BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Desa Hulawa tepatnya berada pada kisaran kordinat 0°34'44.63"N dan 123° 2'45.56"E, dengan luas Wilayah 2.385 H. Hulawa adalah salah satu desa diwilayah Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo, sebelah Timur berbatasan dengan Kota Gorontalo melaului batas Sungai Bolango, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pilohayanga dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Luhu. Gambar. 1 Peta Desa Hulawa
22
Embed
BAB IV 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Desa Hulawa ...eprints.ung.ac.id/3456/8/2013-1-87205-221406042-bab4-02082013121118.pdfbelum pernah liat itu model sefirikat, soalnya saya hanya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Desa Hulawa tepatnya berada pada kisaran kordinat 0°34'44.63"N dan 123° 2'45.56"E,
dengan luas Wilayah 2.385 H. Hulawa adalah salah satu desa diwilayah Kecamatan Telaga
Kabupaten Gorontalo, sebelah Timur berbatasan dengan Kota Gorontalo melaului batas Sungai
Bolango, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pilohayanga dan sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Luhu.
Gambar. 1 Peta Desa Hulawa
Desa Hulawa terdiri atas 4 Dusun dengan jumlah penduduk 3.673 jiwa yang terdiri 1796
jiwa Laki-laki dan 1877 jiwa Perempuan, dan terdapat 2.200 Kepala Keluarga.
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Kesadaran hukum masyarakat Desa Hulawa dalam mensertifikat hak atas tanah
miliknya
Kepemilikan tanah dewasa ini menjadi masalah yang kompleks dan bahkan
memunculkan banyak peselisihan, mulai dari dominasi pengusaha yang di backup oleh
pemerintah, ada juga karena perebutan hak waris semua itu menjadi fenomena biasa dalam
lingkungan masyarakat. Gorontalo khususnya, masalah sengketa tanah mulai kelihatan,
penyebab utamanya itu karena factor ekonomi masyarakat yang mulai menunjukkan perbaikan
sehingga ada sebagian masyarakat yang memiliki modal berupaya untuk memiliki tanah-tanah
yang potensial. Terlepas dari itu, lebih khusus seperti halnya yang ada di desa Hulawa Kab.
Gorontalo, dalam hasil pengamatan peneliti wilayah administratif tersebut sebagian besar
masyarakatnya belum memiliki sertifikat atau hak kepemilikan tanah yang sah. Hasil
pengamatan yang dilakukan peneliti ini dapat diperjelas dengan data-data hasil yang peroleh
peneliti di lapangan. Untuk lebih jelasnya, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
pihak yang berhubugan persoalan tanaha. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pemilik
tanah Hasan Tahir (02 – 12 – 12):
“Sejujurnya saya belum memahami dengan jelas tentang sertifikat tanah. Tapi yang
jelas kami tahu kalau sertifikat tanah bukti kepemilikan atas tanah, hanya begitu
saja.”
Pernyataan tersebut dapat dapat ditafsirkan sebagai bagian dari pengetahuan masyarakat
tentang sertifikat tanah. Jadi, pemahaman tentang sertifikat adalah bentuk bukti resmi bahwa
yang seseorang warga masyarakat memiliki sebidang tanah, sehingga pembuktianya adalah
sertifikat. Pernyataan yang disampaikan oleh Hasan Tahir tersebut memiliki persamaan
pernyataan dengan beberapa orang warga yang sempat peneliti diskusikan. Berikut kutipan
pernyataan Abdul Wahab Ahmad (02 Desember 2012):
“yang saya tahu, sertifikat itu bukti kepemilikan tanah. Dan kalau tanah so ada
sertifikat sudah jelas tanah itu milikinya seseorang. Jadi kalau mau tanya tentang
sertitifat seperti itu, hanya itu yang saya tahu. Dan kalau saya belum ada sertifikat
tanah, untuk saya punya lahan itu”.
