Top Banner
95 BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM PERNIKAHAN DI KECAMATAN SEMARANG SELATAN A. Faktor Penyebab Konversi Agama dalam Pernikahan di Kecamatan Semarang Selatan Akibat tidak diaturnya dalam Undang-Undang perkawinan yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia, maka setiap pasangan yang mempunyai keyakinan berbeda harus menyatukan agama yang sama, agar mendapatkan pengakuan sah oleh Agama dan Negara. Hal ini yang manjadi latar belakang beda agama ini memilih untuk konversi agama, tetapi konversi ini sifatnya sementara, hanya untuk meloloskan pernikahan saja. Bisa dilihat pada Pasal 2 ayat Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut”. Dengan ini berarti setiap Warga Negara Indonesia yang akan melaksanakan pernikahan harus melewati lembaga agama masing-masing dan tunduk terhadap aturan pernikahan setiap agamanya. Hal tersebut menurut penulis yang menjadikan dasar utama masyarakat Semarang Selatan untuk konversi agama.Sebagaiamana penulis lihat dari kondisi sosial agama, masyarakat Semarang Selatan sangat plural dan heterogen, mempunyai keaneragaman agama, namun tetap bisa menghormati
39

BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

Jul 16, 2019

Download

Documents

phamdiep
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

95

BAB IV

ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM

PERNIKAHAN DI KECAMATAN SEMARANG SELATAN

A. Faktor Penyebab Konversi Agama dalam Pernikahan di Kecamatan

Semarang Selatan

Akibat tidak diaturnya dalam Undang-Undang perkawinan

yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia,

maka setiap pasangan yang mempunyai keyakinan berbeda harus

menyatukan agama yang sama, agar mendapatkan pengakuan sah

oleh Agama dan Negara. Hal ini yang manjadi latar belakang beda

agama ini memilih untuk konversi agama, tetapi konversi ini

sifatnya sementara, hanya untuk meloloskan pernikahan saja. Bisa

dilihat pada Pasal 2 ayat Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun

1974 disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

tersebut”. Dengan ini berarti setiap Warga Negara Indonesia yang

akan melaksanakan pernikahan harus melewati lembaga agama

masing-masing dan tunduk terhadap aturan pernikahan setiap

agamanya. Hal tersebut menurut penulis yang menjadikan dasar

utama masyarakat Semarang Selatan untuk konversi

agama.Sebagaiamana penulis lihat dari kondisi sosial agama,

masyarakat Semarang Selatan sangat plural dan heterogen,

mempunyai keaneragaman agama, namun tetap bisa menghormati

Page 2: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

96

dan bergaul antara satu sama lain. Akibatnya ketika dua insan

berbeda keyakinan, ketika akan melangsungkan pernikahan, maka

lembaga agama tidak dapat menerima dan tidak dapat menikahkan

mereka kecuali salah satunya mengikuti agama pasangan.

Faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya konversi

agama dalam pernikahan dari hasil wawancara bisa disimpulkan

sebagai berikut:

1. Peraturan kawin beda agama

Akibat tidak diaturnya pernikahan beda agama, hal itu

menyebabkan pelaku memilih untuk konversi agama keagama

pasangan yang sifatnya sementara, seperti ED, GD, SW dan

ES. Dengan tidak bisa melangsungkan pernikahan akhirnya

memilih konversi agama ke agama pasangan. Keputusan itu

ditempuh untuk bisa melangsungkan pernikahan. Sebagaiaman

ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974

bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercyaannya itu”. Itu

artinya pasangan yang akan melangsungkan pernikahan harus

seagama. Jika kedua-duannya itu berlainan agama, menurut

ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan

pelaksanaannya, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan,

kecuali apabila pihak tertentu mengikuti agama salah satu

pasangannya.

Page 3: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

97

2. Pencatatan perkawinan

Dalam aturan undang-undang perkawinan no 1 Tahun

1974 ayat 2 ayat (2) menyebutkan “tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa suatu

perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam di

catatkan di KUA dan non-Muslim di Kantor Pencatatan Sipil.

Menurut penulis, pada adasarnya tujuan adanya

pencatatan pernikahan adalah agar seseorang memilik bukti

bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan

orang lain. Sebab, salah satu bukti yang dianggap sah adalah

dokumen resmi yang dikeluarkan dan dibuat oleh Negara.

Ketika melihat aturan di Indonesia tidak akan memberikan

pelayanan bila seseroang yang ingin menikah beda keyakinan,

maka agar pernikahan bisa diproses dengan konversi agama.

Selanjutnya pernikahan mereka akan diproses dan dicatatkan.

Hal tersebut salah satu faktor penyebab para pelaku di

Kecamatan Semarang Selatan memutuskan konversi agama.

3. Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM

Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-undang

Perkawinan Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) serta KHI pasa 40 dan

Page 4: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

98

44 bertentangan dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang

menyebutkan “laki-laki dan perempuan dewasa dengan tidak

dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak

untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka

mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa

perkawinan, dan di kala perceraian”. Kemudian ayat 2,

“perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan

bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai”.

Selanjutnya ayat 3 menyebutkan “keluarga adalah kesatuan

sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak

mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara”.

Ini yang menjadi alasan beberapa pelaku seperti AE dan

HS. AE mengatakan “pernikahan tidak ada kaitan dengan

agama, biarkan orang yang beda agama membentuk keluarga,

mereka juga punya hak untuk hidup bersama” dan

HSberpendapat, “kebebasan memeluk agama sama halnya

dengan kebebasan akan menikah dengan siapapun

pasangannya, yang penting serius untuk menikah dan saling

cinta.

Menurut penulis, masalah pernikahan adalah domain

agama. Jika melihat pasal 2 ayat 1 itu digugat keabsahannya,

karena beranggapan bertentangan dengan HAM maka hal itu

akan bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945 pasal 28

Page 5: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

99

B. Kemudian ketika pasal 2 ayat 1 itu dibatalkan, maka hukum

Negara akan berbenturan dengan hukum-hukum agama.

B. Persepsi Hukum para Pelaku Konversi Agama dalam Pernikahan

Pengetahuan agama pada penganutnya tentu harus diiringi

dengan pemahaman tentang aturan-aturan yang memperbolehkan

dan melarang. Pemahaman agama sangat penting untuk mengukur

apakah penganutnya mengetahui akibat dari perbuatannya, apakah

melanggar atau tidak dan mempunyai akibat hukum atau tidak.

