IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran 4.1.1. Kerangka Konseptual Struktur percengkehan nasional ditopang oleh dan merupakan interaksi antara dua komponen utama, yaitu: pasokan/penawaran dan permintaan cengkeh, namun yang menjembatani kedua komponen tersebut adalah komponen tataniaga cengkeh. Di dalam komponen pasokan/penawaran cengkeh terdapat industri cengkeh dimana petani cengkeh sebagai pelaku utamanya. Besarnya pasokan cengkeh pada suatu waktu tertentu (t) diperoleh dari besarnya produksi cengkeh dalam negeri, ditambah cengkeh impor pada waktu tersebut serta stok awal cengkeh (stok akhir pada periode sebelumnya). Sementara itu, di dalam komponen permintaan terdapat industri rokok kretek, dimana pabrik rokok kretek adalah pelaku utamanya. Besarnya permintaan cengkeh pada waktu tertentu (t) terdiri dari permintaan domestik dan permintaan ekspor. Dewasa ini permintaan cengkeh domestik oleh pabrik rokok kretek lebih dominan daripada permintaan ekspor, karena setiap tahunnya pabrik rokok kretek membutuhkan sekitar 100 000 ton cengkeh, jauh di atas kebutuhan industri-industri lainnya. Peranan ekspor cengkeh melalui ekspor rokok kretek lebih menjanjikan dibandingkan dengan ekspor cengkeh atau produk dari cengkeh lainnya. Sementara itu, komponen tataniaga berfungsi untuk menyelaraskan hubungan antara komponen permintaan dan komponen pasokan (Gonarsyah, 1996).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Kerangka Pemikiran
4.1.1. Kerangka Konseptual
Struktur percengkehan nasional ditopang oleh dan merupakan interaksi
antara dua komponen utama, yaitu: pasokan/penawaran dan permintaan cengkeh,
namun yang menjembatani kedua komponen tersebut adalah komponen tataniaga
cengkeh. Di dalam komponen pasokan/penawaran cengkeh terdapat industri
cengkeh dimana petani cengkeh sebagai pelaku utamanya. Besarnya pasokan
cengkeh pada suatu waktu tertentu (t) diperoleh dari besarnya produksi cengkeh
dalam negeri, ditambah cengkeh impor pada waktu tersebut serta stok awal
cengkeh (stok akhir pada periode sebelumnya). Sementara itu, di dalam komponen
permintaan terdapat industri rokok kretek, dimana pabrik rokok kretek adalah pelaku
utamanya. Besarnya permintaan cengkeh pada waktu tertentu (t) terdiri dari
permintaan domestik dan permintaan ekspor. Dewasa ini permintaan cengkeh
domestik oleh pabrik rokok kretek lebih dominan daripada permintaan ekspor,
karena setiap tahunnya pabrik rokok kretek membutuhkan sekitar 100 000 ton
cengkeh, jauh di atas kebutuhan industri-industri lainnya. Peranan ekspor cengkeh
melalui ekspor rokok kretek lebih menjanjikan dibandingkan dengan ekspor cengkeh
atau produk dari cengkeh lainnya. Sementara itu, komponen tataniaga berfungsi
untuk menyelaraskan hubungan antara komponen permintaan dan komponen
pasokan (Gonarsyah, 1996).
75
Gambar 9. Struktur Percengkehan Nasional
INDUSTRI CENGKEH
- Fluktuasi Harga * Pendapatan * Kesejahteraan
Harga Cengkeh
TATANIAGA
- Luas Areal - Produktivitas
- Ekspor - Pasar Domestik
CENGKEH IMPOR
- Harga Rokok Kretek - Harga Cengkeh - Pendapatan/ Kapita - Tarif Cukai - Aspek Kesehatan
Pemasaran dan Struktur Pasar
- Struktur Biaya Pemasaran - Struktur Pasar
PERCENGKEHAN NASIONAL
SISI PENAWARAN SISI PERMINTAAN
CENGKEH ROKOK KRETEK
INDUSTRI ROKOK KRETEK
Tanaman Cengkeh
Petani Cengkeh
KEBIJAKAN PEMERINTAH
PRK
- Kelangsungan Usaha * Pasokan bahan baku
76
Dalam industri cengkeh nasional saat ini, terdapat banyak petani cengkeh
(produsen) dengan rata-rata kepemilikan kebun berkisar 0.5–1.5 ha dan tingkat
kesejahteraan yang relatif stagnan, sementara industri rokok kretek (konsumen)
didominasi oleh tiga pabrik rokok besar yaitu PT. Gudang Garam, PT. Djarum dan
PT. HM Sampoerna (PT. Phillip Morris)4, yang menyerap sekitar 80 hingga 90 persen
produksi cengkeh nasional dengan tingkat produksi dan ekspor rokok kretek yang
semakin meningkat serta penggunaan cukai yang semakin signifikan terhadap
penerimaan negara (Gappri, 2003; Puslitbun, 2004; Husodo, 2006). Dengan
demikian, struktur pasar cengkeh di Indonesia cenderung bersifat oligopsoni (Bird,
1999; Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003). Kondisi tersebut mengakibatkan posisi rebut-
tawar (bargaining position) petani cengkeh menjadi lebih lemah dibandingkan pabrik
rokok kretek, terutama pada saat panen raya.
Adanya distorsi pasar akibat ketidaksempurnaan pasar ini menyebabkan
harga cengkeh di tingkat petani sangat fluktuatif. Secara historis, permasalahan
tersebut sudah mendapat perhatian dari pemerintah. Pada masa Orde Baru,
percengkehan nasional sarat dengan intervensi pemerintah baik di bidang produksi
maupun di bidang tataniaga cengkeh. Di bidang tataniaga, beberapa paket
kebijakan pernah diterapkan pemerintah, yang antara lain bertujuan untuk stabilisasi
harga cengkeh di pasar domestik. Fluktuasi harga cengkeh di pasar domestik terjadi
karena adanya fluktuasi pasokan.
Gambar di bawah ini, menjelaskan mekanisme kebijakan stabilisasi harga
cengkeh akibat adanya fluktuasi pasokan.
