama (pindah agama dari Islam
kelain agama) maka perkawinan tersebut menjadi fasakh
dan kedua belah pihak harus segera mungkin dipisahkan.
Perpindahan agama (murtad) yang dilakukan oleh salah
satu pihak merupakan suatu kejadian yang dapat
mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan demi hukum
dalam hal ini hukum Islam. Karena perkawinan dapat
menjadi putus dengan 2 alasan berikut ini:
1. Apabila salah seorang dari pasangan suami isteri murtad
dari agama Islam, dan tidak mau kembali sama sekali,
Page 17
111
maka akadnya menjadi fasak atau batal, yan disebabkan
murtad
2. Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetpai
Isteri tetap dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh.
Sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Quran QS.al-
Baqarah ayat 217:
Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka
Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan
mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya
(QS. al-Baqarah: 217)
Fasakh dalam pernikahan mengandung pengertian
membatalkan akad nikah dan melepaskan ikatan yang
mengikat antara suami dan isteri. Fasakh bisa disebabkan
adanya sesuatu yang membatalkan akad nikah saat akad
nikah berlangsung atau disebabkan adanya sesuatu yang
menyebabkan terganggunya ikatan perkawinan.
Contoh fasakh yang disebabkan adanya sesuatu
yang membatalakan akad saat akad nikah sedang
berlangsung adalah :
1. Setalah akad nikah dilangsungkan, ternyata istrinya
adalah saudara satu susuan. Dengan adanya kondisi
Page 18
112
seperti ini, akad nikah yang sudah berlangsung menjadi
batal dan harus di fasakh.
2. Pasangan suami istri yang masih anak-anak diakadkan
oleh selain ayah atau kakeknya. Setelah mereka dewasa,
mereka berhak untuk meneruskan ikatan perkawinan
atau mengakhirinya. Pilihan ini disebut sebagai khiyar
baligh. Jika salah seorang pasangan memilih untuk
mengakhiri ikatan perkawinan, hal yang demikian
dinamakan fasakh akad.
Contoh fasakh yang disebabkan adanya sesuatu
yang menyebabkan terganggunya ikatan perkawinan
adalah :
1. Jika salah seorang dari suami istri keluar dari agam
Islam dan tidak mau kembali pada Islam, maka
dengan sendirinya akad nikah menjadi fasakh (batal)
disebabkan kemurtadan
2. Jika suami yang sebelumnya kafir kemudian
memeluk agam Islam, tetapi istri enggan memeluk
agama Islam dan tetap mejadi musyrik, maka akad
menjadi fasakh. Hal ini berbeda jika istri adalah ahl
al-Kitab. Dalam kasus seperti ini, akad nikah tetap
dianggap sah. Sebab, akad nikah dengan perempuan
ahli tetap kitab adalah sah.
Page 19
113
Perceraian yang disebabkan dengan fasakh
berbeda dengan yang disebabkan dengan
talak.Sebab perceraian yang disebabkan dengan
talak terbagi menjadi talak raj’i dan talak
ba’in.Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan
perkawinan. Sedangkan talak ba’in mengakhiri
pernikahan dengan seketika (Sabiq, 2009: 103)
Begitu juga menurut Neng jubaedah (2010:
93) bahwa, ketika rukun perkawinan tidak
terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah
perkawinan tersebut “batal demi hukum”, tetapi jika
syarat perkawinan tidak terpenuhi, maka
perkawinan itu “dapat dibatalkan”. Kadang-kadang
ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga
memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya
tergantung kepada keputusan hakim, misalnya
fasakh karena istri musyrik enggan masuk Islam
(Hamdani, 1989: 258).
Hukum Islam menghukumi pernikahan
tersebut menjadi fasakh dalam Ilmu fiqih atau batal
dalam perundang-undangan Indonesia. Karena
walau bagaiamanapun, fasakh diterima sebagai
salah satu cara untuk membubarkan perkawinan
berasaskan pada prinsip yang terkandung dalam
Page 20
114
hadis Nabi SAW yang berbunyi la darar wala dirar
(Abdullah, tt: 3) kemadharatan harus dihilangkan,
apabila pernikahan akan memunculkan
kemdharatan, maka keduanya harus dipisahkan,
untuk tujuan menghilangkan munculnya
kemadharatan.