Setiap tindakan yang melanggar agama akan mendapatkan dosa

sebaliknya jika taat akan mendapatkan pahala. Berhubungan

dengan konversi agama yang dilakukan oleh masyarakat

Kecamatan Semarang Selatan, yang dilakukan oleh ED, GW, SW,

SO dan ES, tentu itu merupakan tindakan yang diperbolehkan

karena tidak ada pemaksaan dalam memeluk agama.Dengan

catatan Jika keputusan untuk konversi agama itu merupakan

keputusan yang sadar akan konsekwensi dan berusaha untuk

meyakini atas agama yang baru dipeluk. Namun akan mejadi

permasalahan dan mempunyai implikasi hukum ketika konversi

agama itu atas dasar memuluskan proses pernikahan saja. Karena

konversi agama yang dilakukan masyarakat Semarang Selatan

merupakan pensiasatan atau pura-pura dengan menundukan agama

ke pasangan, setelah tujuan dicapai mereka kembali ke agama

semula. Dalam hal ini menikah secara Islam ketika salah satu

Page 6: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

100

melakukan konversi agama ke agama asal, maka status suami isteri

beda agama, itu artinya melanggar syarat pernikahan secara Islam.

Beberapa tanggapan tentang hukumnya terhadap

pernkahan, ketika konversi agama:

Responden ED “lah wong nikah gak boleh beda agama, ya

saya pindah agama, setelah nikah mau pindah agama yang terserah

saya, wong udah ada kesepakatn dari kita”1

Responden GW “saya tau kalau nikah beda agama itu tidak

boleh, gimana lagi wong kita terlanjur cinta, niatnya salah satu dari

kami merelakan pindah agama untuk selamanya, tapi berubah

pikiran, yang penting saling menghormati, dan kami sekarang beda

agama, masih hidup bersama”2

Responden SO, “masa mau menikah aja susah karena tidak

ada aturan nikah beda agama, kami sudah mempertimbangkan

dengan matang masalah ini (tetap meyakini agama masing-

masing), yang penting kita menikah dulu lah, pura-pura aja masuk

ke agama pasangan”3 hal tersbut juga terjadi pada SW, SO dan AE.

Jadi Persepsi para pelaku mengenai hukum atas konversi

agama dalam pernikahan. berdasarkan uraian diatas, para pelaku

ada yang megetahui dan tidak mengetahui atas status hukum yang

diakibatkan konverai agama. Karena ketika memutuskan konversi

1Wawancara dengan ED, di kediamannya pada tanggal 27 Juni 2015

2 Wawancara dengan GW, di kediamannya pada tanggal 28 Juni 2015

3Wawancara dengan SO, di kediamaannya pada tanggal 29 Juni 2015

Page 7: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

101

agama merupakan siasat memuluskan proses pernikahan.

Dibuktikan rata-rata pelaku masih hidup bersama dan tidak ada

kesadaran bahwa pernikahan mereka telah melanggar aturan

pernikahan.

Perilaku keagamaan para pelaku konversi agama, perlu

mendapatkan perhatian, kritik dari tokoh, Menurut Sigmund dan

Karl Marx seperti yang dikutip oleh Ahmad Munir, (2013: 61)

bahwa manusia membutuhkan agama atau agama disapa oleh

manusia ketika manusia sedang dalam kondisi atau mengalami

kesusahan. Teori tersebut perlu di perhatikan oleh para pelaku

konversi agama, bahwa agama jangan hanya dibutuhkan ketika

sedang mengalami kesusahan, apalagi dibutuhkan dalam hal

memuluskan proses pernikahan dengan konversi agama.Tentu hal

itu sangat tidak terpuji.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemahaman hukum

terhadap konversi agama, maka perlu diuraikan tingkat pemahaman

pengetahuan agama, tingkat pengamalan ibadah pokok, dan

komitmen sikap terhadap agama yang yakini. Hal tersebut agar

tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Seberapa pahamkah

pengetahuan pelaku terhadap konversi agamanya yang mempunyai

implikasi terhadap status penikahan dan akibat hukum yang timbul.

a) Tingkat Pengetahuan Agama Pelaku Konversi agama yang

dangkal

Page 8: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

102

Dari keseluruhan masyarakat yang melakukan konversi

agama, rata-rata kurang memahami akan agama yang dianut.

Contoh SW, Ia mengaku semasa hidupnya jarang melakukan

ibadah, dan tergolong masyarakat yang awam4 hal tersebut

terjadi juga pada SO, AE dan GD5. Kemudian konversi agama

yang dilakukan oleh HS, ES dan ED menutut pengakuan

mereka dalam menjalankan agamanya hanya melaksanakan hal

yang dasar saja, jadi tidak mengetahui akibat dari berpindah-

pindah agama dalam status pernikahannya6.

Menurut teori Jalaludin (1998: 95) kedewasaan

seseorang terlihat dari cara ia memeluk suatu agama secara

sadar. Teori tersebut sesuai dengan yang dilakukan oleh

masyarakat Semarang Selatan dalam keputusannya melakukan

konversi agama. Karena beragama seharusnya timbul atas dasar

keyakinan yang matang, dengan pertimbangan yang dibuktikan

dengan pengalaman-pengalaman beragama, tidak dengan

pengaruh nafsu belaka akan tetapi sadar bahwa keyakinan yang

akan dipeluk adalah agama yang terbaik. Disamping faktor lain,

yaitu mengikuti atau mewarisi agama orang tua (Ayah dan Ibu)

yang melahirkan dan membesarkan dari kecil sampai besar.

Dalam pandangan Ahmad Munir (2013: 58)

mengatakan bahwa agama merupakan system sosial yang

4Wawancara dengan SW di kediamannya pada tanggal 13 Maret 2015

5Wawancara dengan beberapa pelaku SO, AE dan GD di kediamannya pada

tanggal 12, 13, 14 Maret 2015 6 Wawancara dengan HS, ES dan ED di kediamanya pada tanggal 12, 13, 14

maret 2015

Page 9: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

103

dirumuskan dari fenomena-fenomena sosial yang disemangati

oleh tekanan dari luar diri manusia untuk membeikan kepastian

akan tercapainya keinginan yang ingin dicapai, yaitu

keselamatan. Itu artinya agama adalah sebuah keyakinan yang

akan memberikan kepastian supaya tercapainya tujuan. Tujuan

akan tercapai ketika hukum yang ada pada agama ditaati, tidak

mudah untuk dipermainkan dengan konversi agama.