4 Kompas, 9 Mei 2005
77
Gambar 10. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Fluktuasi Pasokan Cengkeh
Apabila diasumsikan bahwa kurva permintaan cengkeh (DF) konstan; kurva
pasokan cengkeh berubah dari SF1 pasokan kecil (panen kecil) ke SF
2 pasokan besar
(panen raya), maka tingkat harga PFS adalah tingkat harga dasar cengkeh yang
ditentukan pemerintah, dimana jumlah yang dibeli pada keadaan pasokan berlebih
(saat panen raya) sama dengan jumlah yang dijual pada keadaan permintaan
berlebih (saat panen kecil), dan biaya untuk menyangga adalah nol, dalam arti
kegiatan ini tidak mendatangkan laba atau rugi. Pada Gambar di atas tampak juga
bahwa pada kondisi pasokan kecil SF1, tingkat harga yang terjadi adalah PF
1 (panen
kecil) dan surplus produsen (producers’ surplus) adalah daerah (a+c+g), serta
surplus konsumen (consumers’ surplus) adalah daerah f. Sementara apabila kondisi
0
g
e
b
2FP
1FP
SFP TRQ
Q
P
FD
2FS
1FS
a
c d
f
78
pasokan besar SF2 (panen raya), tingkat harga yang terjadi adalah PF
2, dan surplus
produsen adalah daerah (g+h), sedang surplus konsumen adalah daerah
(a+b+c+d+f). Dan dengan adanya penetapan harga dasar PFS dimana melalui
kegiatan penyanggaan suplai berlebih (RT) akan dibeli pada saat panen raya, untuk
kemudian dijual kembali pada waktu terjadi permintaan berlebih (QR), pada saat
paceklik. Pada saat terjadi panen raya (SF2), dengan diberlakukannya harga dasar
maka surplus produsen meningkat sebesar daerah (c+d+e), sementara surplus
konsumen berkurang sebesar daerah (c+d), serta surplus neto sebesar daerah (e).
Pada saat paceklik (SF1), surplus produsen berkurang sebesar daerah (a), sementara
surplus konsumen bertambah sebesar (a+b), dan surplus neto sebesar daerah (b)
(Just, Hueth and Schmitz, 1982).
Dengan demikian, secara teoritis, dengan diberlakukannya kebijakan harga
dasar sekaligus kegiatan penyanggaan maka produsen cengkeh diuntungkan karena
surplusnya meningkat sebesar daerah (c+d+e-a), sementara konsumen dirugikan
karena surplusnya berkurang sebesar (c+d-a-b) dan masyarakat secara keseluruhan
diuntungkan rata-rata sebesar ½ (b+e). Namun, patut untuk ditekankan disini
bahwa memperhitungkan “kompensasi” yang diterimanya dalam bentuk terjaminnya
pasokan cengkeh dan penghematan biaya penyimpanan serta modal kerja, maka
konsumen PRK sebetulnya, tidak dirugikan dengan diberlakukannya harga dasar
cengkeh tersebut.
Selanjutnya, salah satu paket kebijakan tataniaga yang menetapkan harga
dasar sekaligus kegiatan penyanggaan adalah kebijakan yang dituangkan dalam
Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 306/KP/XII/1990 tentang
79
Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, dimana dalam
pelaksanaannya membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC)
yang menangani tataniaga cengkeh secara keseluruhan. Menurut Gonarsyah (1998),
secara konseptual, fungsi BPPC untuk stabilisasi harga cengkeh sangat baik, namun
kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa dampak penerapan
kebijakan tersebut, ternyata tidak sesuai dengan konsepnya, karena hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sangat tidak berpihak kepada petani.
Prinsip penyanggaan yang dilakukan oleh BPPC berdasarkan kebijakan
tersebut, diilustrasikan dalam Gambar 11. Secara substansial, dasar pemikiran yang
melandasi kebijakan stabilisasi harga dengan menetapkan harga dasar adalah
sebagai berikut, apabila diasumsikan bahwa kurva permintaan cengkeh (DF)
konstan; kurva pasokan cengkeh berubah dari SF1 pasokan kecil (panen kecil) ke SF
2
pasokan besar (panen raya), maka tingkat harga PFS adalah tingkat harga dasar
cengkeh yang ditentukan pemerintah, dimana jumlah yang dibeli pada keadaan
pasokan berlebih (saat panen raya) sama dengan jumlah yang dijual pada keadaan
permintaan berlebih (saat panen kecil).
Tampak pada Gambar 11, pada saat harga dasar PFS, dan pasokan SF
2 ,
jumlah pasokan (PFST) melebihi jumlah permintaan (PF
SR) sebanyak RT, yaitu jumlah
yang harus dijual manakala terjadi permintaan sebanyak QR karena pasokan
berkurang menjadi SF1. Untuk kegiatan penyanggaan, diperlukan dana sebanyak
RTT’R’. Sementara itu, sejak beroperasinya BPPC, jumlah yang disangga tidak hanya
RT tapi juga PFSR, jumlah yang secara teoritis dibeli oleh pabrik rokok kretek (PRK)
pada tingkat harga dasar. Artinya BPPC melakukan juga berbagai fungsi tataniaga
80
cengkeh yang tadinya dilakukan oleh PRK selama sekian tahun. Konsekuensinya,
biaya penyanggaan membengkak dari RTT’R’ menjadi PFSTT’0. Dengan demikian,
dalam waktu singkat dana pengadaan cengkeh membengkak dengan cepat.
Gambar 11. Prinsip Penyanggaan Cengkeh oleh BPPC
Untuk mengatasi hal tersebut dan sekaligus menekan Gappri, pemerintah
kemudian mengeluarkan kebijakan terpadu dari beberapa departemen teknis terkait
yakni melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI Nomor
221/kpb/IX/1994 dan Menteri Keuangan RI Nomor 475/KMK.05/1994 yang
mengaitkan penyerahan cengkeh dengan pemesanan pita cukai. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah dapat “memaksa” pihak PRK untuk
bekerjasama dengan petani cengkeh.
Gonarsyah et al. (1995) mengemukakan bahwa tidak berjalannya mekanisme
penyanggaan cengkeh, seperti yang dijelaskan di atas juga disebabkan oleh
SFP
T’R’Q’
TRQ
Q
P
FD
2FS
1FS
0
81
berlakunya semacam gejala Cobweb dalam hubungan antara harga dan jumlah yang
diminta. Secara skematik, hubungan kausal komoditas cengkeh adalah:
Q1 Q6 Q11 ……..
P1 P6 Q11
Pada dasarnya gejala Cobweb dapat mengarah pada siklus harga dan jumlah yang
mengumpul (convergent) bila suplai lebih inelastik daripada demand, konstan
(constant) bila elatisitas demand sama dengan elastisitas suplai, atau menyebar
(divergent) bila suplai lebih elastis daripada demand (Tomek and Robinson, 1990).