Berkaitan dengan fenomena di Kecamatan
Semarang selatan, yang masih mempertahankan
pernikahan mereka. Maka perlu adanya tindakan
tegas, adapun terkait penyelesaian dalam pandangan
fiqih bahwa perceraian disebabkan karena
kesislaman seorang isteri sedangkan suami dalam
kekafiran atau karena murtadnya suami sementara
isteri sedang atau masih dalam keislamannya
menurut fiqih harus di fasakh. Yaitu sebuah bentuk
perceraian yang sebenarnya tidak dikehendaki baik
suami atau isteri, akan tetapi perceraian harus terjadi
sematan-mata karena perintah syari’ (agama).
Adapun berkaitan dengan penyelesaiannya
dengan pengadilan, hanya semata-mata memenuhi
kehendak undang-undang. Hal tersebut supaya
bubarnya perkawinan tersebut, secara formil yuridis,
memiliki kekuatan hukum dan kekuatan
pembuktian. Hukum apapun yang diterapkan oleh
Page 21
115
PN dalam menyelesaikan kasus tersebut, tidak ada
pengaruhnya dari kaca mata fiqih, karena menurut
fiqih, terhitung murtadnya suami atau isteri, nikah
mereka batal demi hukum karena pernikahannya di
fasakh (Husnaini, tt: 10)
Lebih jelas lagi, terkait pelaksaan putusan
dalam pandangan Ulama Sunni, Wahbah az-Zuhaili
(1986: 621) mengakatakan, apabila seorang suami
dan isteri murtad dari agama Islam, terdapat 2
putusan, sebagai berikut:
Pertama, Perkawinan mereka seketika berakhir
tanpa menunggu putusan hakim (secara umum,
putusan ini terdapat dalam kitab-kitab Mazhab
Imam Hanafi dan Imam Maliki). Kedua, suami isteri
itu harus dipisahkan, namun putusanya pernikahan
tersebut harus menunggu selesainya iddah. Apabila
pihak yang murtad kembali masuk agama Isalm
sebelum masa iddah selesai, maka keduanya tetap
sebagai suami dan isteri. Namun apabila sampai
berakhirnya masa iddah ia tidak kembali masuk
islam, maka pernikahan pun putus (Secara umum,
putusan ini dimuat dalam kitab-kitab mazhab Imam
Syafi’i dan Imam Hambali).
Page 22
116
Berdasarkan pembahasan di atas dan
beberapa perbedaan pendapat, menurut peneliti,
pernikahan yang terjadi di Kecamatan Semarang
Selatan. Meskipun masih ada perbedaan putusan
dalam kitab-kitab itu tentang terjadinya fasakh.,
Namun tampak jelas tidak ada perbedaan pendapat
akan ketentuan putusnya pernikahan karena
murtadnya salah satu pihak suami dan isteri.
Bagaimana pun pernikahan yang semacam itu
harusnya di fasakh. Apabila pernikahan tersebut
tetap dilaksanakan dan dilanjutkan maka akan
banyak permasalahn yang muncul.
Lebih jelas lagi penegasan dalam al-Qur’an.
Bahwa Seharusnya perkawinan yang seperti ini para
pelaku wajib memutuskan perkawinan dengan
suami yang murtad, QS.al-Mumtahanah ayat 10.
Page 23
117
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah
kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.(QS. al-mumtahanah: 10)
Ketegasan ini disebabkan antara lain, bahwa
yang murtad tidak memelihara atau menepati janji
dengan Allah, apalagi sama manusia. Selanjutnya
karena dalam kasus ini, agama, demikian juga dalam
ketentuan perundang-undangan Indonesia,
pembatalan atau perceraian harus dilakukan dan
disahkan di pengadilan Agama. Kasus sejalan
dengan QS.al-Mumtahanah: ayat 7 (Shihab, 2011:
104)
Page 24
118
Jadi pernikahan yang terjadi di Kecamatan
Semarang Selatansudah tidak memenuhi syarat,
yaitu suami istri yang tidak seagama. Menurut fiqih
murtadnya salah satu pihak maka mengakibatkan
pernikahannya dapat di fasakh. Tetapi yang terjadi
di masyarakat Semarang Selatan masih
mempertahankan pernikahannya, Maka menurut
peneliti perlu ada kesadaran hukum terkait yang
menyebabkan pernikahannya di fasakh. Apabila
tetap diteruskan maka selama pasangan melakukan
kebutuhan biologis maka perbuatan tersebut
tergolong zina, karena dilakukan di dalam
pernikahan yang menurut fiqih harus di fasakh.