Pernyataan-pernyataan sebagian warga yang sempat peneliti ajak diskusi tentang
kesadaran masyarakat terkait dengan sertifikat tanah. Hampir memiliki jawaban yang sama atau
dengan kata lain semua yang menjadi responden peneliti dalam masalah penelitian memiliki
jawaban yang hampir sama. Disamping itu, ada juga beberapa orang masyarakat yang sejauh ini
mengenal kalau sertifikat tanah itu penting, namun tidak memiliki lahan dan aktivitas sebagian
masyarakat tersebut hanya pembajak tanah yang ada di Desa Hulawa tersebut. Berikut kutipan
pernyataan Rusman Masi dengan beberapa orang masyarakat (02 Desember 2012, pukul 17.15)
kepada peneliti disela-sela diskusi bebas:
“maaf saja Bu, tidak tahu betul itu sertifikat, hanya saya sering dengar-dengar. Saya
belum pernah liat itu model sefirikat, soalnya saya hanya menggarap orang punya
lahan, minta maaf cuma itu”
Pernyataan tersebut bila dilihat menunjukkan tidak ada bebas dan polos. Sehingga yang
terlihat adalah keseriusan seorang petani penggarap tentang aktivitasnya dalam memenuhi
kebutuhan hidup, sehingga masalah-masalah hukum atau seperti legalitas kepemilikan lahan
masih kurang memahami dengan benar. Memang golongan masyarakat tersebut pemahaman
tentang hukum-hukum masih sangat rendah. Kondisi tersebut khususnya di Desa Hulawa relatif
sedikit.
Selanjutnya, peneliti terus mengumpulkan data dengan menginterview beberapa orang
masyarakat yang memiliki lahan yang ada di Desa Hulawa. Dalam pengamatan peneliti serta
didasarkan informasi dari beberapa orang responden yang telah disebutkan di atas, bahwa tanah-
tanah yang ada di Desa Hulawa sebagian besar telah memiliki hak kepemilikan, namun bukan
dalam bentuk sertifikat tetapi dalam bentuk surat keterangan dengan sepengetahuan pimpinan
desa atau kecamatan yang disertai dengan saksi-saksi dari masyarakat sendiri. Untuk
membuktikan informasi dari masyarakat tersebut, peneliti melakukan interview dengan beberapa
orang warga masyarakat yang memiliki lahan Hamid Y. Mahmud (05 Desember 2012):
“sertifikat itu menurut saya bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Jadi saya sebaga warga masyarakat di Desa Hulawa ini memiliki tanah
(lahan), dan saat ini saya telah memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah
saya. Memang sebelumnya saya belum urus, karena masalah biaya, tetapi karena
banyak berita terkait dengan masalah perselisihan tanah, maka saya berusaha
mengurus sertifikatnya tahun 2010 lalu”.
Pernyataan Hamid Y. Mahmud tersebut telah memberikan penjelasan yang cukup berarti
bagi seorang pemilik tanah. Artinya yang bersangkutan telah menyadari eksistensi sahnya
memiliki tanah yang dibuktikan dengan sertifikat. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa
tingkat kesadaran masyarakat terhadap hokum masih sangat rendah karena memang keterbatasan
informasi, dan media televisi sebagai social of control sangat efektif dalam memberikan
pendidikan hokum kepada masyarakat, dengan menampilkan kasus-kasus sengketa tanah. Hal ini
sebagaimana ditambahkan oleh Hamid Y. Mahmud dalam memperjelas tentang eksistensi
sertifikat serta sosilisasi pemerintah yang sangat kurang kepada masyarakat.
“Maaf ini yah, sejujurnya dengan sering menonton berita di televisi, itu membuat
saya menyadari bahwa sertifikat tanah itu penting. Banyak kasus itu di televisi lahan
masyarakat digusur karena sudah dimiliki oleh pengusaha tertentu, padalah tanah itu
tanah warisan keluarga. Kami juga masyarakat menyadari, kalau sosialisasi dari
pertanahan itu sampai hari ini tidak ada, serta dari desa pun demikian. Mungkin anda
harus banyak bertanya lagi, masih banyak juga warga yang belum memiliki
sertifikat, nantilah dicari informasi lagi, dan sebagian dari mereka itu menggunakan
surat keterangan dari desa saja”.
Pernyataan tersebut memberikan kejelasan tentang kesadaran hukum masyarakat
khususnya yang berhubugan dengan hak kepemilikan tanah. Bahkan lebih menarik dari
pernyataan tersebut yakni sumber informasi masyarakat tentang eksistensi kepemilikan sahnya
tanah sangat kurang. Namun demikian, peneliti melakukan interview dengan informan lain.
