-
86
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF RAHASIA SHALAT DALAM NASKAH-
NASKAH TASAWUF DI KALIMANTAN SELATAN DAN
KEUNIKANNYA
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Rahasia Shalat dalam
Naskah-Naskah Tasawuf di Kalimantan Selatan
1. Deskripsi Naskah
a. Dalam segi penulisan naskah, naskah Asrār aṣ-Ṣalāh ditulis
dengan
menggunakan mesin tik; Naskah Ijazah Ilmu Syari’at (Mazhab
Imam
Syafi’i) diketik dengan huruf kapital secara keseluruhan;
Naskah
Mengenal Diri merupakan naskah tulisan tangan.
b. Berdasarkan isinya, Naskah Asrār aṣ-Ṣalāh secara keseluruhan
khusus
menjelaskan mengenai rahasia hakikat shalat tanpa memberikan
penjelasan mengenai kaifiyah shalat berdasakan ilmu fikih,
sehingga
naskah ini hanya memberikan penjelasan makna bathin setiap
Rukun
shalat; Naskah Ijazah Ilmu Syari’at (Mazhab Imam Syafi’i)
berisi
penjelasan Rukun Islam, namun yang dijelaskan lebih dalam
adalah
shalat. Penjelasan mengenai shalat dalam naskah ini tidak
hanya
berkaitan dengan tatacara dan rahasia ibadah shalat itu saja,
namun
dimulai dari penjelasan mengenai hal-hal yang dilakukan sebelum
shalat
hingga hal-hal yang dilakukan setelah shalat; Naskah Mengenal
Diri
secara keseluruhan berisi pembahasan mengenai ilmu “mengenal
diri”
dan tidak memberikan penjelasan sistematis mengenai rahasia
shalat,
-
87
sehingga makna-makna Rukun shalat tidak dijelaskan secara
keseluruhan.
c. Ketiga naskah sama-sama menuliskan huruf arab dengan tulisan
tangan.
d. Ketiga naskah sama-sama menyebut “shalat” dengan
“sembahyang”
e. Penjelasan mengenai rahasia shalat dalam ketiga naskah tidak
hanya
dalam bentuk paparan kalimat, akan tetapi juga terdapat skema
dan
rakam yang memaknai hakikat komponen shalat secara simbolik.
2. Hakikat Shalat
Ketiga naskah sama-sama menghubungkan gerakan utama dalam
shalat
yakni berdiri-Rukuk-sujud-duduk dengan lafaz Aḥmad. Yaitu huruf
alīf merupakan
hakikat gerakan berdiri, huruf ḥa merupakan hakikat Rukuk, huruf
mīm merupakan
hakikat sujud, dan huruf dāl merupakan hakikat duduk.1 Dalam
naskah Asrār aṣ-
Ṣalāh yang ditulis oleh Moh.Yamin dan naskah Ijazah Ilmu
Syari’at (Mazhab Imam
Syafi’i) yang ditulis oleh Ahmad Ali Ridha al-Banjari
menyebutkan alasan
mengapa gerakan utama dalam shalat dihubungkan dengan lafaz
Aḥmad, yakni
karena Aḥmad merupakan nama Nūr Muḥammad yang merupakan
makhluk
pertama yang diciptakan Allah swt. yang kemudian setelah
diciptakan makhluk itu
melakukan gerakan berdiri, Rukuk, sujud, dan duduk yang dinamai
dengan
sembahyang.2 Sedangkan naskah Mengenal Diri tidak
menyebutkannya.
1Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang, (t.t:
t.p, t.th), 1; Ahmad Ali
Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i (t.t: t.p,
t.th), 22; Anonim, Mengenal Diri (t.t: t.p,
t.th), 20. 2Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 1; lihat juga Ridha,
Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 22.
-
88
Selanjutnya dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh yang ditulis oleh
Moh.Yamin dan
naskah Mengenal Diri, disebutkan bahwa gerakan utama dalam
shalat yakni
berdiri-Rukuk-sujud-duduk yang dihubungkan dengan lafaz Aḥmad
berasal dari
elemen-elemen alam yang terkandung dalam diri manusia yaitu api,
udara, air, dan
tanah. Gerakan berdiri berasal dari api, ruku berasal dari
udara, sujud berasal dari
air, dan duduk berasal dari tanah.3 Sedangkan dalam naskah
Ijazah Ilmu Syari’at
(Mazhab Imam Syafi’i) yang ditulis oleh Ahmad Ali Ridha
al-Banjari tidak
disebutkan.
Selain dihubungkan dengan lafadz Aḥmad, hakikah shalat dalam
Naskah-
Naskah Tasawuf di Kalimantan Selatan juga dihubungkan dengan
lafadz Allāh,
yakni huruf alīf merupakan hakikat gerakan berdiri, huruf lām
awal merupakan
hakikat Rukuk, huruf lām akhir merupakan hakikat sujud, dan
huruf ha merupakan
hakikat duduk.4 Lafadz Allāh yang dihubungkan dengan gerakan
shalat ini
mencakup ajaran tauhid (mengesakan Allah) dalam hal zat, sifat,
nama, dan
perbuatan.
Berdiri yang disimbolkan dengan huruf alīf merupakan hakikat
perbuatan
zat Allah sewaktu didalam martabat la ta’yun (Ο) dinamakan
martabat zat yakni
ketentuan Makrifat. Hilangkan wujud dirimu, sehingga yang ada
hanya wujud zat
Allah semata-mata ( ال وجود يف الصالة اال هللا) artinya: tiada
wujud didalam shalat
melainkan wujud Allah.
3Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 2; Anonim, Mengenal Diri, 20.
4Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 4; Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab
Imam Syafi’i, 34;
Anonim, Mengenal Diri, 84.
-
89
Rukuk yang disimbolkan dengan huruf lām awal merupakan
hakikat
perbuatan sifat Allah sewaktu didalam martabat ta’yin awal (ʘ)
dinamakan
martabat sifat yakni ketentuan Hakikat. Hilangkan sifat dirimu,
sehingga yang ada
hanya sifat Allah semata-mata. ( يف الصالة اال هللا صفاتال )
artinya: tiada yang bersifat
dalam shalat melainkan sifat Allah.
Sujud yang disimbolkan dengan huruf lām akhir merupakan
hakikat
perbuatan asmā’ Allah sewaktu pada martabat ta’yin tsani (Ο)
dinamakan martabat
Asmā’ yakni ketentuan tareqat. Hilangkan nama dirimu, sehingga
yang ada hanya
nama Allah semata-mata. ( يف الصالة اال هللا امساءال ) artinya:
tiada yang bernama
didalam shalat hanya nama Allah.
Duduk yang disimbolkan dengan huruf ha merupakan hakikat
perbuatan
Af’āl Allah pada martabat ta’yun kedua (ا ا ا) dinamakan
martabat Af’āl yakni
ketentuan syariat. Hilangkan perbuatan dirimu, sehingga yang ada
hanya Af’āl
Allah semata-mata. ( اال هللا ظاهرا وابطنا يف الصالة فاعلال )
artinya: tiada yang berbuat
dalam sholat zahir dan bathin melainkan perbuatan Allah.5 Hal
ini perlu diketahui
seorang yang shalat dengan tujuan agar tidak lupa kepada Allah
dalam shalatnya.6
5Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 4. 6Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at,
34.
-
90
3. Kiblat Shalat
Penjelasan mengenai kiblat shalat dalam ketiga naskah
sama-sama
menjelaskan bahwa seorang hamba ketika shalat tidak hanya
menghadap
ka’bah, akan tetapi dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh terdapat empat
kiblat, yakni:
- Kiblat tubuh yaitu seluruh anggota badan menghadap ke
Baitullah yang
merupakan alam syari’at.
- Kiblat hati yaitu menghadap ke Bayt al-Ma’mūr7 yang merupakan
alam
tarekat.
- Kiblat nyawa yaitu menghadap ke Arasy yakni hakikat diri
yang
sebenarnya (Nūr Muḥammad ) yang merupakan bagian alam
hakikat.
- Kiblat rahasia yaitu menghadap zat Allah yang merupakan
alam
makrifat.8
Selanjutnya dalam naskah Mengenal Diri juga terdapat empat
kiblat shalat,
yaitu menghadap Baitullah sebagai syari’at, menghadap Qāḍī
(hakim) sebagai
tarekat, menghadap nyawa sebagai hakikat, dan menghadap rahasia
sebagai
makrifat.9 Adapun dalam naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i
kiblat seorang hamba ketika shalat yaitu kiblat zahir yang
menghadap ke
Baitullah dan kiblat bathin yaitu qalb (hati) yakni Allah
swt.10
7Bayt al-Ma’mūr adalah mesjid yang berada di Langit dan sejajar
dengan Ka’bah. Jika di
Ka’bah ada orang-orang yang bersujud menghadap ke arahnya maka
dilangit ada tujuh puluh ribu
malaikat yang memasuki Bayt al-Ma’mūr setiap harinya dan
bersujud pula. Lihat Ibn Ḥājar al-
Asqalani dan Imam as-Suyūṭi, Isra’ Mi’raj: Kajian Lengkap
Perjalanan Rasulullah Melintasi
Dimensi dan Waktu Berdasarkan Hadits Shahih, terj. Arya Noor
Amarsyah (Jakarta: Qisthi Press,
2008), 138. 8Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 20. 9Anonim, Mengenal
Diri, 84. 10Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i,
19.
-
91
4. Berdiri
Penjelasan mengenai berdiri ketika shalat yang termuat dalam
tiga naskah
memiliki kesamaan yaitu merupakan hakikat huruf alīf yang
terdapat dalam
lafadz Aḥmad,11 serta hakikat huruf alīf pada lafadz Allāh.12
Hakikat berdiri
ketika shalat dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh yakni berasal dari
api, yang
dimaksud api disini bukanlah api pelita atau api bara, akan
tetapi api yang
merupakan hakikat dari sifat jalāl (kebesaran) Allah yakni hidup
dan mati,
sehingga hidup dan mati bukanlah kehendak kita melainkan
kehendak Allah.13
Oleh karena itu, ketika berdiri seorang hamba yang merupakan
hakikat Nūr
Muḥammad berdiri pada sifat hayāt Allah dan fana (lenyap) pada
zat-Nya.14
Adapun penjelasan dalam naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i
mengenai berdiri dalam shalat dimulai dari penjelasan mengenai
tatacara berdiri
yakni meluruskan kedua belah telapak kaki dengan jarak sejengkal
sehingga
seluruh tubuh menghadap kiblat, pandangan mata mengarah ketempat
sujud15,
selanjutnya ada lima sifat Allah yang terkandung dalam hakikat
berdiri ketika
shalat, yaitu wujūd, qidām, baqā`, mukhālafatuhu li al-ḥawādits,
dan qiyāmuhu
binafsihi.16 Sedangkan dalam naskah Mengenal Diri, hakikat
berdiri ketika
shalat adalah menghadirkan hati terhadap zat Allah swt. dengan
musyāhadah
dan murāqabah sebelum mengangkat takbir17 hakikat berdiri dalam
shalat
11Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 13; Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at:
Mazhab Imam Syafi’i, 22;
Anonim, Mengenal Diri, 20. 12Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 4;
Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 34;
Anonim, Mengenal Diri, 20. 13Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 2.
14Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 13. 15Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at:
Mazhab Imam Syafi’i, 19. 16Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 22. 17Anonim, Mengenal Diri, 13.
-
92
adalah masuknya sifat Allah yaitu baqā’ kedalam diri hamba,
sehingga ia
menyadari bahwa dirinya adalah fana.18
5. Takbīrāt al-Iḥrām
Rahasia Takbīrāt al-Iḥrām dalam ketiga naskah yaitu menyatakan
keesaan
Allah (zat, sifat, nama, dan perbuatan) dalam lafazh Allāh serta
sebagian sifat-
Nya (qudrāh, irādah,‘ilmu dan ḥayāt) yang terkandung dalam
lafazh Akbar.19
Dalam hal ini terdapat kesamaan dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh dan
naskah
Mengenal Diri yakni ada empat hal yang harus dihadirkan
seseorang ketika ia
bertakbir, yaitu:
- Tabdīl, yakni tergantinya tubuh yang zahir kepada tubuh yang
bathin,
sehingga yang ada hanyalah wujud Allah.
- Munājat, yakni ucapan takbir yang dilafazkan sebenarnya
bukanlah
perkataan hamba, melainkan madzhar atau kenyataan kalam
Allah.
- Mi’rāj, yakni perasaan naiknya seseorang menuju hadrat Allah
sehingga
ia lenyap dalam muraqabah dihadapan Allah.
- Ihrām, yakni seseorang tidak mengenali dirinya lagi karena
tenggelam
terhadap zat Allah, sebagaimana besi dimasukkan dalam api, maka
sifat
dan wujud besi sudak tidak tampak lagi, yang ada hanya api, dan
tidak
bisa dibedakan lagi antara api dan besi.20
Namun penjelasan mengenai Takbīrāt al-Iḥrām dalam kedua
naskah
tersebut, tidak ditemukan dalam naskah Ijazah Ilmu Syari’at:
Mazhab Imam
18Anonim, Mengenal Diri, 11. 19Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 14;
Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i (, 23;
Anonim, Mengenal Diri, 19. 20Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 13;
Anonim, Mengenal Diri, 19.
-
93
Syafi’i, karena dalam naskah ini penulis hanya menjelaskan
bagaimana tatacara
mengangkat tangan ketika Takbīrāt al-Iḥrām menurut varian ulama
fiqih,
tauhid, dan tasawuf, serta pemaknaan bathin dari ketiga
gerakannya.21 Akan
tetapi dalam hal ini, ketiga naskah sama-sama memaknai Takbīrāt
al-Iḥrām
tidak hanya sekedar ucapan lisan yang artinya “Allah Maha
Besar”, namun
Takbīrāt al-Iḥrām yang dilakukan seseorang ketika memulai
shalatnya, pada
hakikatnya merupakan perbuatan Allah swt. karena hamba tidak
memiliki daya
upaya untuk melaksanakan perintah, sehingga seseorang yang
memahami
makna takbir seperti ini akan fana dan tenggelam sifat
kemanusiannya dalam
zat Allah mulai bertakbir hingga salam, disitulah dimulai
pertemuan dan
persatuan antara ‘abīd dan ma’būd, yakni antara hamba dengan
Tuhan.22
6. Niat
Niat merupakan pandangan hati, sehingga niat bukanlah bahasa,
bukan pula
suara. Niat shalat dalam ketiga naskah ini terdiri atas tiga
komponen, yaitu:
Qaṣd, Ta’aruḍ, dan Ta’yīn. Qaṣd artinya menyengaja untuk
mengerjakan apa
yang diniatkan, dan hakikat Qaṣd adalah sesuatu yang tiada
berhuruf dan tiada
bersuaru, yakni zat Allah swt; Ta’aruḍ artinya menentukan
kefardhuan shalat,
dan hakikat Ta’aruḍ adalah menentukan sifat Allah, yakni Nūr
Muḥammad;
adapun Ta’yīn artinya menentukan waktu shalat yang akan
dilaksanakan, dan
hakikat Ta’yīn adalah perbuatan Allah yang nampak pada tubuh
manusia
21Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i,
20. 22Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang, 11;
Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 20; Anonim, Mengenal Diri,
14.
-
94
(Adam).23 Naskah Asrār aṣ-Ṣalāh memaknai niat sebagai rahasia
yang
tersembunyi (sirr al-khafi);24 serta maksud untuk mengerjakan
sesuatu yang
beriringan dengan perbuatannya.25 Sedangkan dalam naskah Ijazah
Ilmu
Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i ada tiga pendapat mengenai makna
niat, yaitu
menurut ulama fikih niat merupakan kata-kata yang diucapkan
dalam hati;
menurut ulama tauhid niat merupakan kalam Allah yang bertajalli
pada hati
manusia; dan menurut ulam tasawuf niat merupakan pandangan hati
yang tiada
huruf dan tiada suara.26
7. Surah Al-Fātiḥah
Ketika membaca surah Al-Fātiḥah seorang hamba berarti sedang
berdialog
dengan Allah, sehingga setiap ayat yang dibacakan akan mendapat
jawaban dari
Allah. Dalam hal ini, ketiga naskah sama-sama menyebutkan bahwa
seorang
hamba yang membaca surah Al-Fātiḥah, pada esensinya ia sedang
mengenal
dirinya sendiri, karena melalui surah Al-Fātiḥah, Allah membuka
rahasia-Nya
kepada hamba-Nya yaitu Muhammad saw. meskipun makna hakikat
surah Al-
Fātiḥah yang terdapat pada setiap naskah berbeda-beda.27
8. Rukuk
Hakikat Rukuk yang termuat dalam ketiga naskah tasawuf di
Kalimantan
Selatan adalah seperti huruf Ḥa yang termuat dalam lafadz
Aḥmad,28 serta
23Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang, 13;
Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at, 21; Anonim, Mengenal Diri, 10-12. 24Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 11. 25Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 12. 26Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at, 20. 27Lihat Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 17; Anonim,
Mengenal Diri, 89-90; Ahmad Ali Ridha,
Ijazah Ilmu Syari’at, 27. 28Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh: Rahasia
Hakekat Sembahyang, 1; Ahmad Ali Ridha, Ijazah
Ilmu Syari’at, 22; Anonim, Mengenal Diri, 20.
-
95
hakikat huruf lām awal pada lafadz Allāh.29 Dalam hal ini,
naskah Mengenal
Diri dan naskah Asrār aṣ-Ṣalāh menjelaskan bahwa hakikat Rukuk
berasal dari
angin,30 yang dimaksud dengan angin disini bukanlah angin timur
atau angin
darat, tetapi berarti hakikat sifat qahhār (kekerasan) Allah
yang meliputi kuat
dan lemah yang berhubungan dengan sifat qudrah.31
Terdapat perbedaan antara ketiga naskah mengenai sifat Allah
yang masuk
dalam gerakan Rukuk. Naskah Asrār aṣ-Ṣalāh menyebutkan bahwa
sifat Allah
yang masuk dalam gerakan Rukuk adalah sifat qudrah.32 Adapun
sifat Allah
yang masuk dalam gerakan Rukuk yang disebutkan dalam naskah
Ijazah Ilmu
Syari’at (Mazhab Imam Syafi’i) ada enam sifat Allah, yaitu
sama’, baṣar,
kalām, samī’un, basīrun dan mutakallimun.33 Sedangkan dalam
naskah
Mengenal Diri sifat Allah yang masuk dalam gerakan Rukuk adalah
sifat
qiyāmuhu ta’ala binafsihi.34 Meskipun demikian, hakikat Rukuk
dalam ketiga
naskah merupakan tajalli sifat Tuhan pada hamba-Nya. Oleh karena
itu ketika
Rukuk seorang hamba menyatakan ketundukan dan kepatuhannya
kepada Allah
yang maha agung sambil memuji kebesaran-Nya.35
9. Iktidal
Penjelasan mengenai hakikat Iktidal dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh
ialah
menyaksikan atas keesaan Allah dan kenabian Rasulullah.36
Sedangkan dalam
29Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 4; Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 34; Anonim, Mengenal Diri, 20. 30Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 2; Anonim, Mengenal Diri, 20. 31Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 2. 32Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 1. 33Ahmad Ali Ridha,
Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 22. 34Anonim, Mengenal
Diri, 11. 35Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 19. 36Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 19.
-
96
naskah Ijazah Ilmu Syari’at (Mazhab Imam Syafi’i) Iktidal ialah
kembalinya
orang yang shalat seperti keadaan semula sebelum ia Rukuk’,
sambil membaca
sami’a Allāhu liman ḥamidah.37 Adapun dalam naskah mengenal Diri
tidak
ditemukan penjelasan mengenai makna ataupun hakikat Iktidal.
10. Sujud
Penjelasan mengenai sujud ketika shalat yang termuat dalam tiga
naskah
memiliki kesamaan yaitu merupakan hakikat huruf mīm yang
terdapat dalam
lafadz Aḥmad,38 serta hakikat huruf lām akhir pada lafadz
Allāh.39 Dalam hal
ini, naskah Mengenal Diri dan naskah Asrār aṣ-Ṣalāh menjelaskan
bahwa
hakikat sujud berasal dari air,40 yang dimaksud dengan air
disini bukanlah air
sungai atau air laut, tetapi air disini berarti hakikat sifat
jamāl (keelokan) Allah
yakni tua dan muda, sehingga tua dan muda bukanlah kehendak kita
melainkan
kehendak Allah.41
Terdapat perbedaan antara ketiga naskah mengenai sifat Allah
yang masuk
dalam gerakan sujud. Naskah Asrār aṣ-Ṣalāh menyebutkan bahwa
sifat Allah
yang masuk dalam gerakan sujud adalah sifat irādah.42 Adapun
sifat Allah yang
masuk dalam gerakan sujud yang disebutkan dalam naskah Ijazah
Ilmu Syari’at
(Mazhab Imam Syafi’i) ada empat sifat Allah, yaitu qudrah,
irādah, ‘ilmu, dan
ḥayāh.43 Sedangkan dalam naskah Mengenal Diri sifat Allah yang
masuk
37Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at, 30. 38Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 1; Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 22; Anonim, Mengenal Diri, 20. 39Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 4; Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 34; Anonim, Mengenal Diri, 20. 40Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 2; Anonim, Mengenal Diri, 20. 41Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 2. 42Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh: Rahasia Hakekat
Sembahyang, 1. 43Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 23.