Penjatuhan fasakh dalam pandangan fiqih terhitung
seketika itu setelah salah satu pasangan murtad.
Ketika akan melanjutkan pernikahan maka keduanya
harus melakukan akad kembali dan menyatukan
agama terlebih dahulu.
2. Implikasi hukum akibat konversi agama dalam pernikahan
Page 25
119
Akibat Hukum Terjadinya Konversi Agama dalam
Pernikahan sebagaimana yang dipraktekan beberapa
Responden Penelitian ini, Menurut penulis akan banyak
implikasi akibat dari konversi agama, yang mengakibatkan
perkawinan di fasakh, berikut peneliti uraikan Iimplikasi
hukumnya:
a) Pernikahan menjadi beda agama
Pernikahan yang awalnya sah, namun salah
satu pasangan melakukan konversi agama,
menyebabkan keduan pasangan beda agama.
Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan antara
pihak yang mempunyai keyakinan beda agama
dilarang, karena akan banyak memunculkan
madharat yang lebih banyak disbanding mashlahat.
Dalam pandangan Islam, pernikahan antar
muslim dengan musyrik diharamkan, sebagaimana
penjelasan QS al Baqaarah ayat 221:
Yang artinya : dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu (QS al Baqarah : 221)
Ayat 221 surat Al-Baqarah tersebut di atas,
menjadi dasar akan haramnya perkawinan muslim
dengan Musyrik, Yusuf Qardhawi (2003: 260)
Page 26
120
berpendapat bahwa seorang laki-laki muslim haram
menikahi perempuan musyrikah, sebagaimana
seorang wanita muslimah haram dinikahkan dengan
seorang laki-laki musyrik, karena perbedaan yang
sangat mencolok diantara dua keyakinan itu.
Namun Ulama masih berselisih pendapat
terkait wanita kitabi atau ahl al kitab10
. Ulama ada
yang memperbolehkan menikahi wanita kitabi
dengan alasan wanita kitabi tidak termasuk dalam
kategori musyrik. Pandangan tersebut berpedoman
pada QS al-Maidah ayat 5
Yang artinya : pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-
orang merugi. (Qs. al-Maidah: 5)
10
Sebutan untuk keturunan yang menerima dan sekaligus berpegang kepada
kitab-kitab sebalum Al-Qur’an. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang
terkumpul kedalam taurat, Zabur dan Injil ; yakni kumpulan wahyu yang pernah Allah
turunkan kepada mereka. (lihat, Abu Jamin Rohim, 2009: 27). lihat juga Muhammad
Abdul Rasyid, Umat Yahudi, Umat Kristen, dan Umat Islam semua di sebut Ahlul Kitab
dalam Al Qur’an karena mereka punya banyak kesamaan dalam keyakinan agama mereka
menganut agama samawi. (Muhammad Abdul Rasyid, 2007: 35)
Page 27
121
Kelompok yang membolehkan perkawinan
antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitab,
yakni pendapat mayoritas ulama, kecuali Abdullah
bin Umar. Mereka mendasarkan pada QS. al-
Maidah ayat 5 ini, dan didukung oleh praktek
sejarah. Pada zaman Nabi ada Sahabat yang
melakukannya, seperti Talhah Ibnu Ubaidiyah
(Zahrah, 1957: 113)
Begitu juga al-Nawawy (t.t: 192)
mengungkapkan bahwa Imam Syafi’i, mengatakan
kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita ahl
al-Kitab tersebut apabila mereka beragama menurut
Taurat dan Injil sebelum diturunkan al-Qur’an.
Namun setelah diturunkan al-Qur’an, dan mereka
tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak
termasuk ahl al-Kitab.
