100 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN UPAH SEWA DALAM PRAKTIK IJOL GARAPAN DI DESA RAJEGWESI KECAMATAN PAGERBARANG KABUPATEN TEGAL A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Upah Sewa dalam Praktik Ijol Garapan di Desa Rajegwesi Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal Ijol garapan yang ada di Desa Rajegwesi merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih untuk memberikan kenikmatan suatu barang maupun jasa kepada pihak yang lain selama waktu tertentu yang telah disepakati dengan pembayaran upah/sewa sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait (penyewa dan pemberi sewa). Praktik ini dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana pihak penyewa menukarkan garapan sawah untuk bercocok tanam dengan pihak pemberi sewa yang menyewakan tanah sawahnya untuk membuat batu bata merah. Masyarakat Desa Rajegwesi khususnya para pihak yang melakukan transaksi ijol garapan memberi batasan terhadap ukuran tanah sawah yang akan dijadikan objek ijol garapan sebesar 1.750 m 2 / (seperempat), dan membayar uang tambahan Rp 1.500.000,- per tahun hingga Rp 2.000.000,- per tahun. Batasan uang tambahan yang wajib dibayarkan oleh pihak
19
Embed
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN …eprints.walisongo.ac.id/6837/5/BAB IV.pdfAdapun contoh kasus yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya (BAB III), terkait dengan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
100
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
UPAH SEWA DALAM PRAKTIK IJOL GARAPAN DI DESA
RAJEGWESI KECAMATAN PAGERBARANG KABUPATEN
TEGAL
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Upah Sewa
dalam Praktik Ijol Garapan di Desa Rajegwesi Kecamatan
Pagerbarang Kabupaten Tegal
Ijol garapan yang ada di Desa Rajegwesi merupakan suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih untuk memberikan kenikmatan
suatu barang maupun jasa kepada pihak yang lain selama waktu
tertentu yang telah disepakati dengan pembayaran upah/sewa
sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait (penyewa dan pemberi sewa). Praktik ini dilakukan oleh
dua orang atau lebih, dimana pihak penyewa menukarkan garapan
sawah untuk bercocok tanam dengan pihak pemberi sewa yang
menyewakan tanah sawahnya untuk membuat batu bata merah.
Masyarakat Desa Rajegwesi khususnya para pihak yang
melakukan transaksi ijol garapan memberi batasan terhadap
ukuran tanah sawah yang akan dijadikan objek ijol garapan
sebesar 1.750 m2
/
(seperempat), dan membayar uang tambahan
Rp 1.500.000,- per tahun hingga Rp 2.000.000,- per tahun.
Batasan uang tambahan yang wajib dibayarkan oleh pihak
101
pemberi sewa sebesar Rp 2.000.000,- per tahun, mulai ditetapkan
sejak tahun 2016. Sedangkan uang tambahan sebesar Rp
1.500.000,- per tahun, berlaku sejak adanya praktik ijol garapan
hingga akhir tahun 2015.
Adapun rukun dan syarat dalam praktik ijol garapan yaitu:
1. Orang yang berakad („āqidain)
2. Sewa/imbalan (ujrah)
3. Manfaat (manfa‟ah)
4. Ijab dan qabul (shighah)
Jika dilihat dari rukun ijol garapan, praktik ini boleh
dilakukan karena terpenuhinya rukun sesuai dengan teori sewa-
menyewa (ijārah).
Selanjutnya, syarat-syarat dalam praktik ijol garapan
meliputi:
1. Syarat terjadinya akad (syarat al-in‟iqad).
Pelaksanaan upah sewa dalam praktik ijol garapan
yang ada di Desa Rajegwesi, terdapat unsur-unsur yang
berkaitan dengan pelaku akad, antara lain musta‟jir (orang
yang menyewa sesuatu baik berupa barang ataupun jasa), dan
mu‟ajjir (pihak yang menyewakan baik barang ataupun jasa)
disyaratkan telah baligh, mumayyiz, berakal sehat, serta cakap
hukum dan saling merelakan. Dalam hal ini, yang
berkedudukan sebagai musta‟jir adalah pihak yang
menukarkan garapannya untuk bercocok tanam. Sedangkan
yang bertindak sebagai mu‟ajjir adalah pihak yang
102
menukarkan garapannya untuk pembuatan batu-bata merah.
