digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 121 BAB IV ANALISIS FUNGSI LEGISLASI DPR DAN DPD DALAM PERSPEKTIF MAṢLAḤAH MURSALAH A. Fungsi Legislasi DPR Dalam Perspektif Maṣlaḥah Mursalah Dalam fikih siyasah (sistem ketatanegaraan Islam) terdapat asas-asas pemerintahan yang baik yang harus diwujudkan, asas-asas tersebut digali dari sumber utama fikih siyasah yakni al-Qur’an dan Hadis. Sebagai contohnya, asas- asas tersebut antara lain adalah asas amanah, asas tanggung jawab (al- Mas’ūliyyah), asas maslahat (al-Maṣlaḥah), dan asas pengawasan (al-Muḥāsabah). 1 Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah memberikan makna mengenai tugas yang harus diemban oleh pemerintah dalam negara, di antaranya adalah: 2 1. Menciptakan kemaslahatan bersama; 2. Mewujudkan amanah sebaik-baiknya; dan 3. Menciptakan keadilan semaksimal mungkin. Al-Mawardi juga memberikan paparan mengenai tujuan kepemimpinan atau pemerintahan dalam suatu negara sebagai berikut: 3 1. Terselenggaranya ajaran agama; 2. Terwujudnya kemaslahatan umat; dan 3. Agar kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera. Jika diamati mengenai tujuan adanya sebuah pemerintahan dalam suatu negara menurut ketiga pemikir di atas, dapat ditemukan satu persamaan yaitu 1 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 242. 2 Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan, (Jakarta: Bina Ilmu, 1999), 164. 3 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Terjemah Bahasa Indonesia dari al-Ahkam al-Sulthaniyyah), (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 14.
19
Embed
BAB IV - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/8699/5/Bab 4.pdf · negara menurut ketiga pemikir di atas, dapat ditemukan satu persamaan yaitu ... 7Pasal 68 Undang-Undang Nomor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
ANALISIS FUNGSI LEGISLASI DPR DAN DPD DALAM PERSPEKTIF
MAṢLAḤAH MURSALAH
A. Fungsi Legislasi DPR Dalam Perspektif Maṣlaḥah Mursalah
Dalam fikih siyasah (sistem ketatanegaraan Islam) terdapat asas-asas
pemerintahan yang baik yang harus diwujudkan, asas-asas tersebut digali dari
sumber utama fikih siyasah yakni al-Qur’an dan Hadis. Sebagai contohnya, asas-
asas tersebut antara lain adalah asas amanah, asas tanggung jawab (al-
Mas’ūliyyah), asas maslahat (al-Maṣlaḥah), dan asas pengawasan (al-Muḥāsabah).1
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah memberikan makna mengenai tugas yang
harus diemban oleh pemerintah dalam negara, di antaranya adalah:2
1. Menciptakan kemaslahatan bersama;
2. Mewujudkan amanah sebaik-baiknya; dan
3. Menciptakan keadilan semaksimal mungkin.
Al-Mawardi juga memberikan paparan mengenai tujuan kepemimpinan
atau pemerintahan dalam suatu negara sebagai berikut:3
1. Terselenggaranya ajaran agama;
2. Terwujudnya kemaslahatan umat; dan
3. Agar kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.
Jika diamati mengenai tujuan adanya sebuah pemerintahan dalam suatu
negara menurut ketiga pemikir di atas, dapat ditemukan satu persamaan yaitu
1 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 242. 2 Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan, (Jakarta: Bina Ilmu, 1999), 164. 3 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Terjemah Bahasa Indonesia dari al-Ahkam al-Sulthaniyyah), (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 14.