Disamping itu, ada pendapat lain dari ulama
Syafiiyah menegaskan bahwa yang dimaksud ahl al-
Kitab yang halal dinikahi adalah mereka yang
memeluk agama nenek moyang sebelum Nabi
Muhammad diutus dan setelah itu tidak dapat
dikatakan ahl al-Kitab (Sayis, 1953: 168)
Page 28
122
Lebih jelasnya, bahwa Seiring dengan
meningkatnya populasi muslimah, serta timbulnya
kekawatiran Umar r.a bisa jadi suami yang miskin
tergoda oleh istrinya yang ahl al-Kitab, maka Umar
r.a melarang laki-laki muslim menikah dengan
wanita ahl al-Kitab. Umar berpendapat seandainya
izin yang diberikan Rasul masih diterapkan,
khawatir wanita-wanita muslim tidak mendapatkan
suami, hal ini merupakan ancaman bagi
kelangsungkan generasi Islam. Larangan Umar r.a
sejalan dengan semangat QS.al-Baqarah : 221 yang
melarang laki-laki muslim menikah dengan wanita
musyrikah, dan wanita muslimah dengan laki-laki
musyrik. Ijtihad Umar r.a masih relevan untuk
diterapkan pada zaman kontemporer ini, terlebih
pada saat tidak bisa dibedakan lagi antara ahl al-
Kitab, karena kitab-kitab samawi yang ada sudah
diubah dari aslinya (Husnaini, tt: 10).
Dengan demikian kawin dengan non muslim
(kendatipun berasal dari ahl al-Kitab), sama saja
dengan menikahi kaum Musyrik, yang dengan tegas
dilarang dalam Al-Quran. Walaupun dalam Hukum
Islam masih memungkinkan perkawinan antara
muslim dengan ahl Al-kitab, namun menurut
Page 29
123
penulis, dengan melihat pengertian dan kategori ahl
al-kitab ini, akan sangat sulit menemukan wanita
ahl al-Kitab pada zaman sekarang terutama di
Indonesia, dan mempunyai kriteria yang tidak
mudah bagi wanita ahl al-Kitab yang boleh
dinikahi.
Menurut Abdul Hadi Muthohar (2003: 165)
berkaitan dengan tindakan Ulama Indonesia tentang
ahl al-Kitab, dalam hal ini MUI dengan fatwanya
melarang muslim menikahi non-Muslimah termasuk
kitabiyah. Bahwa larangan tersebut berdasarkan
pada alasan bahwa mafsadah-nya lebih besar dari
pada mashlahat-nya. Menurut Atho’ (tt, 180)
pendapat MUI itu malahan bertentangan dengan
Quran dan tentu saja tidak sejalan dengan doktrin-
doktrin fiqih klasik.
Lebih lanjut lagi menurut Abdul Hadi
(2003: 165) yang dikutip dari pendapat Abdul
Wahab Khalaf (1968: 197) berkaitan dengan fatwa
MUI yang malarang muslim menikahi non-
Muslimah (kitabiyah), bahwa fatwa tersebut
mempunyai maksud bahwa menangkap tujuan
umum disyariatkannya hukum Islam, jadi bukan
kehendak menentang Quran Surat al-Maidah ayat 5,
Page 30
124
yaitu demi meraih kemasalahatan. Sedangkan
mereka tidak melihat adanya ke-maslahat-an
pernikahan antar pemeluk agama itu, tetapi
sebaliknya justru menimbulkan banyak ke-
mafsadat-an.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, dengan
mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama,
Islam dengan selain Islam, ke dalam bab larangan
perkawinan. Pasal 40 huruf (c): “dilarang
melangsungkan pernikahan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu,
huruf (c) seseorang wanita yang tidak beragama
Islam, dan pasal 44 berbunyi: seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seeorang pria yang tidak beragama Islam (Bisri,
1999: 151-152)
Menurut pandangan Undang-undang
Perkawinan No 1 tahun 1974, dalam Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan berbunyi “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”
dalam penjelasannya Undang-Undang Perkawinan
ditegaskan “dengan perumusan pasal 2 ayat 1 ini,
tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing
Page 31
125
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945” (Yanggo dan
Anshary, 2008: 30)
Prof Dr. Hazairin, SH (1986: 2) secara tegas
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya
dengan menyatakan. “bagi orang Islam tidak ada
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar aturan
agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang
Kristen dan orang Hindu atau Hindu-Bundha seperti
yang dijumpai di Indonesia”.