Tampaknya, hubungan harga dan jumlah pada cengkeh, pada tahun
tujuhpuluhan hingga pertengahan delapanpuluhan, mengarah pada siklus menyebar
(divergent), karena elastisitas permintaan cengkeh bersifat inelastis, sementara
elastisitas pasokan cenderung elastis. Kemudian, hingga pertengahan tahun
sembilanpuluhan, memburuknya harga cengkeh belum diikuti oleh menurunnya
produksi cengkeh nasional. Namun perkembangan terakhir menunjukkan produksi
cengkeh ada kecenderungan meningkat yang diikuti dengan penurunan harga di
tingkat petani, terlebih di saat panen raya, dan tampaknya hubungan antara harga
dan jumlah pada cengkeh mengarah pada siklus mengumpul (convergent),
mengingat konsumsi cengkeh cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya
produksi rokok kretek, sedangkan produksi cengkeh meskipun cenderung meningkat
namun belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku cengkeh pabrik rokok
kretek yang didominasi oleh tiga pabrik besar.
82
Meskipun, struktur pasar cengkeh bersifat oligopsoni, sebagaimana yang
dikemukakan sebelumnya, namun karena sulit untuk mengidentifikasi dan
memperoleh informasi yang akurat mengenai berapa besar konsumsi cengkeh
masing-masing PRK besar tersebut dalam pasar cengkeh domestik maka asumsi
pasar persaingan sempurna digunakan sebagai aproksimasi dari kondisi pasar
cengkeh yang bersifat oligopsoni, karena pada dasarnya ketiga PRK tersebut tetap
memiliki persaingan dalam pasar cengkeh maupun pasar rokok kretek. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Murniningtyas (1989), bahwa meskipun Jepang memiliki
kekuatan monopoli sekaligus monopsoni di pasar gandum dunia, namun pasar
diasumsikan bersaing sempurna apabila kekuatan monopoli sama dengan kekuatan
monopsoni.
Dengan demikian, perkembangan penawaran dan permintaan cengkeh yang
menunjukkan keterkaitan antara industri cengkeh di satu sisi dengan industri rokok
kretek di sisi lain menjadi penting untuk dianalisis, sehingga dapat diketahui faktor-
faktor apa saja yang paling berpengaruh didalamnya dan untuk itu digunakan
pendekatan ekonometrik yang dapat menggambarkan hubungan timbal balik antara
peubah-peubah utama dari kedua industri tersebut.
Selanjutnya, komponen tataniaga cengkeh berfungsi untuk menyelaraskan
komponen penawaran dan permintaan yaitu mendistribusikan atau menyalurkan
cengkeh dari petani cengkeh (produsen) ke PRK (konsumen). Diperlukan adanya
sistem distribusi ini karena adanya perbedaan spasial (letak geografis) antara petani
cengkeh yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa dengan PRK yang berlokasi
di pulau Jawa. Di Provinsi Sulawesi Utara, tataniaga cengkeh di lakukan oleh
83
lembaga-lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul desa, kabupaten
dan/atau pedagang antar pulau (yang sebagian besar merupakan perwakilan PRK)
serta koperasi yang akhir-akhir ini perannya makin berkurang. Jadi yang memegang
peran utama dalam tataniaga cengkeh di daerah sentra produksi cengkeh tersebut
(juga di daerah lainnya di Sulawesi Utara) adalah para pedagang cengkeh. Hal ini
mengakibatkan harga cengkeh di tingkat petani cenderung rendah, terlebih pada
saat berlangsungnya panen raya. Pada umumnya, petani mengeluhkan bahwa
tingkat harga cengkeh yang diterimanya sudah tidak sesuai atau tidak layak, dalam
arti tidak mampu menutupi biaya produksinya. Namun, hingga kini, belum ada
penelitian yang secara khusus menganalisis biaya produksi cengkeh per kilogram
dengan memperhitungkan keseluruhan biayanya. Oleh karena itu, perlu dianalisis
berapa sebenarnya harga cengkeh per kilogram? Dan perhitungan dengan matriks
analisis kebijakan (PAM) multi-period, menjadi sangat relevan untuk digunakan.
Sementara itu, di sisi industri rokok kretek, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, bahwa “kelangsungan usaha” PRK sebenarnya sangat tergantung pada
pasokan bahan baku cengkeh domestik karena total produksi cengkeh dari dua
negara produsen utama di luar Indonesia yakni Madagaskar, Tanzania (Zanzibar)
serta enam negara produsen kecil seperti, Komoro, Srilanka, Malaysia, Grenada,
Kenya dan Togo, hanya berkisar antara 25 000 hingga 30 000 ton atau hanya 20
sampai 30 persen dari kebutuhan cengkeh pabrik rokok kretek (FAO, 2004 dan
Husodo, 2006).
Hal ini menunjukkan bahwa tampak adanya saling ketergantungan antara
petani cengkeh dan PRK, untuk menjamin kelangsungan usahanya masing-masing.
84
Petani cengkeh adalah pemasok cengkeh utama bagi PRK, sebaliknya PRK adalah
konsumen utama cengkeh produksi petani. Salah satu pihak sangat membutuhkan
keberadaan pihak yang lain. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang sinergis
antara kedua pihak ini melalui koordinasi dalam produksi dan pemasaran ataupun
sebaliknya. Untuk itu, diperlukan analisis teori permainan (game theory), yang
diharapkan mampu menggambarkan keterkaitan antara kedua pihak tersebut secara
interaktif. Juga sebagai upaya untuk menjajagi kemungkinan yang dapat mengarah
pada kerjasama yang saling menguntungkan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Hobbs and Young (2001) bahwa sektor pertanian khususnya komoditas pangan di
Canada dan Amerika Serikat cenderung mengarah ke koordinasi vertikal antara
tahapan produksi dan pemasaran. Koordinasi vertikal didefinisikan oleh Mighell dan
Jones sebagai: cara-cara yang digunakan untuk menyelaraskan tahapan-tahapan
vertikal dalam produksi dan pemasaran. Sementara dalam Hobbs (1997) dinyatakan
bahwa sistem harga pasar, integrasi vertikal, perjanjian kontrak dan kerjasama, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama adalah bentuk dari koordinasi.
Dalam koordinasi vertikal, sinkronisasi urutan tahap-tahap dari produksi dan
pemasaran dalam kaitannya dengan kuantitas, kualitas dan waktu dari aliran produk
(Perry, 1989; Martinez, 2002; Wysocky, Peterson and Harsch, 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa penelitian ini penting untuk
dilakukan sebagai upaya untuk membantu memecahkan permasalahan
percengkehan nasional secara komprehensif dan dengan ditopang oleh ketiga
metode analisis seperti yang dijelaskan di atas maka diharapkan temuan dan
kesimpulan yang diperoleh akan lebih memuaskan.