kemaslahatan. Terjaminnya kemaslahatan rakyat merupakan konsesi yang diminta
Mawardi dari penguasa atau pemerintah. Prinsip kemaslahatan berawal dari kaidah
hukum Islam yang menginginkan pengambilan manfaat dan menghindari kerusakan
(maṣlaḥah mursalah).4 Hal ini juga sejalan dengan amanat dalam Pasal 10 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
mengharuskan pejabat pemerintah untuk menerapkan asas kemanfaatan atau
kemaslahatan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam sistem ketatanegaraan Islam masa klasik, sirkulasi kekuasaan
ditentukan dengan prinsip shura (musyawarah). Prinsip ini juga tercantum dalam
piagam Madinah. Shura adalah prinsip yang menegaskan bahwa sirkulasi
kekuasaan dapat dibicarakan. Mengenai cara bermusyawarah, lembaga
permusyawaratan yang perlu dibentuk, cara pengambilan keputusan, cara
pelaksanaan putusan musyawarah, dan aspek-aspek tata laksana lainnya diserahkan
kepada kelompok manusia bersangkutan untuk mengaturnya. Jadi sebagai prinsip,
musyawarah adalah syariat.5
Islam telah mewajibkan musyawarah dan menjadikannya sebagai satu dasar
dari dasar-dasar hukum dan politik, namun Islam tidak membuat satu sistem khusus
dan tidak merincikan hukum-hukumnya. Tujuan dari hal itu agar rakyat ikut andil
dalam musyawarah, dan rincian andil atau partisipasinya diserahkan kepada
mereka, dan perkara perinciannya pun berbeda-beda sesuai perbedaan sosial
kemasyarakatan di satu masa dan satu tempat.6
4 Maskur Hidayat, Konsep Negara Kemaslahatan, (Surabaya: Laros, t.t), 154. 5 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara..., 128. 6 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), 72.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga perwakilan rakyat
yang berkedudukan sebagai lembaga negara.7 Salah satu fungsi DPR adalah fungsi
legislatif, sebagaimana telah tercantum dalam Undang-Undang Negara Republik
Indonesia 1945 pasal 20.8 Di Indonesia musyawarah tidak mungkin dilaksanakan
oleh seluruh rakyat, oleh karena itu musyawarah dilaksanakan oleh sekelompok
orang yang dipilih oleh rakyat untuk mewakilinya. Dalam sejarah ketatanegaraan
Islam, mereka disebut Ahlul Halli wal Aqdi atau Dewan Perwakilan Rakyat (di
Indonesia).9
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki beberapa wewenang sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang, sebagai berikut10:
1. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama;
2. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk
menjadi undang-undang;
3. Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden;
7 Pasal 68 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 8 Pasal 20 yang berbunyi : 1) DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang; 2) DPR membahas Rancangan Undang-Undang dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; 3) Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. 9 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik...., 44. 10 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
8. Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.
Tugas dan wewenang DPR di atas menunjukkan bahwa adanya DPR dapat
membawa kemaslahatan dan kemanfaatan untuk sistem ketatanegaraan Indonesia.
DPR sebagai lembaga deliberatif dan lembaga perwakilan rakyat, karena di
Indonesia musyawarah tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh rakyat, oleh
karena itu musyawarah dilaksanakan oleh sekelompok orang yang dipilih oleh
rakyat untuk mewakilinya. DPR dalam hal ini menjalankan konsep musyawarah
(shura) sebagaimana yang telah disyariatkan oleh agama Islam. Namun secara
umum, adanya DPR ini telah mampu mewujudkan asas-asas pemerintahan yang
baik, seperti asas amanah, asas tanggung jawab (al-Mas’ūliyyah), asas maslahat (al-
Maṣlaḥah), dan asas pengawasan (al-Muḥāsabah).