-
97
dalam gerakan sujud adalah sifat ḥayāh.44 Dalam hal ini, sujud
merupakan
pernyataan seorang hamba kepada Allah, bahwa ia merasa dirinya
fakir, hina,
dan lemah dihadapan Tuhannya, sehingga diri yang merupakan
Nūr
Muḥammad tersungkur dibawah kebesaran arasy Allah swt.45
11. Duduk diantara dua sujud
Hakikat duduk yang termuat dalam ketiga naskah tasawuf di
Kalimantan
Selatan adalah seperti huruf dāl yang termuat dalam lafadz
Aḥmad,46 serta
hakikat huruf ha pada lafadz Allāh.47 Hakikat duduk ketika
shalat dalam naskah
Asrār aṣ-Ṣalāh yakni berasal dari tanah, yang dimaksud tanah
disini bukanlah
tanah pasir atau tanah lumpur, akan tetapi tanah merupakan
hakikat dari sifat
kamāl (kesempurnaan) Allah yakni ada dan tiada, sehingga ada dan
tiada
bukanlah kehendak kita melainkan kehendak Allah.48
Oleh karena itu, duduk diantara dua sujud berhubungan dengan
penciptaan
manusia dan diumpamakan seperti duduk tajalli berhadapan dengan
Allah,
karena duduk itu seolah berada kembali seperti semula dalam
keadaan suci di
alam arwah sejak Allah mengatakan kepada hambanya “alastu
birabbikum”,
sehingga saat itu seolah-olah ia sedang menerima karunia dan
rahmat Allah .49
Adapun penjelasan dalam naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i
mengenai duduk dalam shalat dimulai dari penjelasan mengenai
tatacara duduk
44Anonim, Mengenal Diri,11. 45Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 19
46Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 1; Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 22; Anonim, Mengenal Diri, 20. 47Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 4; Ahmad Ali Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i, 34; Anonim, Mengenal Diri, 20. 48Moh.Yamin, Asrār
aṣ-Ṣalāh, 2. 49Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 19.
-
98
yakni dengan menegakkan jari kaki kanan membentuk huruf dāl, dan
pada
waktu duduk membaca rabb ighfirlī warḥamnī wajburnī warfa’nī
warzuqnī
wahdinī wa’āfinī wa’fu’annī.50, selanjutnya ada lima sifat Allah
yang
terkandung dalam hakikat duduk ketika shalat, yaitu qādirun,
murīdun, ālimun,
ḥayyun, dan waḥdaniyah.51 Sedangkan dalam naskah Mengenal Diri,
tidak
dijelaskan lebih rinci mengenai hakikat duduk ketika, namun
disebutkan bahwa
sifat Allah yang masuk dalam gerakan duduk adalah sifat
‘ilmu.52
12. Duduk tahiyat akhir dan bacaan tahiyat akhir
Sebagaimana duduk antara dua sujud, hakikat duduk tahiyat akhir
yang
termuat dalam ketiga naskah tasawuf di Kalimantan Selatan juga
seperti huruf
dāl yang termuat dalam lafadz Aḥmad,53 serta hakikat huruf ha
pada lafadz
Allāh.54 Naskah Mengenal Diri tidak menguraikan mengenai hakikat
duduk
dan bacaan tahiyat akhir. Naskah Asrār aṣ-Ṣalāh menjelaskan
mengenai tiga
perkara yang merupakan asal tahiyat, yaitu: 1) Pujian Rasulullah
kepada Allah
ketika Beliau berada di bawah arasy-Nya pada saat isra mi’raj;
2) Pujian Allah
terhadap Rasulullah; 3) Pujian malaikat dan hamba-hamba yang
shaleh di dalam
arasy.55 Sedangkan naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i
memberikan penjelasan mengenai tatacara duduk tahiyat akhir
beserta makna
hakikat dibalik isyarat gerakan tersebut.56 Selanjutnya kedua
naskah
50Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 19. 51Ridha,
Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 23. 52Anonim, Mengenal
Diri,11. 53Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh,1; Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 22;
Anonim, Mengenal Diri, 20. 54Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 4;
Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 34;
Anonim, Mengenal Diri, 20. 55Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 19.
56Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 30.
-
99
menyebutkan bahwa ketika membaca salam kepada Nabi, seseorang
yang shalat
hendaknya merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan Rasulullah,
dan seakan-
akan salam kehormatan itu didengar dan dijawab langsung oleh
Rasulullah.57
13. Shalawat
Penjelasan secara terperinci mengenai shalawat ketika shalat,
hanya
terdapat dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh dan tidak ditemukan dalam
naskah
Mengenal Diri dan naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i.
14. Salam
Naskah Mengenal Diri tidak memberikan penjelasan secara
terperinci
mengenai hakikat salam, namun dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh
disebutkan bahwa
Salam kekanan dan kekiri merupakan pernyataan kepada malaikat
kirāman
kātibīn bahwa seorang hamba telah datang dari munājat kepada
Allah.58
sedangkan naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i
hanya
memberikan penjelasan mengenai gerakan dan bacaan salam.
15. Tertib
Dalam ketiga naskah tidak ditemukan penjelasan secara terperinci
mengenai
tertib ketika shalat, namun dalam naskah Mengenal Diri tertib
ini dihubungkan
dengan sifat kalām dan naskah Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam
Syafi’i
hanya menguraikan pengertian tertib itu sendiri.59 Sedangkan
dalam naskah
Asrār aṣ-Ṣalāh tidak terdapat penjelasan sama sekali.
57Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 20; Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at:
Mazhab Imam Syafi’i, 31. 58Moh.Yamin, Asrār al-Ṣalāh, 20. 59Ridha,
Ijazah Ilmu Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 31.
-
100
B. Keunikan Naskah
Naskah-Naskah Tasawuf di Kalimantan Selatan yang memuat
Rahasia
shalat, dilihat dari uraian penjelasannya sebagaimana yang
termuat dalam Bab III
penelitian ini, tampak ada sebagian ajaran yang tidak diketahui
oleh masyarakat
luas dan tidak terdapat penjelasannya dalam kitab-kitab fiqih
maupun tasawuf yang
mengungkapkan rahasia shalat pada umumnya sebagaimana yang telah
dipaparkan
dalam Bab II penelitian ini. Keunikan rahasia shalat dalam
Naskah-naskah yang
diteliti antara lain:
1. Lebih menekankan aspek mistisisme dalam mengungkapkan rahasia
shalat.
Berdasarkan substansinya, naskah-naskah yang memuat rahasia
shalat
mencoba menghubungkan teori-teori dalam ajaran tasawuf falsafi
yang
mana ajaran-ajaran dan konsepsinya disusun secara mendalam
dengan
cenderung menekankan pada aspek teori dan pemikiran metafisis
yang
bertujuan untuk menjadikan shalat sebagai sarana mengenal Tuhan
bahkan
bersatu dengan Tuhan. Dalam hal ini, jika diuraikan sebagai
berikut:
a. Simbolisme Gerakan Shalat
Gerakan shalat dalam naskah-naskah tasawuf di Kalimantan
Selatan
disimbolkan dengan lafaz Aḥmad, yang mana gerakan berdiri
disimbolkan
dengan huruf Alif, rukuk disimbolkan dengan huruf Ḥa, sujud
disimbolkan
dengan huruf Mim, dan gerakan duduk disimbolkan dengan huruf
Dal.
Sebagaimana yang disebutkan Corbin, shalat itu memiliki
simbol-
simbol dalam penciptaan secara metafisika. Berdiri merupakan
simbol
vertikal gerak ciptaan dari bawah ke atas, maka semua ciptaan
menuju
-
101
Allah, ini disebut juga dengan gerak su’ūdi atau gerak naik.
Simbol yang
kedua dari penciptaan Allah dalam shalat itu adalah sujud, dari
gerakan
berdiri menuju sujud merupakan simbol menurun atau tanazzuli,
yakni
semua ciptaan berasal dari Allah. kemudian rukuk yang merupakan
simbol
horizontal yang merupakan gerak antara, yakni gerak perpindahan
fase-fase
ketuhanan dari alam ilahi, menuju alam insani.60 Sementara dalam
kitab
Futūḥat al-Makiyyah, disebutkan bahwa dalam ilmu huruf, alif
disimbolkan sebagai eksistensi (wujud) zat Allah, dan ia yang
merupakan
zat wajibul wujud menjadi tujuan semua ciptaan. Huruf lam
dianggap
sebagai huruf antara, dan huruf mim dianggap sebagai simbol dari
al-mulk
atau huruf kerajaan, dimana Allah menciptakan berbagai makhluk
di alam
dunia disimbolkan dengan huruf mim. Karena itu kemudian,
jika
dihubungkan antara Corbin dengn Ibn ‘Arabi, maka simbol
penciptaan
pada waktu berdiri atau gerak vertikal sama dengan posisi huruf
alif
menurut Ibn ‘Arabi, kemudian gerak antara yaitu rukuk sama
dengan huruf
lam, dan gerak sujud disimbolkan dengan huruf mim, maka
keseluruhan itu
bisa dibaca di awal ayat al-Quran sesudah surah pembuka
(Al-Fātiḥah).
Orang yang memahami alif lam mim, maka ia memahami bagaimana
proses
penciptaan Allah dari atas ke bawah, dari alam ketuhanan ke alam
langit
sampai ke alam manusia, begitu juga sebaliknya gerak kembali
manusia
dari alam ciptaan menuju alam langit terus kemudian menuju
alam
60Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh.
Khozin dan Suhadi
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2002), 337-344.
-
102
ketuhanan. Inilah yang kemudian disimbolkan dengan Innā lillāhi
wa innā
ilayhi rāji’ūn, dan semua ini disimbolkan dalam shalat.61
Berdasarkan hal ini, terdapat perbedaan dengan masyarakat
Banjar
ketika menuliskan bahwa shalat itu simbolnya Aḥmad, berarti
masyarakat
Banjar menyimpulkan hal itu hanya berhenti pada Nur
Muhammad,
sementara Ibn ‘Arabi menyimpulkan dengan alif lam mim,
sehingga
menyimpulkan seluruh penciptaan alam semesta dari atas ke bawah
dan
dari bawah ke atas, kalau disebut dengan alam antara itu adalah
Nur
Muhammad, maka menurut Ibnu ‘Arabi itu tidak hanya Nur
Muhammad,
tetapi juga alam ketuhanan hingga alam ciptaan, baik itu alam
malaikat
hingga alam materi.
b. Asal perintah shalat yang dihubungkan dengan Nūr Muḥammad
Naskah tasawuf yang berkembang di Kalimantan Selatan, yakni
naskah
Asrār aṣ-Ṣalāh karya Moh.Yamin menyebutkan bahwa shalat lima
waktu
yang diwajibkan kepada Muhammad saw dan ummatnya adalah
sejak
diciptakannya makhluk pertama yaitu Nūr Muḥammad yang
dinamai
dengan Aḥmad. Makhluk tersebut melakukan gerakan yang dimulai
dari
berdiri, Rukukk, sujud, dan duduk yang merupakan rangkaian
gerakan
utama dalam shalat.62 Representasi mengenai hal ini tidak hanya
dianggap
sebagai pandangan lokalitas semata-mata, melainkan ada
jejak-jejak
pemikiran dari ulama sufi sebelumnya. Sebagaimana Al-Imam ‘Abd
ar-
61Muḥyiddīn Ibn Al-‘Arabī, Al-Futūḥāt Al-Makkiyyah, jil.1, terj.