Agama seharusnya menjadi tolak ukur disetiap tindakan

sehari-hari termasuk memutuskan untuk konversi agama ke

agama lain.Setiap agama pasti mempunyai aturan mengenai

kebolehan dan keharaman bagi setiap penganutnya. Apabila

penganut ingin mendapatkan kebahagiaan maka harus mentaati

aturan agama, supaya selamat di dunia juga dikhirat.

Agama dalam keihidupan individu berfungsi sebagai

suatu system nilai yang memuat norma-norma tertentu.Secara

umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam

bersikap dan tingkah laku agar sejalan dengan keyakinan

agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki

arti yang husus dalam kehidupan individu serta dipertahankan

sebagai bentuk ciri khas (Jalaludin, 2011: 318)

Bagi masyarakat yang mengetahui dan sangat yakin

dengan agamanya maka konversi agama tentu sulit terjadi,

karena akan menjadi pertimbangan utama ketika melakukan

konversi agama. Sedangkan bagi masyarakat yang awam,

Page 10: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

104

mengenai pindah-pindah agama tentunya sangat rentan terjadi,

apalagi atas dasar mempunyai pasangan yang mempunyai

keyakinan yang berbeda.

Menurut bebearapa ahli, kualitas keberagaman pada

tiap-tiap individu mempunyai peran yang cukup tinggi. Ketika

setiap individu mempunyai kualitas keimanan yang tinggi tentu

akan memperjuangkan dengan sepenuh hati atas kebenaran

keyakinannya. Sehingga tidak mudah untuk konversi agama.

Konversi agama sering terjadi pada orang-orang yang

kurang religius, karena kelemahan iman, sehingga mudah

melakukan konversi agama dengan berlandasakan nafsu belaka.

Peneliti menganggap bahwa, terjadinya konversi agama bisa

terjadi pada agama Islam dan non Islam dengan dengan

berbagai tingkat keberagaman yang mayoritas rendah kualitas

keimanannya. Seperti konversi agama yang terjadi di

Kecamatan Semarang selatan, konversi agama dikarenakan

kurangnya pemahaman terhadap agamanya.

Hal yang perlu diketahui masyarakat yang memutuska

konversi agama, bahwa ajaran agama berisi nilai-nilai ajaran

moral yang berkaitan dengan pembentukan sifat-sifat yang

luhur. Itu artinya agama akan mengarahkan dan mengajarkan

pemeluknya untuk selalu melakukan perbuatan yang

dibolehkan dan dilarang melakukan yang tidak baik.Namun

demikian tidak semua penganut agama dapat menyerap secara

Page 11: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

105

utuh ajaran agamanya, seperti masyarakat yang melakukan

konversi agama di Kecamatan Semarang Selatan. Kelompok

seperti ini biasanya dikenal sebagai masyarakat yang awam.

Peneliti lebih condong memandang bahwa pada

umumnya masyarakat di Kecamatan Semarang Selatan yang

melakukan konversi agama tergolong belum taat terhadap

agamanya. Bahwa keyakinan beragama merupakan sebuah

perwujudan dalam hati dan pikiran, dan keyakinan beragama

yang dipeluk merupakan keyakinan yang akan membawa

kehidupannya bahagia di dunia dan akhirat. Jadi seharusnya

para pihak hendaknya mendalami tentang ajaran agamanya,

agar semakin yakin bahwa agamanya adalah pilihan yang

terbaik.

b) Tingkat Pengamalan Ibadah pada Pelaku Konversi agama.

Pengamalan dalam agama tentu akan mempengaruhi

tingkah laku penganutnya, bahkan ketika melakukan konversi

agama. Ketika pengamalan tersebut dilakukan dengan sungguh-

sungguh dan penuh rasa tanggung jawab pasti akan

meningkatkan keimanan seseorang, hal itu menunjukan

keyakinan yang dipilih merupakan pilihan yang terbaik.

Pengamalan beribadah akan mempengaruhi seseorang perilaku

untuk konversi agama, semakin taat pengamalan seseorang

akan semakin kuat dengan agama yang dianut, sehingga tidak

mudah berpindah-pindah agama.

Page 12: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

106

Responden ED dari Katholik Konversi agama ke Islam,

Setelah menikah kembali lagi ke agama asal.dia tinggal

bersama bersama suami di Kelurahan Peterongan RT 7 RW

IV.ED sebelum memutuskan menikah dengan SD (suami)

tergolong aktif terhadap agamanya. Dibuktikan semasa

keduanya masih pacaran SD pernah mengantar ke Gereja.

Berjalannya waktu pada akhirnya mereka memutuskan untuk

melanjutkan pernikahan, tetapi terhambat oleh keyakinan yang

berbeda, dan mereka sepakat untuk mempertahankan agama

masing-masing, maka ED menundukan agama sementara.

Penuturan ED “Kami ibadah ya seperlunya saja, ya kira-kira

yang wajib saja” 7.

Responden GD (non-Muslim/Katholik) dengan DW

(Muslim/Isteri) pasangan ini bertempat di Kelurahan Randusari

Kecamatan Semarang Selatan RT 6 RW IV. Pasangan ini sudah

menjalin keluarga cukup lama, Ibu DW masih rajin bribadah,

bahkan sering mengikuti pengajian ibu-ibu di Masjid al Falah,

salah satu masjid terdekat. Namun tidak dengan Bapak GD

(Katholik), beliau ke gereja, hampir disetiap minggu berangkat

untuk beribadah”8. Dibuktikan lagi dengan pendapat tetangga

ketika Ibu mengadakan tahlilan dirumahnya, ketika jamaah

menanyakan keberadaan Bapak GD, jawaban ibu bapak

Gunawan ternyata bukan beragama Islam.

7 Wawancara dengan ED, pelaku konversi agama pada tanggal 13 Maret 2015

8 Wawancara dengan GD (pelaku konversi) pada tanggal 18 Maret 2015

Page 13: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

107

Responden DO (Muslim) dengan Ibu SW (non-

Muslim/Katholik) bertempat di Kelurahan Bulustalam

Kecamatan Semarang Selatan. Keluarga ini menjalin keluarga

sudah sekian lama, memiliki 3 anak. Menurut pengakuan

Bapak DO beliau belum taat menjalankan ibadah, bapak DO

mengaku belum tergugah hatinya untuk melakukan ibadah,

sedangkan Istri beberapa kali aktif ke gereja, namun 3 Tahun

terkahir sudah tidak aktif, karena dilarang oleh suaminya

(Bapak DO)9.