B. Fungsi Legislasi DPD Dalam Perspektif Maṣlaḥah Mursalah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga perwakilan daerah yang
dibentuk pada tahun 2004 berdasarkan amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun
2001. DPD lahir sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau
daerah harus memiliki wakil untuk memperjuangkan kepentingannya secara utuh di
tataran nasional, yang sekaligus berfungsi menjaga keutuhan NKRI. Selain itu
kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang mewakili
kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan pemahaman akan
budaya dan karakteristik daerah.12
Prinsip check and balance antara cabang kekuasaan negara di dalam
kekuasaan legislatif dibangun dengan keberadaan lembaga DPR dan DPD.13
Namun dalam praktiknya, DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi. 12 A.M. fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas penerbit, 2009 ), 3. 13 Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Profil Lembaga Negara Rumpun Legislatif, (Kementerian Sekretariat Negara, 2011), 89.
Fungsi legislasi DPD sangat lemah dibandingkan dengan DPR. DPD hanya
diberikan kewenangan dalam bidang legislasi terkait dengan hal-hal tertentu
(bersifat kedaerahan), itupun hanya sebatas bisa mengajukan dan ikut membahas
namun tidak ikut pada saat pengambilan keputusan akhir. Pada akhirnya DPD
mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi mengenai
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasca putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, penyusunan prolegnas
mengharuskan keterlibatan DPD dalam setiap tahapan, mulai dari pengajuan,
pembahasan, dan penetapan prolegnas. Dengan demikian ada 3 lembaga (tripartit)
yang membutuhkan desain atau konsep baru dalam penyusunan prolegnas. Ke
depan jelas ada tiga usulan prolegnas, yaitu dari DPR, DPD, dan Pemerintah.
Artinya, model tripartit perlu didesain secara jelas karena pengalaman yang ada
pada selama ini menunjukkan bahwa usulan RUU dalam prolegnas dari DPR dan
pemerintah hampir tidak pernah tuntas menjadi UU, bahkan ada RUU yang tidak
pernah tuntas dibahas hingga masa keanggotaan DPR berakhir.17 Apalagi jika ada
tambahan usulan RUU dari DPD. Dalam konteks ini perlu ada kesepakatan yang
17 Contoh RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, keduanya masuk prolegnas tetapi belum pernah dibahas.
baik agar prolegnas tidak hanya menjadi daftar keinginan (wishlist) sehingga
jumlah RUU besar tapi kemampuan untuk menyelesaikannya minim atau kecil.18
Dengan terlibatnya 3 (tiga) lembaga yakni DPR, Presiden, dan DPD, maka
proses pembahasan RUU dilakukan dalam forum trilateral meeting. Mekanismenya
menjadi panjang karena DIM berasal dari 3 lembaga, manakala yang diajukan
adalah sama-sama RUU terkait dengan kewenangan bidang legislasi tertentu DPD
(Pasal 22D UUD 1945). Masing-masing lembaga tidak dapat saling memveto,
tetapi putusan akhir ada pada DPR dan Presiden. Keberatan DPD terhadap suatu
ketentuan hanya dapat disampaikan dengan pandangan/pendapat mini pada waktu
pembahasan RUU Tingkat II. Sebaiknya pendapat mini ini menjadi bahan
pertimbangan DPR dan Pemerintah dalam pengambilan keputusan di sidang
paripurna, sehingga akan dapat mengurangi beban DPR dan pemerintah terhadap
pengujian UU yang dilakukan DPD karena adanya penolakan terhadap pendapat
mini DPD.19
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa DPD tetap tidak
bisa ikut dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna (tahap akhir). Hal ini
menunjukkan bahwa DPD masih tidak bisa disetarakan kedudukannya dengan
DPR, meskipun keduanya sama-sama lembaga legislatif. Bahkan pasca putusan
MK Nomor 92/PUU-X/2012 ini, proses pembahasan RUU semakin rumit karena
dilakukan oleh tiga lembaga sekaligus, sehingga harapan daftar RUU dapat
diselesaikan atau dibahas secara tuntas sangatlah minim.
Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lahir
diiringi dengan semangat demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah. Namun 18 Enny Nurbaningsih, “Implikasi Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Alternatif Model Hubungan Kelembagaan Terkait Pembentuk Undang-Undang”, Mimbar Hukum, Vol. 27, No. 1 (Februari, 2015), 10. 19 Ibid, 11-12.