Harun Nur Rosyid
(Yogyakarta: Darul Futuhat, 2017), 245-247. 62Moh.Yamin, Asrār
al-Ṣalāh, 1.
-
103
Raḥīm bin Aḥmad Qāḍi dalam kitab beliau Daqāiq al-Akhbār
menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan Nur Muhammad, maka
nur
itu bersujud lima kali sehingga jadilah sujud itu atas diri kita
sebagai
kewajiban shalat lima waktu. Kemudian Allah swt. mewajibkan
shalat
kepada nabi Muhammad dan ummatnya.63
Teori sufistik yang mengajarkan bahwa Nūr Muḥammad adalah
makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah swt merupakan
salah satu
term penting dalam tasawuf, bahkan urang Banjar sudah tidak
asing lagi
dengan istilah ini. Ketika mendengar istilah Nūr Muḥammad
ini,
kebanyakan masyarakat menganggap bahwa ini merupakan tasawuf
tingkat
tinggi karena mengarah kepada ajaran Waḥdat al-Wujūd64 yang
di
Kalimantan Selatan dipelopori oleh Datu Sanggul, Syeikh Abdul
Hamid
Abulung dan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari.
c. Esensi Shalat: Mengenal Diri
Seorang yang shalat pada esensinya ia sedang mengenal dirinya
sendiri
yang tujuan akhirnya adalah pengenalannya terhadap Tuhan. Dalam
hal ini,
dalil yang dijadikan pegangan adalah sebuah hadits yang
populer
dikalangan kaum sufi: “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa
rabbahu”.
Dalam ketiga naskah dijelaskan bahwa hakikat gerakan shalat
yang
dihubungkan dengan huruf-huruf dalam lafadz Allāh, Aḥmad, dan
Adam.65
63‘Abd ar-Raḥīm ibn Aḥmad al-Qāḍī, Daqāiq al-Akhbār fī Żikri
al-Jannati wa an-Nāri (t.t.:
t.p., t.th.), 3. 64Wahdat al-Wujūd ialah faham tasawuf yang
menegaskan bahwa hakikat wujud hanyalah
satu, yaitu wujud Allah yang maha Esa, segala yang ada di alam
ini bukanlah wujud yang hakiki,
yakni hanyalah manifestasi (tajalli) wujud Tuhan. 65Lihat uraian
Bab 4 halaman 87-88.
-
104
Demikian juga dalam pelaksanaan shalat terdiri dari tiga unsur,
yaitu 1)
yang menyembah adalah tubuh kasar, yakni Adam; 2) yang
dipersembahkan adalah nyawa, yakni Nūr Muḥammad ; 3) yang
disembah
yaitu Allah swt. Sehingga ketika shalat seseorang akan mengenal
hakikat
dirinya bahwa tubuh kasar manusia berasal dari Adam, nyawa atau
ruh nya
berasal dari Nūr Muḥammad , dan dibalik adanya dirinya merupakan
tajalli
dari zat Allah.66 Asal-usul diri manusia dalam naskah ini juga
ditampilkan
dalam sebuah rakam berbentuk sosok manusia yang badannya
dipenuhi
dengan kalimat Allah dan terdapat simbol-simbol yang
mengelilinginya
(Lihat Gbr. IV.1)
Dalam hal ini, salah satu ulama yang sangat kharismatik dan
populer di
Kalimantan Selatan yakni KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani
yang
lebih dikenal dengan sebutan guru Ijay atau guru Sekumpul
dalam
pengajian Beliau menyebutkan bahwa tidak sempurna pengenalan
(makrifat) seseorang kepada Allah swt. kecuali mengetahui dua
hal.
Pertama, mengetahui sesuatu yang pertama dijadikan Allah;
Kedua,
mengenal asal kejadian diri manusia. Kedua hal tersebut
merupakan hal
yang harus diketahui para salikin yang ingin mencapai
kesempurnaan
ma’rifatullah.
Adapun makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah yang
dikenal
dengan Nūr Muḥammad , yang dari nur inilah Allah menciptakan
segala
sesuatu di alam semesta. Sedangkan asal kejadian diri manusia
terdiri dari
66Moh.Yamin, Asrār aṣ-Ṣalāh, 10.
-
105
dua unsur, yaitu roh dan jasad. Roh terjadi dari Nūr Muḥammad
,
sedangkan jasad terjadi dari nabi Adam as. Penciptaan nabi Adam
as.
berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari
angin, angin
berasal dari api, dan api berasal dari Nūr Muḥammad juga. Oleh
karena
itu, pada hakikatnya ruh dan jasad manusia sama-sama berasal
dari Nūr
Muḥammad . Inilah yang dimaksud dalam QS. An-Nūr [24] ayat 35
“nūrun
‘alā nūrin” atau cahaya diatas cahaya. Sehingga bagi orang
yang
mengetahui hakikat ini, ia akan memandang bahwa segala sesuatu
di alam
semesta tidak ada lain daripada Nūr Muḥammad , orang seperti
inilah yang
akan dibukakan pintu makrifat untuk mengenal zat wajībul wujūd
yakni
Allah swt.67
Jika pengetahuan ini sudah tertanam dalam diri muṣallīn, ia
akan
memiliki keterpautan hati dan jiwa dengan Sang pencipta,
sehingga
jasadnya sebagai manusia yang merupakan al-kawn al-jāmi’
(miniatur alam
semesta), sedangkan sisi bathinnya ia adalah citra Tuhan.68
d. Mistisisasi Surah Al-Fātiḥah
Naskah-Naskah Tasawuf di Kalimantan Selatan memberikan
penjelasan mengenai surah Al-Fātiḥah yang merupakan salah satu
rukun
dalam shalat berbeda dengan penjelasan tafsir sebagaimana
lazimnya,
tetapi cenderung pada pemahaman mistik yang menimbulkan
pengalaman
mistik. Sehingga penjelasan surah Al-Fātiḥah dalam naskah-naskah
ini
67https://youtu.be/JGoCRc_8JFI diakses tanggal 07 Juni 2020.
68Muḥammad ‘Alī at-Tahnāwī, Kasysyāf Iṣṭilāḥāt al-Funūn wa al-‘Ulūm
(Beirut: Maktabah
Libnān Nāsyirūn, 1996), 281.
https://youtu.be/JGoCRc_8JFI
-
106
lebih tepat dipandang sebagai ekspresi dan pengalaman mistik
seorang
sufi.
Salah satu pemahaman mistik tersebut adalah bahwa surah
Al-Fātiḥah
sudah ada dalam diri manusia dan berhubungan dengan anggota
tubuh.69
Dalam salah satu naskah, yaitu naskah Ijazah Ilmu Syari’at
(Mazhab
Imam Syafi’i) penjelasan mengenai mistisisme surah
Al-Fātiḥah
ditampilkan dalam bentuk rakam (lihat Gbr. IV.2). Selain itu,
melalui
surah Al-Fātiḥah Allah swt. juga membuka rahasianya kepada
Muhammad saw. yang merupakan manifestasi wujud Tuhan. Atas
dasar
ini dapat difahami bahwa Allah dan Muhammad tidak bercerai. Hal
ini
dinyatakan dalam hakikat surah Al-Fātiḥah, diantaranya: “Ya
Muhammad, hanya engkaulah yang mengetahui zat-Ku, karena
engkau
adalah rahasia-Ku jalan mereka mengenalku”.70
Berdasarkan paparan mengenai mistisisme surah Al-Fātiḥah
yang
terdapat dalam naskah-naskah tasawuf di Kalimantan Selatan,
tampaknya
sangat dipengaruhi oleh ajaran insān al-Kāmil71 yang telah masuk
ke
Kalimantan Selatan dalam kurun abad ke-17 melalui tiga tokoh
utamanya,
Datu Sanggul, Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari dan Syeikh
Abdul
Hamid Abulung.72
69Lihat uraian bab 3 halaman 76-77. 70Ridha, Ijazah Ilmu
Syari’at: Mazhab Imam Syafi’i, 27. 71Secara Bahasa insān al-Kāmil
berarti “Manusia sempurna” yakni manusia yang merupakan
wadah tajalli Tuhan yang paripurna (Hakiki dan Kesuma,
2018:183). Istilah insān al-Kāmil dalam
literatur khazanah Islam berkaitan erat dengan konsep wahdah
al-wujūd (Noer, 1995: 126). 72Irfan Noor, “Visi Spiritual
Masyarakat Banjar” dalam jurnal Al-Banjari, Vol. 12, No.2, Juli
2013, 161
-
107
Sayyed Hossein Nasr menjelaskan makna insān al-Kāmil sebagai
berikut: “Universal Man is the mirror in which are reflected all
the Divine
Names and Qualities. Through the Universal Man God
contemplates
Himself and all things that He has brought into being”. Insān
al-Kāmil
adalah cermin yang merefleksikan semua nama-nama dan
sifat-sifat
Tuhan. Melalui insān al-Kāmil Tuhan melihat atau menatapi
diri-Nya dan
segala hal yang telah Ia jelmakan dalam wujud.73
Menurut Ibn ‘Arabī insān al-Kāmil merupakan wadah tajalli
Tuhan
yang paling sempurna yang dipandang sebagai pengikat semua nama
dan
sifat-Nya, sehingga dapat berperan sepenuhnya sebagai cermin
Tuhan
untuk melihat diri-Nya dalam wujud lengkap dan sempurna.74
Dalam
pemaknaan surah Al-Fātiḥah ini, insān al-Kāmil dinyatakan dalam
sosok
Nabi Muhammad saw. karena dalam dirinya mengandung segala
hakikat
wujud, yakni nūr Muḥammad.
Pemaknaan ayat-ayat Allah dalam konteks mistik yang tidak
lazim
dan berbeda dengan metode penafsiran yang sudah mapan dalam
studi al-
Qur’an pada umumnya bukanlah sebuah “pelecehan” terhadap
al-Qur’an,
karena dalam penjelasan mengenai hal ini lebih tepat dipandang
sebagai
ekspresi dalam memahami dimensi-dimensi bathin dari firman
Allah.75
73Sayyed Hossein Nasr, Sufi Essays (London: G. Allen and Unwin,
1977), 35. 74Sulaiman Al-Kumayi, “Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sīr
al-Laṭīf”, Jurnal Analisa, Vol.