Dari hasil wawancara di atas, menurut penulis tingkat

pengamalan ibadah dari rata-rata pelaku hanya sekedar

melaksanakan yang diwajibkan, tetapi tidak bisa mendalami

hukum akibat dari tindakan konversi agama dalam pernikahan.

Hal tersebut juga terjadi pada ES, SW, AE, dan HS. Para

pelaku mengetahui hanya sebatas kewajiban pokok, ibadah

yang diwajibkan pada setiap agama. Dan tidak memahami

secara benar terhadap akibat hukum dari konversi agama dalam

pernikahan, walaupun masih ada yang menyadari keabsahan

pernikahannya, tetapi lebih memilih mempertahankan

pernikahaanya, karena pertimbangan anak dan lainnya.

C. Status Hukum menurut fiqih dan Implikasi Hukum Akibat

Konversi Agama dalam Pernikahan di Kecamatan Semarang

Selatan

9 Wawancara dengan SO (pelaku konversi) pada tanggal 19 Maret 2015

Page 14: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

108

1. Status hukum akibat konversi agama dalam pernikahan

perspektif fiqih

Pernikahan merupakan suatu peristiwa sejarah dalam

kehidupan manusia yang memiliki dimensi ruang dan waktu

serta urgensitas yang kompleks. Karena dari pernikahan

tersebut akan menimbulkan terjadi peristiwa-peristiwa baru di

kemudian hari, seperti terjadi harta bersama, kelahiran anak,

hukum kewarisan dan sebagainya (Sri Turatmiyah dan

Arfianna Novera, 2013: 2)

Di Kecamatan Semarang Selatan, terdapat sepasang

suami isteri yang beragama Islam, keduanya menikah dengan

rukun dan syarat pernikahan yang ditentukan oleh Negara dan

agama. Pernikahan kedua pasangan sah,baik secara agama

maupun Negara. Tetapi ditengah pernikahan itu, salah satu dari

pasangan (suami atau isteri) keluar dari agama Islam, salah

satu pasangan murtad. Dalam pandangan fiqih murtadnya salah

satu pasangan hal tersebut mengakibatkan terputusnya

pernikahan, atau dalam fiqih lebih dikenal dengan

pernikahannya fasakh.

Berkaitan dengan putusnyanya pernikahan, berikut

beberapa paparan mengenaibentuk putusnya pernikahan

menurut hukum Islam yang dipaparkan oleh (Hamdani, 1986:

34) dikenal dengan tiga macam.

1. Talak

Page 15: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

109

Talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh

suami untuk menolak atau menghentikan berlangsungnya

suatu pernikahan. Cara yang pertama dalam suatu

penghentian pernikahan menurut hukum Islam yang lazim

dipergunakan adalah secara talak.

Hal ini terjadi kadangkala seorang istri atas dasar

beberapa sebab dan alasan, mengusul untuk ditalak, yaitu

dengan sangat meminta atau memaksa suaminya agar

memberikan talak kepadanya. Kalau dalam hal ini suami

menerima keinginnan istrinya itu, maka dengan demikian

dianggap bahwa penghentian perkawinan ini berlaku

berdasar kesepakatan bersama antara suami dan istri.

2. Khulu’

Penghentian pernikahan dengan cara khulu’, yaitu

suatu perbuatan yang dilakukan oleh si Istri dengan cara

mengembalikan maskawin kepada suami supaya dengan

demikian pernikahan dapat dihentikan. Dibeberapa daerah

seperti di Jawa Tengah, yang pada umumnya mas kawin di

bayar dengan harga rendah, dan kadang-kadang dengan

cara meminjam sebelumnya. Maka dengan demikian bagi

istri adalah mudah untuk menghentikan pernikahannya.

3. Fasakh

Page 16: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

110

Cara ketiga yang membuat penghentian pernikahan

adalah fasakh, yaitu cara ini dapat digunakan oleh suami

atau istri, dan mereka masing-masing mempunyai hak

untuk mengajukan permohonan ke hadapan hakim, dengan

suatu alasan agar pernikahan dapat digugurkan. Contohnya

apabila si istri mengatakan masih perawan ketika sebelum

akad dilakukan, atau perjanjian pernikahan dilaksanakan,

namun setelah perjanjian pernikahan, si istri ternyata pernah

melakukan hubungan dengan laki-laki lain. Maka ada syarat

yang tidak terpenuhi seperti apa yang dahulu pernah

diutarakan di perjanjian pernikahan.

Menurut pendapat para ahli fiqih, seperti yang

dikatankan oleh Sayyid Sabiq (1980: 133) apabila dalam

perkawinan salah satu dari kedua belah pihak, baik si suami

ataupun Isteri berpindah agama (pindah agama dari Islam

kelain agama) maka perkawinan tersebut menjadi fasakh

dan kedua belah pihak harus segera mungkin dipisahkan.

Perpindahan agama (murtad) yang dilakukan oleh salah

satu pihak merupakan suatu kejadian yang dapat

mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan demi hukum

dalam hal ini hukum Islam. Karena perkawinan dapat

menjadi putus dengan 2 alasan berikut ini:

1. Apabila salah seorang dari pasangan suami isteri murtad

dari agama Islam, dan tidak mau kembali sama sekali,

Page 17: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

111

maka akadnya menjadi fasak atau batal, yan disebabkan

murtad

2. Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetpai

Isteri tetap dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh.

Sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Quran QS.al-

Baqarah ayat 217:

Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari

agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka

Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan

mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya

(QS. al-Baqarah: 217)

Fasakh dalam pernikahan mengandung pengertian

membatalkan akad nikah dan melepaskan ikatan yang

mengikat antara suami dan isteri. Fasakh bisa disebabkan

adanya sesuatu yang membatalkan akad nikah saat akad

nikah berlangsung atau disebabkan adanya sesuatu yang

menyebabkan terganggunya ikatan perkawinan.