Kehadiran DPD juga sebagai refleksi kritis terhadap eksistensi utusan
daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan di era sebelum reformasi. Mekanisme
pengangkatan dari utusan daerah dan utusan golongan bukan saja merefleksikan
sebuah sistem yang tidak demokratis, melainkan juga mengaburkan sistem
perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan kehidupan negara modern
yang demokratis.21
Dengan lahirnya DPD pada tahun 2004, maka sistem parlemen di Indonesia
yang awalnya unikameral berubah menjadi bikameral (yang terdiri dari DPR dan
DPD). Jika dilihat menggunakan teori yang dikemukakan oleh Lijpjart, sistem
parlemen di Indonesia dapat digolongkan sebagai medium-strength bicameralism
dengan bangunan asimetris dan ingcongruent. Bangun asimetris dalam hal ini
nampak bahwa DPD mempunyai kekuasaan yang subordinat dari kamar pertama.22
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kekuasaan DPD subordinat terhadap DPR.
Di antaranya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
DPR dan DPD dalam Undang-Undang Sumber DPR Sumber DPD
UUD NRI 1945 Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal 21
- Memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
- Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.
UUD NRI 1945 Pasal 22D Ayat (1)
Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumner daya ekonomi lainnya,
21 Dewan Perwakilan Daerah republik Indonesia 2009, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan ke-5, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah, 2009), iii. 22 Desmond J. Mahesa, DPR Offside (Otokritik Parlemen Indonesia), (Jakarta: RMBOOKS, 2013), 24.
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
UUD NRI 1945 Pasal 20 Ayat (2)
Membahas RUU dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
UUD NRI 1945 Pasal 22D Ayat (2)
Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Pasal 76 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
Jumlah anggota DPR adalah 560 orang.
Pasal 252 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
Anggota DPD tiap provinsi adalah 4 orang. Dan jumlah DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR.
Pasal 72 Ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah
Pasal 249 Ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
legislator tidak dapat menyalahkan kamar lainnya jika pembuatan undang-undang
gagal).23
Beberapa argumen yang mendasari sistem unikameral lebih cocok diadopsi
oleh sistem ketatanegaraan Indonesia dipaparkan di bawah ini:24
1. Sistem dua kamar memiliki badan pembuat undang-undang yang tidak
representatif, hal ini dikarenakan para anggota pejabat legislatif (DPR dan
DPD) dipilih dan melayani konstituen yang sama. DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat, dan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah. Padahal pada
kenyataannya rakyat pasti berada di daerah. Sehingga bisa dikatakan bahwa
yang diwakili oleh DPR dan DPD adalah konstituen atau rakyat yang sama.
2. Akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan
kebijaksanaan yang berkaitan dengan daerah dapat diwakili oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD dalam tiap provinsi berjumlah
paling sedikit 35 orang dan paling banyak 100 orang.25 Jumlah ini lebih banyak
dibandingkan dengan DPD yang hanya berjumlah 4 orang tiap provinsi.26
Sehingga DPRD dengan anggotanya yang banyak di tiap provinsi dapat
memaksimalkan tugasnya untuk mengelola daerah dan memperjuangkan
kepentingan daerah konstituennya.
3. Sistem unikameral lebih disukai oleh sebagian besar negara karena struktur dan
proses dalam sistem unikameral lebih simpel, langsung, dan terbuka. Hal ini
23 Richard Verma dkk, “One Chamber or Two? (Deciding Between a Unicameral and Bicameral Legislature)”, National Democratic Institute: Legislative Research Series, 3. 24 Tom Todd, “Unicameral or Bicameral Legislatures : The Policy Debates”, Policy Brief Minnesota House of Representatives Research Department, (August, 1999), 3-11. 25 Pasal 317 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 26 Pasal 252 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.