Jadi jelas, dari pandangan hukum Islam, KHI
dan Undang-undang Perkawinan melarang adanya
pernikahan beda agama. Dalam hal ini berkaitan
dengan pernikahan yang terjadi di Kecamatan
Semarang Selatan, bahwa pernikahan yang terjadi
pada para pelaku, setelah memutuskan konversi
agama setelah pernikahan maka kedudukan kedua
pasangan menjadi beda agama. Apabila terdapat
sebuah pernikahan yang kedua belah pihak beda
agama, pernikahan tersebut haram hukumnya.
Menurut penulis pernikahan beda agama akan
berpotensi memunculkan problem dalam keluarga.
Penulis sepakat dengan penghararaman atas
pernikahan tersebut.Karena dengan pertimbangan
Page 32
126
pernikahan tersebut banyak memunculkan banyak
madharat dibanding maslahat.
b). Status Kelahiran Anak
Anak yang sah menempati kedudukan
(strata) yang paling tinggi dan paling sempurna
dimata hukum dibandingkan dengan anak dalam
kelompok-kelompok yang lain.Karena anak yang
sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh
hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang
paling tinggi diantara golongan-golongan yang lain,
Hak sosial dan hak untuk mendapatkan penamaan
ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya
(Witanto, 2012: 37).
Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam
atau sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah,
demikianlah ketentuan dalam pasal 42 Undang-
undang perkawinan (Subekti, 1990: 13) Menurut
pasal 42 UU perkawinan dan pasal 1 ayat 2 yang
menyakatakan bahwa perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dari kedua ketentuan diatas
jika diartikan secara bersama maka anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam suatu
perkawinan yang sah menurut agama atau
Page 33
127
kepercayaan dari suami istri atau anak yang lahir
sebagai akibat dari perkawinan menurut agama dan
kepercayaan yang dianut oleh suami dan istri yang
melangsungkan perkawinan (Witanto. 2012: 137).
Seorang anak mendapatkan kedudukan
hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si
anak didasarkan pada perkawinan orang tua yang
sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak
tersebut dibenihkan pada saat orangtuanya telah
melangsungkan perkawinan yang sah atau karena
kelahiran itu berada pada dalam ikatan perkawinan
yang sah (Witanto, 2012: 39).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai
status anak, bahwa salah satu tujuan pernikahan
adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, baik
oleh Negara atau Agama, dimana ikatan pernikahan
itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
pernikahan yang berlaku, terlebih lagi ketentuan
hukum Islam yang sangat menentukan keabsahan
suatu pernikahan, dan dengan sendirinya anak yang
dilahirkannya akan sah pula (Lilis, 2009: 69). Rata-
rata pernikahan yang terjadi di Kecamatan
Semarang Selatan yang melakukan konversi agama
telah menghasilkan anak, dan anak tersebut lahir
Page 34
128
dalam keadaan pernikahan yang difasakh atau tidak
sah.Contohnya saja GD yang memiliki 2 orang
anak, ED 1 anak dan SW 2 orang anak.
Dalam pandangan fiqih berkenaan dengan
anak sah dapat dipahami bahwa anaka sah dimulai
sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur
(ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita
calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam
pernikahan yang sah (Rahman, 2003: 46) Berkaitan
status pernikahan akibat dari konversi agama, salah
satu keluar dari Islam, yang dalam pandangan fiqih
pernikahannya di fasakh atau telah bercerai. Maka
keduanya tidak lagi diperkenankan tinggal satu
rumah, dan juga tidak diperkenannkan lagi
melakukan hubungan suami isteri. Dengan
demikian, apabila keduanya masih tinggal bersama,
dalam satu rumah, dan tetap melakukan hubungan
biologis yang dalam hubungan tersebut
menghasilkan anak, Maka anak-anak yang lahir
tidak bisa disebut sebagai hasil dari pernikahan yang
tidak sah.
Page 35
129
c). Hak Waris anak
Harta waris merupakan harta yang diberikan
dari orang yang telah meninggal kepada orang-
orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-
kerabatnya, Islam sudah mengatur secara jelas
mengenai pembagian harta waris, salah satunya hak
waris bagi anak.