Contoh fasakh yang disebabkan adanya sesuatu

yang membatalakan akad saat akad nikah sedang

berlangsung adalah :

1. Setalah akad nikah dilangsungkan, ternyata istrinya

adalah saudara satu susuan. Dengan adanya kondisi

Page 18: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

112

seperti ini, akad nikah yang sudah berlangsung menjadi

batal dan harus di fasakh.

2. Pasangan suami istri yang masih anak-anak diakadkan

oleh selain ayah atau kakeknya. Setelah mereka dewasa,

mereka berhak untuk meneruskan ikatan perkawinan

atau mengakhirinya. Pilihan ini disebut sebagai khiyar

baligh. Jika salah seorang pasangan memilih untuk

mengakhiri ikatan perkawinan, hal yang demikian

dinamakan fasakh akad.

Contoh fasakh yang disebabkan adanya sesuatu

yang menyebabkan terganggunya ikatan perkawinan

adalah :

1. Jika salah seorang dari suami istri keluar dari agam

Islam dan tidak mau kembali pada Islam, maka

dengan sendirinya akad nikah menjadi fasakh (batal)

disebabkan kemurtadan

2. Jika suami yang sebelumnya kafir kemudian

memeluk agam Islam, tetapi istri enggan memeluk

agama Islam dan tetap mejadi musyrik, maka akad

menjadi fasakh. Hal ini berbeda jika istri adalah ahl

al-Kitab. Dalam kasus seperti ini, akad nikah tetap

dianggap sah. Sebab, akad nikah dengan perempuan

ahli tetap kitab adalah sah.

Page 19: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

113

Perceraian yang disebabkan dengan fasakh

berbeda dengan yang disebabkan dengan

talak.Sebab perceraian yang disebabkan dengan

talak terbagi menjadi talak raj’i dan talak

ba’in.Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan

perkawinan. Sedangkan talak ba’in mengakhiri

pernikahan dengan seketika (Sabiq, 2009: 103)

Begitu juga menurut Neng jubaedah (2010:

93) bahwa, ketika rukun perkawinan tidak

terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah

perkawinan tersebut “batal demi hukum”, tetapi jika

syarat perkawinan tidak terpenuhi, maka

perkawinan itu “dapat dibatalkan”. Kadang-kadang

ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga

memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya

tergantung kepada keputusan hakim, misalnya

fasakh karena istri musyrik enggan masuk Islam

(Hamdani, 1989: 258).

Hukum Islam menghukumi pernikahan

tersebut menjadi fasakh dalam Ilmu fiqih atau batal

dalam perundang-undangan Indonesia. Karena

walau bagaiamanapun, fasakh diterima sebagai

salah satu cara untuk membubarkan perkawinan

berasaskan pada prinsip yang terkandung dalam

Page 20: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

114

hadis Nabi SAW yang berbunyi la darar wala dirar

(Abdullah, tt: 3) kemadharatan harus dihilangkan,

apabila pernikahan akan memunculkan

kemdharatan, maka keduanya harus dipisahkan,

untuk tujuan menghilangkan munculnya

kemadharatan.

Berkaitan dengan fenomena di Kecamatan

Semarang selatan, yang masih mempertahankan

pernikahan mereka. Maka perlu adanya tindakan

tegas, adapun terkait penyelesaian dalam pandangan

fiqih bahwa perceraian disebabkan karena

kesislaman seorang isteri sedangkan suami dalam

kekafiran atau karena murtadnya suami sementara

isteri sedang atau masih dalam keislamannya

menurut fiqih harus di fasakh. Yaitu sebuah bentuk

perceraian yang sebenarnya tidak dikehendaki baik

suami atau isteri, akan tetapi perceraian harus terjadi

sematan-mata karena perintah syari’ (agama).

Adapun berkaitan dengan penyelesaiannya

dengan pengadilan, hanya semata-mata memenuhi

kehendak undang-undang. Hal tersebut supaya

bubarnya perkawinan tersebut, secara formil yuridis,

memiliki kekuatan hukum dan kekuatan

pembuktian. Hukum apapun yang diterapkan oleh

Page 21: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

115

PN dalam menyelesaikan kasus tersebut, tidak ada

pengaruhnya dari kaca mata fiqih, karena menurut

fiqih, terhitung murtadnya suami atau isteri, nikah

mereka batal demi hukum karena pernikahannya di

fasakh (Husnaini, tt: 10)

Lebih jelas lagi, terkait pelaksaan putusan

dalam pandangan Ulama Sunni, Wahbah az-Zuhaili

(1986: 621) mengakatakan, apabila seorang suami

dan isteri murtad dari agama Islam, terdapat 2

putusan, sebagai berikut:

Pertama, Perkawinan mereka seketika berakhir

tanpa menunggu putusan hakim (secara umum,

putusan ini terdapat dalam kitab-kitab Mazhab

Imam Hanafi dan Imam Maliki). Kedua, suami isteri

itu harus dipisahkan, namun putusanya pernikahan

tersebut harus menunggu selesainya iddah. Apabila

pihak yang murtad kembali masuk agama Isalm

sebelum masa iddah selesai, maka keduanya tetap

sebagai suami dan isteri. Namun apabila sampai

berakhirnya masa iddah ia tidak kembali masuk

islam, maka pernikahan pun putus (Secara umum,

putusan ini dimuat dalam kitab-kitab mazhab Imam

Syafi’i dan Imam Hambali).

Page 22: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

116

Berdasarkan pembahasan di atas dan

beberapa perbedaan pendapat, menurut peneliti,

pernikahan yang terjadi di Kecamatan Semarang

Selatan. Meskipun masih ada perbedaan putusan

dalam kitab-kitab itu tentang terjadinya fasakh.,

Namun tampak jelas tidak ada perbedaan pendapat

akan ketentuan putusnya pernikahan karena

murtadnya salah satu pihak suami dan isteri.

Bagaimana pun pernikahan yang semacam itu

harusnya di fasakh. Apabila pernikahan tersebut

tetap dilaksanakan dan dilanjutkan maka akan

banyak permasalahn yang muncul.

Lebih jelas lagi penegasan dalam al-Qur’an.

Bahwa Seharusnya perkawinan yang seperti ini para

pelaku wajib memutuskan perkawinan dengan

suami yang murtad, QS.al-Mumtahanah ayat 10.