Masing-masing pihak yang melakukan praktik ijol garapan
sudah sangat cakap dalam melakukan ijol. Dari ketentuan
yang telah ada, maka dapat diambil benang merahnya, bahwa
praktik ijol garapan harus dilakukan oleh orang yang sudah
baligh, mumayyiz, berakal sehat serta cakap hukum. Oleh
sebab itu, apabila orang yang melakukan praktik ijol garapan
tidak sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh
syari‟at Islam, seperti halnya akad yang dilakukan oleh anak
kecil dan orang gila, maka akad yang dilakukan tidak sah.
Begitu pula sebaliknya, penjelasan di atas membuktikan
bahwa, akad yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
melakukan transaksi ijol garapan, baik pihak penyewa
ataupun pihak yang memberi sewa adalah sah menurut hukum
Islam (teori ijārah). Hal ini dikarenakan para pihak yang
melakukan ijol garapan mereka adalah orang-orang yang
sudah baligh, berakal sehat, cakap hukum, serta mempunyai
keahlian masing-masing dalam bertani.
2. Syarat berlakunya akad (syarat an-nafādz).
Syarat berlakunya akad dalam praktik ijol garapan
adalah adanya hak kepemilikan atau kekuasaan. Apabila
praktik ijol garapan dilakukan oleh seseorang yang tidak
memiliki hak kuasa untuk melakukan ijol, maka praktik ijol
garapan menjadi tidak sah, karena seseorang yang
melakukannya tidak ada kepemilikan dan kuasa. Kecuali, ada
103
kuasa yang diberikan kepada pihak ketiga untuk melakukan
praktik ijol. Adapun contoh kasus yang telah dibahas dalam
pembahasan sebelumnya (BAB III), terkait dengan
pelimpahan kuasa melalui pihak ketiga yang diberi kuasa
secara mutlak.
Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa, praktik ijol
garapan yang ada di Desa Rajegwesi sudah sesuai dengan
teori ijārah. Karena dalam praktik ijol garapan yang
dilakukan oleh pihak ketiga atas dasar izin, perintah, serta
kuasa mutlak yang memberikan kuasa.
3. Syarat sahnya akad (syarat ash-sihhah).
Syarat sahnya akad dalam praktik ijol garapan terdi
dari: pelaku akad, objek akad, upah, serta berlakunya akad itu
sendiri.
a. Kerelaan kedua belah pihak
Dalam praktiknya, pelaksanaan pelaksanaan upah
sewa dalam praktik ijol garapan salah satu pihak merasa
terpaksa termasuk dalam pembayaran uang tambahan
yang harus dibayarkan. Padahal Allah swt., telah
berfirman dalam surat al-Nisa‟ (4): 29 yang berbunyi:
...
104
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama-suka di antara kamu”. (QS. al-Nisa‟
(4): 29)1.
Penjelasan ayat diatas sangat jelas, menjelaskan
tentang larangan memperoleh harta dengan jalan yang
batil. Melalui ayat ini juga, Allah mengingatkan
sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam
bukunya yang berjudul “Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur‟an Vol. II)”:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan (yakni memperoleh) harta (yang
merupakan sarana kehidupan) kamu diantara kamu
dengan jalan yang batil (yakni tidak sesuai dengan
tuntunan syari‟at), tetapi hendaklah kamu memperoleh
harta itu dengan jalan perniagaan yang berdasarkan
kerelaan diantara kamu (kerelaan yang tidak melanggar
ketentuan agama)”2.