85
4.1.2. Kerangka Teoritis
4.1.2.1. Kerangka Teoritis Model Keterkaitan Industri Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional
a. Penawaran Cengkeh
1. Produksi Cengkeh
Secara teoritis, pada tingkat teknologi tertentu, fungsi produksi cengkeh
dapat didefinisikan sebagai berikut:
PRODC = q(A, L, F, O)
dimana :
PRODC = produksi cengkeh (ton)
A = luas areal (ha)
L = jumlah tenaga kerja (orang)
F = jumlah pupuk (kg)
O = jumlah faktor produksi lain (unit)
Apabila harga masing-masing faktor sebagai berikut:
RPC = harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
SEWA = sewa riil lahan (Rp/ha)
UPAHP = upah tenaga riil kerja di sektor perkebunan (Rp/HOK)
RPF = harga riil pupuk (Rp/kg)
RPO = harga riil faktor produksi lain (Rp/unit)
Maka fungsi keuntungan produsen cengkeh, dapat dirumuskan sebagai berikut
(Henderson and Quandt, 1980):
(1)
86
π = RPC x q(A,L,F,O)–(A x SEWA+L x UPAHP + F x RPF + O x RPO)
Jika first-order dan second order condition dipenuhi, maka fungsi keuntungan dapat
dimaksimumkan sebagai berikut:
RPC x A’ – SEWA = 0 atau SEWA = RPC x A’
RPC x L’ – UPAHP = 0 atau UPAHP = RPC x L’
RPC x F’ – RPF = 0 atau RPF = RPC x F’
RPC x O’ – RPO = 0 atau RPO = RPC x O’
dimana A’, L’, F’ dan O’ adalah produk marginal dari faktor produksi A, L, F dan O.
Maka fungsi permintaan faktor produksi A,L,F dan O oleh petani/produsen cengkeh
adalah:
A = a(SEWA, RPC, UPAHP, RPF, RPO)
L = l(UPAHP, RPC, SEWA, RPF, RPO)
F = f(RPF, RPC, SEWA, UPAHP, RPO)
O = o(RPO, RPC, SEW, UPAHP, RPF)
Dengan mensubstitusikan persamaan (7)–(10) ke persamaan (1) maka fungsi
penawaran dari produksi dalam negeri dapat dirumuskan sebagai berikut:
PRODC = q(RPC, SEWA, UPAHP, RPF, RPO, DUT)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa penawaran cengkeh dari produksi
cengkeh dalam negeri merupakan fungsi dari harga riil cengkeh di tingkat petani dan
harga riil dari faktor-faktor produksi yang digunakan serta kebijakan pemerintah di
bidang produksi.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
87
2. Volume Impor Cengkeh
Impor cengkeh merupakan salah satu komponen penawaran dari luar negeri,
yang dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak terpenuhi. Secara teoritis,
volume impor cengkeh dipengaruhi oleh penawaran cengkeh domestik (produksi
domestik dan stok) juga oleh konsumsi cengkeh domestik (konsumsi PRK dan non-
PRK). Selain itu, volume impor cengkeh juga dipengaruhi oleh nilai tukar riil rupiah
terhadap dolar Amerika, serta oleh kebijakan pemerintah seperti: tarif impor atau
kebijakan lainnya, dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
IMPC = m(RPCM,PRODC,STOC,DCPRK,DCNPRK, KURS,DIMP)
dimana:
IMPC = volume impor cengkeh (ton)
RPCM = harga riil cengkeh impor (Rp/kg)
PRODC = produksi cengkeh (ton)
STOC = stok cengkeh (ton)
DCPRK = konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCNPRK = konsumsi cengkeh non-PRK (ton)
KURS = nilai tukar riil (Rp/US$)
DIMP = kebijakan tarif impor
3. Stok Cengkeh Nasional
Stok cengkeh nasional merupakan selisih dari penawaran dan permintaan
cengkeh dimana stok akhir pada periode t-1 (STOCt-1) adalah merupakan stok awal
periode t dan merupakan salah satu komponen penawaran cengkeh periode t,
(12)
88
sementara stok cengkeh periode t (STOCt) merupakan permintaan cengkeh pada
periode t. Selain itu, stok cengkeh juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di
bidang tataniaga seperti Keppres No. 8 Tahun 1980 dan beroperasinya BPPC,
dengan asumsi stok cengkeh pada akhir 1974 sama dengan nol, dan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
STOC = s(PRODC, RPC, RPCM, DKTN)
dimana:
STOC = stok cengkeh (ton)
PRODC = produksi cengkeh (ton)
RPC = harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
RPCM = harga riil cengkeh impor (Rp/kg)
DKTN = kebijakan tataniaga
4. Jumlah Penawaran Cengkeh
Penawaran cengkeh (SUPC) merupakan penjumlahan dari persamaan (11)
hingga (13), dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
SUPC = PRODC + IMPC + STOC
dimana:
SUPC = penawaran cengkeh nasional (ton)
PRODC = produksi cengkeh (ton)
IMPC = volume impor cengkeh (ton)
STOC = stok cengkeh (ton)
(14)
(13)
89
b. Permintaan Cengkeh
1. Permintaan Cengkeh Pabrik Rokok Kretek, Non Pabrik Rokok Kretek dan Total
Fungsi permintaan cengkeh industri rokok kretek diturunkan dari fungsi
produksi rokok kretek. Pada tingkat teknologi tertentu, bentuk umum dari fungsi
produksi untuk rokok kretek baik rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT), sigaret
kretek mesin (SKM) maupun klobot (KLB), dapat dirumuskan sebagai berikut:
PRODRKj = qj(DCSKj, TSKj, LSKj, OSKj)
dimana:
PRODRK = produksi rokok kretek (juta batang)
DCSK = konsumsi cengkeh (ton)
TSK = konsumsi tembakau (ton)
LSK = tenaga kerja yang digunakan (orang)
OSK = faktor produksi lain (unit)
j = untuk SKT,SKM, KLB
Apabila harga masing-masing sebagai berikut:
RPRK = harga riil rokok kretek (Rp/bungkus)
RPC = harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
RPTB = harga riil tembakau (Rp/kg)
UPAHI = upah tenaga kerja riil di sektor industri (Rp/Hari)
RPO = harga riil faktor produksi lain (Rp/unit)
(15)
90
Maka fungsi keuntungan masing-masing rokok kretek dapat dirumuskan sebagai
berikut: (Henderson and Quandt, 1980)
πj = RPRKj x qj (DCSKj, TSKj, LSKj, OSKj) – (RPCj x DCSK +
TSK x RPTK + UPAHI x LSK + RPO x OSK)
Jika first order dan second order condition terpenuhi maka fungsi keuntungan dapat
dimaksimumkan sebagai berikut:
RPRKj x DCSKj’ – RPCj = 0 atau RPCj = RPRKj x DCSKj’
RPRKj x TSKj’ – RPTKj = 0 atau RPTKj = RPRKj x TSKj’
RPRKj x LSKj – UPAHIj = 0 atau UPAHIj = RPRKj x LSKj
RPRKj x OSKj’ – RPOj = 0 atau RPOj = RPRKj x OSKj’
dimana: DCSKj’, TSKj’. LSKj’ dan OSKj’ merupakan produk marginal dari DCSK, TSK,
LSK dan OSK.