Page 23: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

117

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila

datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan

yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)

mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan

mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa

mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah

kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami

mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi

orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu

tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah

kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah

mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini

mereka apabila kamu bayar kepada mereka

maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang

pada tali (perkawinan) dengan perempuan-

perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar

yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka

meminta mahar yang telah mereka bayar.

Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di

antara kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha

Bijaksana.(QS. al-mumtahanah: 10)

Ketegasan ini disebabkan antara lain, bahwa

yang murtad tidak memelihara atau menepati janji

dengan Allah, apalagi sama manusia. Selanjutnya

karena dalam kasus ini, agama, demikian juga dalam

ketentuan perundang-undangan Indonesia,

pembatalan atau perceraian harus dilakukan dan

disahkan di pengadilan Agama. Kasus sejalan

dengan QS.al-Mumtahanah: ayat 7 (Shihab, 2011:

104)

Page 24: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

118

Jadi pernikahan yang terjadi di Kecamatan

Semarang Selatansudah tidak memenuhi syarat,

yaitu suami istri yang tidak seagama. Menurut fiqih

murtadnya salah satu pihak maka mengakibatkan

pernikahannya dapat di fasakh. Tetapi yang terjadi

di masyarakat Semarang Selatan masih

mempertahankan pernikahannya, Maka menurut

peneliti perlu ada kesadaran hukum terkait yang

menyebabkan pernikahannya di fasakh. Apabila

tetap diteruskan maka selama pasangan melakukan

kebutuhan biologis maka perbuatan tersebut

tergolong zina, karena dilakukan di dalam

pernikahan yang menurut fiqih harus di fasakh.

Penjatuhan fasakh dalam pandangan fiqih terhitung

seketika itu setelah salah satu pasangan murtad.

Ketika akan melanjutkan pernikahan maka keduanya

harus melakukan akad kembali dan menyatukan

agama terlebih dahulu.

2. Implikasi hukum akibat konversi agama dalam pernikahan

Page 25: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

119

Akibat Hukum Terjadinya Konversi Agama dalam

Pernikahan sebagaimana yang dipraktekan beberapa

Responden Penelitian ini, Menurut penulis akan banyak

implikasi akibat dari konversi agama, yang mengakibatkan

perkawinan di fasakh, berikut peneliti uraikan Iimplikasi

hukumnya:

a) Pernikahan menjadi beda agama

Pernikahan yang awalnya sah, namun salah

satu pasangan melakukan konversi agama,

menyebabkan keduan pasangan beda agama.

Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan antara

pihak yang mempunyai keyakinan beda agama

dilarang, karena akan banyak memunculkan

madharat yang lebih banyak disbanding mashlahat.

Dalam pandangan Islam, pernikahan antar

muslim dengan musyrik diharamkan, sebagaimana

penjelasan QS al Baqaarah ayat 221:

Yang artinya : dan janganlah kamu menikahi

wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih

baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik

hatimu (QS al Baqarah : 221)

Ayat 221 surat Al-Baqarah tersebut di atas,

menjadi dasar akan haramnya perkawinan muslim

dengan Musyrik, Yusuf Qardhawi (2003: 260)

Page 26: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

120

berpendapat bahwa seorang laki-laki muslim haram

menikahi perempuan musyrikah, sebagaimana

seorang wanita muslimah haram dinikahkan dengan

seorang laki-laki musyrik, karena perbedaan yang

sangat mencolok diantara dua keyakinan itu.

Namun Ulama masih berselisih pendapat

terkait wanita kitabi atau ahl al kitab10

. Ulama ada

yang memperbolehkan menikahi wanita kitabi

dengan alasan wanita kitabi tidak termasuk dalam

kategori musyrik. Pandangan tersebut berpedoman

pada QS al-Maidah ayat 5

Yang artinya : pada hari ini dihalalkan bagimu

yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang

yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan

kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan

mangawini) wanita yang menjaga kehormatan

diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-

wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-

orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu

telah membayar mas kawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan

tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak

menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah

amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-

orang merugi. (Qs. al-Maidah: 5)

10

Sebutan untuk keturunan yang menerima dan sekaligus berpegang kepada

kitab-kitab sebalum Al-Qur’an. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang

terkumpul kedalam taurat, Zabur dan Injil ; yakni kumpulan wahyu yang pernah Allah

turunkan kepada mereka. (lihat, Abu Jamin Rohim, 2009: 27). lihat juga Muhammad

Abdul Rasyid, Umat Yahudi, Umat Kristen, dan Umat Islam semua di sebut Ahlul Kitab

dalam Al Qur’an karena mereka punya banyak kesamaan dalam keyakinan agama mereka

menganut agama samawi. (Muhammad Abdul Rasyid, 2007: 35)

Page 27: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

121

Kelompok yang membolehkan perkawinan

antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitab,

yakni pendapat mayoritas ulama, kecuali Abdullah

bin Umar. Mereka mendasarkan pada QS. al-

Maidah ayat 5 ini, dan didukung oleh praktek

sejarah. Pada zaman Nabi ada Sahabat yang

melakukannya, seperti Talhah Ibnu Ubaidiyah

(Zahrah, 1957: 113)

Begitu juga al-Nawawy (t.t: 192)

mengungkapkan bahwa Imam Syafi’i, mengatakan

kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita ahl

al-Kitab tersebut apabila mereka beragama menurut

Taurat dan Injil sebelum diturunkan al-Qur’an.

Namun setelah diturunkan al-Qur’an, dan mereka

tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak

termasuk ahl al-Kitab.

Disamping itu, ada pendapat lain dari ulama

Syafiiyah menegaskan bahwa yang dimaksud ahl al-

Kitab yang halal dinikahi adalah mereka yang

memeluk agama nenek moyang sebelum Nabi

Muhammad diutus dan setelah itu tidak dapat

dikatakan ahl al-Kitab (Sayis, 1953: 168)

Page 28: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

122

Lebih jelasnya, bahwa Seiring dengan

meningkatnya populasi muslimah, serta timbulnya

kekawatiran Umar r.a bisa jadi suami yang miskin

tergoda oleh istrinya yang ahl al-Kitab, maka Umar

r.a melarang laki-laki muslim menikah dengan

wanita ahl al-Kitab. Umar berpendapat seandainya

izin yang diberikan Rasul masih diterapkan,

khawatir wanita-wanita muslim tidak mendapatkan

suami, hal ini merupakan ancaman bagi

kelangsungkan generasi Islam. Larangan Umar r.a

sejalan dengan semangat QS.al-Baqarah : 221 yang

melarang laki-laki muslim menikah dengan wanita

musyrikah, dan wanita muslimah dengan laki-laki

musyrik. Ijtihad Umar r.a masih relevan untuk

diterapkan pada zaman kontemporer ini, terlebih

pada saat tidak bisa dibedakan lagi antara ahl al-

Kitab, karena kitab-kitab samawi yang ada sudah

diubah dari aslinya (Husnaini, tt: 10).