21, No.01, Juni 2014, 88. 75Sulaiman Al-Kumayi, “Ajaran Tasawuf
dalam Naskah Sīr al-Laṭīf”, 85.
-
108
e. Kandungan Tauhid dalam Shalat
1) Tauhid al-af’āl, yaitu mengesakan Allah dalam segala
perbuatan
Dalam hal ini, ketika shalat hendaknya seseorang
menghilangkan
perbuatan dirinya, sehingga tidak ada yang berbuat dalam
shalat
melainkan perbuatan Allah ( :artinya وابطنا اال هللاال فاعل يف
الصالة ظاهرا )
tiada yang berbuat dalam shalat zahir dan bathin melainkan
perbuatan
Allah.76 Sebagaimana firman Allah swt:
ُ َخلََقُكۡم َوَما َتۡعَملُوَن ٩٦َوٱَّلله
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu" (QS. aṣ-Ṣaffāt [37]: 96)
Menurut Syaikh ‘Abdurraḥman Ṣiddīq, apabila hal ini sudah
diyakini secara ḥaqqul yaqīn, maka seorang hamba akan
mendapat
ma’rifah dalam af’āl Allah, sehingga hilanglah sekalian
perbuatan
makhluk dan yang ada hanya perbuatan Tuhan. Maka ketika itu,
lepaslah seseorang daripada syirik khafi, ‘ujub, riya, sum’ah,
dan
lainnya.77 Syeikh Muḥammad Nafīs al-Banjari menjelaskan
bahwa
apabila sālik membiasakan musyāhadah (memandang) dengan
taḥqīq
(sepenuh hati) bahwasanya berbagai macam perbuatan pada
hakikatnya
hanya satu, maka ia akan sampai pada tingkatan waḥdaniyat
al-af’āl
76Moh.Yamin, Asrār al-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang, 4.
77Abdurraḥman Ṣiddīq, Risalah ‘Amal Ma’rifah, cet.4 (Singapura:
Mathba’ah al-Ahmadiyah,
1929), 7.
-
109
yang pada tingkatan ini seorang sālik sudah mampu
memfana’kan
(melenyapkan) dirinya di dalam perbuatan Allah seperti cahaya
lampu
di dalam sinar matahari yang terang banderang, yang pada
akhirnya ia
akan memandang bahwa segala perbuatan hanyalah majazi
(semu).78
2) Tauhid al-Asmā’, yaitu mengesakan Allah pada asmā’’-Nya
Dalam hal ini, seorang muṣallīn hendaknya menghilangkan nama
dirinya, sehingga yang ada hanya nama Allah semata-mata.
( يف الصالة اال هللا امساءال ) artinya: tiada yang bernama
didalam shalat
hanya nama Allah.79
Seseorang yang mengesakan Allah dengan ‘asmā’ nya akan
memandang dengan mata kepala ataupun mata hati bahwasanya
segala
asmā’’ itu kembali kepada asmā’’ Allah swt. yakni segala yang
bernama
di dalam alam ini hanyalah khayali dan wahm, yang menuntut
akan
wujud musamma yaitu Allah swt.80
3) Tauhid aṣ-Ṣifāt, yaitu mengesakan Allah dalam segala
sifat
Dalam hal ini, seorang muṣallīn hendaknya menghilangkan
sifat
dirinya, sehingga yang ada hanya sifat Allah semata-mata.
( artinya: tiada yang bersifat dalam shalat ال صفات يف الصالة
اال هللا)
melainkan sifat Allah.81 Dalam naskah Ijazah Ilmu Syari’at:
Mazhab Imam
78Muḥammad Nafīs al-Banjari, ad-Durr an-Nafīs (t.t.: Ḥaramain,
t.th.), 4. 79Moh.Yamin, Asrār al-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang,
4. 80Muḥammad Nafīs al-Banjari, ad-Durr an-Nafīs, 8. 81Moh.Yamin,
Asrār aṣ-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang, 4.
-
110
Syafi’i disebutkan bahwa shalat yang khusyu menurut para sufi
yaitu
menghilangkan tujuh sifat di dalam hati yang menyebabkan
adanya
pengakuan diri82, yakni yang berkuasa, berkehendak, hidup,
mendengar,
melihat, berkata-kata, dan bergerak kecuali hanya Allah83. Oleh
karena
itu, semua gerakan shalat dalam naskah-naskah tasawuf di
Kalimantan
Selatan dihubungkan dengan sifat-sifat Allah, yakni yang
dikenal
dengan Sifat Dua Puluh.84
Disebutkan dalam naskah Asrār aṣ-Ṣalāh bahwa kemuliaan
shalat
itu sama dengan kemuliaan sifat-sifat Allah, dan bentuk atau
rupa shalat
itu sama dengan bentuk rupa manusia.85 Hal ini bertolak dari
pandangan
Ibn ‘Arabī yang mengatakan bahwa manusia merupakan sentral
wujud
yang dapat disebut alam kecil (mikrokosmos) yang padanya
tercermin
alam semesta atau alam besar (makrokosmos) dan tergambar
padanya
sifat ketuhanan.86
Menurut Ibn ‘Arabī, perintah shalat mengandung dua aspek,
yakni
aspek al-Ḥaqq (Tuhan) yang berupa perkenan Tuhan terhadap
ucapan-
ucapan hamba-Nya serta kandungan dari tasbih, tahmid, tahlil
dan
takbir; dan aspek al-Khalq (Makhluk) yang berupa permohonan
seorang
82Lihat uraian bab 3 halaman 85. 83Ridha, Ijazah Ilmu Syari’at:
Mazhab Imam Syafi’i, 85. 84Lihat uraian bab 3 halaman 70-71 dan 84.
85Lihat uraian bab 3 halaman 51. 86Asmaran, A. Syadzali, dan Arni,
“Ajaran Mengenal Diri (Studi Naskah Tasawuf yang
Berkembang di Kalimantan Selatan)”, Jurnal Tashwir, Vol.03,
No.06, April-Juni 2015,
-
111
muslim dalam shalat dan segala tindakan yang menjadi bagian
dalam
shalat itu sendiri.87
Pandangan Ibn ‘Arabī ini bertolak dari asumsi bahwa Tuhan
yang
merupakan wujud mutlak ingin melihat citra diri-Nya diluar
diri-Nya,
sehingga ia bertajalli pada alam semesta.88 Timbullah kesadaran
dari
seorang muṣallin tentang eksistensi Tuhan yang merupakan zat
wajīb
al-wujūd dengan eksistensi dirinya sendiri bahwa pada dasarnya
hanya
mempunyai satu esensi. Sehingga ketika itu, Tuhanlah yang
menjadi
pendengaran, penglihatan, tangan, dan kakinya.89
4) Tauhid adz-Dzāt, yaitu mengesakan Allah pada zat-Nya
Dalam hal ini, orang yang shalat hendaknya menghilangkan
wujud
dirinya, sehingga yang ada hanya wujud zat Allah
semata-mata.
( ال وجود يف الصالة اال هللا) artinya: tiada wujud didalam
shalat melainkan
wujud Allah.90 Dalam Naskah-Naskah Tasawuf di Kalimantan
Selatan
ini juga disebutkan bahwa ketika takbir diucapkan, maka habislah
segala
hal dan fana’ lah orang yang shalat dengan Tuhannya.
Disitulah
bersatunya antara ‘abid dan ma’bud, antara yang menyembah
dengan
yang disembah yakni antara hamba dengan Tuhan, sebagaimana
dalil:
87Sulaiman Al-Kumayi, Islam buhuhan Kumai: Perspektif Varian
Awam, Nahu, dan Hakekat
(Semarang: Pustaka Zaman, 2011), 195. 88Sulaiman Al-Kumayi,
Islam buhuhan Kumai, 196. 89Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi:
Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabī oleh Al-
Jīlī (Jakarta: Paramadina, 1997), 99. 90Moh.Yamin, Asrār
al-Ṣalāh: Rahasia Hakekat Sembahyang, 4.
-
112
العابد والمعبود واحد
“Yang menyembah dengan yang disembah adalah satu”91
Menurut Syaikh ‘Abdurraḥman Ṣiddīq, mengesakan Allah pada
zat-
Nya adalah musyāhadah (memandang) dengan taḥqīq (sepenuh
hati)
bahwasanya tidak ada yang maujūd kecuali wujud Allah swt.92
Karena
sebenarnya esensi dari alam semesta ini adalah Tuhan, sedang
lahirnya
yang berupa makhluk hanyalah bayang-bayang dan merupakan
gambar
dalam cermin, dimana yang merupakan wujud sebenarnya
hanyalah
wujud yang berada diluar cermin, yang pada hakikatnya tidak ada.
Oleh
karena itu, tidak ada wujud yang sesungguhnya di alam ini,
melainkan
Allah semata.93 Maqam tawhīd adz-Dzāt ini adalah
setinggi-tingginya
tingkatan. Tidak ada lagi maqam diatasnya yang sampai pada
pengetahuan makhluk. Pada maqam inilah kesudahan musyāhadah
‘ārifīn billah.94
Dalam salah satu naskah disebutkan bahwa ketika Takbīrāt al-
Iḥrām, maka lenyaplah (fana’) keadaan diri kita dalam lautan
roh
baḥarul qadīm yang merupakan zat wajīb al-Wujūd. Sehingga
inilah
yang dinamakan mati sebelum mati. Sebagaimana dalil:
انت املوت قبل املوت
91Moh.Yamin, Asrār al-Ṣalāh, 11. 92Abdurraḥman Ṣiddīq, Risalah
‘Amal Ma’rifah, 14. 93Asmaran, A. Syadzali, dan Arni, “Ajaran
Mengenal Diri”, 159. 94Abdurraḥman Ṣiddīq, Risalah ‘Amal Ma’rifah,
14.
-
113
“matilah dirimu sebelum engkau mati”95
Hal ini selaras dengan yang telah disebutkan ‘Abdurraḥman
Ṣiddīq
dalam kitab Risalah ‘Amal Ma’rifah bahwa menurut ulama tasawuf,
mati
itu ada dua macam: Pertama, mati hissi yaitu bercerainya roh
daripada
jasad; kedua, mati ma’nawi yaitu seseorang fana dalam makrifat
dan
musyāhadah nya pada Af’āl, asmā’, sifat, dan zat Allah swt.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw.:
موتو قبل ان متوتو
“matikanlah olehmu atas dirimu sebelum kamu mati”96
Tauhid memiliki hubungan yang erat dengan aspek ibadah.