Berikut kutipan wawancara dengan Abdul Rahman Muhsin (03 Desember 2012):
“saya memang memiliki lahan, dan saat ini telah memiliki sertifikat. Saya menyadari
benar bahwa sertifikat tanah itu penting. Sehingga itu saya mengurusnya, dan
memang proses untuk memilikinya agak lama, karena harus menghadirkan dari pihak
pertanahan untuk melakukan pengukuran, serta pihak desa dan saksi. Dan pada
intinya saya menyadari bahwa sertifikat itu penting”.
Peryataan kedua orang responden tersebut di atas, pada prinsipnya hampir mengalami
kesamaan, tetapi substansinya sama. Artinya, bila seseorang mengurus sertifikat tanah berarti
menyadari konsekuensi hukum bila tidak memiliki sertifikat. Namun untuk terus mendukung
penelitian ini, peneliti terus melakukan wawancara dengan masyarkat lain yang ada di Desa
Hulawa ini. Berikut kutipan wawancara dengan Syukrin Zain (04 Desember 2012):
“terkait dengan pernyataanyaan anda masalah kesadaran hukum. Pada dasarnya saya
sadarlah, buktinya saya memiliki setifikat tanah. Dengan adanya sertifikat tanah ini,
menunjukkan bahwa saya sadar hukum, disamping itu setiap tahun saya taat pajak
kok, karena saya terus membayarkan pajak tanah dan bagunanan rumah saya. Ini
menunjukkan kalau saat ini saya sadar hukum dong. Terkait dengan yang lain belum
memiliki sertifikat tanah, dapat dikatakan seperti itu, tetapi mereka juga bayar pajak
kok. Tapi sekalipun demikian bagi saya adalah saya memegang sertifikat itu yang
terpenting, karena itu bukti pengakuan pemerintah atas tanah yang saya miliki. Bagi
masyarakat lain yang belum memiliki sertifikat, belum bisa juga dikatakan tidak
sadar hukum tetapi kemungkinan karena factor biaya, sehingga mengurusnya agak
terhambat, Karena proses pengurusan sertifikat itu cukup berbelit-belit juga seeh”.
Penjelasan sebagaiman kutipan wawancara dengan Syukrin Zain tersebut, bagi peneliti
mengasumsikan bahwa masyarakat yang telah memiliki sertifikat tanah adalah bentuk kesadaran
hukum sudah baik. Selanjutnya peneliti melakukan interview dengan masyarakat yang memiliki
lahan tetapi tidak memiliki sertifikat atau hanya menggunakan bukti kepemilikan berdasarkan
surat keterangan dari desa.
Berdasarkan dari beberapa informasi yang sifatnya menggantung, bahwa tidak serta
merta masyarakat yang tidak memiliki tanah tidak sadar hukum, bisa saja masyarakat sadar
hukum hanya saja proses untuk mengurus sertifikat mengalami kendala teknis. Untuk
memperjelas hal tersebut, berikut peneliti memaparkan hasil interview dengan masyarakat yang
tidak memiliki sertifikat tanah, Sigar Maia (04 Desember 2012):
“Sebetulnya bu, kami itu tau kalau sertifikat itu begitu penting, tapi mau saya tidak
dapat berbuat banyak, uang terbatas, untuk pengurusan sertifikat jelas perlu uang.
Saya juga ingin punya sertifikat itu, tapi untuk pengurusannya tidak tau bagaimana.
Sebagai bukti sekrang bahwa tanah saya, ada tanda tangan Ayahanda (Kepala Desa)
tahun 1980-an. Jadi bukti itu yang saya pake dan disimpin sebagai hak milik tanah”.