Maka fungsi permintaan masing-masing faktor produksi dapat dirumuskan,
sebagai berikut:
DCSKj = cj(RPCj, RPRKj, RPTKj, UPAHIj, RPOj)
TSKj = tj(RPTKj , RPCj, RPRKj, UPAHIj, RPOj)
LSKj = lj(UPAHIj, RPCj, RPRKj, RPTKj, RPOj)
OSKj = zj(RPOj, RPCj, RPRKj, PRTKj, UPAHIj)
Persamaan (21) menunjukkan bahwa permintaan cengkeh atau konsumsi cengkeh
oleh PRK merupakan fungsi dari tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC),
harga riil rokok kretek (RPRK), dan harga riil faktor-faktor produksi lain. Yang
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
91
dimaksudkan disini adalah konsumsi cengkeh oleh PRK yang legal, karena tidak
terdapatnya data konsumsi cengkeh oleh PRK “ilegal” (liar).
Dengan demikian, jumlah permintaan cengkeh pabrik rokok kretek adalah
penjumlahan dari konsumsi cengkeh SKT, SKM dan KLB, dan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
DCPRK = DCSKT + DCSKM + DCKLB
dimana:
DCPRK = konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCSKT = konsumsi cengkeh untuk SKT (ton)
DCSKM = konsumsi cengkeh untuk SKM (ton)
DCKLB = konsumsi cengkeh untuk KLB (ton)
Sementara itu, permintaan cengkeh non-PRK (DCNPRK) merupakan
konsumsi cengkeh untuk rumah tangga, industri kosmetik, industri farmasi dan
industri lainnya, namun dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan
konsumsi PRK. Pada penelitian ini, konsumsi cengkeh non-PRK akan didekati
berdasarkan konsumsi per kapita dikali populasi penduduk, dan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
DCNPRK = POP x DCKAP
dimana:
DCNPRK = konsumsi cengkeh non PRK (ton)
POP = populasi penduduk (orang)
DCKAP = konsumsi cengkeh per kapita/tahun (unit)
(25)
(26)
92
Konsumsi cengkeh nasional merupakan penjumlahan dari konsumsi cengkeh
baik oleh pabrik rokok kretek maupun non-pabrik rokok kretek, dan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
DCDOM = DCPRK + DCNPRK
dimana:
DCDOM = permintaan cengkeh nasional (ton)
DCRPK = konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCNPRK = konsumsi cengkeh non-PRK (ton)
2. Ekspor Cengkeh
Ekspor cengkeh merupakan kelebihan penawaran yang tidak dikonsumsi atau
tidak disimpan dalam bentuk stok (Labys, 1973), maka fungsi ekspor cengkeh dapat
dirumuskan sebagai berikut:
EXPC = x(RPCX, RPC, PRODC, DCPRK, KURS)
dimana:
EXPC = ekspor cengkeh (ton)
RPCX = harga riil cengkeh ekspor (Rp/kg)
RPC = harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
PRODC = produksi cengkeh (ton)
DCRPK = konsumsi cengkeh PRK (ton)
KURS = nilai tukar riil (Rp/US$)
(27)
(28)
93
3. Jumlah Permintaan Cengkeh
Permintaan cengkeh (DEMC) merupakan penjumlahan dari persamaan (27),
(28) dan (13), dan dapat dirumuskan sebagai:
DEMC = DCDOM + EXPC + STOC
dimana:
DEMC = permintaan cengkeh (ton)
DCDOM = konsumsi cengkeh nasional (ton)
EXPC = volume ekspor cengkeh (ton)
STOC = stok cengkeh (ton)
c. Harga Cengkeh dan Harga Rokok Kretek
Pasar komoditas cengkeh menunjukkan hubungan antara produksi cengkeh
nasional (PRODC) dengan konsumsi cengkeh nasional yang didominasi oleh pabrik
rokok kretek (DCPRK) yang menentukan tingkat harga cengkeh di pasar domestik.
Sementara, harga rokok kretek, secara teoritis, dipengaruhi antara lain oleh biaya
produksi, total produksi rokok kretek serta tarif cukai. Hubungan-hubungan tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut:
RPC = f(PRODC, DCPRK, DKTN)
RPRK = f(RPC, PRODRK, BEARK, DKTN, DHEALTH)
dimana:
RPC = harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
RPCt = harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
BEARKt = nilai riil cukai rokok kretek (ribu Rp/tahun)
DKTN1 = peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres
RI No.8 Tahun 1980
- tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0
- tahun 1980-1989 = 1
DKTN2 = peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC
- tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0
- tahun 1990-1998 = 1
DHEALTH = peubah sandi kebijakan di bidang kesehatan
- tahun 1975-1991 = 0
- tahun 1992-2002 = 1
u10 = peubah pengganggu
4.5.2.2. Identifikasi Model
Sebelum menentukan metode yang dipakai untuk menduga parameter, maka
model perlu diidentifikasi terlebih dulu. Identifikasi model dilakukan dengan
menggunakan metode order condition sebagai syarat keharusan dan metode rank
condition sebagai syarat kecukupan. Berdasarkan kriteria rank condition, maka suatu
persamaan akan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk
paling sedikit satu determinan bukan nol pada order (G–1) dari parameter struktural,
pada peubah yang tidak termasuk dalam persamaan yang bersangkutan. Sementara
123
itu berdasarkan kriteria order condition, agar setiap persamaan dapat dikatakan
teridentifikasi, maka harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut: (Koutsoyiannis,
1977)
(K – M) > (G – 1)
dimana:
K = jumlah total peubah di dalam model, baik peubah endogen maupun predetermined
M = jumlah peubah dalam suatu persamaan (endogen dan eksogen) yang sedang diuji dan diidentifikasi
G = jumlah persamaan atau jumlah total peubah endogen
Bila sebuah persamaan memperlihatkan kondisi (K–M) < (G–1) maka
dikatakan tidak teridentifikasi (under identified). Sedangkan bila dipenuhi kondisi
(K–M) > (G–1) maka disebut teridentifikasi berlebih (over identified). Diharapkan
bahwa hasil identifikasi setiap persamaan struktural berada dalam kondisi exactly
identified atau over identified, sehingga persamaan- persamaan yang dimaksud
dapat diduga parameternya.