Ibadah
dengan arti sebagai penghambaan diri kepada Allah swt. Apabila
seorang
hamba meninggalkan seluruh campur tangan dirinya,
menyerahkan
kekuasaan dirinya secara penuh kepada Allah sang pemilik sejati
dan
sirna (fanā’) pada zat-Nya, seorang hamba akan sampai pada
esensi
transenden dalam setiap ibadahnya, terutama ibadah shalat
yang
kedudukannya diantara seluruh ibadah bagaikan kedudukan insān
al-
Kāmil dan al-Ism al-a’ẓam (nama-Nya yang paling agung, yaitu
Allah).97
Ketika shalat hendaklah meninggalkan semua aspek yang
menjadi
penghalang antara diri dengan Tuhan, yakni berhala-berhala
yang
95Anonim, Mengenal Diri, 14. 96Abdurraḥman Ṣiddīq, Risalah ‘Amal
Ma’rifah, 15. 97Imam Khomeini, Hakikat dan Rahasia Shalat: Mikraj
Rohani Tuntunan Shalat Ahli
Makrifat, terj. Hasan Rakhmat dan Husein Alkaff (Jakarta:
Penerbit Misbah, 2004), 30.
-
114
sebenarnya adalah hawa nafsunya sendiri, serta menghadap kiblat
yang
hakiki yang merupakan dasar dari segala sumber langit dan
bumi,
sehingga ia sampai pada rahasia innī wajjahtu wajhiya lilladzī
faṭara as-
samāwāti wa al-arḍ dan tampaklah dalam dirinya sebuah pancaran
tajalli
sifat dan asmā’ Tuhan.98
Diantara syarat sah shalat dalam naskah-naskah tasawuf di
Kalimantan Selatan adalah ber-tawajjuh (menfokuskan diri)
kepada
mulianya Rubūbiyyah (ketuhanan) dan kehinaan ‘ubūdiyyah
(kehambaan).99 Sehingga kiblat dalam shalat tidak hanya
menghadap
ka’bah, namun kiblat bathin yang tertinggi bagi seseorang yang
shalat
adalah kiblat rahasia, yakni zat Allah swt.100 Dalam hal ini,
dalil yang
dijadikan pegangan oleh penulis naskah adalah QS. Al-Baqarah [2]
ayat
115:
ّ ۡۡشّقُ َوَّلّله واْ َفَثمه وَۡجُه ٱلَۡمۡغرُّب وَ ٱلَۡمتَُولُّ
ۡيَنَما
َّ فَأ َ إّنه ٱَّلله َّٰسٌع َعلّيٞم ٱَّلله ١١٥َو
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun
kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Dalam kitab al-Adab al-ma’nawiyah li aṣ-Ṣalāh disebutkan
bahwa
tawajuh merupakan tahap yang penting bagi para salik, karena
ketika
seorang hamba masih saja memandang kesempurnaan dan
keindahan
pada dirinya, maka ia akan tetap jauh dan terhijab dari
keindahan dan
98Imam Khomeini, Hakikat dan Rahasia Shalat: Mikraj Rohani
Tuntunan Shalat Ahli
Makrifat, 156. 99Lihat uraian pada Bab 3 halaman 43. 100Lihat
uraian pada Bab 4 halaman 91.
-
115
kesempurnaan yang sejati, yakni zat wajīb al-wujūd, Allah
swt.101
Setelah itu, seorang hamba akan sampai pada suatu maqam dimana
Allah
akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan
kakinya.102
2. Menampilkan simbol, rakam, dan skema dalam penjelasannya.
Penjelasan rahasia shalat dalam naskah-naskah tasawuf di
Kalimantan
selatan tidak hanya berupa uraian kalimat, namun terdapat rakam,
skema, dan
simbol yang memaknai hakikat shalat yang diformat dengan
sedemikian rupa
tanpa ada penjelasan yang memadai dalam hal itu.
Simbolisme baik yang berupa gambar maupun huruf tidak sekedar
seni
melukis, namun dibalik itu semua ada pesan-pesan mistik yang
terkandung di
dalamnya.103 Mujiburrahman menyatakan bahwa simbol adalah bahasa
yang
mencakup lisan, tulisan, dan isyarat. Simbol merupakan sarana
untuk
mengungkapkan makna. Tanpa simbol, makna tak dapat dihadirkan
dan
dikomunikasikan. Sebaliknya tanpa makna, simbol juga tak
berfungsi. Ranah
makna adalah kesadaran yang mencakup pikiran dan perasaan,
sedangkan ranah
simbol adalah realitas.104
Dalam tradisi para sufi, untuk menekankan pentingnya makna dalam
hal
esoterik mereka sering kali menggunakan simbol. Menurut aṭ-Ṭusi
simbol-
101Imam Khomeini, Hakikat dan Rahasia Shalat: Mikraj Rohani
Tuntunan Shalat Ahli
Makrifat, 27. 102Imam Khomeini, Hakikat dan Rahasia Shalat:
Mikraj Rohani Tuntunan Shalat Ahli
Makrifat, 29. 103Sulaiman Al-Kumayi, Islam buhuhan Kumai, 205.
104Mujiburrahman, Humor, Perempuan, dan Sufi (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo,
2017), 156.
-
116
simbol adalah pengertian samar yang tersembunyi dibalik
ungkapan-ungkapan
lahir yang hanya dapat difahami oleh orang yang menguasainya.
Terdapat dua
jenis makna dalam simbol: Pertama, makna lahir dari kata-kata
yaitu arti
harfiahnya; Kedua, makna keruhanian yang tersembunyi yang
memerlukan
telaan dan kajian mendalam.105 Oleh karena itu, simbol atau
lambang di sini
definisikan tidak sebagai sesuatu yang bermakna, tetapi sebagai
segala sesuatu
yang dimaknai, karena makna sebuah simbol tidaklah menempel,
melekat atau
ada pada simbol itu sendiri. Makna ini berasal dari luar simbol,
yakni dari
manusia.106
Penulisan simbol-simbol gambar dan huruf yang sedemikian rupa
dalam
naskah-naskah tasawuf di Kalimantan Selatan yang kemudian
dihubungkan
dengan shalat dapat difahami sebagai upaya mereka untuk
menyingkap hijab
hubungan hamba dengan Tuhan seperti rakam tubuh ketika shalat
yang
membentuk lafadz Allāh dan Muḥammad (lihat Gbr. IV.3 dan
IV.4)
Takbīrāt al-Iḥrām dalam naskah-naskah tasawuf di Kalimantan
Selatan juga
dijelaskan dalam bentuk skema yang menghubungkan setiap
huruf-huruf dalam
lafadz Allāhu akbar dengan sifat-sifat Tuhan dan Konsep
Tauhid.107 (lihat Gbr.
IV.5, IV.6, IV.7, IV.8, dan IV.9) Selain itu, juga terdapat
skema anggota badan
yang dihubungkan dengan huruf-huruf hijaiyah. (Lihat Gbr.
IV.10).
Dari skema-skema yang terdapat dalam naskah, dapat diketahui
bahwa
setiap huruf memiliki nilai mistik yang diungkapkan sebagai
citra hubungan
105Sulaiman Al-Kumayi, Islam buhuhan Kumai, 206. 106Heddy Shri
Ahimsa dan Putra, “FENOMENOLOGI AGAMA: Pendekatan Fenomenologi
untuk Memahami Agama”, Walisongo, Vol.20, No.02, November 2012,
287. 107Lihat uraian Bab 4 halaman 91.
-
117
manusia dengan Tuhan. Hal ini tampaknya ditampilkan untuk
mengatasi
keterbatasan kata-kata dalam mengungkapkan makna bathin
(pengalaman
keagamaan).108 Sebagaimana menurut Ibn ‘Arabī, komponen huruf
bagi ahli
hakikat, bukan sebagai simbol semata, tetapi huruf-huruf adalah
aktualitas
samudera metafisik yang mana pengetahuan tentangnya tidak
memiliki akhir
dan mengandung makna yang mendalam.109 Bagi para sufi,
huruf-huruf arab
adalah rahasia dari Sang Maha Mutlak yang esensi maknanya
hanya
disampaikan kepada orang-orang pilihan. Oleh karena itu, para
sufi pada
umumnya sangat menyukai huruf-huruf yang secara literal tidak
memiliki
makna, seperti huruf-huruf yang terdapat pada fawātiḥ
as-Suwar.110
Selain itu dalam naskah-naskah ini juga digambarkan rakam orang
yang
shalat dengan posisi duduk tahiyat yang mana seluruh tubuhnya
diliputi dengan
kalimat Allah. (lihat Gbr. IV.11), hal ini bermakna bahwa
seseorang yang
sempurna dalam melaksanakan shalatnya akan mengalami suatu
kondisi yang
ada di dalam dirinya hanyalah Allah. Seluruh tubuh mulai ujung
rambut hingga
ujung kaki diliputi oleh Allah. Sehingga tidak ada yang kuasa
kecuali Allah,
tidak ada yang kehendak selain kehendak Allah, tidak ada ilmu
selain ilmu-Nya,
tidak ada yang hidup selain Allah, tidak ada pendengaran selain
pendengaran-
Nya, tidak ada penglihatan selain penglihatan-Nya, tidak ada
perkataan selain
perkataan-Nya.
108Sulaiman Al-Kumayi, Islam buhuhan Kumai, 210. 109Miswari,
“Filosofi Komunikasi Spiritual: Huruf Sebagai Simbol Ontologi dalam
Mistisme
Ibn’ Arabī” Jurnal Al-Hikmah, Vol. IX, No. 14, Januari-Juni
2017, 23. 110Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritual: Huruf Sebagai
Simbol Ontologi dalam Mistisme
Ibn’ Arabī”, 21.
-
118
3. Naskah tidak disebarluaskan kepada masyarakat secara umum,
dan hanya
dimiliki oleh kalangan tertentu yang cenderung ekslusif.
Berbeda dengan kitab-kitab tasawuf yang memuat tentang
rahasia
ibadah pada umumnya yang diajarkan kepada masyarakat umum
dan
disebarkan secara meluas, baik itu dicetak dalam bentuk kitab
dan buku,
maupun berbagai versi yang menggunakan fasilitas kemajuan
teknologi seperti
dalam bentuk pdf, aplikasi, dan sebagainya. Rahasia shalat yang
termuat dalam
naskah-naskah ini justru hanya dijarkan untuk kalangan tertentu
yang
cenderung ekslusif. Hal ini dapat dicermati dari salah satu
naskah yang
bertuliskan “Maaf, tidak dipinjamkan!”.