Kutipan wawancara tersebut menjadi bagian dari pengakuan warga tentang hak
kepemilikan tanah. Dengan demikian, masyarakat intinya memahami arti penting keberadaan
sertifikat, dengan demikian kesadaran hukum dimiliki oleh warga masyarkat khususnya yang
memiliki tanah di Desa Hulawa. hal ini dibuktikan dengan beberapa kutipan wawancara peneliti
dengan beberapa orang masyarakat sebagai informan dalam penelitian ini, diantaranya Hamdan
Yusuf (07 Desember 2012)
“saya ini punya tanah, tapi tidak ada sertifikat yang ada hanya surat keterangan
kepemilikan dari desa. Dan setiap tahun saya membayar pajak ke desa”
Hal yang sama sebagaimana pernyataan masayarakat lain yakni, Husain Rajak (07 – 12 -
2012):
“kami ini tidak ada sertifikat, dan kami tau sertifikat itu surat kepemilikan tanah dari
pemerintah. Belum ada uang untuk mengurus sertifikat. Jadi hanya bagitu saya punya
tanah ini. Sudah banyak juga tanah yang kami sama orang lain, dan mereka langsung
buat sertifikat itu”.
Pernyataan-pernyataan tesebut di atas, menunjukkan ada kesamaan substansi, sehingga
itu dapat dikatakan bahwa masyarakat umumnya mehamahi dan menyadari hukum atas
kepemilikan tanah. Sekalipun saat ini ada sebagian besar masyarakat tidak memiliki lahan, dan
pihak-pihak yang tidak memiliki lahan tersebut secara umum tidak memahami dan belum
sepenuhnya menyadari hukum atas kepemilikan tanah.
Memperjelas beberapa argumentasi yang disampaikan oleh sebagian besar masyarakat
tersebut, peneliti akan melakukan interview dengan pihak pemerintah yang secara administratif
memiliki pandangan yang rasional pada setiap aktivitas masyarakat yang ada di desa. Berikut
kutipan dengan kepala Desa Hulawa Raplin Basiru, S.Sos (10 – 12 – 2012):
“berdasarkan data yang kami miliki, tanah-tanah yang ada di Desa Hulawa ini yang
hanya memiliki sertifikat kurang lebih 150 lahan. Selain itu kepemilikan hanya
berdasarkan surat keterangan dari desa, keterangan jual beli, putusan pengadilan dan
lain sebagainya”.
Penjelasan dari kepala desa tersebut menunjukkan sekaligus memetakan bahwa yang
masyarakat yang sadar dan memahami benar peran sertifikat, tetapi yang patut disesalkan adalah
kesadaran yang masih rendah. Selanjutnya, kepala desa dengan memberikan penjelasan lagi
yaitu sebagai berikut:
“Terkait dengan perntanyaan anda masalah pengetahuan masyarakat, mungkin anda
tahu dan telah bercerita dengan mereka. Secara umum mereka memahami dan
menyadari itu keberadaan sertifikat, tetapi anggapan mereka bahwa surat keterangan
yang mereka miliki itu sudah sah menurut hukum. Jadi kami sebagai pemerintah,
tidak ada kompeten untuk mendikte dan mengintervensi mereka terlalu jauh untuk
mengurus sertifikat, karena hal tersebut berhubungan dengan financial”.
Penjelasan ini semakin menguatkan dari beberapa argumentasi di atas, bahwa
pengetahuan masyarakat sudah baik atas pemahaman tentang sertifikat tanah. Bahkan peran
pemerintah desa untuk mengintervensi masyarakat sangat terbatas dan tidak memiliki
kewenangan. Memang fakta dilapangan bahwa salah satu factor yang menyebabkan sebagian
masyarakat tidak mengurus sertifikat adalah factor biaya dan birokrasi yang ruwet. Berikut
pengakuan kepala desa terkait dengan kendala-kendala yang dialami oleh sebagian masyarakata
Desa Hulawa, berikut kutipan wawancaranya:
“mungkin jelas yah, hambatan utama mereka itu masalah uang. Kami menyadari
kurang sosialisasi dari pemerintah desa, tetapi yang memiliki kompeten itu adalah
dari pertanahan, karena secara teknis mereka yang memahami, kami hanya
memfasilitasi mereka dengan masyarakat”.