Model yang dikembangkan merupakan model persamaan simultan dinamis
yang tersusun atas 15 persamaan yang terdiri dari 10 persamaan struktural dan 5
persamaan identitas. Ini berarti model memiliki 15 peubah endogen (current
endogenous) (G), dengan variabel predetermined sebanyak 27 peubah yang terdiri
dari variabel eksogen dan lag endogenous, dengan demikian total peubah didalam
model (K) adalah sebanyak 42 peubah. Melalui pengujian setiap persamaan,
ternyata semua persamaan struktural memenuhi kriteria identifikasi model (over
identified).
124
4.5.2.3. Pendugaan Model
Ada beberapa alternatif metode pendugaan yang dapat digunakan, dan
masing-masing mempunyai kelebihan serta kekurangannya. Dengan mem-
pertimbangkan ketersediaan data sampel (n=30) dan kemungkinan adanya
respesifikasi model ketika dilakukan analisis struktural, maka dipilih metode 2 SLS
(two stage least square) yang relatif kurang sensitif guna menduga parameter
struktural (Sinaga, 1989). Berbagai tipe studi Monte Carlo menunjukkan bahwa dari
metode-metode yang konsisten dan efisien secara asymptotis, maka metode 2 SLS
adalah yang paling robust. Disamping itu, metode ini diterima sebagai pendekatan
persamaan tunggal yang paling penting untuk mengestimasi model yang over
identified, serta menggambarkan pemakaian yang lebih umum.
4.5.3. Pendekatan Policy Analysis Matrix
Pendekatan matriks analisis kebijakan (Policy Analysis Matrix atau PAM) yang
dikembangkan oleh Eric A. Monke dan Scott R. Pearson, merupakan penyempurnaan
dari penerapan analisis kebijakan dengan pendekatan biaya sumberdaya domestik
(domestic resource cost, DRC) (Gonarsyah, 1996). Pendekatan PAM digunakan
untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi
pemerintah serta dampaknya terhadap sistem komoditas cengkeh dimulai dari
aktivitas produksi sampai pemasarannya secara keseluruhan dan sistematis (Monke
dan Pearson, 1995). Selanjutnya, daur hidup tanaman cengkeh dianggap 30 tahun,
dengan masa produktif dimulai pada saat 5 tahun (Gwyer, 1976; Kemala, 1989,
125
Gonarsyah, 1996), dengan demikian yang cocok untuk digunakan adalah multi-
period PAM.
4.5.3.1. Perilaku Produksi Tanaman Cengkeh
Dalam analisis PAM diperlukan informasi mengenai perilaku produksi
tanaman cengkeh guna menentukan input-input serta teknologi yang digunakan
dalam proses produksinya. Gwyer (1976) mengemukakan bahwa, produksi cengkeh
di Indonesia cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun, mengikuti pola musiman
empat tahunan, dimana satu tahun untuk panen raya, dua tahun panen kecil dan
satu tahun gagal panen. Tanaman cengkeh mulai berproduksi pada umur 4-7 tahun
dan dapat berproduksi hingga berumur lebih dari 30 tahun. Perbedaan hasil antara
panen raya dan panen kecil sangat besar, bahkan dapat mencapai hingga 60 persen
(Dhalimi dan Wahid, 1989).
Penyebab utama terjadinya fluktuasi hasil pada tanaman cengkeh adalah:
1. Faktor iklim. Faktor ini cukup menentukan pembungaan tanaman cengkeh.
Untuk pembungaan diperlukan periode yang agak kering tanpa hujan sama
sekali dan penyinaran matahari yang terik.
2. Faktor genetis. Terdapat tiga faktor genetis tanaman cengkeh yang
berhubungan dengan fluktuasi hasil, yaitu sifat berbunga terminal, daya
regenerasi yang rendah dan jarak antara waktu panen ke masa pembungaan
selanjutnya yang relatif pendek.
3. Faktor fisiologis. Kondisi fisiologis mencakup status senyawa-senyawa yang
dapat mempengaruhi terbentuknya bunga.
126
4. Faktor budidaya. Dari aspek ini yang paling berpengaruh adalah penggunaan
tanaman yang kurang unggul, pemeliharaan dan cara panen.
4.5.3.2. Asumsi-asumsi dalam Multi-period PAM
Penyusunan multi-period PAM dari usahatani cengkeh di Sulawesi Utara
merupakan suatu proses rekonstruksi dari seluruh aspek kegiatan dalam usahatani
tersebut berdasarkan umur tanaman cengkeh yakni sejak tahun pertama hingga
tahun ketigapuluh, sebagaimana analisis usahatani yang pernah dilakukan oleh
Ditjenbun (2000). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis multi-period PAM
adalah sebagai berikut:
1. Luas areal tanaman cengkeh adalah 1 hektar, dan didalamnya terdapat 180
hingga 200 tanaman.
2. Umur tanaman cengkeh adalah 30 tahun.
3. Harga input berdasarkan data pada waktu penelitian ini dilaksanakan yaitu
semester kedua tahun 2005.
4. Harga cengkeh di tingkat petani adalah harga yang berlaku saat penelitian ini
dilaksanakan yakni sebesar Rp. 26 000 per kg.
5. Tingkat bunga modal dari private interest rate adalah sebesar 17 persen,
berdasarkan tingkat bunga kredit modal kerja yang berlaku di bank komersial.
6. Tingkat bunga modal dari social value of capital adalah sebesar 12 persen, yakni
sekitar 70 persen dari tingkat bunga modal dari private interest rate.
Diasumsikan tingkat bunga sosial lebih rendah karena tidak terdapat intervensi
pemerintah.
127
4.5.3.3. Metode Penentuan Harga Sosial
Penentuan harga sosial adalah kunci kesuksesan analisis PAM karena
pendugaan nilai sosial dari suatu faktor produksi hanya dapat diperkirakan.
a. Harga Sosial Output atau Input Tradable
Pearson, Gotsch and Bahri (2004), mengemukakan bahwa harga sosial untuk
output dan input tradable adalah harga dunia yaitu harga impor untuk komoditas
impor (importable) dan harga ekspor untuk komoditas ekspor (exportable). Harga
dunia merupakan pengukuran terbaik untuk biaya oportunitas sosial dari komoditas
yang tradable.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah:
1. Apabila harga dunia untuk output atau input telah diperoleh maka perlu
memperhatikan lokasi, waktu dan kualitas (bentuk) dari komoditas yang
bersangkutan. Jadi perbandingan harga domestik dengan harga dunia harus
dilakukan pada lokasi yang identik (misalnya, dekat dengan pasar), pada saat
yang sama (misalnya, pada musim panen) dan pada kualitas yang sama
(misalnya, kadar airnya).
2. Apabila akan membandingkan harga domestik dan harga dunia di tingkat petani,
maka perlu untuk menghitung harga paritas impor (import parity price) atau
harga paritas ekspor (export parity price). Untuk harga paritas impor, biaya
penanganan dan transportasi domestik ditambahkan pada harga impor di
pelabuhan. Sementara, untuk harga paritas ekspor biaya penanganan dan
transportasi domestik dikurangkan pada harga ekspor di pelabuhan.