Hak waris anak: syarat-syarat pewarisan
dalam syariat Islam:
a) Orang yang mewarisi benar telah meninggal
dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa
dia telah meninggal
b) Orang yang mewaris hidup pada saat orang yang
mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan
dengan hukum
c) Ada hubungan antara orang yang mewaris dan
orang yang mewarisi, yaitu: a. hubungan nasab
yaitu hubungan kekerabatan atau keturunan. b.
hubungan pernikahan adalahseseorang dapat
mewarisi atau istri dari seorang yang mewariskan
sebagaimana Firman Allah SWT c, Hubungan
perbudakan dan d. karena hubungan agama Islam
(Nasution: 2012: 75)
Page 36
130
Dari uraian di atas mengenai syarat-syarat
pewarisan dari dalam Islam, dijelaskan bahwa
yang berhak mendapatkan hak waris adalah
orang-orang terdekat dan saudara, Maka anak
termasuk ke dalam orang yang berhak menerima
waris. Anak yang lahir dari sebuah pernikahan
yang sah tentu akan mendapatkan hak atas
warisnya. Karena anak mempunyai hubungan
dengan orang yang mewarisi yaitu orang tua.
Hubungan Mewaris dan orang yang mewarisi
adalah disebabkan ada hubungan nasab atau
keturunan, hubungan pernikahan, dan hubungan
Islam. Jadi pihak yang tidak mempunyai
hubungan seperti disebutkan di atas tidak
termasuk golongan yang mendapatkan hak waris.
Pada awalnya seseorang sudah berhak
mendapat warisan, tetapi oleh karena ada suatu
keadaan tetentu yang mengakibatkan dia tidak
bisa menerima warisan. Keadaan tersebut sebagai
berikut:
a) Pembunuhan, seseorang yang membunuh
orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta
orang yang terbunuh.
Page 37
131
b) Berlainan agama, berlainan agama
dimaksudkan bahwa seseorang yang beragam
Islam tidak dapat mewarisi kepada orang non-
Muslim, demikian sebaliknya.
c) Perbudakan adalah milik dari tuannya secara
mutlak, karena itu dia tidak berhak memiliki
harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang
yang mewariskan dan tidak jadi yang
mewarisi dari siapapun (Nasution, 2012: 79).
Dalam Agama Islam, perbedaan
agama dalpat menjadi penghalang dalam
memperoleh warisan. Berkaitannya dengan
fenomena konversi agama dalam pernikahan,
yang kedudukan pernikahan pada suami dan
isteri menjadi beda agama (Muslim-non-
Muslim). Hal ini meyebabkan tidak bisa
saling mewarisi, Karena orang kafir tidak bisa
mewarisi harta orang Islam, dan juga
sebaliknya. Landasan hukum larangan
tersebut ialah ayat yang berbunyi:
Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir
Page 38
132
untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman.(QS. an-Nisa; 141)
Dan juga hadis Nabi SAW.
(متفق عليه) ال يرث المسلم الكا فر وال الكا فر المسلم
Artinya : “seorang Muslim tidak boleh
mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak
boleh mewarisi orang muslim” (ash-
Shan’ani, 1960: 98 )
Ayat dan Hadis di atas tersebut
merupakan larangan saling mewarisi antara
orang yang berbeda keyakinan. Dan juga
anak tidak bisa mewarisi harta dari orang
tuanya yang beda agama akibat dari konversi
agama dalam pernikahan.
Sebagai ahli waris utama, Anak tidak
mempunyai halangan apapun dalam
menerima warisan. Tetapi akan berbeda jika
dalam kelurga yang awalnya suami isteri
beragama Islam, kemudian konversi agama
menjadi Muslim dan non-Muslim. Karena
kedudukan pernikahan tersebut menjadi beda
agama, dan beda agama akan menjadi
pengahalang atas anak untuk memperoleh
warisan. Anak yang lahir dari pernikahan
beda agama tidak bisa mendapatkan warisan,
Page 39
133
seperti yang sudah dijelaskan dalam hadis
dan al Quran di atas.
Hal tersebut merupakan implikasi
dari konversi agama dalam pernikahan yang
terjadi di Kecamatan Semarang Selatan.
Implikasi tersebut tentu akan menjadi
persoalan bagi keluarga tersebut, terutama
anak yang lahir dari pernikahan yang
dihasilkan dari pernikahan beda agama.