Dengan demikian kawin dengan non muslim

(kendatipun berasal dari ahl al-Kitab), sama saja

dengan menikahi kaum Musyrik, yang dengan tegas

dilarang dalam Al-Quran. Walaupun dalam Hukum

Islam masih memungkinkan perkawinan antara

muslim dengan ahl Al-kitab, namun menurut

Page 29: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

123

penulis, dengan melihat pengertian dan kategori ahl

al-kitab ini, akan sangat sulit menemukan wanita

ahl al-Kitab pada zaman sekarang terutama di

Indonesia, dan mempunyai kriteria yang tidak

mudah bagi wanita ahl al-Kitab yang boleh

dinikahi.

Menurut Abdul Hadi Muthohar (2003: 165)

berkaitan dengan tindakan Ulama Indonesia tentang

ahl al-Kitab, dalam hal ini MUI dengan fatwanya

melarang muslim menikahi non-Muslimah termasuk

kitabiyah. Bahwa larangan tersebut berdasarkan

pada alasan bahwa mafsadah-nya lebih besar dari

pada mashlahat-nya. Menurut Atho’ (tt, 180)

pendapat MUI itu malahan bertentangan dengan

Quran dan tentu saja tidak sejalan dengan doktrin-

doktrin fiqih klasik.

Lebih lanjut lagi menurut Abdul Hadi

(2003: 165) yang dikutip dari pendapat Abdul

Wahab Khalaf (1968: 197) berkaitan dengan fatwa

MUI yang malarang muslim menikahi non-

Muslimah (kitabiyah), bahwa fatwa tersebut

mempunyai maksud bahwa menangkap tujuan

umum disyariatkannya hukum Islam, jadi bukan

kehendak menentang Quran Surat al-Maidah ayat 5,

Page 30: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

124

yaitu demi meraih kemasalahatan. Sedangkan

mereka tidak melihat adanya ke-maslahat-an

pernikahan antar pemeluk agama itu, tetapi

sebaliknya justru menimbulkan banyak ke-

mafsadat-an.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, dengan

mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama,

Islam dengan selain Islam, ke dalam bab larangan

perkawinan. Pasal 40 huruf (c): “dilarang

melangsungkan pernikahan antara seorang pria

dengan seorang wanita karena keadaan tertentu,

huruf (c) seseorang wanita yang tidak beragama

Islam, dan pasal 44 berbunyi: seorang wanita Islam

dilarang melangsungkan perkawinan dengan

seeorang pria yang tidak beragama Islam (Bisri,

1999: 151-152)

Menurut pandangan Undang-undang

Perkawinan No 1 tahun 1974, dalam Pasal 2 ayat 1

Undang-Undang Perkawinan berbunyi “Perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”

dalam penjelasannya Undang-Undang Perkawinan

ditegaskan “dengan perumusan pasal 2 ayat 1 ini,

tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing

Page 31: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

125

agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945” (Yanggo dan

Anshary, 2008: 30)

Prof Dr. Hazairin, SH (1986: 2) secara tegas

menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya

dengan menyatakan. “bagi orang Islam tidak ada

kemungkinan untuk kawin dengan melanggar aturan

agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang

Kristen dan orang Hindu atau Hindu-Bundha seperti

yang dijumpai di Indonesia”.

Jadi jelas, dari pandangan hukum Islam, KHI

dan Undang-undang Perkawinan melarang adanya

pernikahan beda agama. Dalam hal ini berkaitan

dengan pernikahan yang terjadi di Kecamatan

Semarang Selatan, bahwa pernikahan yang terjadi

pada para pelaku, setelah memutuskan konversi

agama setelah pernikahan maka kedudukan kedua

pasangan menjadi beda agama. Apabila terdapat

sebuah pernikahan yang kedua belah pihak beda

agama, pernikahan tersebut haram hukumnya.

Menurut penulis pernikahan beda agama akan

berpotensi memunculkan problem dalam keluarga.

Penulis sepakat dengan penghararaman atas

pernikahan tersebut.Karena dengan pertimbangan

Page 32: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

126

pernikahan tersebut banyak memunculkan banyak

madharat dibanding maslahat.

b). Status Kelahiran Anak

Anak yang sah menempati kedudukan

(strata) yang paling tinggi dan paling sempurna

dimata hukum dibandingkan dengan anak dalam

kelompok-kelompok yang lain.Karena anak yang

sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh

hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang

paling tinggi diantara golongan-golongan yang lain,

Hak sosial dan hak untuk mendapatkan penamaan

ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya

(Witanto, 2012: 37).

Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam

atau sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah,

demikianlah ketentuan dalam pasal 42 Undang-

undang perkawinan (Subekti, 1990: 13) Menurut

pasal 42 UU perkawinan dan pasal 1 ayat 2 yang

menyakatakan bahwa perkawinan yang dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Dari kedua ketentuan diatas

jika diartikan secara bersama maka anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan dalam suatu

perkawinan yang sah menurut agama atau

Page 33: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

127

kepercayaan dari suami istri atau anak yang lahir

sebagai akibat dari perkawinan menurut agama dan

kepercayaan yang dianut oleh suami dan istri yang

melangsungkan perkawinan (Witanto. 2012: 137).

Seorang anak mendapatkan kedudukan

hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si

anak didasarkan pada perkawinan orang tua yang

sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak

tersebut dibenihkan pada saat orangtuanya telah

melangsungkan perkawinan yang sah atau karena

kelahiran itu berada pada dalam ikatan perkawinan

yang sah (Witanto, 2012: 39).

Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai

status anak, bahwa salah satu tujuan pernikahan

adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, baik

oleh Negara atau Agama, dimana ikatan pernikahan

itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum

pernikahan yang berlaku, terlebih lagi ketentuan

hukum Islam yang sangat menentukan keabsahan

suatu pernikahan, dan dengan sendirinya anak yang

dilahirkannya akan sah pula (Lilis, 2009: 69). Rata-

rata pernikahan yang terjadi di Kecamatan

Semarang Selatan yang melakukan konversi agama

telah menghasilkan anak, dan anak tersebut lahir

Page 34: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

128

dalam keadaan pernikahan yang difasakh atau tidak

sah.Contohnya saja GD yang memiliki 2 orang

anak, ED 1 anak dan SW 2 orang anak.

Dalam pandangan fiqih berkenaan dengan

anak sah dapat dipahami bahwa anaka sah dimulai

sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur

(ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita

calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam

pernikahan yang sah (Rahman, 2003: 46) Berkaitan

status pernikahan akibat dari konversi agama, salah

satu keluar dari Islam, yang dalam pandangan fiqih

pernikahannya di fasakh atau telah bercerai. Maka

keduanya tidak lagi diperkenankan tinggal satu

rumah, dan juga tidak diperkenannkan lagi

melakukan hubungan suami isteri. Dengan

demikian, apabila keduanya masih tinggal bersama,

dalam satu rumah, dan tetap melakukan hubungan

biologis yang dalam hubungan tersebut

menghasilkan anak, Maka anak-anak yang lahir

tidak bisa disebut sebagai hasil dari pernikahan yang

tidak sah.

Page 35: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

129

c). Hak Waris anak

Harta waris merupakan harta yang diberikan

dari orang yang telah meninggal kepada orang-

orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-

kerabatnya, Islam sudah mengatur secara jelas

mengenai pembagian harta waris, salah satunya hak

waris bagi anak.

Hak waris anak: syarat-syarat pewarisan

dalam syariat Islam:

a) Orang yang mewarisi benar telah meninggal

dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa

dia telah meninggal

b) Orang yang mewaris hidup pada saat orang yang

mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan

dengan hukum

c) Ada hubungan antara orang yang mewaris dan

orang yang mewarisi, yaitu: a. hubungan nasab

yaitu hubungan kekerabatan atau keturunan. b.

hubungan pernikahan adalahseseorang dapat

mewarisi atau istri dari seorang yang mewariskan

sebagaimana Firman Allah SWT c, Hubungan

perbudakan dan d. karena hubungan agama Islam

(Nasution: 2012: 75)

Page 36: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

130

Dari uraian di atas mengenai syarat-syarat

pewarisan dari dalam Islam, dijelaskan bahwa

yang berhak mendapatkan hak waris adalah

orang-orang terdekat dan saudara, Maka anak

termasuk ke dalam orang yang berhak menerima

waris. Anak yang lahir dari sebuah pernikahan

yang sah tentu akan mendapatkan hak atas

warisnya. Karena anak mempunyai hubungan

dengan orang yang mewarisi yaitu orang tua.

Hubungan Mewaris dan orang yang mewarisi

adalah disebabkan ada hubungan nasab atau

keturunan, hubungan pernikahan, dan hubungan

Islam. Jadi pihak yang tidak mempunyai

hubungan seperti disebutkan di atas tidak

termasuk golongan yang mendapatkan hak waris.

Pada awalnya seseorang sudah berhak

mendapat warisan, tetapi oleh karena ada suatu

keadaan tetentu yang mengakibatkan dia tidak

bisa menerima warisan. Keadaan tersebut sebagai

berikut:

a) Pembunuhan, seseorang yang membunuh

orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta

orang yang terbunuh.

Page 37: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

131

b) Berlainan agama, berlainan agama

dimaksudkan bahwa seseorang yang beragam

Islam tidak dapat mewarisi kepada orang non-

Muslim, demikian sebaliknya.

c) Perbudakan adalah milik dari tuannya secara

mutlak, karena itu dia tidak berhak memiliki

harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang

yang mewariskan dan tidak jadi yang

mewarisi dari siapapun (Nasution, 2012: 79).

Dalam Agama Islam, perbedaan

agama dalpat menjadi penghalang dalam

memperoleh warisan. Berkaitannya dengan

fenomena konversi agama dalam pernikahan,

yang kedudukan pernikahan pada suami dan

isteri menjadi beda agama (Muslim-non-

Muslim). Hal ini meyebabkan tidak bisa

saling mewarisi, Karena orang kafir tidak bisa

mewarisi harta orang Islam, dan juga

sebaliknya. Landasan hukum larangan

tersebut ialah ayat yang berbunyi:

Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan

memberi jalan kepada orang-orang kafir

Page 38: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

132

untuk memusnahkan orang-orang yang

beriman.(QS. an-Nisa; 141)

Dan juga hadis Nabi SAW.

(متفق عليه) ال يرث المسلم الكا فر وال الكا فر المسلم

Artinya : “seorang Muslim tidak boleh

mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak

boleh mewarisi orang muslim” (ash-

Shan’ani, 1960: 98 )

Ayat dan Hadis di atas tersebut

merupakan larangan saling mewarisi antara

orang yang berbeda keyakinan. Dan juga

anak tidak bisa mewarisi harta dari orang

tuanya yang beda agama akibat dari konversi

agama dalam pernikahan.

Sebagai ahli waris utama, Anak tidak

mempunyai halangan apapun dalam

menerima warisan. Tetapi akan berbeda jika

dalam kelurga yang awalnya suami isteri

beragama Islam, kemudian konversi agama

menjadi Muslim dan non-Muslim. Karena

kedudukan pernikahan tersebut menjadi beda

agama, dan beda agama akan menjadi

pengahalang atas anak untuk memperoleh

warisan. Anak yang lahir dari pernikahan

beda agama tidak bisa mendapatkan warisan,

Page 39: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA KONVERSI AGAMA DALAM ...eprints.walisongo.ac.id/7514/5/135112001_bab4.pdf · Perkawinan beda agama sebagai pelanggaran HAM ... karena tidak ada pemaksaan

133

seperti yang sudah dijelaskan dalam hadis

dan al Quran di atas.

Hal tersebut merupakan implikasi

dari konversi agama dalam pernikahan yang

terjadi di Kecamatan Semarang Selatan.

Implikasi tersebut tentu akan menjadi

persoalan bagi keluarga tersebut, terutama

anak yang lahir dari pernikahan yang

dihasilkan dari pernikahan beda agama.