Ajaran rahasia shalat yang termuat dalam naskah-naskah seperti
ini hanya
layak disajikan untuk kalangan tertentu yang sudah memahami alam
fikiran,
ungkapan, dan intuisi kaum sufi. Sehingga belum layak untuk
disajikan kepada
orang-orang awam yang belum mantap akidahnya dan masih minim
pengetahuan tentang ilmu tasawuf.111 Sebagaimana yang tertulis
dalam salah
satu naskah bahwa orang yang ingin mempelajari naskah tersebut,
haruslah
dibimbing seorang guru, karena jika tidak bisa menyebabkan jatuh
dalam
kesesatan.112
Namun meskipun begitu, ajaran rahasia shalat dalam naskah-naskah
ini
tetap populer dikalangan masyarakat Banjar dan bahkan bagi
mereka yang tidak
111Rahmadi, M. Husaini Abbas, dan Abd. Wahid, Islam Banjar:
Dinamika dan Tipologi
Pemikiran Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf (Banjarmasin: IAIN Antasari
Press, 2012), 127. 112Moh.Yamin, Asrār al-Ṣalāh: Rahasia Hakekat
Sembahyang, 38.
-
119
memiliki latar pendidikan agama sekalipun, walaupun seringkali
diajarkan
secara ekslusif dan sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, disebut
sebagai ajaran
tasawuf sir.113 Hal ini mengungkapkan bahwa dibalik rahasia
shalat yang
terdapat dalam naskah-naskah yang tersebar memuat ajaran-ajaran
yang
merupakan local wisdom (kearifan lokal) yang dimiliki urang
Banjar.114
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, rahasia shalat
yang
termuat dalam naskah-naskah tasawuf di Kalimantan Selatan ini
memuat ajaran
tasawuf wujūdiyah yang pernah eksis di masyarakat Banjar yang
dipelopori
oleh Datu Sanggul, Datu Abulung, dan Syeikh Muhammad Nafis
al-Banjari.
Hal ini terlihat dalam penjelasan mengenai rahasia shalat yang
dihubungkan
dengan ajaran Nūr Muḥammad , ajaran hirarki wujud khususnya
martabat tujuh,
ajaran mengenal diri, serta tawhīd al-af’āl, al-asmā’, aṣ-Ṣifāt,
dan adz-Dzāt.
Ajaran-ajaran ini menurut Mujiburrahman, jelas menunjukkan
kecenderungan
wujudi yang menyebabkan sebagian ulama menganggap bahwa ajaran
ini
bertentangan dengan teologi Islam.115 Sementara itu pendapat
lain menilai
dengan menggunakan pandangan al-Ghazali mengenai
tingatan-tingkatan
dalam tasawuf yang diperuntukkan bagi kalangan Khawash, bukan
kalangan
awam.116 Atas dasar ini, rahasia shalat yang termuat dalam
naskah ini jika
113Ahmad, Pengajian Tasawuf Sirr di Kalimantan Selatan
(Banjarmain: IAIN Antasari Press,
2014), 61. 114Abdul Hakim, M.Rusydi, dan Abdul Khaliq, “Urang
Banjar dan Kosmologi Nur
Muhammad: Analisis Filosofis Tentang Materi, Ruang, dan Waktu”
Tashwir, Vol.01, No.01,
Januari-Juni 2013, 39. 115Mujiburrahman, “Tasawuf di Masyarakat
Banjar: Kesinambungan dan Perubahan Tradisi
Keagamaan”, Kanz Philosophia, Vol.3, No.2, Desember 2013, 158.
116Mujiburrahman, “Tasawuf di Masyarakat Banjar: Kesinambungan dan
Perubahan Tradisi
Keagamaan”, 158.
-
120
ditelusuri secara mendalam sebenarnya meniscayakan pengetahuan
yang
mapan dalam dasar-dasar filosofis dan tasawuf.117
Menurut ‘Abdurraḥman Ṣiddīq, semua pandangan seperti itu
haruslah
dzauqiyyah (perasaan), bukan pandangan qauli dan lafẓi, sebab
semua
pandangan panca indera lemah dan tidak bisa menembus alam
ghaib.
pengalaman tersebut hanya akan dirasakan oleh orang yang
mengalaminya
(pengalaman spiritual).118
Spiritual lepas dari segala apapun yang dapat dikenal melalui
alam inderawi
dan imajinasi. Pengalaman spiritual yang dialami seseorang
berbeda-beda,
sehingga kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan pengalaman itu
juga
berbeda-beda. Setiap pengalaman spiritual yang dialami
seseorang,
kehadirannya harus lebih diyakini daripada hal apapun termasuk
penalaran.119
Sehingga jika ada sekelompok orang yang meyakini sebuah premis
sebagai
kebenaran objektif, apabila premis tersebut kontradiktif
terhadap kesan yang di
dapat atas pengamalan spiritualitasnya, tentu tidak terjadi
kesepakatan
mengenai premis tersebut.120
Pengalaman keagamaan bagi para sufi berangkat dari kesadaran
kebesaran
Tuhan, sehingga mereka berusaha mengadakan hubungan
sedekat-dekatnya
bahkan sampai pada tingkatan tidak terikat dengan sesuatu
selain-Nya. Oleh
117Abdul Hakim, M.Rusydi, dan Abdul Khaliq, “Urang Banjar dan
Kosmologi Nur
Muhammad”, 39. 118Abdurraḥman Ṣiddīq, Risalah ‘Amal Ma’rifah,
22. 119Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritual: Huruf Sebagai
Simbol Ontologi dalam Mistisme
Ibn’ Arabī”, 17. 120Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritual:
Huruf Sebagai Simbol Ontologi dalam Mistisme
Ibn’ Arabī”, 17.
-
121
karena itu, mereka terkesan sebagai kalangan yang suka
mengadakan cara-cara
tersendiri dalam berhubungan dengan Tuhan yang dianggap
menyimpang
menurut kalangan yang berorientasi pada hal-hal yang
legalistik.121
Dalam puncak pengalaman mistiknya, para sufi sering kali
mengalami
situasi yang mereka percaya bahwa pada saat itu mereka sedang
berjumpa
dengan Tuhan. Kondisi ini disebut wajd atau ekstase sufistik,
sehingga saat itu
sering kali keluar ungkapan-ungkapan yang tak lazim secara
spontan, suatu
keadaan yang disebut dengan syaṭahāt ṣufiyyah.122
Menurut Sulaiman, tragedi hukuman mati terhadap Al-Hallaj
dapat
dipandang mewakili keadaan ini.123 Oleh karena itu, jangan
tergesa-gesa dalam
menyalahkan suatu ajaran. Karena ketika seseorang berbuat
kesalahan setelah
mempelajari suatu ajaran, belum tentu disebabkan oleh ajaran
itu, melainkan
yang mempelajari hal itu adalah orang yang kurang memahami
ajaran itu.124
Dalam hal ini, dikhawatirkan ajaran-ajaran yang tertera dalam
naskah-
naskah tasawuf tersebut beredar dikomunitas yang mana murid dan
sebagian
gurunya tidak memiliki dasar ilmu agama yang memadai. Hal ini
dapat
dikatakan karena terdapat banyak tulisan Arab yang keliru, baik
itu penulisan
al-Qur’an, Hadits, maupun perkataan ulama sufi yang dijadikan
sebagai dalil.
Hal ini bisa jadi terjadi karena diterima secara turun temurun
dari guru ke guru
121Sulaiman Al-Kumayi, Islam buhuhan Kumai, 211. 122Asmara Edo
Kusuma, “Syathahāt Shūfiyyah: Ekspresi Ekstasi Para Sufi” Juni,
2019.
Dalam
https://islamkepulauan.id/asmara-edo-kusuma-/telaah/syathahat-shufiyyah-ekspresi-ekstasi-
para-sufi/ diakses tanggal 16 Juni 2020. 123Sulaiman Al-Kumayi,
Islam buhuhan Kumai, 211. 124Rahmadi, M. Husaini Abbas, dan Abd.
Wahid, Islam Banjar, 125.
https://islamkepulauan.id/asmara-edo-kusuma-/telaah/syathahat-shufiyyah-ekspresi-ekstasi-para-sufi/https://islamkepulauan.id/asmara-edo-kusuma-/telaah/syathahat-shufiyyah-ekspresi-ekstasi-para-sufi/
-
122
atau sekedar dari lisan ke lisan hingga yang ditulis hanya
berdasarkan
pendengaran tanpa mengenal tulisan yang benar.
Tabel IV.1
Komparasi Rahasia Shalat dalam Naskah-Naskah Tasawuf di
Kalimantan
Selatan
No Aspek Naskah Asrār aṣ-
Ṣalāh
Naskah Ijazah
Ilmu Syari’at
(Mazhab Imam
Syafi’i)
Naskah
Mengenal Diri
1. Penulisan
Naskah
Menggunakan
Mesin Tik.
Diketik. Ditulis tangan.
2. Gambaran
Isi Secara
Umum
Khusus
Menjelaskan
rahasia shalat.
Memuat tatacara
dan rahasia
shalat.
Rahasia shalat
yang termuat
dalam ajaran
mengenal diri.
3. Hakikat
Shalat
- Gerakan utama
shalat (berdiri,
Rukuk, sujud, dan,
duduk)
dihubungkan
dengan lafal
Allāh, Aḥmad, dan
elemen alam yang
- Gerakan utama
shalat (berdiri,
Rukuk, sujud,
dan, duduk)
dihubungkan
dengan lafal
Allāh dan
Aḥmad,
- Gerakan
utama shalat
(berdiri,
Rukuk, sujud,
dan, duduk)
dihubungkan
dengan lafal
Allāh, Aḥmad,
-
123
ada pada diri
manusia (api,
udara, air, dan
tanah).
dan elemen
alam yang ada
pada diri
manusia (api,
udara, air, dan
tanah).
4. Kiblat
Shalat
Terdapat empat
kiblat shalat, yaitu:
- Kiblat tubuh:
Baitullah
- Kiblat hati: Bayt
al-Ma’mūr
- Kiblat nyawa:
‘Arasy
- Kiblat Rahasia:
Zat Allah
Terdapat dua
kiblat shalat,
yaitu:
- Kiblat zahir:
Baitullah
- Kiblat bathin:
Hati yakni Zat
Allah.
Terdapat empat
kiblat shalat,
yaitu:
- Syari’at:
Baitullah
- Tarekat: Qaḍi
atau Hakim
- Hakikat:
Nyawa
Makrifat:
Rahasia
5. Berdiri - Merupakan
hakikat huruf alīf
yang terdapat
dalam lafadz
Allāh dan Aḥmad.
- Merupakan
hakikat huruf
alīf yang
terdapat dalam
lafadz Allāh dan
Aḥmad.
- Merupakan
hakikat huruf
alīf yang
terdapat dalam
lafadz Allāh
dan Aḥmad.