Dengan pernyataan tersebut, semakin mempejelas pula kapasitas dan peran pemerintah
desa dalam hal berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga masalah-masalah
teknis agak sulit untuk diintervensi atau diberikan pemahaman terkait dengan kesadaran hokum
masyarakat. Lebih lanjut kepala desa menjelaskan sebagai berikut:
“berhubungan dengan keterlibatan saya, hanya memfasilitasi dan ikut memberikan
rekomendasi berdasarkan saksi-saksi dan kami pun punya kapasitas untuk bersaksi
bila masyarakat melakukan pengurusan sertifikat. Pihak desa khan turut tanda
tangan, jadi kapasitas saya menjetujui itupun dari atas informasi dari saksi-saksi di
lapangan”.
Peran pemerintah desa hanya sebatas fasilitasi kepentingan masyarakat. Namun terkait
informasi teknis yang berhubungan dengan sertifikat, menjadi kewenangan pihak pertanahan.
Pemerintah desa hanya memberikan informasi yang terbatas sebagai persyaratan teknis.
Dari beberapa penjelasan dan pernyataan responden tersebut di atas, maka dapatlah di
fokuskan masalah penelitian ini. Pada prinsipnya masyarakat telah mengetahui dan menyadari
arti penting sertifikat tanah. Jadi masyarakat yang ada di Desa Hulawa sebagian besar telah
memiliki pengetahuan yang cukup tentang ekistensi sertifikat tanah bagi yang memiliki lahan.
Bahkan konsekuensi-konsekuensi hukum pun sebagian besar masyarakat telah memahami, hanya
saja yang belum memahami itu adalah golongan masyarakat yang tidak memiliki lahan resmi.
4.2.2 Pengetahuan masyarakat Desa Hulawa mengenai bukti-bukti kepemilikan hak atas
tanah
Banyak hal yang mengakibatkan seseorang atau warga masyarakat belum memamahmi
atau mengetahuai tentang eksistensi sertifikat tanah khususnya di Desa Hulawa. Pada data-data
hasil penelitian di atas, secara umum telah menjelaskan secara singkat tentang kondisi
pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang bukti-bukti kepemilikan tanah. Bukti-bukti
yang dimaksud dalam masalah penelitian ini adalah bukti sebagai dasar hukum untuk
menentukan bahwa seseorang memiliki sebidang tanah, yang didukung oleh pengakuan saksi
serta pemerintah desa setempat atau keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan hak
kepemilikan.
Data hasil penelitian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yakni yang berhubungan
dengan hasil interview peneliti dengan kepala desa. Pada dasarnya bahwa masyarakat selama ini
hanya menggunakan surat ketarangan tertentu dalam pengakuan hak atas tanah yang dimiliki,
dari pada harus memiliki selembar sertifikat. Untuk memperjelas hal tersebut, peneliti
memaparkan kutipan hasil wawancara dengan kepala desa (Raplin Basiru, S.Sos, 13 – 12 - 12):
“maaf yah, kalau saya tidak salah pertanyaan anda telah saya jelaskan waktu lalu.
Tapi baiklah, saya akan jelaskan lebih detail lagi. Khususnya di desa Hulawa, tanah-
tanah milik warga yang saat ini memiliki sertifikat itu sebanyak 150-an bidang tanah,
sisanya (warga) itu ada yang memiliki surat keterangan dari pemerintah desa dengan
saksi-saksi kepemilikan tanah, ada yang menggunakan kwintasi jual beli tanah,
keterangan tanah warisan, ada juga yang memiliki surat keterangan pengadilan atas
penguasaan tanah tersebut. Jadi menurut kami sebagai pemerintah, itu semua legal
sebagai hak miliki, tetapi lagi-lagi alangkah lebih baik bila dibuktikan dengan
sertifikat tanah dari dinas pertanahan”.
Apa yang dijelaskan oleh kepala desa tersebut, pada prinsipnya mengakumulasi semua
fakta lapangan yang ada, sehingga secara implisit memaparkan jenis-jenis surat kesahan
kepemilikan sebidang tanah. Sekalipun secara hukum atau bukti kepemilikan tanah ada dalam
bentuk keterangan-keterangan tersebut, maka yang terpenting adalah pengakuan secara
ketatanegaraan yakni dalam bentuk surat setifikat. Bila warga memiliki surat sertifikat, maka
secara penuh nama dalam sertifikat itu yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah.