128
Untuk harga sosial dari cengkeh, digunakan harga impor berdasarkan harga c.i.f
Surabaya, dan untuk input tradable yaitu pupuk Urea, SP36 dan KCl, digunakan
harga f.o.b berdasarkan pelabuhan asalnya (Urea = Black Sea, TSP = US Gulf dan
KCl = Vancouver).
b. Harga Sosial Input Nontradable
Pearson, Gotsch and Bahri (2004), mengemukakan bahwa harga sosial untuk
faktor produksi domestik seperti lahan, tenaga kerja dan modal adalah biaya
oportunitasnya karena faktor-faktor tersebut tidak diperdagangkan di pasar
internasional sehingga tidak ada harga dunianya.
Harga Sosial Lahan
Penentuan harga sosial lahan didasarkan pada berapa nilai lahan tersebut
apabila digunakan untuk komoditas lainnya yang juga menguntungkan (misalnya,
kalau tidak ditanami cengkeh maka berapa nilainya kalau ditanami komoditas lain,
seperti kelapa).
Harga Sosial Tenaga Kerja
Penentuan harga sosial tenaga kerja mengacu pada hasil penelitian dari
Stanford University dan Pusat Sosial Ekonomi Pertanian Bogor yang menemukan
bahwa distorsi kebijakan pemerintah tidak signifikan pengaruhnya terhadap pasar
tenaga kerja di pedesaan. Dengan demikian harga privat untuk semua kategori
tenaga kerja di pedesaan adalah sama dengan harga sosialnya. Namun, pada lokasi
penelitian ini harga privat tenaga kerja relatif lebih tinggi daripada harga sosialnya
129
karena ketersediaan tenaga kerja di daerah ini relatif kurang sehingga harus
mendatangkan tenaga kerja dari daerah-daerah lain. Oleh karena itu, harga sosial
tenaga kerja diasumsikan 80 persen dari harga privatnya.
Harga Sosial Modal
Yang dimaksud dengan input modal yaitu peralatan yang digunakan dalam
proses produksi, panen dan pasca panen. Penentuan harga sosial dari peralatan
tersebut sama dengan penentuan harga privatnya, yaitu didasarkan pada nilai
penyusutannya. Nilai penyusutan setiap tahunnya diperoleh dengan menggunakan
metode capital recovery cost dan melalui metode ini biaya opotunitas penyusutan
ikut diperhitungkan karena disesuaikan dengan tingkat bunga. Untuk
perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran.
Perhitungan penyusutan per tahun, mengikuti formula:
Annual Recovery Cost = )i)(1
Sx(Aii)(1
ii)(1nn
n
+−
−++
(48)
dimana:
A = initial cost (nilai awal)
S = salvage value (nilai sisa)
i = tingkat bunga
n = umur ekonomis.
Salvage value ditetapkan 10 persen dari initial cost. Ini merupakan asumsi bahwa
nilai sisa dari aset yang tidak dapat dipergunakan lagi adalah 10 persen dari nilai
awal sebelum aset tersebut dipakai.
130
4.5.4. Pendekatan Game Theory
Bagian dari penelitian ini, berusaha melakukan kajian interaksi antara petani
cengkeh dan pabrik rokok kretek dalam tataniaga cengkeh sebagai suatu kesatuan
proses untuk menilai bagaimana keterkaitannya secara langsung dalam pemasaran
cengkeh, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Strategi yang
diterapkan dalam permainan diharapkan dapat menjawab hubungan ataupun proses
interaksi antar manusia dalam organisasi masyarakat secara konseptual.
Sebagaimana yang berlaku dalam proses interaksi antara petani cengkeh dan pabrik
rokok kretek, dan dapat dimodelkan secara sederhana dalam suatu bentuk model
permainan (game modelling).
Model teori permainan bertujuan untuk mengidentifikasikan strategi atas
rencana optimal untuk setiap permainan. Miller (2003) mengemukakan bahwa
terdapat tiga elemen penting dalam setiap permainan, yakni: (1) sekumpulan
pemain, (2) gerakan yang dilakukan oleh para pemain, dan (3) hasil yang dapat
diterima oleh para pemain. Para pemain akan memilih gerakannya masing-masing
yang bertujuan untuk memaksimumkan hasilnya. Setiap pemain selalu
mengasumsikan bahwa pemain lainnya akan berusaha untuk memaksimumkan
hasilnya juga.
Sementara itu, dalam teori permainan, petani cengkeh dan pabrik rokok
kretek adalah pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung dalam
permasalahan percengkehan nasional disebut pemain (player). Selanjutnya, angka-
angka dalam matriks pay off, atau biasa disebut juga matriks permainan,
menunjukkan hasil (pay off) dari strategi-strategi permainan yang berbeda-beda,
131
dan hasil ini dinyatakan dalam suatu bentuk ukuran efektifitas, seperti: uang,
prosentase market share, atau kegunaan (utility) (Wafda, 2005).
Selanjutnya, setiap pemain dalam permainan tersebut, diasumsikan
mempunyai sifat rasionalitas mutlak (penuh) dalam membuat pilihan strateginya
yaitu berusaha memaksimumkan hasil. Asumsi rasionalitas tersebut berlaku dengan
memaksimumkan hasil suatu kelompok pengambil keputusan yang berinteraksi,
dengan demikian hasil rasional yang diperoleh merupakan sebagai suatu solusi
permainan.
Sampai sejauh ini, hubungan antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek
(PRK) dalam permasalahan percengkehan nasional pada pemodelan game theory
bersifat noncooperative game, dimana dalam penetapan harga cengkeh berdasarkan
mekanisme pasar, namun PRK berada pada posisi yang lebih kuat karena struktur
pasar cengkeh bersifat oligopsoni. Dalam upaya membantu memecahkan
permasalahan percengkehan nasional, Pemerintah turut berperan serta sebagai
fasilitator, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI yang mencoba
mempertemukan kepentingan petani cengkeh dari beberapa daerah penghasil
utama cengkeh di Indonesia dengan pabrik rokok kretek untuk membuat suatu
kesepakatan tentang penetapan harga minimum pembelian cengkeh, yaitu pada
saat panen raya cengkeh dimana harga cengkeh berada pada tingkat yang sangat
rendah.