-
124
- Berasal dari api
yang merupakan
hakikat sifat jalāl
(kebesaran) Allah.
- Hakikat Nūr
Muḥammad yang
berdiri pada sifat
ḥayat Allah dan
fana (lenyap) pada
zat-Nya.
- Mengandung
lima sifat Allah,
yaitu wujūd,
qidām, baqā`,
mukhālafatuhu
li al-ḥawādits,
dan qiyāmuhu
binafsihi.
- Menghadirkan
hati terhadap
zat Allah swt.
dengan
musyāhadah
dan
murāqabah
sebelum
mengangkat
takbir.
- masuknya sifat
Allah yaitu
baqā’ kedalam
diri hamba,
sehingga ia
menyadari
bahwa dirinya
adalah fana.
6. Takbīrāt
al-Iḥrām
- Menyatakan
keesaan Allah
(zat, sifat, nama,
dan perbuatan)
dalam lafazh Allāh
- Menyatakan
keesaan Allah
(zat, sifat, nama,
dan perbuatan)
dalam lafazh
- Menyatakan
keesaan Allah
(zat, sifat,
nama, dan
perbuatan)
-
125
serta sebagian
sifat-Nya (qudrāh,
irādah,‘ilmu dan
ḥayāt) yang
terkandung dalam
lafazh Akbar.
- Kehadiran hati
saat bertakbir
harus terdiri dari
empat hal, yaitu:
Tabdīl, Munājat,
Mi’rāj, dan Ihrām
- Ketika Takbīrāt
al-Iḥrām dimulai
pertemuan dan
persatuan antara
‘abīd dan ma’būd,
yakni antara
hamba dengan
Tuhan.
Allāh serta
sebagian sifat-
Nya (qudrāh,
irādah,‘ilmu dan
ḥayāt) yang
terkandung
dalam lafazh
Akbar.
- Ketika Takbīrāt
al-Iḥrām dimulai
pertemuan dan
persatuan antara
‘abīd dan
ma’būd, yakni
antara hamba
dengan Tuhan.
dalam lafazh
Allāh serta
sebagian sifat-
Nya (qudrāh,
irādah,‘ilmu
dan ḥayāt) yang
terkandung
dalam lafazh
Akbar.
- Kehadiran hati
saat bertakbir
harus terdiri
dari empat hal,
yaitu: Tabdīl,
Munājat,
Mi’rāj, dan
Ihrām.
- Ketika Takbīrāt
al-Iḥrām
dimulai
pertemuan dan
persatuan
antara ‘abīd dan
-
126
ma’būd, yakni
antara hamba
dengan Tuhan.
7. Niat - Terdiri dari tiga
komponen, yaitu:
Qaṣd, Ta’aruḍ,
dan Ta’yīn.
- Niat sebagai
rahasia yang
tersembunyi (sir
al-khafi)
- Terdiri dari tiga
komponen, yaitu:
Qaṣd, Ta’aruḍ,
dan Ta’yīn.
- Ada tiga
pendapat
mengenai makna
niat, yaitu
menurut ulama
fikih, tauhid, dan
tasawuf.
- Terdiri dari tiga
komponen,
yaitu: Qaṣd,
Ta’aruḍ, dan
Ta’yīn
8. Membaca
surah Al-
Fātiḥah
- Dialog Hamba
dengan Tuhan
- Esensinya:
Mengenal Diri
- Dialog Hamba
dengan Tuhan
- Esensinya:
Mengenal Diri
- Dialog Hamba
dengan Tuhan
- Esensinya:
Mengenal.
-
127
9. Rukuk’ - Hakikat huruf Ḥa
yang termuat
dalam lafadz
Aḥmad.
- Hakikat huruf lām
awal pada lafadz
Allāh.
- hakikat sifat
qahhār
(kekerasan) Allah
- Berhubungan
dengan sifat
qudrah.
- Hakikat huruf
Ḥa yang
termuat dalam
lafadz Aḥmad.
- Hakikat huruf
lām awal pada
lafadz Allāh.
- sifat Allah yang
masuk dalam
gerakan Rukuk
ada enam sifat
Allah, yaitu
sama’, baṣar,
kalām, samī’un,
basīrun dan
mutakallimun.
- Hakikat huruf
Ḥa yang
termuat dalam
lafadz Aḥmad.
- Hakikat huruf
lām awal pada
lafadz Allāh.
- sifat Allah
yang masuk
dalam gerakan
Rukuk adalah
sifat qiyāmuhu
ta’ala
binafsihi.
10. Iktidal - hakikat Iktidal
adalah
menyaksikan
keesaan Allah dan
kenabian
Rasulullah.
- Iktidal adalah
kembalinya
orang yang
shalat seperti
keadaan semula
sebelum ia
Rukuk’, sambil
-
128
membaca
sami’a Allāhu
liman ḥamidah.
11. Sujud - Hakikat huruf
mīm yang terdapat
dalam lafadz
Aḥmad.
- Hakikat huruf lām
akhir pada lafadz
Allāh.
- Hakikat sifat
jamāl (keelokan)
Allah.
- Pernyataan
seorang hamba
kepada Allah,
bahwa ia merasa
dirinya fakir, hina,
dan lemah
dihadapan
Tuhannya,
sehingga diri yang
- Hakikat huruf
mīm yang
terdapat dalam
lafadz Aḥmad
- Hakikat huruf
lām akhir pada
lafadz Allāh.
- sifat Allah yang
masuk dalam
gerakan sujud
ada empat sifat
Allah, yaitu
qudrah, irādah,
‘ilmu, dan
ḥayāh.
- Hakikat huruf
mīm yang
terdapat dalam
lafadz Aḥmad
- Hakikat huruf
lām akhir pada
lafadz Allāh.
- sifat Allah
yang masuk
dalam gerakan
sujud adalah
sifat ḥayāh.
-
129
merupakan Nūr
Muḥammad
tersungkur
dibawah
kebesaran arasy
Allah swt.
- Sifat Allah yang
masuk dalam
gerakan sujud
adalah sifat
irādah.
12. Duduk
diantara
dua sujud
- huruf dāl yang
termuat dalam
lafadz Aḥmad
- hakikat huruf ha
pada lafadz Allāh
- hakikat dari sifat
kamāl
(kesempurnaan)
Allah.
- diumpamakan
seperti duduk
- huruf dāl yang
termuat dalam
lafadz Aḥmad
- hakikat huruf ha
pada lafadz
Allāh
- lima sifat Allah
yang
terkandung
dalam hakikat
duduk ketika
shalat, yaitu
- huruf dāl yang
termuat dalam
lafadz Aḥmad
- hakikat huruf
ha pada lafadz
Allāh
- sifat Allah
yang masuk
dalam gerakan
duduk adalah
sifat ‘ilmu.
-
130
tajalli berhadapan
dengan Allah.
- seolah berada
kembali seperti
semula dalam
keadaan suci di
alam arwah sejak
Allah mengatakan
kepada hambanya
“alastu
birabbikum”
qādirun,
murīdun,
ālimun, ḥayyun,
dan waḥdaniyah
13. Tahiyat
Akhir
- tiga perkara yang
merupakan asal
tahiyat, yaitu: 1)
Pujian Rasulullah
kepada Allah
ketika Beliau
berada di bawah
arasy-Nya pada
saat isra mi’raj; 2)
Pujian Allah
terhadap
Rasulullah; 3)
- ketika membaca
salam kepada
Nabi, seseorang
yang shalat
hendaknya
merasa bahwa
ia sedang
berhadapan
dengan
Rasulullah, dan
seakan-akan
salam
-
131
Pujian malaikat
dan hamba-hamba
yang shaleh di
dalam arasy.
- ketika membaca
salam kepada
Nabi, seseorang
yang shalat
hendaknya merasa
bahwa ia sedang
berhadapan
dengan
Rasulullah, dan
seakan-akan
salam kehormatan
itu didengar dan
dijawab langsung
oleh Rasulullah.
kehormatan itu
didengar dan
dijawab
langsung oleh
Rasulullah.
14. Shalawat Merasakan dalam
hati bahwa shalawat
ditujukan kepada
Rasulullah saw.
yang tidak lain
-
132
adalah rupa dari diri
manusia itu sendiri.
15. Salam Salam kekanan dan
kekiri merupakan
pernyataan kepada
malaikat kirāman
kātibīn bahwa
seorang hamba telah
datang dari munājat
kepada Allah.
16. Tertib Berurutan dari
Rukun yang
pertama sampai
Rukun terakhir.
Tabel IV.2
Keunikan Rahasia Shalat dalam Naskah-Naskah Tasawuf di
Kalimantan Selatan
No Keunikan Keterangan
1.
Menekankan
Aspek Mistisisme
Dalam
Simbolisme Gerakan Shalat
Asal Perintah Shalat dihubungkan dengan Nūr
Muḥammad.
-
133
Mengungkapkan
Rahasia Shalat.
Esensi shalat adalah mengenal diri.
Mistisisasi Surah al-Fātiḥah.
Kandungan Tauhid dalam Shalat (al-Af’āl, al-
Asmā’, aṣ-Ṣifāt, dan adz-Dzāt).
2.
Menampilkan
Simbol, Rakam,
dan Skema dalam
Penjelasannya
Asal-usul diri manusia dalam sebuah rakam
berbentuk sosok manusia yang badannya dipenuhi
dengan kalimat Allah dan terdapat simbol-simbol
yang mengelilinginya.
Rakam surah Al-Fātiḥah sudah ada dalam diri
manusia dan berhubungan dengan anggota tubuh.
Bentuk tubuh ketika shalat yang membentuk lafadz
Allāh dan Muḥammad.
Huruf-huruf dalam lafadz Allāhu akbar dengan
sifat-sifat Tuhan dan Konsep Tauhid.
Skema anggota badan yang dihubungkan dengan
huruf-huruf hijaiyah.
Rakam orang yang shalat dengan posisi duduk
tahiyat yang mana seluruh tubuhnya diliputi
dengan kalimat Allah.
3.
Naskah tidak
disebarluaskan
kepada masyarakat
secara umum, dan
Ajaran rahasia shalat yang termuat dalam naskah-
naskah seperti ini hanya layak disajikan untuk
kalangan tertentu yang sudah memahami alam
fikiran, ungkapan, dan intuisi kaum sufi. Sehingga
-
134
hanya dimiliki oleh
kalangan tertentu
yang cenderung
ekslusif.
belum layak untuk disajikan kepada orang-orang
awam yang belum mantap akidahnya dan masih
minim pengetahuan tentang ilmu tasawuf.
Sebagaimana yang tertulis dalam salah satu naskah
bahwa orang yang ingin mempelajari naskah
tersebut, haruslah dibimbing seorang guru, karena
jika tidak bisa menyebabkan jatuh dalam kesesatan.