Selanjutnya peneliti pula melakukan wawancara dengan beberapa responden yang berasal
dari masayarakat yang saat ini belum memiliki sertifikat tanah. Berikut kutipan wawancara dari
(Wawan Tomayahu, 13-12-12):
“benar, saya saat ini tidak memiliki sertifikat tanah sebagaimana orang lain. Saya
sebetulnya memahami fungsi dari sertifikat itu, dan bahkan itu menjadi kewajiban
bagi pemilik tanah sebagai pembuktian kepemilikan tanah. Saya telah merencanakan
itu (untuk buat sertifikat) tetapi karena kesibukan juga sehingga sedikit menghambat
rencana tersebut. Tetapi yang pokok saat ini saya memegang surat pernyataan jual
beli dengan pemilik, serta ada tanda tangan saksi serta pemerintah desa”.
Disamping itupula, peneliti juga terus mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan
bukti-bukti kepemilikan tanah bagi masyarakat. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan
(Ridwan Lihawa, 13-12-12):
“Begini Bu, saya ini punya surat bukti kepemilikan tanah, kalau mau dilihat, saya
punya bukti surat warisan dari orang tua, hanya itu yang saya punya surat tanah”.
Pernyataan Ridwan Lihawa tersebut memberikan kejelasan bahwa, tanah yang dimilikinya
saat ini hanya bentuk warisan dari orang tua. Dan bukti terkait dengan kepemilikan tersebut,
hanya surat warisan yang diberikan kepada yang bersangkutan. Ridwan Lihawa menambahkan
kalau tanah yang dimilikinya saat ini, ada keinginan untuk memperoleh sertifikat, tetapi karena
kekurangpahaman birokrasi sehingga yang bersangkutan mengurungkan niat untuk
mengurusnya. Berikut ringkasan wawancara dengan peneliti:
“iya, ingin tanah saya punya sertifikat, tapi begitu kan, terlalu rumit cara
pengurusannya, tidak tahu kalau setelah dari ayahanda harus diurus dimana lagi”.
Disamping data-data yang disampaikan oleh sebagian warga yang sempat peneliti
interview khususnya yang berhubungan dengan pemahaman tentang bukti-bukti kepemilikan hak
atas tanah. Banyak informan yang memberikan gambaran baik dari hasil wawancara resmi
dengan responden maupun dengan cara diskusi bebas. Berikut beberapa hasil diskusi dengan
berbagai macam responden yang sebagian besar usia mereka di atas 50 tahun. Berikut ringkasan
hasil diskusi dengan Taufik Lamadilau (14 – 12 -12).
“saya ini Bu, banyak tahu tentang tanah di desa sini. Dan tahun 80-an hampir tidak
ada yang memiliki sertifikat, dan mereka memiliki sertifikat itu nanti tahun 90-an.
Sebelum itu, tanah-tanah ini tidak ada yang bukti hak kepemelikan, tetapi karena
kepercayaan dan masyarakat masih menunjung tinggi kejujuran, sehingga tidak ada
yang berasalah dengan tanah”.
Pernyataan salah seorang tokoh masyarakat tersebut memberikan kejelasan atas
kepemilikan lahan oleh masyarakat yang ada di Desa Hulawa. selanjutnya, Taufik Lamadilau
menambahkan bahwa saat ini sebagian besar atau mayoritas masyarakat yang memiliki lahan
tidak memiliki sertifikat, dan yang ada hanya berupa surat-surat keterangan dari pemerintah
desa. Berikut kutipan sambungan hasil diskusi dengan peneliti:
“iya, saya melihat pengetahuan masyarakat terkait dengan dengan bukti-bukti
kepemilikan itu sudah ada, hanya saja kesadaran penuh masih relative kurang.
Sehingga surat-surat keterangan yang mereka miliki atas kepemilikan lahan itu hanya
menggunakan surat keterangan, surat pengadilan, surat keterangan jual beli, dan
bahkan ada yang menggunakan surat warisan”.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sebetulnya tidak buta dengan surat-
surat keterangan itu, karena hanya 5 % masyarakat yang tidak memiliki surat-surat, dan 95 %
masyarkaat memiliki surat keterangan sah kepemilikan, sekalipun bukan dari sertifikat semua,
tetapi dari desa dan pengadilan. Hal ini sebagaimana penjelasan kepala desa hulawa dalam