Dalam kenyataannya, masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbeda-
beda sesuai dengan kepentingannya untuk kelangsungan usahanya. Petani cengkeh
mengharapkan akan memperoleh tingkat harga cengkeh yang tinggi sehingga
132
penerimaan dari usahatani cengkehnya akan meningkat pula. Dampak dari tingginya
harga cengkeh, diharapkan dapat menjadi insentif bagi petani untuk
mengintensifkan pemeliharaan tanamannya sehingga dapat meningkatkan produksi
cengkehnya. Sedangkan pabrik rokok kretek mengharapkan dapat menekan biaya
produksi rokoknya, antara lain dengan menekan biaya bahan baku cengkeh. Juga
menginginkan jaminan kontinuitas atas ketersediaan bahan baku cengkeh untuk
kelangsungan produksi rokok kreteknya.
Analisis game theory ini bersifat nasional, maka diasumsikan bahwa pihak
petani cengkeh merupakan total petani cengkeh nasional, sementara pihak PRK
adalah total pabrik rokok kretek anggota Gappri. Posisi strategi antara petani
cengkeh dan pabrik rokok kretek sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 13,
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Para petani akan bekerjasama dengan cara membentuk kelompok, himpunan
atau asosiasi petani cengkeh dalam memasarkan cengkehnya sehingga harga
cengkeh dapat yang diterimanya adalah harga minimum sesuai yang ditetapkan
pemerintah berdasarkan kesepakatannya dengan pabrik rokok kretek. Pada saat
penelitian ini dilakukan, harga cengkeh minimum adalah sebesar Rp. 30 000 per
kg (P1). Diasumsikan produksi cengkeh petani sebesar 98 persen dari total
produksi nasional (Q1).
2. Petani tidak bekerjasama atau bertindak sendiri-sendiri dalam memasarkan
cengkehnya sehingga harga cengkeh yang diterimanya sesuai dengan harga
yang berlaku di pasar pada saat itu (P2).
133
3. PRK mematuhi harga pembelian minimum yang ditetapkan pemerintah karena
merupakan harga kesepakatannya dengan petani cengkeh. Diasumsikan
konsumsi cengkeh merupakan total konsumsi cengkeh anggota Gappri dimana
konsumsi cengkeh PRK sebagian besar (90%) berasal dari produksi dalam
negeri. Pada saat PRK patuh pada penetapan harga cengkeh dari pemerintah
maka harga cengkeh lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar (P1).
Konsekuensi logis yang terjadi adalah PRK diperkirakan akan mengurangi
pembeliannya menjadi sekitar 75 persen dari total kebutuhan/konsumsi
cengkehnya (Q3=0.75xQ2), dan untuk memenuhi kebutuhan/konsumsi
cengkehnya, PRK akan menggunakan stok cengkeh yang dimilikinya.
4. PRK tidak mematuhi harga pembelian minimum yang ditetapkan pemerintah,
meskipun telah sepakat dengan petani cengkeh. Apabila PRK tidak patuh pada
penetapan harga cengkeh dari pemerintah maka tingkat harga cengkeh yang
diterimanya, tergantung pada mekanisme pasar, namun biasanya lebih rendah
dari harga minimum yang ditetapkan pemerintah (P2). Dengan menerima harga
cengkeh yang lebih rendah tersebut, maka diasumsikan PRK akan membeli
cengkeh sesuai dengan konsumsinya (Q2).
Pilihan strategi yang dilakukan petani cengkeh adalah bekerjasama dengan
harapan PRK akan menepati kesepakatan tentang harga minimum pembelian
cengkeh yang lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar, atau tidak mampu
menjalin kerjasama sehingga hanya dapat menerima tingkat harga yang rendah.
Lebih lanjut, apabila PRK mematuhi harga minimum yang ditetapkan pemerintah,
maka penerimaan petani cengkeh menjadi sebesar P1 dikali Q1 yaitu harga yang
134
(49)
(50)
ditetapkan pemerintah dikali dengan jumlah cengkeh yang diproduksinya.
Sedangkan apabila petani tidak bekerjasama atau bersifat individual, maka
penerimaan petani hanya sebesar P2 dikali Q1 karena P2 < P1.
Dengan demikian strategi permainan untuk petani cengkeh dapat dinotasikan
sebagai berikut:
Jika petani bekerjasama dalam memasarkan cengkehnya maka fungsi
penerimaannya adalah:
RPT1 = P1 x Q1
dan jika petani cengkeh tidak bekerjasama, maka penerimaannya hanya sebesar:
RPT2 = P2 x Q1
Pilihan strategi yang dilakukan oleh pabrik rokok kretek adalah patuh
terhadap penetapan harga pemerintah yang lebih tinggi dari harga yang berlaku,
namun dengan mengurangi kuantitas cengkeh yang dibelinya supaya biaya bahan
baku cengkehnya tidak meningkat, atau tidak patuh pada penetapan harga
pemerintah dengan harapan petani tidak punya pilihan lain untuk menjual
cengkehnya selain kepada PRK.
Lebih lanjut, apabila pabrik rokok kretek patuh pada penetapan harga
pemerintah maka biaya yang dikeluarkannya untuk bahan baku cengkeh sebesar P1
dikali Q2 yaitu harga yang ditetapkan pemerintah dikali dengan jumlah kebutuhan
atau konsumsi cengkehnya dimana Q3=75%xQ2, sedangkan apabila PRK tidak patuh
pada penetapan harga pemerintah maka PRK akan membeli sesuai dengan
kebutuhan cengkehnya, namun pada tingkat harga yang berlaku di pasar, dengan
demikian biayanya menjadi sebesar P2 dikali Q2 yaitu harga yang berlaku di pasar
135
(51)
(52)
RPT1
Petani
PRK
PRK
P1 x Q1, P1 x Q3
P1 x Q1, P2 x Q2
P2 x Q1, P1 x Q3
P2 x Q1, P2 x Q2
RPT2
CPR1
CPR2
CPR1
CPR2
dikali dengan jumlah cengkeh yang dibeli PRK. Dengan demikian strategi permainan
untuk PRK dapat dinotasikan sebagai berikut:
Jika PRK patuh pada penetapan harga pemerintah maka fungsi biayanya
adalah:
CPR1 = P1 x Q3
dan jika tidak patuh pada penetapan harga pemerintah, maka biayanya menjadi :
CPR2 = P2 x Q2
Gambar 13. Bentuk Permainan antara Petani Cengkeh dan PRK
Adapun peubah-peubah yang digunakan untuk gaming permasalahan
percengkehan nasional adalah sebagai berikut:
Tabel 17. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Gaming Permasalahan Percengkehan Nasional
Peubah Jenis Data Sumber Data Produksi cengkeh nasional Sekunder Siregar dan Suhendi, 2006 Produksi cengkeh perkebunan rakyat Sekunder Siregar dan Suhendi, 2006 Konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek Sekunder Siregar dan Suhendi, 2006 Harga minimum penetapan pemerintah Primer Hasil survey, 2005 Harga pasar Primer Hasil survey, 2005