Meskipun kerelaan adalah sesuatu yang
tersembunyi di lubuk hati, akan tetapi indikator dan tanda-
1 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya,
Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006, h. 83. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an), Vol. II, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet-4, h. 411.
105
tandanya dapat terlihat. Ijab dan qabul atau apa saja yang
dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah
bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukan
kerelaan. Oleh sebab itu pelaksanaan upah sewa dalam
praktik ijol garapan yang ada di Desa Rajegwesi boleh
dilakukan. Hal ini disebabkan karena para pihak
menyatakan kerelaannya dengan lafal ijab dan qabul.
b. Objek akad.
1) Dapat diketahui sifatnya.
Para pihak yang melakukan praktik ijol
garapan menyewa tanah sawah dengan ketentuan
objek yang sangat jelas. Para pihak yang akan
melakukan praktik tersebut menyebutkan masing-
masing tujuan sewanya, baik tujuan untuk pembuatan
batu-bata merah maupun untuk bercocok tanam, serta
jangka waktu yang akan disepakati.
2) Dapat diserahkan secara nyata.
Masing-masing para pihak yang melakukan
praktik ijol garapan menyerahkan tanah sawah yang
akan digarapnya. Meskipun objek sewa tersebut tidak
diserah-terimakan secara langsung di depan mata,
seperti halnya menyewakan benda bergerak misalnya
motor dan sebagainya. Akan tetapi diserahkan dengan
cara ucapan/lisan, dan tentunya masing-masing pihak
106
telah mengetahui objek sewa (masing-masing tanah
garapan).
3) Manfaat yang dijadikan objek akad dibolehkan secara
syara‟.
Manfaat yang dijadikan objek akad dalam
praktik ijol garapan ini adalah tanah sawah. Yang
mana tanah sawah ini disewakan dengan cara
diijolkan, baik untuk pembuatan batu-bata merah
maupun untuk bercocok tanam. Masing-masing
garapan digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, serta dibolehkan secara syara‟.
Objek akad dalam pelaksanaan upah sewa
praktik ijol garapan yang ada di Desa Rajegwesi
boleh dilakukan. Karena terpenuhinya ketentuan-
ketentuan yang berlaku, baik dari segi sifat objek
akad, objek akad dapat diserahkan secara nyata
(hakiki), serta manfaat objek akad dibolehkan secara
syara‟.
c. Syarat-syarat upah.
1) Upah harus berupa harta yang bernilai dan diketahui.
Pada praktiknya, upah sewa yang dibayarkan
dalam praktik ijol garapan adalah berupa manfaat
garapan yang bersifat sementara, serta uang
tambahan yang ditangguhkan guna mengganti
107
kerugian tanah yang berkurang. Penjelasan diatas
menunjukan bahwa, pelaksanaan transaksi ijol
garapan yang terjadi di Desa Rajegwesi terdapat
percampuran dua akad satu objek dalam waktu yang
bersamaan. Percampuran akad yang dimaksudkan
adalah antara akad sewa-menyewa (ijārah) dan akad
jual-beli (ba‟i). Dalam sewa-menyewa (ijārah) yang
menjadi objeknya adalah beralihnya hak manfaat
yang sifatnya sementara, sehingga ketika masa sewa
berakhir maka berakhir pula manfaat yang diambil
dari objek sewa. Selanjutnya dalam sewa-menyewa
juga pihak penyewa tidak boleh mengurangi dan
merusak objek sewa. Berbeda dengan jual-beli (ba‟i),
jual-beli (ba‟i) sebagaimana yang dikutip oleh
Dimyauddin Djuwaini dalam bukunya mendefinisikan
bahwa jual-beli merupakan pertukaran harta dengan
harta. Harta yang dimaksudkan disini adalah harta
yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan
manusia untuk menggunakannya3. Penjelasan
mengenai definisi jual-beli sangatlah jelas, bahwa